Bung Poltak,

hehehe ....Ada experiment yg dilakukan dgn MRI, ternyata begitu org dengar kata 
bailout, respon otak negatif, sementara ketika dengar kata rescue positif. 
Kenapa? Karena emosi (mayoritas) mengasosiasikan rescue sebagai tindakan heroik 
yg baik, sementara bailout dalam emosi jelek (org ngemplang kok 
ditolong...hehe). 

Nah, gimana dgn decision politik. Sami mawon. Dgn mungkin kurang lebih 
tergambar dari analogi Anda. Para politisi -tanpa tahu neuroscience...hehehe- 
rupanya tahu, bhw yg dilakukan ialah menyentuh emosi. Membangun persepsi. Satu 
experimen lain di Amrik yg dilakukan memperlihatkan bhw org yg sudah fanatik 
terhadap satu partai (demokrat/republik) ngak mau dengerin fakta. Segala 
informasi yg masuk, kalau positif jeblos ke masuk memori. Sementara kalau 
negatif, yg muncul ialah respond yg counter. Konsekeuensinya, opini menjadi 
sulit berubah.

Salam,
Enda

--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Poltak Hotradero <hotrad...@...> 
wrote:
>
> Bung Enda,
> 
> Berarti kita harus balik lagi baca tulisannya Kahneman?  atau sekalian
> Vilyanur Ramachandran?
> Ulasan anda menarik.  Emosi memang adalah sesuatu yang membuat manusia
> menjadi manusia.  Mengingatkan saya pada sebutan bahwa manusia adalah
> laughing apes...
> 
> Bila memang pengambilan keputusan dalam Pemilu adalah pilihan
> emosional dan lekat dengan aspek emosional -- maka tentu menjadi tidak
> heran pula bahwa bagi orang lain (yang juga mahluk emosional) setiap
> pilihan bisa dianggap buruk.  Dianggap bodoh.  Dianggap dungu.
> 
> Emosional kuadrat?


Kirim email ke