Tonjokkan dari IPB agar PT Fokus pada bidangnya merupakan in put yang
baik; insyaallah akan saya tonjokkan lagi,  baik  kepada diri sendiri,
teman-teman dosen maupun mahasiswa dalam obrolan-obrolan santai, dalam
diskusi  ataupun di sela-sela kuliah.

Bagi saya sendiri, fokus pada bidang kita artinya memberi proporsi yang
lebih besar, penuh minat dan antusias. Namun isu-isu lain yang dapat
meningkatkan EQ dan SQ kita tetap saja kita perlukan, karena menurut hemat
saya untuk mengarungi hidup dan kehidupan kita ini diperlukan ilmu dan
sikap yang comprehensive, proporsional dan tepat guna. Namun hal ini hanya
mudah untuk diucapkan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan.

Salam,
Teti

> FYI (tonjokan bagus dari alumni IPB <g>)
>
> Begin forwarded message:
>
> Date: Thu, 29 Jan 2004 07:30:22 +0700
> From: Lilis Kurniasih <[EMAIL PROTECTED]>
> To: "Alumni XI (E-mail)" <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [AlumniSMPNXI_73JKT] sedikit ilmiah
>
>
> Bandung Raya - Edisi 21 April 2001
> Ketekunan yang Langka
>
> Oleh: Prof.Dr.Ir.Andi Hakim Nasoetion *
>
>
> Seorang dosen kembali dari Tokyo membawa gelar Magister Sains
> Genetika Ikan. Ia melapor akan keberhasilannya itu.
>
> Yang ditanyakan rektornya ialah apa yang membuatnya terkesan dengan
> program pendidikan pascasarjana di Jepang. Maka ia pun
> menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, seumur-umurnya baru pada ketika
> itu ia selama bangun hanya memikirkan dan berbicara tentang ikan atau
> tentang genetika atau tentang genetika ikan. Pagi hari ketika sarapan ia
> berbincang dengan kawan sekerjanya tentang perilaku ikan. Di dalam
> laboratorium ia diajak berdiskusi mengenai DNA oleh  dosennya, dan
> sewaktu makan siang di sela-sela  memotong-motong filet tongkol, ia
> berbincang tentang daerah penangkapan tongkol di daerah Kepulauan Aru.
> Malam harinya sewaktu tidur, ia bermimpi tentang ikan. Tidak
> diceritakannya apakah sebelum bermimpi mengenai ikan itu keesokan
> harinya ia menang undian berhadiah.
>
> Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya peristiwa apa yang paling
> mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali
> mengajar. Ternyata ia  terkejut sekali ketika melihat warga kampus
> sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus
> ditekuninya, melainkan mengenai upaya mengokohkan iman dan bagaimana
> caranya berperilaku sesuai dengan iman mereka masing-masing.
>
> Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana caranya
> mendukung perjuangan umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku di
> antara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut
> masalah yang ada di luar jangkauan, seperti misalnya di Palestina atau
> Bosnia.
> Masalah yang kalau hanya dibicarakan tidak ada selesai-selesainya.
>
> Ini mengingatkan rektornya akan peristiwa seorang anggota tim olimpiade
> matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota
> Tim dari Norwegia tentang penyelesaian sebuah masalah matematika yang
> memerlukan pengetahuan tentang teori medan Galois.
> Percakapan itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di
> Laut Bosporus.
>
> Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu adalah teladan
> tentang ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan
> matematika ketika mereka sudah bertekad memilih bidang ilmu itu sebagai
> perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya adalah bahwa
> mereka akhirnya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu
> dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
>
> Beberapa waktu lalu biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik
> dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi tunjangan penelitian kira-kira
> 40,000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya.
> Demikian pula ada seorang dosen yang mendapat hadiah penelitian dalam
> bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam
> bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen  Fakultas Peternakan
> Unsoed yang di Australia menemukan cara penyimpanan mani beku sapi di
> dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik setelah usahanya
> berkali-kali gagal. Untuk itu ia menerima hadiah medali emas penelitian
> Yayasan Hewlett-Packard. Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi
> oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi
> saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang.
> Diperlukan kreativitas dan ketekunan melakukan tugas yang tinggi.
>
> Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang
> pekerjaannya adalah menciptakan pengetahuan baru dan atau memperbaiki
> manfaat suatu pengetahuan. Apakah di masyarakat akademik perguruan
> tinggi kita suasana ketekuan dan kesetiaan menangani tugas itu ada atau
> tidak ada, dapat dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana
> saja di dalam kampus yang  dapat dilekati kertas.
>
> Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai
> hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melainkan
> mengenai siraman rohani, bedah buku tentang solidaritas Palestina dan
> berbagai diskusi mengenai berbagai kebobrokan yang terjadi di tanah air.
> Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang
> diperbicangkan.
>
> Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas
> keimanan hingga aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun
> kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah belajar di
> perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar
> dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang
> kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan
> MBA di berbagai yayasan "gombal".
>
> Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia dapat mengimbangi
> kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara
> maju kalau yang ditekuninya selama belajar di perguruan tinggi bukanlah
> bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan "kematangan bermasyarakat" dengan
> berkonsentrasi penuh ke kegiatan ekstra kurikuler kita mampu menjadi
> ilmuwan bertaraf internasional?
>
> Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang
> menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat
> Asia-Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU
> yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka
> yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman
> reformasi seperti sekarang. Namun  seharusnya penghujat yang notabene
> mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan
> bukan pemikiran dengkulnya. Peraih medali perunggu itu ternyata adalah
> siswa-siswa yang dengan kecintaan menekuni matematika dan kebanyakan
> dari mereka berasal dari  sekolah-sekolah yang diselenggarakan
> masyarakat (swasta), bukan dari sekolah yang diselenggarakan negara
> (negeri). Atau kalau ia berasal dari sekolah yang diselenggarakan
> negara, lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang menghargai
> ketekunan kerja. Siapa mereka itu? Boleh ditebak sendiri, lingkungan
> keluarga yang mana yang dapat membedakan kapan harus menekuni pelajaran
> tentang keimanan dan ilmu naqliah dan kapan lagi harus tekun menuntut
> ilmu aqliah.
>
> Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang belajar apa saja, untuk
> tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan
> kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan
> terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi ahli bedah otak
> dilakukan dengan cara berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga
> terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir
> lulusan MIT AS melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan
> hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja,
> namun cukup mengejutkan karena Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa
> Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
>
> Mari kita renungkan, apa saja yang dapat kita perbaiki mengenai
> kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga
> administrasi maupun mahasiswa.  Jika mahasiswa berlaku seperti itu,
> seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, karena hal itu pertanda
> bahwa tenaga akademik belum dapat membawakan suasana akademik ke dalam
> kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
>
> Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakarta
> yang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di
> Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas
> penelitian.
> Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya,
> saya katakan bahwa di kampus saat ini banyak mahasiswa termasuk juga
> mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar karena harus
> menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir,
> ada kemungkinan ia tidak boleh ikut ujian atau kredit kenaikan
> pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir
> di seminar bukan karena ingin tahu lebih banyak, melainkan karena takut
> tidak lulus ujian atau tidak naik pangkat.***
>
> Penulis adalah guru besar Institut Pertanian Bogor
> (IPB) dan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telkom
> Dayeuhkolot Bandung.
>
> End of forwarded message 8<---
>
> --
> syafril
> -------
> Syafril Hermansyah
>
>
> --[YONSATU - ITB]-----------------------------------------------
> Arsip                 : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau
> <http://news.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.mahawarman>
> News Groups   : gmane.org.region.indonesia.mahawarman
> List Admin    : <http://home.mahawarman.net/lsg2>
>
>


--[YONSATU - ITB]-----------------------------------------------
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau
<http://news.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.mahawarman>
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman
List Admin      : <http://home.mahawarman.net/lsg2>

Kirim email ke