Dear All,

Tentu lumrah saja bahwa orang punya penilaian dan selera beda dalam hal 
menonton lawak. Hanya, kita perlu ingat "karya yang khas" ini. Lawak dengan 
nilai mendidik, pada umumnya antara lain (didominasi) "self-mockery" (bung 
Manneke bisa koreksi lagi), atau "HAL MENERTAWAKAN DIRI SENDIRI", sebagai suatu 
kebajikan (virtue). 

So far, mbak Maya Purna Mihayu sah saja beda dengan kita dalam interpretasi 
terhadap karya kreatif "Mas Tukul and Tim". Tapi, beda interpretasi tetap 
mengandaikan patok2 obyektif lainnya karena KEKHASAN karya lawakan. Bila 
kriterianya kebajikan yang lahir dari lawakan, membangkitkan semangat otokritik 
dan introspeksi, orang menertawakan kebodohan dan kelatahan diri, dan darinya 
memperbaiki diri, maka lawak mendapat tempat terhormat.

Baca "Humor a la Yahudi" atau "Mati Ketawa a la Rusia", atau karya anekdot 
lainnya. Atau, kisah-kisah konyol MR.BEAN, kartun Popeye, Tom&Jerry, yang 
kental sifat edukasi dari "self mockery" yang mengandung kebajikan.

CONTOH, Kisah Humor a la Yahudi (seingat saya):
Di sebuah kereta dalam perjalanan antar kota, seorang Rusia terus menerus 
menceriterakan Humor a la Yahudi. Nyaris semua penumpang tertawa 
terbahak-bahak, termasuk semua penumpang Yahudi dalam gerbong tersebut. Hanya 
saja satu orang Yahudi lain yang tidak ikut tertawa.
"Sekali lagi bila para penumpang menertawakan orang Yahudi, saya tidak akan 
membiarkan anda selamat sampai tujuan!", ujar orang itu dengan matanya tidak 
langsung menatap si Rusia.
"Tuan, setahu saya, orang Yahudi berselera humor tinggi dan dewasa dalam 
mengritik diri. Dan, saya tidak menemukan itu dalam diri Anda!", ujar si Rusia 
kepada si Yahudi yang berang tadi.
"Saya tidak mengatakan hal tadi kepada Anda, tetapi kepada kutu di kaki Anda!"

Beberapa orang di antara kita dan KPI mungkin belum punya semangat "self 
mockery" seperti mas Tukul dan Tim. Kritik diri sebagai unsur edukasi dalam 
"Empat Mata dan Bukan Empat Mata", jelas tampak mencolok mata, kalau mau 
obyektif. Appresiasi banyak orang pada acara mas Tukul, berhubungan dengan 
"kerendahan hati, kepolosan, kritik diri" sebagai bentuk kebajikan. Karena jiwa 
dan message yang jelas dari acara hiburan-lawakan itu, ia mendapat tempat di 
hati banyak orang. Rating acara hiburan mas Tukul "tidak menipu" selera 
penonton. Ini tentu jelas berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan mas 
Slamet Rahardjo: "Semakin aneh dan tidak masuk akal jalan ceritera 
sinetron(-sinetron sekarang), semakin tinggi peminat dan ratingnya!" (ini 
debatable juga, meski saya sepihak dgn mas Slamet in casu, sinetron2).

Ini kisah jenaka nan bodoh, a la self-mockery: Saya dan Teman-teman kuliah 
suatu saat bernostalgia "pengalaman buruk". Kami berbalas mengisahkan kembali 
bagaimana kami pernah ditertawakan orang-orang ketika kami gagal membawakan 
acara lawakan di panggung hiburan. Karena lawakan kami tidak sedikit pun 
membuat penonton tertawa, kami menjadi sangat malu dan menjadi frustrasi di 
panggung. Ditambah, setiap upaya untuk membuat penonton tertawa malah makin 
sia-sia, dan membuahkan teriakan tidak sedap. "Turuuuunnn... 
turuuuuunnnnn....". Setelah acara lawakan itu, suasana berubah drastis, dan 
nyaris terjadi adu-fisik, karena saling menyalahkan hasil "lawakan-sialan" itu.

Ketika menceriterakan kenangan buruk itu di antara kami, semua kami 
terbahak-bahak, menertawakan diri sendiri, betapa konyol kelakuan kami hari 
itu. Ingin melawak, berakhir tragis. "Kita berhasil: setidaknya, sekarang kita 
sadar, bahwa kalau melawak dan penonton tidak tertawa, itu juga lawakan!", ujar 
temanku yang lain. Pengalaman tidak sedikit pelawak. Mungkin, tak terkecuali 
mas Tukul dan Tim (?).

Lawak punya bahasa, cara interpretasi-konteks dan kekhususannya sendiri, dan 
"dipasarkan" seperti produk hiburan lainnya. Bukan kerja membalik tangan, 
mengucap "sim salabim", penonton senang dan tertawa.  Itu kerja-keras untuk 
eksis dan terus diterima para "konsumen". Mas Tukul, seperti antara lain mbak 
Inul Daratista, mereka orang-orang yang bekerja keras lewat jalan nan panjang 
dan sering membawa frustrasi. Hasil jerih payah mereka punya konteks perjuangan 
sendiri.

Maaf ya, KPI dan mbak Maya Purna Mihayu bisa menemukan literatur lawakan 
lainnya supaya bisa melakukan self-mockery sebelum betul-betul menertawakan 
diri sendiri... Atau, mendapat sikap si Rusia tadi: "Anda satu-satunya orang 
Indonesia yang tidak punya selera humor...!"

   wassalam,  ex toto corde,  Berthy B Rahawarin  brahawa...@yahoo.com     Quo 
res cumque cadunt, semper stat linea recta.   (Apa pun yang terjadi, senantiasa 
berdiri di garis lurus.)

--- On Thu, 1/29/09, Mohammad Isnadi <ms...@yahoo.co.id> wrote:
From: Mohammad Isnadi <ms...@yahoo.co.id>
Subject: Bls: [Forum-Pembaca-KOMPAS] 'Bukan Empat Mata' Rasis?: B U K A N
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Thursday, January 29, 2009, 2:43 PM











            Dear All

Menurutku apa yang dibawakan mas Tukul dalam Bukan Empat Mata

adalah lawakan sepontan yang tidak bermaksud rasis

sebab hampir tiap malam aku nonton acara ini



dan ahir acara Tukul selalu minta maaf bahwa acara ini tidak bermaksud

menghina atau merendahkan martabat oaraang lain

hanya sepontan dan humor semata

nah kita seyogyanya memahami lawakanya



Tapi kalau ini dianggap prinsipil

sudah selayaknya Bukan Empat Mata

minta maaf

karena minta maaf selalu disampaikan tukul di ahir acara



mohonmaaf



salam



msugi

Kirim email ke