Bung Nazar,

Aku kurang dapat menangkap claim apa yg anda bawa. Jd, aku mainkan musik 
sendiri, yah?

Pada dasarnya, sekarang hampir semua (mungkin semua) pemilih adalah independen. 
Tidak sedikit org yg terima duit, tapi mereka "independen" dalam menyoblos. Ada 
hal hakiki yg para penebar duit lupa, yaitu masyarakat bukan milih melulu 
karena duitnya. Ada hal yg mendasar (berdasarkan riset2 yg dilakukan oleh para 
cognitive scientist dan neuroscientist). 

Aku ilustasikan yah..Misal dari 70 jt penduduk pemilih. Mungkin hanya 10-20 % 
pemilih yg benar2 fanatik. Sementara sisanya adalah swing voters. Apa yg 
membuat 20% jg fanatik pada partainya masing2 adalah kesusaikan identitas. 
Sekali identitas/emosional tsb terbangun, susah untuk dirubah (ini menjelaskan 
teori Anis Baswedan bhw pemilih yg memilih partai berdasarkan agama kalaupun 
pindah pasti partai agama, sementara yg nasionalis ke nasionalis). 

Apa yg dilakukan oleh stratego politik di kampanye bukan merebut konstituen 
fanatik. Contoh, betapapun fakta yg dikasih oleh partai X ttg lawannya, mereka 
yg sulit memindahkan pilihannya. Yg seharusnya digarap ialah 80% swing voters. 
Apa yg harus dilakukan simple jg, ialah membangun emosi  swing voters. Uang 
salah satu cara, tapi ada cara yg lebih ampuh (paling kurang menurut para 
cognitive scientist dan neuroscientist).

Enda 


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "nazar" <nazart...@...> wrote:
>
> Ah jadi gatal juga untuk beropini.
> 
> Berbicara tentang emosional,
> Bagaimana jika ada seseorang yang menghidupkan pemikiran emosional negatif 
> orang lain/ masyarakat untuk menilai sesuatu. 
> 
> Contoh. Jangan mau dengan bung EKO, karena dia itu pemarah, egois, 
> keluarganya jahat, dia tidak konsisten, dsb..dsb.. Bukankah ini cara yg TIDAK 
> SANTUN?
> 
> Coba bandingkan dengan " Bung EKO itu baik, dan bung EKA itu juga baik. 
> Silahkan nilai sendiri oleh anda-anda sekalian. Bukankah cara ini lebih 
> SANTUN?
> 
> Dalam dunia politik, terutama didaerah-daerah yg tdk mengenal etika. Politik 
> persuasi/membujuk dilakukan dengan cara 1 dan 2. Dan alangkah naifnya jika 
> cara 1 ini lebih dominan dilakukan. Bukankah itu juga berarti masyarakat 
> tidak berpikir independen? Tergantung seberapa tinggi/intensif doktrin itu 
> dilakukan
> 
> Hal-hal semacam ini bisa di terapkan dalam dunia bisnis untuk menjual barang 
> dan strategi pemasaran. Soal kemasyarakatan itu biarlah kita serahkan kepada 
> pemerintah dan dpr/dprd terpilih itu. Toh dalam bisnis, kode etik itu tidak 
> begitu mengikat. Dan begitu jelas tujuan yang ingin di capai, yaitu 
> keuntungan yang sebesar2xnya. Dan dalam berbisnis, jangan ada pikiran sosial, 
> itu akan menjebak bisnis kita.
> Dan biasanya, politisi juga terjebak oleh rasa sosial yang tinggi, sementara 
> masyarakat berpikir materialistis. Karena itu, pembisnis harus berpikiran 
> untung rugi dari setiap rupiah yang di investasikan.
> 
> Salam


Kirim email ke