Pak Sabri, Allah itu sebagaimana prasangka baik hambaNya saja. Kalau Pak Sabri merasa tak perlu memasukkan unsur Allah dalam menyikapi lika-liku kehidupan, tampaknya begitu pulalah yang akan terasa oleh Pak Sabri.
Sebaliknya sy selalu mengembalikan semuanya ini kepada Allah. Baik buruk, berhasil gagal, semua terjadi karena memang kehendakNya. Dan saya hanya menjalani apa yang sudah ditentukan dan digariskan oleh Allah untuk saya. Kalau mau bicara teknis, mungkin itu salah satu cara sy survive menghadapi pasang surut kehidupan. Nangis atau ketawa sebenarnya dikendalikan oleh hati dan bagaimana penghayatan manusia terhadap ketentuan2 yang berlaku dalam hidupnya. Sy paling santai menyikapi kerugian dan kehilangan materi. Sy percaya bila sy kehilangan suatu barang, itu memang sudah seharusnya. Dan bila sy mendapatkan rezeki, itu pun sudah ketentuannya. Kalau sy mau berpikir seperti pak Sabri, bisa saja. Sy akan jadi orang spt pak Sabri. Namun sy memilih untuk mengembalikan semua kepada Allah, sehingga hati sy tenang. Sy sudah belajar bhw kegelisahan sy hanya menguras tenaga dan pikiran saja. Tidak ada yang perlu diragukan dan ditakutkan, bila kita percaya bahwa Allah sudah mengatur segalanya, dan Allah mengikuti prasangka baik hambaNya saja. Kemampuan untuk melihat segala peristiwa dari sisi lucu itu adalah cara pak Sabri sekeluarga survive. Sy pernah mencoba seperti itu, tapi ternyata sy kurang cocok melakukan metode menertawakan hidup, karena sy sebenarnya sangat serius :) Hidup buat sy tidak bisa untuk sekedar dianggap lucu, karena hidup sangat berharga dan banyak yang bisa kita lakukan untuk mengisi hidup kita menjadi lebih baik, bukan sekedar untuk kita, namun juga untuk semua. Asisten kue sy, tidak hanya sy biarkan mengaduk2 adonan. Tapi sy ajarkan untuk belajar mengkonversi ukuran, belajar menghitung biaya produksi, belajar menghitung harga jual, sehingga harapan sy mereka nanti kelak pun bisa membuka usaha kue sendiri. Sy tak berhitung kerugian di situ, karena sy tahu sy merasa bahagia bila bisa membuat org lain mandiri. Sy tidak perduli asisten sy mungkin bisa membuat dan menjual kue yg sama seperti yg saya buat. Sy yakin pintu rezeki sudah Allah atur, dan Allah Maha Adil, tak pernah saya ragukan. Allah tak pernah terlalu besar maupun terlalu kecil ketika menyangkut hidup kita. Allah mengurusin kita sampai hal-hal terkecil. Bahkan sy sampai bilang bahwa Allah bisa membatalkan meeting sy dgn client hanya karena sy merasa belum siap dan memohon padaNya agar si client diberi halangan sehingga sy bisa mengulur waktu ... ;) Percaya? -- terserah Anda ... :) Salam Manis, F e r o n a http://www.cakefever.com 2010/7/25 X1123 <x1...@gmx.com> > > > Dear Fero, > > sejujurnya, aku belum bisa sampai ke titik, dimana anda sampai saat ini. > Atau lebih tepat model hubungan dengan Tuhan tidak sama polanya. aku > lebih sering menganggap faktor Tuhan tidak perlu diperhitungkan dalam > menjalani strategi kehidupan. Maknanya sebagai yang Maha berkehendak, > silahkan saja menjalankan kehendak-NYA. Ketika kita berharap Tuhan > melaksanakan kehendak seperti yang kita inginkan, untuk aku, lebih > sering tidak sesuai, sehingga kupikir Tuhan itu sang Maha Komedian. > Salah satu pencegah stress dan tidak kena stroke (menurut istriku), kami > sekeluarga di-anugerahi kemampuan melihat segala peristiwa dari sisi > 'LUCU' ... ketika Istri saya semakin mengenal keluargaku, dia sering > tertawa dan bilang "kalian semua sangat lucu, dan selalu melihat segala > situasi dari sisi lucu". Sifat ini ada hampir pada semua saudara kandungku. > > Entah pengaruh gen, entah tumbuh dalam keluarga yang melihat segala > peristiwa dari sisi lucu, aku bisa survive dibawah berbagai tekanan, > bila menemukan masalah yang 'dead lock' termasuk dalam pekerjaan, aku > cuma menganggapnya sebuah komedi kehidupan. Sebagai contoh, usaha yang > dikelola bersama keluarga ini mengalami peristiwa 'menjengkelkan' yang > menyebabkan harus melepas beberapa aset, secara akunting mungkin namanya > kerugian, bila dinilai uang digitnya bisa sampai 10 digit. Hati rasanya > sesak memutuskan hal tersebut, hasil kerja lebih sepuluh tahun harus > dilepas begitu saja. Tapi akhirnya kami bisa memutuskan sambil tertawa > (ketika teken akte notaris). Anehnya ketika aset tsb lepas (dari segi > kepemilikan), bathin malah entheng. Aset tergantikan dengan cara utang > bank :D > > situasinya sama saja entah itu aset entah itu keinginan pribadi, > persoalannya menyangkut 'hati' dan 'pikiran'. Ketika Fero bisa memilih > mengenakan jilbab dengan bahagia, sebenarnya dia melepas sesuatu yang > dalam pikiran sangat berharga. Bahkan pasti lebih berharga dari sekedar > aset, karena prinsip selalu lebih berharga dibanding aset duniawi. > > perbedaan yang kualami, aku selalu tidak mau menghubungkan ini dengan > 'kehendak Tuhan" minimal aku merasa ini terlalu kecil untuk melibatkan > kuasa Tuhan. Karena tokh kalo dirunut semuanya kehendak Tuhan, lha kalo > sudah jelas begitu buat apa lagi dipikirkan, lebih baik menjalani saja. > Arti ikhlas juga kadang rumit, karena bila ingat sebuah situasi > menyakitkan masih muncul juga rasa masghul dan kesal, meski dengan cepat > bisa mengusir kekesalan tsb. > > persamaannya, barangkali aku sudah tidak lagi memaksakan jalan hidup, > maknanya dalam hidup kita jalani saja, melakukan usaha semaksimal yang > bisa diusahakan, kalo ikut tender ya penuhi semua syaratnya, kalah ... > tokh banyak temannya, malah pemenang cuma satu. Di ruang pembukaan > tender, aku sering bilang "kasihan dia, menang tender ... tidak ada > kawannya" > > wassalam > ./sts > > [Non-text portions of this message have been removed]