[ekonomi-nasional] Blok Cepu, ExxonMobile strategi besar Pertamina

2005-06-29 Terurut Topik A Nizami
Kalau Kwik yang mantan menteri saja mengeluh,
bagaimana rakyat biasa?

Sepertinya Indonesia tidak akan bisa mandiri dalam
mengelola kekayaan alamnya.

Blok Cepu, ExxonMobile  strategi besar Pertamina.


Keputusan tentang apa yang harus dilakukan terhadap
sumur minyak di Blok Cepu yang sekarang digarap
ExxonMobile (EM) antara sukar dan mudah. Orang Jawa
mengatakan gampang-gampang angel.
Gampang kalau bangsa ini berpijak pada landasan
falsafah dan prinsip. Angel kalau bangsa ini
menjerumuskan diri pada teknokrasi semata. Asal
mulanya Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto),
pemegang izin eksploitasi minyak di sumur kecil di
Cepu, menjual 
lisensinya kepada EM. Lisensi itu sebenarnya baru
berakhir pada 2010.

EM lalu mengeluarkan uang sebesar US$370 juta untuk
mengeksplorasi sumur tersebut. Dari hasil eksplorasi
itu, EM menemukan cadangan minyak sekitar 600 juta
barel.

Karena cadangan itu besar, EM mengajukan usul agar
kontraknya dengan Indonesia diperpanjang sampai 2030.
Usul ini tentu disertai dengan deal bisnis yang rinci.
Ketika itu, status hukum Pertamina masih berupa Perum.

Menurut undang-undang yang berlaku, yang berhak
mengambil keputusan adalah Dewan Komisaris Pemerintah
untuk Pertamina (DKPP) yang terdiri dari lima orang
menteri.

Tiga dari lima anggota DKPP setuju, sedangkan dua
lainnya tidak setuju memperpanjang kontrak dengan EM.
Karena tidak dicapai keputusan yang bulat, berdasarkan
undang-undang, keputusan harus
diambil oleh Presiden. Maka bola panas pindah ke
tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. EM tidak
tinggal diam. Perusahaan AS itu mengerahkan semua
kekuatan, termasuk pemerintahnya untuk melobi keras
kepada pemerintah Indonesia.

Namun bagi penulis, upaya EM sudah merupakan tekanan
agar  Indonesia mau memperpanjang kontrak tersebut. Di
tengah lobi dan perundingan berjalan, tersiar kabar,
entah kabar burung atau tidak,
bahwa cadangan minyak yang sebenarnya di Blok Cepu
adalah 1,2 miliar barel, bukan 600 juta barel.
Belakangan beredar lagi kabar bahwa cadangan minyak di
blok itu bahkan bisa mencapai 2 miliar barel.

Seperti dikatakan sebelumnya, ada dua anggota DKPP
yang  tidak setuju. Yang satu atas dasar alasan
yuridis bahwa bentuk kerja sama adalah Technical
Assistance Contract (TAC), sehingga tidak bisa
lantas diubah menjadi kontrak bagi hasil. Anggota
lain, yang tidak setuju, adalah penulis dengan alasan
yang sama sekali berbeda.

Alasan penulis saat itu sangat prinsipil, yaitu bahwa
sumur di Blok Cepu memiliki cadangan minyak yang besar
dengan letak yang strategis, sehingga eksploitasi
selanjutnya relatif mudah. Maka
penulis mati-matian mempertahankan agar blok itu
sepenuhnya dieksploitasi oleh Pertamina.

Berbagai alasan dikemukakan untuk meyakinkan penulis
agar ikut menyetujui perpanjangan kontrak dengan EM.
Upaya tersebut datang dari berbagai pihak, baik
Pertamina dan Lemigas maupun EM dan Duta Besar AS
untuk Indonesia Ralph Boyce.

Semua alasan penulis tolak. Ini karena titik tolak
penulis sangat prinsipil bahwa Pertamina harus
menggunakan sumur Cepu sebagai titik tolak untuk
belajar mengeksploitasi minyak  sendiri sepenuhnya.
Kata belajar ditekankan karena penulis dihujani
berbagai perhitungan rugi laba, penuh dengan
angka-angka yang njlimet. Namun penulis sama sekali
tidak mau melihat angka-angka tersebut.

Berapa pun untung ruginya, penulis terima. Ini karena
bagi penulis sudah sangat memalukan setelah 60 tahun
merdeka, 92% dari minyak nasional dieksploitasi oleh
kontraktor asing.

Dikemukakan bahwa Pertamina tidak mungkin membiayai
eksploitasi sendiri. Penulis yakinkan bahwa kalau ada
cadangan minyak 600 juta barel saja, bank di seluruh
dunia akan antre memberikan kredit yang khusus dipakai
untuk mengeksploitasi sumur tersebut. Apalagi kalau
cadangannya ternyata lebih besar lagi.

Penulis lalu diyakinkan lagi dengan alasan bahwa kalau
Pertamina yang mengeksploitasi sendiri,akan merugi
karena belum berpengalaman dan korup. Upaya ini pun
penulis tolak dengan alasan bahwa penulis sama sekali
tidak berpikir tentang untung rugi.

Sumur Cepu harus dijadikan  modal untuk belajar
mengeksploitasi sendiri. Landasan argumentasi adalah
paparan direksi baru, di pimpinan Baihaki Hakim,
kepada penulis selaku Menko Ekuin dalam
kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Pendirian yang penulis pertahankan sampai sekarang
merupakan pengarahan dari Presiden Wahid. Ketika itu
Baihaki Hakim mengemukakan bahwa visi dan misinya
adalah menjadikan Pertamina sebuah world class company
yang harus mampu mengembangkan diri menjadi perusahaan
multinasional seperti halnya BP, 
Shell, EM, dan sebagainya. Tekad Baihaki itu bukan
untuk gagah-gagahan tetapi karena alasan survival.

Pertamina sudah telanjur menjadi organisasi besar,
sedangkan cadangan minyak terus menyusut, selain
minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui (non renewable resource). Maka
kalau cadangan sudah menyusut menjadi demikian kecil,
Pertamina sudah harus menjadi perusahaan multinasional
yang besar sehingga sumber minyak 

Re: [ekonomi-nasional] Dirut Pertamina Diganti

2005-06-29 Terurut Topik A Nizami
Setahu saya Dirut Pertamina, Widya Purnama, sangat
ngotot untuk mengelola sendiri blok minyak Cepu. Dia
ingin agar kontrak dgn Exxon tidak diperpanjang. Apa
karena itu dia diganti?

Sayang sekali jika orang yang ingin Indonesia mandiri
dalam mengelola kekayaan alam justru digeser.

--- Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:

 REFLEKSI: Apakah pengantian Direktur Utama disertai
 perbaikan untuk good management ataukah hanya
 sekladar pergantian personalia saja untuk mengelabui
 mata rakyat?
 
 
 SUARA KARYA
 
 
 Dirut Pertamina Diganti 
 
 
 Rabu, 29 Juni 2005
 JAKARTA (Suara Karya): Kiprah Widya
 Purnama selaku Dirut Pertamina tampaknya tidak
 berlangsung lama. Setelah menjabat sejak 11 Agustus
 2004, Rabu ini dia hampir pasti tergusur dan
 digantikan Martiono Hadianto yang notabene pernah
 menjabat Dirut Pertamina selama periode 1998-2000. 
 
 Sumber Suara Karya menyebutkan, dalam
 rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina, Kamis
 (30/6) besok, pemerintah memastikan akan menggusur
 Widya dan mengukuhkan Martiono sebagai orang nomor
 satu di Pertamina. Keputusan tersebut dilatari oleh
 keberhasilan Martiono memimpin tim negosiasi
 pemerintah dalam perundingan tentang pengelolaan
 Blok Cepu dengan ExxonMobil. Di sisi lain, juga
 karena Widya sendiri berkali-kali menyatakan tidak
 akan menandatangani kesepakatan pemerintah dan
 ExxonMobil menyangkut pengelolaan Blok Cepu. 
 
 Menurut sumber, Martiono akan didampingi
 Suroso Atmomartoyo sebagai wakil dirut. Selama ini,
 Suroso sendiri menjabat Direktur Pengolahan
 Pertamina. 
 
 Selain Suroso, menurut sumber,
 kemungkinan Martiono juga didampingi Edi Setianto
 (sekarang ini menjabat General Manager Pertamina
 Unit Pengolahan VI Balongan) atau Maskurun (Ketua
 Kelompok Staf Ahli Hilir Sekretariat Komisaris
 Pertamina) sebagai Direktur Pengolahan, Kun Kurnaely
 (Deputi Direktur Industri Hulu Pertamina) sebagai
 Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi, Burhanuddin
 Hasan (dirut anak perusahaan Pertamina di Jepang)
 sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM). 
 
 Sumber juga mengatakan, pemerintah belum
 memastikan figur untuk posisi direktur keuangan.
 Tapi, ujarnya, posisi tersebut kemungkinan jatuh
 kepada Ito Warsito yang kini menjabat Dirut PT
 Bahana Securities atau Gita Wiryawan yang dikenal
 sebagai Presdir JP Morgan. Pemerintah juga akan
 membentuk struktur baru, yaitu Direktur Marketing
 dan Trading yang akan diduduki oleh Sugiarto M
 (manajer di Biro Perencanaan Pertamina), kata
 sumber tersebut. 
 
 Sementara itu, Deputi Menneg BUMN bidang
 Pertambangan, Telekomunikasi, dan Industri Strategis
 Roes Aryawijaya saat dihubungi Suara Karya, kemarin,
 mengelak memberi komentar mengenai formasi baru
 direksi Pertamina ini. Maaf, saya lagi memimpin
 rapat, ujarnya. 
 
 Tapi, menurut Ketua Masyarakat
 Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro, Martiono
 memang layak memimpin Pertamina. Dia merupakan
 pilihan yang tepat untuk kondisi Pertamina saat
 ini, katanya. 
 
 Menurut Ismet, kondisi Pertamina sangat
 mengenaskan setelah era Baihaki Hakim. Karena itu,
 menjadi tugas Martiono untuk mengembalikan posisi
 Pertamina menjadi perusahaan minyak yang disegani -
 paling tidak di tingkat regional. 
 
 Apalagi dalam menghadapi kompetisi
 global yang kian berat saat ini, figur Dirut
 Pertamina tidak bisa lagi asal cabut dan asal
 pasang, tutur Ismet. 
 
 Khusus figur Suroso yang diproyeksikan
 menduduki posisi wakil dirut, Ismet menyatakan bahwa
 beberapa hal harus jelas dulu. Sejumlah transaksi
 yang pernah dia lakukan masih menjadi tanda tanya.
 Karena itu sebelum ditunjuk menjadi Wakil Dirut
 Pertamina, beliau harus clear dulu, ujar Ismet.
 (Sabpri)  
  
  
 
 
 [Non-text portions of this message have been
 removed]
 
 


Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org



 
Yahoo! Sports 
Rekindle the Rivalries. Sign up for Fantasy Football 
http://football.fantasysports.yahoo.com


Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Karena Exxon? - Re: [ekonomi-nasional] Dirut Pertamina Diganti

2005-06-29 Terurut Topik A Nizami
Setahu saya Dirut Pertamina, Widya Purnama, sangat
ngotot untuk mengelola sendiri blok minyak Cepu. Dia
ingin agar kontrak dgn Exxon tidak diperpanjang. Apa
karena itu dia diganti?

Sayang sekali jika orang yang ingin Indonesia mandiri
dalam mengelola kekayaan alam justru digeser.

--- Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:

 REFLEKSI: Apakah pengantian Direktur Utama disertai
 perbaikan untuk good management ataukah hanya
 sekladar pergantian personalia saja untuk mengelabui
 mata rakyat?
 
 
 SUARA KARYA
 
 
 Dirut Pertamina Diganti 
 
 
 Rabu, 29 Juni 2005
 JAKARTA (Suara Karya): Kiprah Widya
 Purnama selaku Dirut Pertamina tampaknya tidak
 berlangsung lama. Setelah menjabat sejak 11 Agustus
 2004, Rabu ini dia hampir pasti tergusur dan
 digantikan Martiono Hadianto yang notabene pernah
 menjabat Dirut Pertamina selama periode 1998-2000. 
 
 Sumber Suara Karya menyebutkan, dalam
 rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina, Kamis
 (30/6) besok, pemerintah memastikan akan menggusur
 Widya dan mengukuhkan Martiono sebagai orang nomor
 satu di Pertamina. Keputusan tersebut dilatari oleh
 keberhasilan Martiono memimpin tim negosiasi
 pemerintah dalam perundingan tentang pengelolaan
 Blok Cepu dengan ExxonMobil. Di sisi lain, juga
 karena Widya sendiri berkali-kali menyatakan tidak
 akan menandatangani kesepakatan pemerintah dan
 ExxonMobil menyangkut pengelolaan Blok Cepu. 
 
 Menurut sumber, Martiono akan didampingi
 Suroso Atmomartoyo sebagai wakil dirut. Selama ini,
 Suroso sendiri menjabat Direktur Pengolahan
 Pertamina. 
 
 Selain Suroso, menurut sumber,
 kemungkinan Martiono juga didampingi Edi Setianto
 (sekarang ini menjabat General Manager Pertamina
 Unit Pengolahan VI Balongan) atau Maskurun (Ketua
 Kelompok Staf Ahli Hilir Sekretariat Komisaris
 Pertamina) sebagai Direktur Pengolahan, Kun Kurnaely
 (Deputi Direktur Industri Hulu Pertamina) sebagai
 Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi, Burhanuddin
 Hasan (dirut anak perusahaan Pertamina di Jepang)
 sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM). 
 
 Sumber juga mengatakan, pemerintah belum
 memastikan figur untuk posisi direktur keuangan.
 Tapi, ujarnya, posisi tersebut kemungkinan jatuh
 kepada Ito Warsito yang kini menjabat Dirut PT
 Bahana Securities atau Gita Wiryawan yang dikenal
 sebagai Presdir JP Morgan. Pemerintah juga akan
 membentuk struktur baru, yaitu Direktur Marketing
 dan Trading yang akan diduduki oleh Sugiarto M
 (manajer di Biro Perencanaan Pertamina), kata
 sumber tersebut. 
 
 Sementara itu, Deputi Menneg BUMN bidang
 Pertambangan, Telekomunikasi, dan Industri Strategis
 Roes Aryawijaya saat dihubungi Suara Karya, kemarin,
 mengelak memberi komentar mengenai formasi baru
 direksi Pertamina ini. Maaf, saya lagi memimpin
 rapat, ujarnya. 
 
 Tapi, menurut Ketua Masyarakat
 Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro, Martiono
 memang layak memimpin Pertamina. Dia merupakan
 pilihan yang tepat untuk kondisi Pertamina saat
 ini, katanya. 
 
 Menurut Ismet, kondisi Pertamina sangat
 mengenaskan setelah era Baihaki Hakim. Karena itu,
 menjadi tugas Martiono untuk mengembalikan posisi
 Pertamina menjadi perusahaan minyak yang disegani -
 paling tidak di tingkat regional. 
 
 Apalagi dalam menghadapi kompetisi
 global yang kian berat saat ini, figur Dirut
 Pertamina tidak bisa lagi asal cabut dan asal
 pasang, tutur Ismet. 
 
 Khusus figur Suroso yang diproyeksikan
 menduduki posisi wakil dirut, Ismet menyatakan bahwa
 beberapa hal harus jelas dulu. Sejumlah transaksi
 yang pernah dia lakukan masih menjadi tanda tanya.
 Karena itu sebelum ditunjuk menjadi Wakil Dirut
 Pertamina, beliau harus clear dulu, ujar Ismet.
 (Sabpri)  
  
  
 
 
 [Non-text portions of this message have been
 removed]
 
 


Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org

__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ekonomi-nasional] Chinese Capitalism

2005-06-29 Terurut Topik Ikranagara
Chinese Capitalism: Industrial Powerhouse or Sweatshop of the World?


While some may think the Chinese economy is flourishing, Chan shows 
us that it is completely dependent upon foreign investment, and that 
instead of being the new workshop of the world, China is the new 
giant sweatshop of the world's major corporations, with devastating 
results for countries like Mexico who since 2001 lost 230,000 
manufacturing jobs to China. 

-

by John Chan

When Beijing entered the World Trade Organisation (WTO) in December 
2001, it undertook to remove most of the remaining barriers to the 
operation of foreign corporations inside China by 2006. The 
resulting flood of investment into the country has given rise to 
glowing predictions in international financial circles that China is 
emerging as the new industrial powerhouse of world capitalism.

The October issue of the British-based Economist magazine, for 
example, lauded the southern Chinese province of Guangdong, which is 
adjacent to Hong Kong, and the country's major export region, 
as the contemporary equivalent of 19th century Manchester—a 
workshop of the world.

In similar vein, the Los Angeles Times enthused: Poor and isolated 
30 years ago, China is emerging as the world's factory floor. The 
country's middle class, though just a sliver of the population, is 
estimated at more than 100 million and growing rapidly. Even now, 
China buys more cell phones than any other country. Its expanding 
industrial sector is becoming a major buyer of raw materials, 
machinery and high-tech equipment.

Nicholas Lardy, a professor from the US-based Brookings Institution, 
told the Los Angeles Times: The pace of China's industrial 
development and trade expansion is unparalleled in modern economic 
history. While this has led to unprecedented improvements in Chinese 
incomes and living standards, it also poses challenges for other 
countries.

The Wall Street Journal noted that some 50 percent of cameras, 30 
percent of air conditioners and televisions, 25 percent of washing 
machines, and 20 percent of refrigerators in the world are now being 
produced or assembled in China. Andy Xie, a Hong Kong-based 
economist for the investment house Morgan Stanley, told the 
newspaper: China's rise as a manufacturing base is going to have 
the same kind of impact on the world that the industrialisation of 
the US had, perhaps even bigger.

But the claim that China is undergoing an economic transformation 
analogous to Britain in the 19th century or the US in the 20th 
century ignores some basic facts. The impressive rates of growth and 
statistics on industrial output are dependent on a huge flow of 
foreign direct investment into the country and a flood of cheap 
manufactured goods out of the country. Far from being the new 
workshop of the world, China is more like a giant sweatshop for the 
world's major corporations.

The high rates of economic growth in China during the 1990s were not 
driven by the expansion of an internal consumer market or native 
industrial development. The combination of plentiful labour, low 
wages, low taxation and brutal police-state repression made China 
one of the most attractive investment sites for transnational 
corporations.

Since the early 1990s, more than $US800 billion have been invested, 
overwhelmingly in a string of free trade zones located along China's 
coast. The US retail giant Wal-Mart Stores, for example, purchased 
about $14 billion in products from its Chinese subsidiaries last 
year, which represents about 13 percent of total US imports from 
China. The electronic conglomerate Philips operates 23 plants in 
China and exports $5 billion worth of goods each year to Western 
markets.

Foreign firms now account for 81 percent of China's technology 
exports—a global market share of 54 percent of DVD players, 28 
percent of cellular phones, 13 percent of digital cameras, 30 
percent of desktop computers, 12 percent of notebook computers and 
27 percent of colour televisions. Transnationals and their local 
contractors also dominate in other major exports such as machinery 
and textiles.

Up to December, China's volume of foreign trade increased by 21 
percent from 2001 to $620 billion, ranking it as the world's fifth 
largest trading nation. China's exports stood at $266.2 billion for 
the year to December and its imports at $212.6 billion, a 17.2 
percent increase. However, the character of China's trade is 
demonstrated by the fact that more than half the imports were 
associated with export processing—in other words, the materials or 
ready-made components needed for manufacturing export goods.

A study published on January 15 by a US-based think tank, Hale 
Advisors LLC  China Online, noted: Fifteen years ago, intra-Asian 
trade inflows were simple. Capital goods and components were shipped 
from Japan to newly industrialising countries for processing and 
then re-exported to industrialised countries. The opening of 

[ekonomi-nasional] Versi Bahasa Indonesianya? - Re: Siapa John Perkins - Confession of an Econo

2005-06-29 Terurut Topik Imam Soeseno
Mohon maaf, sedikit bicara mundur. Apakah sudah ada versi Bahasa 
Indonesia buku ini?

Imam

--- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, Firdaus Ibrahim 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
 Dulu saya sering berdebat dengan Poltak di Milis Ahli-Keuangan. 
Poltak benar-benar die-hard neoliberalist dan sangat pro kapitalis 
global. Saya curiga dia orang bayaran asing dan jangan2 dia bagian 
dari The Economics Hitmen.
 
 Firdaus
   - Original Message - 
   From: Sang 
   To: ekonomi-nasional@yahoogroups.com 
   Sent: Sunday, June 26, 2005 3:08 PM
   Subject: [ekonomi-nasional] Re: Siapa John Perkins - Confession 
of an Economic Hit Man ?
 
 
   kapitalist poltak emang cencerung neoliberal isi dengkulnya pak, 
saya
   akui itu... Apalagi kalau America kiblat pikirannya ini diusik 
dia
   akan bela hidup mati.. jadinya saya bertanya apakah dia digaji 
oleh
   kapitalist untuk mempengaruhi corak perekonomian kita lewat 
groups mail?
 
   Dari beberapa diskusi terakhir baik di Ahlikeuangan maupun di 
Apakabar
   terkesan kentara sekali corak liberalistnya, bahkan saya dimaki-
maki
   segala demi pemenuhan hasrat liberal style, duh... Orang macam 
mana
   ini si poltak?
 
 
   Sang
 
 ]




Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ekonomi-nasional] Kompas 30-Jun-05: Roeslan Abdulgani Telah Berpulang

2005-06-29 Terurut Topik Imam Soeseno
Berita Utama Kamis, 30 Juni 2005 

Roeslan Abdulgani Telah Berpulang 
Oleh: Maria Hartiningsih


Setelah dirawat sejak Jumat, 17 Juni 2005, termasuk di ruang Intensive Care 
Unit Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, tokoh pejuang Dr 
Roeslan Abdulgani, Rabu (29/6) pukul 10.20, berpulang dalam usia menjelang 91 
tahun.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro, Jakarta, dan akan 
dimakamkan Kamis pagi ini di TMP Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin 
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedangkan upacara pemakaman dipimpin Menko 
Polhukam Widodo AS.

Kemarin sampai jauh malam pelayat dari berbagai lapisan terus mengalir. 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Soeharto melayat ke rumah 
duka Rabu siang.

Bapak meninggal dengan tenang, tutur Hafilia, putri bungsu Cak Roes—demikian 
panggilan Roeslan Abdulgani yang bersama suaminya berada di samping ayahnya 
sampai detik terakhir. Bapak lelah, sudah saatnya pulang, sambung Wati 
Abdulgani-Knapp, putri kedua Cak Roes.

Pihak keluarga tampaknya tak ingin bicara lebih jauh soal medis terkait dengan 
kondisi kesehatan Cak Roes. Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Martijo Subandono 
kepada pers mengatakan Cak Roes meninggal karena stroke dan infeksi paru.

Ditemani Soeharto

Menjelang masuk ICU hari Minggu (19/6), sampai seluruh peralatan selesai 
dipasang selama lebih kurang satu jam, menurut Wati Abdulgani, mantan Presiden 
Soeharto ditemani ajudan dan putrinya, Mamiek, menunggui Cak Roes yang sudah 
tidak bisa berkomunikasi. Bapak terlihat sangat sedih setelah pulang dari 
menengok Pak Roeslan, begitu kata Mamiek seperti dikutip Wati.

Cak Roes dilahirkan di Surabaya tanggal 24 November 1914. Ayahnya seorang 
saudagar. Ibunya guru mengaji yang mengajarkan toleransi dan memandang ritual 
agama sebagai kesadaran pribadi.

Pendidikan tertingginya diselesaikan di Hunter College dan Barnard College, New 
York, Amerika Serikat, saat ia menjadi Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di 
PBB. Pendidikan tertinggi lainnya adalah pengalamannya, khususnya di bidang 
politik dan kedisiplinannya belajar berbagai hal. Ia menguasai setidaknya empat 
bahasa asing dengan sangat baik.

Cak Roes menduduki berbagai jabatan di pemerintahan sejak Indonesia masih 
sangat muda. Sampai hari Kamis, 16 Juni 2005, ia masih ngantor di Kantor BP7 di 
kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Dia berperan dalam berbagai konferensi 
internasional dan menjadi Sekjen Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

Cak Roes menikah dengan Sihwati Nawangwulan. Kesetiaannya pada kehidupan 
perkawinan ditunjukkan dengan merawat dan mendampingi sang istri yang menderita 
alzheimer selama 13 tahun sampai meninggal dunia tiga tahun lalu. Cak Roes 
meninggalkan lima anak, 10 cucu, dan enam cicit.

Tak menyimpan kebencian

Sebagai pribadi, Cak Roes tak pernah menyimpan kebencian, bahkan kepada orang 
yang pernah memfitnahnya. Ia meyakini perjalanan hidup sebagai wilayah abu-abu 
yang sangat luas. Karena itu, ia setia kepada teman-temannya. ”Bung Karno 
orang besar, banyak sahabatnya, banyak musuhnya. Pak Harto juga,” katanya. 
Cak Roes tak pernah menyesali apa yang telah terjadi.

Kepergian Cak Roes adalah kehilangan besar. Dia adalah satu dari sedikit tokoh 
yang masih hidup, yang terlibat dalam proses pembentukan Negara Kesatuan 
Republik Indonesia.

Kalau mau tahu sejarah bagaimana dan untuk siapa negeri ini didirikan, Cak Roes 
adalah orang yang paling tepat menjelaskannya, ujar Siswono Yudo Husodo, yang 
menganggap Cak Roes sebagai gurunya.

Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Pancasila itu melanjutkan, ”Dia 
memaknai falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan nasionalisme secara luar 
biasa, dan konsisten dengan pendirian politiknya tentang Indonesia yang 
plural.”

Bisa dimengerti kalau dalam banyak perjumpaan Cak Roes tak bisa menutupi 
kerisauannya tentang perkembangan situasi di negeri ini. Bacalah sejarah, 
belajarlah dari sejarah, katanya mengingatkan.

Cak Roes tak pernah lelah belajar. Buku-buku di perpustakaan di lantai dua 
rumahnya penuh dengan coretan. Karena itu, ia dapat dengan tegas membedakan 
antara ideologi dan ilmu pengetahuan. Sampai saat terakhir ia masih terus 
membaca, menulis, dan membuat banyak catatan.

Ia tak pernah takut menghadapi kematian. Karena kematian hanya menyangkut raga, 
tidak pada roh, katanya. Namun, kepergiannya tetap saja sebuah kehilangan, 
meski ada sentuhan personal yang akan tetap hidup dalam ingatan.

Kedatangannya ke kantor saya secara tiba-tiba hanya untuk mengucapkan selamat 
Natal dan mengantarkan kado Natal berisi buku atau mug tak akan terjadi lagi. 
Juga nota-nota pendeknya dengan satu kalimat, Apa kabar Ananda?

Selamat jalan, Bapak. Beristirahatlah dalam kedamaian. *



[Non-text portions of this message have been removed]



Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:

[ekonomi-nasional] Kompas 30-Jun-05: Mengantar Pak Roeslan (Sulastomo, Gerakan Jalan Lurus)

2005-06-29 Terurut Topik Imam Soeseno

Opini Kamis, 30 Juni 2005 

Mengantar Pak Roeslan 

Oleh: SULASTOMO

Kemarin, Pak Roeslan Abdulgani telah mendahului kita. Kita memang sudah harus 
mengikhlaskan kepergian Pak Roeslan, meski kehadiran tokoh seperti Pak Roeslan 
justru masih diperlukan.

Pak Roeslan adalah tokoh yang dapat menjadi penjaga gawang Republik. Menegur 
siapa saja yang hendak menyimpang dari cita-cita proklamasi.

Hari-hari terakhir Pak Roeslan, sebagai saksi, pelaku dan pemikir perjalanan 
bangsa, ia termasuk tokoh yang sedang prihatin. Di dalam berbagai kesempatan, 
ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia prihatin dengan kondisi sosial, 
politik, dan ekonomi bangsa ini.

Tokoh oportunis?

Kantor Pak Roeslan menjadi tempat pertemuan orang-orang yang menilai jalannya 
reformasi perlu diluruskan. Meski ibarat melawan arus, peringatan-peringatan 
yang disampaikan mulai bersemi.

Masa lalu itu tidak akan kembali lagi. Namun, masa sekarang harus merupakan 
kelanjutan masa lalu. Karena itu, dalam pandangan Pak Roeslan, tidak semua yang 
terjadi di masa Orde baru jelek, sebagaimana juga tidak semua yang terjadi di 
masa Orde Lama semuanya jelek.

Dalam pandangan Pak Roeslan, Bung Karno dan Pak Harto adalah pemimpin bangsa 
yang harus dihormati. Kita teruskan hal-hal yang baik, dan kita cermati hal-hal 
yang tidak baik agar tidak terulang kembali. Sebab, kalau orang besar keliru, 
kelirunya juga besar. Itulah pesan terakhir Pak Roeslan yang disampaikan kepada 
putrinya, Mbak Wati, agar kita menyikapinya sesuai falsafah mikul dhuwur 
mendhem jero. Dengan sikapnya seperti itu, Pak Roeslan sangat dekat dengan Bung 
Karno, juga dengan Pak Harto.

Sikap Pak Roeslan seperti itulah yang menempatkan Pak Roeslan disindir sebagai 
tokoh sepanjang masa. Bahkan, ada yang mengatakan, Pak Roeslan seorang 
oportunis.

Pak Roeslan membantah pendapat itu. Apa yang dilakukan adalah bagi kepentingan 
negara, bukan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana layaknya seorang oportunis.

Dengan sikap seperti itu, sering menempatkan Pak Roeslan dalam posisi melawan 
arus. Wajar, karena Pak Roeslan selalu melihat ke masa depan, bukan kepentingan 
sesaat.

Pada zaman Orde Lama, Pak Roeslan adalah tokoh penyeimbang dari pengaruh kaum 
Komunis/PKI. Pak Roeslan mengerem kebijakan Bung Karno yang menguntungkan PKI. 
Toh Bung Karno pun amat percaya kepada Pak Roeslan. Bung Karno menyerahkan 
masalah ideologi bangsa kepada pak Roeslan. Meski pemikiran PKI telah ikut 
memberi warna ideologi dan politik negara, Bung Karno menyerahkan juru bicara 
politik dan ideologi kepada Pak Roeslan.

Pelaku sejarah dan pemikir

Mencermati perjalanan Pak Roeslan selama hampir 91 tahun (lahir 24 November 
1914 di Surabaya), tidak berlebih jika kita menyimpulkan, Pak Roeslan adalah 
seorang pejuang, pelaku sejarah, dan pemikir bangsa.

Sebagai pejuang kemerdekaan, Pak Roeslan pernah ditangkap Belanda, berjuang di 
bawah tanah, ikut pertempuran 10 November di Surabaya, tertembak pesawat 
Belanda di Yogyakarta dan menderita luka berat, sehingga tangan kanannya cacat.

Sebagai pelaku sejarah, Pak Roeslan pernah memimpin organisasi Indonesia Muda, 
Sekretaris Komite Bersama RI dan Tentara Sekutu, Sekjen Konferensi Asia-Afrika 
(1955), beberapa kali sebagai menteri—dari Menteri LN, Menteri Penerangan 
sampai Menteri Koordinator Hubungan dengan Rakyat—Wakil Ketua DPA dan Dubes 
RI untuk PBB (1967-1971).

Sebagai pemikir, Pak Roeslan banyak menyampaikan pemikirannya melalui berbagai 
seminar, menulis di surat kabar, sampai sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden 
Pelaksanaan P4 dari tahun 1971 sampai 1991.

Di Era Reformasi, Pak Roeslan adalah anggota Dewan Tanda-tanda Kehormatan RI 
hingga pada saat kepergiannya. Berkat kualitas pemikirannya, Pak Roeslan 
dianugerahi tiga gelar doctor honoris causa dari Universitas Airlangga 
(Surabaya), Universitas Pajajaran (Bandung), dan IAIN Yogyakarta.

Pak Roeslan memiliki latar belakang pendidikan HBS dan pernah kuliah di 
Columbia University, New York, tentang Formasi dan Formulasi Politik LN Amerika 
dan tentang Perbandingan Agama.

Atas semua jasanya kepada negara, Pak Roeslan dianugerahi Bintang Gerilya, 
Bintang Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Mahaputra, dan Bintang Satya 
Lencana. Semua itu masih ditambah penghargaan dari TNI Angkatan Darat, yang 
menganugerahkan pangkat kehormatan sebagai jenderal berbintang empat, tahun 
1964. Selain itu, juga bintang kehormatan dari negara asing, yaitu Mesir, 
Austria, dan Yugoslavia.

Kini Pak Roeslan telah tiada. Ketika kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
(SBY) melayat di kediaman Pak Roeslan, beliau berkata, ”Kita wajib 
mengumpulkan pikiran-pikiran Pak Roeslan yang bertebaran di mana-mana. Tolong 
saya dibantu,” kata SBY sedih.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus



[Non-text portions of this message have been removed]



Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:

[ekonomi-nasional] Artikel: Catatan Hukum Uji Materiil Pajak Migas

2005-06-29 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
Bisnis Indonesia Harian - Detail
   
   
   
 
   
   
 
 Berlangganan Koran Kamis, 30-JUN-2005 
   

   Menu Utama  
 
   Halaman Depan 
 
   Tajuk 
 
   Bursa 
 
   Keuangan 
 
   Perdagangan 
 
   Ekonomi Makro 
 
   Manufaktur 
 
   Jasa  Transportasi 
 
   Umum 
 
   Teknologi Informasi 
 
   Ritel dan UKM  Mikro 
 
   Agribisnis 
 
   Olahraga 
 
   Ekonomi Global 
 
   Finansial 
 
   Infrastruktur 
 
   Oasis 
 
   Opini 
 
   Otomotif 
 
   Pertambangan 
 
   Valas  Komoditas 
 
   Daftar Isi 
 
   
  
   Tabel Bursa Moneter  
   Bursa Efek Jakarta  
 
   Bursa Efek Surabaya  
 
   Obligasi  
 
   Suku Bunga Deposito  
 
   Suku Bunga Antar Bank  
 
   Kurs Valuta  
 
   Kurs Bank Devisa  
 
   Reksadana  
 
   Kurs Swap  
 
   Pasar Uang Antar Bank  
 
   Bursa Komoditas  
 
   Transaksi Warrant  
 
   Transaksi Futures  
 
   Insurance Linked  
 
   Kurs Valas Int  
 
   Kurs Valas Di Pasar Int  
 
   Produk Perbankan  
 
   Trans Kontr. Berjangka  
 
   Indeks Bursa Regional  
 
   Indeks Bursa Global  
 
   
   
   
   
   
  
   
   
 
  
   
   
   
   Pertambangan  
 
   Catatan hukum uji materiil pajak migas  
  
   Otonomi daerah telah memanen perlawanan daerah terhadap 
pusat. Kali ini, instrumennya uji materiil melalui Mahkamah Agung (MA). 
Awalnya, Pemkab Indra-mayu menerbitkan Perda No.13/2002 tentang Pajak 
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri 
(Mendagri), membatalkan perda a'quo melalui Keputusan No.13/2003 tertanggal 10 
Maret 2003 (Kepmendagri). 
Pada 17 Maret 2003 Pemkab Indramayu mengajukan 
keberatan kepada pemerintah (Mendagri) atas pembatalan perda, tapi tidak 
dijawab. Berdasarkan Pasal 114 ayat UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah 
(dicabut dan diganti dengan UU No.32/2004-Pen) mengatur daerah yang tidak 
menerima keputusan pembatalan perda dapat mengajukan keberatan kepada MA 
(paling lambat 15 hari 

[ekonomi-nasional] Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)

2005-06-29 Terurut Topik A Nizami
Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang
Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun kerajaan
Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak mungkin
seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb) mengalir
ke perusahaan2 AS dan negara AS.

Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai
perusahaan AS menguras sumber daya alam kita, sehingga
keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan
rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia sebagian
mati kelaparan.

RUSH TRANSCRIPT: 

AMY GOODMAN: John Perkins joins us now in our
firehouse studio. Welcome to Democracy Now! 

JOHN PERKINS: Thank you, Amy. It’s great to be here. 

AMY GOODMAN: It’s good to have you with us. Okay,
explain this term, “economic hit man,” e.h.m., as you
call it. 

JOHN PERKINS: Basically what we were trained to do and
what our job is to do is to build up the American
empire. To bring -- to create situations where as many
resources as possible flow into this country, to our
corporations, and our government, and in fact we’ve
been very successful. We’ve built the largest empire
in the history of the world. It's been done over the
last 50 years since World War II with very little
military might, actually. It's only in rare instances
like Iraq where the military comes in as a last
resort. This empire, unlike any other in the history
of the world, has been built primarily through
economic manipulation, through cheating, through
fraud, through seducing people into our way of life,
through the economic hit men. I was very much a part
of that. 

AMY GOODMAN: How did you become one? Who did you work
for? 

JOHN PERKINS: Well, I was initially recruited while I
was in business school back in the late sixties by the
National Security Agency, the nation's largest and
least understood spy organization; but ultimately I
worked for private corporations. The first real
economic hit man was back in the early 1950's, Kermit
Roosevelt, the grandson of Teddy, who overthrew of
government of Iran, a democratically elected
government, Mossadegh’s government who was Time's
magazine person of the year; and he was so successful
at doing this without any bloodshed -- well, there was
a little bloodshed, but no military intervention, just
spending millions of dollars and replaced Mossadegh
with the Shah of Iran. At that point, we understood
that this idea of economic hit man was an extremely
good one. We didn't have to worry about the threat of
war with Russia when we did it this way. The problem
with that was that Roosevelt was a C.I.A. agent. He
was a government employee. Had he been caught, we
would have been in a lot of trouble. It would have
been very embarrassing. So, at that point, the
decision was made to use organizations like the C.I.A.
and the N.S.A. to recruit potential economic hit men
like me and then send us to work for private
consulting companies, engineering firms, construction
companies, so that if we were caught, there would be
no connection with the government. 

AMY GOODMAN: Okay. Explain the company you worked for.


JOHN PERKINS: Well, the company I worked for was a
company named Chas. T. Main in Boston, Massachusetts.
We were about 2,000 employees, and I became its chief
economist. I ended up having fifty people working for
me. But my real job was deal-making. It was giving
loans to other countries, huge loans, much bigger than
they could possibly repay. One of the conditions of
the loan–let's say a $1 billion to a country like
Indonesia or Ecuador–and this country would then have
to give ninety percent of that loan back to a U.S.
company, or U.S. companies, to build the
infrastructure–a Halliburton or a Bechtel. These were
big ones. Those companies would then go in and build
an electrical system or ports or highways, and these
would basically serve just a few of the very
wealthiest families in those countries. The poor
people in those countries would be stuck ultimately
with this amazing debt that they couldn’t possibly
repay. A country today like Ecuador owes over fifty
percent of its national budget just to pay down its
debt. And it really can’t do it. So, we literally have
them over a barrel. So, when we want more oil, we go
to Ecuador and say, “Look, you're not able to repay
your debts, therefore give our oil companies your
Amazon rain forest, which are filled with oil.” And
today we're going in and destroying Amazonian rain
forests, forcing Ecuador to give them to us because
they’ve accumulated all this debt. So we make this big
loan, most of it comes back to the United States, the
country is left with the debt plus lots of interest,
and they basically become our servants, our slaves.
It's an empire. There's no two ways about it. It’s a
huge empire. It's been extremely successful. 

AMY GOODMAN: We're talking to John Perkins, author of
Confessions of an Economic Hit Man. You say because of
bribes and other reason you didn't write this book for
a long time. What do you mean? Who tried to bribe you,
or who -- what are the bribes you 

[ekonomi-nasional] Bisnis 30-Jun-05: Menkeu ingin aturan pajak bebas grey area

2005-06-29 Terurut Topik Imam Soeseno

Halaman DepanKamis, 30/06/2005 Menkeu ingin aturan pajak bebas grey area 
JAKARTA (Bisnis): Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan pemerintah memutuskan 
menyerahkan pembahasan lebih lanjut RUU Perpajakan ke Tim Independen yang 
diketuai Bambang Subianto, mantan Menkeu yang kini menjadi konsultan senior 
ErnstYoung. 
Saya inginkan UU [Pajak] yang baru ini simple, clear, dan gampang ditafsirkan 
agar tidak terjadi anomali bagi petugas pajak dan wajib pajak. Sehingga semua 
pihak tahu hak dan kewajibannya masing-masing, katanya di hadapan para 
pengusaha dan eksekutif yang menghadiri acara penganugerahan Bisnis Indonesia 
Award 2005, di Jakarta tadi malam. 
Tim yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Keuangan itu diketuai oleh Bambang 
Subianto, mantan Menkeu yang kini menjadi konsultan senior ErnstYoung. Anggota 
Tim ini a.l. John Prasetio (Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang 
Internasional, mantan chairman ErnstYoung), Rahmat Gobel (Wakil Ketua Umum 
Kadin Indonesia bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan/bos Panasonik Gobel 
Indonesia), Gunadi (Direktur Pemeriksaan, Penagihan, dan Penyidikan Pajak 
Ditjen Pajak), dan I Made Erata (staf ahli Menkeu bidang Penerimaan). 
Anggota Komisi XI DPR Fuad Bawazier, yang juga mantan Menteri Keuangan, 
mengingatkan meski telah diberi waktu hingga tiga tahun, Bambang Subianto (saat 
itu menjabat sebagai Dirjen Lembaga Keuangan, Depkeu) tidak berhasil 
menyelesaikan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak. Karena tidak jadi-jadi, 
Menteri Keuangan (saat itu) Mar'ie Muhammad akhirnya menyerahkan tugas tersebut 
ke saya [saat itu Dirjen Pajak]. 
Seorang mantan pejabat Ditjen Pajak menyebutkan salah satu poin yang akan 
diusung oleh Tim Independen ke dalam RUU Pajak adalah ketentuan tentang 
kesetaraan antara wajib pajak dan petugas pajak. Kadin Indonesia dalam beberapa 
kesempatan menghendaki agar aparat pajak atau Ditjen Pajak juga dikenakan 
hukuman/denda jika salah dalam menetapkan pajak terutang, seperti halnya wajib 
pajak jika terbukti salah menghitung. 
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah aparat pajak berbuat sewenang-wenang. 
Untuk itu, Ditjen Pajak harus memperkuat bank data dan profesionalisme 
pemeriksa pajak. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, akan banyak aparat pajak 
yang kena hukum atau denda, katanya kepada Bisnis tadi malam. 
Meski demikian, dia melihat akan muncul masalah mengenai pada tingkat mana 
kepastian hukum akan dijadikan rujukan. Misalnya, jika Wajib Pajak kalah dalam 
banding di Pengadilan Pajak namun ternyata menang dalam PK (peninjauan kembali) 
di Mahkamah Agung, siapa yang akan dihukum? Apakah hakim Pengadilan Pajak yang 
sepaham dengan petugas pajak juga ikut dihukum? 
Sederhana dan mudah 
Menkeu Jusuf Anwar menjanjikan amendemen itu akan membuat UU Perpajakan menjadi 
lebih sederhana dan lebih mudah dipahami sehingga tidak ada lagi grey area 
(daerah abu-abu) yang kerap menjadi sumber sengketa antara wajib pajak dan 
aparat pajak. Dengan demikian, lanjutnya, praktik KKN dapat dikurangi dan 
ditekan melalui perbaikan peraturan perpajakan. 
Jusuf mengatakan amendemen Paket UU Perpajakan 2000 yang terdiri dari UU 
Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak 
Pertambahan Nilai (PPN) akan disertai dengan penggunaan sistem teknologi 
informasi. Pemanfaatan teknologi informasi itu, lanjutnya, akan mengurangi 
interaksi langsung antara petugas pajak dan wajib pajak yang sering dianggap 
sebagai 'celah' terjadinya praktek KKN di bidang perpajakan. 
Kami akan memperbaiki dengan sistem. Sistem online akan menurunkan pertemuan 
antara wajib pajak dan petugas pajak, ungkapnya. 
Ditjen Pajak telah memiliki bank data yang jauh lebih lengkap dan baik. Menteri 
Keuangan, misalnya, bisa langsung klik untuk mengetahui properti milik wajib 
pajak yang sudah memiliki NPWP. Sekali klik, saya bisa tahu rumah Pak Ciputra 
[pemilik kelompok bisnis properti Grup Ciputra]. Bisa di-close up, kata 
Menkeu. 
Tujuan pembentukan dan pengembangan bank data pajak, menurut Jusuf Anwar, bukan 
untuk mencari-cari kesalahan wajib pajak tetapi untuk menjamin bahwa wajib 
pajak membayar pajak sesuai kewajibannya. Kalau tidak ada nilai tambah, untuk 
apa UU baru? 
Menkeu menjelaskan perbaikan sistem di Ditjen Bea dan Cukai juga terus 
dilakukan untuk mengurangi pertemuan antara petugas dan pengguna jasa 
kepabeanan, selain untuk mempercepat proses penyelesaian pengeluaran barang. 
Pengembangan Bea Cukai juga begitu dengan sistem komputerisasi yang bagus, 
sebelum kapal merapat di pelabuhan, Kantor Bea dan Cukai sudah bisa menghitung 
berapa bea masuk yang harus dibayar. 
Menurut Jusuf Anwar, amendemen Paket UU Perpajakan 2000, UU Cukai, dan UU Bea 
Masuk merupakan salah satu upaya pemerintah memperbaiki praktek good governance 
di tubuh birokrasi. (luz/par) 
 © Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole 
or in part without permission is prohibited.



[Non-text portions of this message have been removed]




[ekonomi-nasional] OOT: Arrested Development (Children, too, are abused in U.S. prison!!!)

2005-06-29 Terurut Topik sidqy suyitno

Op-Ed Contributor

Arrested Development (Children, too, are abused in U.S. prison!!!) 

By ARLIE HOCHSCHILD of UC Berkeley

Published: June 29, 2005

Berkeley, Calif.

LAST month John Miller, director of the State Department's Office to Monitor 
and Combat Trafficking in Persons, said that half the victims of human 
trafficking may be children under 18. Children are at the center of the 
problem of trafficking, which, Mr. Miller noted, is one of the great human 
rights issues of the 21st century. Yes, children should be at the heart of our 
concern for human rights. But that concern should start with the children 
detained in American prisons in Afghanistan, Iraq and Guantánamo Bay. 

Under international law, the line between childhood and maturity is 18. In 
communications with Amnesty International and Human Rights Watch, the Pentagon 
has lowered the cutoff to 16. For this reason among others, we don't know 
exactly how many Iraqi children are in American custody. But before the 
transfer of sovereignty from the Coalition Provisional Authority to an Iraqi 
interim government a year ago, the International Committee of the Red Cross 
reported registering 107 detainees under 18 during visits to six prisons 
controlled by coalition troops. Some detainees were as young as 8. 

Since that time, Human Rights Watch reports that the number has risen. The 
figures from Afghanistan are still more alarming: the journalist Seymour Hersh 
wrote last month in the British newspaper The Guardian that a memo addressed to 
Defense Secretary Donald Rumsfeld shortly after the 2001 invasion reported 
800-900 Pakistani boys 13-15 years of age in custody. 

Juvenile detainees in American facilities like Abu Ghraib and Bagram Air Base 
have been subject to the same mistreatment as adults. The International Red 
Cross, Amnesty International and the Pentagon itself have gathered substantial 
testimony of torture of children, bolstered by accounts from soldiers who 
witnessed or participated in the abuse.

According to Amnesty International, 13-year-old Mohammed Ismail Agha was 
arrested in Afghanistan in late 2002 and detained without charge or trial for 
over a year, first at Bagram and then at Guantánamo Bay. He was held in 
solitary confinement and subjected to sleep deprivation. Whenever I started to 
fall asleep, they would kick at my door and yell at me to wake up, he told an 
Amnesty researcher. They made me stand partway, with my knees bent, for one or 
two hours. 

A Canadian, Omar Khadr, was 15 in 2002 when he was captured in Afghanistan and 
interned at Guantánamo. For 2½ years, he was allowed no contact with a lawyer 
or with his family. Seventeen-year-old Akhtar Mohammed told Amnesty that he was 
kept in solitary confinement in a shipping container for eight days in 
Afghanistan in January 2002.

A Pentagon investigation last year by Maj. Gen. George Fay reported that in 
January 2004, a leashed but unmuzzled military guard dog was allowed into a 
cell holding two children. The intention was for the dog to  'go nuts on the 
kids,' barking and scaring them. The children were screaming and the smaller 
one tried to hide behind the larger, the report said, as a soldier allowed the 
dog to get within about one foot of them. A girl named Juda Hafez Ahmad told 
Amnesty International that when she was held in Abu Ghraib she saw one of the 
guards allow his dog to bite a 14-year-old boy on the leg.

Brig. Gen. Janis Karpinski, formerly in charge of Abu Ghraib, told Maj. General 
Fay about visiting a weeping 11-year-old detainee in the prison's notorious 
Cellblock 1B, which housed prisoners designated high risk. He told me he was 
almost 12, General Karpinski recalled, and that he really wanted to see his 
mother, could he please call his mother. 

Children like this 11 year old held at Abu Ghraib have been denied the right to 
see their parents, a lawyer, or anyone else. They were not told why they were 
detained, let alone for how long. A Pentagon spokesman told Mr. Hersh that 
juveniles received some special care, but added, Age is not a determining 
factor in detention. The United States has found, the spokesman said, that 
age does not necessarily diminish threat potential. 

It's true that some of these children may have picked up a stone or a gun. But 
coalition intelligence officers told the Red Cross that 70 percent to 90 
percent of detainees in Iraq are eventually found innocent and released. Many 
innocent children are swept up with their parents in chaotic nighttime dragnets 
based on tips from unreliable informants. We know of children under 15, 
Clarisa Bencomo of Human Rights Watch told me,  held for over a year at 
Guantánamo Bay, whom the government later said were not security risks. Even 
if a child is found guilty, he or she should be treated humanely, rather than 
tortured or rendered, as the C.I.A. puts it, to third parties that torture.

AMBASSADOR MILLER is right. Children matter. To really place