Surat untuk Para Petinggi Negeri
Oleh Djohan Effendi

Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara 
yang teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita 
membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan 
beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan 
di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas?

Kepada Yang Terhormat
Para Petinggi Negara RI!
Para Pemuka Agama!
Para Pemimpin Parpol dan Ormas!!
Para Cerdik Cendekia dan Tokoh Masyarakat!

"Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram 
ini, di pinggiran yang dianggap angker banyak setannya sekalipun, atau di 
pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan, hidup 
normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan.
Atau, jika telah dianggap menodai agama, telah melanggar UU No.1 PNPS/1/1965, 
sebagaimana selama ini diancamkan, jebloskanlah kami, Bapak Wali Kota, ke dalam 
penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda 
maupun anak-anak, lahir batin, ikhlas dipenjara, tanpa proses hukum sekalipun.
Atau jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami, di ruang penjara tidak ada 
tempat bagi kami, di pekuburan-pekuburan juga tidak ada tempat bagi kami, maka 
galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi 
pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, siap dan ikhlas 
dikubur hidup-hidup. …"

Bapak-bapak Yang terhormat!

Kalimat-kalimat di atas saya kutip dari surat yang berisi jeritan warga 
Ahmadiyah Lombok, yang sejak beberapa tahun ini terpaksa tinggal di 
penampungan, terusir dari tempat tinggal mereka, hanya karena mereka difatwakan 
menganut faham yang sesat. Mereka menjadi pengungsi di negeri mereka sendiri. 
Padahal mereka turun temurun warga negara RI. Mereka turun temurun tinggal di 
atas bumi yang disediakan oleh Allah Tuhan Yang Maha Rahman, yang menyediakan 
bumi ini bagi segenap dan seluruh anak-cucu Adam, yang rahmat-Nya dikaruniakan 
kepada segenap umat manusia tanpa diskriminasi, tidak membedakan beriman atau 
kufur bersikap kufur kepada-Nya, beragama atau tidak, menganut ajaran yang 
benar atau ajaran yang sesat. Peristiwa pengusiran dan pengungsian ini sama 
sekali bukan kisah fiktif, tapi kisah nyata yang terjadi di negara kita yang 
berdasarkan Pancasila yang di antara sila-silanya adalah Ketuhanan Yang Maha 
Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Peristiwa ini terjadi sekarang, 
tidak di masa penjajahan, tidak di masa Revolusi Kemerdekaan, tidak di masa 
Pemerintahan Parlementer, tidak di masa Orde Lama dan juga tidak di masa Orde 
Baru. Tapi terjadi sekarang di masa Reformasi ketika Piagam Hak-hak Asasi 
Manusia diterima dan dimasukkan dalam Konstitusi kita. Lalu di mana tanggung 
jawab konstitusional para Petinggi Negara RI? Di mana tanggung jawab moral para 
pemuka agama bangsa kita? Di mana hati nurani tokoh-tokoh parpol, ormas, 
cendekiawan dan pemuka masyarakat kita?

Dan sekarang Bapak-bapak yang terhormat, warga Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan 
sedang terancam, mesjid tempat mereka sebentar lagi menunaikan ibadah tarawih, 
tadarus, i'tikaf, akan disegel oleh Bupati sendiri. Pengalaman perih 
dihalang-halangi dan diganggu untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan 
sendiri juga terjadi di Bekasi. Dua orang umat Bahai masih ditahan di Lampung. 
Dilarang membuka warung sebagai usaha mencari nafkah sehari-hari. Seorang umat 
Bahai yang meninggal dunia di Pati terpaksa dimakamkan di bentaran kali karena 
ditolak Kepala Desa untuk dimakamkan di Pemakaman Umum Desa, bahkan dilarang 
dimakamkan di lahannya sendiri. Penganut Aliran Kepercayaan Penghayat Ketuhanan 
Yang Maha Esa, masih dipinggirkan, hak-hak sipil mereka tidak terjamin dan 
tidak dipenuhi. Daftar berbagai kasus penistaan hak-hak asasi dan hak-hak sipil 
terlalu panjang untuk dikemukakan. Komnas HAM mempunyai data yang relatif 
lengkap tentang kasus-kasus seperti ini. Kenapa masih ada warga negara kita 
yang tidak menikmati kebebasan berkeyakinan dalam negara yang berusia 65 tahun 
ini?

Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara 
yang teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita 
membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan 
beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan 
di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas?

Menyaksikan peristiwa-peristiwa memerihkan di atas izinkanlah saya bertanya 
kepada Para Petinggi dan Penguasa di negeri ini, apakah negara dan pemerintah 
sudah tidak mampu lagi menjamin, melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi 
manusia dan hak-hak sipil yang tercantum dalam Konstitusi Negara kita bagi 
kelompok-kelompok minoritas? Kepada siapa lagi mereka harus mengharapkan 
perlindungan?

Kepada Para Pemuka Agama, khususnya al-Mukarramun Para Ulama, perkenankan saya 
bertanya, apakah manusia yang non Islam, atau yang menganut ajaran yang 
dianggap sesat itu, tidak termasuk anak-cucu Adam yang dimuliakan dan 
dianugerahi rezeki oleh Tuhan (Q. 17:70) sehingga mereka halal dilecehkan, 
diusir dan diperlakukan seolah-olah mereka tidak berhak hidup di atas bumi 
Tuhan yang menciptakan mereka? Andaikan mereka tersesat, apakah mereka tidak 
bisa menikmati kebebasan sebagaimana mereka yang kufur kepada Tuhan (Q. 18:29) 
sehingga kita merasa berhak memaksa mereka untuk mengikuti pendapat dan 
keyakinan kita? Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti metoda yang dianjurkan 
Tuhan dalam menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan cara bijaksana, nasehat yang 
baik dan kalau perlu dengan dialog yang lebih baik lagi; dan akhirnya 
menyerahkannya kepada Allah sendiri yang lebih mengetahui siapa yang tersesat 
dan siapa yang benar-benar beroleh petunjuk? (Q. 16:7). Dan bukankah 
ketidaksukaan kita terhadap suatu kelompok tidak menghalalkan kita untuk 
bertindak tidak adil terhadap mereka? (Q. 5:8). Apakah menurut al-Mukarramun 
negara atau aparat pemerintah atau kelompok masyarakat berwenang membatasi 
anugerah Allah berupa hak hidup di atas bumi-Nya kepada mereka yang dianggap 
sesat? Apakah negara atau pejabat yang berkuasa berwenang membatasi kebebasan 
berkeyakinan yang diberikan Allah al-Khaliq kepada manusia, makhluk yang 
dimuliakan-Nya? Apakah hal itu tidak berarti merampas wewenang Allah dan hak 
sesama manusia?

Bapak-bapak yang terhormat!

Dengan surat ini saya hanya ingin menyampaikan jeritan hati nurani 
saudara-saudara kita yang menderita. Hati saya merasa tidak tahan lagi melihat 
penderitaan saudara-saudara yang teraniaya tersebut, dan saya merasa berdosa 
kalau saya tidak melakukannya.

Hormat Takzim saya;

Djohan Effendi 

Kirim email ke