Re: [zamanku] Ulang tahun ke 81

2009-11-11 Terurut Topik victor silaen
Selamat Ulang Tahun yang ke-81 Pak Umar. Sehat selalu. Terus berkarya.

Salam
Victor Silaen

--- On Thu, 10/29/09, Umar Said kon...@club-internet.fr wrote:

From: Umar Said kon...@club-internet.fr
Subject: [zamanku] Ulang tahun  ke 81
To: Zamanku zamanku@yahoogroups.com
Date: Thursday, October 29, 2009, 10:19 AM






 





  


    
Ulang tahun  ke 81

  
  
Berkaitan dengan hari ulang tahun saya ke-81 yang 
jatuh pada tanggal 26 Oktober 2009, telah saya terima ucapan selamat dari 
berbagai teman, sahabat, serta kenalan-kenalan Internet atau pembaca website 
(http://umarsaid. free.fr) . Ucapan-ucapan selamat 
tersebut, yang semuanya berisi harapan-harapan terbaik telah dituangkan dalam 
berbagai bentuk dan cara serta dalam bermacam-macam nada yang penuh kehangatan 
serta persahabatan.
  
Berbagai macam ungkapan yang demikian ini telah 
diterima dari Perancis, Holland, Jerman,  Czech, 
Aljazair, Indonesia, Tiongkok, Hongkong/Macao, Australia, New 
Zealand. 
  
Atas semuanya ini saya menyatakan terimakasih 
sebesar-besarnya, dan mengharapkan juga  
segalanya yang terbaik bagi semua teman dan sahabat yang telah 
mengirimkan ucapan selamat ulang tahun.
  
Paris, 29 Oktober 2009
  
A. Umar Said
  
 

__ Information from 
ESET NOD32 Antivirus, version of virus signature database 4553 (20091028) 
__

The message was checked by ESET NOD32 Antivirus.

http://www.eset. com


__ 
Information from ESET NOD32 Antivirus, version of virus signature database 4554 
(20091029) __

The message was checked by ESET NOD32 
Antivirus.

http://www.eset. com


 

  




 

















  

[zamanku] 151 Perda Bias Agama

2009-07-19 Terurut Topik victor silaen


 

Dimuat pada Harian Sinar Harapan, 13 Juli 2009

 

151 Perda Bias Agama

Oleh Victor Silaen

 

    Para uskup se-Indonesia telah menulis surat tertanggal 30 Mei
2009, yang isinya antara lain meminta dengan tegas agar presiden
dan wakil presiden terpilih nanti membatalkan 151 peraturan daerah (perda) yang
dinilai bertentangan dengan Pancasila. “Peraturan-peraturan ini bagaikan puncak
karang yang secara kasat mata menghadang bahtera bangsa kita. Untuk menjaga
keutuhan NKRI, kami menganjurkan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih
untuk membatalkan 151 Perda ini serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan
perundangan yang bertentangan dengan konstitusi,” kata Mgr Sutrisno Atmoko yang
juga Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kepada pasangan capres-cawapres 
JK-Wiranto
yang bertandang ke Kantor Waligereja Indonesia, 9 Juni lalu. 

 

   
Mengejutkankah seruan moral para uskup itu? Rasanya tidak. Boleh jadi
karena aspirasi senada sudah berulangkali disampaikan oleh pelbagai komponen
bangsa yang merasa prihatin melihat kian maraknya perda bias agama di sejumlah 
daerah,
termasuk di ibukota Jakarta
(melalui Perda ”Tibum”
No. 8 Tahun 2007, yang antara lain mengatur untuk tidak boleh menjual makanan
”haram”). Karena sudah berulangkali, maka tak heran jika perda yang diserukan
untuk dibatalkan itu kini telah berjumlah 151. 

 


Disebut bias agama, karena perda-perda tersebut bertentangan dengan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
yang tak sedikit pun menyebut agama tertentu di dalamnya. Tetapi, mengapa
seolah seruan-seruan itu tak diresponi secara proporsional? Antara lain 
jawabannya
adalah, karena perda-perda tersebut dinilai tidak diskriminatif. Bahkan menurut
calon presiden dari Partai Golkar dan Partai Hanura, Jusuf Kalla, perda-perda
tersebut hanya sebagai aturan yang bernilai anjuran. “Jadi, tidak ada sanksi
hukum dalam perda syariah,” ujar Kalla yang juga Wakil Presiden
RI dalam dialog tentang hukum dengan
Indonesian Legal Roundtable di Hotel Four Seasons, Jakarta, 8 Juni lalu. Ucapan 
Kalla tersebut
merupakan respon terhadap pertanyaan salah satu panelis, Todung Mulya Lubis,
yang menganggap perda-perda syariah bersifat diskriminatif. “Karena mengikat
semua, tidak hanya Muslim,” kata Todung.



    Sungguh memprihatinkan. Bagaimana
mungkin seorang politikus kawakan sekaligus pemimpin bangsa dapat mengatakan
hal yang keliru tentang sebuah peraturan publik? Tidakkah dia paham bahwa
sebuah peraturan publik memiliki kekuatan mengikat yang sah, yang karenanya
diikuti dengan sanksi hukum bagi siapa pun yang melanggarnya – tanpa hiraukan
agamanya apa? 

 

    Pasca-Soeharto,
agenda-agenda reformasi telah dan terus bergulir deras. Namun ironisnya, hingga
kini Indonesia masih “gamang” dalam memosisikan dirinya sebagai negara hukum
atau negara
agama. Ataukah memang Indonesia secara sadar membiarkan dirinya terus-menerus
menjadi bukan negara hukum sepenuhnya dan bukan negara agama sepenuhnya? Sebab,
kalau negara hukum sepenuhnya, mengapa banyak peraturan di tingkat lokal
(perda) maupun nasional (undang-undang/UU) yang bias agama tertentu?
Sebaliknya, jika dikategorikan sebagai negara agama, Indonesia jelas tak cocok.
Sebab di negara ini, para pemimpin di tingkat lokal maupun nasional tidak
dibatasi harus beragama ini atau itu.

 

    Sejak awal, Indonesia telah didesain
menjadi negara hukum dan bukan negara agama. Secara faktual pun tak dapat 
diingkari
bahwa agama-agama di Indonesia sejak dulu memang beraneka ragam. Berdasarkan
itulah maka merancang-bangun negara ini di atas pilar-pilar yang bukan-agama
merupakan pilihan rasional yang baik dan tepat. Sebab, seandainya agama
tertentu dipilih untuk dijadikan pilar negara, pertanyaannya adalah: agama yang
mana? Bukankah secara sosiologis tak ada agama yang benar-benar satu
(monolitik)? Sementara agama yang secara nasional dikategorikan mayoritas
secara statistik, faktanya di sejumlah daerah ia justru merupakan minoritas.

 

     Jadi
jelaslah bahwa Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan terserak dari Sabang
sampai Merauke ini sungguh tak cocok untuk dijadikan negara agama. Inilah yang 
mestinya
disadari betul oleh segenap komponen bangsa. Artinya ke depan jangan sampai ada
orang-orang (apalagi mereka yang diposisikan sebagai pemimpin maupun tokoh
masyarakat) yang merasa dirinya dan kelompoknya sebagai mayoritas berdasarkan
agama yang dianut, dan sebaliknya memandang orang-orang lain sebagai minoritas
dikarenakan agama mereka berbeda. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru
sekaligus kontraproduktif dalam rangka membangun NKRI. Karena itu, alih-alih
menjadikan mayoritas dan minoritas berdasar agama sebagai penanda suatu
kelompok atau komunitas, lebih baiklah mengusangkan sekat-sekat keagamaan itu
seraya memperkuat spirit nasionalisme di atas semboyan Bhineka Tunggal Ika. 

 

 Sebagai umat beragama, tentu saja setiap
kita masih memiliki identitas keagamaan yang melekat di dalam diri. Namun,
ketika kita berada di ruang-ruang publik yang

[zamanku] Menjual Diri, Bukan Janji

2009-04-07 Terurut Topik victor silaen


Dimuat pada Harian Batak
Pos, 30 Maret 2009

 

Menjual Diri, Bukan Janji 

Oleh Victor Silaen 

 

 Pemilu Legislatif 9 April 2009 sudah di ambang
pintu. Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti
ini: “Apa sih gunanya ikut pemilu?
Lagi pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota
legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu,
jadi bagaimana saya mau memilih mereka?”

 

 Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu
satu persatu. Pertama, pemilu adalah
sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. 
Sedangkan
pemilu adalah alat yang harus kita gunakan. Untuk itulah kita sepatutnya
berpartisipasi, jika kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa 
depan
Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika orang-orang
yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama saja dengan
yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak, tak mungkin
sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang jauh
berbeda dengan era Soeharto? 

 

    Jadi, janganlah
menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti
juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang
yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih
punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang
setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya.  


 

 Noam Chomsky, seorang ilmuwan
politik asal Amerika Serikat (AS), pernah berkata begini: “Jika Anda berlaku
seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang
menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Ia benar. Kitalah yang harus
memperjuangkan perubahan itu dengan cara terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan
itu sambutlah pemilu sebagai warga negara yang bertanggungjawab, yang ingin
melihat masa depan Indonesia lebih baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti,
pantaulah terus orang-orang yang telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di
jalan yang benar” ketika mereka sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang
strategis itu. 



 Kedua,
camkanlah sebuah prinsip penting dalam rangka memasuki hari “H” 9 April. Yakni:
memilihlah secara rasional
dan kalkulatif. Itulah pemilih yang cerdas, yang tidak asal pilih. Dasar 
berpikirnya
begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu nantinya harus dapat
menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup rakyat. Untuk itulah
ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan dipilihnya. Ia
mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin, lalu 
mendiskusikannya
dengan orang-orang lain yang berkompeten.

 

 Kebalikan dari itu adalah pemilih tak
cerdas. Ia berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu
meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS),
lalu contreng sana contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang
dipilih itu kurang berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya
kehidupan sendiri yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga
legislatif nanti,” mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.”
Begitulah pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif.

 

 Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus
memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus
diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti
Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di
lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik,
perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya,
dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan
kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin
kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, 
kesehatan-sanitasi,
pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada
mereka.   

 

 Jadi jelaslah, keberadaan para wakil
rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu
adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah
kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar
setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah
orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki
wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai
pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi
pelbagai risikonya. 

 

 Jika harapan itu
tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam 
waktu yang tak terlalu lama lagi.
Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di lembaga legislatif itu adalah
orang-orang yang umumnya kurang berkualitas dan kurang berintegritas, niscaya 
Indonesia
tetap begini-begini saja

[zamanku] Cukup KTP s.d 8 April

2009-03-31 Terurut Topik victor silaen
Berdasarkan
informasi yang berkembang, KPU memperbolehkan warga negara yang memiliki KTP
sah, namun belum terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), untuk mendaftaran
diri ke Kelurahan setempat dengan membawa KTP. 

 

Batas akhir
pendaftaran adalah 8 April 2009. Mohon cek ke kelurahan masing-masing, apakah
nama Bapak/Ibu sudah terdaftar di DPT. Jika belum, gunakanlah kesempatan ini. 

 

9
April nanti, Anda harus memilih: 1) caleg DPR; 2) caleg
DPRD; 3) caleg DPD. Bagi yang berada di kabupaten/kota, Anda juga harus
memilih: 4) caleg DPRD Tingkat II. Untuk DPR/DPRD, contreng pada kolom
namanya. Untuk DPD, contreng fotonya.

 

Mohon sebar luaskan
informasi ini.

 



Salam perjuangan,

Dr. Victor Silaen,
MA.(www.victorsilaen.com)


  

[zamanku] Buddha-Bar dan Primadonaisasi Agama

2009-03-26 Terurut Topik victor silaen


 

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia, Kamis 26 Maret 2009

 

Buddha-Bar
dan Primadonaisasi Agama 

Oleh Victor Silaen

 

   
Hingga kini pimpinan dan umat Budha belum berhenti memprotes keberadaan
sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, yang bernama Buddha-Bar.
Sebenarnya bukan restoran itu sendiri yang ditentang, melainkan namanya yang
dianggap tidak menghormati perasaan seluruh komunitas agama Budha di Indonesia.


   
Minggu 15 Maret lalu, siang, saya bercakap-cakap dengan Aggy Tjetje,
Ketua Umum DPP Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia sekaligus Rektor 
Institut Agama Buddha Nasional dan beberapa biksu di
Vihara Avalokiteshvara di bilangan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Di tengah
percakapan yang menyoroti isu hangat ini, ada yang berkata begini: “Masak ada
pejabat Pemprov DKI yang mengatakan bahwa kata ‘bar’ dalam label restoran itu
bermakna ‘tiang’. Lho, kalaupun itu
benar, tetap saja jangan pakai nama Budha dong.
Jadi mau Tiang Budha kek, Bengkel Budha kek, tetap saja itu menyinggung
perasaan kami. Coba kalau namanya Kristen-Bar, apa umat Kristen tidak
tersinggung? Kalau Islam-Bar, apa umat Islam tidak tersinggung? Pokoknya, kami
menuntut agar nama Budha dihapus dalam label restoran itu.”

 Saya maklum. Saya pun akan marah
kalau restoran itu bernama “Christian-Bar”. Tapi herannya, mengapa restoran 
sekaligus
tempat menghibur diri ini aman-aman saja di negara asalnya, Perancis? Menurut
saya pertanyaan ini harus dijawab dengan dua poin. Pertama, itu urusan
Perancis. Artinya, apa yang baik di luar negeri tidak dengan sendirinya harus
dianggap baik juga di sini. Kedua, meski Indonesia berbentuk negara hukum, namun
sejak dulu tak pernah membiarkan agama-agama bebas-lepas dari jangkauannya. Di
sini agama-agama harus menyesuaikan diri dengan negara. Artinya, kalau tidak
mendapat restu dari negara, bisa-bisa agama tersebut dimasukkan dalam kategori
“agama yang tidak-diakui”. 

 Dari sisi rakyat, itulah
repotnya hidup di negara berdasarkan Pancasila ini. Dalam ideologi bangsa 
Indonesia
itu, “ketuhanan” berada di tempat pertama. Itu berarti “ketuhanan” merupakan
sebuah nilai yang paling utama di dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, 
jangan harap orang
boleh bebas tidak ber-Tuhan di negara ini. Buktinya, setiap orang harus
memproklamirkan nama agamanya di dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang menjadi
kartu identitasnya sebagai warga negara. 

     Sementara dari sisi negara, kerepotan timbul
karena pemerintah dan aparatnya merasa berkewajiban untuk senantiasa mengawasi
hal-ihwal keagamaan rakyatnya. Tujuannya, selain demi pencatatan statistik dan
tertib administratif, juga untuk mencegah adanya ajaran dan perilaku keagamaan
yang “sesat”. Namun, tidakkah Indonesia
bukan sebentuk negara agama? Benar, tapi harap dicamkan bahwa Indonesia juga 
bukan negara sekuler
yang membiarkan agama-agama berada jauh di luar kendalinya. 

 Kalau begitu, maka pertanyaan penting yang
harus dijawab Pemprov DKI Jakarta adalah: mengapa membiarkan saja komunitas
agama Budha merasa terlecehkan dengan dilegalkannya Buddha-Bar itu? Mengapa
terkesan tak ada sensitivitas di dalam diri pimpinan dan aparat Pemprov DKI
Jakarta, padahal sejumlah pemimpin dan umat Buddha, disertai pelbagai pihak,
sudah berulangkali berdemo menggugat keberadaan bar tersebut?  

 Di
sisi lain, diberitakan bahwa DPRD DKI telah meminta Pemprov DKI mengamankan
asetnya berupa gedung bekas Kantor Imigrasi di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta
Pusat, yang kini menjadi polemik karena digunakan sebagai bar itu. Wakil Ketua
Komisi D DPRD DKI Muhayar (PKS) mengatakan, bangunan bersejarah itu dibeli
Pemprov DKI atas persetujuan DPRD untuk dijadikan sebagai cagar budaya yang
akan difungsikan sebagai museum. “Jadi DPRD dulu menyetujui alokasi anggaran,
karena Pemprov merencanakan bangunan itu untuk museum, bukan komersil atau
disewakan,” katanya. Kalau begitu, tidakkah keberadaan Buddha-Bar di lokasi itu
pun sebenarnya juga telah menyalahi rencana awal peruntukannya? Jadi, pihak
mana yang harus bertanggungjawab atas terjadinya penyimpangan recana awal
tersebut? Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) atau Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan DKI, atau keduanya? 


Terlepas dari pihak-pihak yang harus bertanggungjawab itu, fenomena ini
kiranya cocok disebut “komersialisasi agama”. Secara sosiologis, agama memang
selalu memiliki dua wajah. Di satu sisi agama bernilai spiritual yang mampu
menumbuhkan kebutuhan sekaligus kesadaran untuk senantiasa menjaga relasi yang
harmonis dengan Yang Mahakuasa. Di sisi lain agama juga bisa membangkitkan
amarah untuk mengalahkan musuh (bernilai politik), kegairahan untuk mencari
profit dengan menyebutnya sebagai “rezeki dari atas” atau “berkat ilahi”
(bernilai ekonomis), dan lainnya.   


Hampir sama halnya dalam bidang politik, dalam bidang ekonomi pun semua
yang bernuansa atau bercorak agama dengan mudahnya dieksploitasi dan
disalahgunakan demi mencapai kepentingan yang sebenarnya tak berkait sama

[zamanku] Perilaku Pemilih, Konsumtif atau Investatif

2009-03-12 Terurut Topik victor silaen


Telah dimuat pada
Harian Jurnal Nasional, 11 Maret 2009

 

Perilaku Pemilih, Konsumtif atau Investatif

Oleh Victor Silaen 

 

 Pemilu 9 April 2009 sudah di depan mata.
Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti ini:
“Apa sih gunanya ikut pemilu? Lagi
pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota
legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu,
jadi bagaimana saya mau memilih mereka?”

 Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu
satu persatu. Yang pertama, pemilu adalah
sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. Untuk
itu harus ada alatnya, yakni: pemilu. Untuk itulah kita sepatutnya
berpartisipasi, kalau kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa
depan Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika
orang-orang yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama
saja dengan yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak,
tak mungkin sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang
jauh berbeda dengan era Soeharto? 

    Jadi, janganlah
menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti
juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang
yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih
punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang
setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya.  


 Ingatlah ucapan bijak Noam Chomsky, seorang ilmuwan
politik di Amerika Serikat, berikut ini: “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada
peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak
akan ada perubahan.” Jadi, perjuangkanlah perubahan itu dengan cara kita sendiri
terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan itu sambutlah pemilu sebagai warga
negara yang bertanggungjawab, yang ingin melihat masa depan Indonesia lebih
baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti, pantaulah terus orang-orang yang
telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di jalan yang benar” ketika mereka
sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang strategis itu. 

 Yang kedua, sebelum tiba hari “H”
itu, camkanlah sebuah prinsip penting. Yakni: memilihlah secara 
bertanggungjawab. Jadi artinya,
kita harus memilih secara rasional dan penuh pertimbangan. Itulah pemilih yang
kalkulatif, yang membayangkan dirinya sedang berinvestasi (Firmanzah, 2008).
Cara berpikirnya begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu
nantinya harus dapat menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup
rakyat. Untuk itulah ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan
dipilihnya. Ia mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin,
lalu mendiskusikannya dengan orang-orang lain yang berkompeten.

 Kebalikan dari pemilih investatif itu
adalah pemilih konsumtif. Pemilih dalam kategori ini adalah mereka yang
berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu meluangkan waktu
sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu contreng sana
contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang dipilih itu kurang
berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya kehidupan sendiri
yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga legislatif nanti,”
mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.” Begitulah
pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif.

 Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus
memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus
diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti
Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di
lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik,
perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya,
dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan
kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin
kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, 
kesehatan-sanitasi,
pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada
mereka.   

 Jadi jelaslah, keberadaan para wakil
rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu
adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah
kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar
setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah
orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki
wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai
pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi
pelbagai risikonya. 

 Jika harapan itu
tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam 
waktu yang tak terlalu lama lagi.
Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di

[zamanku] KPU Jangan Berpolitik dan Berpolemik

2009-03-01 Terurut Topik victor silaen


Dimuat pada Harian Batak
Pos, 28 Februari 2009

 

 

KPU Jangan Berpolitik
dan Berpolemik

Oleh
Dr Victor Silaen, MA

 

   
Seperti halnya lembaga-lembaga independen negara yang didirikan
pasca-Soeharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk lembaga quasi-negara yang
para komisionernya berasal dari berbagai kalangan dan bersifat independen. 
Artinya,
mereka digaji dan difasilitasi oleh negara, namun bukan merupakan subordinasi
dari pemerintah atau lembaga eksekutif. Itu sebabnya, secara hukum, kerja-kerja
mereka dilandasi dengan sebuah perundang-undangan. Mereka mendapat mandat dari
lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melaksanakan segala
sesuatu yang sudah diproses secara politik menjadi sebuah kebijakan publik yang
sah dan mengikat.

 


Berdasarkan itu, bolehkah KPU berpolitik? Jelas tidak. KPU hanya berwenang
melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh para elit politik di DPR. Terkait
pemilu, maka KPU-lah penyelenggaranya. Di ranah dan ruang-lingkup itulah pula
kelak KPU harus memberi pertanggungjawaban: penyelenggaraan pemilu. Soal
bagaimana aturan main pemilu itu sendiri, tentu KPU juga tidak usah pusing dan
repot memikirkannya. Sebab, aturan main merupakan bagian dari apa yang harus
dipikirkan oleh para politisi di DPR. 

 


Terkait itu, lalu mengapa untuk sekian waktu lamanya KPU sempat masuk ke
dalam wacana “suara terbanyak versus zipper
system”? Mengapa pula harus ikut-ikutan berpolemik, ketika wacana tersebut
kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra terhadap zipper system? Bahkan 
salah seorang komisionernya, Andi Nurpati,
pernah “ngotot” dengan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan peraturan 
tersebut kendati perppu
(peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait zipper system itu tidak 
dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani
gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Heran sekali, kok
terkesan KPU malah siap menabrak peraturan?

 

 Tak
heran jika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peringatan keras kepada
KPU terkait itu. Menurut MK, tindakan KPU tersebut mencerminkan mereka tidak
mengerti hukum. Sebab, berdasarkan konstitusi, putusan MK bersifat final dan
mengikat. Putusan MK juga merupakan negative legislator yang kekuatannya
setara dengan UU. “Keputusan MK sudah jelas. Saya ingatkan agar KPU tidak perlu
berwacana tentang teori hukum. Kalau persoalan hukum, di sini (MK) sudah
gudangnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, 18 Februari lalu. 

 


Mahfud menegaskan, jika KPU beralasan memerlukan peraturan pemerintah
perppu atau revisi terlebih dahulu, berdasarkan teori ataupun konstitusi yang
berlaku, maka hal itu sama sekali tidak benar. “Yang memerlukan perppu atau
revisi UU hanya yang menimbulkan kekosongan hukum untuk materi muatan UU, bukan
yang menyangkut teknis pelaksanaannya,” katanya.

 

 Rencana
KPU mengatur satu dari tiga caleg (calon anggota legislatif) terpilih harus
mewakili perempuan (zipper system) juga
dinilai Mahfud sebagai ketentuan di luar putusan MK. Menurutnya, UU Nomor
10/2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK tidak mengharuskan wanita duduk di
kursi DPR. “MK mengatur ketentuan dalam setiap tiga caleg harus ada satu caleg
perempuan dan itu tidak dibatalkan,” tegasnya. KPU seharusnya melaksanakan UU,
termasuk pembatalan UU yang diputuskan MK. Artinya, kalaupun ada materi baru
yang seharusnya menjadi muatan UU, KPU tidak berwenang mengatur.

 


Terkait dengan gagasan untuk kemajuan politik kaum perempuan di Indonesia, kita
tentu saja patut mendukungnya. Kita harus bahu-membahu memperjuangkannya, di
pelbagai sektor kehidupan dan di semua wilayah kedaulatan negara ini. Itulah
sebabnya, penyadaran masyarakat akan keniscayaan kesetaraan gender perlu
terus-menerus dilakukan. Artinya, ini harus menjadi pekerjaan rumah kita
bersama, sekarang dan ke depan. Jadi, tidak perlulah KPU merasa bahwa lembaga
ini sedang memikul beban berat demi memperjuangkan kemajuan politik kaum
perempuan Indonesia. Artinya, ke depan, KPU tidak perlu lagi berpolemik di
seputar wacana ini. KPU harus menyadari posisinya sebagai lembaga pelaksana
dari hal-hal yang sudah diputuskan sebagai kebijakan publik oleh DPR.

 


Kembali pada zipper system,
haruslah disadari bahwa di tahapan caleg hal ini sudah ditetapkan, bahwa setiap
partai politik yang menjadi kontestan Pemilu 2009 harus menyediakan kuota 30%
bagi caleg perempuan. Itulah sebentuk dukungan resmi negara ini bagi kaum
perempuan demi mencapai kemajuan politiknya. Kalau zipper system mau diterapkan 
lagi di tahapan aleg (anggota
legislatif) untuk para caleg terpilih nanti, mungkin bisa saja dipertimbangkan
jika tidak ada keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”. Tapi soalnya,
bukankah MK melalui keputusan terbarunya itu sudah menetapkan bahwa para caleg
terpilih yang akan ditetapkan sebagai wakil rakyat nanti haruslah berdasarkan
“suara terbanyak”? 

 


Keputusan MK merupakan revisi dari UU Nomor 10/2008, sehingga karena itu
ketetapan

[zamanku] Mobokrasi dan Aktor Intelektual

2009-02-21 Terurut Topik victor silaen


Dimuat pada Harian Batak Pos,
21 Februari 2009

 

 

Mobokrasi
di Medan dan Aktor Intelektual 

Oleh Dr. Victor Silaen, MA

 

     Tragedi Medan, Selasa 3 Februari lalu, yang
mengorbankan nyawa Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Abdul Aziz Angkat, hingga
kini masih terus bergulir sebagai wacana publik maupun proses hukum. Kita
angkat topi jika pemerintah dan aparat kepolisian benar-benar serius
mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan di balik peristiwa itu. Kita
mendukung jika pihak-pihak yang bersalah dalam aksi tersebut diproses secara
hukum, mulai dari penahanan, pemeriksaan, hingga kelak dibawa ke meja hijau
untuk diadili. 

 

 Hukum di negara hukum (rechstaat) ini memang harus ditegakkan
untuk dan dalam semua kasus. Tidak ada pilihan lain: pemerintah, aparat
keamanan, dan aparat hukum harus bersikap dan berlaku sama untuk dan dalam
semua kasus. Tidak boleh pilih bulu, jika betul-betul Indonesia adalah negara 
hukum. 

 

 Terkait itu, peristiwa Demo Antikenaikan
Harga BBM di depan Gedung DPR yang rusuh akhir Juni 2008 kini sedang diusut
secara hukum. Pihak-pihak yang diduga kuat sebagai “aktor intelektual” dalam
aksi demo brutal itu sudah dipanggil, ditahan, dan diperiksa secara hukum
sampai akhirnya beberapa di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka. Apakah
karena aksi demo tersebut menyebabkan beberapa fasilitas negara rusak sehingga
harus dicari “aktor intelektual” di belakangnya? Sama halnya dengan Tragedi
Medan Selasa Kelabu itu. Apakah lantaran seorang Ketua DPRD Sumut tewas
pasca-demo brutal tersebut sehingga satu persatu terduga “aktor intelektualnya”
kini ditahan? 

 

 Tetapi, misalnya, mengapa dalam aksi
brutal penolakan dan pengusiran terhadap sivitas akademika STT SETIA di Pinang
Ranti, Jakarta Timur, akhir Juli 2008, tidak satu pun pihak yang telah
ditetapkan sebagai “aktor intelektual” di baliknya? Karena tidak ada korban
jiwa? Tapi, bukankah ada korban luka-luka dan juga kerugian harta-benda?
Mengapa kasus tersebut tak disikapi dan diperlakukan sama dengan kasus demo
antikenaikan harga BBM di Senayan dan demo para pendukung pembentukan Provinsi
Tapanuli di Medan? 

 

 Jelas, ada ketidakadilan hukum dalam
ketiga kasus tersebut. Sivitas akademika STT SETIA, yang hingga kini sudah
lebih dari enam bulan terserak di tiga tempat (Bumi Perkemahan Cibubur, Wisma
Transito Klender Jakarta Timur, dan eks kantor walikota Jakarta Barat), baik
untuk menjalankan aktivitas akademik dan pelbagai aktivitas lain sehari-hari,
rasa-rasanya tak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun wakil
rakyat di DKI Jakarta.
Sementara dalam kasus demo antikenaikan harga BBM di Senayan, bahkan seorang
mantan menteri pun sudah dipanggil untuk diperiksa. Begitupun dalam kasus demo
para pendukung pembentukan Protap di Medan 3 Februari lalu. 

 

 Terkait Tragedi Medan Selasa Kelabu itu,
patutkah kita menyebutnya sebagai “demokrasi maut”, “demokrasi anarkis”,
“demokrasi liar”, dan yang sejenisnya? Benarkah demokrasi seperti itu? Aspirasi
rakyat yang menginginkan rencana pembentukan Protap dimasukkan sebagai agenda
sidang paripurna DPRD Sumut saat itu mungkin dapat dikategorikan sebagai
demokrasi. Tapi, cara mereka menerobos masuk ke Gedung DPRD Sumut itu jelas
kontra-demokrasi. Sebab, meski ruang sidang wakil rakyat itu merupakan rumah
rakyat, tetap saja ia merupakan kantor yang meniscayakan ketertiban dan
kesantunan bagi orang-orang dari luar yang hendak masuk ke dalamnya. 

 

 Di sisi lain, aksi mereka yang brutal
disertai vandalisme, layakkah itu disebut demokratis? Jelas tidak. Karena,
demokrasi tak pernah menyetujui cara-cara yang koersif dan nilai-nilai yang 
agresivistik.
Sebaliknya, demokrasi selalu dan harus tetap berlandaskan rasionalitas dan
moralitas. Karena itulah ia terus-menerus dikembangkan, dari zaman ke zaman, 
demi
menuju kesempurnaannya sebagai sistem, prosedur, maupun nilai-nilai budaya di
tengah kehidupan bersama yang sarat keanekaragaman. 

 

    Kalau begitu, pantasnya kita namai apa Tragedi
Medan yang telah mengorbankan nyawa seorang wakil rakyat itu? Mengacu pada
Plato, filsuf terkemuka di zaman Sebelum Masehi, mungkin kita layak menyebutnya
sebagai “mobokrasi”. Dalam bahasa Latin, ia berasal dari
dua kata: “mob” yang berarti
gerombolan atau massa,
dan “krasi” yang berarti kedaulatan
atau kekuasaan. Jadi, dengan mobokrasi berarti “kedaulatan atau kekuasaan
berada di tangan gerombolan atau massa”. 

 

 Sekilas memang agak
mirip dengan demokrasi. Namun, kata “demo” dalam “demokrasi” menunjuk pada
rakyat. Dan rakyat itu sendiri, dalam sebuah negara modern, terikat oleh hukum
dan menghormati norma-norma yang menjadi pedoman berperilaku. Sedangkan
gerombolan atau massa sebaliknya cenderung merupakan kumpulan orang yang
berperilaku anomik, kerap brutal dan agresif, sehingga justru bersifat
kontra-demokratis.  

 

    Jadi
jelaslah bahwa antara demokrasi dan mobokrasi berbeda secara signifikan. Dalam
demokrasi ada aturan main yang harus

[zamanku] Rakyat atau Caleg

2009-02-12 Terurut Topik victor silaen


Telah dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 12 Februari 2009

 

Rakyat atau Caleg 

Oleh
Victor Silaen

 

   
Sejak dulu rakyat Indonesia selalu diajar untuk memandang pemilu sebagai
pesta demokrasi, dan pesta demokrasi itu sendiri berarti pestanya rakyat. 
“Pemilihan
umum telah memanggil kita, s’luruh rakyat menyambut gembira...” Demikian
petikan theme song pemilu yang selalu
didengungulang di era Orde Baru.

 

    Pertanyaannya,
siapa yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para calon
anggota legislatif (caleg)? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting
ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para
caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat
demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat.
Jadi, tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya
rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang
turut serta).  

 

   
Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi
(MK) tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg
menjadi anggota legislatif (aleg) di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya
rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak 
lagi ditentukan
oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan
suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat
semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas. 

 

   
 Namun sekonyong-konyong,
muncullah gagasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang zipper system di 
tahap penetapan para aleg nanti. Intinya, gagasan
tersebut mengharuskan adanya satu perempuan untuk setiap tiga caleg terpilih.
Jadi, untuk setiap tiga kursi DPR/DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah) yang
diperoleh suatu partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada
perempuan. 

 


Kita percaya tujuan di balik gagasan zipper
system itu amat mulia: demi meningkatkan kemajuan politik kaum perempuan
Indonesia. Tetapi, adakah payung hukum yang melandasi implementasinya sebagai
kebijakan publik yang sah? Sebelumnya diusulkan untuk membuat perppu sebagai 
dasar
hukumnya, namun hingga kini perppu itu belum juga keluar. Meski begitu, anggota
KPU Andi Nurpati “ngotot” bahwa KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut
kendati perppu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila
peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. 

 

 Inilah yang mengherankan kita. Mengapa KPU
sampai bersikap demikian? Bukankah dengan logika sederhana saja kita bisa
menyimpulkan bahwa gagasan zipper system
di tahapan aleg itu bertentangan dengan keputusan terbaru MK tentang “suara
terbanyak”? Sebab, bukankah yang harus terlebih dipandang utama dalam pemilu
adalah rakyat dan bukan para caleg? Jadi, mengapa tidak membiarkan rakyat 
sungguh-sungguh
bebas memilih para caleg yang dipercayainya untuk menjadi wakil rakyat kelak? 
Mengapa
seakan ada niat untuk mengintervensi kedaulatan rakyat, meskipun itu atas nama
afirmasi kaum perempuan atau demi kemajuan politik kaum perempuan? 

 


Hukum jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak,
agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah
dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, dalam konteks pemilu, keputusan
terbaru MK tentang “suara terbanyak” harus dihormati semua pihak. Jadi, tak
pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum
perempuan yang masuk ke lembaga legislatif. Bukankah di tahapan caleg,
kebijakan kuota 30% caleg perempuan sudah diberlakukan? Kalaulah hasil dari
kebijakan afirmatif ini kelak masih belum memuaskan, bukankah yang mestinya
kita prihatinkan adalah kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender yang belum
tersebar luas di masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan itu sendiri? 

 

   
Perihal masih minimnya kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender, inilah
yang harus menjadi pekerjaan rumah kita semua. Untuk itulah ke depan kita, bukan
hanya KPU, harus lebih gigih memperjuangkannya melalui berbagai bidang semisal
pendidikan, agama, dan lain sebagainya. KPU sendiri niscaya lebih tepat jika 
berkonsentrasi
memikirkan bagaimana caranya agar potensi golput pada pemilu mendatang ini
dapat diminimalisir. 

 


Memang, golput merupakan hak setiap orang. Namun ini bukan soal golput
sebagai hak atau golput politis, melainkan golput administratif: yang tidak
bisa memilih karena belum terdaftar sebagai pemilih karena satu dan lain hal.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak warga negara Indonesia yang
sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilihnya nanti, tapi terganjal oleh
ketidakcermatan administrasi negara. Warga yang hingga kini belum terdaftar itu
bisa saja di waktu lalu memang malas mendaftar, atau mereka tidak tahu kapan,
ke mana, dan bagaimana harus mendaftar. 

Jumlah mereka

[zamanku] Berjuang untuk Kebhinekaan

2008-11-26 Terurut Topik victor silaen
Dari rubrik “Politik”, Harian Sinar Harapan, Senin 24 November 2008 
 
Victor Silaen
Berjuang untuk Kebhinekaan  
JAKARTA - Mempertahankan nilai-nilai pluralisme masyarakat Indonesia adalah 
salah satu alasan Victor Silaen ikut bergumul dalam dunia politik praktis. 
Victor, yang juga seorang dosen dan ilmuwan politik dari Universitas Kristen 
Indonesia (UKI) ini merasa khawatir dengan masa depan nilai-nilai kebhinekaan 
yang semakin tergerus dengan semangat arogansi dari kelompok tertentu yang 
ingin melakukan penyeragaman nilai. Menurutnya, Bhineka Tunggal Ika adalah 
harga mati yang harus senantiasa diperjuangkan. 
Saat ini, Victor tercatat sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan 
Daerah dari Provinsi Jakarta dengan nomor urut 40. Dia enggan menjadi caleg 
Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab dengan menjadi caleg DPR maka dirinya harus 
terlebih dulu bergabung dan terikat dengan partai politik (parpol). Victor 
tidak menginginkan keterikatan politik. Menurutnya, hal itu bisa menjebak 
dirinya ke dalam benturan kepentingan, antara idealisme politik dengan 
kepentingan pragmatis partai politik. 
“Saya tidak ingin terikat dengan parpol, karena harus siap untuk berkompromi 
dengan parpol atau ketua parpol. Saya tidak ingin berkompromi dalam politik,” 
katanya.
Keinginannya menjadi wakil rakyat untuk mewakili aspirasi masyarakat Jakarta 
adalah wujud keinginannya menjaga dan mempertahankan semangat pluralitas dalam 
masyarakat. Dia melihat Jakarta tidak luput dari ancaman politik penyeragaman. 
Kebhinekaan Jakarta, terang Victor, hanya dapat dipertahankan jika ada kemauan 
dari semua pihak, terutama pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tetap 
berpihak pada nilai-nilai kebhinekaan itu sendiri, tidak malah berpihak atau 
tunduk pada kepentingan sekelompok aliran agama atau suku tertentu. 
Oleh karena itu, jika berhasil terpilih, Victor berjanji akan serius mengawasi 
kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang pernah mengusung semboyan 
“Jakarta untuk Semua.”
Bagi Victor, selama ini Gubernur dan Wakil Gubernur belum serius menjadikan 
Jakarta sebagai rumah bagi semua golongan. Dia merujuk Peraturan Daerah No.8 
Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum yang dinilainya sebagai produk hukum 
diskriminatif dan hanya mengakomodasi kepentingan golongan tertentu. (cr-5)
 


  

[zamanku] Rekonsiliasi Lewat Iklan (PKS)

2008-11-21 Terurut Topik victor silaen


 
Telah dimuat pada Harian Suara Pembaruan, 21 November 2008
 
 
Rekonsiliasi Lewat Iklan Politik 
Oleh Victor Silaen
 
 
    Iklan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menampilkan delapan 
tokoh nasional pada Hari Pahlawan 10 November 2008 menuai protes. Pasalnya, 
salah satu tokoh dalam iklan tersebut adalah almarhum mantan presiden Soeharto. 
Diprediksi, upaya PKS memahlawankan Soeharto dapat menjadi bumerang bagi partai 
yang selalu mengusung tema antikorupsi itu. Benarkah demikian? Tentu saja 
terlalu dini untuk bisa menjawabnya benar atau tidak. Namun, di beberapa milis 
(mailing list) yang saya ikuti, komentar-komentar sumbang terkait iklan politik 
PKS itu memang sudah mulai bergulir. 
 
 PKS sendiri, melalui sekretaris jenderalnya, Anis Matta, menanggapi bahwa 
iklan tersebut merupakan ajakan rekonsiliasi. “Iklan pahlawan PKS adalah ajakan 
rekonsiliasi,” ujar Anis. Menurut dia, sebagai generasi baru Indonesia, PKS 
menyadari posisinya sebagai bagian dari mata rantai sejarah bangsa, dan bahwa 
suatu kesinambungan sejarah merupakan syarat bagi kebangkitan Indonesia. “Kita 
harus bisa menyikapi masa lalu kita secara adil, arif dan proporsional. 
Berhenti mengadili masa lalu tapi tetap menjadikannya sebagai inspirasi bagi 
masa depan kita,” katanya. Anis menambahkan, kita harus bisa melampaui 
“luka-luka masa lalu kita” tanpa dendam, belajar berdamai sebagai sesama anak 
bangsa dan bersatu kembali merebut masa depan bersama.
 
 Bagaimana kita patut menyikapi wacana tentang “Soeharto, PKS, dan 
rekonsiliasi” ini? Pertama, prihatin, sebab ajakan berekonsiliasi 
disosialisasikan melalui iklan politik. Apalagi kita juga paham bahwa iklan 
politik di masa kampanye menjelang Pemilu 2009 ini tentu erat kaitannya dengan 
upaya meningkatkan citra partai. Jadi, diakui atau tidak, citra partailah yang 
sebenarnya menjadi tujuan utama iklan tersebut. Adapun Soeharto dan ketujuh 
tokoh lainnya jelas hanya merupakan “obyek” yang dijual kepada publik dengan 
mempertimbangkan momentum yang dianggap tepat dan memiliki nilai jual, yakni 
Hari Pahlawan. 
 
 Kedua, prihatin, sebab PKS begitu mudahnya memahlawankan Soeharto, padahal 
Soeharto sendiri hingga kini masih dicitrakan negatif oleh pelbagai pihak di 
dalam maupun di luar negeri. Kita tak boleh lupa bahwa sewaktu Soeharto 
meninggal, 27 Januari 2008, proses hukum pidana dan perdata atas diri mantan 
pemimpin Orde Baru itu belumlah tuntas. Artinya, kita tak punya kepastian hukum 
untuk menyimpulkan sosok Soeharto sebagai orang yang bersalah atau tidak. Kita 
hanya punya segudang dugaan bahwa mantan presiden dengan masa kekuasaan 
terpanjang di antara presiden-presiden lainnya di Indonesia itu bersalah atau 
setidaknya terlibat dalam kesalahan-kesalahan terkait bidang ekonomi, hukum, 
hak asasi manusia, dan bidang-bidang lainnya. Bukankah didasarkan dugaan 
tersebut maka Soeharto, sejak mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai 
presiden, terus-menerus dituntut pelbagai pihak agar diadili? Bukankah karena 
itu maka Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang
 ”Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” 
menyebut nama Soeharto di dalamnya? Sementara di luar negeri, Soeharto justru 
telah ditetapkan sebagai pemimpin politik terkorup di dunia dengan “harta 
korupsi” sekitar 15-35 miliar dolar AS oleh PBB melalui program StAR (Stolen 
Asset Recovery) Initiative. Jadi, tanpa harus menyebut ”dosa-dosa” lain 
Soeharto dalam inci yang rinci di sini, haruskah kita memahlawankannya? 
 
 Ketiga, prihatin, sebabnya agaknya PKS tidak memahami dengan baik bahwa 
rekonsiliasi bukanlah sekedar ajakan untuk memaafkan atau melupakan seseorang 
yang pernah bersalah di masa lampau. Rekonsiliasi yang sejati adalah sebentuk 
upaya memperdamaikan kembali pihak-pihak yang sekarang mengalami ketegangan 
relasional disebabkan pertikaian yang pernah terjadi di masa silam dan tak 
kunjung terselesaikan. Biasanya, dalam pertikaian itu, pihak yang satu menjadi 
penindas sedangkan pihak yang lain menjadi korbannya. Akibatnya, timbullah 
ketidakadilan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia di pihak si 
korban. Itulah sebabnya, selain bertujuan mewujudkan perdamaian di masa depan, 
rekonsiliasi juga bertujuan terungkapnya kebenaran dan tercapainya keadilan. 
Setelah itu, barulah proses berjalan ke arah terjadinya rekonstruksi dan 
rehabilitasi. 
 
 Dalam kerangka itulah diperlukan sebuah institusi khusus yang berperan 
untuk mewujudkan rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang pernah terlibat 
pertikaian di masa silam itu, baik sebagai korban maupun pelaku. Komisi 
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), itulah institusi yang dimaksud. Indonesia 
sudah memiliki landasan hukum pembentukannya, yakni UU No. 27 Tahun 2004. Tapi 
apa boleh buat, sewaktu lembaga ini sedang berproses menuju pembentukannya oleh 
negara, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut pada 7 Desember 2006. Maka, 
harapan akan terwujudnya rekonsiliasi yang sejati

Re: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan

2008-11-19 Terurut Topik victor silaen
Yang bisa kita kerjakan tentu saja banyak, mulai dari sekarang, baik sendiri 
maupun bersama-sama. Jadi, spesifikasi pertanyaannya apa? 
Kalau soal rekonsiliasi (yang menurut Anis Matta bisa diimbau lewat iklan itu), 
legislatif nantilah yang harus bekerja keras menghasilkan UU baru soal KKR 
(karena yang sudah ada dulu sudah dibatalkan oleh MK). Dengan institusi inilah 
mudah-mudahan rekonsiliasi era dulu dan era sekarang bisa dituntaskan.
 
Salam
Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)

--- On Tue, 11/18/08, setyawan_abe [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: setyawan_abe [EMAIL PROTECTED]
Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
To: zamanku@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 18, 2008, 10:56 PM






Lalu apa yg bisa kita kerjakan? kapan?

--- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ... wrote:

 Kalau begitu, selain tidak kritis, juga banyak intrik. Namanya juga
politisi

 Salam
 Victor Silaen
 (www.victorsilaen. com)

 --- On Tue, 11/18/08, ttbnice serikat_indonesia@ ... wrote:

 From: ttbnice serikat_indonesia@ ...
 Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus
Dihilangkan
 To: [EMAIL PROTECTED] .com
 Date: Tuesday, November 18, 2008, 1:19 AM






 Bagaimana jika ini bukan soal kritis atau tidak kritis. Tapi soal
 titipan politik untuk melupakan kesalahan2 ORBA? Mansih inget kan
 iklan PKS yg ada Soehartonya?

 --- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ...
wrote:
 
  Kalau Anis Matta berpikiran kritis, dia mestinya paham bahwa ini
 bukan soal dendam. Ini soal kebenaran sejarah yang harus diungkapkan,
 demi keadilan bagi orang-orang yang pernah menjadi korban rezim Orde
 Baru di masa silam.
 
  Jadi, jangan terlalu gampang bicara soal rekonsiliasi . Sebab,
 rekonsiliasi sejati tidak mungkin terwujud hanya dengan beriklan.
 
  Salam
  Victor Silaen
  (www.victorsilaen. com)
 
 
  --- On Mon, 11/17/08, setyawan_abe setyawan_abe@ ... wrote:
 
  From: setyawan_abe setyawan_abe@ ...
  Subject: [zamanku] Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus
Dihilangkan
  To: [EMAIL PROTECTED] .com
  Date: Monday, November 17, 2008, 8:25 AM
 
 
 
 
 
 
 
  --- In keadilan4all@ yahoogroups. com, Abu 'Abdurrahmaan
  abu-abdurrahmaan@ ... wrote:
 
  http://www.warnaisl am.com/berita/ negeri/2008/ 11/17/51300/
 Anis_Matta_ Dend\
  am_Sejarah_Harus_ Dihilangkan. htm
 
  Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
 
  Senin, 17 November 2008 14:15
 
  warnaislam.com — Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera,
M
  Anis
  Matta mengajak seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk
  menghilangkan berbagai dendam sejarah karena dendam yang merusak
hati
  bangsa dinilai dapat mengganggu usaha rekonsiliasi dan keinginan
  bangsa ini untuk menjadi besar dan maju. Kita tidak ingin
  dendam-dendam ini mengganggu hubungan kita diantara sesama anak
  bangsa, kata Anis di Jakarta, Senin (17/11).
 
  Begitu pula yang dikatakan Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, dalam
  momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda dan
  Hari Pahlawan, rencananya DPP PKS akan menggelar Silaturrahim dan
  Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional.
 
  Menurutnya tema yang akan diangkat adalah Membangkitkan kembali
  semangat Kepahlawanan pada Kaum Muda Indonesia. Rencananya pertemuan
  tersebut akan diadakan pada Rabu (19/11) mendatang di Jakarta
  Convention Center Ruang Merak. Dan dalam acara tersebut direncanakan
  akan hadir beberapa nara sumber, diantaranya Bambang Sulistomo
(putra
  Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari),
Agustanzil
  Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jendral Gatot
Subroto),
  Rahmawati (putri Bung Karno), Halida Hatta (putri Bung Hatta),
Mamiek
  Soeharto (putra Soeharto), Rektor Universitas Paramadina Anis
  Baswedan, dan KH Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS).
 
  Mahfudz yang sekaligus merupakan ketua panitia dalam acara tersebut
  mengatakan, Acara yang akan dibuka oleh Presiden PKS Tifatul
  Sembiring itu, juga akan menghadirkan grup band Cokelat sebagai
  selingan dan pembacaan puisi oleh Taufik Ismail,.
 
  (dari berbagai sumber)
 
  --- End forwarded message ---
 


 














  

Re: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan

2008-11-18 Terurut Topik victor silaen
Kalau begitu, selain tidak kritis, juga banyak intrik. Namanya juga politisi
 
Salam
Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)

--- On Tue, 11/18/08, ttbnice [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: ttbnice [EMAIL PROTECTED]
Subject: [zamanku] Re: Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
To: zamanku@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 18, 2008, 1:19 AM






Bagaimana jika ini bukan soal kritis atau tidak kritis. Tapi soal
titipan politik untuk melupakan kesalahan2 ORBA? Mansih inget kan
iklan PKS yg ada Soehartonya?

--- In [EMAIL PROTECTED] .com, victor silaen victor.silaen@ ... wrote:

 Kalau Anis Matta berpikiran kritis, dia mestinya paham bahwa ini
bukan soal dendam. Ini soal kebenaran sejarah yang harus diungkapkan,
demi keadilan bagi orang-orang yang pernah menjadi korban rezim Orde
Baru di masa silam. 
  
 Jadi, jangan terlalu gampang bicara soal rekonsiliasi . Sebab,
rekonsiliasi sejati tidak mungkin terwujud hanya dengan beriklan. 
  
 Salam
 Victor Silaen
 (www.victorsilaen. com)
 
 
 --- On Mon, 11/17/08, setyawan_abe setyawan_abe@ ... wrote:
 
 From: setyawan_abe setyawan_abe@ ...
 Subject: [zamanku] Fwd: Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
 To: [EMAIL PROTECTED] .com
 Date: Monday, November 17, 2008, 8:25 AM
 
 
 
 
 
 
 
 --- In keadilan4all@ yahoogroups. com, Abu 'Abdurrahmaan
 abu-abdurrahmaan@ ... wrote:
 
 http://www.warnaisl am.com/berita/ negeri/2008/ 11/17/51300/
Anis_Matta_ Dend\
 am_Sejarah_Harus_ Dihilangkan. htm
 
 Anis Matta : Dendam Sejarah Harus Dihilangkan
 
 Senin, 17 November 2008 14:15
 
 warnaislam.com — Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, M
 Anis
 Matta mengajak seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk
 menghilangkan berbagai dendam sejarah karena dendam yang merusak hati
 bangsa dinilai dapat mengganggu usaha rekonsiliasi dan keinginan
 bangsa ini untuk menjadi besar dan maju. Kita tidak ingin
 dendam-dendam ini mengganggu hubungan kita diantara sesama anak
 bangsa, kata Anis di Jakarta, Senin (17/11).
 
 Begitu pula yang dikatakan Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, dalam
 momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda dan
 Hari Pahlawan, rencananya DPP PKS akan menggelar Silaturrahim dan
 Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional.
 
 Menurutnya tema yang akan diangkat adalah Membangkitkan kembali
 semangat Kepahlawanan pada Kaum Muda Indonesia. Rencananya pertemuan
 tersebut akan diadakan pada Rabu (19/11) mendatang di Jakarta
 Convention Center Ruang Merak. Dan dalam acara tersebut direncanakan
 akan hadir beberapa nara sumber, diantaranya Bambang Sulistomo (putra
 Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari), Agustanzil
 Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jendral Gatot Subroto),
 Rahmawati (putri Bung Karno), Halida Hatta (putri Bung Hatta), Mamiek
 Soeharto (putra Soeharto), Rektor Universitas Paramadina Anis
 Baswedan, dan KH Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS).
 
 Mahfudz yang sekaligus merupakan ketua panitia dalam acara tersebut
 mengatakan, Acara yang akan dibuka oleh Presiden PKS Tifatul
 Sembiring itu, juga akan menghadirkan grup band Cokelat sebagai
 selingan dan pembacaan puisi oleh Taufik Ismail,.
 
 (dari berbagai sumber)
 
 --- End forwarded message ---


 














  

Re: [zamanku] Re: Rakyat Indonesia sakit?

2008-11-14 Terurut Topik victor silaen
Beragama tanpa berakal, begitulah.
 
Salam
Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)

--- On Fri, 11/14/08, ttbnice [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: ttbnice [EMAIL PROTECTED]
Subject: [zamanku] Re: Rakyat Indonesia sakit?
To: zamanku@yahoogroups.com
Date: Friday, November 14, 2008, 5:46 AM






Saya juga rakyat Indonesia dan banyak teman2 saya juga yang rakyat
Indonesia. Dan kami merasa tidak sesakit itu.

Hidayatullah memang bacaan orang sakit. Dan orang2 yg merayakan
kemenangan terhadap pembantai manusia memang juga orang2 sakit.

Tapi karena ini membawa nama Islam, sudah seharusnya Islam bertanggung
jawab atas pencemaran nama baik seperti ini.

Hanya sayangnya, saya yang orang awam dalam ISlam, melihat Acmadiyah
yang saleh dan rahmat ilamin, diburu dan dianggap sesat. Sementara FPI
dan Amrozy cs malah di elu2kan. Dengan terpaksa menyimpulkan ternyata
Islamnya yang sakit. Apalagi setelah melihat Tawang yg mendukung
pedofilia setelah belajar banyak Islam.

Sekali lagi maaf, karena itulah wajah Islam yg terus dan terus saya
saksikan...

--- In [EMAIL PROTECTED] .com, teddy sunardi teddysunardi@ ... wrote:

 Cukup dengan membaca artikel ini saya berkesimpulan bahwa rakyat
Indonesia
 sudah sakit
 

http://www.hidayatu llah.com/ index.php? option=com_ contentview= articleid= 
7905:keluarga- amrozi-adakan- syukuran- kemenangan catid=1:nasional Itemid=54
 
 Ada yang istimewa di rumah keluarga Amrozi dan Ali Ghufron. Hari kedua
 setelah pelaksanaan eksekusi mereka menggelar syukuran kemenangan .
Bukan
 bersedih, justru bergembira. Lha kok?
 
 
 
 Hidayatullah. com--Ada pemandangan menarik di hari kedua, Selasa ,
(11 /11)
 sore. Sekitar 50 an orang duduk berkumpul penuh hikmat di rumah orangtua
 Amrozi, Mbok Tariyem. Mereka menggelar acara syukuran kemenangan .
 
 Acara bertajuk Tasyakuran Kemenangan Umat Islam dalam Menyambut Syahid
 (Insyaallah) Ali Ghufron dan Amrozi, Mereka Bukan Teroris, digelar
dalam
 rangka menyambut dan member dukungan terhadap keluarga korban.
 
 Acara dilaksanakan dengan sangat sederhana dan sepi dari liputan media
 massa. Satu-satunya media yang beruntung melihat pemandangan ini
hanyalah
 hidayatullah. com.
 
 Pelaksanaan tasyakuran dilakukan usai shalat Ashar itu hanya
dihadiri pihak
 keluarga dan sahabat terdekat. Acara diisi dengan tausiyah beberapa
sahabat
 dekat dan wakil keluarga.
 
 Acara ini dilaksanakan untuk menunjukkan bahwa kita tidak bersedih,
 ujar
 ustad Ashari.
 
 Ia juga menampik berita-berita di berbagai media massa di mana
dijelaskan
 bahwa almarhum Ali Ghufron dan Amrozi digambarkan meninggal dalam
keadaan
 pucat. Gambaran seperti itu menurutnya hanya ditujukan agar pihak
keluarga
 dan sahabatnya dalam keadaan sedih dan takut. Padahal yang terjadi
tidaklah
 demikian.
 
 Mungkin bagi banyak kalangan, kehadiran almarhum tidak ada yang
menyambut,
 tidak ada yang simpati atau bahkan ditolak masyarakat.
Alhamdulillah, tidak
 seperti itu, tambahnya. Bahkan menurutnya, yang terjadi justru
sebaliknya.
 Pelayat dan masyarakat yang hadir ribuan orang sampai harus berjalan
 berkilo-kilo jaraknya. Berdasarkan pantauan hidayatullah. com, sampai
Selasa
 sore kemarin, pelayat yang datang masih antri dari berbagai kota.
 
 Selain itu, menurut Ashari, tasyakuran ini untuk mengenang tauladan
kedua
 almarhum. Diantaranya sikap konsisten, selalu menjauhkan hal-hal
yang subhat
 dan optimisme yang luar biasa terhadap perjuangan Islam. Sampai akhir
 hayat, mereka berdua tidak pernah memakan makanan yang diberikan dari
 Lembaga Pemasyarakatan (LP), tambahnya.
 
 Menurut Ashari, apakah kedua almarhum diberi gelar syuhada atau tidak,
 terserah masyarakat yang menilai. Tapi ketiganya (Imam Samudra, Ali
Ghufron
 dan Amrozi, red) telah menjadi tauladan sepanjang yang diyakininya
benar
 dan dibawa dengan konsisten.
 
 Ashari kemudian menutup tausiyah nya dengan membacakan kisah Ibnu
Taimiyyah
 saat dimasukkan dalam jeruji besi oleh penguasa di sebuah penjara di
benteng
 Damaskus.
 
 Menurutnya, kala itu Ibnu Taimiyah sempat berkata, Apakah gerangan yang
 akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku? Syurgaku dan kebunku ada di
dadaku.
 Ke mana pun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah
meninggalkanku.
 Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwat-ku, kematianku adalah mati
 syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku.
 
 Acara kemudian dilanjutkan dengan makan gulai kambing yang merupakan
 sumbangan dari para kerabat dan sahabat dekat Amrozi dan Ali Ghufron.
 [cha/amz/tho/ atw/www.hidayatu llah.com]


 














  

Re: [zamanku] Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!!

2008-11-07 Terurut Topik victor silaen
Itu kan cuma omongan doang, kata orang Jakarta. Gede bacot, kata orang Betawi. 
Banyak kali cakapmu, bah..., kata orang Batak. 
Begitulah Amrozi cs. Sok berani, padahal pengecut!!

Victor Silaen  


 On Fri, 11/7/08, Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED] wrote:
From: Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED]
Subject: [zamanku] Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!!
To: zamanku@yahoogroups.com
Date: Friday, November 7, 2008, 8:56 AM











Amrozy cs Ketakutan Mati Dan Minta Keluarga Minta Grasi !!!

 

Selama sidang pengadilan Amrozy cs menyatakan tidak menyesalkan

perbuatannya , bahkan mereka menyatakan apabila mereka berhasil lepas

dari penjara akan membuat terror yang lebih dahsyat lagi karena hal

ini adalah perintah Allah, kafir harus musnah dari bumi Allah.



Para terdakwa tidak menyesalkan perbuatannya bahkan sangat bangga dan

tidak takut mati padahal mereka membomb Caffe dengan menipu

gelandangan idiot yang dibayar untuk menggendong ransel yang berisi

bomb dan kemudian disuruh membeli rokok masuk ke caffe sementara

Amrozy cs menunggu dari luar.  Mereka menganggap mereka adalah pasukan

jihad yang berkorban nyawa untuk membantai musuh2 Islam yaitu para

turis Australia.



Para terdakwa menolak meminta maaf kepada para korban, bahkan

mengancam akan meledakkan lebih banyak tempat2 kafir lainnya.



Waktu vonis dijatuhkan, mereka Amrozy cs ditanyakan apakah mau minta

grasi, dan dijawab dengan gagah kami tidak akan minta grasi.



Hakim menawarkan apakah mau mengajukan PK, oleh terdakwa ditolak,

namun setelah pelaksanaan eksekusi mau dilaksanakan sang pembela

meminta kesempatan mengajukan PK, dan setelah PK diajukan ternyata

ditolak karena isinya tidak ada hal2 yang baru.  Terdakwa menyatakan

bersedia jadi martyr sebagai syuhada yang akan masuk kesorga.



Makin dekat saat eksekusi, mendadak para terdakwa kembali mengajukan

PK namun ditolak karena PK hanya bisa diajukan satu kali saja.



Demo2 dan ancaman2 ditebarkan apabila eksekusi dilakukan, namun

pemerintah tetap berjalan direl hukum yang berlaku dan persiapan

eksekusi berlangsung sesuai yang direncanakan, dan disaat terakhir ini

para terdakwa diisolasi diberi tahu akan segera ditembak mati,

ketiganya pucat pias mukanya, sambil meneriakkan Allahuakbar mereka

minta bertemu dengan keluarganya tapi ditolak karena kesempatan

keluarga sudah dilakukan.  Amozy mengirim surat rahasia kepada

keluarganya yang isinya agar meminta grasi kepada presiden.



Amrozy cs stress dan mengharapkan keluarganya berhasil meminta grasi

kepada presiden SBY, tentunya SBY harus berkonsultasi dengan assistent

hukum pidana-nya yang mengumpulkan data2 untuk pertimbangan keputusan SBY:



Terdakwa tidak menyesalkan perbuatannya, tidak merasa bersalah, tidak

meminta maaf kepada korban, bila bebas akan mengulangi perbuatannya,

mengancam para hakim, jaksa, dan presiden apabila dieksekusi, dan

menolak permohonan grasi pada kesempatan yang diberikan.  Bahkan

ketiga terdakwa ini mengirim pesan kepada para muslimin untuk angkat

pedang membasmi kafir dari muka bumi ini.



Namun pada saat2 akhir hidupnya, dia sangat ketakutan sewaktu semua

persiapan eksekusi berlangsung didepan matanya.  Saat inilah dia

menyadari telah men-sia2kan grasi yang seharusnya dimanfaatkan jauh

sebelumnya.  Untuk menunda eksekusinya, mereka meminta kesempatan

untuk meminta grasi melalui surat yang dikirim ke orang tuanya.



Sambil meminta orang tuanya untuk meminta grasi, mereka menitipkan

surat kedua yang apabila grasi ditolak, agar seluruh umat Islam

membunuh SBY, Hakim, Polisi dan Jaksa yang mengeksekusinya.



Dengan kenyataan diatas, APAKAH SBY AKAN MEMBERIKAN GRASI-NYA ??? 

Kita hanya bisa menunggu beritanya !!!



Amrozy benar2 dicekam rasa takut mati, dia tidak lagi merasa akan

masuk kesorga, dan dia menyadari perbuatannya sama sekali bukan jihad

melainkan kriminal yang mengorbankan nyawa orang lain yang tidak

berdosa sambil berusaha memfitnah CIA sebagai pelakunya.  Dia membomb

wilayah turisme Bali yang beragama Hindu agar masyarakat Hindu mau

menyembah Allah masuk Islam.



Ny. Muslim binti Muskitawati.




  




 

















  

Re: [zamanku] Re: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat Eksekusi Amrozi Cs

2008-11-04 Terurut Topik victor silaen
Negara justru salah kalau mengabulkan PK keluarga Amrozi cs. Kapan selesainya 
proses hukum kalau begitu? 

Salam
Victor Silaen


 On Tue, 11/4/08, mediacare [EMAIL PROTECTED] wrote:
From: mediacare [EMAIL PROTECTED]
Subject: [zamanku] Re: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat 
Eksekusi Amrozi Cs
To: zamanku zamanku@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 4, 2008, 6:56 AM














Baru sekali ini dengar nama Rudi Satrio sebagai 
pakar hukum.
 
 

  - Original Message - 
  From: 
  teddy 
  sunardi 
  Sent: Tuesday, November 04, 2008 6:00 
  PM
  Subject: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: 
  Negara Salah Bila Nekat Eksekusi Amrozi Cs
  

  http://www.detiknew s.com/read/ 2008/11/03/ 171831/1030547/ 158/ahli- 
hukum-pidana- negara-salah- bila-nekat- eksekusi- amrozi-cs

  
  Ronald Tanamas - detikNews

 
Jakarta - Keluarga terpidana 
  mati bom Bali Amrozi cs mengajukan peninjauan kembali (PK), namun Kejagung 
  memutuskan eksekusi terhadap ketiga bomber itu akan tetap jalan terus. 
  Benarkah sikap Kejagung? 

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia 
  (UI) Rudi Satrio mengkritik sikap Kejagung. Menurut Rudi, tidak ada preseden 
  sebelumnya eksekusi mati tetap dilakukan saat masih ada upaya hukum yang 
  ditempuh terpidana ataupun keluarganya.

(Bila nekat melakukan 
  eksekusi) Negara telah membunuh yang bersangkutan, dan negara telah 
bersalah, 
  kata Rudi dalam perbincangan dengan detikcom pertelepon, Senin 
  (3/11/2008). 

Berikut wawancara Ronald Tanamas dari detikcom 
  dengan pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio:

Keluarga 
  Amrozi cs mengajukan PK. Apakah pengajuan PK semestinya bisa membatalkan 
  eksekusi Amrozi cs?

Kalau kita bicara proses hukum yang ada, maka PK 
  tidak menunda eksekusi. Dengan kata lain eksekusi harus tetap dilaksanakan 
  baik untuk eksekusi hukuman mati atau eksekusi penjara. 

Namun 
  kalau eksekusi mati maka PK tidak bisa menghentikan eksekusi, kalau hukuman 
  pada umumnya PK tidak menghentikan eksekusi dalam artian 
  hukuman.

Maksudnya?

PK untuk hukuman mati tidak bisa digunakan 
  karena bisa menghentikan eksekusi tersebut. Namun PK untuk hukuman penjara 
  bisa dilakukan sehingga bisa membuat tersangka pelaku kejahatan bisa 
menghirup 
  udara bebas.

Sikap kejagung yang menyatakan eksekusi akan jalan terus 
  meski ada PK apakah tepat?

Pada dasarnya Kejaksaan Agung melakukan 
  eksekusi dalam kasus Amrozi itu salah. Harusnya dilihat secara detail dasar 
  hukum yang dilaksanakan untuk melakukan eksekusi 
  tersebut.

Kenapa?

Penjatuhan hukuman mati kepada terpidana bom 
  Bali I menyalahi prinsip retroaktif atau pemberlakuan surut satu 
  undang-undang. Maksudnya kasus bom tersebut dilakukan pada 12 Oktober 2002, 
  sedangkan UU teroris disahkan pada tanggal 18 oktober 2002,
maka khusus 
  untuk kasus ini berlaku surut undang-undang.

Seharusnya tidak ada dasar 
  hukum untuk melakukan eksekusi tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 1 
  ayat 1 KUHP, bisa dilihat juga di UU Mahkamah Kontitusi Nomor 013 Tahun 2003 
  yang kesimpulannya mengatakan terlarang mempergunakan perpu
pemberantasan 
  terorisme untuk bom Bali I. 

Alasan kedua, Kejaksaan tidak 
  mencantumkan KUHP pasal 340 KUHP yang digunakan semata perpu tindak 
  pemberantasan teroris saja.

Apakah ada preseden sebelumnya terpidana 
  tetap dieksekusi meski proses hukum masih ditempuh?

Tidak ada sama 
  sekali. Normal pemikiran saya hal itu tidak akan dilaksanakan.

Apa 
  risikonya bila tetap dieksekusi?

Negara telah membunuh yang 
  bersangkutan, dan negara telah bersalah. Terpenuhilah target bahwasanya 
  Indonesia yang mempunyai teroris telah membasmi semua teroris dengan kemudian 
  memberikan pemberitaan eksekusi tersebut di-ekspose sehingga diketahui oleh 
  dunia.

Artinya terpidana itu menjadi tumbal dari 
  negara?

Hahahahahaha, bisa saja demikian.

Siapa yang meminta 
  target ini kepada negara ?

Australia dan Amerika, karena mereka akan 
  memberi bantuan segala kemudahan yang dibutuhkan oleh negara ini jika teroris 
  tidak ada.

Kenapa Kejaksaan ngotot untuk tetap melakukan eksekusi 
  tersebut dan kenapa baru
dilaksanakan sekarang?

Itu sah-sah saja. 
  Itu salah satu cara untuk menunda hukuman tersebut dan mungkin saja mencari 
  celah agar masyarakat kita tidak kritis dengan memunculkan image yang keliru 
  melalui media mengenai teroris tersebut.

Apakah seharusnya negara 
  memberikan surat pemberitahuan kepada keluarga yang terpidana mengenai 
  eksekusi tersebut?

Harus ada pemberitaan dahulu kepada keluarga dan 
  waktu untuk mengabari keluarga adalah H-3 dari waktu 
  eksekusi.



(ron/iy)

 

  




 

















  

[zamanku] Memperkuat Ikatan Pemersatu Indonesia

2008-10-30 Terurut Topik victor silaen




Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 30 Oktober
2008

 

 

Merawat dan Memperkuat Ikatan Pemersatu Indonesia

Oleh Victor Silaen

 

 Momentum
Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun 28 Oktober lalu sudah diperingati oleh pelbagai
komponen bangsa. Entah kenapa peringatan kita atas momentum ini tak pernah
semarak peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Padahal, kalau saja tak pernah ada
momentum tersebut, bangsa manakah yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945? Tidak jelas. Namun, dengan adanya Sumpah Pemuda, maka jelaslah
bahwa momentum penting 17 Agustus 1945 itu merupakan peristiwa diproklamirkannya
kemerdekaan suatu bangsa, yakni Bangsa Indonesia.

 


Inilah yang harus dipahami secara kritis. Bahwa sebelum Sumpah Pemuda,
sesungguhnya Bangsa Indonesia belum betul-betul ada sebagai entitas politik. 
Yang
ada barulah “embrio” Bangsa Indonesia, yang berserakan di pelbagai pelosok
Nusantara dalam wujud suku-suku yang beranekaragam dan dengan entitas politiknya
masing-masing. Memang, sejak zaman Hindia Belanda, masyarakat kita sangat
maje­muk. Menurut studi Furnivall (1944), kemajemukan itu ditandai dengan
banyaknya kelompok masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada suatu
kesatuan politik. Jadi, semasa penjajahan dahulu, yang ada di gugusan kepulauan
yang disebut Nusantara ini adalah Orang Jawa (huruf “o” sengaja ditulis dengan
huruf kapital untuk menunjukkan golongan atau komunitas, dan bukan satuan
manusia), Orang Bali, Orang Batak, Orang Minang, Orang Bugis, Orang Minahasa,
dan lainnya, yang masing-masing memiliki otonomi sendiri atas wilayah dan
kelompok masyarakatnya. 

 

 Atas dasar itulah mereka tidak bisa
digolongkan secara begitu saja sebagai Orang Indonesia atau Bangsa Indonesia. 
Apalagi
saat itu memang belum ada nasionalisme yang mempersatukan keanekaragaman mereka.
Jadi, jangankan spirit yang sama sebagai suatu nasion, bahkan bahasa yang
merupakan wahana untuk menjalin interaksi dan interelasi di antara mereka pun
berbeda-beda. 

 

     Di
era kolonial dahulu, Bangsa Indonesia dalam artian politis (nasion) memang
belum ada. Yang ada adalah sekumpulan suku (etnik), yang masing-masing hidup
mandiri -- dan terpisahkan oleh jarak politik, budaya, dan geografis -- 
sebagai­mana
halnya bangsa-bangsa yang berdaulat atas wilayah dan pendu­duknya sendiri
(nasion). Itulah sebabnya Orang Kulit Putih mudah menjajah nenek-moyang 
Indonesia
itu selama ratusan tahun dengan cara memecah-belah (politik divide et impera). 
Nama “Indonesia”
sendiri sebenarnya diberikan oleh sejumlah peneliti asing, antara lain James
Richardson Logan dari Inggris, pada abad ke-18, karena menurut dia, kepulauan
Nusantara dan orang-orang yang mendiaminya mirip dengan kepulauan India beserta
penduduknya.

 

     Latar
belakang seperti ini sebenarnya mirip dengan yang dialami Orang Indian di 
Amerika.
Penduduk “asli” yang mendiami benua tersebut, terutama sebelum Orang Kulit
Putih dari Eropa datang ke benua ini pada abad ke-15, sebenarnya bukanlah
bangsa yang satu dan bersatu. Mereka terdiri atas banyak suku (etnik), yang
masing-masing hidup mandiri (sebagaimana halnya nasion) secara politik dan
budaya  --  dan memiliki ratusan
bahasa yang berbeda-beda. Ketika Columbus mendarat di sana, maka dialah orang
pertama yang memberikan  nama “Indian” kepada mereka. Menurut Columbus,
penduduk asli itu mirip dengan orang-orang yang pernah dilihatnya di kepulauan
India.

 

 Kembali pada sekumpulan suku (Orang Jawa, Orang
Bali, Orang Batak, Orang Bugis, Orang Minahasa, dan lainnya) yang mendiami
kepulauan Nusantara itu, seiring waktu “embrio” bangsa Indonesia itu pun
mengalami maturitas akibat didera penderitaan yang berkepanjangan di bawah
penguasaan kaum penjajah. Kelak, ketika saatnya tiba, lahirlah “bangsa baru”
itu: Bangsa Indonesia. Bilakah itu? Bukan pada saat Kemerdekaan Indonesia 
diproklamirkan,
melainkan ketika sejumlah tokoh dari berbagai organisasi pemuda mencetuskan
ikrar politik yang mengakui sekaligus membulatkan tekad untuk bersatu nusa,
bersatu bangsa, dan bersatu bahasa. 

 

 Tepatnya
tanggal 28 Oktober, delapan puluh tahun silam, di Gedung Indonesische 
Clubgebouw, Jalan Kramat 106, Jakarta, milik
seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda itu mengucapkan Ikrar
Pemuda. Pertama: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe Tanah Indonesia”. Kedua: “Kami
Poetra dan Poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa satoe Bangsa Indonesia”.
Ketiga: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe mendjoengdjoeng
Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia”. Pada saat bersamaan diperkenalkan lagu 
Indonesia
Raya karya Wage Rudolf Supratman yang kemudian menjadi lagu kebangsaan 
Indonesia.


 

 Jadi, saat itulah sesungguhnya secara
resmi nasion dan nasionalisme Indonesia mulai dibangun. Sejak itulah pula
perjuangan Bangsa Indonesia demi melepaskan diri dari belenggu penjajahan 
semakin
menemukan arahnya. Sulitkah? Tentu saja. Sebab, selain suku-suku di Nusantara
ini

[zamanku] Pornografi, Demokrasi, dan Alienasi

2008-10-28 Terurut Topik victor silaen




Telah dimuat pada Investor
Daily, 26-26 Oktober 2008

 

 

Pornografi, Demokrasi dan Alinenasi 

Oleh Victor Silaen

 

 Dari Bali, suara keberatan atas RUU
Pornografi kembali disampaikan pemerintah dan wakil rakyat di provinsi seribu
pura itu. “Kami selaku Gubernur tidak akan mungkin bisa menerapkan kebijakan
dengan menegakkan hukum yang ditentang oleh masyarakat. Terlebih lagi RUU
Pornografi tidak sejalan dengan agama dan adat Bali
yang menghormati kebinekaan,” tegas Gubernur Bali Mangku Pastika di hadapan 
anggota
Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi DPR yang melakukan sosialisasi di Gedung
Wiswa Sabha Gubernur Bali, Senin (13/10) lalu. Pendapat senada disampaikan
Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya, bahwa sikapnya sama dengan apa yang
disampaikan Gubernur bahwa DPRD Bali menolak keras diundangkannya RUU
Pornografi. Penolakan tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat. “Kami,
bahkan sudah langsung datang ke Jakarta, menyampaikan aspirasi tersebut dan
menemui Ketua DPR Agung Laksono,” ujar Arjaya. 

 

 Ke depan,
dapat diduga bahwa aksi-aksi penolakan terhadap RUU Pornografi ini akan kembali
marak. Berdasarkan itu dapat dikatakan, sejak 1997 sampai 2008 kita hanya
membuang-buang enerji demi merancang sebuah peraturan publik yang
mengurusi hal-hal di seputar gejala lahiriah yang baik dan yang buruk atau yang
patut dan yang tak patut, yang hasilnya nyaris sia-sia. Sebab, alih-alih
kesepakatan tercapai, yang terjadi justru saling cekcok yang tak berkesudahan.
Padahal, andai saja sejak semula kita mau berpikir kritis bahwa yang baik (tidak
porno) dan buruk (porno) itu sendiri relatif adanya (tergantung relasinya
dengan banyak faktor), sangat mungkin upaya membuat rancangan peraturan publik 
di
seputar moralitas itu sedari awal pula tertolak. 

 

 Kini, setelah beberapa
provinsi dan banyak komponen bangsa menolaknya, termasuk lembaga quasi-negara
seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, termasuk juga Permaisuri Sultan
Hamengku Buwono X, GKR Hemas, haruskah kita memaksakan pemahaman bahwa apa yang
disebut hasrat seksual itu mudah dibuktikan dan mudah pula diukur? Atas dasar
apakah para wakil rakyat itu akan menjadikan draf peraturan publik yang masih
sarat perdebatan itu sah? Persetujuan mayoritas? Demokratiskah itu? Lalu, apa
jadinya jika setelah disahkan bukan hanya penolakan yang muncul, tetapi juga
reaksi-reaksi yang mengancam integrasi kita? Itulah alienasi, yang pada
hakikatnya justru paradoks dengan demokrasi itu sendiri.

 

 Memang,
demokrasi di ranah pembuatan keputusan kerap dilegitimasi dengan suara 
terbanyak.
Itulah mekanisme baku yang berlaku sejak dulu. Tapi, bagaimana dengan
minoritas, pihak yang kalah itu? Terimalah secara legowo, karena pihak yang 
lebih banyak jumlah anggotanya biasanya
benar. Betul, meski tidak selalu begitu. Artinya, bisa saja yang lebih banyak
justru salah. Bukankah logikanya yang lebih banyak itu bermula dari yang
sedikit, yang seiring waktu bertambah karena berbagai faktor penyebab?   

 

 Jadi, sekali
lagi, haruskah keputusan yang demokratis dibuat berlandaskan suara terbanyak? 
Bisa
saja, sepanjang itu menyangkut hal-hal di seputar pemilihan calon pemimpin.
Sebab bagaimanapun, apa yang disebut subyektifitas berperan besar di situ,
kendatipun sejumlah syarat dan kriteria kepemimpinan dijadikan alat seleksi
demi meminggirkan para calon yang tak layak. Namun, akan berbeda jadinya jika
mekanisme keputusan demokratis berlandaskan suara terbanyak itu
diimplementasikan pada calon peraturan publik. Apalagi jika calon peraturan
publik itu menyangkut tentang hal-hal yang sangat abstrak seperti “porno” dan
“hasrat seksual” itu. 

 


Inilah yang mestinya dipikirkan secara kritis. Bayangkan jika Ali Mochtar
Ngabalin, anggota Panja RUU Pornografi, berada di posisi saya. Suatu hari, di
Kabupaten Biak Numfor, Papua, pertengahan tahun 2007. Di Lapangan Remaja Biak,
siang itu, digelar acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) IX
Tahun 2007 se-Tanah Papua. Meriah sekali. Pesertanya kira-kira berjumlah 4000
orang, terdiri dari 27 delegasi dari 29 kabupaten yang ada di Tanah Papua saat
ini. Disaksikan oleh para pejabat pemerintah dan wakil rakyat daerah setempat, 
tetamu
dan warga masyarakat dari pelbagai pelosok Papua, para anggota setiap kelompok
paduan suara itu bernyanyi dan beraksi dalam arak-arakan devilei. Busana yang 
mereka kenakan bervariasi model dan bentuknya,
tapi umumnya minimalis (maklumlah di Papua). Tapi sekonyong-konyong, ketika
melewati panggung utama, tempat di mana Gubernur Barnabas Suebu duduk, seorang
perempuan Papua membuka pakaian atasnya yang ternyata di dalamnya tak tertutupi
pakaian dalam. Seolah sengaja, perempuan itu lalu mempertontonkan payudaranya 
seraya
menari-nari. Secara cepat mata saya memandang ke sekeliling, termasuk ke arah
Barnabas Suebu duduk, untuk mencari tahu bagaimana reaksi orang-orang itu.
Umumnya mereka diam. Biasa-biasa saja. 

 

 Merasa
tak puas, saya kemudian bertanya kepada seorang

[zamanku] Membaca Pansus Orang Hilang

2008-10-22 Terurut Topik victor silaen
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008
 
Membaca Pansus Orang Hilang 
Oleh Victor Silaen
 
     Sebuah isu politik sekonyong-koyong berembus dan mulai menyita perhatian 
kita hari-hari ini. Yakni, terbentuknya Panitia Khusus Penghilangan Orang 
secara Paksa (Pansus Orang Hilang) di DPR, yang diketuai oleh Effendi MS 
Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan. Rencananya Pansus Orang Hilang ini akan 
memanggil empat mantan jenderal: Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, dan Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY). Dikarenakan keempat orang itu telah diketahui publik sebagai 
bakal calon presiden (capres), maka komentar-komentar sumbang pun muncul bahwa 
Pansus Orang Hilang tak lain hanyalah taktik politik untuk menjegal langkah 
mereka maju dalam Pemilu 2009.
 
    Jika dianalisa secara hitam-putih, terbentuknya Pansus Orang Hilang di DPR 
itu sebenarnya merupakan sesuatu yang baik dan patut didukung. Sebab, terkait 
sejumlah orang yang hilang di era Soeharto, Komnas HAM telah 
merekomendasikannya pada 10 November 2006. Namun pertanyaannya, mengapa baru 
ditindaklanjuti sekarang oleh DPR? Inilah politik, yang kerap tidak 
hitam-putih. Karena itulah kita patut membacanya dari sudut pandang yang lain, 
bahwa ada taktik politik yang tengah dimainkan para lawan politik keempat 
mantan petinggi militer di era Orde Baru itu. Sebab mudah diduga, jika kelak 
agenda-agenda Pansus ini bergulir, niscaya terjadilah ”kampanye hitam” atau 
pemburukan citra dari lawan-lawan politik keempat jenderal purnawirawan itu. 
Alhasil, popularitas mereka pun merolot drastis. Para bakal capres itu 
dirugikan, sebaliknya lawan-lawan politik mereka diuntungkan.
 
 Pertanyaannya, siapakah yang menjadi lawan-lawan politik keempat bakal 
capres itu? Logikanya tentu semua bakal capres di luar keempat nama tersebut. 
Kita bisa menyebut banyak nama. Namun, jika dilihat dari partai politik 
(parpol), maka yang berkepentingan tentulah parpol-parpol besar yang optimistik 
akan maju dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) nanti. Dengan 
pembatasan ini, maka yang tertinggal hanyalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. 
Partai Golkar hingga kini masih belum memastikan siapa yang akan diajukan 
menjadi bakal capresnya. Sedangkan PDI Perjuangan sudah, yakni Megawati 
Soekarnoputri. Inikah lawan politik yang tengah bermain taktik politik 
jegal-menjegal tersebut? 
 
 Kemungkinan logisnya memang demikian. Apalagi rekam-jejaknya sudah ada. 
Dalam konteks Pemilu 2004, sekonyong-konyong Kasus 27 Juli dibuka kembali. Tak 
pelak waktu itu, orang banyak pun curiga bahwa ini tak lebih dari taktik busuk 
kelompoknya Megawati (selaku salah satu capres) dalam upaya memojokkan lawan 
politiknya di pentas rebutan tiket ke Istana Merdeka saat itu. Adapun lawan 
yang dimaksud adalah SBY, yang saat itu memang sangat popular dalam 
polling-polling peringkat capres-cawapres yang kerap dilakukan oleh sejumlah 
stasiun televisi swasta dan lembaga penelitian pasca-Pemilu Legislatif (Pileg) 
5 April 2004. Tapi, kalau benar SBY yang dijadikan “sasaran tembak” dengan cara 
mencuatkan kembali kasus tersebut, agaknya sia-sia. Sebab, seperti yang 
dikatakan Sutiyoso, sang tersangka dalam kasus tersebut, SBY saat itu tidak 
dalam posisi yang sepatutnya dimintai pertanggungjawaban. SBY hanya Kasdam, 
sedangkan Sutiyoso adalah Pangdam Jaya.
 Jadi, benar kata Sutiyoso, dirinyalah yang layak dimintai pertanggungjawaban 
sebagai pemimpin tertinggi militer di DKI Jakarta saat itu. 

    Bagaimanapun, terlepas dari suka atau tak suka dengan Sutiyoso, kita patut 
mengacungkan jempol atas kebesaran jiwa yang ditunjukkan oleh Gubernur DKI 
Jakarta saat itu dengan cara mengatakan “dirinya” dan “bukan orang lain” yang 
patut bertanggungjawab. Sebab, bukankah selama ini kita sudah kerap menyaksikan 
para pemimpin militer yang selalu lari dari tanggungjawab dengan cara menunjuk 
orang lain (terutama anak buahnya), ketika suatu kasus yang diduga melibatkan 
dirinya sedang diproses di pengadilan? 
 
    Entahlah, ini bisa dikategorikan sebagai budaya kita atau bukan. Yang 
jelas, selama ini, kebanyakan orang Indonesia memang lazim “menunjuk ke bawah” 
ketika sesuatu yang buruk diduga bakal menimpa dirinya. Beda sekali dengan 
kelaziman yang berlaku di beberapa negara lain, karena yang di bawahlah yang 
selalu “menunjuk ke atas” ketika sesuatu yang buruk sedang terjadi dan bisa 
menimpa siapa saja. Dan yang menariknya, yang di atas juga terbiasa untuk 
secara sportif dan gentle menerima lemparan tanggungjawab itu. Sebuah contoh 
nyata dapat dilihat pada kasus tentara Amerika Serikat (AS) yang menzalimi para 
tawanan perang Irak, beberapa tahun silam. Bukankah yang menjadi bulan-bulanan 
kegeraman rakyat AS lantaran hal itu adalah Presiden Bush dan bukan panglima 
angkatan bersenjata atau (apalagi) para tentara AS sendiri yang sedang bertugas 
di Irak? 

    Kembali pada Kasus 27 Juli, ada suatu hal menarik yang layak dicermati. Di 
satu sisi, SBY yang dijadikan “sasaran tembak

[zamanku] Etika Politik dan Hasrat Berkuasa

2008-09-09 Terurut Topik victor silaen
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 8 September 2008
 
Etika Politik dan Hasrat Berkuasa
Oleh Victor Silaen
 
     Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kepada siapa pun yang akan 
menjadi pemimpin bangsa ini ke depan untuk mengutamakan sikap kenegarawanan 
dengan mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam 
memimpin bangsa ini. 
Hal itu dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kepada wartawan di 
Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/8), sesaat 
setelah mendampingi pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) 
diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 
 
     Boleh dipastikan, siapa pun setuju dengan harapan itu. Kita senang kalau 
para pemimpin bangsa ini sungguh-sungguh negarawan: yang mampu berpikir dan 
bersikap dengan kerangka dan spirit nasionalisme, yang tidak membeda-bedakan 
rakyat berdasarkan latar belakang etnik, agama, golongan, status sosial 
ekonomi, daerah asal, dan lainnya.  
 
     Kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika 
politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan 
perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma 
dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh 
mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, 
niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu 
banyak. 
 
 Namun, fakta bicara lain. Soal kenegarawanan, tak sedikit pemimpin yang 
kerap diskriminatif ketika berhadapan dengan rakyat. Bayangkan jika istilah 
”mayoritas” dan ”minoritas” disebut-sebut ketika berupaya mencari solusi di 
balik konflik antarkelompok di masyarakat seraya mengimbau agar yang 
”minoritas” tahu diri. Dalam kategori statistik, mayoritas dan minoritas memang 
ada dan tak mungkin dibantah. Namun dalam paradigma nasionalisme, kedua istilah 
tersebut sungguh usang dan karenanya tak sekali-kali boleh diucapkan. Maka, 
jika masih ada orang-orang yang menggunakannya, mereka patut dianggap 
kontra-nasionalis. Kalau itu rakyat biasa, mereka perlu dicerahkan. Kalau itu 
pemimpin, selayaknya dicopot saja dari posisinya. Sebab, mereka telah melanggar 
sumpah untuk selalu setia kepada Pancasila, UUD 45, dan NKRI.
 
 Soal kenegarawanan ini haruslah ditunjukkan bukan hanya ketika berhadapan 
dengan rakyat, tetapi juga di saat merancang dan membahas pelbagai peraturan 
publik di aras nasional dan daerah. Jika peraturan publik yang tidak seutuhnya 
dan sepenuhnya menjunjungtinggi nasionalisme itu sudah ada, kiranya para 
pemimpin dengan rendah-hati dan jiwa-besar bersedia merevisinya. Ke depan, 
kiranya para pemimpin selalu mawas-diri dan meninggikan nasionalisme dalam 
proses-proses dan kerja-kerja politik agar tidak memproduksi kebijakan politik 
yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI. 
 
 Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu 
belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu 
berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang 
menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya 
sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut 
pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau 
walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang 
sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi 
jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan 
bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala 
daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi 
bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung 
diberlakukan cukup banyak bermunculan,
 mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani. 
 
     Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu 
mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup 
menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia 
berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya 
perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar 
peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat 
menderita punya pemimpin seperti itu. 
 
     Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud 
sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang 
diperlihatkan hari-hari ini oleh Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang ingin 
meraih kursi di DPR. Padahal, sebagai gubernur, ia baru lebih setahun 
menjalankan masa jabatan keduanya. Tak pelak, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf 
Kalla pun menampiknya. ”Sebagai kader partai, dia seharusnya memiliki komitmen 
untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah 
harus ganti arah. Sudah

[zamanku] Introspeksi Diri Balon Wakil Rakyat

2008-08-19 Terurut Topik victor silaen
Telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 19 Agustus 2008
 
 
Introspeksi Diri Bakal Calon Wakil Rakyat 
Oleh Victor Silaen
 
 Citra buruk para wakil rakyat Indonesia akhir-akhir ini semakin kerap 
disorot, baik secara lisan di ruang-ruang publik dan forum-forum diskusi, 
maupun dalam tulisan di berbagai media massa. Sesungguhnya wajar saja jika 
banyak orang memberi penilaian negatif terhadap para politisi Indonesia dewasa 
ini. Sebab, kinerja sebagian besar politisi itu memang mengecewakan bahkan 
menyebalkan. Ada yang hobinya jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi 
banding, padahal hasilnya nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada 
publik. Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri 
itu pakai bawa-bawa orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa 
lagi). Tidak pernahkah mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu 
sebenarnya sudah menghabiskan uang negara (yang notabene berasal dari uang 
rakyat) secara tidak produktif? 
 
 Ada lagi wakil rakyat yang hobinya main-cinta – bukan dengan pasangan 
sahnya. Sehingga, tidak mengherankan jika muncul kabar tak sedap bahwa di 
Senayan selalu ada makelar-cinta yang siap-sedia memasok kalau-kalau ada 
politisi yang memberi order. Memang, sangat sulit membuktikan kebenaran ”kabar 
burung” ini. Tapi, bukankah tak ada asap kalau tak ada api? Kalau tak ada 
fakta, masakan muncul berita? 
 
 Ada satu hal lagi yang juga menjadi kegemaran para wakil rakyat kita, 
yakni: mencari uang sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Caranya, antara lain, 
dengan mengusulkan dan memperjuangkannya secara gigih kenaikan gaji berikut 
tunjangan ini dan itu, pembengkakan anggaran sidang, penambahan dana 
operasional, dan lain sebagainya. Heran sekali, padahal mereka di lembaga 
legislatif untuk mewakili rakyat yang kebanyakan hidupnya justru susah dan 
menderita. 
 
 Hanya itukah kelemahan atau kekurangan para wakil rakyat kita yang kerap 
menjadi sorotan? Kalau yang ini, yakni label ”4D”, bahkan sudah sejak era 
Soeharto menjadi sindiran masyarakat luas. Dengan itu berarti, kebanyakan 
politisi itu hanya ”datang, duduk, diam, duit” di Senayan. Bahkan yang lebih 
parah lagi, ada wakil rakyat yang datang pun jarang – sehingga untuk mereka 
label yang lebih cocok dikenakan adalah ”D” alias duit. 
 
 Kendati demikian, hingga kini ternyata masih banyak orang yang berhasrat 
untuk menjadi wakil rakyat. Buktinya, ketika sejumlah partai peserta Pemilu 
2009 mengumumkan pembukaan pendaftaran untuk menjadi bakal calon legislatif, 
yang berminat cukup banyak. Di antaranya adalah para selebritas. 
 
 Bagaimana kita patut menyikapi fenomena ini? Di satu sisi kita prihatin, 
karena ternyata banyak partai yang tak mampu menjalankan salah satu fungsinya 
sebagai sarana rekrutmen dan pengkaderan elit-elit politik. Bukankah sebagai 
kekuatan politik yang berperan dominan di dalam sistem dan proses politik 
Indonesia, mestinya setiap partai senantiasa berada dalam keadaan siap 
menyuplai kader-kadernya untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang tersedia? 
Jadi, mengapa harus membuka pendaftaran bagi masyarakat luas? Mengapa pula 
harus meminta para selebritas menjadi kader mereka? 
 
    Di sisi lain, hasrat para selebritas itu sendiri untuk masuk ke lembaga 
legislatif patut dipertanyakan. Yang sangat mengherankan, sebagian bakal calon 
wakil rakyat itu ada yang masih sangat belia (20-an tahun) dan ada pula yang 
baru melahirkan anak. Yang masih sangat belia, sudah matangkah mereka untuk 
menjadi elit politik? Yang baru melahirkan anak, tidakkah lebih bijak jika ia 
mencurahkan waktunya untuk menjadi ibu yang bertanggungjawab? 
 
 Masih banyak hal lain yang menjadi keraguan kita atas hasrat para 
selebritas itu menjadi wakil rakyat. Kita khawatir, jangan-jangan mereka 
menganggap menjadi wakil rakyat itu gampang. Pertanyaannya, apa betul gampang? 
Jelas tidak. Karena, alih-alih sebagai sumber matapencaharian, menjadi wakil 
rakyat itu sesungguhnya merupakan panggilan mulia untuk memperjuangkan 
idealisme demi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menegakkan kebenaran dan 
mewujudkan keadilan di tengah kehidupan bernegara dan berbangsa. Jadi, 
janganlah menjadikan kursi-kursi di lembaga legislatif sebagai sumber nafkah 
setelah pekerjaan lain sebelumnya dianggap kurang menarik. Sebab, menjadi wakil 
rakyat itu sulit bahkan penuh risiko. 
 
     Inilah yang seharusnya dipahami oleh setiap bakal calon wakil rakyat itu. 
Menjadi wakil rakyat itu sulit, karena diperlukan intelektualitas yang cukup 
dan wawasan yang dalam. Sebab, sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah 
bersidang, dan bersidang berarti beradu argumen. Untuk itu, tak bisa tidak, 
setiap wakil rakyat harus berani bersuara lantang dan mampu berpikir 
kritis-rasional. Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, maka yang terjadi 
mungkin tiga hal ini: 1) bicara lantang tapi ngawur; 2) mengerti apa yang 
dibahas dalam sidang tapi diam saja; 3) tidak

[zamanku] Pemimpin Nir-empati

2008-08-05 Terurut Topik victor silaen
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 5 Agustus 2008
 
 
Pemimpin Nirempati dan Megagolput
Oleh Victor Silaen
 
 Di Ambon, 5 Juli lalu, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati 
Soekarnoputri mengatakan bahwa warga yang sengaja tidak menggunakan hak 
pilihnya (golongan putih/golput), baik dalam pilkada maupun pemilu, semestinya 
tidak boleh menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Menurut Megawati, sengaja 
menjadi golput sangat bertentangan dengan undang-undang dan menghancurkan 
tatanan demokrasi di Indonesia. Sementara di Malang, 15 Juli, Megawati 
mengatakan bahwa orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 
nanti bisa dijuluki sebagai pengkhianat reformasi. Sistem pemilu Indonesia 
sekarang, menurutnya, merupakan hasil dari suatu proses panjang yang berawal 
dari adanya reformasi total, lalu empat kali amandemen konstitusi, dan diakhiri 
dengan kesempatan melahirkan tatacara pemilu langsung oleh rakyat. “Ini sudah 
merupakan tuntutan rakyat. Masyarakat sudah menuntut hak pilihnya dilakukan 
secara langsung. Nah, kalau golput lagi, itu khianati
 reformasi,” katanya.
 
 Bagaimana kita patut menyikapi pernyataan mantan presiden ke-5 ini? 
Prihatin. Sebab, alih-alih memberikan sosialisasi politik yang baik dan benar 
kepada rakyat, pernyataan itu justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya 
sendiri. Karena, adalah fakta bahwa setiap kali pemilu diselenggarakan, selalu 
ada sejumlah orang yang menjadi golput. Apakah mereka dihukum karena itu? 
Tidak, karena dasar hukumnya memang tidak ada. 
 
 Golput sendiri jelas bukanlah fenomena baru di negara ini. Di akhir era 
Orde Baru, ia sempat dijadikan wacana. Menjelang Pemilu 1997, ada lembaga 
keagamaan yang menyatakan bahwa memilih itu wajib hukumnya. Sebaliknya 
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam surat penggembalaan yang 
dikeluarkannya saat itu, menyatakan bahwa menjadi golput tidaklah berdosa. Di 
era ketika kebebasan masih terbelenggu, bukankah suara kenabian seperti itu 
sangat memuliakan harkat-martabat manusia? Sebab, kesejatian manusiawi niscaya 
ditemukan ketika manusia dapat menikmati hidup yang bebas seturut kata 
hatinya.  
 
 Dari perspektif hak asasi manusia (HAM) pun, menjadi golput jelas 
merupakan HAM yang tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak manapun. Artinya, jika 
hak memilih dalam pemilu tidak digunakan oleh seseorang, maka hal itu 
sepenuhnya merupakan urusannya sendiri. Yang penting ia menjadi golput bukan 
karena dua alasan berikut: 1) dipaksa atau diancam oleh pihak-pihak tertentu; 
2) terhambat oleh faktor-faktor tertentu. Sebab, jika karena alasan pertama, 
pihak-pihak pemaksa atau pengancam tersebut dapat dikenai hukuman pidana. Jika 
karena alasan kedua, maka pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Daerah (KPUD), 
maupun semua mitra kerja merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban. 
Sebab, pemilu diibaratkan sebagai pesta rakyat, sehingga atas dasar itulah 
seluruh rakyat harus diberi kemudahan (dan dijamin kebebasannya) untuk 
berpartisipasi di dalamnya. 
 
 Di era Orde Baru, kita juga selalu mendengar theme song pemilu menjelang 
hari “H’ pesta rakyat lima tahunan itu. Petikan syair lagu itu berbunyi 
demikian: ”Pemilihan umum telah memanggil kita. S’luruh rakyat menyambut 
gembira...” Boleh dibilang bahwa selain merupakan imbauan, lagu terse­but juga 
dimaksudkan sebagai sarana untuk menyugesti rakyat agar antusias menyambut 
pemilu. Mengapa perlu disugesti? Kar­ena, pada kenyataannya, selalu saja ada 
orang yang tidak bergairah menyongsong pemilu. Buktinya, setiap kali pemilu 
diselenggarakan, setiap kali itu pula tercatat jutaan orang yang menjadi 
golput. 
 
 Apa boleh buat, inilah fakta. Jadi, alih-alih menyalahkan para golput 
dengan mengatakan mereka ”tidak pantas menjadi WNI” maupun ”pengkhianat 
reformasi”, lebih bijaklah mempertanyakan mengapa fenomena ini selalu ada dan 
jumlahnya cenderung meningkat akhir-akhir ini. Sangat mungkin, jika dibuat 
kategorinya, jawaban-jawaban mereka secara jujur adalah sebagai berikut: 1) 
merasa apatis, karena tak ada gunanya memilih atau tak tahu harus memilih 
siapa; 2) merasa muak kepada elite politik dan partai politik, karena terlalu 
mudah mengumbar janji dan mudah pula melupakannya. 
 
 Dari perspektif politik, banyak hal yang memang paradoks sekaligus ironis 
di Indonesia. Di satu sisi agama sangat ditinggikan di ruang-ruang publik, 
namun di sisi lain kita sulit menemukan pemimpin-pemimpin dengan kesalehan 
sejati yang holistik: yang rajin beribadah sekaligus gigih berjuang demi 
tegaknya kebenaran dan keadilan. Di satu sisi cukup banyak orang yang merasa 
dirinya layak menjadi wakil rakyat, baik yang sudah mendapat kursi maupun yang 
akan merebutnya, namun di sisi lain betapa langkanya wakil rakyat incumbent 
maupun potensial yang sungguh-sungguh peduli atas penderitaan rakyat. 
 
 Inilah agaknya krisis kepemimpinan yang sesungguhnya di Indonesia. Jumlah 
orang yang berkualitas dan berkapasitas sebagai pemimpin

[zamanku] Artalyta dan Bang Jaksa

2008-06-17 Terurut Topik victor silaen
Telah dimuat pada Harian Batak Pos, 16 Juni 2008
nbsp;
Antara Artalyta dan Mas/Bang Jaksa 
Oleh Victor Silaen
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Pemberitaan media elektronik dan media cetak dalam 
sepekan terakhir ini diramaikan dengan tereksposnya dua rekaman percakapan per 
telepon selular (ponsel) antara seorang warga negara biasa dan dua pejabat 
tinggi di institusi kejaksaan. Dua rekaman itu masing-masing adalah: pertama, 
antara Artalyta Suryani dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 
(Jamdatun) Kejagung Untung Udji Santoso; kedua, antara Artalyta Suryani dan 
(mantan) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman.
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Sosok Artalyta mulai menarik perhatian publik sejak 2 
Maret lalu, terkait kasus pemberian uang kepada Urip Tri Gunawan, Ketua Tim 
Jaksa dari Kejaksaan Agung, yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank 
Indonesia (BLBI). Urip Tri Gunawan dianggap telah mencoreng penegakan hukum, 
khususnya pemberantasan korupsi terkait debitur Sjamsul Nursalim (pemilik Bank 
Dagang Negara Indonesia dan Grup Gadjah Tunggal). Minggu sore itu (2 Maret), 
Urip tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika baru 
keluar dari sebuah rumah mewah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, tak jauh 
dari rumah Sjamsul Nursalim. Dari tangannya, KPK menyita uang senilai 660.000 
dolar AS (sekitar Rp 6 miliar), yang diduga uang suap, dari Artalita Suryani -- 
kerabat Sjamsul. 
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp; Yang menarik, Urip selama ini dikenal sebagai jaksa yang 
baik. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bali ini pernah menjadi salah 
satu jaksa yang menangani kasus Bom Bali I dengan terdakwa Amrozi dkk. Suatu 
kali, ia memberikan sepasang sepatu kepada Amrozi – karena si teroris berwajah 
senyum-sumringah itu selalu memakai sandal saat di persidangan. Tak disangka, 
Amrozi menolak pemberian sepatu itu. Alasannya, ia khawatir sepatu tersebut 
dibeli dari uang korupsi Kepala Kejari Bali itu. Saat itu, siapa pernah menduga 
bahwa suatu saat kekhawatiran Amrozi terbukti -- bahwa jaksa yang baik itu 
kelak menjadi (tersangka) koruptor?
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp; nbsp;Namun, pasca-penggerebekan oleh aparat KPK, Urip 
berupaya membela diri. Menurut dia, uang miliaran yang ia terima dari Artalyta 
adalah hasil jual-beli permata. ”Sejak lama saya mempunyai usaha sampingan jual 
permata. Untuk uang ini pun ada bukti tanda terimanya, tidak ada kaitannya 
dengan perkara. Saya jamin 100 persen,” katanya berdalih. Ketika ditanya apakah 
uang tersebut terkait penghentian kasus BLBI, Urip membantah. ”Kalau 
penghentian kasus BLBI, nbsp;itu bukan saya yang menentukan.” Memang, ada yang 
aneh, ketika beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian 
pengusutan semua kasus BLBI -- termasuk kasus Sjamsul. Wajar jika aparat KPK 
menduga uang yang ditemukan dalam peristiwa penggerebekan itu sebagai suap atas 
kasus yang ditangani Urip. 
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp; nbsp;Waktu pun berjalan. Hubungan ”tidak biasa” antara 
Artalyta-Urip semakin terkuak.nbsp; Artalyta, dalam rekaman percakapannya 
dengan Jamdatun Untung yang diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Khusus 
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (11 Juni), antara lain 
mengatakan ”Urip kita, Mas...”. Tidakkah kita merasakan ada sesuatu yang”aneh” 
dalam percakapan itu? Pertama, mengapa Artalyta menyebut Urip sebagai ”Urip 
kita”? Jelas ada hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Urip. Kedua, 
mengapa Artalyta memanggil Untung dengan sapaan ”Mas”? Ini pun menyiratkan 
adanya hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Untung. Sebaliknya 
Untung, mengapa ia memanggil Artalyta dengan sapaan ”Dik”? Seberapa akrabkah 
hubungan mereka berdua dan apa yang membuat keduanya menjadi akrab? 
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp; Terkait kasus pemberian uang kepada Urip, ternyata Artalyta 
sebelumnya (1 Maret) sudah menghubungi Kemas Yahya Rahman. Percakapan antara 
Artalyta-Kemas terjadi sehari setelah Kejagung mengumumkan penghentian 
penyelidikan kasus BLBI yang ditangani Kejagung sejak 29 Februari. Dalam 
rekaman percakapan Artalyta-Kemas terungkap bahwa Artalyta memanggil Kemas 
dengan sapaan ”Bang”. Ini pun membuat kita curiga tentang adanya sesuatu yang 
”tidak biasa” dalam hubungan keduanya. Mengapa Artalyta terkesan begitu 
akrabnya dengan Kemas sehingga memanggil pun cukup dengan ”Bang” saja? 
Sebaliknya Kemas, beberapa kali ia terdengar tertawa-tawa dalam percakapan itu. 
Rileks sekali. Terkesan Kemas sama sekali tak berupaya menjaga wibawanya 
sebagai seorang pejabat tinggi negara di depan Artalyta. 
nbsp;
nbsp;nbsp;nbsp;nbsp; Menariknya lagi, dalam percakapannya dengan Kemas, 
Artalyta sempat menyebut seseorang dengan “julukan rahasia”, yakni “si Joker”. 
Terungkap kemudian, ternyata yang dimaksud si Joker adalah Djoko Tjandra, 
pemilik Bank Bali yang juga debitor BLBI. Tapi, apa menariknya? Pertama, 
hubungan Artalyta-Kemas diduga kuat sudah terjalin cukup lama sehingga keduanya 
bisa menyepakati ”julukan rahasia