Re: [zamanku] Ulang tahun ke 81
Selamat Ulang Tahun yang ke-81 Pak Umar. Sehat selalu. Terus berkarya. Salam Victor Silaen --- On Thu, 10/29/09, Umar Said kon...@club-internet.fr wrote: From: Umar Said kon...@club-internet.fr Subject: [zamanku] Ulang tahun ke 81 To: Zamanku zamanku@yahoogroups.com Date: Thursday, October 29, 2009, 10:19 AM Ulang tahun ke 81 Berkaitan dengan hari ulang tahun saya ke-81 yang jatuh pada tanggal 26 Oktober 2009, telah saya terima ucapan selamat dari berbagai teman, sahabat, serta kenalan-kenalan Internet atau pembaca website (http://umarsaid. free.fr) . Ucapan-ucapan selamat tersebut, yang semuanya berisi harapan-harapan terbaik telah dituangkan dalam berbagai bentuk dan cara serta dalam bermacam-macam nada yang penuh kehangatan serta persahabatan. Berbagai macam ungkapan yang demikian ini telah diterima dari Perancis, Holland, Jerman, Czech, Aljazair, Indonesia, Tiongkok, Hongkong/Macao, Australia, New Zealand. Atas semuanya ini saya menyatakan terimakasih sebesar-besarnya, dan mengharapkan juga segalanya yang terbaik bagi semua teman dan sahabat yang telah mengirimkan ucapan selamat ulang tahun. Paris, 29 Oktober 2009 A. Umar Said __ Information from ESET NOD32 Antivirus, version of virus signature database 4553 (20091028) __ The message was checked by ESET NOD32 Antivirus. http://www.eset. com __ Information from ESET NOD32 Antivirus, version of virus signature database 4554 (20091029) __ The message was checked by ESET NOD32 Antivirus. http://www.eset. com
[zamanku] 151 Perda Bias Agama
Dimuat pada Harian Sinar Harapan, 13 Juli 2009 151 Perda Bias Agama Oleh Victor Silaen Para uskup se-Indonesia telah menulis surat tertanggal 30 Mei 2009, yang isinya antara lain meminta dengan tegas agar presiden dan wakil presiden terpilih nanti membatalkan 151 peraturan daerah (perda) yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. “Peraturan-peraturan ini bagaikan puncak karang yang secara kasat mata menghadang bahtera bangsa kita. Untuk menjaga keutuhan NKRI, kami menganjurkan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk membatalkan 151 Perda ini serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan konstitusi,” kata Mgr Sutrisno Atmoko yang juga Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kepada pasangan capres-cawapres JK-Wiranto yang bertandang ke Kantor Waligereja Indonesia, 9 Juni lalu. Mengejutkankah seruan moral para uskup itu? Rasanya tidak. Boleh jadi karena aspirasi senada sudah berulangkali disampaikan oleh pelbagai komponen bangsa yang merasa prihatin melihat kian maraknya perda bias agama di sejumlah daerah, termasuk di ibukota Jakarta (melalui Perda ”Tibum” No. 8 Tahun 2007, yang antara lain mengatur untuk tidak boleh menjual makanan ”haram”). Karena sudah berulangkali, maka tak heran jika perda yang diserukan untuk dibatalkan itu kini telah berjumlah 151. Disebut bias agama, karena perda-perda tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang tak sedikit pun menyebut agama tertentu di dalamnya. Tetapi, mengapa seolah seruan-seruan itu tak diresponi secara proporsional? Antara lain jawabannya adalah, karena perda-perda tersebut dinilai tidak diskriminatif. Bahkan menurut calon presiden dari Partai Golkar dan Partai Hanura, Jusuf Kalla, perda-perda tersebut hanya sebagai aturan yang bernilai anjuran. “Jadi, tidak ada sanksi hukum dalam perda syariah,” ujar Kalla yang juga Wakil Presiden RI dalam dialog tentang hukum dengan Indonesian Legal Roundtable di Hotel Four Seasons, Jakarta, 8 Juni lalu. Ucapan Kalla tersebut merupakan respon terhadap pertanyaan salah satu panelis, Todung Mulya Lubis, yang menganggap perda-perda syariah bersifat diskriminatif. “Karena mengikat semua, tidak hanya Muslim,” kata Todung. Sungguh memprihatinkan. Bagaimana mungkin seorang politikus kawakan sekaligus pemimpin bangsa dapat mengatakan hal yang keliru tentang sebuah peraturan publik? Tidakkah dia paham bahwa sebuah peraturan publik memiliki kekuatan mengikat yang sah, yang karenanya diikuti dengan sanksi hukum bagi siapa pun yang melanggarnya – tanpa hiraukan agamanya apa? Pasca-Soeharto, agenda-agenda reformasi telah dan terus bergulir deras. Namun ironisnya, hingga kini Indonesia masih “gamang” dalam memosisikan dirinya sebagai negara hukum atau negara agama. Ataukah memang Indonesia secara sadar membiarkan dirinya terus-menerus menjadi bukan negara hukum sepenuhnya dan bukan negara agama sepenuhnya? Sebab, kalau negara hukum sepenuhnya, mengapa banyak peraturan di tingkat lokal (perda) maupun nasional (undang-undang/UU) yang bias agama tertentu? Sebaliknya, jika dikategorikan sebagai negara agama, Indonesia jelas tak cocok. Sebab di negara ini, para pemimpin di tingkat lokal maupun nasional tidak dibatasi harus beragama ini atau itu. Sejak awal, Indonesia telah didesain menjadi negara hukum dan bukan negara agama. Secara faktual pun tak dapat diingkari bahwa agama-agama di Indonesia sejak dulu memang beraneka ragam. Berdasarkan itulah maka merancang-bangun negara ini di atas pilar-pilar yang bukan-agama merupakan pilihan rasional yang baik dan tepat. Sebab, seandainya agama tertentu dipilih untuk dijadikan pilar negara, pertanyaannya adalah: agama yang mana? Bukankah secara sosiologis tak ada agama yang benar-benar satu (monolitik)? Sementara agama yang secara nasional dikategorikan mayoritas secara statistik, faktanya di sejumlah daerah ia justru merupakan minoritas. Jadi jelaslah bahwa Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan terserak dari Sabang sampai Merauke ini sungguh tak cocok untuk dijadikan negara agama. Inilah yang mestinya disadari betul oleh segenap komponen bangsa. Artinya ke depan jangan sampai ada orang-orang (apalagi mereka yang diposisikan sebagai pemimpin maupun tokoh masyarakat) yang merasa dirinya dan kelompoknya sebagai mayoritas berdasarkan agama yang dianut, dan sebaliknya memandang orang-orang lain sebagai minoritas dikarenakan agama mereka berbeda. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru sekaligus kontraproduktif dalam rangka membangun NKRI. Karena itu, alih-alih menjadikan mayoritas dan minoritas berdasar agama sebagai penanda suatu kelompok atau komunitas, lebih baiklah mengusangkan sekat-sekat keagamaan itu seraya memperkuat spirit nasionalisme di atas semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai umat beragama, tentu saja setiap kita masih memiliki identitas keagamaan yang melekat di dalam diri. Namun, ketika kita berada di ruang-ruang publik yang
[zamanku] Menjual Diri, Bukan Janji
Dimuat pada Harian Batak Pos, 30 Maret 2009 Menjual Diri, Bukan Janji Oleh Victor Silaen Pemilu Legislatif 9 April 2009 sudah di ambang pintu. Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti ini: “Apa sih gunanya ikut pemilu? Lagi pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu, jadi bagaimana saya mau memilih mereka?” Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu satu persatu. Pertama, pemilu adalah sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. Sedangkan pemilu adalah alat yang harus kita gunakan. Untuk itulah kita sepatutnya berpartisipasi, jika kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa depan Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika orang-orang yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama saja dengan yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak, tak mungkin sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang jauh berbeda dengan era Soeharto? Jadi, janganlah menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya. Noam Chomsky, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS), pernah berkata begini: “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Ia benar. Kitalah yang harus memperjuangkan perubahan itu dengan cara terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan itu sambutlah pemilu sebagai warga negara yang bertanggungjawab, yang ingin melihat masa depan Indonesia lebih baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti, pantaulah terus orang-orang yang telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di jalan yang benar” ketika mereka sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang strategis itu. Kedua, camkanlah sebuah prinsip penting dalam rangka memasuki hari “H” 9 April. Yakni: memilihlah secara rasional dan kalkulatif. Itulah pemilih yang cerdas, yang tidak asal pilih. Dasar berpikirnya begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu nantinya harus dapat menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup rakyat. Untuk itulah ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan dipilihnya. Ia mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin, lalu mendiskusikannya dengan orang-orang lain yang berkompeten. Kebalikan dari itu adalah pemilih tak cerdas. Ia berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu contreng sana contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang dipilih itu kurang berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya kehidupan sendiri yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga legislatif nanti,” mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.” Begitulah pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif. Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik, perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya, dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, kesehatan-sanitasi, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada mereka. Jadi jelaslah, keberadaan para wakil rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi pelbagai risikonya. Jika harapan itu tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di lembaga legislatif itu adalah orang-orang yang umumnya kurang berkualitas dan kurang berintegritas, niscaya Indonesia tetap begini-begini saja
[zamanku] Cukup KTP s.d 8 April
Berdasarkan informasi yang berkembang, KPU memperbolehkan warga negara yang memiliki KTP sah, namun belum terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), untuk mendaftaran diri ke Kelurahan setempat dengan membawa KTP. Batas akhir pendaftaran adalah 8 April 2009. Mohon cek ke kelurahan masing-masing, apakah nama Bapak/Ibu sudah terdaftar di DPT. Jika belum, gunakanlah kesempatan ini. 9 April nanti, Anda harus memilih: 1) caleg DPR; 2) caleg DPRD; 3) caleg DPD. Bagi yang berada di kabupaten/kota, Anda juga harus memilih: 4) caleg DPRD Tingkat II. Untuk DPR/DPRD, contreng pada kolom namanya. Untuk DPD, contreng fotonya. Mohon sebar luaskan informasi ini. Salam perjuangan, Dr. Victor Silaen, MA.(www.victorsilaen.com)
[zamanku] Buddha-Bar dan Primadonaisasi Agama
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia, Kamis 26 Maret 2009 Buddha-Bar dan Primadonaisasi Agama Oleh Victor Silaen Hingga kini pimpinan dan umat Budha belum berhenti memprotes keberadaan sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, yang bernama Buddha-Bar. Sebenarnya bukan restoran itu sendiri yang ditentang, melainkan namanya yang dianggap tidak menghormati perasaan seluruh komunitas agama Budha di Indonesia. Minggu 15 Maret lalu, siang, saya bercakap-cakap dengan Aggy Tjetje, Ketua Umum DPP Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia sekaligus Rektor Institut Agama Buddha Nasional dan beberapa biksu di Vihara Avalokiteshvara di bilangan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Di tengah percakapan yang menyoroti isu hangat ini, ada yang berkata begini: “Masak ada pejabat Pemprov DKI yang mengatakan bahwa kata ‘bar’ dalam label restoran itu bermakna ‘tiang’. Lho, kalaupun itu benar, tetap saja jangan pakai nama Budha dong. Jadi mau Tiang Budha kek, Bengkel Budha kek, tetap saja itu menyinggung perasaan kami. Coba kalau namanya Kristen-Bar, apa umat Kristen tidak tersinggung? Kalau Islam-Bar, apa umat Islam tidak tersinggung? Pokoknya, kami menuntut agar nama Budha dihapus dalam label restoran itu.” Saya maklum. Saya pun akan marah kalau restoran itu bernama “Christian-Bar”. Tapi herannya, mengapa restoran sekaligus tempat menghibur diri ini aman-aman saja di negara asalnya, Perancis? Menurut saya pertanyaan ini harus dijawab dengan dua poin. Pertama, itu urusan Perancis. Artinya, apa yang baik di luar negeri tidak dengan sendirinya harus dianggap baik juga di sini. Kedua, meski Indonesia berbentuk negara hukum, namun sejak dulu tak pernah membiarkan agama-agama bebas-lepas dari jangkauannya. Di sini agama-agama harus menyesuaikan diri dengan negara. Artinya, kalau tidak mendapat restu dari negara, bisa-bisa agama tersebut dimasukkan dalam kategori “agama yang tidak-diakui”. Dari sisi rakyat, itulah repotnya hidup di negara berdasarkan Pancasila ini. Dalam ideologi bangsa Indonesia itu, “ketuhanan” berada di tempat pertama. Itu berarti “ketuhanan” merupakan sebuah nilai yang paling utama di dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, jangan harap orang boleh bebas tidak ber-Tuhan di negara ini. Buktinya, setiap orang harus memproklamirkan nama agamanya di dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang menjadi kartu identitasnya sebagai warga negara. Sementara dari sisi negara, kerepotan timbul karena pemerintah dan aparatnya merasa berkewajiban untuk senantiasa mengawasi hal-ihwal keagamaan rakyatnya. Tujuannya, selain demi pencatatan statistik dan tertib administratif, juga untuk mencegah adanya ajaran dan perilaku keagamaan yang “sesat”. Namun, tidakkah Indonesia bukan sebentuk negara agama? Benar, tapi harap dicamkan bahwa Indonesia juga bukan negara sekuler yang membiarkan agama-agama berada jauh di luar kendalinya. Kalau begitu, maka pertanyaan penting yang harus dijawab Pemprov DKI Jakarta adalah: mengapa membiarkan saja komunitas agama Budha merasa terlecehkan dengan dilegalkannya Buddha-Bar itu? Mengapa terkesan tak ada sensitivitas di dalam diri pimpinan dan aparat Pemprov DKI Jakarta, padahal sejumlah pemimpin dan umat Buddha, disertai pelbagai pihak, sudah berulangkali berdemo menggugat keberadaan bar tersebut? Di sisi lain, diberitakan bahwa DPRD DKI telah meminta Pemprov DKI mengamankan asetnya berupa gedung bekas Kantor Imigrasi di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, yang kini menjadi polemik karena digunakan sebagai bar itu. Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Muhayar (PKS) mengatakan, bangunan bersejarah itu dibeli Pemprov DKI atas persetujuan DPRD untuk dijadikan sebagai cagar budaya yang akan difungsikan sebagai museum. “Jadi DPRD dulu menyetujui alokasi anggaran, karena Pemprov merencanakan bangunan itu untuk museum, bukan komersil atau disewakan,” katanya. Kalau begitu, tidakkah keberadaan Buddha-Bar di lokasi itu pun sebenarnya juga telah menyalahi rencana awal peruntukannya? Jadi, pihak mana yang harus bertanggungjawab atas terjadinya penyimpangan recana awal tersebut? Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, atau keduanya? Terlepas dari pihak-pihak yang harus bertanggungjawab itu, fenomena ini kiranya cocok disebut “komersialisasi agama”. Secara sosiologis, agama memang selalu memiliki dua wajah. Di satu sisi agama bernilai spiritual yang mampu menumbuhkan kebutuhan sekaligus kesadaran untuk senantiasa menjaga relasi yang harmonis dengan Yang Mahakuasa. Di sisi lain agama juga bisa membangkitkan amarah untuk mengalahkan musuh (bernilai politik), kegairahan untuk mencari profit dengan menyebutnya sebagai “rezeki dari atas” atau “berkat ilahi” (bernilai ekonomis), dan lainnya. Hampir sama halnya dalam bidang politik, dalam bidang ekonomi pun semua yang bernuansa atau bercorak agama dengan mudahnya dieksploitasi dan disalahgunakan demi mencapai kepentingan yang sebenarnya tak berkait sama
[zamanku] Perilaku Pemilih, Konsumtif atau Investatif
Telah dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 11 Maret 2009 Perilaku Pemilih, Konsumtif atau Investatif Oleh Victor Silaen Pemilu 9 April 2009 sudah di depan mata. Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti ini: “Apa sih gunanya ikut pemilu? Lagi pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu, jadi bagaimana saya mau memilih mereka?” Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu satu persatu. Yang pertama, pemilu adalah sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. Untuk itu harus ada alatnya, yakni: pemilu. Untuk itulah kita sepatutnya berpartisipasi, kalau kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa depan Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika orang-orang yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama saja dengan yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak, tak mungkin sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang jauh berbeda dengan era Soeharto? Jadi, janganlah menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya. Ingatlah ucapan bijak Noam Chomsky, seorang ilmuwan politik di Amerika Serikat, berikut ini: “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Jadi, perjuangkanlah perubahan itu dengan cara kita sendiri terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan itu sambutlah pemilu sebagai warga negara yang bertanggungjawab, yang ingin melihat masa depan Indonesia lebih baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti, pantaulah terus orang-orang yang telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di jalan yang benar” ketika mereka sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang strategis itu. Yang kedua, sebelum tiba hari “H” itu, camkanlah sebuah prinsip penting. Yakni: memilihlah secara bertanggungjawab. Jadi artinya, kita harus memilih secara rasional dan penuh pertimbangan. Itulah pemilih yang kalkulatif, yang membayangkan dirinya sedang berinvestasi (Firmanzah, 2008). Cara berpikirnya begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu nantinya harus dapat menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup rakyat. Untuk itulah ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan dipilihnya. Ia mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin, lalu mendiskusikannya dengan orang-orang lain yang berkompeten. Kebalikan dari pemilih investatif itu adalah pemilih konsumtif. Pemilih dalam kategori ini adalah mereka yang berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu contreng sana contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang dipilih itu kurang berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya kehidupan sendiri yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga legislatif nanti,” mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.” Begitulah pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif. Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik, perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya, dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, kesehatan-sanitasi, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada mereka. Jadi jelaslah, keberadaan para wakil rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi pelbagai risikonya. Jika harapan itu tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di
[zamanku] KPU Jangan Berpolitik dan Berpolemik
Dimuat pada Harian Batak Pos, 28 Februari 2009 KPU Jangan Berpolitik dan Berpolemik Oleh Dr Victor Silaen, MA Seperti halnya lembaga-lembaga independen negara yang didirikan pasca-Soeharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk lembaga quasi-negara yang para komisionernya berasal dari berbagai kalangan dan bersifat independen. Artinya, mereka digaji dan difasilitasi oleh negara, namun bukan merupakan subordinasi dari pemerintah atau lembaga eksekutif. Itu sebabnya, secara hukum, kerja-kerja mereka dilandasi dengan sebuah perundang-undangan. Mereka mendapat mandat dari lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melaksanakan segala sesuatu yang sudah diproses secara politik menjadi sebuah kebijakan publik yang sah dan mengikat. Berdasarkan itu, bolehkah KPU berpolitik? Jelas tidak. KPU hanya berwenang melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh para elit politik di DPR. Terkait pemilu, maka KPU-lah penyelenggaranya. Di ranah dan ruang-lingkup itulah pula kelak KPU harus memberi pertanggungjawaban: penyelenggaraan pemilu. Soal bagaimana aturan main pemilu itu sendiri, tentu KPU juga tidak usah pusing dan repot memikirkannya. Sebab, aturan main merupakan bagian dari apa yang harus dipikirkan oleh para politisi di DPR. Terkait itu, lalu mengapa untuk sekian waktu lamanya KPU sempat masuk ke dalam wacana “suara terbanyak versus zipper system”? Mengapa pula harus ikut-ikutan berpolemik, ketika wacana tersebut kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra terhadap zipper system? Bahkan salah seorang komisionernya, Andi Nurpati, pernah “ngotot” dengan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait zipper system itu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Heran sekali, kok terkesan KPU malah siap menabrak peraturan? Tak heran jika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peringatan keras kepada KPU terkait itu. Menurut MK, tindakan KPU tersebut mencerminkan mereka tidak mengerti hukum. Sebab, berdasarkan konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK juga merupakan negative legislator yang kekuatannya setara dengan UU. “Keputusan MK sudah jelas. Saya ingatkan agar KPU tidak perlu berwacana tentang teori hukum. Kalau persoalan hukum, di sini (MK) sudah gudangnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, 18 Februari lalu. Mahfud menegaskan, jika KPU beralasan memerlukan peraturan pemerintah perppu atau revisi terlebih dahulu, berdasarkan teori ataupun konstitusi yang berlaku, maka hal itu sama sekali tidak benar. “Yang memerlukan perppu atau revisi UU hanya yang menimbulkan kekosongan hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis pelaksanaannya,” katanya. Rencana KPU mengatur satu dari tiga caleg (calon anggota legislatif) terpilih harus mewakili perempuan (zipper system) juga dinilai Mahfud sebagai ketentuan di luar putusan MK. Menurutnya, UU Nomor 10/2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK tidak mengharuskan wanita duduk di kursi DPR. “MK mengatur ketentuan dalam setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan dan itu tidak dibatalkan,” tegasnya. KPU seharusnya melaksanakan UU, termasuk pembatalan UU yang diputuskan MK. Artinya, kalaupun ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, KPU tidak berwenang mengatur. Terkait dengan gagasan untuk kemajuan politik kaum perempuan di Indonesia, kita tentu saja patut mendukungnya. Kita harus bahu-membahu memperjuangkannya, di pelbagai sektor kehidupan dan di semua wilayah kedaulatan negara ini. Itulah sebabnya, penyadaran masyarakat akan keniscayaan kesetaraan gender perlu terus-menerus dilakukan. Artinya, ini harus menjadi pekerjaan rumah kita bersama, sekarang dan ke depan. Jadi, tidak perlulah KPU merasa bahwa lembaga ini sedang memikul beban berat demi memperjuangkan kemajuan politik kaum perempuan Indonesia. Artinya, ke depan, KPU tidak perlu lagi berpolemik di seputar wacana ini. KPU harus menyadari posisinya sebagai lembaga pelaksana dari hal-hal yang sudah diputuskan sebagai kebijakan publik oleh DPR. Kembali pada zipper system, haruslah disadari bahwa di tahapan caleg hal ini sudah ditetapkan, bahwa setiap partai politik yang menjadi kontestan Pemilu 2009 harus menyediakan kuota 30% bagi caleg perempuan. Itulah sebentuk dukungan resmi negara ini bagi kaum perempuan demi mencapai kemajuan politiknya. Kalau zipper system mau diterapkan lagi di tahapan aleg (anggota legislatif) untuk para caleg terpilih nanti, mungkin bisa saja dipertimbangkan jika tidak ada keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”. Tapi soalnya, bukankah MK melalui keputusan terbarunya itu sudah menetapkan bahwa para caleg terpilih yang akan ditetapkan sebagai wakil rakyat nanti haruslah berdasarkan “suara terbanyak”? Keputusan MK merupakan revisi dari UU Nomor 10/2008, sehingga karena itu ketetapan
[zamanku] Mobokrasi dan Aktor Intelektual
Dimuat pada Harian Batak Pos, 21 Februari 2009 Mobokrasi di Medan dan Aktor Intelektual Oleh Dr. Victor Silaen, MA Tragedi Medan, Selasa 3 Februari lalu, yang mengorbankan nyawa Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Abdul Aziz Angkat, hingga kini masih terus bergulir sebagai wacana publik maupun proses hukum. Kita angkat topi jika pemerintah dan aparat kepolisian benar-benar serius mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan di balik peristiwa itu. Kita mendukung jika pihak-pihak yang bersalah dalam aksi tersebut diproses secara hukum, mulai dari penahanan, pemeriksaan, hingga kelak dibawa ke meja hijau untuk diadili. Hukum di negara hukum (rechstaat) ini memang harus ditegakkan untuk dan dalam semua kasus. Tidak ada pilihan lain: pemerintah, aparat keamanan, dan aparat hukum harus bersikap dan berlaku sama untuk dan dalam semua kasus. Tidak boleh pilih bulu, jika betul-betul Indonesia adalah negara hukum. Terkait itu, peristiwa Demo Antikenaikan Harga BBM di depan Gedung DPR yang rusuh akhir Juni 2008 kini sedang diusut secara hukum. Pihak-pihak yang diduga kuat sebagai “aktor intelektual” dalam aksi demo brutal itu sudah dipanggil, ditahan, dan diperiksa secara hukum sampai akhirnya beberapa di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka. Apakah karena aksi demo tersebut menyebabkan beberapa fasilitas negara rusak sehingga harus dicari “aktor intelektual” di belakangnya? Sama halnya dengan Tragedi Medan Selasa Kelabu itu. Apakah lantaran seorang Ketua DPRD Sumut tewas pasca-demo brutal tersebut sehingga satu persatu terduga “aktor intelektualnya” kini ditahan? Tetapi, misalnya, mengapa dalam aksi brutal penolakan dan pengusiran terhadap sivitas akademika STT SETIA di Pinang Ranti, Jakarta Timur, akhir Juli 2008, tidak satu pun pihak yang telah ditetapkan sebagai “aktor intelektual” di baliknya? Karena tidak ada korban jiwa? Tapi, bukankah ada korban luka-luka dan juga kerugian harta-benda? Mengapa kasus tersebut tak disikapi dan diperlakukan sama dengan kasus demo antikenaikan harga BBM di Senayan dan demo para pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli di Medan? Jelas, ada ketidakadilan hukum dalam ketiga kasus tersebut. Sivitas akademika STT SETIA, yang hingga kini sudah lebih dari enam bulan terserak di tiga tempat (Bumi Perkemahan Cibubur, Wisma Transito Klender Jakarta Timur, dan eks kantor walikota Jakarta Barat), baik untuk menjalankan aktivitas akademik dan pelbagai aktivitas lain sehari-hari, rasa-rasanya tak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun wakil rakyat di DKI Jakarta. Sementara dalam kasus demo antikenaikan harga BBM di Senayan, bahkan seorang mantan menteri pun sudah dipanggil untuk diperiksa. Begitupun dalam kasus demo para pendukung pembentukan Protap di Medan 3 Februari lalu. Terkait Tragedi Medan Selasa Kelabu itu, patutkah kita menyebutnya sebagai “demokrasi maut”, “demokrasi anarkis”, “demokrasi liar”, dan yang sejenisnya? Benarkah demokrasi seperti itu? Aspirasi rakyat yang menginginkan rencana pembentukan Protap dimasukkan sebagai agenda sidang paripurna DPRD Sumut saat itu mungkin dapat dikategorikan sebagai demokrasi. Tapi, cara mereka menerobos masuk ke Gedung DPRD Sumut itu jelas kontra-demokrasi. Sebab, meski ruang sidang wakil rakyat itu merupakan rumah rakyat, tetap saja ia merupakan kantor yang meniscayakan ketertiban dan kesantunan bagi orang-orang dari luar yang hendak masuk ke dalamnya. Di sisi lain, aksi mereka yang brutal disertai vandalisme, layakkah itu disebut demokratis? Jelas tidak. Karena, demokrasi tak pernah menyetujui cara-cara yang koersif dan nilai-nilai yang agresivistik. Sebaliknya, demokrasi selalu dan harus tetap berlandaskan rasionalitas dan moralitas. Karena itulah ia terus-menerus dikembangkan, dari zaman ke zaman, demi menuju kesempurnaannya sebagai sistem, prosedur, maupun nilai-nilai budaya di tengah kehidupan bersama yang sarat keanekaragaman. Kalau begitu, pantasnya kita namai apa Tragedi Medan yang telah mengorbankan nyawa seorang wakil rakyat itu? Mengacu pada Plato, filsuf terkemuka di zaman Sebelum Masehi, mungkin kita layak menyebutnya sebagai “mobokrasi”. Dalam bahasa Latin, ia berasal dari dua kata: “mob” yang berarti gerombolan atau massa, dan “krasi” yang berarti kedaulatan atau kekuasaan. Jadi, dengan mobokrasi berarti “kedaulatan atau kekuasaan berada di tangan gerombolan atau massa”. Sekilas memang agak mirip dengan demokrasi. Namun, kata “demo” dalam “demokrasi” menunjuk pada rakyat. Dan rakyat itu sendiri, dalam sebuah negara modern, terikat oleh hukum dan menghormati norma-norma yang menjadi pedoman berperilaku. Sedangkan gerombolan atau massa sebaliknya cenderung merupakan kumpulan orang yang berperilaku anomik, kerap brutal dan agresif, sehingga justru bersifat kontra-demokratis. Jadi jelaslah bahwa antara demokrasi dan mobokrasi berbeda secara signifikan. Dalam demokrasi ada aturan main yang harus
[zamanku] Rakyat atau Caleg
Telah dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 12 Februari 2009 Rakyat atau Caleg Oleh Victor Silaen Sejak dulu rakyat Indonesia selalu diajar untuk memandang pemilu sebagai pesta demokrasi, dan pesta demokrasi itu sendiri berarti pestanya rakyat. “Pemilihan umum telah memanggil kita, s’luruh rakyat menyambut gembira...” Demikian petikan theme song pemilu yang selalu didengungulang di era Orde Baru. Pertanyaannya, siapa yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para calon anggota legislatif (caleg)? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat. Jadi, tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang turut serta). Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg menjadi anggota legislatif (aleg) di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas. Namun sekonyong-konyong, muncullah gagasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang zipper system di tahap penetapan para aleg nanti. Intinya, gagasan tersebut mengharuskan adanya satu perempuan untuk setiap tiga caleg terpilih. Jadi, untuk setiap tiga kursi DPR/DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah) yang diperoleh suatu partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan. Kita percaya tujuan di balik gagasan zipper system itu amat mulia: demi meningkatkan kemajuan politik kaum perempuan Indonesia. Tetapi, adakah payung hukum yang melandasi implementasinya sebagai kebijakan publik yang sah? Sebelumnya diusulkan untuk membuat perppu sebagai dasar hukumnya, namun hingga kini perppu itu belum juga keluar. Meski begitu, anggota KPU Andi Nurpati “ngotot” bahwa KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Inilah yang mengherankan kita. Mengapa KPU sampai bersikap demikian? Bukankah dengan logika sederhana saja kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan zipper system di tahapan aleg itu bertentangan dengan keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”? Sebab, bukankah yang harus terlebih dipandang utama dalam pemilu adalah rakyat dan bukan para caleg? Jadi, mengapa tidak membiarkan rakyat sungguh-sungguh bebas memilih para caleg yang dipercayainya untuk menjadi wakil rakyat kelak? Mengapa seakan ada niat untuk mengintervensi kedaulatan rakyat, meskipun itu atas nama afirmasi kaum perempuan atau demi kemajuan politik kaum perempuan? Hukum jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak, agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, dalam konteks pemilu, keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak” harus dihormati semua pihak. Jadi, tak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum perempuan yang masuk ke lembaga legislatif. Bukankah di tahapan caleg, kebijakan kuota 30% caleg perempuan sudah diberlakukan? Kalaulah hasil dari kebijakan afirmatif ini kelak masih belum memuaskan, bukankah yang mestinya kita prihatinkan adalah kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender yang belum tersebar luas di masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan itu sendiri? Perihal masih minimnya kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender, inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah kita semua. Untuk itulah ke depan kita, bukan hanya KPU, harus lebih gigih memperjuangkannya melalui berbagai bidang semisal pendidikan, agama, dan lain sebagainya. KPU sendiri niscaya lebih tepat jika berkonsentrasi memikirkan bagaimana caranya agar potensi golput pada pemilu mendatang ini dapat diminimalisir. Memang, golput merupakan hak setiap orang. Namun ini bukan soal golput sebagai hak atau golput politis, melainkan golput administratif: yang tidak bisa memilih karena belum terdaftar sebagai pemilih karena satu dan lain hal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak warga negara Indonesia yang sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilihnya nanti, tapi terganjal oleh ketidakcermatan administrasi negara. Warga yang hingga kini belum terdaftar itu bisa saja di waktu lalu memang malas mendaftar, atau mereka tidak tahu kapan, ke mana, dan bagaimana harus mendaftar. Jumlah mereka
[zamanku] Berjuang untuk Kebhinekaan
Dari rubrik “Politik”, Harian Sinar Harapan, Senin 24 November 2008 Victor Silaen Berjuang untuk Kebhinekaan JAKARTA - Mempertahankan nilai-nilai pluralisme masyarakat Indonesia adalah salah satu alasan Victor Silaen ikut bergumul dalam dunia politik praktis. Victor, yang juga seorang dosen dan ilmuwan politik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini merasa khawatir dengan masa depan nilai-nilai kebhinekaan yang semakin tergerus dengan semangat arogansi dari kelompok tertentu yang ingin melakukan penyeragaman nilai. Menurutnya, Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati yang harus senantiasa diperjuangkan. Saat ini, Victor tercatat sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jakarta dengan nomor urut 40. Dia enggan menjadi caleg Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab dengan menjadi caleg DPR maka dirinya harus terlebih dulu bergabung dan terikat dengan partai politik (parpol). Victor tidak menginginkan keterikatan politik. Menurutnya, hal itu bisa menjebak dirinya ke dalam benturan kepentingan, antara idealisme politik dengan kepentingan pragmatis partai politik. “Saya tidak ingin terikat dengan parpol, karena harus siap untuk berkompromi dengan parpol atau ketua parpol. Saya tidak ingin berkompromi dalam politik,” katanya. Keinginannya menjadi wakil rakyat untuk mewakili aspirasi masyarakat Jakarta adalah wujud keinginannya menjaga dan mempertahankan semangat pluralitas dalam masyarakat. Dia melihat Jakarta tidak luput dari ancaman politik penyeragaman. Kebhinekaan Jakarta, terang Victor, hanya dapat dipertahankan jika ada kemauan dari semua pihak, terutama pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tetap berpihak pada nilai-nilai kebhinekaan itu sendiri, tidak malah berpihak atau tunduk pada kepentingan sekelompok aliran agama atau suku tertentu. Oleh karena itu, jika berhasil terpilih, Victor berjanji akan serius mengawasi kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang pernah mengusung semboyan “Jakarta untuk Semua.” Bagi Victor, selama ini Gubernur dan Wakil Gubernur belum serius menjadikan Jakarta sebagai rumah bagi semua golongan. Dia merujuk Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum yang dinilainya sebagai produk hukum diskriminatif dan hanya mengakomodasi kepentingan golongan tertentu. (cr-5)
[zamanku] Rekonsiliasi Lewat Iklan (PKS)
Telah dimuat pada Harian Suara Pembaruan, 21 November 2008 Rekonsiliasi Lewat Iklan Politik Oleh Victor Silaen Iklan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menampilkan delapan tokoh nasional pada Hari Pahlawan 10 November 2008 menuai protes. Pasalnya, salah satu tokoh dalam iklan tersebut adalah almarhum mantan presiden Soeharto. Diprediksi, upaya PKS memahlawankan Soeharto dapat menjadi bumerang bagi partai yang selalu mengusung tema antikorupsi itu. Benarkah demikian? Tentu saja terlalu dini untuk bisa menjawabnya benar atau tidak. Namun, di beberapa milis (mailing list) yang saya ikuti, komentar-komentar sumbang terkait iklan politik PKS itu memang sudah mulai bergulir. PKS sendiri, melalui sekretaris jenderalnya, Anis Matta, menanggapi bahwa iklan tersebut merupakan ajakan rekonsiliasi. “Iklan pahlawan PKS adalah ajakan rekonsiliasi,” ujar Anis. Menurut dia, sebagai generasi baru Indonesia, PKS menyadari posisinya sebagai bagian dari mata rantai sejarah bangsa, dan bahwa suatu kesinambungan sejarah merupakan syarat bagi kebangkitan Indonesia. “Kita harus bisa menyikapi masa lalu kita secara adil, arif dan proporsional. Berhenti mengadili masa lalu tapi tetap menjadikannya sebagai inspirasi bagi masa depan kita,” katanya. Anis menambahkan, kita harus bisa melampaui “luka-luka masa lalu kita” tanpa dendam, belajar berdamai sebagai sesama anak bangsa dan bersatu kembali merebut masa depan bersama. Bagaimana kita patut menyikapi wacana tentang “Soeharto, PKS, dan rekonsiliasi” ini? Pertama, prihatin, sebab ajakan berekonsiliasi disosialisasikan melalui iklan politik. Apalagi kita juga paham bahwa iklan politik di masa kampanye menjelang Pemilu 2009 ini tentu erat kaitannya dengan upaya meningkatkan citra partai. Jadi, diakui atau tidak, citra partailah yang sebenarnya menjadi tujuan utama iklan tersebut. Adapun Soeharto dan ketujuh tokoh lainnya jelas hanya merupakan “obyek” yang dijual kepada publik dengan mempertimbangkan momentum yang dianggap tepat dan memiliki nilai jual, yakni Hari Pahlawan. Kedua, prihatin, sebab PKS begitu mudahnya memahlawankan Soeharto, padahal Soeharto sendiri hingga kini masih dicitrakan negatif oleh pelbagai pihak di dalam maupun di luar negeri. Kita tak boleh lupa bahwa sewaktu Soeharto meninggal, 27 Januari 2008, proses hukum pidana dan perdata atas diri mantan pemimpin Orde Baru itu belumlah tuntas. Artinya, kita tak punya kepastian hukum untuk menyimpulkan sosok Soeharto sebagai orang yang bersalah atau tidak. Kita hanya punya segudang dugaan bahwa mantan presiden dengan masa kekuasaan terpanjang di antara presiden-presiden lainnya di Indonesia itu bersalah atau setidaknya terlibat dalam kesalahan-kesalahan terkait bidang ekonomi, hukum, hak asasi manusia, dan bidang-bidang lainnya. Bukankah didasarkan dugaan tersebut maka Soeharto, sejak mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden, terus-menerus dituntut pelbagai pihak agar diadili? Bukankah karena itu maka Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang ”Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” menyebut nama Soeharto di dalamnya? Sementara di luar negeri, Soeharto justru telah ditetapkan sebagai pemimpin politik terkorup di dunia dengan “harta korupsi” sekitar 15-35 miliar dolar AS oleh PBB melalui program StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative. Jadi, tanpa harus menyebut ”dosa-dosa” lain Soeharto dalam inci yang rinci di sini, haruskah kita memahlawankannya? Ketiga, prihatin, sebabnya agaknya PKS tidak memahami dengan baik bahwa rekonsiliasi bukanlah sekedar ajakan untuk memaafkan atau melupakan seseorang yang pernah bersalah di masa lampau. Rekonsiliasi yang sejati adalah sebentuk upaya memperdamaikan kembali pihak-pihak yang sekarang mengalami ketegangan relasional disebabkan pertikaian yang pernah terjadi di masa silam dan tak kunjung terselesaikan. Biasanya, dalam pertikaian itu, pihak yang satu menjadi penindas sedangkan pihak yang lain menjadi korbannya. Akibatnya, timbullah ketidakadilan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia di pihak si korban. Itulah sebabnya, selain bertujuan mewujudkan perdamaian di masa depan, rekonsiliasi juga bertujuan terungkapnya kebenaran dan tercapainya keadilan. Setelah itu, barulah proses berjalan ke arah terjadinya rekonstruksi dan rehabilitasi. Dalam kerangka itulah diperlukan sebuah institusi khusus yang berperan untuk mewujudkan rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang pernah terlibat pertikaian di masa silam itu, baik sebagai korban maupun pelaku. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), itulah institusi yang dimaksud. Indonesia sudah memiliki landasan hukum pembentukannya, yakni UU No. 27 Tahun 2004. Tapi apa boleh buat, sewaktu lembaga ini sedang berproses menuju pembentukannya oleh negara, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut pada 7 Desember 2006. Maka, harapan akan terwujudnya rekonsiliasi yang sejati
Re: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
Yang bisa kita kerjakan tentu saja banyak, mulai dari sekarang, baik sendiri maupun bersama-sama. Jadi, spesifikasi pertanyaannya apa? Kalau soal rekonsiliasi (yang menurut Anis Matta bisa diimbau lewat iklan itu), legislatif nantilah yang harus bekerja keras menghasilkan UU baru soal KKR (karena yang sudah ada dulu sudah dibatalkan oleh MK). Dengan institusi inilah mudah-mudahan rekonsiliasi era dulu dan era sekarang bisa dituntaskan. Salam Victor Silaen (www.victorsilaen.com) --- On Tue, 11/18/08, setyawan_abe [EMAIL PROTECTED] wrote: From: setyawan_abe [EMAIL PROTECTED] Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan To: zamanku@yahoogroups.com Date: Tuesday, November 18, 2008, 10:56 PM Lalu apa yg bisa kita kerjakan? kapan? --- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ... wrote: Kalau begitu, selain tidak kritis, juga banyak intrik. Namanya juga politisi Salam Victor Silaen (www.victorsilaen. com) --- On Tue, 11/18/08, ttbnice serikat_indonesia@ ... wrote: From: ttbnice serikat_indonesia@ ... Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan To: [EMAIL PROTECTED] .com Date: Tuesday, November 18, 2008, 1:19 AM Bagaimana jika ini bukan soal kritis atau tidak kritis. Tapi soal titipan politik untuk melupakan kesalahan2 ORBA? Mansih inget kan iklan PKS yg ada Soehartonya? --- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ... wrote: Kalau Anis Matta berpikiran kritis, dia mestinya paham bahwa ini bukan soal dendam. Ini soal kebenaran sejarah yang harus diungkapkan, demi keadilan bagi orang-orang yang pernah menjadi korban rezim Orde Baru di masa silam. Jadi, jangan terlalu gampang bicara soal rekonsiliasi . Sebab, rekonsiliasi sejati tidak mungkin terwujud hanya dengan beriklan. Salam Victor Silaen (www.victorsilaen. com) --- On Mon, 11/17/08, setyawan_abe setyawan_abe@ ... wrote: From: setyawan_abe setyawan_abe@ ... Subject: [zamanku] Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan To: [EMAIL PROTECTED] .com Date: Monday, November 17, 2008, 8:25 AM --- In keadilan4all@ yahoogroups. com, Abu 'Abdurrahmaan abu-abdurrahmaan@ ... wrote: http://www.warnaisl am.com/berita/ negeri/2008/ 11/17/51300/ Anis_Matta_ Dend\ am_Sejarah_Harus_ Dihilangkan. htm Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan Senin, 17 November 2008 14:15 warnaislam.com — Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, M Anis Matta mengajak seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk menghilangkan berbagai dendam sejarah karena dendam yang merusak hati bangsa dinilai dapat mengganggu usaha rekonsiliasi dan keinginan bangsa ini untuk menjadi besar dan maju. Kita tidak ingin dendam-dendam ini mengganggu hubungan kita diantara sesama anak bangsa, kata Anis di Jakarta, Senin (17/11). Begitu pula yang dikatakan Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, dalam momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, rencananya DPP PKS akan menggelar Silaturrahim dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional. Menurutnya tema yang akan diangkat adalah Membangkitkan kembali semangat Kepahlawanan pada Kaum Muda Indonesia. Rencananya pertemuan tersebut akan diadakan pada Rabu (19/11) mendatang di Jakarta Convention Center Ruang Merak. Dan dalam acara tersebut direncanakan akan hadir beberapa nara sumber, diantaranya Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari), Agustanzil Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jendral Gatot Subroto), Rahmawati (putri Bung Karno), Halida Hatta (putri Bung Hatta), Mamiek Soeharto (putra Soeharto), Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan, dan KH Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS). Mahfudz yang sekaligus merupakan ketua panitia dalam acara tersebut mengatakan, Acara yang akan dibuka oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring itu, juga akan menghadirkan grup band Cokelat sebagai selingan dan pembacaan puisi oleh Taufik Ismail,. (dari berbagai sumber) --- End forwarded message ---
Re: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
Kalau begitu, selain tidak kritis, juga banyak intrik. Namanya juga politisi Salam Victor Silaen (www.victorsilaen.com) --- On Tue, 11/18/08, ttbnice [EMAIL PROTECTED] wrote: From: ttbnice [EMAIL PROTECTED] Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan To: zamanku@yahoogroups.com Date: Tuesday, November 18, 2008, 1:19 AM Bagaimana jika ini bukan soal kritis atau tidak kritis. Tapi soal titipan politik untuk melupakan kesalahan2 ORBA? Mansih inget kan iklan PKS yg ada Soehartonya? --- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ... wrote: Kalau Anis Matta berpikiran kritis, dia mestinya paham bahwa ini bukan soal dendam. Ini soal kebenaran sejarah yang harus diungkapkan, demi keadilan bagi orang-orang yang pernah menjadi korban rezim Orde Baru di masa silam. Jadi, jangan terlalu gampang bicara soal rekonsiliasi . Sebab, rekonsiliasi sejati tidak mungkin terwujud hanya dengan beriklan. Salam Victor Silaen (www.victorsilaen. com) --- On Mon, 11/17/08, setyawan_abe setyawan_abe@ ... wrote: From: setyawan_abe setyawan_abe@ ... Subject: [zamanku] Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan To: [EMAIL PROTECTED] .com Date: Monday, November 17, 2008, 8:25 AM --- In keadilan4all@ yahoogroups. com, Abu 'Abdurrahmaan abu-abdurrahmaan@ ... wrote: http://www.warnaisl am.com/berita/ negeri/2008/ 11/17/51300/ Anis_Matta_ Dend\ am_Sejarah_Harus_ Dihilangkan. htm Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan Senin, 17 November 2008 14:15 warnaislam.com — Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, M Anis Matta mengajak seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk menghilangkan berbagai dendam sejarah karena dendam yang merusak hati bangsa dinilai dapat mengganggu usaha rekonsiliasi dan keinginan bangsa ini untuk menjadi besar dan maju. Kita tidak ingin dendam-dendam ini mengganggu hubungan kita diantara sesama anak bangsa, kata Anis di Jakarta, Senin (17/11). Begitu pula yang dikatakan Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, dalam momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, rencananya DPP PKS akan menggelar Silaturrahim dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional. Menurutnya tema yang akan diangkat adalah Membangkitkan kembali semangat Kepahlawanan pada Kaum Muda Indonesia. Rencananya pertemuan tersebut akan diadakan pada Rabu (19/11) mendatang di Jakarta Convention Center Ruang Merak. Dan dalam acara tersebut direncanakan akan hadir beberapa nara sumber, diantaranya Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari), Agustanzil Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jendral Gatot Subroto), Rahmawati (putri Bung Karno), Halida Hatta (putri Bung Hatta), Mamiek Soeharto (putra Soeharto), Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan, dan KH Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS). Mahfudz yang sekaligus merupakan ketua panitia dalam acara tersebut mengatakan, Acara yang akan dibuka oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring itu, juga akan menghadirkan grup band Cokelat sebagai selingan dan pembacaan puisi oleh Taufik Ismail,. (dari berbagai sumber) --- End forwarded message ---
Re: [zamanku] Re: Rakyat Indonesia sakit?
Beragama tanpa berakal, begitulah. Salam Victor Silaen (www.victorsilaen.com) --- On Fri, 11/14/08, ttbnice [EMAIL PROTECTED] wrote: From: ttbnice [EMAIL PROTECTED] Subject: [zamanku] Re: Rakyat Indonesia sakit? To: zamanku@yahoogroups.com Date: Friday, November 14, 2008, 5:46 AM Saya juga rakyat Indonesia dan banyak teman2 saya juga yang rakyat Indonesia. Dan kami merasa tidak sesakit itu. Hidayatullah memang bacaan orang sakit. Dan orang2 yg merayakan kemenangan terhadap pembantai manusia memang juga orang2 sakit. Tapi karena ini membawa nama Islam, sudah seharusnya Islam bertanggung jawab atas pencemaran nama baik seperti ini. Hanya sayangnya, saya yang orang awam dalam ISlam, melihat Acmadiyah yang saleh dan rahmat ilamin, diburu dan dianggap sesat. Sementara FPI dan Amrozy cs malah di elu2kan. Dengan terpaksa menyimpulkan ternyata Islamnya yang sakit. Apalagi setelah melihat Tawang yg mendukung pedofilia setelah belajar banyak Islam. Sekali lagi maaf, karena itulah wajah Islam yg terus dan terus saya saksikan... --- In [EMAIL PROTECTED] .com, teddy sunardi teddysunardi@ ... wrote: Cukup dengan membaca artikel ini saya berkesimpulan bahwa rakyat Indonesia sudah sakit http://www.hidayatu llah.com/ index.php? option=com_ contentview= articleid= 7905:keluarga- amrozi-adakan- syukuran- kemenangan catid=1:nasional Itemid=54 Ada yang istimewa di rumah keluarga Amrozi dan Ali Ghufron. Hari kedua setelah pelaksanaan eksekusi mereka menggelar syukuran kemenangan . Bukan bersedih, justru bergembira. Lha kok? Hidayatullah. com--Ada pemandangan menarik di hari kedua, Selasa , (11 /11) sore. Sekitar 50 an orang duduk berkumpul penuh hikmat di rumah orangtua Amrozi, Mbok Tariyem. Mereka menggelar acara syukuran kemenangan . Acara bertajuk Tasyakuran Kemenangan Umat Islam dalam Menyambut Syahid (Insyaallah) Ali Ghufron dan Amrozi, Mereka Bukan Teroris, digelar dalam rangka menyambut dan member dukungan terhadap keluarga korban. Acara dilaksanakan dengan sangat sederhana dan sepi dari liputan media massa. Satu-satunya media yang beruntung melihat pemandangan ini hanyalah hidayatullah. com. Pelaksanaan tasyakuran dilakukan usai shalat Ashar itu hanya dihadiri pihak keluarga dan sahabat terdekat. Acara diisi dengan tausiyah beberapa sahabat dekat dan wakil keluarga. Acara ini dilaksanakan untuk menunjukkan bahwa kita tidak bersedih, ujar ustad Ashari. Ia juga menampik berita-berita di berbagai media massa di mana dijelaskan bahwa almarhum Ali Ghufron dan Amrozi digambarkan meninggal dalam keadaan pucat. Gambaran seperti itu menurutnya hanya ditujukan agar pihak keluarga dan sahabatnya dalam keadaan sedih dan takut. Padahal yang terjadi tidaklah demikian. Mungkin bagi banyak kalangan, kehadiran almarhum tidak ada yang menyambut, tidak ada yang simpati atau bahkan ditolak masyarakat. Alhamdulillah, tidak seperti itu, tambahnya. Bahkan menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pelayat dan masyarakat yang hadir ribuan orang sampai harus berjalan berkilo-kilo jaraknya. Berdasarkan pantauan hidayatullah. com, sampai Selasa sore kemarin, pelayat yang datang masih antri dari berbagai kota. Selain itu, menurut Ashari, tasyakuran ini untuk mengenang tauladan kedua almarhum. Diantaranya sikap konsisten, selalu menjauhkan hal-hal yang subhat dan optimisme yang luar biasa terhadap perjuangan Islam. Sampai akhir hayat, mereka berdua tidak pernah memakan makanan yang diberikan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP), tambahnya. Menurut Ashari, apakah kedua almarhum diberi gelar syuhada atau tidak, terserah masyarakat yang menilai. Tapi ketiganya (Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi, red) telah menjadi tauladan sepanjang yang diyakininya benar dan dibawa dengan konsisten. Ashari kemudian menutup tausiyah nya dengan membacakan kisah Ibnu Taimiyyah saat dimasukkan dalam jeruji besi oleh penguasa di sebuah penjara di benteng Damaskus. Menurutnya, kala itu Ibnu Taimiyah sempat berkata, Apakah gerangan yang akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku? Syurgaku dan kebunku ada di dadaku. Ke mana pun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwat-ku, kematianku adalah mati syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan gulai kambing yang merupakan sumbangan dari para kerabat dan sahabat dekat Amrozi dan Ali Ghufron. [cha/amz/tho/ atw/www.hidayatu llah.com]
Re: [zamanku] Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!!
Itu kan cuma omongan doang, kata orang Jakarta. Gede bacot, kata orang Betawi. Banyak kali cakapmu, bah..., kata orang Batak. Begitulah Amrozi cs. Sok berani, padahal pengecut!! Victor Silaen On Fri, 11/7/08, Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED] Subject: [zamanku] Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!! To: zamanku@yahoogroups.com Date: Friday, November 7, 2008, 8:56 AM Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!! Selama sidang pengadilan Amrozy cs menyatakan tidak menyesalkan perbuatannya , bahkan mereka menyatakan apabila mereka berhasil lepas dari penjara akan membuat terror yang lebih dahsyat lagi karena hal ini adalah perintah Allah, kafir harus musnah dari bumi Allah. Para terdakwa tidak menyesalkan perbuatannya bahkan sangat bangga dan tidak takut mati padahal mereka membomb Caffe dengan menipu gelandangan idiot yang dibayar untuk menggendong ransel yang berisi bomb dan kemudian disuruh membeli rokok masuk ke caffe sementara Amrozy cs menunggu dari luar. Mereka menganggap mereka adalah pasukan jihad yang berkorban nyawa untuk membantai musuh2 Islam yaitu para turis Australia. Para terdakwa menolak meminta maaf kepada para korban, bahkan mengancam akan meledakkan lebih banyak tempat2 kafir lainnya. Waktu vonis dijatuhkan, mereka Amrozy cs ditanyakan apakah mau minta grasi, dan dijawab dengan gagah kami tidak akan minta grasi. Hakim menawarkan apakah mau mengajukan PK, oleh terdakwa ditolak, namun setelah pelaksanaan eksekusi mau dilaksanakan sang pembela meminta kesempatan mengajukan PK, dan setelah PK diajukan ternyata ditolak karena isinya tidak ada hal2 yang baru. Terdakwa menyatakan bersedia jadi martyr sebagai syuhada yang akan masuk kesorga. Makin dekat saat eksekusi, mendadak para terdakwa kembali mengajukan PK namun ditolak karena PK hanya bisa diajukan satu kali saja. Demo2 dan ancaman2 ditebarkan apabila eksekusi dilakukan, namun pemerintah tetap berjalan direl hukum yang berlaku dan persiapan eksekusi berlangsung sesuai yang direncanakan, dan disaat terakhir ini para terdakwa diisolasi diberi tahu akan segera ditembak mati, ketiganya pucat pias mukanya, sambil meneriakkan Allahuakbar mereka minta bertemu dengan keluarganya tapi ditolak karena kesempatan keluarga sudah dilakukan. Amozy mengirim surat rahasia kepada keluarganya yang isinya agar meminta grasi kepada presiden. Amrozy cs stress dan mengharapkan keluarganya berhasil meminta grasi kepada presiden SBY, tentunya SBY harus berkonsultasi dengan assistent hukum pidana-nya yang mengumpulkan data2 untuk pertimbangan keputusan SBY: Terdakwa tidak menyesalkan perbuatannya, tidak merasa bersalah, tidak meminta maaf kepada korban, bila bebas akan mengulangi perbuatannya, mengancam para hakim, jaksa, dan presiden apabila dieksekusi, dan menolak permohonan grasi pada kesempatan yang diberikan. Bahkan ketiga terdakwa ini mengirim pesan kepada para muslimin untuk angkat pedang membasmi kafir dari muka bumi ini. Namun pada saat2 akhir hidupnya, dia sangat ketakutan sewaktu semua persiapan eksekusi berlangsung didepan matanya. Saat inilah dia menyadari telah men-sia2kan grasi yang seharusnya dimanfaatkan jauh sebelumnya. Untuk menunda eksekusinya, mereka meminta kesempatan untuk meminta grasi melalui surat yang dikirim ke orang tuanya. Sambil meminta orang tuanya untuk meminta grasi, mereka menitipkan surat kedua yang apabila grasi ditolak, agar seluruh umat Islam membunuh SBY, Hakim, Polisi dan Jaksa yang mengeksekusinya. Dengan kenyataan diatas, APAKAH SBY AKAN MEMBERIKAN GRASI-NYA ??? Kita hanya bisa menunggu beritanya !!! Amrozy benar2 dicekam rasa takut mati, dia tidak lagi merasa akan masuk kesorga, dan dia menyadari perbuatannya sama sekali bukan jihad melainkan kriminal yang mengorbankan nyawa orang lain yang tidak berdosa sambil berusaha memfitnah CIA sebagai pelakunya. Dia membomb wilayah turisme Bali yang beragama Hindu agar masyarakat Hindu mau menyembah Allah masuk Islam. Ny. Muslim binti Muskitawati.
Re: [zamanku] Re: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat Eksekusi Amrozi Cs
Negara justru salah kalau mengabulkan PK keluarga Amrozi cs. Kapan selesainya proses hukum kalau begitu? Salam Victor Silaen On Tue, 11/4/08, mediacare [EMAIL PROTECTED] wrote: From: mediacare [EMAIL PROTECTED] Subject: [zamanku] Re: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat Eksekusi Amrozi Cs To: zamanku zamanku@yahoogroups.com Date: Tuesday, November 4, 2008, 6:56 AM Baru sekali ini dengar nama Rudi Satrio sebagai pakar hukum. - Original Message - From: teddy sunardi Sent: Tuesday, November 04, 2008 6:00 PM Subject: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat Eksekusi Amrozi Cs http://www.detiknew s.com/read/ 2008/11/03/ 171831/1030547/ 158/ahli- hukum-pidana- negara-salah- bila-nekat- eksekusi- amrozi-cs Ronald Tanamas - detikNews Jakarta - Keluarga terpidana mati bom Bali Amrozi cs mengajukan peninjauan kembali (PK), namun Kejagung memutuskan eksekusi terhadap ketiga bomber itu akan tetap jalan terus. Benarkah sikap Kejagung? Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengkritik sikap Kejagung. Menurut Rudi, tidak ada preseden sebelumnya eksekusi mati tetap dilakukan saat masih ada upaya hukum yang ditempuh terpidana ataupun keluarganya. (Bila nekat melakukan eksekusi) Negara telah membunuh yang bersangkutan, dan negara telah bersalah, kata Rudi dalam perbincangan dengan detikcom pertelepon, Senin (3/11/2008). Berikut wawancara Ronald Tanamas dari detikcom dengan pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio: Keluarga Amrozi cs mengajukan PK. Apakah pengajuan PK semestinya bisa membatalkan eksekusi Amrozi cs? Kalau kita bicara proses hukum yang ada, maka PK tidak menunda eksekusi. Dengan kata lain eksekusi harus tetap dilaksanakan baik untuk eksekusi hukuman mati atau eksekusi penjara. Namun kalau eksekusi mati maka PK tidak bisa menghentikan eksekusi, kalau hukuman pada umumnya PK tidak menghentikan eksekusi dalam artian hukuman. Maksudnya? PK untuk hukuman mati tidak bisa digunakan karena bisa menghentikan eksekusi tersebut. Namun PK untuk hukuman penjara bisa dilakukan sehingga bisa membuat tersangka pelaku kejahatan bisa menghirup udara bebas. Sikap kejagung yang menyatakan eksekusi akan jalan terus meski ada PK apakah tepat? Pada dasarnya Kejaksaan Agung melakukan eksekusi dalam kasus Amrozi itu salah. Harusnya dilihat secara detail dasar hukum yang dilaksanakan untuk melakukan eksekusi tersebut. Kenapa? Penjatuhan hukuman mati kepada terpidana bom Bali I menyalahi prinsip retroaktif atau pemberlakuan surut satu undang-undang. Maksudnya kasus bom tersebut dilakukan pada 12 Oktober 2002, sedangkan UU teroris disahkan pada tanggal 18 oktober 2002, maka khusus untuk kasus ini berlaku surut undang-undang. Seharusnya tidak ada dasar hukum untuk melakukan eksekusi tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, bisa dilihat juga di UU Mahkamah Kontitusi Nomor 013 Tahun 2003 yang kesimpulannya mengatakan terlarang mempergunakan perpu pemberantasan terorisme untuk bom Bali I. Alasan kedua, Kejaksaan tidak mencantumkan KUHP pasal 340 KUHP yang digunakan semata perpu tindak pemberantasan teroris saja. Apakah ada preseden sebelumnya terpidana tetap dieksekusi meski proses hukum masih ditempuh? Tidak ada sama sekali. Normal pemikiran saya hal itu tidak akan dilaksanakan. Apa risikonya bila tetap dieksekusi? Negara telah membunuh yang bersangkutan, dan negara telah bersalah. Terpenuhilah target bahwasanya Indonesia yang mempunyai teroris telah membasmi semua teroris dengan kemudian memberikan pemberitaan eksekusi tersebut di-ekspose sehingga diketahui oleh dunia. Artinya terpidana itu menjadi tumbal dari negara? Hahahahahaha, bisa saja demikian. Siapa yang meminta target ini kepada negara ? Australia dan Amerika, karena mereka akan memberi bantuan segala kemudahan yang dibutuhkan oleh negara ini jika teroris tidak ada. Kenapa Kejaksaan ngotot untuk tetap melakukan eksekusi tersebut dan kenapa baru dilaksanakan sekarang? Itu sah-sah saja. Itu salah satu cara untuk menunda hukuman tersebut dan mungkin saja mencari celah agar masyarakat kita tidak kritis dengan memunculkan image yang keliru melalui media mengenai teroris tersebut. Apakah seharusnya negara memberikan surat pemberitahuan kepada keluarga yang terpidana mengenai eksekusi tersebut? Harus ada pemberitaan dahulu kepada keluarga dan waktu untuk mengabari keluarga adalah H-3 dari waktu eksekusi. (ron/iy)
[zamanku] Memperkuat Ikatan Pemersatu Indonesia
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 30 Oktober 2008 Merawat dan Memperkuat Ikatan Pemersatu Indonesia Oleh Victor Silaen Momentum Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun 28 Oktober lalu sudah diperingati oleh pelbagai komponen bangsa. Entah kenapa peringatan kita atas momentum ini tak pernah semarak peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Padahal, kalau saja tak pernah ada momentum tersebut, bangsa manakah yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945? Tidak jelas. Namun, dengan adanya Sumpah Pemuda, maka jelaslah bahwa momentum penting 17 Agustus 1945 itu merupakan peristiwa diproklamirkannya kemerdekaan suatu bangsa, yakni Bangsa Indonesia. Inilah yang harus dipahami secara kritis. Bahwa sebelum Sumpah Pemuda, sesungguhnya Bangsa Indonesia belum betul-betul ada sebagai entitas politik. Yang ada barulah “embrio” Bangsa Indonesia, yang berserakan di pelbagai pelosok Nusantara dalam wujud suku-suku yang beranekaragam dan dengan entitas politiknya masing-masing. Memang, sejak zaman Hindia Belanda, masyarakat kita sangat majemuk. Menurut studi Furnivall (1944), kemajemukan itu ditandai dengan banyaknya kelompok masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada suatu kesatuan politik. Jadi, semasa penjajahan dahulu, yang ada di gugusan kepulauan yang disebut Nusantara ini adalah Orang Jawa (huruf “o” sengaja ditulis dengan huruf kapital untuk menunjukkan golongan atau komunitas, dan bukan satuan manusia), Orang Bali, Orang Batak, Orang Minang, Orang Bugis, Orang Minahasa, dan lainnya, yang masing-masing memiliki otonomi sendiri atas wilayah dan kelompok masyarakatnya. Atas dasar itulah mereka tidak bisa digolongkan secara begitu saja sebagai Orang Indonesia atau Bangsa Indonesia. Apalagi saat itu memang belum ada nasionalisme yang mempersatukan keanekaragaman mereka. Jadi, jangankan spirit yang sama sebagai suatu nasion, bahkan bahasa yang merupakan wahana untuk menjalin interaksi dan interelasi di antara mereka pun berbeda-beda. Di era kolonial dahulu, Bangsa Indonesia dalam artian politis (nasion) memang belum ada. Yang ada adalah sekumpulan suku (etnik), yang masing-masing hidup mandiri -- dan terpisahkan oleh jarak politik, budaya, dan geografis -- sebagaimana halnya bangsa-bangsa yang berdaulat atas wilayah dan penduduknya sendiri (nasion). Itulah sebabnya Orang Kulit Putih mudah menjajah nenek-moyang Indonesia itu selama ratusan tahun dengan cara memecah-belah (politik divide et impera). Nama “Indonesia” sendiri sebenarnya diberikan oleh sejumlah peneliti asing, antara lain James Richardson Logan dari Inggris, pada abad ke-18, karena menurut dia, kepulauan Nusantara dan orang-orang yang mendiaminya mirip dengan kepulauan India beserta penduduknya. Latar belakang seperti ini sebenarnya mirip dengan yang dialami Orang Indian di Amerika. Penduduk “asli” yang mendiami benua tersebut, terutama sebelum Orang Kulit Putih dari Eropa datang ke benua ini pada abad ke-15, sebenarnya bukanlah bangsa yang satu dan bersatu. Mereka terdiri atas banyak suku (etnik), yang masing-masing hidup mandiri (sebagaimana halnya nasion) secara politik dan budaya -- dan memiliki ratusan bahasa yang berbeda-beda. Ketika Columbus mendarat di sana, maka dialah orang pertama yang memberikan nama “Indian” kepada mereka. Menurut Columbus, penduduk asli itu mirip dengan orang-orang yang pernah dilihatnya di kepulauan India. Kembali pada sekumpulan suku (Orang Jawa, Orang Bali, Orang Batak, Orang Bugis, Orang Minahasa, dan lainnya) yang mendiami kepulauan Nusantara itu, seiring waktu “embrio” bangsa Indonesia itu pun mengalami maturitas akibat didera penderitaan yang berkepanjangan di bawah penguasaan kaum penjajah. Kelak, ketika saatnya tiba, lahirlah “bangsa baru” itu: Bangsa Indonesia. Bilakah itu? Bukan pada saat Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, melainkan ketika sejumlah tokoh dari berbagai organisasi pemuda mencetuskan ikrar politik yang mengakui sekaligus membulatkan tekad untuk bersatu nusa, bersatu bangsa, dan bersatu bahasa. Tepatnya tanggal 28 Oktober, delapan puluh tahun silam, di Gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat 106, Jakarta, milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda itu mengucapkan Ikrar Pemuda. Pertama: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe Tanah Indonesia”. Kedua: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe berbangsa satoe Bangsa Indonesia”. Ketiga: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe mendjoengdjoeng Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia”. Pada saat bersamaan diperkenalkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Jadi, saat itulah sesungguhnya secara resmi nasion dan nasionalisme Indonesia mulai dibangun. Sejak itulah pula perjuangan Bangsa Indonesia demi melepaskan diri dari belenggu penjajahan semakin menemukan arahnya. Sulitkah? Tentu saja. Sebab, selain suku-suku di Nusantara ini
[zamanku] Pornografi, Demokrasi, dan Alienasi
Telah dimuat pada Investor Daily, 26-26 Oktober 2008 Pornografi, Demokrasi dan Alinenasi Oleh Victor Silaen Dari Bali, suara keberatan atas RUU Pornografi kembali disampaikan pemerintah dan wakil rakyat di provinsi seribu pura itu. “Kami selaku Gubernur tidak akan mungkin bisa menerapkan kebijakan dengan menegakkan hukum yang ditentang oleh masyarakat. Terlebih lagi RUU Pornografi tidak sejalan dengan agama dan adat Bali yang menghormati kebinekaan,” tegas Gubernur Bali Mangku Pastika di hadapan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi DPR yang melakukan sosialisasi di Gedung Wiswa Sabha Gubernur Bali, Senin (13/10) lalu. Pendapat senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya, bahwa sikapnya sama dengan apa yang disampaikan Gubernur bahwa DPRD Bali menolak keras diundangkannya RUU Pornografi. Penolakan tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat. “Kami, bahkan sudah langsung datang ke Jakarta, menyampaikan aspirasi tersebut dan menemui Ketua DPR Agung Laksono,” ujar Arjaya. Ke depan, dapat diduga bahwa aksi-aksi penolakan terhadap RUU Pornografi ini akan kembali marak. Berdasarkan itu dapat dikatakan, sejak 1997 sampai 2008 kita hanya membuang-buang enerji demi merancang sebuah peraturan publik yang mengurusi hal-hal di seputar gejala lahiriah yang baik dan yang buruk atau yang patut dan yang tak patut, yang hasilnya nyaris sia-sia. Sebab, alih-alih kesepakatan tercapai, yang terjadi justru saling cekcok yang tak berkesudahan. Padahal, andai saja sejak semula kita mau berpikir kritis bahwa yang baik (tidak porno) dan buruk (porno) itu sendiri relatif adanya (tergantung relasinya dengan banyak faktor), sangat mungkin upaya membuat rancangan peraturan publik di seputar moralitas itu sedari awal pula tertolak. Kini, setelah beberapa provinsi dan banyak komponen bangsa menolaknya, termasuk lembaga quasi-negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, termasuk juga Permaisuri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, haruskah kita memaksakan pemahaman bahwa apa yang disebut hasrat seksual itu mudah dibuktikan dan mudah pula diukur? Atas dasar apakah para wakil rakyat itu akan menjadikan draf peraturan publik yang masih sarat perdebatan itu sah? Persetujuan mayoritas? Demokratiskah itu? Lalu, apa jadinya jika setelah disahkan bukan hanya penolakan yang muncul, tetapi juga reaksi-reaksi yang mengancam integrasi kita? Itulah alienasi, yang pada hakikatnya justru paradoks dengan demokrasi itu sendiri. Memang, demokrasi di ranah pembuatan keputusan kerap dilegitimasi dengan suara terbanyak. Itulah mekanisme baku yang berlaku sejak dulu. Tapi, bagaimana dengan minoritas, pihak yang kalah itu? Terimalah secara legowo, karena pihak yang lebih banyak jumlah anggotanya biasanya benar. Betul, meski tidak selalu begitu. Artinya, bisa saja yang lebih banyak justru salah. Bukankah logikanya yang lebih banyak itu bermula dari yang sedikit, yang seiring waktu bertambah karena berbagai faktor penyebab? Jadi, sekali lagi, haruskah keputusan yang demokratis dibuat berlandaskan suara terbanyak? Bisa saja, sepanjang itu menyangkut hal-hal di seputar pemilihan calon pemimpin. Sebab bagaimanapun, apa yang disebut subyektifitas berperan besar di situ, kendatipun sejumlah syarat dan kriteria kepemimpinan dijadikan alat seleksi demi meminggirkan para calon yang tak layak. Namun, akan berbeda jadinya jika mekanisme keputusan demokratis berlandaskan suara terbanyak itu diimplementasikan pada calon peraturan publik. Apalagi jika calon peraturan publik itu menyangkut tentang hal-hal yang sangat abstrak seperti “porno” dan “hasrat seksual” itu. Inilah yang mestinya dipikirkan secara kritis. Bayangkan jika Ali Mochtar Ngabalin, anggota Panja RUU Pornografi, berada di posisi saya. Suatu hari, di Kabupaten Biak Numfor, Papua, pertengahan tahun 2007. Di Lapangan Remaja Biak, siang itu, digelar acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) IX Tahun 2007 se-Tanah Papua. Meriah sekali. Pesertanya kira-kira berjumlah 4000 orang, terdiri dari 27 delegasi dari 29 kabupaten yang ada di Tanah Papua saat ini. Disaksikan oleh para pejabat pemerintah dan wakil rakyat daerah setempat, tetamu dan warga masyarakat dari pelbagai pelosok Papua, para anggota setiap kelompok paduan suara itu bernyanyi dan beraksi dalam arak-arakan devilei. Busana yang mereka kenakan bervariasi model dan bentuknya, tapi umumnya minimalis (maklumlah di Papua). Tapi sekonyong-konyong, ketika melewati panggung utama, tempat di mana Gubernur Barnabas Suebu duduk, seorang perempuan Papua membuka pakaian atasnya yang ternyata di dalamnya tak tertutupi pakaian dalam. Seolah sengaja, perempuan itu lalu mempertontonkan payudaranya seraya menari-nari. Secara cepat mata saya memandang ke sekeliling, termasuk ke arah Barnabas Suebu duduk, untuk mencari tahu bagaimana reaksi orang-orang itu. Umumnya mereka diam. Biasa-biasa saja. Merasa tak puas, saya kemudian bertanya kepada seorang
[zamanku] Membaca Pansus Orang Hilang
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008 Membaca Pansus Orang Hilang Oleh Victor Silaen Sebuah isu politik sekonyong-koyong berembus dan mulai menyita perhatian kita hari-hari ini. Yakni, terbentuknya Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) di DPR, yang diketuai oleh Effendi MS Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan. Rencananya Pansus Orang Hilang ini akan memanggil empat mantan jenderal: Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dikarenakan keempat orang itu telah diketahui publik sebagai bakal calon presiden (capres), maka komentar-komentar sumbang pun muncul bahwa Pansus Orang Hilang tak lain hanyalah taktik politik untuk menjegal langkah mereka maju dalam Pemilu 2009. Jika dianalisa secara hitam-putih, terbentuknya Pansus Orang Hilang di DPR itu sebenarnya merupakan sesuatu yang baik dan patut didukung. Sebab, terkait sejumlah orang yang hilang di era Soeharto, Komnas HAM telah merekomendasikannya pada 10 November 2006. Namun pertanyaannya, mengapa baru ditindaklanjuti sekarang oleh DPR? Inilah politik, yang kerap tidak hitam-putih. Karena itulah kita patut membacanya dari sudut pandang yang lain, bahwa ada taktik politik yang tengah dimainkan para lawan politik keempat mantan petinggi militer di era Orde Baru itu. Sebab mudah diduga, jika kelak agenda-agenda Pansus ini bergulir, niscaya terjadilah ”kampanye hitam” atau pemburukan citra dari lawan-lawan politik keempat jenderal purnawirawan itu. Alhasil, popularitas mereka pun merolot drastis. Para bakal capres itu dirugikan, sebaliknya lawan-lawan politik mereka diuntungkan. Pertanyaannya, siapakah yang menjadi lawan-lawan politik keempat bakal capres itu? Logikanya tentu semua bakal capres di luar keempat nama tersebut. Kita bisa menyebut banyak nama. Namun, jika dilihat dari partai politik (parpol), maka yang berkepentingan tentulah parpol-parpol besar yang optimistik akan maju dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) nanti. Dengan pembatasan ini, maka yang tertinggal hanyalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Partai Golkar hingga kini masih belum memastikan siapa yang akan diajukan menjadi bakal capresnya. Sedangkan PDI Perjuangan sudah, yakni Megawati Soekarnoputri. Inikah lawan politik yang tengah bermain taktik politik jegal-menjegal tersebut? Kemungkinan logisnya memang demikian. Apalagi rekam-jejaknya sudah ada. Dalam konteks Pemilu 2004, sekonyong-konyong Kasus 27 Juli dibuka kembali. Tak pelak waktu itu, orang banyak pun curiga bahwa ini tak lebih dari taktik busuk kelompoknya Megawati (selaku salah satu capres) dalam upaya memojokkan lawan politiknya di pentas rebutan tiket ke Istana Merdeka saat itu. Adapun lawan yang dimaksud adalah SBY, yang saat itu memang sangat popular dalam polling-polling peringkat capres-cawapres yang kerap dilakukan oleh sejumlah stasiun televisi swasta dan lembaga penelitian pasca-Pemilu Legislatif (Pileg) 5 April 2004. Tapi, kalau benar SBY yang dijadikan “sasaran tembak” dengan cara mencuatkan kembali kasus tersebut, agaknya sia-sia. Sebab, seperti yang dikatakan Sutiyoso, sang tersangka dalam kasus tersebut, SBY saat itu tidak dalam posisi yang sepatutnya dimintai pertanggungjawaban. SBY hanya Kasdam, sedangkan Sutiyoso adalah Pangdam Jaya. Jadi, benar kata Sutiyoso, dirinyalah yang layak dimintai pertanggungjawaban sebagai pemimpin tertinggi militer di DKI Jakarta saat itu. Bagaimanapun, terlepas dari suka atau tak suka dengan Sutiyoso, kita patut mengacungkan jempol atas kebesaran jiwa yang ditunjukkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu dengan cara mengatakan “dirinya” dan “bukan orang lain” yang patut bertanggungjawab. Sebab, bukankah selama ini kita sudah kerap menyaksikan para pemimpin militer yang selalu lari dari tanggungjawab dengan cara menunjuk orang lain (terutama anak buahnya), ketika suatu kasus yang diduga melibatkan dirinya sedang diproses di pengadilan? Entahlah, ini bisa dikategorikan sebagai budaya kita atau bukan. Yang jelas, selama ini, kebanyakan orang Indonesia memang lazim “menunjuk ke bawah” ketika sesuatu yang buruk diduga bakal menimpa dirinya. Beda sekali dengan kelaziman yang berlaku di beberapa negara lain, karena yang di bawahlah yang selalu “menunjuk ke atas” ketika sesuatu yang buruk sedang terjadi dan bisa menimpa siapa saja. Dan yang menariknya, yang di atas juga terbiasa untuk secara sportif dan gentle menerima lemparan tanggungjawab itu. Sebuah contoh nyata dapat dilihat pada kasus tentara Amerika Serikat (AS) yang menzalimi para tawanan perang Irak, beberapa tahun silam. Bukankah yang menjadi bulan-bulanan kegeraman rakyat AS lantaran hal itu adalah Presiden Bush dan bukan panglima angkatan bersenjata atau (apalagi) para tentara AS sendiri yang sedang bertugas di Irak? Kembali pada Kasus 27 Juli, ada suatu hal menarik yang layak dicermati. Di satu sisi, SBY yang dijadikan “sasaran tembak
[zamanku] Etika Politik dan Hasrat Berkuasa
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 8 September 2008 Etika Politik dan Hasrat Berkuasa Oleh Victor Silaen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kepada siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa ini ke depan untuk mengutamakan sikap kenegarawanan dengan mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Hal itu dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kepada wartawan di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/8), sesaat setelah mendampingi pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Boleh dipastikan, siapa pun setuju dengan harapan itu. Kita senang kalau para pemimpin bangsa ini sungguh-sungguh negarawan: yang mampu berpikir dan bersikap dengan kerangka dan spirit nasionalisme, yang tidak membeda-bedakan rakyat berdasarkan latar belakang etnik, agama, golongan, status sosial ekonomi, daerah asal, dan lainnya. Kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak. Namun, fakta bicara lain. Soal kenegarawanan, tak sedikit pemimpin yang kerap diskriminatif ketika berhadapan dengan rakyat. Bayangkan jika istilah ”mayoritas” dan ”minoritas” disebut-sebut ketika berupaya mencari solusi di balik konflik antarkelompok di masyarakat seraya mengimbau agar yang ”minoritas” tahu diri. Dalam kategori statistik, mayoritas dan minoritas memang ada dan tak mungkin dibantah. Namun dalam paradigma nasionalisme, kedua istilah tersebut sungguh usang dan karenanya tak sekali-kali boleh diucapkan. Maka, jika masih ada orang-orang yang menggunakannya, mereka patut dianggap kontra-nasionalis. Kalau itu rakyat biasa, mereka perlu dicerahkan. Kalau itu pemimpin, selayaknya dicopot saja dari posisinya. Sebab, mereka telah melanggar sumpah untuk selalu setia kepada Pancasila, UUD 45, dan NKRI. Soal kenegarawanan ini haruslah ditunjukkan bukan hanya ketika berhadapan dengan rakyat, tetapi juga di saat merancang dan membahas pelbagai peraturan publik di aras nasional dan daerah. Jika peraturan publik yang tidak seutuhnya dan sepenuhnya menjunjungtinggi nasionalisme itu sudah ada, kiranya para pemimpin dengan rendah-hati dan jiwa-besar bersedia merevisinya. Ke depan, kiranya para pemimpin selalu mawas-diri dan meninggikan nasionalisme dalam proses-proses dan kerja-kerja politik agar tidak memproduksi kebijakan politik yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI. Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung diberlakukan cukup banyak bermunculan, mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani. Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu. Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan hari-hari ini oleh Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang ingin meraih kursi di DPR. Padahal, sebagai gubernur, ia baru lebih setahun menjalankan masa jabatan keduanya. Tak pelak, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla pun menampiknya. ”Sebagai kader partai, dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah
[zamanku] Introspeksi Diri Balon Wakil Rakyat
Telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 19 Agustus 2008 Introspeksi Diri Bakal Calon Wakil Rakyat Oleh Victor Silaen Citra buruk para wakil rakyat Indonesia akhir-akhir ini semakin kerap disorot, baik secara lisan di ruang-ruang publik dan forum-forum diskusi, maupun dalam tulisan di berbagai media massa. Sesungguhnya wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap para politisi Indonesia dewasa ini. Sebab, kinerja sebagian besar politisi itu memang mengecewakan bahkan menyebalkan. Ada yang hobinya jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik. Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidak pernahkah mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara (yang notabene berasal dari uang rakyat) secara tidak produktif? Ada lagi wakil rakyat yang hobinya main-cinta – bukan dengan pasangan sahnya. Sehingga, tidak mengherankan jika muncul kabar tak sedap bahwa di Senayan selalu ada makelar-cinta yang siap-sedia memasok kalau-kalau ada politisi yang memberi order. Memang, sangat sulit membuktikan kebenaran ”kabar burung” ini. Tapi, bukankah tak ada asap kalau tak ada api? Kalau tak ada fakta, masakan muncul berita? Ada satu hal lagi yang juga menjadi kegemaran para wakil rakyat kita, yakni: mencari uang sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Caranya, antara lain, dengan mengusulkan dan memperjuangkannya secara gigih kenaikan gaji berikut tunjangan ini dan itu, pembengkakan anggaran sidang, penambahan dana operasional, dan lain sebagainya. Heran sekali, padahal mereka di lembaga legislatif untuk mewakili rakyat yang kebanyakan hidupnya justru susah dan menderita. Hanya itukah kelemahan atau kekurangan para wakil rakyat kita yang kerap menjadi sorotan? Kalau yang ini, yakni label ”4D”, bahkan sudah sejak era Soeharto menjadi sindiran masyarakat luas. Dengan itu berarti, kebanyakan politisi itu hanya ”datang, duduk, diam, duit” di Senayan. Bahkan yang lebih parah lagi, ada wakil rakyat yang datang pun jarang – sehingga untuk mereka label yang lebih cocok dikenakan adalah ”D” alias duit. Kendati demikian, hingga kini ternyata masih banyak orang yang berhasrat untuk menjadi wakil rakyat. Buktinya, ketika sejumlah partai peserta Pemilu 2009 mengumumkan pembukaan pendaftaran untuk menjadi bakal calon legislatif, yang berminat cukup banyak. Di antaranya adalah para selebritas. Bagaimana kita patut menyikapi fenomena ini? Di satu sisi kita prihatin, karena ternyata banyak partai yang tak mampu menjalankan salah satu fungsinya sebagai sarana rekrutmen dan pengkaderan elit-elit politik. Bukankah sebagai kekuatan politik yang berperan dominan di dalam sistem dan proses politik Indonesia, mestinya setiap partai senantiasa berada dalam keadaan siap menyuplai kader-kadernya untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang tersedia? Jadi, mengapa harus membuka pendaftaran bagi masyarakat luas? Mengapa pula harus meminta para selebritas menjadi kader mereka? Di sisi lain, hasrat para selebritas itu sendiri untuk masuk ke lembaga legislatif patut dipertanyakan. Yang sangat mengherankan, sebagian bakal calon wakil rakyat itu ada yang masih sangat belia (20-an tahun) dan ada pula yang baru melahirkan anak. Yang masih sangat belia, sudah matangkah mereka untuk menjadi elit politik? Yang baru melahirkan anak, tidakkah lebih bijak jika ia mencurahkan waktunya untuk menjadi ibu yang bertanggungjawab? Masih banyak hal lain yang menjadi keraguan kita atas hasrat para selebritas itu menjadi wakil rakyat. Kita khawatir, jangan-jangan mereka menganggap menjadi wakil rakyat itu gampang. Pertanyaannya, apa betul gampang? Jelas tidak. Karena, alih-alih sebagai sumber matapencaharian, menjadi wakil rakyat itu sesungguhnya merupakan panggilan mulia untuk memperjuangkan idealisme demi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menegakkan kebenaran dan mewujudkan keadilan di tengah kehidupan bernegara dan berbangsa. Jadi, janganlah menjadikan kursi-kursi di lembaga legislatif sebagai sumber nafkah setelah pekerjaan lain sebelumnya dianggap kurang menarik. Sebab, menjadi wakil rakyat itu sulit bahkan penuh risiko. Inilah yang seharusnya dipahami oleh setiap bakal calon wakil rakyat itu. Menjadi wakil rakyat itu sulit, karena diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang dalam. Sebab, sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah bersidang, dan bersidang berarti beradu argumen. Untuk itu, tak bisa tidak, setiap wakil rakyat harus berani bersuara lantang dan mampu berpikir kritis-rasional. Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, maka yang terjadi mungkin tiga hal ini: 1) bicara lantang tapi ngawur; 2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja; 3) tidak
[zamanku] Pemimpin Nir-empati
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 5 Agustus 2008 Pemimpin Nirempati dan Megagolput Oleh Victor Silaen Di Ambon, 5 Juli lalu, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan bahwa warga yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya (golongan putih/golput), baik dalam pilkada maupun pemilu, semestinya tidak boleh menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Menurut Megawati, sengaja menjadi golput sangat bertentangan dengan undang-undang dan menghancurkan tatanan demokrasi di Indonesia. Sementara di Malang, 15 Juli, Megawati mengatakan bahwa orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti bisa dijuluki sebagai pengkhianat reformasi. Sistem pemilu Indonesia sekarang, menurutnya, merupakan hasil dari suatu proses panjang yang berawal dari adanya reformasi total, lalu empat kali amandemen konstitusi, dan diakhiri dengan kesempatan melahirkan tatacara pemilu langsung oleh rakyat. “Ini sudah merupakan tuntutan rakyat. Masyarakat sudah menuntut hak pilihnya dilakukan secara langsung. Nah, kalau golput lagi, itu khianati reformasi,” katanya. Bagaimana kita patut menyikapi pernyataan mantan presiden ke-5 ini? Prihatin. Sebab, alih-alih memberikan sosialisasi politik yang baik dan benar kepada rakyat, pernyataan itu justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Karena, adalah fakta bahwa setiap kali pemilu diselenggarakan, selalu ada sejumlah orang yang menjadi golput. Apakah mereka dihukum karena itu? Tidak, karena dasar hukumnya memang tidak ada. Golput sendiri jelas bukanlah fenomena baru di negara ini. Di akhir era Orde Baru, ia sempat dijadikan wacana. Menjelang Pemilu 1997, ada lembaga keagamaan yang menyatakan bahwa memilih itu wajib hukumnya. Sebaliknya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam surat penggembalaan yang dikeluarkannya saat itu, menyatakan bahwa menjadi golput tidaklah berdosa. Di era ketika kebebasan masih terbelenggu, bukankah suara kenabian seperti itu sangat memuliakan harkat-martabat manusia? Sebab, kesejatian manusiawi niscaya ditemukan ketika manusia dapat menikmati hidup yang bebas seturut kata hatinya. Dari perspektif hak asasi manusia (HAM) pun, menjadi golput jelas merupakan HAM yang tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak manapun. Artinya, jika hak memilih dalam pemilu tidak digunakan oleh seseorang, maka hal itu sepenuhnya merupakan urusannya sendiri. Yang penting ia menjadi golput bukan karena dua alasan berikut: 1) dipaksa atau diancam oleh pihak-pihak tertentu; 2) terhambat oleh faktor-faktor tertentu. Sebab, jika karena alasan pertama, pihak-pihak pemaksa atau pengancam tersebut dapat dikenai hukuman pidana. Jika karena alasan kedua, maka pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Daerah (KPUD), maupun semua mitra kerja merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban. Sebab, pemilu diibaratkan sebagai pesta rakyat, sehingga atas dasar itulah seluruh rakyat harus diberi kemudahan (dan dijamin kebebasannya) untuk berpartisipasi di dalamnya. Di era Orde Baru, kita juga selalu mendengar theme song pemilu menjelang hari “H’ pesta rakyat lima tahunan itu. Petikan syair lagu itu berbunyi demikian: ”Pemilihan umum telah memanggil kita. S’luruh rakyat menyambut gembira...” Boleh dibilang bahwa selain merupakan imbauan, lagu tersebut juga dimaksudkan sebagai sarana untuk menyugesti rakyat agar antusias menyambut pemilu. Mengapa perlu disugesti? Karena, pada kenyataannya, selalu saja ada orang yang tidak bergairah menyongsong pemilu. Buktinya, setiap kali pemilu diselenggarakan, setiap kali itu pula tercatat jutaan orang yang menjadi golput. Apa boleh buat, inilah fakta. Jadi, alih-alih menyalahkan para golput dengan mengatakan mereka ”tidak pantas menjadi WNI” maupun ”pengkhianat reformasi”, lebih bijaklah mempertanyakan mengapa fenomena ini selalu ada dan jumlahnya cenderung meningkat akhir-akhir ini. Sangat mungkin, jika dibuat kategorinya, jawaban-jawaban mereka secara jujur adalah sebagai berikut: 1) merasa apatis, karena tak ada gunanya memilih atau tak tahu harus memilih siapa; 2) merasa muak kepada elite politik dan partai politik, karena terlalu mudah mengumbar janji dan mudah pula melupakannya. Dari perspektif politik, banyak hal yang memang paradoks sekaligus ironis di Indonesia. Di satu sisi agama sangat ditinggikan di ruang-ruang publik, namun di sisi lain kita sulit menemukan pemimpin-pemimpin dengan kesalehan sejati yang holistik: yang rajin beribadah sekaligus gigih berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Di satu sisi cukup banyak orang yang merasa dirinya layak menjadi wakil rakyat, baik yang sudah mendapat kursi maupun yang akan merebutnya, namun di sisi lain betapa langkanya wakil rakyat incumbent maupun potensial yang sungguh-sungguh peduli atas penderitaan rakyat. Inilah agaknya krisis kepemimpinan yang sesungguhnya di Indonesia. Jumlah orang yang berkualitas dan berkapasitas sebagai pemimpin
[zamanku] Artalyta dan Bang Jaksa
Telah dimuat pada Harian Batak Pos, 16 Juni 2008 nbsp; Antara Artalyta dan Mas/Bang Jaksa Oleh Victor Silaen nbsp; nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Pemberitaan media elektronik dan media cetak dalam sepekan terakhir ini diramaikan dengan tereksposnya dua rekaman percakapan per telepon selular (ponsel) antara seorang warga negara biasa dan dua pejabat tinggi di institusi kejaksaan. Dua rekaman itu masing-masing adalah: pertama, antara Artalyta Suryani dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Untung Udji Santoso; kedua, antara Artalyta Suryani dan (mantan) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman. nbsp; nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Sosok Artalyta mulai menarik perhatian publik sejak 2 Maret lalu, terkait kasus pemberian uang kepada Urip Tri Gunawan, Ketua Tim Jaksa dari Kejaksaan Agung, yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Urip Tri Gunawan dianggap telah mencoreng penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi terkait debitur Sjamsul Nursalim (pemilik Bank Dagang Negara Indonesia dan Grup Gadjah Tunggal). Minggu sore itu (2 Maret), Urip tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika baru keluar dari sebuah rumah mewah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, tak jauh dari rumah Sjamsul Nursalim. Dari tangannya, KPK menyita uang senilai 660.000 dolar AS (sekitar Rp 6 miliar), yang diduga uang suap, dari Artalita Suryani -- kerabat Sjamsul. nbsp; nbsp;nbsp;nbsp; Yang menarik, Urip selama ini dikenal sebagai jaksa yang baik. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bali ini pernah menjadi salah satu jaksa yang menangani kasus Bom Bali I dengan terdakwa Amrozi dkk. Suatu kali, ia memberikan sepasang sepatu kepada Amrozi – karena si teroris berwajah senyum-sumringah itu selalu memakai sandal saat di persidangan. Tak disangka, Amrozi menolak pemberian sepatu itu. Alasannya, ia khawatir sepatu tersebut dibeli dari uang korupsi Kepala Kejari Bali itu. Saat itu, siapa pernah menduga bahwa suatu saat kekhawatiran Amrozi terbukti -- bahwa jaksa yang baik itu kelak menjadi (tersangka) koruptor? nbsp; nbsp;nbsp;nbsp; nbsp;Namun, pasca-penggerebekan oleh aparat KPK, Urip berupaya membela diri. Menurut dia, uang miliaran yang ia terima dari Artalyta adalah hasil jual-beli permata. ”Sejak lama saya mempunyai usaha sampingan jual permata. Untuk uang ini pun ada bukti tanda terimanya, tidak ada kaitannya dengan perkara. Saya jamin 100 persen,” katanya berdalih. Ketika ditanya apakah uang tersebut terkait penghentian kasus BLBI, Urip membantah. ”Kalau penghentian kasus BLBI, nbsp;itu bukan saya yang menentukan.” Memang, ada yang aneh, ketika beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian pengusutan semua kasus BLBI -- termasuk kasus Sjamsul. Wajar jika aparat KPK menduga uang yang ditemukan dalam peristiwa penggerebekan itu sebagai suap atas kasus yang ditangani Urip. nbsp; nbsp;nbsp;nbsp; nbsp;Waktu pun berjalan. Hubungan ”tidak biasa” antara Artalyta-Urip semakin terkuak.nbsp; Artalyta, dalam rekaman percakapannya dengan Jamdatun Untung yang diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (11 Juni), antara lain mengatakan ”Urip kita, Mas...”. Tidakkah kita merasakan ada sesuatu yang”aneh” dalam percakapan itu? Pertama, mengapa Artalyta menyebut Urip sebagai ”Urip kita”? Jelas ada hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Urip. Kedua, mengapa Artalyta memanggil Untung dengan sapaan ”Mas”? Ini pun menyiratkan adanya hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Untung. Sebaliknya Untung, mengapa ia memanggil Artalyta dengan sapaan ”Dik”? Seberapa akrabkah hubungan mereka berdua dan apa yang membuat keduanya menjadi akrab? nbsp; nbsp;nbsp;nbsp; Terkait kasus pemberian uang kepada Urip, ternyata Artalyta sebelumnya (1 Maret) sudah menghubungi Kemas Yahya Rahman. Percakapan antara Artalyta-Kemas terjadi sehari setelah Kejagung mengumumkan penghentian penyelidikan kasus BLBI yang ditangani Kejagung sejak 29 Februari. Dalam rekaman percakapan Artalyta-Kemas terungkap bahwa Artalyta memanggil Kemas dengan sapaan ”Bang”. Ini pun membuat kita curiga tentang adanya sesuatu yang ”tidak biasa” dalam hubungan keduanya. Mengapa Artalyta terkesan begitu akrabnya dengan Kemas sehingga memanggil pun cukup dengan ”Bang” saja? Sebaliknya Kemas, beberapa kali ia terdengar tertawa-tawa dalam percakapan itu. Rileks sekali. Terkesan Kemas sama sekali tak berupaya menjaga wibawanya sebagai seorang pejabat tinggi negara di depan Artalyta. nbsp; nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Menariknya lagi, dalam percakapannya dengan Kemas, Artalyta sempat menyebut seseorang dengan “julukan rahasia”, yakni “si Joker”. Terungkap kemudian, ternyata yang dimaksud si Joker adalah Djoko Tjandra, pemilik Bank Bali yang juga debitor BLBI. Tapi, apa menariknya? Pertama, hubungan Artalyta-Kemas diduga kuat sudah terjalin cukup lama sehingga keduanya bisa menyepakati ”julukan rahasia