Inilah Pidato B.J. Habibie yang Membuat Hadirin Terpukau

Rabu, 01 Juni 2011 | 15:51 WIB

*TEMPO Interaktif*, *Jakarta* - Pidato mantan Presiden B.J. Habibie dalam
peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, mendapat apresiasi luar biasa. Saat
berpidato di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Taufiq
Kiemas, sejumlah mantan Wakil Presiden, serta pejabat lainnya di Gedung MPR,
Rabu, 1 Juni 2011, Habibie membacakan pidatonya dengan berapi-api. Hadiri
pun tampak terpukau.

Inilah isi pidato lengkap Habibie itu.

*Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara*


*Yth. Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono *
*Yth. Presiden ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri*
*Yth. Para mantan Wakil Presiden*
*Yth. Pimpinan MPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya*
*Bapak-bapak dan Ibu-ibu para anggota MPR yang saya hormati*
*Serta seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai,*

*Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.*

*Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni
1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi
dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai
philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung
(pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.*

*Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami
berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi
multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus
melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar
filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di
satu titik terminal sejarah.*

*Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut
gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di
berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi
tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama:
Di manakah Pancasila kini berada?*

*Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila
seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan
untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari
memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik.*

*Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?*

*Para hadirin yang berbahagia,*

*Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan
kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah
baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan
kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami
perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa
yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1)
terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan
gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi
manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat,
di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai
aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi
dengan segala dampaknya.*

*Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang
dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat
pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi
yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan
reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa
Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang
akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila
tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa
Indonesia.*

*Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya
masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang
mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan
segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya
dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional'
tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang
mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam
suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik.
Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak
dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.*

*Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan
dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi
mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan
massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk
mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak
Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat
penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan
untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi
pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi
Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen
politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap
menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga
membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.*

*Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut
saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau
ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan
representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah
dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang
bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai
perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi
menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan
menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!*

*Para hadirin yang berbahagia,*

*Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi
apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan
reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai
permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita
hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global,
memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang
lebih baik.*

*Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk
Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus
menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami
setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa
aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan
bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks
dan rumit.*

*Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat
manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis
kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman
bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan
relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan
kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu
terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap
intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan
perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi
perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok,
penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut
menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan
eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih
jauh dari kenyataan.*

*Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya
ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama
atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur
antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik
atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil
warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.*

*Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk
memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas
sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di
tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab
pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap
Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari
stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral,
yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam
berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values),
Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi'
sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.*

*Para hadirin yang berbahagia,*

*Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan
terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana
implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?*

*Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung
pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut.
Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah
pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah
dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara
asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain.
Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam
pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan
baju baru".*

*Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna
neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan
dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara
meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang
berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha
meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan
"nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya
tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added
cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas
sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi.*

*Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan
masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di
lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi
nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga
tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan
untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi
nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan
program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila
sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat
‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.*

*Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari
seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang
menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila
menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi
Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat
baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat
Indonesia.*

*Para hadirin yang saya hormati,*

*Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar
kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan
NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi
pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena
jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas
memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat
relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya
penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan
kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
*

*Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu
melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat
menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan
keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa
depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa
sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.*

*Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang
terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada
implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat
istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan
menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.*

*Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja
akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga
akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat
sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan
rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya,
demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai
bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai
Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.*

*Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.*

*Wassalamu ‘alaikum wr wb.*



*Jakarta 1 Juni 2011*

*Bacharuddin Jusuf Habibie*

*
http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2011/06/01/brk,20110601-338141,id.html
*

Kirim email ke