*Bisa dianggap oleh mereka yang menyatakan diri sebagai pemegang kunci
pintu gerbang taman Firdaus bahwa bioteknologi adalah ilmu sihir dan oleh
sebab itu haram karena dapat merubah apa yang telah diciptakanNya.*


http://www.suarakarya.id/detail/54427/Pemerintah-Masih-Setengah-Hati-Terapkan-Bioteknologi-Pangan


Pemerintah Masih Setengah Hati Terapkan Bioteknologi Pangan

Seminar bioteknologi pangan di Jakarta, Senin (29/1/2018). (foto: laksito)

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah sepertinya masih setengah hati untuk
mengembangkan bioteknologi bidang pertanian. Padahal, teknologi tersebut
dapat menggenjot produksi pangan nasional sehingga kebergantungan terhadap
impor bisa ditekan.

Anggapan bahwa bioteknologi tanaman atau hasil produk rekayasa genetik pada
tanaman tidak aman bagi kesehatan dan lingkungan, masih menjadi ganjalan
untuk diterapkan di Indonesia.

"Produknya kita makan saban hari, tapi penerapannya dilarang, kan nggak
masuk akal sebenarnya," ujar  pakar tanaman pangan Bayu Krisnamurthi, dalam
Seminar Refleksi san Masa Depan Bioteknologi Pertanian dalam Mendukung
Kedaulatan Pangan Indonesia, di Hotel Mercure Jakarta, Senin (29/1/2018).

Seminar yang diinisiasi IndoBIC bersama PBPI, Seameo Biotrop dan ISAAA in,
juga menghadirkan Prof Dr Agus Pakpahan, Prod Dr Antonius Suwanto, dan Prof
Dr Bambang Purwantara.

Bayu mengungkapkan, bioteknologi pangan sebenarnya sudah ada sejak ratusan
tahun lalu. Di indonesia sudah ditemukan dalam produk tempe, tahu, jamu,
roti, anggur, keju.

Sedikitnya 28 negara di dunia sangat intensif menerapkan bioteknologi
tanaman pada areal seluas 180 juta hektare.

"Nilai ekonomisnya luar biasa, mencapai 604,4 miliar dolar AS. Di Filipina
saja ada 812.000 hektare yang ditanami hasil bioteknologi pertanian.. India
menargetkan nilai tambah ekonomi sebesar 100 miliar dolar AS pada tahun
2025 dari biotek ini," papar Bayu.

Sejak 2010, bioteknologi pangan sudah diterapkan di banyak negara, dan akan
menjadi tren. "Artinya bisnis biotek akan menguntungkan, jika telah
menguasai riset, teknologi, dan infrastrukturnya," ujarnya.

Laporan International Service for Acquisition Agri-biotech Application
(ISAAA)  selama 21 tahun terkahir, bioteknologi tanaman telah mengurangi
dampak lingkungan pertanian secara signifikan dan mendorong pertumbuhan
ekonomi di 28 negara di mana teknologi tersebut diadopsi.

Juga terjadi peningkatan 110 kali lipat adopsi tanaman biotek secara global
dalam kurun waktu 21 tahun terakhir sejak dikomersialkan, dari 1,7 juta
hektare (tahin 1996) menjadi 185,1 juta hektare di tahun 2016.

"Secara umum biotek telah meningkatkan pendapatan lebih dari 22 persen,
mwngurangi pestisida lebih dari 37 persen,  serta meningkatkan pendapatan
bersih petani 68 persen," ujar Agus Pakpahan.

Merujuk hasil penelitian Graham Brookes, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan
bahwa bioteknologi tanaman telah mengurangi emisi gas rumah kaca dan mampu
mempwrtahan lebih banyak karbon di dalam tanah.

“Teknologi pertanian yang inovatif berkontribusi dalam melestarikan sumber
daya alam dengan menanam lebih banyak tanaman bermutu tinggi. Aplikasi
tersebut membantu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara berkembang
sebanyak 16,5 juta petani kecil,” ujarnya.

Direktur Indonesian Biotecnology Information Centre (IndoBIC), Bambang
Purwantara menambahkan ada banyak faktor mengapa bioteknologi pertanian di
Indonesia tidak berkembang, salah satunya pada regulasi serta implementasi.
Padahal, apabila kebijakan ini telah lama dikembangkan, pendapatan petani
Indonesia akan meningkat. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat
ini yang mana pendapatan petani terus merosot tajam, tak sebanding dengan
biaya yang dikeluarkan untuk produksi.

Menurutnya, persoalan krusial yang melanda pertanian di Indonesia saat ini
meliputi penurunan jumlah petani dan percepatan laju alih fungsi lahan.
Karena itu, dia menyarankan perlunya upaya lain pada sektor pertanian yang
lebif efektif dan efisien. Bila tidak, pemerintah tak akan mampu
mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dengan pasokan pangan nasional.

"Indonesia, sekitar 65 persen penduduk miskinnya ada di desa dan dari
jumlah itu, sekitar 60 persen adalah petani. Ini harus diakhiri dengan
pertanian inovatif,” ujar Bambang. ***
  • [GELORA45] ... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
    • [GELOR... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
      • Re... kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
    • Re: [G... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
      • Re... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELOR... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
    • Re: [G... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
    • Re: [G... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
      • Re... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
        • ... ajegil...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke