benar sekali, bung ajeg. Harusnya Pemerintah justru menolak bioteknologi pangan. Dengan semakin besarnya monopoli Monsanto dan Dupont dalam bidang pertanian-pangan, banyak jenis tanaman asli yang hilang. Adalah kebohongan bahwa tanaman transgenik/bioteknologi pangan akan menyelesaikan masalah pangan /kelaparan di dunia. Lagi-lagi itu hanya untuk memuluskan multinasional untuk mendapatkan super ganancia!!!
On Wednesday, January 31, 2018 6:46 AM, "ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote: Indonesia belum secara resmi melarang penggunaan bibit kedele transgenik, tetapi masyarakat khususnya petani menolak pengadaannya. Yang menarik, penolakan saat menjelang berakhirnya kekuasaan Orba itu bersamaan dengan polemik RUU Hak Cipta yang dikhawatirkan hanya melindungi hak pengusaha / perusahaan. Setelah Soeharto lengser, Monsanto & Dupont semakin galak memaksakan bisnisnya di Indonesia sehingga masyarakat tak mau kalah galak menolaknya. Protes besar-besaran terjadi setelah Gus Dur dijatuhkan. Berbarengan dengan protes besar di Eropa.. Petani Sumatra dan Jawa menolak bibit GMO apa pun, bukan cuma kedele transgenik. Monsanto lalu lari ke Sulawesi. Di sana kedele transgenik sempat dicoba. Hasilnya, bikin petani geram. Aktivis, ekonom, politisi, dan kaum nasionalis (kecuali PDIP), juga ikut marah karena selain tumbuhan GMO ini merusak unsur tanah, rakus menyedot unsur yang dibutuhkan tumbuhan lain, bisnis pengadaan bibit yang dimonopoli Monsanto maupun Dupont jelas melabrak UUD'45 dan demokrasi. Nah, ketika 2014 PDIP kembali menguasai istana, isu transgenik ini mulai dihembuskan lagi. Caranya macam-macam. Antara lain melalui berbagai pembahasan serta seminar "ilmiah" tentang biotek, sampai-sampai di rakornas kemarin kadingaren bu ketum tiba-tiba pidato soal iptek. Minta presiden menaikkan anggaran riset. Seminar yang diberitakan di bawah ini termasuk. Seolah-olah ilmiah dengan mengundang 3 profesor doktor sekaligus untuk blabla soal biotek yang memukau. Padahal bagi yang tahu tentu nyengir karena ketiga profesor itu dikenal sebagai pendukung pertanian transgenik. Jadi tidak salah kalau ada yang menilai pembahasan atau seminar-seminar "ilmiah" seperti ini sebenarnya cuma iklan dan para pembicaranya adalah jurkam pemodal, setidaknya dimanfaatkan, untuk merayu awam dengan mantra-mantra "ilmiah". Ini yang belum banyak disadari, profesor doktor di Indonesia semua pinter di bidangnya, tapi kebanyakan hidup di menara gading. --- djiekh@... wrote: Bung karma, Di Bioteknologi diajarkan teknik2 :1. Fermentasi dengan menggunakan bakteri, jamur. Kalau inisudah lama dipakai dan dianggap aman seperti pembuatan tempe,alcohol, keju, MSG, Ribotiden dll.2. Enzym (biokatalisator) seperti dalam pembuatan keju, High Fructose Sugar.3. Yang masih ditakutkan dan tidak dikehendaki di beberapa negeri adalahdengan rekayasa genetik dengan recombinant DNA. Di Amerika kedelainyahasil rekayasa genetik. Diimport oleh Indonesia, dibikin tahu, tempe, kecap.Tetapi rupanya tanam kedele dengan bibit hasil rekayasa genetik dilarang di Indonesia ?Waktu saya masih kerja, Unilever tidak menggunakan bahan GMO (Genetic ModifiedOrganism), dan suppliernya harus membuat pernyataan kalau produknya tidakmengandung GMOSalam, Djie 2018-01-30 1:23 GMT+01:00 'Karma, I Nengah : Ini sebenarnya ide yang sangat bagus, karena bisa meningkatkan pendapat petani sampai 20 % Mungkin sama seperti di teknologi nano perminyakan bisa meningkatkan produksi minyak sampai 20% 20 % itu lumayan bisa membantu petani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bayangkan jika penghasilan petani diseluruh indonesia mancapai 200 triliun berarti peningkatan penghasilan petani kurang lebih 400 miliyar Sangat permitif sekali jika para petani masih menjual hasil taninya dalam bentuk alami. Hasil pertaniannya mesti diolah dan difermetasi terlebih dulu dijadikan kecap, tempe, kripik, yogut, peyek dll sehingga akan meningkatkan hasil taninya From: Sunny ambon Bisa dianggap oleh mereka yang menyatakan diri sebagai pemegang kunci pintu gerbang taman Firdaus bahwa bioteknologi adalah ilmu sihir dan oleh sebab itu haram karena dapat merubah apa yang telah diciptakanNya.http://www.suarakarya.id/ detail/54427/Pemerintah-Masih- Setengah-Hati-Terapkan- Bioteknologi-Pangan Pemerintah Masih Setengah Hati Terapkan Bioteknologi Pangan Seminar bioteknologi pangan di Jakarta, Senin (29/1/2018). (foto: laksito) JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah sepertinya masih setengah hati untuk mengembangkan bioteknologi bidang pertanian. Padahal, teknologi tersebut dapat menggenjot produksi pangan nasional sehingga kebergantungan terhadap impor bisa ditekan. Anggapan bahwa bioteknologi tanaman atau hasil produk rekayasa genetik pada tanaman tidak aman bagi kesehatan dan lingkungan, masih menjadi ganjalan untuk diterapkan di Indonesia. "Produknya kita makan saban hari, tapi penerapannya dilarang, kan nggak masuk akal sebenarnya," ujar pakar tanaman pangan Bayu Krisnamurthi, dalam Seminar Refleksi san Masa Depan Bioteknologi Pertanian dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Indonesia, di Hotel Mercure Jakarta, Senin (29/1/2018). Seminar yang diinisiasi IndoBIC bersama PBPI, Seameo Biotrop dan ISAAA in, juga menghadirkan Prof Dr Agus Pakpahan, Prod Dr Antonius Suwanto, dan Prof Dr Bambang Purwantara. Bayu mengungkapkan, bioteknologi pangan sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Di indonesia sudah ditemukan dalam produk tempe, tahu, jamu, roti, anggur, keju. Sedikitnya 28 negara di dunia sangat intensif menerapkan bioteknologi tanaman pada areal seluas 180 juta hektare. "Nilai ekonomisnya luar biasa, mencapai 604,4 miliar dolar AS. Di Filipina saja ada 812.000 hektare yang ditanami hasil bioteknologi pertanian.. India menargetkan nilai tambah ekonomi sebesar 100 miliar dolar AS pada tahun 2025 dari biotek ini," papar Bayu. Sejak 2010, bioteknologi pangan sudah diterapkan di banyak negara, dan akan menjadi tren. "Artinya bisnis biotek akan menguntungkan, jika telah menguasai riset, teknologi, dan infrastrukturnya," ujarnya. Laporan International Service for Acquisition Agri-biotech Application (ISAAA) selama 21 tahun terkahir, bioteknologi tanaman telah mengurangi dampak lingkungan pertanian secara signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di 28 negara di mana teknologi tersebut diadopsi. Juga terjadi peningkatan 110 kali lipat adopsi tanaman biotek secara global dalam kurun waktu 21 tahun terakhir sejak dikomersialkan, dari 1,7 juta hektare (tahin 1996) menjadi 185,1 juta hektare di tahun 2016. "Secara umum biotek telah meningkatkan pendapatan lebih dari 22 persen, mwngurangi pestisida lebih dari 37 persen, serta meningkatkan pendapatan bersih petani 68 persen," ujar Agus Pakpahan. Merujuk hasil penelitian Graham Brookes, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan bahwa bioteknologi tanaman telah mengurangi emisi gas rumah kaca dan mampu mempwrtahan lebih banyak karbon di dalam tanah. “Teknologi pertanian yang inovatif berkontribusi dalam melestarikan sumber daya alam dengan menanam lebih banyak tanaman bermutu tinggi. Aplikasi tersebut membantu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara berkembang sebanyak 16,5 juta petani kecil,” ujarnya. Direktur Indonesian Biotecnology Information Centre (IndoBIC), Bambang Purwantara menambahkan ada banyak faktor mengapa bioteknologi pertanian di Indonesia tidak berkembang, salah satunya pada regulasi serta implementasi. Padahal, apabila kebijakan ini telah lama dikembangkan, pendapatan petani Indonesia akan meningkat. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang mana pendapatan petani terus merosot tajam, tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi. Menurutnya, persoalan krusial yang melanda pertanian di Indonesia saat ini meliputi penurunan jumlah petani dan percepatan laju alih fungsi lahan. Karena itu, dia menyarankan perlunya upaya lain pada sektor pertanian yang lebif efektif dan efisien. Bila tidak, pemerintah tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dengan pasokan pangan nasional. "Indonesia, sekitar 65 persen penduduk miskinnya ada di desa dan dari jumlah itu, sekitar 60 persen adalah petani. Ini harus diakhiri dengan pertanian inovatif,” ujar Bambang. *** #yiv7755317684 #yiv7755317684 -- #yiv7755317684ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp #yiv7755317684hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp #yiv7755317684ads {margin-bottom:10px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp .yiv7755317684ad {padding:0 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp .yiv7755317684ad p {margin:0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mkp .yiv7755317684ad a {color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ygrp-lc #yiv7755317684hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ygrp-lc .yiv7755317684ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity span {font-weight:700;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity span span {color:#ff7900;}#yiv7755317684 #yiv7755317684activity span .yiv7755317684underline {text-decoration:underline;}#yiv7755317684 .yiv7755317684attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv7755317684 .yiv7755317684attach div a {text-decoration:none;}#yiv7755317684 .yiv7755317684attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv7755317684 .yiv7755317684attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv7755317684 .yiv7755317684attach label a {text-decoration:none;}#yiv7755317684 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv7755317684 .yiv7755317684bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv7755317684 .yiv7755317684bold a {text-decoration:none;}#yiv7755317684 dd.yiv7755317684last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv7755317684 dd.yiv7755317684last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv7755317684 dd.yiv7755317684last p span.yiv7755317684yshortcuts {margin-right:0;}#yiv7755317684 div.yiv7755317684attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv7755317684 div.yiv7755317684attach-table {width:400px;}#yiv7755317684 div.yiv7755317684file-title a, #yiv7755317684 div.yiv7755317684file-title a:active, #yiv7755317684 div.yiv7755317684file-title a:hover, #yiv7755317684 div.yiv7755317684file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv7755317684 div.yiv7755317684photo-title a, #yiv7755317684 div.yiv7755317684photo-title a:active, #yiv7755317684 div.yiv7755317684photo-title a:hover, #yiv7755317684 div.yiv7755317684photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv7755317684 div#yiv7755317684ygrp-mlmsg #yiv7755317684ygrp-msg p a span.yiv7755317684yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv7755317684 .yiv7755317684green {color:#628c2a;}#yiv7755317684 .yiv7755317684MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv7755317684 o {font-size:0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684photos div {float:left;width:72px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684photos div div {border:1px solid #666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684photos div label {color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684reco-category {font-size:77%;}#yiv7755317684 #yiv7755317684reco-desc {font-size:77%;}#yiv7755317684 .yiv7755317684replbq {margin:4px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-actbar div a:first-child {margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg {font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg select, #yiv7755317684 input, #yiv7755317684 textarea {font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg pre, #yiv7755317684 code {font:115% monospace;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg * {line-height:1.22em;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-mlmsg #yiv7755317684logo {padding-bottom:10px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-msg p a {font-family:Verdana;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-msg p#yiv7755317684attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-reco #yiv7755317684reco-head {color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-reco {margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ov li {font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-sponsor #yiv7755317684ov ul {margin:0;padding:0 0 0 8px;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-text {font-family:Georgia;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-text p {margin:0 0 1em 0;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv7755317684 #yiv7755317684ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none !important;}#yiv7755317684