> 
> Tah... mun urang ngababandingkeun kasus 1 jeung 2. Mana nu percumah? Ari keur 
> kuring mah kasus 1. Sabab na? Enya... dadasar IHLAS na tea. Da teu ngarep2 
> nanahaon.
> 
> Mun urang ngarep2 ganjaran atawa pahala tina kalakuan hade urang, eta teh 
> sarua jeung TEU ihlas. Ibadah atawa niat hade pan bet siga DAGANG, nungguan 
> UNTUNG?  :)) 
> 
> 

Nyambung jeung obrolan tiheula...:))

    *
      30 Agustus 2010
      Ampun

      TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Tulon, setelah 19 tahun dikurung, 
terpidana dengan No. 24601 itu dibebaskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia 
berjalan tanpa arah, lama dan sendirian.

      Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya membawa paspor kuning, 
tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu ia tak diterima menginap di losmen 
mana pun. Maka putus asa, bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di 
tepi jalan. Dengan rasa marah dan pahit.

      Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Miserables yang 
termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi cerita kehidupan Jean Valjean, 
si No. 24601 yang berubah.

      Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di Prancis 
Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup Myriel. Ia diberi makan malam 
dan tempat tidur-dan dibiarkan bersendiri.

      Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean mendapatkan 
kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan alat-alat perak buat jamuan yang 
ada di kamar itu. Ia pun melarikan diri.

      Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang berjalan 
mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu mereka temukan benda-benda 
milik keuskupan.

      Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayangkan bagaimana 
ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini ia akan dikurung seumur 
hidup. Dulu, di kota kecil kelahirannya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 
ia mencuri roti dari sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia 
dipenjarakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun karena 
Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri. Kini nasib lebih buruk 
menantinya.

      Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup Myriel 
mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barang-barang perak itu diberikan 
kepada tamunya yang kelaparan untuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di 
hadapan polisi, padri yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga 
kandil dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya-meskipun laki-laki 
itu tak pernah berjanji apa-apa-bahwa ia akan jadi orang baik.

      Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi tak hanya itu. 
Hari itu ia-seorang lelaki perkasa-merampas uang 50 sous dari seorang anak. 
Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari anak itu di seantero kota, untuk 
mengembalikan uang itu. Tapi tak ketemu....

      Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia jadi orang 
baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah bahwa sebenarnya Uskup 
Myriel tak mengharapkan itu. "Janji" yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: 
sang uskup berbohong agar Valjean bebas dari hukuman.

      Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bukan sejenis 
barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y 
memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf sang uskup adalah maaf yang ikhlas, 
tanpa syarat.

      Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf tanpa syarat juga 
bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku memberi kau sebagai isyarat bahwa aku 
lebih dari kau. Bila demikian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau 
dilupakannya sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Malah maaf itu 
menegaskan nista itu.

      Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas disebut 
pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti Derrida, "pengampunan", 
dalam arti semurni-murninya, adalah "mengampuni hanya apa yang tak dapat 
diampuni", le pardon pardonne seulement l'impardonnable.

      Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari Uskup Myriel 
kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang dibayangkan Derrida, sebab 
kejahatan yang terjadi pada dasarnya bisa diampuni: pelakunya seorang yang 
takut mati kelaparan.

      Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga sama sekali tak 
dapat diampuni, hingga pengampunan kepadanya sebuah perbuatan yang benar-benar 
tanpa pamrih? Adakah "radical evil" dalam pengertian Hannah Arndt, yang 
"menumbangkan semua ukuran yang kita kenal"?

      Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada siapa kita. Memang 
ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Dachau, atau dalam 
"kepulauan gulag" yang dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois 
fanatik semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan penyiksaan yang 
dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde Baru di Indonesia.

      Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang universal, tapi 
mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan oleh intensitas perasaan 
para korban di suatu masa, di suatu tempat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan 
yang ikhlas terhadap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi 
korban di suatu masa, di suatu tempat.

      Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sendiri, 
pengampunan murni itu mustahil?

      Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dikehendaki hidup yang 
adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya sebagai imbauan ke dalam diri-untuk 
menggugat sejauh manakah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan.

      Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang yang bukan 
korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan. Kadang-kadang pula kita lupa, 
dalam memaafkan ada godaan keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma 
untuk menunjukkan kekayaannya.

      Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak dimaksudkan sebagai 
pengampunan. Tindakan Uskup Myriel mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi 
membebaskan seseorang dari siksaan-dan membebaskannya pula dari kepastian nasib 
yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromocorah yang ke mana-mana harus 
membawa paspor kuning, tak seterusnya harus nista.

      Goenawan Mohamad 



Kirim email ke