Penarikan Baru Bisa Dilakukan Mulai 1 Juli 2018 9 Juta Tabung tak Terstandar
BANDUNG, (PR).- PT Pertamina (Persero) menyatakan, ada sembilan juta tabung elpiji kemasan tiga kilogram yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, tabung-tabung tersebut diimpor pada awal program konversi. "Sembilan juta tabung kemasan tiga kilogram yang diimpor pada awal konversi, tidak ada SNI-nya. Akan tetapi, keberadaannya diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 85 Tahun 2008. Kualitasnya pun berdasarkan standar tabung Asia dan Australia," katanya di Hotel Four Seasons, Jakarta, Jumat (23/7). Karen mengakui, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa karena yang bertugas menarik tabung elpiji kemasan tiga kilogram adalah pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Menurut Karen, Pertamina hanya bertanggung jawab dalam distribusi dan pengisian. Hal itu dikemukakannya menanggapi keputusan rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Herawati Legowo, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi, unsur Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan beberapa asosiasi aksesori elpiji kemasan tiga kilogram, Kamis (22/7) malam. Karen menyambut baik keputusan rapat dengar pendapat untuk menarik tabung elpiji kemasan tiga kilogram. Ia pun menyatakan siap membantu dengan memberikan data-data terkait dengan tabung tersebut. Meskipun demikian, ia menolak berkomentar ketika ditanya apakah Pertamina akan mengajukan usulan agar Peraturan Menteri No. 85 Tahun 2008 direvisi agar tabung non-SNI bisa ditarik. "Itu bukan ranah saya sebagai (pengelola) perusahaan. Itu tanyakan ke Kementerian Perindustrian," katanya menegaskan. Tabung elpiji kemasan tiga kilogram non-SNI yang diproduksi sebelum 2008 diprediksi akan terus beredar sampai 2018. Hal ini karena pada Peraturan Menteri No. 85 Tahun 2008 disebutkan, batas waktu pengujian ulang terhadap kualitas tabung-tabung tersebut paling lambat dilakukan pada 1 Juli 2018. Bunyi Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 85/M-IND/PER/11/2008 tersebut adalah: Tabung baja LPG yang telah diproduksi dan beredar sebelum berlaku Peraturan Menteri ini harus telah selesai diuji ulang oleh pengelola tabung baja LPG sesuai dengan ketentuan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 2018. "Dari situ terlihat bahwa tabung yang tidak ber-SNI itu belum tentu boleh ditarik," ujar anggota Komisi VII DPR Bobby Adhityo Rizaldi. Hal ini dibenarkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Ia menyatakan, pihaknya mengalami kesulitan melakukan penindakan terhadap pemasok tabung tidak ber-SNI karena adanya aturan ini. "Kalau ada tabung gas yang dicurigai berasal dari penyelundupan atau pemalsuan, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya peraturan menteri ini," ujar Ito. Dia menambahkan, Polri juga tidak berwenang melakukan penarikan tabung elpiji kemasan tiga kilogram karena hal itu merupakan wewenang Kementerian Perindustrian. Dalam rapat tersebut juga mencuat keinginan sejumlah anggota Komisi VII agar peraturan menteri itu dicabut dan direvisi. Namun, karena rapat tersebut tidak dihadiri Menteri Perindustrian Muhammad S. Hidayat yang tidak diundang, DPR mengurungkan niatnya. Rencana revisi peraturan menteri itu akan dibahas lebih jauh dengan Menteri Perindustrian. Bagaikan bom atom Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, Firman Turmantara serta pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung Acuviarta Kartabi mendesak agar pemerintah segera menarik tabung elpiji yang tidak ber-SNI. Membiarkan tabung tidak ber-SNI beredar bebas di masyarakat sama saja dengan membiarkan bom atom yang siap meledak kapan saja. "Tidak ada alasan, harus ditarik. Pemerintah mungkin berpatokan pada pertimbangan materiil jika harus ditarik. Akan tetapi, nyawa manusia jauh lebih berharga dan tidak bisa dinilai dengan materi. Kalau faktanya di lapangan banyak tabung yang tidak ber-SNI, seharusnya cepat ditarik," kata Firman. Firman menilai, belum adanya kebijakan penarikan tabung tiga kilogram yang tidak ber-SNI, menunjukkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan konsumen. Menurut pengakuan Firman, berdasarkan pengecekan HLKI di Kab. Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Purwakarta, banyak tabung tidak ber-SNI, menggunakan cat yang tidak memenuhi standar, penyok, dan isinya dioplos. Untuk menyampaikan aspirasi tersebut, rencananya HLKI akan menuangkan hal itu dalam bentuk surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu dekat. HLKI Jawa Barat, Banten, dan Jakarta juga akan menyampaikan rekomendasi ini pada pertemuan lembaga konsumen seluruh Indonesia di Yogyakarta 28 Juli 2010. Imbauan agar tabung gas tiga kilogram yang tidak ber-SNI segera ditarik juga disampaikan Acuviarta. Menurut dia, penarikan tidak perlu dilakukan sekaligus. Pemerintah melalui Pertamina bisa melakukannya saat melakukan pengisian gas tiga kilogram di stasiun pengisian. "Jangan menunggu sampai 2018. Kalau memang jelas ada tabung tidak ber-SNI beredar di lapangan, tidak rasional kalau tidak ditarik. Masyarakat perlu kepastian agar tidak terus diliputi ketakutan. Teknisnya tidak perlu ditarik langsung, bisa bertahap di stasiun pengisian," katanya. Dengan banyaknya kasus ledakan yang melibatkan gas kemasan tiga kilogram, menurut Acuviarta, ini membuktikan bahwa kondisi sudah membahayakan dan perlu tindakan segera dari pemerintah. Terlepas apakah masalahnya pada aksesori atau tabung, harus ada penyelesaian segera. Bukan tabung Berdasarkan hasil penelitian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri diketahui, tidak ada insiden elpiji tiga kilogram yang terjadi karena ledakan tabung gas. Ito menegaskan, sejuah ini belum ditemukan kasus yang murni terjadi karena ledakan tabung. "Semuanya berdasarkan akumulasi gas akibat kelemahan dari aksesori tabung elpiji tiga kilogram, seperti slang dan regulator. Penyebab lain adalah pengoplosan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak kondisi ideal tabung dan aksesori," katanya. Ledakan, menurut Ito, juga terjadi karena adanya kesalahan manusia akibat kurangnya sosialisasi atau semakin menurunnya tingkat kewaspadaan pengguna elpiji. "Ada juga ledakan terjadi karena seringnya tabung dilempar. Mendapat tekanan tinggi, pengamanan tabung rusak secara teknis," katanya. Data Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menunjukkan, sepanjang 2007-2010 telah terjadi kecelakaan dan kebakaran karena penggunaan elpiji sebanyak 76 kasus. Sebanyak 10 kasus terjadi pada 2007, 11 kasus pada 2008, 17 kasus pada 2009, dan 38 kasus hingga pertengahan tahun 2010 ini. Dari 76 kasus tersebut, 54 kasus terjadi dari penggunaan elpiji 12 kilogram dan 21 kasus dari kemasan elpiji 3 kilogram. Walaupun ledakan akibat elpiji tiga kilogram sering terjadi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengaku akan tetap menuntaskan program konversi minyak tanah ke elpiji tiga kilogram. "Kita sudah berada di tingkat sekitar 90 persen dari konversi, paling bagus adalah kami tuntaskan hal ini," katanya. Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), sepanjang program konversi dimulai 2007 sampai 30 Juni 2010, perusahaan minyak dan gas pelat me-rah itu telah mendistribusikan 44,675 juta paket perdana, dengan volume elpiji 3,793 juta metrik ton (MT). Penarikan minyak tanah yang dilakukan mencapai 11,317 juta kiloliter. Penghematan subsidi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari penjualan elpiji sampai Juni 2010 mencapai Rp 29,95 triliun. Jika dikurangi biaya paket konversi sebesar Rp 10,62 triliun, penghematan bersih yang dihasilkan mencapai Rp 19,34 triliun. Terkait dengan banyaknya ledakan yang melibatkan elpiji kemasan tiga kilogram akhir-akhir ini, Darwin berjanji, pemerintah akan meningkatkan pengawasan dan sosialisasi terhadap pelaksanaan program ini. Untuk mengurangi angka kecelakaan, sebagai langkah preventif, Karen Agustiawan mengaku telah menambahkan zat pembau gas (ethyl merchaptan) untuk deteksi awal jika ada kebocoran gas pada tabung elpiji tiga kilogram. "Saat ini Pertamina sedang menambah kadar merchaptan dalam elpiji," katanya. Selain menambah zat pembau gas, menurut Karen, sebenarnya ada teknologi yang bisa lebih sensitif untuk mendeteksi kebocoran elpiji. Namun, masyarakat akan sulit memperoleh alat dengan teknologi ini karena harganya mahal. "Memang ada teknologi yang kalau ada kebocoran akan ada bunyi desingan. Namun, itu adanya di SPBE (stasiun pengisian bulk elpiji) karena harganya masih relatif mahal dan kalau dipakai masyarakat prasejahtera, itu terlalu mahal," ujarnya. (A-150/Dtc)*** web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=149899 2010/6/22 mh <khs...@gmail.com> > Balad uing ngadongeng, yen manehna keur kuriak, kulantaran kitu sementara > dapur rek dijadikeun > keur rohangan kulawarga. Nu jadi masalah di dapur aya tabung gas elpiji, > mangkaning ampir unggal > poe dina TV sok wae aya beja tabung gas ngabeledug. > > Beu, lamun ngurus tabung gas wae urang teh teu bisa, kumaha rek ngurus > nuklir atuh? > > ========= > Tak Usah Malu Akui Gagal Soal Elpiji > > Korban ledakan gas elpiji, Muhammad Jidan Gibran (4) menjalani perawatan > intensif di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Cempaka Putih, Jakarta Pusat, > Sabtu (17/4/2010). Ledakan yang terjadi di pemukiman padat penduduk Jalan > Sukamulya II, RT 02 RW 01, Kelurahan Harapan Mulya membawa korban luka bakar > sebanyak 10 orang dan satu orang luka ringan. > Selasa, 22 Juni 2010 | 20:30 WIB > > *JAKARTA, KOMPAS.com *— Ketua Departemen Sosiologi FISIP Universitas > Indonesia, Linda Damayanti, menyatakan, insiden ledakan tabung gas elpiji 3 > kg merupakan dampak penerapan kebijakan tanpa berlandaskan riset. > > Hal ini diperparah oleh minimnya sosialisasi untuk menginternalisasi > nilai-nilai keamanan penggunaan elpiji 3 kg kepada masyarakat penerima paket > konversi mitan ke elpiji itu. > > "Pemerintah tidak usah malu untuk mengevaluasi program konversi dan > mengakui kegagalan dalam pelaksanaannya. Ke depan, bagaimana menghilangkan > kepanikan masyarakat dan memperbaiki implementasi," ujar Linda Damayanti > dalam diskusi "Akuntabilitas Keamanan Penggunaan Elpiji Kemasan 3 Kilogram", > Selasa (22/6/2010) di Jakarta. > > Ia menambahkan, "Koordinasi antarlembaga jadi penting, tidak bisa hanya > Pertamina dan konsultan tanpa berkoordinasi dengan pemerintah lokal atau > lembaga terkait." > > Menurut dia, selama ini terjadi kesalahan metode sosialisasi mengenai > penggunaan elpiji 3 kg secara aman. Sosialisasi hanya menyentuh kaum pria > yang menjadi kepala rumah tangga, sedangkan para ibu rumah tangga sebagai > pengguna akhir elpiji 3 kg justru luput dari sasaran kebijakan. > > "Sosialisasi jangan hanya mengumumkan dan mengkomunikasikan, tetapi harus > menginternalisasikan nilai-nilai keamanan pada masyarakat," ujarnya. > > Sementara anggota Fraksi PKS Komisi VII DPR, Zulkieflimansyah, menambahkan, > Kementerian Komunikasi dan Informatika serta kementerian terkait lain harus > meningkatkan sosialisasi mengenai program konversi minyak tanah ke elpiji. > > Adapun implementasi soal siapa yang boleh menggunakan elpiji 3 kg, > spesifikasi barang gas maupun aspek pengamanan, menjadi tugas Direktorat > Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. > > Ia menambahkan, konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg bukan sekadar > membagikan paket konversi. Lebih dari itu, kebijakan tersebut untuk > mengurangi beban subsidi energi, serta menghemat pengeluaran negara dan > masyarakat. Karena itu, kebijakan publik itu harus diterapkan dengan > menggunakan pendekatan lintas sektoral. > > *KOMPAS Evy Rachmawati* > > *Dapatkan artikel ini di URL:* > > http://www.kompas.com/read/xml/2010/06/22/20300472/Tak.Usah.Malu.Akui.Gagal.Soal.Elpiji-14 > > > >