“Kenapa baca Ta Pei Cou itu kung tek yang paling baik?
  Ta Pei Cou artinya apa Suhu?”
   
  “Jangan Tanya. Jalankan saja. Nanti kamu akan mengerti sendiri. Waktu baca, 
jangan terlalu cepat, jangan terlalu lambat. Jangan pula dilagukan, nanti 
muncul bayangan keindahan, bukan ketulusan. Waktu mulut mengucapkan, dengarkan 
dengan penuh perhatian, dengan hati selalu tulus dan bersih. Seperti centong 
yang warnanya putih bersih, kalau dikasih air bersih, kita minum juga bersih. 
Tapi kalau centongnya kotor, kita minum air bersih dari sana juga bisa sakit, 
karena airnya menjadi kotor.
   
  “Terima kasih Suhu. Mau pamit sekarang. Terima kasih Suhu, terima kasih 
banyak…”
  Mereka berdua memberi hormat, lalu pulang.
   
   
   
  BAB 5
  BODHISATTVA KWAN IM
   
  Bhiksu Wu Thung punya keyakinan kuat pada Bodhisattva Kwan Im dan Buddha 
Amitabha. Ia sayang sekali dengan gambar ataupun patung Bodhisattva Kwan Im. Ia 
pernah memberi nasehat bahwa orang hidup harus punya pegangan. Kalau misalnya 
percaya sama Bodhisattva Kwan Im, ya sudah baca Ta Pei Cou saja. Atau kalau 
percaya pada Buddha Amitabha, baca Omithofo saja. Tidak perlu ke yang lain-lain.
   
  Mengapa Bodhisattva Kwan Im sangat dihormati dan disayangi umat? Itu karena 
Beliau bisa ada di mana saja, dalam bentuk apa saja untuk menolong semua 
makhluk. Bhiksu Wu Thung memberikan satu contoh.
   
  Dulu ada seorang penebang kayu di Tiongkok. Pada suatu hari saat mau menebang 
sebatang pohon, dia melihat pohon itu bagus untuk dijadikan patung Bodhisattva 
Kwan Im. Jadi dia tebang itu pohon jati sedikit, dan membawanya pulang. 
Besoknya dia lupa membuat patung, melainkan langsung pergi lagi ke hutan untuk 
menebang pohon. Mendadak ada harimau besar muncul di hadapannya, dan bersiap 
menerkam. Dia takut sekali, badannya menggigil dan tidak bisa berbuat apa2. 
Tiba2 muncul seorang nenek, “Hei harimau, kamu pergi sana! Jangan ganggu!”
   
  Aneh sekali, itu harimau pergi begitu saja. Orang tua itu kaget sekali. Dalam 
hatinya tiba2 ia ingat Bodhisattva Kwan Im. Penebang kayu itu belum mewujudkan 
niatnya yang tulus untuk membuat patung Bodhisattva Kwan Im, tapi niat yang 
tulus itu sudah cukup untuk menyelamatkan jiwanya.
   
  Menurut Bhiksu Wu Thung, kalau mengalami kesusahan, misalnya sakit berat, 
asal kita berdoa dengan sepenuh hati kepada Bodhisattva Kwan Im, sakit itu bisa 
sembuh. Tapi doa itu harus dilakukan dengan sepenuh hati, dimana ucapan, tubuh, 
dan hati harus menyatu dalam doa. Bacalah Ta Pei Cou setiap hari, setelah itu 
mohon jalan keluar kepada Bodhisattva Kwan Im. Pasti kita akan diberi jalan 
keluar, tidak usah takut.
   
  Dulu ada seorang anak yang berbakti pada ibunya. Namun dalam hidupnya, ibu 
ini perbuatannya kurang benar. Anak ini mengerti akan hal ini. Ibunya sudah 
wafat. Anak ini setiap hari berdoa di Vihara dengan sepenuh hati, memohon 
kepada Buddha dan Bodhisattva untuk menunjukkan dimana ibunya berada dan 
menolongnya. Namun doanya tidak dikabulkan. Tapi ia tetap teguh dan niatnya 
tidak pernah kendur. Ia terus berdoa sampai fisiknya sakit, tetapi hatinya 
tetap kuat dalam tekad.
   
  Akhirnya, pada suatu hari ada suara terdengar dari atas dan meminta dia 
pulang. Nanti di rumahnya ia akan dikasih tahu dimana ibunya berada.
   
  Jadi kalau berdoa dengan sungguh2, doa kita pasti akan dikabulkan asal 
niatnya baik. Namun ini tidaklah mudah, harus benar2 murni dan sepenuh hati.
   
  Kita harus berdoa meskipun keadaan sedang baik. Kalau kita menunggu keadaan 
susah baru Nien Cing, kondisi yang ada juga sudah kurang baik. Kalau kita terus 
berbuat kebajikan, terus Nien Cing pada saat senang maupun susah, kita akan 
mendapat banyak pertolongan dan jalan keluar kalau kesusahan tiba2 datang 
menyergap.
   
  Kita harus punya keyakinan pada Bodhisattva Kwan Im. Seperti juga orang ciam 
sie (meminta petunjuk Bodhisattva Kwan Im dengan cara mengambil potongan bambu 
kecil yang memiliki nomor untuk kertas yang berisi nasehat).Orang ciam sie 
tidak perlu lempar phoi (dua keping bambu yang dilempar, secara umum dipercayai 
jika setelah dilempar dua2nya menunjukkan sisi yang sama, artinya tidak 
direstui, jika menunjukkan sisi yang berbeda artinya direstui). Masa tidak 
percaya sama Bodhisattva Kwan Im? Kalau sudah ciam sie, ya sudah percaya saja, 
tidak perlu lempar phoi lagi.
   
  Bhiksu Wu Thung mengikuti jejak Bodhisattva Kwan Im. Hatinya penuh belas 
kasih. Dia tidak tahan melihat ada makhluk yang disakiti. Kelinci yang ada di 
belakang Vihara juga tadinya mau dipotong orang. Dia bilang buat dia saja, 
terus dipelihara.
   
  Pernah ada satu ibu minta dia mengangkat puterinya sebagai dayika (orang yang 
mengurusi kebutuhan sehari-hari). Bhiksu Wu Thung belum pernah mengangkat 
dayika. Dia Tanya, “Sanggup tidak mengurusi obat buat saya sampai saya mati.”
   
  “Sanggup,” jawab anak perempuan itu. Akhrinya Bhiksu Wu Thung bersedia 
menerimanya sebagai dayika.
   
  Pernah ada yang bertanya kenapa dia mau menerima orang sebagai dayika. Bhiksu 
Wu Thung hanya bilang, “Saya sudah tua. Takut nanti tidak ada yang urus.”
   
  Jawaban yang polos dan jujur seperti itu membuat yang bertanya menahan air 
mata.
   
  Dia berpesan, kalau dia wafat tolong disediakan peti mati yang paling murah 
saja. Dan ditaruh minimal tiga hari sebelum dibakar (hari ketiga boleh 
dibakar). Ada yang Tanya  kenapa harus menunggu tiga hari. Menurutnya, karena 
kalau belum tiga hari kesadaran masih ada di sana. Dan kalau dibakar, kesadaran 
itu bisa merasa sakit, nanti menimbulkan racun, bisa membawa kelahiran kembali 
yang kurang baik.
   
  Kalau dia sudah dibakar, buang saja abunya ke mana saja, asal tidak ke laut. 
Soalnya kalau dibuang ke laut nanti merepotkan banyak orang. Buang saja ke tong 
sampah juga tidak apa2. sudah jadi tulang, abu, untuk apa dipikirkan. Jangan 
sampai bikin repot orang. Nanti kalau dia wafat, bajunya jangan dimasukkan ke 
peti banyak2, dan tidak perlu dicuci. Untuk apa repot2.
   
  Selama lebih dari 60 tahun masa kebhiksuannya, dia belum memiliki satu orang 
murid pun. Namun, ia terbuka memberi nasehat kepada siapa pun yang datang. 
Menurutnya, Theravada, Mahayana, atau Tantrayana, itu sama saja. Meskipun 
jubahnya berbeda-beda, semuanya membawa manfaat dan bagus. Tergantung pada 
masing2 orang lebih cocok ke mana.
   
  Jubah bhiksu ada yang namanya sam ie (baju tiga), cit ie (baju tujuh), ciu ie 
(baju sembilan), dan baju dua puluh satu. Sam ie, satu baris mempunyai tiga 
kotak. Cit ie, tujuh kotak, ciu ie, sembilan kotak. Sam ie dipakai untuk kerja. 
Cit ie untuk Nien Cing. Ciu ie untuk membabarkan Dharma. Dan baju dua puluh 
satu untuk Samadhi. Kalau sedang pakai jubah, itu sebetulnya untuk bersujud 
pada Triratna. Jadi kalau pakai jubah, baik sam ie maupun yang lainnya, tidak 
boleh bersujud pada orang mati, atau pada gambar orang yang sudah mati. Kalau 
sekedar memberi hormat boleh, tapi tidak boleh bersujud. Karena jubah itu waktu 
dipakai Cuma untuk bersujud pada Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha).
   

       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke