Masing2 bidang (dlm kepemerintahan) punya urusan masing-masing. Bidang pangan ya ngurusi pangan, gak usah ngurusi ayat.
Saya sangat setuju kalo negara gak usah ikut repot di urusan sesat menyesatkan. Negara cukup memperkuat aparat dan aparatur hukum untuk 'menangkap' orang2 yang buat rusuh dan radikal. Karena saya pikir, negara (pemerintah) harus bekerja berdasarkan skala prioritas. NEgara ini sudah kelewat banyak masalah. wassalam, --- In ppiindia@yahoogroups.com, Phyllobates Terribilis <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kebanyakan warga sibuk mengurusi debat ayat ayat, mengandai-andai surga dan neraka, mulut berbusa meneriakkan betapa unggulnya agamanya, betapa konyolnya agama lain, menyatakan sesat faham yang berbeda. At the same time, penderitaan umat kian bertambah.. > > > Wajah Buram Ketahanan Pangan Posman Sibuea Banjir yang menghantam sentra-sentra utama produksi beras di Pulau Jawa mengancam ketahanan pangan. Gagal panen tak terhindarkan. Wajah buram ketahanan pangan akan mewarnai bangsa ini. Kegagalan pemerintah melindungi petani dari bencana ekologis telah menempatkan petani kian miskin. Jumlah warga miskin hampir 109 jutadengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per haridan sekitar 70 persen di antaranya petani di pedesaan (Bank Dunia, 2006). Patut diduga, jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dan busung lapar akan bertambah. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di masa datang kian merosot. UNDP menyebut, IPM Indonesia tahun 2007 di urutan ke-107 dari 177 negara, lebih rendah dari Vietnam (posisi 105). Konflik sosial Ketahanan pangan adalah salah satu pilar kekuatan pemerintah. Wajah buram ketahanan sumber gizi ini bisa menjadi amunisi merebaknya konflik sosial. Krisis pangan 1998 menjadi > penyebab jatuhnya Orde Baru. UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau daya beli masyarakat. Ketersediaan pangan yang secara makro cukup belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Kelancaran distribusi dan daya beli masyarakat merupakan dua unsur amat penting dalam ketahanan pangan. Bagi 60 persen penduduk Indonesia di pedesaan, kebutuhan pangannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan (Food Insecurity). Namun, belakangan, kearifan lokal acap dilupakan karena pemerintah secara tidak langsung menggiring pola konsumsi penduduk berbasis beras (nasi). Muaranya, muncul persepsi bias pangan menjadi identik beras saja karena dianggap makanan pokok. Tak perlu heran saat pemerintah mengekspos Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) Nasional 2005, dari sekitar 265 kabupaten di Indonesia, > 100 di antaranya masuk kategori rawan pangan utama. Wajar jika banyak orang terperangah mendengar terjadi rawan pangan di beberapa kabupaten surplus pangan. Mereka lupa, salah satu indikator daerah rawan pangan adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga dapat memunculkan masalah pada pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal. Berdasar analisis FIA, masalah utama pada tiap kabupaten yang dikategorikan rawan pangan antara lain: 1) aspek ketersediaan pangan, meliputi: konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu; (2) akses terhadap pangan, meliputi: persentase penduduk di bawah garis kemiskinan; (3) aspek kesehatan dan gizi, meliputi: angka harapan hidup bayi saat lahir, berat badan balita di bawah standar, persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5,0 km dari puskesmas; (4) soal sarana, meliputi: persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai seperti ketiadaan akses jalan, listrik, air > bersih; dan (5) masalah pendidikan: perempuan buta huruf. Berbasis pangan lokal Tingkat kerentanan daerah yang miskin pengembangan pangan nonberas berbasis sumber daya lokal, masuk kategori rawan pangan kian tinggi. Juga iklim yang mengakibatkan banjir, kekeringan, dan bencana ekologis menjadi faktor penting terjadinya rawan pangan. Kemiskinan selalu menjadi mesin penghela terjadinya rawan pangan. Masyarakat miskin amat rentan terhadap kelaparan saat terjadi bencana banjir dan kekeringan karena mereka umumnya bermukim di daerah pedesaan yang tanahnya relatif kurang subur. Untuk sumber karbohidrat, masyarakat ini umumnya mengatasi krisis pangan dengan memakan umbi-umbian seperti ubi jalar, ubi kayu, talas dan lainnya, dalam pola konsumsi makanan sehari- harinya. Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia rentan terkena bencana banjir, masyarakat pedesaan perlu diajak mengembangkan potensi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal guna mengurangi ketergantungan > pada bantuan pangan saat terjadi bencana. Salah satu potensi makanan berbasis sumber daya lokal yang patut dikembangkan adalah bebilar (beras ubi jalar). Upaya sosialisasi beras ubi jalar bukan tanpa alasan. Ubi jalar selain sesuai agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, juga mempunyai produktivitas yang tinggi, dengan masa tanam empat bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton per hektar sehingga menguntungkan untuk diusahakan. Alasan lain, mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat makanan, dan antioksidan), serta potensi produk olahannya cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan. Mengingat kerap terjadi bencana di Tanah Air dan produksi beras yang tak bisa diandalkan untuk mengawal ketahanan pangan akibat curah hujan tak menentu, pemerintah patut memetakan kembali potensi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal guna pencapaian diversifikasi konsumsi pangan di masing-masing daerah. Posman Sibuea Dosen di > Unika St Thomas SU; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser) Medan, Sumatera Utara > > > > --------------------------------- > Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. > > [Non-text portions of this message have been removed] >