Re: [Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]]
Wah...diskusi ini kelihatannya agak menjurus kearah yang lain dari pada inti nya Saya no comment saja ya... Salam, bRidWaN At 11:49 AM 6/9/99 MST, yuni windarti wrote: Saya tidak bermaksud melecehkan anda bung, tentu saja aya akui anda pintar apalagi bisa beraksi didepan komputer. Katanya belajar demokrai, selama saya hanya menulis apa yang ada dalam benak saya, emosi atau tidak seharusnya anda menerima. Apalagi sudah banyak fakta tentang Mega, apa yang saya tulis bukannya sekedar emosi. Saya punya pengalaman ketika masih di Surabaya, saya menjadi saksi orang suruhan Mega membawa surat Mega kepada Gubernur Jawa Timur untuk meminta proyek. Begitu pula di PLN, ada orang orang Mega yang meminta proyek dengan alasan untuk kelangsungan partai yuni bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote: hehehehesaya tadinya saya masuk golongan orang bodoh sendirian, ternyata berdua dengan Mas Efron ya:) Well...well...bagi saya yang lebih penting adalah agar Koalisi 3 Partai yang menang mayoritas, dan anggota KPU mau menandatangani berita acaranya ! Ingat, bahwa Golkar (beserta Partai besar/kecil lainnya) masih berpotensi meraih suara mayoritas. Salam, bRidWaN At 08:40 AM 6/9/99 +0700, Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia) wrote: Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk di depan komputer sambil menulis ini? Efron -Original Message- From: Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]] Sent: Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega] wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer... yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!... setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta akan politik ngga relevant skali. saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi... omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja... heran jaman reformasi begini masih ada org yg berpikiran spt anda sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput... --- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Kalau kita mau maju, seraplah Kritik sebanyak mungkin, karena dengan kritik-lah kita akan 'improve'. (hehheee..*sok-tau*...: easy to say, hard to prove it) Salam, bRidWaN At 10:06 AM 6/9/99 +0700, Frarev Sitorus wrote: Sangat baik tulisan Surabaya Post yang dapat memberi masukan bagi PDI-P sekarang ini. Perjuangan PDI-P masih panjang untuk yang akan datang. jabat erat FRAREV SITORUS On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah, tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya, makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh. Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya, yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya. Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya? Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal. Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
Re: [Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]]
Saya tidak bermaksud melecehkan anda bung, tentu saja aya akui anda pintar apalagi bisa beraksi didepan komputer. Katanya belajar demokrai, selama saya hanya menulis apa yang ada dalam benak saya, emosi atau tidak seharusnya anda menerima. Apalagi sudah banyak fakta tentang Mega, apa yang saya tulis bukannya sekedar emosi. Saya punya pengalaman ketika masih di Surabaya, saya menjadi saksi orang suruhan Mega membawa surat Mega kepada Gubernur Jawa Timur untuk meminta proyek. Begitu pula di PLN, ada orang orang Mega yang meminta proyek dengan alasan untuk kelangsungan partai yuni bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote: hehehehesaya tadinya saya masuk golongan orang bodoh sendirian, ternyata berdua dengan Mas Efron ya:) Well...well...bagi saya yang lebih penting adalah agar Koalisi 3 Partai yang menang mayoritas, dan anggota KPU mau menandatangani berita acaranya ! Ingat, bahwa Golkar (beserta Partai besar/kecil lainnya) masih berpotensi meraih suara mayoritas. Salam, bRidWaN At 08:40 AM 6/9/99 +0700, Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia) wrote: Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk di depan komputer sambil menulis ini? Efron -Original Message- From: Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]] Sent: Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega] wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer... yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!... setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta akan politik ngga relevant skali. saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi... omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja... heran jaman reformasi begini masih ada org yg berpikiran spt anda sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput... --- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk
Re: brawijaya[Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Bung Jaya saya siap deh digantung sama pendukung Mega, demi demokrasi(ceila...padahal mungkin nanti kenyataannya saya lari terbirit birit) Kalau saya jadi digantung , saya titip dua anak anak saya diurusin ya, he..he.. Yuni Lab Setup [EMAIL PROTECTED] wrote: Hehehe rupanya efek katalisatornya bukan nurunin malah naikin. Semua orang nyang beda pendapat dibilang sok tahu...ya repot mas. Wah gini mau mbikin iklim oposisi. Rupanya masih lama iklim demokrasi bakal terbentuk di Indonesia. Iya deh... daripade dimusuhin... ane mau cari selamet deh, ngikut arus sajah... Nyang laen korupsi, kite korupsi. Nyang laen bilang anti korupsi, kite juga tereak anti korupsi. Daripade dibilang ndak selaras dan sejalan, ato sok tahu.. Hidup Mega Hidup Mega...Hidup MegaHidup Mega... Gantung setiap pengkritik dan penghujat Mega. Pengkritik Mega adalah musuh masyarakat yang harus dibasmi sampe anak cucunya! Ganyang babi-babi KABIR... Ganyang NEKOLIM Pengkritik Mega adalah musuh REFORMASI! Pengkritik Mega adalah kelompok Pro Status Quo. Ganyang PRO STATUS QUO! Hidup Promeg! Ganyang Promag! (khusus buat nyang sakit mag). 1. Hidup Panglima Besar Soekarno! Hidup Nasakom! Persenjatai Buruh dan Tani sebagai Angkatan Kelima! Hidup Pemuda, buruh, dan tani! Ganyang babi koruptor-koruptor si lintah penghisap darah rakjat! Ganyang Dewan Jendral!! Tjukup sudah penderitaan rakjat! Njer...genjer Sembelih musuh revolusi! Biar rasakan perihnya penderitaan rakjat! Rasakan dan lihat darah yang menetes ke bawah! Paksa lihat rakjat yang di bawah! 2. Hidup Bapak Pembangunan Suharto! Hidup Konglomerat! Karyakan ABRI untuk mendayagunakan semua potensi bangsa! Habisi hidup mahasiswa, buruh, dan tani! (lho...kok laen?) Ganyang KKN, Suharto dan kroni-kroninya! Ganyang Dewan Permias@!! Cukup sudah eker-ekeran atas nama rakyat! Ganyang rambu anarki...anakku... (eh, malah iwan fals ngikut...). Sembelih ayam tetangga! Biar hemat! Rasakan dan lihat darah yang menetes ke atas! (wah, sulapan namanya.., nglanggar hukum gravitasi euy) Gantung Mbak Yunieh, jangan ah...anak orang... Iya deh, pokoke semua dewan mesti digantung! Baik dewan perwakilan, dewan pertimbangan, dewanto, dewanti sumaryatun, deelel (Jangan lupa pakean basah juga digantung). Biar mereka merasakan perihnya nasib rakyat yang digantung-gantung! Handuk 'kali digantung-gantung Hehehe. kasihan rakyat dari dulu namanya dicatut melulu... '- Blucer Rajagukguk wrote: Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya yang sungguh lucu-lucu. Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba ndak tahu. Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur. Lab Setup wrote: Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan kemudian, biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente tulis. Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus. Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator: - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti? Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak apa-apa? - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib? - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah? - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta politik? - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang rakyat adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan oleh mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain program melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba? - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan belajar selama dua bulankah? - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang rakyat sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta? Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah dapat disebut rakyat tidak buta lagikah? - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat dengan sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis mempunyai opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario lho... Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat mengobati penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu jawabannya. Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung Liverpool. Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman ngingetin aja... Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang kayak gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto Bapak Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe) Salam, Jaya
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Apapun yang kita omongkan di milist ini masyarakatlah yang menentukan. Kita toh boleh-boleh saja berpendapat lain.Sebab itulah hakekat demokrasi. Tak sabar rasanya menunggu hasil akhir keinginan rakyat.Ada sebersit kebanggaan dan harapan rasanya setiap aku memandang ujung jariku yang masih berwarna ungu.Lepas rasanya, sama seperti sewaktu meneriakkan dengan lantang reformasi walaupun bapak-bapak aparat siap sedia dengan pentungan, perisai dan embel-embel simbol kekerasan lainnya pada saat mbah belum lengser.Juga bangga sewaktu ikut kampanye di Bandung tanpa melihat latarbelakang orang-orang disekelilingku. Semuanya menjadi satu dalam lautan manusia yang meneriakkan satu cita-cita, Indonesia yg lebih baik.Benar-benar pesta rakyat yang jauh dari formal, kekakuan dan saling curiga satu sama lain. Sehingga nantinya aku bisa berteriak bahwa aku turut ikut menentukan pemerintahan yang baru. Semoga kecintaan dan kerinduan rakyat akan kedatangan satria pininggit yang sedikit mulai tersibak gambaran wajahnya itu benar-benar juga mencintai rakyat dan kita tentunya berbuat yang nyata untuk mewujudkannya. Viva Liverpool Ari Krisna On Mon, 7 Jun 1999, Dody Ruliawan wrote: Saya kok menduga-duga keraguan atas kepemimpinan Megawati itu disebabkan mbak Mega ini tidak pernah ngomong tentang apa-apa yang akan dilakukan kalau memimpin nanti. Jadi kita sedih juga dan hanya bisa menebak-nebak pakai ilmu tokek.membaik... memburuk..membaik memburukngga' ada akhirnya. Bisa juga sih mbak Mega sekarang lagi merapal ilmu balas dendam (wong bapaknya meninggal dengan cara mengenaskan begitu)...dan kroninya baru sibuk berebut kursi.. Yahtinggal tunggu tanggal mainnya dah. sambil komat-kamit : Semoga tidak disibukkan dengan acara balas dendam, Semoga semoga menteri pilihannya bener, Semoga ngga' ada menteri yang mengimpor B3 dari Singapura, Semoga menteri yang "ngurusin orang miskin" tidak lagi sibuk berpolitik Semoga ketua DPR/MPR-nya yang "kuat" Semoga ketua DPA-nya tidak "meracuni presiden"... Semoga Jaksa Agung-nya tidak sibuk menangkapi orang yang memberi informasi KKN... Semogapresidennya...tidak "malu-malu" pergi ke Amerika untuk bicara masalah utang dan Timtim... Yahbanyak deh semoganya.pokoknya boleh bebas komat-kamit sampai berbusa-busa Salam, Dody --- yuni windarti [EMAIL PROTECTED] wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni
Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega
Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya yang sungguh lucu-lucu. Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba ndak tahu. Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur. Lab Setup wrote: Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan kemudian, biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente tulis. Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus. Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator: - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti? Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak apa-apa? - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib? - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah? - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta politik? - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang rakyat adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan oleh mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain program melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba? - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan belajar selama dua bulankah? - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang rakyat sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta? Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah dapat disebut rakyat tidak buta lagikah? - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat dengan sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis mempunyai opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario lho... Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat mengobati penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu jawabannya. Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung Liverpool. Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman ngingetin aja... Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang kayak gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto Bapak Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe) Salam, Jaya (serba ndak tahu, bukan 'sok ndak tahu' ataupun 'sok tahu') '--- Blucer Rajagukguk wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas
Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega
Hehehe rupanya efek katalisatornya bukan nurunin malah naikin. Semua orang nyang beda pendapat dibilang sok tahu...ya repot mas. Wah gini mau mbikin iklim oposisi. Rupanya masih lama iklim demokrasi bakal terbentuk di Indonesia. Iya deh... daripade dimusuhin... ane mau cari selamet deh, ngikut arus sajah... Nyang laen korupsi, kite korupsi. Nyang laen bilang anti korupsi, kite juga tereak anti korupsi. Daripade dibilang ndak selaras dan sejalan, ato sok tahu.. Hidup Mega Hidup Mega...Hidup MegaHidup Mega... Gantung setiap pengkritik dan penghujat Mega. Pengkritik Mega adalah musuh masyarakat yang harus dibasmi sampe anak cucunya! Ganyang babi-babi KABIR... Ganyang NEKOLIM Pengkritik Mega adalah musuh REFORMASI! Pengkritik Mega adalah kelompok Pro Status Quo. Ganyang PRO STATUS QUO! Hidup Promeg! Ganyang Promag! (khusus buat nyang sakit mag). 1. Hidup Panglima Besar Soekarno! Hidup Nasakom! Persenjatai Buruh dan Tani sebagai Angkatan Kelima! Hidup Pemuda, buruh, dan tani! Ganyang babi koruptor-koruptor si lintah penghisap darah rakjat! Ganyang Dewan Jendral!! Tjukup sudah penderitaan rakjat! Njer...genjer Sembelih musuh revolusi! Biar rasakan perihnya penderitaan rakjat! Rasakan dan lihat darah yang menetes ke bawah! Paksa lihat rakjat yang di bawah! 2. Hidup Bapak Pembangunan Suharto! Hidup Konglomerat! Karyakan ABRI untuk mendayagunakan semua potensi bangsa! Habisi hidup mahasiswa, buruh, dan tani! (lho...kok laen?) Ganyang KKN, Suharto dan kroni-kroninya! Ganyang Dewan Permias@!! Cukup sudah eker-ekeran atas nama rakyat! Ganyang rambu anarki...anakku... (eh, malah iwan fals ngikut...). Sembelih ayam tetangga! Biar hemat! Rasakan dan lihat darah yang menetes ke atas! (wah, sulapan namanya.., nglanggar hukum gravitasi euy) Gantung Mbak Yunieh, jangan ah...anak orang... Iya deh, pokoke semua dewan mesti digantung! Baik dewan perwakilan, dewan pertimbangan, dewanto, dewanti sumaryatun, deelel (Jangan lupa pakean basah juga digantung). Biar mereka merasakan perihnya nasib rakyat yang digantung-gantung! Handuk 'kali digantung-gantung Hehehe. kasihan rakyat dari dulu namanya dicatut melulu... '- Blucer Rajagukguk wrote: Gimana kalau ente yang simpen baek-baek, seperti email-email ente sebelumnya yang sungguh lucu-lucu. Sungguh lucu jika banyak orang sok tahu menyebut dirinya orang yang serba ndak tahu. Sekolah yang baek, biar cepat selesai. Sayang duit negara diambur-ambur. Lab Setup wrote: Hehe...coba kalo email ente ini disimpen lalu dibaca lagi sebulan kemudian, biar emosinya turun dulu, maka ente akan geli sendiri dengan nyang ente tulis. Temtunya folder 'Sent' jangan cepet-cepet dihapus. Biar cepet nuruninnya, ente kasih katalisator: - kenapa kok dibilang keterlaluan? Apakah karena tidak ada bukti? Lalu kenapa kalo menghujat tokoh non-reformis (pro status-quo) tidak apa-apa? - Bukankah tokoh yg selalu minta bukti adalah Ghalib? - Dasarnya yg sama itu dasar yang mana? Sama-sama subjektifkah? - Apakah anda sudah demikian yakin bahwa rakyat sudah tidak buta politik? - Baru beberapa bulan yg lalu anda juga ikut sependapat bahwa memang rakyat adalah tidak berdosa, mudah dibohongi, dll, sehingga perlu digerakkan oleh mahasiswa tho? Pan katanya perlu ada program melek politik selain program melek hukum? Kok berubah dengan tiba-tiba? - Sejak kapan rakyat Indonesia demikian paham dengan politik? Dengan belajar selama dua bulankah? - Apakah hanya karena PDI-P untuk sementara menang lalu sudah dibilang rakyat sudah melek politik? Atau karena peserta pemilu mencapai 114 juta? Bagaimana kalo sampai akhir perhitungan ternyata PDI-P kalah? Apakah dapat disebut rakyat tidak buta lagikah? - Standar apa biar tidak disebut sok tahu? Standarnya adalah sependapat dengan sebagian besar suara di milis inikah? Bila tiba-tiba peserta milis mempunyai opini senada dengan Mbak Yuni, apakah semuanya sok tahu? Ini skenario lho... Hehehe mungkin dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat mengobati penyakit cap 'sok tahu'. Ini ane mbikin pertanyaan karena ane ndak tahu jawabannya. Jadinya jelas bukan 'sok tahu'hehehe Mangkane tho mas, ndukung parte ya ndukung aja. Ndak perlu kayak ndukung Liverpool. Lain soal kalo posisinya adalah pungsionaris parte. Ini ane cuman ngingetin aja... Diterima dg baik ya sukur, ndak diterima juga ndak apa-apa. Soale nyang kayak gini ini adalah bibit-bibit 'Mati-Urip Nderek Sukarno' dan 'Suharto Bapak Pembangunan'. Cuman ganti kulit aja (ular 'kali hehehe) Salam, Jaya (serba ndak tahu, bukan 'sok ndak tahu' ataupun 'sok tahu') '--- Blucer Rajagukguk wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer... yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!... setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta akan politik ngga relevant skali. saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi... omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja... heran jaman reformasi begini masih ada org yg berpikiran spt anda sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput... --- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni _ Do You Yahoo!? Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Iyaaapp...emang begitu. Mestinya orang-orang yang ngaku pinter itu berkaca pada para pendukung PDIP. Mereka (pendukung PDIP) satu langkah lebih dewasa ketimbang orang yang ngaku pintar. Buktinya mereka nggak terpengaruh dengan isu agama pada PDIP. Kalo dibilang pendukung PDIP itu bodoh.sangatlah keliru. Contoh nyata adalah saya. Kalo saya bodoh...apa iya bisa saya duduk di depan komputer sambil menulis ini? Efron -Original Message- From: Mirza Raditya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]] Sent: Wednesday, 09 June, 1999 8:33 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject:Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega] wuah sptnya saya juga setuju dgn pendpt bung blucer... yg saya tdk setuju emangnya kalo yg memilih menjadi pendukung PDI-P itu buta politik?!... setau saya didlm PDI-P banyak org2 pintar dlm kancah politikkenapa jadi bil rakyat indonesia masih buta akan politik ngga relevant skali. saya liat ... dr pertama saya liat, tulisan mbak yuni ttg mega ini hanya mengutamakan perasaan emosi... omongan anda tdk ditunjang dgn bukti2 kuat yg bisa men support omongan2 tsb. dimana-mana..kalo menilai sesuatu itu hrs dgn rasio donk...jgn emosi aja... heran jaman reformasi begini masih ada org yg berpikiran spt anda sdh begitu ngaku pendukung golput lagi... setau saya golput itu kan ngga memihak kemana pun... dan dgn begitu..hrsnya...tdk mengatai pilihan org lain...dgn sikap anda yg slalu mengatai dan menhujat mega dan bil pendukung mega itu di jalan yg salah (secara tdk langsung)...wuah..anda lbh baik jgn mengaku golput... --- Blucer Rajagukguk [EMAIL PROTECTED] wrote: Mbak Yuni yang sok tahu Ucapan anda yang menuduh bahwa Mega hanya dendam kepada Pak Harto menambah kesok-tahuan anda. Kritik anda bukan saja keterlaluan tetapi sangat subyektif, sehingga dengan dasar yang sama, saya sebutkan sekali lagi bahwa anda sangat sok tahu dengan menyatakan bahwa banyak rakyat yang masih buta politik. Budi Haryanto wrote: Dear Yuni, Kalaupun memang benar nanti PDI-P yang memenangkan suara di Pemilu ini, selayaknyalah kita bersyukur dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Betapapun, ini adalah gambaran dan pilihan bangsa kita secara keseluruhan. Suka atau tidak suka, barangkali lebih baik kita ambil sikap positif. Kalaupun nanti Mega jadi presiden dan banyak pengikutnya menduduki kabinet mendatang kita toh masih bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal 'negatif' seperti yang anda perkirakan. Beberapa partai besar akan menempatkan posisi sebagai 'oposan' dan kita-kita serta masyarakat banyak sudah cukup berpengalaman dalam berpolitik terutama dalam dua tahun terakhir ini, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan pemerintah baru tsb nantinya bisa dikontrol dan diingatkan. Bukankan ini justru menjadikan suasana yang demokratis dan konstruktif di negara kita? Apapun partai yang menang dalam pemilu ini, akan memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Yakinlah bahwa kita telah melangkah maju, seperti juga saya meyakininya. Salam, Budi At 10:52 PM 6/7/99 -0700, you wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni _ Do You Yahoo!? Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Sangat baik tulisan Surabaya Post yang dapat memberi masukan bagi PDI-P sekarang ini. Perjuangan PDI-P masih panjang untuk yang akan datang. jabat erat FRAREV SITORUS On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah, tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya, makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh. Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya, yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya. Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya? Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal. Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi. Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai, datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar. Kedatangan para mantan
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Saya masih belum mengerti dengan arti dari "Mega bukanlah manajer konflik yang baik" dari ucapan bapak Eep S. Mungkin bung Jaya, atau bung Hadeer atau bang Blucer atau bang Irwan, atau bung BriDwan atau bang Madhan atau mbak Yuni ataupun teman milis dapat menjelaskannya... :-) jabat erat FRAREV SITORUS On Mon, 7 Jun 1999, yuni windarti wrote: Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah, tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya, makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh. Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya, yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya. Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya? Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal. Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi. Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai partai
Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega
PEACE "Mari Kita Perjuangkan Masa Depan INDONESIA" salam FRAREV SITORUS On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah, tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya, makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh. Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya, yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya. Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya? Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal. Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi. Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai, datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar. Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala, Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses mempengaruhi Mega, sampai-sampai geng Taufik sendiri nyap-nyap. Kubu-kubu itu saling berebut pengaruh ke Mega. Dan repotnya, seperti diungkapkan pakar politik dari UI, Eep Syaefulloh Fatah, Mega bukanlah manajer konflik yang baik. Maka, jadilah Mega terpencil kesepian di tengah pusaran konflik para pengikutnya. "Akibatnya ya itu, Mbak Mega jadi menjaga jarak dengan semua pihak. Sekarang ini, yang diajak omong Ibu Mega cuma Kwik Kian Gie, karena dia dinilai paling netral dan jernih. Nggak punya ambisi apa pun, kepingin jadi menteri saja tidak, apalagi cuma caleg," kata kader PDI-P yang tak mau disebut namanya. Ini diperparah oleh gaya masing-masing kubu yang di mana-mana mengklaim paling dekat dengan Mega. "Mereka memagari Ibu Mega sedemikian ketat, sehingga kami-kami ini nggak bisa lagi leluasa bertemu beliau," ujar kader itu lagi. Pertarungan Intern Yang jadi persoalan, menjelang proses pemilu --terutama masa penyusunan caleg-- pertempuran itu menjadi kian sengit dan cenderung susah dikontrol. Masing-masing kubu, melalui kaki tangannya di daerah-daerah, saling melakukan gerilya dalam penentuan caleg. Tak heran kalau kemudian meruyak banyak protes dari daerah. Sebabnya macam-macam, tapi menjurus ke satu arah: distribusi kue kekuasaan yang tak merata dan cenderung meninggalkan kader-kader lama yang telah berjuang sekian tahun di sisi Mega. Dalam penyusunan caleg misalnya.
Re: [Re: Melihat Indonesia di Tangan Mega]
Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh nama besar seseorang. Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan harapan yang palsu. Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno. Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega mendapat angin. Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan anak Sukarno, mungkinkah dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia sendiri yang melek..hmitu bisa jadi oppss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga keterlaluan sih. Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya Salam hangat Yuni On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote: Salam Permias, Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos. Selamat menyimak. Jabat erat, Ahmad Syamil Toledo, OH * Melihat Indonesia di Tangan Mega PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini: "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun. Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah, tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya, makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh. Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya, yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya. Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya? Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal. Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi. Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai, datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar. Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala, Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses mempengaruhi Mega, sampai-sampai