[catatan: inti posting ini ada dibagian tengah sampai akhir,
bagian awal bisa di skip saja]

In a message dated 8/28/99 6:17:23 PM Eastern Daylight Time,
[EMAIL PROTECTED] writes:
Anjasmara:
> Ah...si Irwan ini memang rada menarik jalan berpikirnya... Nggak usah
>  ditanggapi lah. Bikin capek saja baca perkeliruan jalan berpikirnya. Masak
>  ada urusan antara Lippogate dengan dukungan Kelompok Madani kepada Amien
>  Rais. Perasaan sudah saya baca nggak ada dukungan kelompok itu kepada
Amien.

Irwan:
Lha, emangnya gue ngomong seperti itu diposting2 terdahulu?
Mbok ya kalau mau kasih komentar tuh baca dulu, ikutin
diskusinya secara benar, apa yg lagi dibicarakan. Lihat kembali
posting2 sebelumnya. Jangan maen asal nyaplak gitu aja, bikin
komentar yg seolah2 gue ngomong gitu. Ini khan termasuk tindakan
melakukan penyesatan seperti dulu ada juga melakukan hal
yg sama ke gue dan ke beberapa rekan lainnya di milis ini.
Saya tidak mengaitkan kelompok Madani dengan Amien Rais.
Saya mempertanyakan kelompok Madani yg memberikan
usulan nama Gus Dur untuk jadi presiden dengan segala macam
alasan "demi" selain demi tegaknya demokrasi....:(

Kemudian, Bung Priyo (yg kebetulan jubir dari kelompok Madani)
nanya ke saya gimana komentar saya atas tulisan di detik.com
yg berkaitan dengan tuduhan (sampai saat ini lebih cenderung
berupa fitnah) AM Fatwa terhadap PDIP yg disebut2 dengan
istilah Lippogate. AM Fatwa sendiri tampaknya hanya mengambil
bola yg dilempar oleh Amien Rais karena memang Amien Rais
tidak menyebut nama partainya. Saya jawab pertanyaan dia
dengan tegas dan jelas, bagaimana posisi saya.
Tapi ketika saya tanya balik posisi dia bila ternyata tidak
terbukti bagaimana sikap Kelompok Madani.
Ingat, sampai sekarang yg mengangkat kasus Lippogate
tidak mampu memberikan bukti2. Kalau diperhatikan
kronologisnya, Amien Rais berkunjung ke tempat Habibie.
Ngga lama kemudian, Amien Rais ngomong bahwa
ada partai besar pemilu lainnya yg memiliki kasus mirip
dengan Baligate. Kemudian, AM Fatwa menyambut bola
yg dilempar tersebut dengan menyebut nama PDIP dan
Bank Lippo. Suatu teknik yg mirip dengan kasus
Andi Ghalib dimana pengacaranya Andi Ghalib tiba2
menyampaikan ke DPR nama2 menteri yg menerima
upeti dengan maksud agar bila data2 yg mereka sampaikan
itu meragukan, demikian juga data2 yg digunakan untuk
menuduh ke Andi Ghalib. Kalau ngga salah ingat (tolong dikoreksi),
cara ini dalam hukum dikenal dengan istilah insuniasi (?)


Anjasmara
>  Sudahlah nggak usah dituruti. Menurut dia semua pihak yg tidak mendukung
>  PDIP adalah bukan kelompok reformasi. Sudah saja si Irwan ini diangkat jadi
>  bapak reformasi saja. Biar pada geli semua pembaca milis ini...

Irwan:
Nah khan, makin kebukti anda ini asal mangap. Bung Anjasmara
baru bergabung di milis permias ya? Kalau memang baru bergabung,
saya ucapkan selamat bergabung deh.
Sekedar informasi saja ke anda (dan ini bisa dikonfirmasikan oleh
rekan2 yg minimal sejak bulan Maret bergabung di milis permias),
saya ini sebelum pencoblosan pemilu dilakukan, mendukung tiga
partai, PAN, PKB, PDIP. Tiga capresnya saya dukung walau saya
katakan dengan jelas wujud dukungan nyata dalam pemilu akan
saya berikan ke PDIP. Waktu sebelum pencoblosan dilakukan,
dimilis ini tuh rame yg memberikan komentar negatif tentang Megawati
trus memberikan komentar positif tentang PAN dan Amien Rais
dan menyatakan serta mengajak untuk memilih PAN.
Tahu apa komentar saya? Saya katakan, silahkan piliha PAN dan
dukung Amien Rais karena siapapun yg anda pilih selama masih
dalam lingkungan PAN, PKB, PDIP, tidak masalah.
Dulu juga muncul kader PK disini M. Rosadi. Setelah
cek & ricek, akhirnya saya menambah PK sebagai alternatif untuk
dipilih pada saat pencoblosan. Bahkan dulu sempat PPP juga
saya masukan dalam alternatif pilihan sebelum akhirnya saya
tarik kembali setelah melihat gelagat ngga baik karena posisinya
ngga jelas soal Golkar. Silahkan anda tanya ke rekan2 lainnya
disini, seperti apa posisi saya sebelum pencoblosan.
Tujuan utama saya adalah gerakan reformasi ngga boleh kandas.
Demokrasi harus ditegakan. Di milis ini, dulu sebelum pencoblosan,
banyak yg menjagokan pilihan atau partainya masing2.
Sementara saya, bRidwan, dan juga beberapa orang lainnya tetap
konsisten untuk mendukung tiga partai reformasi, PAN, PKB, PDIP.
Kami tidak bergeming dan mengikuti ulah beberapa rekan
yg mendukung salah satu dari tiga partai reformasi tersebut tapi
menjatuhkan/menjelekkan partai reformasi lainnya. Walau dukungan
nyata saya untuk PDIP, saya tidak membalas menjatuhkan
2 partai lainnya bila pendukung partai tersebut menjatuhkan/menjelekkan
PDIP dan Megawatinya karena memang sasaran saya hanya Golkar cs.
Yang saya lakukan hanya menjawab singkat, silahkan salurkan
suara anda ke partai anda tersebut karena selama suara anda
masih dalam 3 partai tersebut, jatuhnya tetap ke partai reformasi,
tidak ada masalah dengan saya. Tidak suka dengan PDIP, ada PAN
dan PKB.  Saya pun turut mengingatkan agar tidak saling menjatuhkan
antar partai yg anti status-quo karena hal tersebut akan membuat
mereka yg pro status-quo tertawa.

Setelah pencoblosan, ceritanya jelas berbeda. Sebagai demokrat
sejati yg ingin menegakkan demokrasi secara benar dimana
termasuk menerima konsekuensi dari demokrasi itu sendiri,
saya kini berjuang untuk menyadarkan, membuka mata hati
dan pikiran bahwa partai pemenang pemilu lah yg paling pantas
memimpin pemerintahan mendatang. Kenapa? Karena partai
pemenang pemilu lah yg paling disukai oleh rakyat, paling
dipercaya oleh rakyat, paling dianggap mampu oleh rakyat untuk
memimpin pemerintahan mendatang.

Yang justru aneh adalah setelah rakyat bersuara, setelah
rakyat memberikan pilihannya ke partai mana yg paling mereka
percayai, yg paling mereka sukai, yg paling mereka anggap mampu,
eh malah sebagian lagi dari kita dan juga para elit politik merasa
sok lebih tahu dari rakyat dan menolak pilihan rakyat dengan
mengajukan nama lain selain capres dari partai yg paling
dianggap mampu memimpin jalannya pemerintahan tersebut.

Mbok ya kalau mau ngajuin nama dan mengundang dukungan
itu ya sebelum pencoblosan dilakukan. Jangan setelah
pencoblosan dilakukan dan hasilnya sudah keluar. Ini khan
sama aja dengan tipe orang ngga mau nerima kekalahan toh?
Mental loser ya yg seperti inilah. Nyari2 alasan terus untuk
ngga mau terima kekalahan, nyari2 celah, ngga sportif, dan
yg kemarin2 saya katakan dengan istilah 'memberaki demokrasi'.

Kenapa saya ngotot demokrasi harus ditegakkan dimana
pihak yg kalah harus menerima konsekuensi dari demokrasi
tersebut? Hal ini karena saya memikirkan jangka panjang
dari keberadaan demokrasi itu sendiri di negeri kita.
Mumpung kini saatnya reformasi dilakukan.
Sekali kita melanggar demokrasi itu dengan segala macam
excuses, maka akan terbuka lebar di masa datang akan
terulang kembali. Misalnya, kalau pun nantinya akan ada
pemilihan langsung presiden, katakanlah Megawati dapat 35%,
Akbar Tandjung 20%, Habibie 17%, Amien Rais 15%, lain2 13%,
bisa2 dengan segala macam alasan, para capres yg kalah
itu, Akbar Tandjung, Habibie, dan Amien Rais,  melakukan bisik2
yg akhirnya sampai pada kesepakatan kalau mereka menyepakati
Akbar Tandjung untuk jadi presiden. Mereka, Habibie dan Amien
Rais, menyatakan memberikan suara dukungan yg mereka terima
kepada Akbar Tandjung. Mungkin dengan alasan bahwa rakyat
yg memilih mereka berdua sudah mempercayakan suaranya
pada mereka karenanya apa yg mereka lakukan akan didukung
oleh rakyat. Hasilnya, Akbar Tandjung dengan pemberian
suara itu menjadi memiliki skor 52%.

Nah, apa demokrasi seperti ini yg mau kita pakai dan lestarikan
di negeri kita?

Ingat;
Tidak ada jaminan bahwa rakyat yg memilih Amien Rais
akan lebih memilih Akbar Tandjung ketimbang Megawati.
Tidak ada jaminan bahwa rakyat yg memilih Habibie
akan lebih memilih Akbar Tandjung ketimbang Megawati.
Karenanya, adalah demokrasi sedang sakit parah kalau
sampai ada elit politik yg punya pemikiran demikian

Kalau memang tidak ingin demokrasi kita sakit parah,
maka sejak dini harus dicegah jangan ke arah
sana dengan cara tidak mentolerir sedikitpun tindakan2 yg
sejenis seperti yg sekarang ini sedang dicoba dilakukan.
Sekali kita mentolerir dengan mengangkat seorang capres
bukan dari capres pemenang pemilu, apa pun itu alasannya,
sama saja kita sudah menanam bibit anti demokrasi yg
bisa menjadi sangat berbahaya dikemudian hari. Demokrasi
kelak akan mati, suara rakyat tidak akan didengarkan karena
suara rakyat bisa dimanipulasi, suara rakyat bisa dikalahkan
dengan suara kelompok, suara rakyat bukan suara final.
Padahal kita ketahui bersama, pada demokrasi yg benar
justru suara rakyatlah yg final, bukan suara kelompok, bukan
suara petinggi negara.

Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat.

jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu

Kirim email ke