Analisa tentang hubungan antara agama dan realitas sosial serta penghisapan manusia oleh manusia dan keadilan dalam tulisan ini memperlihatkan kwalitas pemikiran pribadi orang yang namanya Rinto Pangaribuan ini. Pendidikan, praktek hidupnya dan keseriusannya dalam menimba pengetahuan melalui berbagai macam buku memberinya kemampuan untuk menilai hal ihwal secara ilmiah. Akhir dariKeluguan Teologi
19 September2016 Rinto Pangaribuan HarianIndoprogress PERTAMA-TAMA,izinkanlah saya bercerita. Peristiwanya tiga tahun lalu. Saat itu, saya barusaja menyelesaikan studi teologi, kemudian ditugaskan untuk melayani di sebuahGereja di Jakarta. Sayatidak ingat lagi harinya, pagi itu, saya diajak seorang rekan untuk berkunjungke rumah jemaat, lebih tepat simpatisan Gereja. Simpatisan artinya orang yangtidak terdaftar secara administratif sebagai jemaat “resmi” Gereja. Sayalupa nama daerahnya, tapi masih ingat sekali bau dan pengapnya gang yang kamilewati untuk sampai ke tujuan. Setelah sampai, ternyata tempat yang kami tujubukan rumah, tapi lebih mirip kamar kosan. Ukurannya kurang lebih 2×3 m.Pekarangan kamar adalah dapur. Toilet dan kamar mandi, entah berada dimana. Disitu, tinggallah sepasang suami-istri dengan dua anak. Anak sulung, ketika itu,sedang ke sekolah. Sementara yang bungsu digendong ibunya, dengan botol susuyang berisi teh manis. Ibunya mengaku tak mampu beli susu. Suaminya bekerja serabutandengan penghasilan, paling tinggi, Rp.20.000/hari. Itu pun kalauberuntung. Denganberlinang air mata, Ibu itu bercerita kalau mereka sudah tidak mampu membayarsewa kamar untuk dua bulan. Suaminya hanya bisa tertunduk, tak mampuberkata-kata. Keluguan Teologi Dihadapan realitas itu, saya pun hanya terdiam sekaligus bertanya-tanya: “Apa peran teologi untukmenyelesaikan realitas kemiskinan ini? Bagaimana peran doktrin dan dogma, yangsaya pelajari di kampus, untuk menjawab persoalan ini? Apakah teologi bisamemberi solusi atas kenyataan ini? Atau teologi hanya bisa berdoa saja danmengharapkan mujizat; uang turun dari langit untuk membayar tunggakan sewakamar keluarga ini?” Inilah momen dimana keluguan teologisku berakhir. Keluguanteologi ini berakhir dihancurkan oleh realitas dunia, yang bagi saya pribadi,sangat menakutkan. Kenapa menakutkan? Karena kemiskinan adalah tirani. Dia menurunkan derajat kemanusiaan.Kemiskinan itu menindas. Dia mampu menghancurkan dasar-dasar kemanusiaan. Diaberkemampuan untuk meniadakan cinta kasih, ikatan persaudaraan, dan tentunyamengeksploitasi kemanusiaan. Keluguanteologis adalah kebutaan pada kenyataan sosial. Dia lahir dari pengajaran yangmenekankan bahwa dunia yang kita tinggali sekarang ini adalah persinggahansementara.“Salib di muka dan dunia di belakang” adalah legitimasi bahwa dunia dankenyataan sosial bukan yang utama. Keluguan teologis adalah ketidakpedulianteologi terhadap tanggung jawab sosial politik. Dia bersikap negatif terhadapketerlibatan teologi dalam dunia. Keluguan teologi tercermin lewat tabu politik, tabu persoalan sosial,dan tabu ekonomi. Orientasikelugan teologis terletak pada kehidupan nanti setelah kematian. Ini diperkuatoleh agama dengan segala ritualnya yang rumit, sistem doktrin, dan struktur hierarkisnya.Agama menjadi pemisahantara manusia dengan realitas sosialnya. Teologi dan agama yang berorientasipada “Kerajaan Allah” yang bersifat apokaliptik, membuat manusia berpaling darirealitas dunia. Biarlah menderita di dunia sekarang, asal mendapat tempat disurga kelak; adalah asumsi dasar dari keluguan teologis ini. Dampak dari Keluguan Teologi Banyakdampak negatif yang muncul akibat keluguan teologi ini. Marx, misalnya,mengatakan, “Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuahdunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa … Agama adalah candu rakyat.”(A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophyof Right,1844). Dia bersifat candu karena mampu mengasingkan manusia dari realitas yangduniawi ke dunia khayali (Thesis On Feuerbach, 1845). Bahkanseorang teolog Asia, Choan Seng Song (berikutnya CSS), dengan tegas mengatakanbahwa teologi yang hanyaberorientasi pada “Kerajaan Allah” apokaliptik tak lebih hanya mengajarkansebuah ilusi (Yesus dan Pemerintahan Allah, 2010). Dampakpaling signifikan dari keluguan teologi ini adalah berkenaan pada pribadi Yesusitu sendiri. Yesus, dalam iman Kristen, yang diyakini sebagai Tuhan, akibatkeluguan teologi dikerdilkan. Bukan hanya dikerdilkan, menurut CSS, Yesus malah dijinakkan. Yesusdijinakkan karena tidak memainkan peran apa pun dalam pergumulan manusia dalamusaha menegakkan keadilan dan kemerdekaan. Penjinakan Yesus ini adalahkontradiksi dalam teologi Kristen yang mengimani bahwa Tuhan terlibat dalamproses (menopang) sejarah umat manusia. Keluguan teologi ini, mau-tidak-mau, meletakkan Yesus tak lebih darisebuah berhala. Re-Orientasi Teologi Kehidupanseharusnya menjadi pusat perhatian agama. Akibatnya teologi harus berinteraksilangsung dengan kehidupan. Teologi harus menatap kehidupan secara jujur.Disinilah teologi memainkan perannya sebagai perantara antara Allah, manusiadan sesamanya. Dalamusaha menemukan kembali orientasi teologi; Yesus adalah teladan. Yesus, dalamiman Kristiani, diimani sebagai wujud inkarnasi wahyu Tuhan yang mengambil rupasebagai manusia (Filipi 2:7). Inti ajaran Yesus, masih menurut CSS, tertulis diMatius 6:10, “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti disurga.” Kerajaan Allah menjadi pusat hermeneutikanya dalam usaha memahami karyaYesus. Dengandemikian, “Apakah Kerajaan Allah itu?” Kerajaan Allah, basileiatou theou (Yunani),diterjemahkan CSS sebagai pemerintahan Allah. Dia menolakmenggunakan istilah “Kerajaan Allah ” karena dianggapnya tidak mengungkapkanpesan Yesus tentang pemerintahan Allah. Bahkan dia katakan, istilah itu kelirukarena “kerajaan” memberi kesan wilayah nasional, sistem feodal, dan strukturmonarki; singkatnya sebuah budaya otoritarianisme. Apakahpemerintahan Allah itu? PemerintahanAllah (PA) bukanlah sebuah lembaga. PA adalah sebuah aksi, tindakan yangkonkret, dan jelas. Dia adalah gerakan kolosal. PA adalah penggenapan ManifestoNazaret, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untukmenyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Akuuntuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagiorang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untukmemberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19). Artinya,ketika orang lapardikenyangkan, ketika mereka yang menangis tertawa, ketika yang tertindasmenemukan keadilan dan kemerdekaan, dan ketika mereka yang berputus asa akankehidupan memperoleh kembali harapannya, PA pun jadi nyata. Denganbegitu, PA tidak bersifatnanti, tapi sekarang. PA adalah pemerintahan di surga yang diturunkan ke bumi. Untukmewujudkan ini, teologi akhirnya berorientasi sebagai pemberdayaan. Pemberdayaan berarti membuatmereka yang tertindas mampu (berdaya) keluar dari penindasan. Dalamfungsi inilah teologi, mau-tidak-mau, harus terlibat dalam analisis terhadapakar dari penindasan itu sendiri. Tanpa analisis terhadapnya, teologi tidakakan mampu menjalankan peran sebagai pemberdaya. Apalagi, menemukan jalankeluarnya. Dosaditenggarai sebagai akar dari penindasan. Seperti kata Gustavo Gutierrez, dosadipahami bukan dalam matra individual, moral, dan spiritual semata. Dosa adalahpenolakan terhadap Allah dan sesama. Dosa adalah struktur opresif yang mengeksploitasi manusia oleh manusia.Dosa merupakan pengalienasian manusia dan akar dari eksploitasi (ATheology of Liberation, 1971). Dosa adalah masalah kemasyarakatan, kelembagaan, struktural, dansistemik. Allah adalah pencipta (Kejadian 1), termasuk manusia. Jadibarang siapa merusak (dalam bentuk apa pun, termasuk penindasan) terhadapmanusia, merupakan tindakan yang melawan Allah. Jika dosa adalah persoalanstruktural, maka penggenapan PA akan selalu berada dalam situasi konflik.Konflik dengan struktur yang menindas; struktur penguasa. Dalam situasi inilahmaksud perkataan Yesus menjadi jelas, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawadamai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.”(Matius 10:34). Walau PA bukanlah sebuah lembaga atau partai politik, tapigerakannya bervisi (bersifat) lebih politis daripada keagamaan. Kesimpulan Untuksebuah dunia yang lebih baik, agama perlu berubah. Perubahan agama juga sebuahperubahan arah berteologi. Perubahan yang dibutuhkan dalam sebuah agamaharuslah sebuah perubahan yang radikal. Sebuah perubahan dengan implikasiteologis yang mendalam terhadap hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia. Dalam hal inilah, keadilanmenjadi tujuan utama. Keadilanselalu berbicara tentang hubungan antar sesama manusia. Re-orientasi teologisuntuk pemberdayaan menuju terciptanya keadilan bukanlah sebuah pilihan. Iniadalah tanggung jawab religius dan integritas teologis. Tanpa usaha ini agama, seperti kata Lenin, takubahnya hanyalah minuman keras spiritual yang menindas dan membebani rakyat (Sosialisme dan Agama, 1905). Manusiaharus merdeka karena Allah adalah Pribadi yang merdeka!***