Re: [Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]]

1999-06-10 Terurut Topik bRidWaN

Wah...diskusi ini kelihatannya agak menjurus kearah
yang lain dari pada inti nya

Saya no comment saja ya...


Salam,
bRidWaN


At 11:49 AM 6/9/99 MST, yuni windarti wrote:
Saya tidak bermaksud melecehkan anda bung, tentu saja aya akui anda pintar
apalagi bisa beraksi didepan komputer. Katanya belajar demokrai, selama saya
hanya menulis apa yang ada dalam benak saya, emosi atau tidak seharusnya anda
menerima.
Apalagi sudah banyak fakta tentang Mega, apa yang saya tulis bukannya sekedar
emosi. Saya punya pengalaman ketika masih di Surabaya, saya menjadi saksi
orang suruhan Mega membawa surat Mega kepada Gubernur Jawa Timur untuk
meminta
proyek. Begitu pula di PLN, ada orang orang Mega yang meminta proyek dengan
alasan untuk kelangsungan partai

yuni

bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote:
hehehehesaya tadinya saya masuk golongan orang bodoh
sendirian, ternyata berdua dengan Mas Efron ya:)

Well...well...bagi saya yang lebih penting adalah
agar Koalisi 3 Partai yang menang mayoritas, dan
anggota KPU mau menandatangani berita acaranya !

Ingat, bahwa Golkar (beserta Partai besar/kecil lainnya)
masih berpotensi meraih suara mayoritas.



Salam,
bRidWaN


At 08:40 AM 6/9/99 +0700, Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia) wrote:
Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca
pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa
ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan
isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah
keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk
di depan komputer sambil menulis ini?

Efron

-Original Message-
From:   Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
Sent:   Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer...
yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih
menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!...
setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah
politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta
akan politik ngga relevant skali.
saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni
ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi...
omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men
support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai
sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja...
heran jaman reformasi begini masih ada org yg
berpikiran spt anda
sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya
golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn
begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn
sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil
pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk
langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput...


--- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mbak Yuni yang sok tahu
 Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam
 kepada Pak Harto menambah
 kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja
 keterlaluan tetapi sangat subyektif,
 sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan
 sekali lagi bahwa anda sangat sok
 tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang
 masih buta politik.

 Budi Haryanto wrote:

  Dear Yuni,
 
  Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan
 suara di Pemilu ini,
  selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya
 dengan lapang dada.
  Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa
 kita secara keseluruhan.
  Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita
 ambil sikap positif.
 
  Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak
 pengikutnya menduduki kabinet
  mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol
 terhadap hal-hal 'negatif'
  seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai
 besar akan menempatkan posisi
  sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat
 banyak sudah cukup
  berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua
 tahun terakhir ini,
  sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
 dilakukan pemerintah baru
  tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.
 
  Bukankan ini justru menjadikan suasana yang
 demokratis dan konstruktif di
  negara kita? Apapun partai yang menang dalam
 pemilu ini, akan memperbaiki
  tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,
 termasuk bidang ekonomi dan
  sosial kemasyarakatan.
 
  Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti
 juga saya meyakininya.
 
  Salam,
  Budi
 
  At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
  Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia,
 setelah membaca berita di bawah
  ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa
 sebagian besar rakyat
  Indonesia masih buta akan politik, mereka belum
 bisa membaca apa yang terjadi
  sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih
 banyak yang berpendidikan rendah
  sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali
 lebih banyak terpengaruh oleh
  nama besar seseorang.
  
  Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai
 kondisi tidak berubah atatu
  memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-09 Terurut Topik bRidWaN

Kalau kita mau maju, seraplah Kritik sebanyak mungkin,
karena dengan kritik-lah kita akan 'improve'.

(hehheee..*sok-tau*...: easy to say, hard to prove it)


Salam,
bRidWaN

At 10:06 AM 6/9/99 +0700, Frarev Sitorus wrote:
Sangat baik tulisan Surabaya Post yang dapat memberi masukan bagi PDI-P
sekarang ini.
Perjuangan PDI-P masih panjang untuk yang akan datang.

jabat erat
FRAREV SITORUS
On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote:
 Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
 ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
 Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang
terjadi
 sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
 sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
 nama besar seseorang.

 Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah
atatu
 memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut
diseret
 kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka
memberikan
 harapan yang palsu.

 Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
 keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi
untuk
 membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
 Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
 mendapat angin.

 Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
 sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha
besar
 Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
 anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
 pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan
dia
 sendiri yang melek..hmitu bisa jadi

 oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
 keterlaluan sih.

 Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya


 Salam hangat Yuni

 On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

 Salam Permias,

 Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
 Selamat menyimak.

 Jabat erat,

 Ahmad Syamil
 Toledo, OH

 *
 Melihat Indonesia di Tangan Mega
 
 
   PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
   "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
   tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
   juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
   karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
   saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
   Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
   yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
   itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
   sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
   performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
   sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
   teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
   salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
   tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
   dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
   dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
   ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
   enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
   makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
   Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
   yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
   pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
   berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
   kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
   Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
   Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
   Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
   Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
   tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
   rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
   banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
   Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
   diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
   bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
   kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
   kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
   ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
   tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
   

Re: [Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]]

1999-06-09 Terurut Topik yuni windarti

Saya tidak bermaksud melecehkan anda bung, tentu saja aya akui anda pintar
apalagi bisa beraksi didepan komputer. Katanya belajar demokrai, selama saya
hanya menulis apa yang ada dalam benak saya, emosi atau tidak seharusnya anda
menerima. 
Apalagi sudah banyak fakta tentang Mega, apa yang saya tulis bukannya sekedar
emosi. Saya punya pengalaman ketika masih di Surabaya, saya menjadi saksi
orang suruhan Mega membawa surat Mega kepada Gubernur Jawa Timur untuk meminta
proyek. Begitu pula di PLN, ada orang orang Mega yang meminta proyek dengan
alasan untuk kelangsungan partai

yuni

bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote:
hehehehesaya tadinya saya masuk golongan orang bodoh
sendirian, ternyata berdua dengan Mas Efron ya:)

Well...well...bagi saya yang lebih penting adalah
agar Koalisi 3 Partai yang menang mayoritas, dan
anggota KPU mau menandatangani berita acaranya !

Ingat, bahwa Golkar (beserta Partai besar/kecil lainnya)
masih berpotensi meraih suara mayoritas.



Salam,
bRidWaN


At 08:40 AM 6/9/99 +0700, Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia) wrote:
Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca
pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa
ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan
isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah
keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk
di depan komputer sambil menulis ini?

Efron

-Original Message-
From:   Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
Sent:   Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer...
yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih
menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!...
setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah
politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta
akan politik ngga relevant skali.
saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni
ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi...
omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men
support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai
sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja...
heran jaman reformasi begini masih ada org yg
berpikiran spt anda
sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya
golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn
begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn
sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil
pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk
langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput...


--- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mbak Yuni yang sok tahu
 Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam
 kepada Pak Harto menambah
 kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja
 keterlaluan tetapi sangat subyektif,
 sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan
 sekali lagi bahwa anda sangat sok
 tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang
 masih buta politik.

 Budi Haryanto wrote:

  Dear Yuni,
 
  Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan
 suara di Pemilu ini,
  selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya
 dengan lapang dada.
  Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa
 kita secara keseluruhan.
  Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita
 ambil sikap positif.
 
  Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak
 pengikutnya menduduki kabinet
  mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol
 terhadap hal-hal 'negatif'
  seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai
 besar akan menempatkan posisi
  sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat
 banyak sudah cukup
  berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua
 tahun terakhir ini,
  sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
 dilakukan pemerintah baru
  tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.
 
  Bukankan ini justru menjadikan suasana yang
 demokratis dan konstruktif di
  negara kita? Apapun partai yang menang dalam
 pemilu ini, akan memperbaiki
  tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,
 termasuk bidang ekonomi dan
  sosial kemasyarakatan.
 
  Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti
 juga saya meyakininya.
 
  Salam,
  Budi
 
  At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
  Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia,
 setelah membaca berita di bawah
  ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa
 sebagian besar rakyat
  Indonesia masih buta akan politik, mereka belum
 bisa membaca apa yang terjadi
  sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih
 banyak yang berpendidikan rendah
  sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali
 lebih banyak terpengaruh oleh
  nama besar seseorang.
  
  Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai
 kondisi tidak berubah atatu
  memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan
 pengikutnya lah yang patut
  diseret
  kepengadilan (kalau ada pengadilan politik
 he..he..) karena mereka memberikan
  harapan yang palsu.
  
  Saya kira kegigihan Mega untuk

Re: brawijaya[Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-09 Terurut Topik yuni windarti

Bung Jaya saya siap deh digantung sama pendukung Mega, demi
demokrasi(ceila...padahal mungkin nanti kenyataannya saya lari terbirit
birit)

Kalau saya jadi digantung , saya titip dua anak anak saya diurusin ya,
he..he..

Yuni


Lab Setup [EMAIL PROTECTED] wrote:
Hehehe rupanya efek katalisatornya bukan nurunin malah naikin.

Semua orang nyang beda pendapat dibilang sok tahu...ya repot mas.
Wah gini mau mbikin iklim oposisi. Rupanya masih lama iklim demokrasi
bakal
terbentuk di Indonesia.

Iya deh... daripade dimusuhin... ane mau cari selamet deh, ngikut arus
sajah...
Nyang laen korupsi, kite korupsi. Nyang laen bilang anti korupsi, kite
juga
tereak anti korupsi. Daripade dibilang ndak selaras dan sejalan, ato sok
tahu..

Hidup Mega Hidup Mega...Hidup MegaHidup Mega...
Gantung setiap pengkritik dan penghujat Mega.
Pengkritik Mega adalah musuh masyarakat yang harus dibasmi sampe anak
cucunya!
Ganyang babi-babi KABIR... Ganyang NEKOLIM
Pengkritik Mega adalah musuh REFORMASI!
Pengkritik Mega adalah kelompok Pro Status Quo. Ganyang PRO STATUS QUO!
Hidup Promeg!
Ganyang Promag! (khusus buat nyang sakit mag).

1. Hidup Panglima Besar Soekarno!
   Hidup Nasakom!
   Persenjatai Buruh dan Tani sebagai Angkatan Kelima!
   Hidup Pemuda, buruh, dan tani!
   Ganyang babi koruptor-koruptor si lintah penghisap darah rakjat!
   Ganyang Dewan Jendral!! Tjukup sudah penderitaan rakjat!
   Njer...genjer
   Sembelih musuh revolusi! Biar rasakan perihnya penderitaan rakjat!
   Rasakan dan lihat darah yang menetes ke bawah! Paksa lihat rakjat
   yang di bawah!

2. Hidup Bapak Pembangunan Suharto!
   Hidup Konglomerat!
   Karyakan ABRI untuk mendayagunakan semua potensi bangsa!
   Habisi hidup mahasiswa, buruh, dan tani! (lho...kok laen?)
   Ganyang KKN, Suharto dan kroni-kroninya!
   Ganyang Dewan Permias@!! Cukup sudah eker-ekeran atas nama rakyat!
   Ganyang rambu anarki...anakku... (eh, malah iwan fals ngikut...).
   Sembelih ayam tetangga! Biar hemat!
   Rasakan dan lihat darah yang menetes ke atas!
   (wah, sulapan namanya.., nglanggar hukum gravitasi euy)

Gantung Mbak Yunieh, jangan ah...anak orang...

Iya deh, pokoke semua dewan mesti digantung! Baik dewan perwakilan,
dewan pertimbangan, dewanto, dewanti sumaryatun, deelel (Jangan lupa
pakean basah juga digantung). Biar mereka merasakan perihnya nasib
rakyat
yang digantung-gantung! Handuk 'kali digantung-gantung

Hehehe. kasihan rakyat dari dulu namanya dicatut melulu...


'-
Blucer Rajagukguk wrote:

 Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya
yang
 sungguh lucu-lucu.
 Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba
ndak tahu.
 Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur.

 Lab Setup wrote:

  Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan
  kemudian,
  biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente
  tulis.
  Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus.
  Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator:
  - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti?
Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak
apa-apa?
  - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib?
  - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah?
  - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta
  politik?
  - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang
  rakyat
adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan
  oleh
mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain
  program
melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba?
  - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan
  belajar
selama dua bulankah?
  - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang
  rakyat
sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta?
Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah
  dapat
disebut rakyat tidak buta lagikah?
  - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat
  dengan
sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis
  mempunyai
opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario
  lho...
 
  Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat
  mengobati
  penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu
  jawabannya.
  Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe
 
  Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung
  Liverpool.
  Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman
  ngingetin aja...
  Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang
  kayak
  gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto
  Bapak
  Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe)
 
  Salam,
  Jaya 

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Arikrisna M Tarigan

Apapun yang kita omongkan di milist ini masyarakatlah yang menentukan.
Kita toh boleh-boleh saja berpendapat lain.Sebab itulah hakekat demokrasi.
Tak sabar rasanya menunggu hasil akhir keinginan rakyat.Ada sebersit
kebanggaan dan harapan rasanya setiap aku memandang ujung jariku yang
masih berwarna ungu.Lepas rasanya, sama seperti sewaktu meneriakkan
dengan
lantang reformasi walaupun bapak-bapak aparat siap sedia dengan
pentungan, perisai dan embel-embel simbol kekerasan lainnya pada saat mbah
belum lengser.Juga bangga sewaktu ikut kampanye di Bandung tanpa melihat
latarbelakang orang-orang disekelilingku. Semuanya menjadi satu dalam
lautan manusia yang meneriakkan satu cita-cita, Indonesia yg
lebih baik.Benar-benar pesta rakyat
yang jauh dari formal, kekakuan dan saling curiga satu sama lain.
Sehingga nantinya aku bisa berteriak bahwa aku turut ikut menentukan
pemerintahan yang baru.  Semoga kecintaan dan kerinduan rakyat akan
kedatangan satria pininggit yang sedikit mulai tersibak gambaran wajahnya
itu benar-benar juga mencintai rakyat dan kita tentunya berbuat yang nyata
untuk mewujudkannya.

Viva Liverpool
Ari Krisna

On Mon, 7 Jun 1999, Dody Ruliawan wrote:

 Saya kok menduga-duga keraguan atas kepemimpinan Megawati itu
 disebabkan mbak Mega ini tidak pernah ngomong tentang apa-apa yang akan
 dilakukan kalau memimpin nanti. Jadi kita sedih juga dan hanya bisa
 menebak-nebak pakai ilmu tokek.membaik... memburuk..membaik
 memburukngga' ada akhirnya.

 Bisa juga sih mbak Mega sekarang lagi merapal ilmu balas dendam (wong
 bapaknya meninggal dengan cara mengenaskan begitu)...dan kroninya baru
 sibuk berebut kursi..

 Yahtinggal tunggu tanggal mainnya dah.
 sambil komat-kamit :
 Semoga tidak disibukkan dengan acara balas dendam,
 Semoga semoga menteri pilihannya bener,
 Semoga ngga' ada menteri yang mengimpor B3 dari Singapura,
 Semoga menteri yang "ngurusin orang miskin" tidak lagi sibuk
 berpolitik
 Semoga ketua DPR/MPR-nya yang "kuat"
 Semoga ketua DPA-nya tidak "meracuni presiden"...
 Semoga Jaksa Agung-nya tidak sibuk menangkapi orang yang memberi
 informasi KKN...
 Semogapresidennya...tidak "malu-malu" pergi ke Amerika untuk bicara
 masalah utang dan Timtim...
 Yahbanyak deh semoganya.pokoknya boleh bebas komat-kamit sampai
 berbusa-busa

 Salam,
 Dody


 --- yuni windarti [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah
  membaca berita di bawah
  ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa
  sebagian besar rakyat
  Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa
  membaca apa yang terjadi
  sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak
  yang berpendidikan rendah
  sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih
  banyak terpengaruh oleh
  nama besar seseorang.
 
  Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai
  kondisi tidak berubah atatu
  memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan
  pengikutnya lah yang patut diseret
  kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..)
  karena mereka memberikan
  harapan yang palsu.
 
  Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden
  tidak berlandaskan
  keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk
  demokrasi, akan tetapi untuk
  membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima
  oleh bapaknya Sukarno.
  Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa
  Indonesia maka Mega
  mendapat angin.
 
  Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat
  melihat sosok apa yang
  sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut
  orang PDIP) saha maha besar
  Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa
  jadinya Mega jika Mega bukan
  anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya
  sekarang ini menjadi
  pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang
  semua rakyatnya buta dan dia
  sendiri yang melek..hmitu bisa jadi
 
  oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan,
  habis anda juga
  keterlaluan sih.
 
  Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak
  ya
 
 
  Salam hangat Yuni
 
  On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:
 
   Salam Permias,
  
   Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
   Selamat menyimak.
  
   Jabat erat,
  
   Ahmad Syamil
   Toledo, OH
  
   *
  
   Melihat Indonesia di Tangan Mega
  
  
PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai
  bertanya begini:
"Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan
  Mega?" Pertanyaan ini
tidak saja muncul dari luar kandang PDI
  Perjuangan (PDI-P), tapi
juga dari para pejuang banteng sendiri.
  Mengapa? Tentu saja
karena Mega adalah kandidat presiden yang
  paling diperhitungkan
saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau
  Gus Dur sekalipun.
Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--,
  lantaran konflik internal
yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh
  banteng bermulut putih
itu disinyalir juga bakal berimbas pada
  keutuhan bangsa ini. Itu

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Blucer Rajagukguk

Mbak Yuni yang sok tahu
Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah
kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif,
sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok
tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik.

Budi Haryanto wrote:

 Dear Yuni,

 Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini,
 selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada.
 Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan.
 Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif.

 Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet
 mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif'
 seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi
 sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup
 berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini,
 sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru
 tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.

 Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di
 negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki
 tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan
 sosial kemasyarakatan.

 Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya.

 Salam,
 Budi

 At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
 Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
 ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
 Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
 sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
 sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
 nama besar seseorang.
 
 Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
 memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut
 diseret
 kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
 harapan yang palsu.
 
 Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
 keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi
 untuk
 membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
 Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
 mendapat angin.
 
 Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
 sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha
 besar
 Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
 anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
 pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia
 sendiri yang melek..hmitu bisa jadi
 
 oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
 keterlaluan sih.
 
 Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya
 
 
 Salam hangat Yuni
 



Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega

1999-06-08 Terurut Topik Blucer Rajagukguk

Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya yang
sungguh lucu-lucu.
Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba ndak tahu.
Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur.

Lab Setup wrote:

 Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan
 kemudian,
 biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente
 tulis.
 Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus.
 Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator:
 - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti?
   Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak
   apa-apa?
 - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib?
 - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah?
 - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta
 politik?
 - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang
 rakyat
   adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan
 oleh
   mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain
 program
   melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba?
 - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan
 belajar
   selama dua bulankah?
 - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang
 rakyat
   sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta?
   Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah
 dapat
   disebut rakyat tidak buta lagikah?
 - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat
 dengan
   sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis
 mempunyai
   opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario
 lho...

 Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat
 mengobati
 penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu
 jawabannya.
 Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe

 Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung
 Liverpool.
 Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman
 ngingetin aja...
 Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang
 kayak
 gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto
 Bapak
 Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe)

 Salam,
 Jaya (serba ndak tahu, bukan 'sok ndak tahu' ataupun 'sok tahu')

 '---
 Blucer Rajagukguk wrote:
 
  Mbak Yuni yang sok tahu
  Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah
  kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif,
  sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok
  tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik.
 
  Budi Haryanto wrote:
 
   Dear Yuni,
  
   Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini,
   selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada.
   Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan.
   Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif.
  
   Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet
   mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif'
   seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi
   sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup
   berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini,
   sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru
   tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.
  
   Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di
   negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki
   tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan
   sosial kemasyarakatan.
  
   Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya.
  
   Salam,
   Budi
  
   At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
   Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
   ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
   Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
   sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
   sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
   nama besar seseorang.
   
   Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
   memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut
   diseret
   kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
   harapan yang palsu.
   
   Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
   keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi
   untuk
   membalas dendam suharto atas 

Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega

1999-06-08 Terurut Topik Lab Setup

Hehehe rupanya efek katalisatornya bukan nurunin malah naikin.

Semua orang nyang beda pendapat dibilang sok tahu...ya repot mas.
Wah gini mau mbikin iklim oposisi. Rupanya masih lama iklim demokrasi
bakal
terbentuk di Indonesia.

Iya deh... daripade dimusuhin... ane mau cari selamet deh, ngikut arus
sajah...
Nyang laen korupsi, kite korupsi. Nyang laen bilang anti korupsi, kite
juga
tereak anti korupsi. Daripade dibilang ndak selaras dan sejalan, ato sok
tahu..

Hidup Mega Hidup Mega...Hidup MegaHidup Mega...
Gantung setiap pengkritik dan penghujat Mega.
Pengkritik Mega adalah musuh masyarakat yang harus dibasmi sampe anak
cucunya!
Ganyang babi-babi KABIR... Ganyang NEKOLIM
Pengkritik Mega adalah musuh REFORMASI!
Pengkritik Mega adalah kelompok Pro Status Quo. Ganyang PRO STATUS QUO!
Hidup Promeg!
Ganyang Promag! (khusus buat nyang sakit mag).

1. Hidup Panglima Besar Soekarno!
   Hidup Nasakom!
   Persenjatai Buruh dan Tani sebagai Angkatan Kelima!
   Hidup Pemuda, buruh, dan tani!
   Ganyang babi koruptor-koruptor si lintah penghisap darah rakjat!
   Ganyang Dewan Jendral!! Tjukup sudah penderitaan rakjat!
   Njer...genjer
   Sembelih musuh revolusi! Biar rasakan perihnya penderitaan rakjat!
   Rasakan dan lihat darah yang menetes ke bawah! Paksa lihat rakjat
   yang di bawah!

2. Hidup Bapak Pembangunan Suharto!
   Hidup Konglomerat!
   Karyakan ABRI untuk mendayagunakan semua potensi bangsa!
   Habisi hidup mahasiswa, buruh, dan tani! (lho...kok laen?)
   Ganyang KKN, Suharto dan kroni-kroninya!
   Ganyang Dewan Permias@!! Cukup sudah eker-ekeran atas nama rakyat!
   Ganyang rambu anarki...anakku... (eh, malah iwan fals ngikut...).
   Sembelih ayam tetangga! Biar hemat!
   Rasakan dan lihat darah yang menetes ke atas!
   (wah, sulapan namanya.., nglanggar hukum gravitasi euy)

Gantung Mbak Yunieh, jangan ah...anak orang...

Iya deh, pokoke semua dewan mesti digantung! Baik dewan perwakilan,
dewan pertimbangan, dewanto, dewanti sumaryatun, deelel (Jangan lupa
pakean basah juga digantung). Biar mereka merasakan perihnya nasib
rakyat
yang digantung-gantung! Handuk 'kali digantung-gantung

Hehehe. kasihan rakyat dari dulu namanya dicatut melulu...


'-
Blucer Rajagukguk wrote:

 Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya yang
 sungguh lucu-lucu.
 Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba ndak tahu.
 Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur.

 Lab Setup wrote:

  Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan
  kemudian,
  biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente
  tulis.
  Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus.
  Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator:
  - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti?
Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak
apa-apa?
  - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib?
  - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah?
  - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta
  politik?
  - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang
  rakyat
adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan
  oleh
mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain
  program
melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba?
  - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan
  belajar
selama dua bulankah?
  - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang
  rakyat
sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta?
Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah
  dapat
disebut rakyat tidak buta lagikah?
  - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat
  dengan
sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis
  mempunyai
opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario
  lho...
 
  Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat
  mengobati
  penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu
  jawabannya.
  Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe
 
  Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung
  Liverpool.
  Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman
  ngingetin aja...
  Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang
  kayak
  gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto
  Bapak
  Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe)
 
  Salam,
  Jaya (serba ndak tahu, bukan 'sok ndak tahu' ataupun 'sok tahu')
 
  '---
  Blucer Rajagukguk wrote:
  
   Mbak Yuni yang sok tahu
   Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah
   kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja 

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Mirza Raditya

wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer...
yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih
menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!...
setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah
politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta
akan politik ngga relevant skali.
saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni
ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi...
omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men
support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai
sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja...
heran jaman reformasi begini masih ada org yg
berpikiran spt anda
sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya
golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn
begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn
sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil
pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk
langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput...


--- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mbak Yuni yang sok tahu
 Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam
 kepada Pak Harto menambah
 kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja
 keterlaluan tetapi sangat subyektif,
 sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan
 sekali lagi bahwa anda sangat sok
 tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang
 masih buta politik.

 Budi Haryanto wrote:

  Dear Yuni,
 
  Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan
 suara di Pemilu ini,
  selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya
 dengan lapang dada.
  Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa
 kita secara keseluruhan.
  Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita
 ambil sikap positif.
 
  Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak
 pengikutnya menduduki kabinet
  mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol
 terhadap hal-hal 'negatif'
  seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai
 besar akan menempatkan posisi
  sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat
 banyak sudah cukup
  berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua
 tahun terakhir ini,
  sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
 dilakukan pemerintah baru
  tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.
 
  Bukankan ini justru menjadikan suasana yang
 demokratis dan konstruktif di
  negara kita? Apapun partai yang menang dalam
 pemilu ini, akan memperbaiki
  tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,
 termasuk bidang ekonomi dan
  sosial kemasyarakatan.
 
  Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti
 juga saya meyakininya.
 
  Salam,
  Budi
 
  At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
  Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia,
 setelah membaca berita di bawah
  ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa
 sebagian besar rakyat
  Indonesia masih buta akan politik, mereka belum
 bisa membaca apa yang terjadi
  sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih
 banyak yang berpendidikan rendah
  sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali
 lebih banyak terpengaruh oleh
  nama besar seseorang.
  
  Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai
 kondisi tidak berubah atatu
  memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan
 pengikutnya lah yang patut
  diseret
  kepengadilan (kalau ada pengadilan politik
 he..he..) karena mereka memberikan
  harapan yang palsu.
  
  Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden
 tidak berlandaskan
  keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk
 demokrasi, akan tetapi
  untuk
  membalas dendam suharto atas perlakuan yang
 diterima oleh bapaknya Sukarno.
  Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap
 bangsa Indonesia maka Mega
  mendapat angin.
  
  Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat
 melihat sosok apa yang
  sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan
 (menurut orang PDIP) saha maha
  besar
  Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa
 jadinya Mega jika Mega bukan
  anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya
 sekarang ini menjadi
  pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang
 semua rakyatnya buta dan dia
  sendiri yang melek..hmitu bisa
 jadi
  
  oppss sorry mbak Mega, kritikku
 keterlaluan, habis anda juga
  keterlaluan sih.
  
  Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak
 ya
  
  
  Salam hangat Yuni
  


_
Do You Yahoo!?
Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com



Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia)

Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca
pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa
ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan
isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah
keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk
di depan komputer sambil menulis ini?

Efron

-Original Message-
From:   Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
Sent:   Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer...
yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih
menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!...
setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah
politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta
akan politik ngga relevant skali.
saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni
ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi...
omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men
support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai
sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja...
heran jaman reformasi begini masih ada org yg
berpikiran spt anda
sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya
golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn
begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn
sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil
pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk
langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput...


--- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mbak Yuni yang sok tahu
 Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam
 kepada Pak Harto menambah
 kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja
 keterlaluan tetapi sangat subyektif,
 sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan
 sekali lagi bahwa anda sangat sok
 tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang
 masih buta politik.

 Budi Haryanto wrote:

  Dear Yuni,
 
  Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan
 suara di Pemilu ini,
  selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya
 dengan lapang dada.
  Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa
 kita secara keseluruhan.
  Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita
 ambil sikap positif.
 
  Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak
 pengikutnya menduduki kabinet
  mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol
 terhadap hal-hal 'negatif'
  seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai
 besar akan menempatkan posisi
  sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat
 banyak sudah cukup
  berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua
 tahun terakhir ini,
  sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
 dilakukan pemerintah baru
  tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan.
 
  Bukankan ini justru menjadikan suasana yang
 demokratis dan konstruktif di
  negara kita? Apapun partai yang menang dalam
 pemilu ini, akan memperbaiki
  tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,
 termasuk bidang ekonomi dan
  sosial kemasyarakatan.
 
  Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti
 juga saya meyakininya.
 
  Salam,
  Budi
 
  At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote:
  Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia,
 setelah membaca berita di bawah
  ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa
 sebagian besar rakyat
  Indonesia masih buta akan politik, mereka belum
 bisa membaca apa yang terjadi
  sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih
 banyak yang berpendidikan rendah
  sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali
 lebih banyak terpengaruh oleh
  nama besar seseorang.
  
  Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai
 kondisi tidak berubah atatu
  memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan
 pengikutnya lah yang patut
  diseret
  kepengadilan (kalau ada pengadilan politik
 he..he..) karena mereka memberikan
  harapan yang palsu.
  
  Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden
 tidak berlandaskan
  keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk
 demokrasi, akan tetapi
  untuk
  membalas dendam suharto atas perlakuan yang
 diterima oleh bapaknya Sukarno.
  Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap
 bangsa Indonesia maka Mega
  mendapat angin.
  
  Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat
 melihat sosok apa yang
  sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan
 (menurut orang PDIP) saha maha
  besar
  Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa
 jadinya Mega jika Mega bukan
  anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya
 sekarang ini menjadi
  pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang
 semua rakyatnya buta dan dia
  sendiri yang melek..hmitu bisa
 jadi
  
  oppss sorry mbak Mega, kritikku
 keterlaluan, habis anda juga
  keterlaluan sih.
  
  Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak
 ya
  
  
  Salam hangat Yuni
  


_
Do You Yahoo!?
Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com



Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Frarev Sitorus

Sangat baik tulisan Surabaya Post yang dapat memberi masukan bagi PDI-P
sekarang ini.
Perjuangan PDI-P masih panjang untuk yang akan datang.

jabat erat
FRAREV SITORUS
On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote:
 Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
 ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
 Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
 sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
 sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
 nama besar seseorang.

 Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
 memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret
 kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
 harapan yang palsu.

 Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
 keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk
 membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
 Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
 mendapat angin.

 Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
 sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar
 Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
 anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
 pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia
 sendiri yang melek..hmitu bisa jadi

 oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
 keterlaluan sih.

 Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya


 Salam hangat Yuni

 On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

 Salam Permias,

 Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
 Selamat menyimak.

 Jabat erat,

 Ahmad Syamil
 Toledo, OH

 *
 Melihat Indonesia di Tangan Mega
 
 
   PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
   "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
   tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
   juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
   karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
   saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
   Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
   yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
   itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
   sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
   performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
   sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
   teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
   salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
   tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
   dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
   dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
   ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
   enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
   makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
   Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
   yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
   pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
   berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
   kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
   Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
   Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
   Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
   Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
   tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
   rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
   banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
   Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
   diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
   bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
   kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
   kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
   ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
   tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
   Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
   partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
   datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
   Kedatangan para mantan 

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-08 Terurut Topik Frarev Sitorus

Saya masih belum mengerti dengan arti dari "Mega bukanlah manajer konflik
yang baik" dari ucapan bapak Eep S.
Mungkin bung Jaya, atau bung Hadeer atau bang Blucer atau bang Irwan, atau
bung BriDwan atau bang Madhan atau mbak Yuni ataupun teman milis dapat
menjelaskannya...
:-)
jabat erat
FRAREV SITORUS
On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote:

 Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
 ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
 Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
 sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
 sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
 nama besar seseorang.

 Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
 memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret
 kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
 harapan yang palsu.

 Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
 keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk
 membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
 Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
 mendapat angin.

 Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
 sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar
 Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
 anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
 pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia
 sendiri yang melek..hmitu bisa jadi

 oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
 keterlaluan sih.

 Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya


 Salam hangat Yuni

 On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

  Salam Permias,
 
  Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
  Selamat menyimak.
 
  Jabat erat,
 
  Ahmad Syamil
  Toledo, OH
 
  *
 
  Melihat Indonesia di Tangan Mega
 
 
   PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
   "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
   tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
   juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
   karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
   saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
   Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
   yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
   itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
   sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
   performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
   sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
   teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
   salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
   tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
   dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
   dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
   ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
   enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
   makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
   Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
   yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
   pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
   berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
   kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
   Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
   Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
   Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
   Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
   tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
   rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
   banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
   Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
   diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
   bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
   kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
   kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
   ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
   tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
   Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
   partai 

Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega

1999-06-07 Terurut Topik Frarev Sitorus

PEACE
"Mari Kita Perjuangkan Masa Depan INDONESIA"
salam
FRAREV SITORUS

On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

 Salam Permias,

 Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
 Selamat menyimak.

 Jabat erat,

 Ahmad Syamil
 Toledo, OH

 *

 Melihat Indonesia di Tangan Mega


  PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
  "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
  tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
  juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
  karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
  saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
  Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
  yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
  itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
  sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
  performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
  sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
  teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
  salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
  tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
  dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
  dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
  ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
  enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
  makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
  Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
  yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
  pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
  berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
  kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
  Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
  Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
  Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
  Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
  tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
  rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
  banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
  Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
  diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
  bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
  kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
  kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
  ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
  tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
  Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
  partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
  datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
  Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat
  kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang
  dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala,
  Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses
  mempengaruhi Mega, sampai-sampai geng Taufik sendiri nyap-nyap.
  Kubu-kubu itu saling berebut pengaruh ke Mega. Dan repotnya,
  seperti diungkapkan pakar politik dari UI, Eep Syaefulloh Fatah,
  Mega bukanlah manajer konflik yang baik. Maka, jadilah Mega
  terpencil kesepian di tengah pusaran konflik para pengikutnya.
  "Akibatnya ya itu, Mbak Mega jadi menjaga jarak dengan semua
  pihak. Sekarang ini, yang diajak omong Ibu Mega cuma Kwik Kian
  Gie, karena dia dinilai paling netral dan jernih. Nggak punya
  ambisi apa pun, kepingin jadi menteri saja tidak, apalagi cuma
  caleg," kata kader PDI-P yang tak mau disebut namanya. Ini
  diperparah oleh gaya masing-masing kubu yang di mana-mana
  mengklaim paling dekat dengan Mega. "Mereka memagari Ibu Mega
  sedemikian ketat, sehingga kami-kami ini nggak bisa lagi leluasa
  bertemu beliau," ujar kader itu lagi. Pertarungan Intern Yang
  jadi persoalan, menjelang proses pemilu --terutama masa
  penyusunan caleg-- pertempuran itu menjadi kian sengit dan
  cenderung susah dikontrol. Masing-masing kubu, melalui kaki
  tangannya di daerah-daerah, saling melakukan gerilya dalam
  penentuan caleg. Tak heran kalau kemudian meruyak banyak protes
  dari daerah. Sebabnya macam-macam, tapi menjurus ke satu arah:
  distribusi kue kekuasaan yang tak merata dan cenderung
  meninggalkan kader-kader lama yang telah berjuang sekian tahun di
  sisi Mega. Dalam penyusunan caleg misalnya. 

Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]

1999-06-07 Terurut Topik yuni windarti

Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
nama besar seseorang. 

Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret
kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
harapan yang palsu.

Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk
membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
mendapat angin. 

Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar
Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia
sendiri yang melek..hmitu bisa jadi

oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
keterlaluan sih.

Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya


Salam hangat Yuni 

On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

 Salam Permias,

 Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
 Selamat menyimak.

 Jabat erat,

 Ahmad Syamil
 Toledo, OH

 *

 Melihat Indonesia di Tangan Mega


  PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
  "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
  tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
  juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
  karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
  saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
  Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
  yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
  itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
  sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
  performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
  sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
  teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
  salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
  tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
  dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
  dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
  ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
  enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
  makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
  Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
  yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
  pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
  berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
  kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
  Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
  Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
  Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
  Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
  tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
  rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
  banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
  Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
  diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
  bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
  kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
  kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
  ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
  tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
  Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
  partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
  datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
  Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat
  kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang
  dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala,
  Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses
  mempengaruhi Mega, sampai-sampai