Dear Baraya...
kalo mau diterima di bumi nusantara..? dr dulu jg para ulama2.. sudah sepakat 
dengan kesimpulannya cuma satu yang diinginkan umat....
1. Tobatan nashuha... atau . Bikin Agama baru dengan melepas semua atribut 
islam, para nabi, Al-Qur'an, dll


Salam
Arass




________________________________
From: Remi <rsyaif...@yahoo.com>
To: Baraya_Sunda@yahoogroups.com
Sent: Tue, August 10, 2010 6:25:22 PM
Subject: [Baraya_Sunda] Re: A(du)hmadiyah deui?

  
Surat untuk Para Petinggi Negeri
Oleh Djohan Effendi

Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara 
yang 
teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita 
membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan 
beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan 
di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas?

Kepada Yang Terhormat
Para Petinggi Negara RI!
Para Pemuka Agama!
Para Pemimpin Parpol dan Ormas!!
Para Cerdik Cendekia dan Tokoh Masyarakat!

"Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram 
ini, 
di pinggiran yang dianggap angker banyak setannya sekalipun, atau di 
pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan, hidup 
normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan.
Atau, jika telah dianggap menodai agama, telah melanggar UU No.1 PNPS/1/1965, 
sebagaimana selama ini diancamkan, jebloskanlah kami, Bapak Wali Kota, ke dalam 
penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda 
maupun anak-anak, lahir batin, ikhlas dipenjara, tanpa proses hukum sekalipun.
Atau jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami, di ruang penjara tidak ada 
tempat bagi kami, di pekuburan-pekuburan juga tidak ada tempat bagi kami, maka 
galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi 
pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, siap dan ikhlas 
dikubur hidup-hidup. …"

Bapak-bapak Yang terhormat!

Kalimat-kalimat di atas saya kutip dari surat yang berisi jeritan warga 
Ahmadiyah Lombok, yang sejak beberapa tahun ini terpaksa tinggal di 
penampungan, 
terusir dari tempat tinggal mereka, hanya karena mereka difatwakan menganut 
faham yang sesat. Mereka menjadi pengungsi di negeri mereka sendiri. Padahal 
mereka turun temurun warga negara RI. Mereka turun temurun tinggal di atas bumi 
yang disediakan oleh Allah Tuhan Yang Maha Rahman, yang menyediakan bumi ini 
bagi segenap dan seluruh anak-cucu Adam, yang rahmat-Nya dikaruniakan kepada 
segenap umat manusia tanpa diskriminasi, tidak membedakan beriman atau kufur 
bersikap kufur kepada-Nya, beragama atau tidak, menganut ajaran yang benar atau 
ajaran yang sesat. Peristiwa pengusiran dan pengungsian ini sama sekali bukan 
kisah fiktif, tapi kisah nyata yang terjadi di negara kita yang berdasarkan 
Pancasila yang di antara sila-silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan 
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Peristiwa ini terjadi sekarang, tidak di 
masa 
penjajahan, tidak di masa Revolusi Kemerdekaan, tidak di masa Pemerintahan 
Parlementer, tidak di masa Orde Lama dan juga tidak di masa Orde Baru. Tapi 
terjadi sekarang di masa Reformasi ketika Piagam Hak-hak Asasi Manusia diterima 
dan dimasukkan dalam Konstitusi kita. Lalu di mana tanggung jawab 
konstitusional 
para Petinggi Negara RI? Di mana tanggung jawab moral para pemuka agama bangsa 
kita? Di mana hati nurani tokoh-tokoh parpol, ormas, cendekiawan dan pemuka 
masyarakat kita?

Dan sekarang Bapak-bapak yang terhormat, warga Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan 
sedang terancam, mesjid tempat mereka sebentar lagi menunaikan ibadah tarawih, 
tadarus, i'tikaf, akan disegel oleh Bupati sendiri. Pengalaman perih 
dihalang-halangi dan diganggu untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan 
sendiri 
juga terjadi di Bekasi. Dua orang umat Bahai masih ditahan di Lampung. Dilarang 
membuka warung sebagai usaha mencari nafkah sehari-hari. Seorang umat Bahai 
yang 
meninggal dunia di Pati terpaksa dimakamkan di bentaran kali karena ditolak 
Kepala Desa untuk dimakamkan di Pemakaman Umum Desa, bahkan dilarang dimakamkan 
di lahannya sendiri. Penganut Aliran Kepercayaan Penghayat Ketuhanan Yang Maha 
Esa, masih dipinggirkan, hak-hak sipil mereka tidak terjamin dan tidak 
dipenuhi. 
Daftar berbagai kasus penistaan hak-hak asasi dan hak-hak sipil terlalu panjang 
untuk dikemukakan. Komnas HAM mempunyai data yang relatif lengkap tentang 
kasus-kasus seperti ini. Kenapa masih ada warga negara kita yang tidak 
menikmati 
kebebasan berkeyakinan dalam negara yang berusia 65 tahun ini?

Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara 
yang 
teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita 
membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan 
beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan 
di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas?

Menyaksikan peristiwa-peristiwa memerihkan di atas izinkanlah saya bertanya 
kepada Para Petinggi dan Penguasa di negeri ini, apakah negara dan pemerintah 
sudah tidak mampu lagi menjamin, melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi 
manusia dan hak-hak sipil yang tercantum dalam Konstitusi Negara kita bagi 
kelompok-kelompok minoritas? Kepada siapa lagi mereka harus mengharapkan 
perlindungan?

Kepada Para Pemuka Agama, khususnya al-Mukarramun Para Ulama, perkenankan saya 
bertanya, apakah manusia yang non Islam, atau yang menganut ajaran yang 
dianggap 
sesat itu, tidak termasuk anak-cucu Adam yang dimuliakan dan dianugerahi rezeki 
oleh Tuhan (Q. 17:70) sehingga mereka halal dilecehkan, diusir dan diperlakukan 
seolah-olah mereka tidak berhak hidup di atas bumi Tuhan yang menciptakan 
mereka? Andaikan mereka tersesat, apakah mereka tidak bisa menikmati kebebasan 
sebagaimana mereka yang kufur kepada Tuhan (Q. 18:29) sehingga kita merasa 
berhak memaksa mereka untuk mengikuti pendapat dan keyakinan kita? Apakah tidak 
sebaiknya kita mengikuti metoda yang dianjurkan Tuhan dalam menyeru manusia ke 
jalan Tuhan dengan cara bijaksana, nasehat yang baik dan kalau perlu dengan 
dialog yang lebih baik lagi; dan akhirnya menyerahkannya kepada Allah sendiri 
yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang benar-benar beroleh 
petunjuk? (Q. 16:7). Dan bukankah ketidaksukaan kita terhadap suatu kelompok 
tidak menghalalkan kita untuk bertindak tidak adil terhadap mereka? (Q. 5:8). 
Apakah menurut al-Mukarramun negara atau aparat pemerintah atau kelompok 
masyarakat berwenang membatasi anugerah Allah berupa hak hidup di atas bumi-Nya 
kepada mereka yang dianggap sesat? Apakah negara atau pejabat yang berkuasa 
berwenang membatasi kebebasan berkeyakinan yang diberikan Allah al-Khaliq 
kepada 
manusia, makhluk yang dimuliakan-Nya? Apakah hal itu tidak berarti merampas 
wewenang Allah dan hak sesama manusia?

Bapak-bapak yang terhormat!

Dengan surat ini saya hanya ingin menyampaikan jeritan hati nurani 
saudara-saudara kita yang menderita. Hati saya merasa tidak tahan lagi melihat 
penderitaan saudara-saudara yang teraniaya tersebut, dan saya merasa berdosa 
kalau saya tidak melakukannya.

Hormat Takzim saya;

Djohan Effendi 


 


      

Kirim email ke