[ekonomi-nasional] Blok Cepu, ExxonMobile strategi besar Pertamina
Kalau Kwik yang mantan menteri saja mengeluh, bagaimana rakyat biasa? Sepertinya Indonesia tidak akan bisa mandiri dalam mengelola kekayaan alamnya. Blok Cepu, ExxonMobile strategi besar Pertamina. Keputusan tentang apa yang harus dilakukan terhadap sumur minyak di Blok Cepu yang sekarang digarap ExxonMobile (EM) antara sukar dan mudah. Orang Jawa mengatakan gampang-gampang angel. Gampang kalau bangsa ini berpijak pada landasan falsafah dan prinsip. Angel kalau bangsa ini menjerumuskan diri pada teknokrasi semata. Asal mulanya Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), pemegang izin eksploitasi minyak di sumur kecil di Cepu, menjual lisensinya kepada EM. Lisensi itu sebenarnya baru berakhir pada 2010. EM lalu mengeluarkan uang sebesar US$370 juta untuk mengeksplorasi sumur tersebut. Dari hasil eksplorasi itu, EM menemukan cadangan minyak sekitar 600 juta barel. Karena cadangan itu besar, EM mengajukan usul agar kontraknya dengan Indonesia diperpanjang sampai 2030. Usul ini tentu disertai dengan deal bisnis yang rinci. Ketika itu, status hukum Pertamina masih berupa Perum. Menurut undang-undang yang berlaku, yang berhak mengambil keputusan adalah Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) yang terdiri dari lima orang menteri. Tiga dari lima anggota DKPP setuju, sedangkan dua lainnya tidak setuju memperpanjang kontrak dengan EM. Karena tidak dicapai keputusan yang bulat, berdasarkan undang-undang, keputusan harus diambil oleh Presiden. Maka bola panas pindah ke tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. EM tidak tinggal diam. Perusahaan AS itu mengerahkan semua kekuatan, termasuk pemerintahnya untuk melobi keras kepada pemerintah Indonesia. Namun bagi penulis, upaya EM sudah merupakan tekanan agar Indonesia mau memperpanjang kontrak tersebut. Di tengah lobi dan perundingan berjalan, tersiar kabar, entah kabar burung atau tidak, bahwa cadangan minyak yang sebenarnya di Blok Cepu adalah 1,2 miliar barel, bukan 600 juta barel. Belakangan beredar lagi kabar bahwa cadangan minyak di blok itu bahkan bisa mencapai 2 miliar barel. Seperti dikatakan sebelumnya, ada dua anggota DKPP yang tidak setuju. Yang satu atas dasar alasan yuridis bahwa bentuk kerja sama adalah Technical Assistance Contract (TAC), sehingga tidak bisa lantas diubah menjadi kontrak bagi hasil. Anggota lain, yang tidak setuju, adalah penulis dengan alasan yang sama sekali berbeda. Alasan penulis saat itu sangat prinsipil, yaitu bahwa sumur di Blok Cepu memiliki cadangan minyak yang besar dengan letak yang strategis, sehingga eksploitasi selanjutnya relatif mudah. Maka penulis mati-matian mempertahankan agar blok itu sepenuhnya dieksploitasi oleh Pertamina. Berbagai alasan dikemukakan untuk meyakinkan penulis agar ikut menyetujui perpanjangan kontrak dengan EM. Upaya tersebut datang dari berbagai pihak, baik Pertamina dan Lemigas maupun EM dan Duta Besar AS untuk Indonesia Ralph Boyce. Semua alasan penulis tolak. Ini karena titik tolak penulis sangat prinsipil bahwa Pertamina harus menggunakan sumur Cepu sebagai titik tolak untuk belajar mengeksploitasi minyak sendiri sepenuhnya. Kata belajar ditekankan karena penulis dihujani berbagai perhitungan rugi laba, penuh dengan angka-angka yang njlimet. Namun penulis sama sekali tidak mau melihat angka-angka tersebut. Berapa pun untung ruginya, penulis terima. Ini karena bagi penulis sudah sangat memalukan setelah 60 tahun merdeka, 92% dari minyak nasional dieksploitasi oleh kontraktor asing. Dikemukakan bahwa Pertamina tidak mungkin membiayai eksploitasi sendiri. Penulis yakinkan bahwa kalau ada cadangan minyak 600 juta barel saja, bank di seluruh dunia akan antre memberikan kredit yang khusus dipakai untuk mengeksploitasi sumur tersebut. Apalagi kalau cadangannya ternyata lebih besar lagi. Penulis lalu diyakinkan lagi dengan alasan bahwa kalau Pertamina yang mengeksploitasi sendiri,akan merugi karena belum berpengalaman dan korup. Upaya ini pun penulis tolak dengan alasan bahwa penulis sama sekali tidak berpikir tentang untung rugi. Sumur Cepu harus dijadikan modal untuk belajar mengeksploitasi sendiri. Landasan argumentasi adalah paparan direksi baru, di pimpinan Baihaki Hakim, kepada penulis selaku Menko Ekuin dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid. Pendirian yang penulis pertahankan sampai sekarang merupakan pengarahan dari Presiden Wahid. Ketika itu Baihaki Hakim mengemukakan bahwa visi dan misinya adalah menjadikan Pertamina sebuah world class company yang harus mampu mengembangkan diri menjadi perusahaan multinasional seperti halnya BP, Shell, EM, dan sebagainya. Tekad Baihaki itu bukan untuk gagah-gagahan tetapi karena alasan survival. Pertamina sudah telanjur menjadi organisasi besar, sedangkan cadangan minyak terus menyusut, selain minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non renewable resource). Maka kalau cadangan sudah menyusut menjadi demikian kecil, Pertamina sudah harus menjadi perusahaan multinasional yang besar sehingga sumber minyak
Re: [ekonomi-nasional] Dirut Pertamina Diganti
Setahu saya Dirut Pertamina, Widya Purnama, sangat ngotot untuk mengelola sendiri blok minyak Cepu. Dia ingin agar kontrak dgn Exxon tidak diperpanjang. Apa karena itu dia diganti? Sayang sekali jika orang yang ingin Indonesia mandiri dalam mengelola kekayaan alam justru digeser. --- Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote: REFLEKSI: Apakah pengantian Direktur Utama disertai perbaikan untuk good management ataukah hanya sekladar pergantian personalia saja untuk mengelabui mata rakyat? SUARA KARYA Dirut Pertamina Diganti Rabu, 29 Juni 2005 JAKARTA (Suara Karya): Kiprah Widya Purnama selaku Dirut Pertamina tampaknya tidak berlangsung lama. Setelah menjabat sejak 11 Agustus 2004, Rabu ini dia hampir pasti tergusur dan digantikan Martiono Hadianto yang notabene pernah menjabat Dirut Pertamina selama periode 1998-2000. Sumber Suara Karya menyebutkan, dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina, Kamis (30/6) besok, pemerintah memastikan akan menggusur Widya dan mengukuhkan Martiono sebagai orang nomor satu di Pertamina. Keputusan tersebut dilatari oleh keberhasilan Martiono memimpin tim negosiasi pemerintah dalam perundingan tentang pengelolaan Blok Cepu dengan ExxonMobil. Di sisi lain, juga karena Widya sendiri berkali-kali menyatakan tidak akan menandatangani kesepakatan pemerintah dan ExxonMobil menyangkut pengelolaan Blok Cepu. Menurut sumber, Martiono akan didampingi Suroso Atmomartoyo sebagai wakil dirut. Selama ini, Suroso sendiri menjabat Direktur Pengolahan Pertamina. Selain Suroso, menurut sumber, kemungkinan Martiono juga didampingi Edi Setianto (sekarang ini menjabat General Manager Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan) atau Maskurun (Ketua Kelompok Staf Ahli Hilir Sekretariat Komisaris Pertamina) sebagai Direktur Pengolahan, Kun Kurnaely (Deputi Direktur Industri Hulu Pertamina) sebagai Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi, Burhanuddin Hasan (dirut anak perusahaan Pertamina di Jepang) sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber juga mengatakan, pemerintah belum memastikan figur untuk posisi direktur keuangan. Tapi, ujarnya, posisi tersebut kemungkinan jatuh kepada Ito Warsito yang kini menjabat Dirut PT Bahana Securities atau Gita Wiryawan yang dikenal sebagai Presdir JP Morgan. Pemerintah juga akan membentuk struktur baru, yaitu Direktur Marketing dan Trading yang akan diduduki oleh Sugiarto M (manajer di Biro Perencanaan Pertamina), kata sumber tersebut. Sementara itu, Deputi Menneg BUMN bidang Pertambangan, Telekomunikasi, dan Industri Strategis Roes Aryawijaya saat dihubungi Suara Karya, kemarin, mengelak memberi komentar mengenai formasi baru direksi Pertamina ini. Maaf, saya lagi memimpin rapat, ujarnya. Tapi, menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro, Martiono memang layak memimpin Pertamina. Dia merupakan pilihan yang tepat untuk kondisi Pertamina saat ini, katanya. Menurut Ismet, kondisi Pertamina sangat mengenaskan setelah era Baihaki Hakim. Karena itu, menjadi tugas Martiono untuk mengembalikan posisi Pertamina menjadi perusahaan minyak yang disegani - paling tidak di tingkat regional. Apalagi dalam menghadapi kompetisi global yang kian berat saat ini, figur Dirut Pertamina tidak bisa lagi asal cabut dan asal pasang, tutur Ismet. Khusus figur Suroso yang diproyeksikan menduduki posisi wakil dirut, Ismet menyatakan bahwa beberapa hal harus jelas dulu. Sejumlah transaksi yang pernah dia lakukan masih menjadi tanda tanya. Karena itu sebelum ditunjuk menjadi Wakil Dirut Pertamina, beliau harus clear dulu, ujar Ismet. (Sabpri) [Non-text portions of this message have been removed] Bacalah artikel tentang Islam di: http://www.nizami.org Yahoo! Sports Rekindle the Rivalries. Sign up for Fantasy Football http://football.fantasysports.yahoo.com Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Karena Exxon? - Re: [ekonomi-nasional] Dirut Pertamina Diganti
Setahu saya Dirut Pertamina, Widya Purnama, sangat ngotot untuk mengelola sendiri blok minyak Cepu. Dia ingin agar kontrak dgn Exxon tidak diperpanjang. Apa karena itu dia diganti? Sayang sekali jika orang yang ingin Indonesia mandiri dalam mengelola kekayaan alam justru digeser. --- Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote: REFLEKSI: Apakah pengantian Direktur Utama disertai perbaikan untuk good management ataukah hanya sekladar pergantian personalia saja untuk mengelabui mata rakyat? SUARA KARYA Dirut Pertamina Diganti Rabu, 29 Juni 2005 JAKARTA (Suara Karya): Kiprah Widya Purnama selaku Dirut Pertamina tampaknya tidak berlangsung lama. Setelah menjabat sejak 11 Agustus 2004, Rabu ini dia hampir pasti tergusur dan digantikan Martiono Hadianto yang notabene pernah menjabat Dirut Pertamina selama periode 1998-2000. Sumber Suara Karya menyebutkan, dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina, Kamis (30/6) besok, pemerintah memastikan akan menggusur Widya dan mengukuhkan Martiono sebagai orang nomor satu di Pertamina. Keputusan tersebut dilatari oleh keberhasilan Martiono memimpin tim negosiasi pemerintah dalam perundingan tentang pengelolaan Blok Cepu dengan ExxonMobil. Di sisi lain, juga karena Widya sendiri berkali-kali menyatakan tidak akan menandatangani kesepakatan pemerintah dan ExxonMobil menyangkut pengelolaan Blok Cepu. Menurut sumber, Martiono akan didampingi Suroso Atmomartoyo sebagai wakil dirut. Selama ini, Suroso sendiri menjabat Direktur Pengolahan Pertamina. Selain Suroso, menurut sumber, kemungkinan Martiono juga didampingi Edi Setianto (sekarang ini menjabat General Manager Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan) atau Maskurun (Ketua Kelompok Staf Ahli Hilir Sekretariat Komisaris Pertamina) sebagai Direktur Pengolahan, Kun Kurnaely (Deputi Direktur Industri Hulu Pertamina) sebagai Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi, Burhanuddin Hasan (dirut anak perusahaan Pertamina di Jepang) sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber juga mengatakan, pemerintah belum memastikan figur untuk posisi direktur keuangan. Tapi, ujarnya, posisi tersebut kemungkinan jatuh kepada Ito Warsito yang kini menjabat Dirut PT Bahana Securities atau Gita Wiryawan yang dikenal sebagai Presdir JP Morgan. Pemerintah juga akan membentuk struktur baru, yaitu Direktur Marketing dan Trading yang akan diduduki oleh Sugiarto M (manajer di Biro Perencanaan Pertamina), kata sumber tersebut. Sementara itu, Deputi Menneg BUMN bidang Pertambangan, Telekomunikasi, dan Industri Strategis Roes Aryawijaya saat dihubungi Suara Karya, kemarin, mengelak memberi komentar mengenai formasi baru direksi Pertamina ini. Maaf, saya lagi memimpin rapat, ujarnya. Tapi, menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro, Martiono memang layak memimpin Pertamina. Dia merupakan pilihan yang tepat untuk kondisi Pertamina saat ini, katanya. Menurut Ismet, kondisi Pertamina sangat mengenaskan setelah era Baihaki Hakim. Karena itu, menjadi tugas Martiono untuk mengembalikan posisi Pertamina menjadi perusahaan minyak yang disegani - paling tidak di tingkat regional. Apalagi dalam menghadapi kompetisi global yang kian berat saat ini, figur Dirut Pertamina tidak bisa lagi asal cabut dan asal pasang, tutur Ismet. Khusus figur Suroso yang diproyeksikan menduduki posisi wakil dirut, Ismet menyatakan bahwa beberapa hal harus jelas dulu. Sejumlah transaksi yang pernah dia lakukan masih menjadi tanda tanya. Karena itu sebelum ditunjuk menjadi Wakil Dirut Pertamina, beliau harus clear dulu, ujar Ismet. (Sabpri) [Non-text portions of this message have been removed] Bacalah artikel tentang Islam di: http://www.nizami.org __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ekonomi-nasional] Chinese Capitalism
Chinese Capitalism: Industrial Powerhouse or Sweatshop of the World? While some may think the Chinese economy is flourishing, Chan shows us that it is completely dependent upon foreign investment, and that instead of being the new workshop of the world, China is the new giant sweatshop of the world's major corporations, with devastating results for countries like Mexico who since 2001 lost 230,000 manufacturing jobs to China. - by John Chan When Beijing entered the World Trade Organisation (WTO) in December 2001, it undertook to remove most of the remaining barriers to the operation of foreign corporations inside China by 2006. The resulting flood of investment into the country has given rise to glowing predictions in international financial circles that China is emerging as the new industrial powerhouse of world capitalism. The October issue of the British-based Economist magazine, for example, lauded the southern Chinese province of Guangdong, which is adjacent to Hong Kong, and the country's major export region, as the contemporary equivalent of 19th century Manchestera workshop of the world. In similar vein, the Los Angeles Times enthused: Poor and isolated 30 years ago, China is emerging as the world's factory floor. The country's middle class, though just a sliver of the population, is estimated at more than 100 million and growing rapidly. Even now, China buys more cell phones than any other country. Its expanding industrial sector is becoming a major buyer of raw materials, machinery and high-tech equipment. Nicholas Lardy, a professor from the US-based Brookings Institution, told the Los Angeles Times: The pace of China's industrial development and trade expansion is unparalleled in modern economic history. While this has led to unprecedented improvements in Chinese incomes and living standards, it also poses challenges for other countries. The Wall Street Journal noted that some 50 percent of cameras, 30 percent of air conditioners and televisions, 25 percent of washing machines, and 20 percent of refrigerators in the world are now being produced or assembled in China. Andy Xie, a Hong Kong-based economist for the investment house Morgan Stanley, told the newspaper: China's rise as a manufacturing base is going to have the same kind of impact on the world that the industrialisation of the US had, perhaps even bigger. But the claim that China is undergoing an economic transformation analogous to Britain in the 19th century or the US in the 20th century ignores some basic facts. The impressive rates of growth and statistics on industrial output are dependent on a huge flow of foreign direct investment into the country and a flood of cheap manufactured goods out of the country. Far from being the new workshop of the world, China is more like a giant sweatshop for the world's major corporations. The high rates of economic growth in China during the 1990s were not driven by the expansion of an internal consumer market or native industrial development. The combination of plentiful labour, low wages, low taxation and brutal police-state repression made China one of the most attractive investment sites for transnational corporations. Since the early 1990s, more than $US800 billion have been invested, overwhelmingly in a string of free trade zones located along China's coast. The US retail giant Wal-Mart Stores, for example, purchased about $14 billion in products from its Chinese subsidiaries last year, which represents about 13 percent of total US imports from China. The electronic conglomerate Philips operates 23 plants in China and exports $5 billion worth of goods each year to Western markets. Foreign firms now account for 81 percent of China's technology exportsa global market share of 54 percent of DVD players, 28 percent of cellular phones, 13 percent of digital cameras, 30 percent of desktop computers, 12 percent of notebook computers and 27 percent of colour televisions. Transnationals and their local contractors also dominate in other major exports such as machinery and textiles. Up to December, China's volume of foreign trade increased by 21 percent from 2001 to $620 billion, ranking it as the world's fifth largest trading nation. China's exports stood at $266.2 billion for the year to December and its imports at $212.6 billion, a 17.2 percent increase. However, the character of China's trade is demonstrated by the fact that more than half the imports were associated with export processingin other words, the materials or ready-made components needed for manufacturing export goods. A study published on January 15 by a US-based think tank, Hale Advisors LLC China Online, noted: Fifteen years ago, intra-Asian trade inflows were simple. Capital goods and components were shipped from Japan to newly industrialising countries for processing and then re-exported to industrialised countries. The opening of
[ekonomi-nasional] Versi Bahasa Indonesianya? - Re: Siapa John Perkins - Confession of an Econo
Mohon maaf, sedikit bicara mundur. Apakah sudah ada versi Bahasa Indonesia buku ini? Imam --- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, Firdaus Ibrahim [EMAIL PROTECTED] wrote: Dulu saya sering berdebat dengan Poltak di Milis Ahli-Keuangan. Poltak benar-benar die-hard neoliberalist dan sangat pro kapitalis global. Saya curiga dia orang bayaran asing dan jangan2 dia bagian dari The Economics Hitmen. Firdaus - Original Message - From: Sang To: ekonomi-nasional@yahoogroups.com Sent: Sunday, June 26, 2005 3:08 PM Subject: [ekonomi-nasional] Re: Siapa John Perkins - Confession of an Economic Hit Man ? kapitalist poltak emang cencerung neoliberal isi dengkulnya pak, saya akui itu... Apalagi kalau America kiblat pikirannya ini diusik dia akan bela hidup mati.. jadinya saya bertanya apakah dia digaji oleh kapitalist untuk mempengaruhi corak perekonomian kita lewat groups mail? Dari beberapa diskusi terakhir baik di Ahlikeuangan maupun di Apakabar terkesan kentara sekali corak liberalistnya, bahkan saya dimaki- maki segala demi pemenuhan hasrat liberal style, duh... Orang macam mana ini si poltak? Sang ] Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ekonomi-nasional] Kompas 30-Jun-05: Roeslan Abdulgani Telah Berpulang
Berita Utama Kamis, 30 Juni 2005 Roeslan Abdulgani Telah Berpulang Oleh: Maria Hartiningsih Setelah dirawat sejak Jumat, 17 Juni 2005, termasuk di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, tokoh pejuang Dr Roeslan Abdulgani, Rabu (29/6) pukul 10.20, berpulang dalam usia menjelang 91 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro, Jakarta, dan akan dimakamkan Kamis pagi ini di TMP Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedangkan upacara pemakaman dipimpin Menko Polhukam Widodo AS. Kemarin sampai jauh malam pelayat dari berbagai lapisan terus mengalir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Soeharto melayat ke rumah duka Rabu siang. Bapak meninggal dengan tenang, tutur Hafilia, putri bungsu Cak Roesâdemikian panggilan Roeslan Abdulgani yang bersama suaminya berada di samping ayahnya sampai detik terakhir. Bapak lelah, sudah saatnya pulang, sambung Wati Abdulgani-Knapp, putri kedua Cak Roes. Pihak keluarga tampaknya tak ingin bicara lebih jauh soal medis terkait dengan kondisi kesehatan Cak Roes. Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Martijo Subandono kepada pers mengatakan Cak Roes meninggal karena stroke dan infeksi paru. Ditemani Soeharto Menjelang masuk ICU hari Minggu (19/6), sampai seluruh peralatan selesai dipasang selama lebih kurang satu jam, menurut Wati Abdulgani, mantan Presiden Soeharto ditemani ajudan dan putrinya, Mamiek, menunggui Cak Roes yang sudah tidak bisa berkomunikasi. Bapak terlihat sangat sedih setelah pulang dari menengok Pak Roeslan, begitu kata Mamiek seperti dikutip Wati. Cak Roes dilahirkan di Surabaya tanggal 24 November 1914. Ayahnya seorang saudagar. Ibunya guru mengaji yang mengajarkan toleransi dan memandang ritual agama sebagai kesadaran pribadi. Pendidikan tertingginya diselesaikan di Hunter College dan Barnard College, New York, Amerika Serikat, saat ia menjadi Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di PBB. Pendidikan tertinggi lainnya adalah pengalamannya, khususnya di bidang politik dan kedisiplinannya belajar berbagai hal. Ia menguasai setidaknya empat bahasa asing dengan sangat baik. Cak Roes menduduki berbagai jabatan di pemerintahan sejak Indonesia masih sangat muda. Sampai hari Kamis, 16 Juni 2005, ia masih ngantor di Kantor BP7 di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Dia berperan dalam berbagai konferensi internasional dan menjadi Sekjen Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung. Cak Roes menikah dengan Sihwati Nawangwulan. Kesetiaannya pada kehidupan perkawinan ditunjukkan dengan merawat dan mendampingi sang istri yang menderita alzheimer selama 13 tahun sampai meninggal dunia tiga tahun lalu. Cak Roes meninggalkan lima anak, 10 cucu, dan enam cicit. Tak menyimpan kebencian Sebagai pribadi, Cak Roes tak pernah menyimpan kebencian, bahkan kepada orang yang pernah memfitnahnya. Ia meyakini perjalanan hidup sebagai wilayah abu-abu yang sangat luas. Karena itu, ia setia kepada teman-temannya. âBung Karno orang besar, banyak sahabatnya, banyak musuhnya. Pak Harto juga,â katanya. Cak Roes tak pernah menyesali apa yang telah terjadi. Kepergian Cak Roes adalah kehilangan besar. Dia adalah satu dari sedikit tokoh yang masih hidup, yang terlibat dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau mau tahu sejarah bagaimana dan untuk siapa negeri ini didirikan, Cak Roes adalah orang yang paling tepat menjelaskannya, ujar Siswono Yudo Husodo, yang menganggap Cak Roes sebagai gurunya. Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Pancasila itu melanjutkan, âDia memaknai falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan nasionalisme secara luar biasa, dan konsisten dengan pendirian politiknya tentang Indonesia yang plural.â Bisa dimengerti kalau dalam banyak perjumpaan Cak Roes tak bisa menutupi kerisauannya tentang perkembangan situasi di negeri ini. Bacalah sejarah, belajarlah dari sejarah, katanya mengingatkan. Cak Roes tak pernah lelah belajar. Buku-buku di perpustakaan di lantai dua rumahnya penuh dengan coretan. Karena itu, ia dapat dengan tegas membedakan antara ideologi dan ilmu pengetahuan. Sampai saat terakhir ia masih terus membaca, menulis, dan membuat banyak catatan. Ia tak pernah takut menghadapi kematian. Karena kematian hanya menyangkut raga, tidak pada roh, katanya. Namun, kepergiannya tetap saja sebuah kehilangan, meski ada sentuhan personal yang akan tetap hidup dalam ingatan. Kedatangannya ke kantor saya secara tiba-tiba hanya untuk mengucapkan selamat Natal dan mengantarkan kado Natal berisi buku atau mug tak akan terjadi lagi. Juga nota-nota pendeknya dengan satu kalimat, Apa kabar Ananda? Selamat jalan, Bapak. Beristirahatlah dalam kedamaian. * [Non-text portions of this message have been removed] Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to:
[ekonomi-nasional] Kompas 30-Jun-05: Mengantar Pak Roeslan (Sulastomo, Gerakan Jalan Lurus)
Opini Kamis, 30 Juni 2005 Mengantar Pak Roeslan Oleh: SULASTOMO Kemarin, Pak Roeslan Abdulgani telah mendahului kita. Kita memang sudah harus mengikhlaskan kepergian Pak Roeslan, meski kehadiran tokoh seperti Pak Roeslan justru masih diperlukan. Pak Roeslan adalah tokoh yang dapat menjadi penjaga gawang Republik. Menegur siapa saja yang hendak menyimpang dari cita-cita proklamasi. Hari-hari terakhir Pak Roeslan, sebagai saksi, pelaku dan pemikir perjalanan bangsa, ia termasuk tokoh yang sedang prihatin. Di dalam berbagai kesempatan, ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia prihatin dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi bangsa ini. Tokoh oportunis? Kantor Pak Roeslan menjadi tempat pertemuan orang-orang yang menilai jalannya reformasi perlu diluruskan. Meski ibarat melawan arus, peringatan-peringatan yang disampaikan mulai bersemi. Masa lalu itu tidak akan kembali lagi. Namun, masa sekarang harus merupakan kelanjutan masa lalu. Karena itu, dalam pandangan Pak Roeslan, tidak semua yang terjadi di masa Orde baru jelek, sebagaimana juga tidak semua yang terjadi di masa Orde Lama semuanya jelek. Dalam pandangan Pak Roeslan, Bung Karno dan Pak Harto adalah pemimpin bangsa yang harus dihormati. Kita teruskan hal-hal yang baik, dan kita cermati hal-hal yang tidak baik agar tidak terulang kembali. Sebab, kalau orang besar keliru, kelirunya juga besar. Itulah pesan terakhir Pak Roeslan yang disampaikan kepada putrinya, Mbak Wati, agar kita menyikapinya sesuai falsafah mikul dhuwur mendhem jero. Dengan sikapnya seperti itu, Pak Roeslan sangat dekat dengan Bung Karno, juga dengan Pak Harto. Sikap Pak Roeslan seperti itulah yang menempatkan Pak Roeslan disindir sebagai tokoh sepanjang masa. Bahkan, ada yang mengatakan, Pak Roeslan seorang oportunis. Pak Roeslan membantah pendapat itu. Apa yang dilakukan adalah bagi kepentingan negara, bukan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana layaknya seorang oportunis. Dengan sikap seperti itu, sering menempatkan Pak Roeslan dalam posisi melawan arus. Wajar, karena Pak Roeslan selalu melihat ke masa depan, bukan kepentingan sesaat. Pada zaman Orde Lama, Pak Roeslan adalah tokoh penyeimbang dari pengaruh kaum Komunis/PKI. Pak Roeslan mengerem kebijakan Bung Karno yang menguntungkan PKI. Toh Bung Karno pun amat percaya kepada Pak Roeslan. Bung Karno menyerahkan masalah ideologi bangsa kepada pak Roeslan. Meski pemikiran PKI telah ikut memberi warna ideologi dan politik negara, Bung Karno menyerahkan juru bicara politik dan ideologi kepada Pak Roeslan. Pelaku sejarah dan pemikir Mencermati perjalanan Pak Roeslan selama hampir 91 tahun (lahir 24 November 1914 di Surabaya), tidak berlebih jika kita menyimpulkan, Pak Roeslan adalah seorang pejuang, pelaku sejarah, dan pemikir bangsa. Sebagai pejuang kemerdekaan, Pak Roeslan pernah ditangkap Belanda, berjuang di bawah tanah, ikut pertempuran 10 November di Surabaya, tertembak pesawat Belanda di Yogyakarta dan menderita luka berat, sehingga tangan kanannya cacat. Sebagai pelaku sejarah, Pak Roeslan pernah memimpin organisasi Indonesia Muda, Sekretaris Komite Bersama RI dan Tentara Sekutu, Sekjen Konferensi Asia-Afrika (1955), beberapa kali sebagai menteriâdari Menteri LN, Menteri Penerangan sampai Menteri Koordinator Hubungan dengan RakyatâWakil Ketua DPA dan Dubes RI untuk PBB (1967-1971). Sebagai pemikir, Pak Roeslan banyak menyampaikan pemikirannya melalui berbagai seminar, menulis di surat kabar, sampai sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden Pelaksanaan P4 dari tahun 1971 sampai 1991. Di Era Reformasi, Pak Roeslan adalah anggota Dewan Tanda-tanda Kehormatan RI hingga pada saat kepergiannya. Berkat kualitas pemikirannya, Pak Roeslan dianugerahi tiga gelar doctor honoris causa dari Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Pajajaran (Bandung), dan IAIN Yogyakarta. Pak Roeslan memiliki latar belakang pendidikan HBS dan pernah kuliah di Columbia University, New York, tentang Formasi dan Formulasi Politik LN Amerika dan tentang Perbandingan Agama. Atas semua jasanya kepada negara, Pak Roeslan dianugerahi Bintang Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Mahaputra, dan Bintang Satya Lencana. Semua itu masih ditambah penghargaan dari TNI Angkatan Darat, yang menganugerahkan pangkat kehormatan sebagai jenderal berbintang empat, tahun 1964. Selain itu, juga bintang kehormatan dari negara asing, yaitu Mesir, Austria, dan Yugoslavia. Kini Pak Roeslan telah tiada. Ketika kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melayat di kediaman Pak Roeslan, beliau berkata, âKita wajib mengumpulkan pikiran-pikiran Pak Roeslan yang bertebaran di mana-mana. Tolong saya dibantu,â kata SBY sedih. Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus [Non-text portions of this message have been removed] Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to:
[ekonomi-nasional] Artikel: Catatan Hukum Uji Materiil Pajak Migas
Bisnis Indonesia Harian - Detail Berlangganan Koran Kamis, 30-JUN-2005 Menu Utama Halaman Depan Tajuk Bursa Keuangan Perdagangan Ekonomi Makro Manufaktur Jasa Transportasi Umum Teknologi Informasi Ritel dan UKM Mikro Agribisnis Olahraga Ekonomi Global Finansial Infrastruktur Oasis Opini Otomotif Pertambangan Valas Komoditas Daftar Isi Tabel Bursa Moneter Bursa Efek Jakarta Bursa Efek Surabaya Obligasi Suku Bunga Deposito Suku Bunga Antar Bank Kurs Valuta Kurs Bank Devisa Reksadana Kurs Swap Pasar Uang Antar Bank Bursa Komoditas Transaksi Warrant Transaksi Futures Insurance Linked Kurs Valas Int Kurs Valas Di Pasar Int Produk Perbankan Trans Kontr. Berjangka Indeks Bursa Regional Indeks Bursa Global Pertambangan Catatan hukum uji materiil pajak migas Otonomi daerah telah memanen perlawanan daerah terhadap pusat. Kali ini, instrumennya uji materiil melalui Mahkamah Agung (MA). Awalnya, Pemkab Indra-mayu menerbitkan Perda No.13/2002 tentang Pajak Pengolahan Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), membatalkan perda a'quo melalui Keputusan No.13/2003 tertanggal 10 Maret 2003 (Kepmendagri). Pada 17 Maret 2003 Pemkab Indramayu mengajukan keberatan kepada pemerintah (Mendagri) atas pembatalan perda, tapi tidak dijawab. Berdasarkan Pasal 114 ayat UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah (dicabut dan diganti dengan UU No.32/2004-Pen) mengatur daerah yang tidak menerima keputusan pembatalan perda dapat mengajukan keberatan kepada MA (paling lambat 15 hari
[ekonomi-nasional] Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)
Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun kerajaan Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak mungkin seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb) mengalir ke perusahaan2 AS dan negara AS. Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai perusahaan AS menguras sumber daya alam kita, sehingga keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia sebagian mati kelaparan. RUSH TRANSCRIPT: AMY GOODMAN: John Perkins joins us now in our firehouse studio. Welcome to Democracy Now! JOHN PERKINS: Thank you, Amy. Its great to be here. AMY GOODMAN: Its good to have you with us. Okay, explain this term, economic hit man, e.h.m., as you call it. JOHN PERKINS: Basically what we were trained to do and what our job is to do is to build up the American empire. To bring -- to create situations where as many resources as possible flow into this country, to our corporations, and our government, and in fact weve been very successful. Weve built the largest empire in the history of the world. It's been done over the last 50 years since World War II with very little military might, actually. It's only in rare instances like Iraq where the military comes in as a last resort. This empire, unlike any other in the history of the world, has been built primarily through economic manipulation, through cheating, through fraud, through seducing people into our way of life, through the economic hit men. I was very much a part of that. AMY GOODMAN: How did you become one? Who did you work for? JOHN PERKINS: Well, I was initially recruited while I was in business school back in the late sixties by the National Security Agency, the nation's largest and least understood spy organization; but ultimately I worked for private corporations. The first real economic hit man was back in the early 1950's, Kermit Roosevelt, the grandson of Teddy, who overthrew of government of Iran, a democratically elected government, Mossadeghs government who was Time's magazine person of the year; and he was so successful at doing this without any bloodshed -- well, there was a little bloodshed, but no military intervention, just spending millions of dollars and replaced Mossadegh with the Shah of Iran. At that point, we understood that this idea of economic hit man was an extremely good one. We didn't have to worry about the threat of war with Russia when we did it this way. The problem with that was that Roosevelt was a C.I.A. agent. He was a government employee. Had he been caught, we would have been in a lot of trouble. It would have been very embarrassing. So, at that point, the decision was made to use organizations like the C.I.A. and the N.S.A. to recruit potential economic hit men like me and then send us to work for private consulting companies, engineering firms, construction companies, so that if we were caught, there would be no connection with the government. AMY GOODMAN: Okay. Explain the company you worked for. JOHN PERKINS: Well, the company I worked for was a company named Chas. T. Main in Boston, Massachusetts. We were about 2,000 employees, and I became its chief economist. I ended up having fifty people working for me. But my real job was deal-making. It was giving loans to other countries, huge loans, much bigger than they could possibly repay. One of the conditions of the loanlet's say a $1 billion to a country like Indonesia or Ecuadorand this country would then have to give ninety percent of that loan back to a U.S. company, or U.S. companies, to build the infrastructurea Halliburton or a Bechtel. These were big ones. Those companies would then go in and build an electrical system or ports or highways, and these would basically serve just a few of the very wealthiest families in those countries. The poor people in those countries would be stuck ultimately with this amazing debt that they couldnt possibly repay. A country today like Ecuador owes over fifty percent of its national budget just to pay down its debt. And it really cant do it. So, we literally have them over a barrel. So, when we want more oil, we go to Ecuador and say, Look, you're not able to repay your debts, therefore give our oil companies your Amazon rain forest, which are filled with oil. And today we're going in and destroying Amazonian rain forests, forcing Ecuador to give them to us because theyve accumulated all this debt. So we make this big loan, most of it comes back to the United States, the country is left with the debt plus lots of interest, and they basically become our servants, our slaves. It's an empire. There's no two ways about it. Its a huge empire. It's been extremely successful. AMY GOODMAN: We're talking to John Perkins, author of Confessions of an Economic Hit Man. You say because of bribes and other reason you didn't write this book for a long time. What do you mean? Who tried to bribe you, or who -- what are the bribes you
[ekonomi-nasional] Bisnis 30-Jun-05: Menkeu ingin aturan pajak bebas grey area
Halaman DepanKamis, 30/06/2005 Menkeu ingin aturan pajak bebas grey area JAKARTA (Bisnis): Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan pemerintah memutuskan menyerahkan pembahasan lebih lanjut RUU Perpajakan ke Tim Independen yang diketuai Bambang Subianto, mantan Menkeu yang kini menjadi konsultan senior ErnstYoung. Saya inginkan UU [Pajak] yang baru ini simple, clear, dan gampang ditafsirkan agar tidak terjadi anomali bagi petugas pajak dan wajib pajak. Sehingga semua pihak tahu hak dan kewajibannya masing-masing, katanya di hadapan para pengusaha dan eksekutif yang menghadiri acara penganugerahan Bisnis Indonesia Award 2005, di Jakarta tadi malam. Tim yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Keuangan itu diketuai oleh Bambang Subianto, mantan Menkeu yang kini menjadi konsultan senior ErnstYoung. Anggota Tim ini a.l. John Prasetio (Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Internasional, mantan chairman ErnstYoung), Rahmat Gobel (Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan/bos Panasonik Gobel Indonesia), Gunadi (Direktur Pemeriksaan, Penagihan, dan Penyidikan Pajak Ditjen Pajak), dan I Made Erata (staf ahli Menkeu bidang Penerimaan). Anggota Komisi XI DPR Fuad Bawazier, yang juga mantan Menteri Keuangan, mengingatkan meski telah diberi waktu hingga tiga tahun, Bambang Subianto (saat itu menjabat sebagai Dirjen Lembaga Keuangan, Depkeu) tidak berhasil menyelesaikan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak. Karena tidak jadi-jadi, Menteri Keuangan (saat itu) Mar'ie Muhammad akhirnya menyerahkan tugas tersebut ke saya [saat itu Dirjen Pajak]. Seorang mantan pejabat Ditjen Pajak menyebutkan salah satu poin yang akan diusung oleh Tim Independen ke dalam RUU Pajak adalah ketentuan tentang kesetaraan antara wajib pajak dan petugas pajak. Kadin Indonesia dalam beberapa kesempatan menghendaki agar aparat pajak atau Ditjen Pajak juga dikenakan hukuman/denda jika salah dalam menetapkan pajak terutang, seperti halnya wajib pajak jika terbukti salah menghitung. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah aparat pajak berbuat sewenang-wenang. Untuk itu, Ditjen Pajak harus memperkuat bank data dan profesionalisme pemeriksa pajak. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, akan banyak aparat pajak yang kena hukum atau denda, katanya kepada Bisnis tadi malam. Meski demikian, dia melihat akan muncul masalah mengenai pada tingkat mana kepastian hukum akan dijadikan rujukan. Misalnya, jika Wajib Pajak kalah dalam banding di Pengadilan Pajak namun ternyata menang dalam PK (peninjauan kembali) di Mahkamah Agung, siapa yang akan dihukum? Apakah hakim Pengadilan Pajak yang sepaham dengan petugas pajak juga ikut dihukum? Sederhana dan mudah Menkeu Jusuf Anwar menjanjikan amendemen itu akan membuat UU Perpajakan menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami sehingga tidak ada lagi grey area (daerah abu-abu) yang kerap menjadi sumber sengketa antara wajib pajak dan aparat pajak. Dengan demikian, lanjutnya, praktik KKN dapat dikurangi dan ditekan melalui perbaikan peraturan perpajakan. Jusuf mengatakan amendemen Paket UU Perpajakan 2000 yang terdiri dari UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan disertai dengan penggunaan sistem teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi itu, lanjutnya, akan mengurangi interaksi langsung antara petugas pajak dan wajib pajak yang sering dianggap sebagai 'celah' terjadinya praktek KKN di bidang perpajakan. Kami akan memperbaiki dengan sistem. Sistem online akan menurunkan pertemuan antara wajib pajak dan petugas pajak, ungkapnya. Ditjen Pajak telah memiliki bank data yang jauh lebih lengkap dan baik. Menteri Keuangan, misalnya, bisa langsung klik untuk mengetahui properti milik wajib pajak yang sudah memiliki NPWP. Sekali klik, saya bisa tahu rumah Pak Ciputra [pemilik kelompok bisnis properti Grup Ciputra]. Bisa di-close up, kata Menkeu. Tujuan pembentukan dan pengembangan bank data pajak, menurut Jusuf Anwar, bukan untuk mencari-cari kesalahan wajib pajak tetapi untuk menjamin bahwa wajib pajak membayar pajak sesuai kewajibannya. Kalau tidak ada nilai tambah, untuk apa UU baru? Menkeu menjelaskan perbaikan sistem di Ditjen Bea dan Cukai juga terus dilakukan untuk mengurangi pertemuan antara petugas dan pengguna jasa kepabeanan, selain untuk mempercepat proses penyelesaian pengeluaran barang. Pengembangan Bea Cukai juga begitu dengan sistem komputerisasi yang bagus, sebelum kapal merapat di pelabuhan, Kantor Bea dan Cukai sudah bisa menghitung berapa bea masuk yang harus dibayar. Menurut Jusuf Anwar, amendemen Paket UU Perpajakan 2000, UU Cukai, dan UU Bea Masuk merupakan salah satu upaya pemerintah memperbaiki praktek good governance di tubuh birokrasi. (luz/par) © Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited. [Non-text portions of this message have been removed]
[ekonomi-nasional] OOT: Arrested Development (Children, too, are abused in U.S. prison!!!)
Op-Ed Contributor Arrested Development (Children, too, are abused in U.S. prison!!!) By ARLIE HOCHSCHILD of UC Berkeley Published: June 29, 2005 Berkeley, Calif. LAST month John Miller, director of the State Department's Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, said that half the victims of human trafficking may be children under 18. Children are at the center of the problem of trafficking, which, Mr. Miller noted, is one of the great human rights issues of the 21st century. Yes, children should be at the heart of our concern for human rights. But that concern should start with the children detained in American prisons in Afghanistan, Iraq and Guantánamo Bay. Under international law, the line between childhood and maturity is 18. In communications with Amnesty International and Human Rights Watch, the Pentagon has lowered the cutoff to 16. For this reason among others, we don't know exactly how many Iraqi children are in American custody. But before the transfer of sovereignty from the Coalition Provisional Authority to an Iraqi interim government a year ago, the International Committee of the Red Cross reported registering 107 detainees under 18 during visits to six prisons controlled by coalition troops. Some detainees were as young as 8. Since that time, Human Rights Watch reports that the number has risen. The figures from Afghanistan are still more alarming: the journalist Seymour Hersh wrote last month in the British newspaper The Guardian that a memo addressed to Defense Secretary Donald Rumsfeld shortly after the 2001 invasion reported 800-900 Pakistani boys 13-15 years of age in custody. Juvenile detainees in American facilities like Abu Ghraib and Bagram Air Base have been subject to the same mistreatment as adults. The International Red Cross, Amnesty International and the Pentagon itself have gathered substantial testimony of torture of children, bolstered by accounts from soldiers who witnessed or participated in the abuse. According to Amnesty International, 13-year-old Mohammed Ismail Agha was arrested in Afghanistan in late 2002 and detained without charge or trial for over a year, first at Bagram and then at Guantánamo Bay. He was held in solitary confinement and subjected to sleep deprivation. Whenever I started to fall asleep, they would kick at my door and yell at me to wake up, he told an Amnesty researcher. They made me stand partway, with my knees bent, for one or two hours. A Canadian, Omar Khadr, was 15 in 2002 when he was captured in Afghanistan and interned at Guantánamo. For 2½ years, he was allowed no contact with a lawyer or with his family. Seventeen-year-old Akhtar Mohammed told Amnesty that he was kept in solitary confinement in a shipping container for eight days in Afghanistan in January 2002. A Pentagon investigation last year by Maj. Gen. George Fay reported that in January 2004, a leashed but unmuzzled military guard dog was allowed into a cell holding two children. The intention was for the dog to 'go nuts on the kids,' barking and scaring them. The children were screaming and the smaller one tried to hide behind the larger, the report said, as a soldier allowed the dog to get within about one foot of them. A girl named Juda Hafez Ahmad told Amnesty International that when she was held in Abu Ghraib she saw one of the guards allow his dog to bite a 14-year-old boy on the leg. Brig. Gen. Janis Karpinski, formerly in charge of Abu Ghraib, told Maj. General Fay about visiting a weeping 11-year-old detainee in the prison's notorious Cellblock 1B, which housed prisoners designated high risk. He told me he was almost 12, General Karpinski recalled, and that he really wanted to see his mother, could he please call his mother. Children like this 11 year old held at Abu Ghraib have been denied the right to see their parents, a lawyer, or anyone else. They were not told why they were detained, let alone for how long. A Pentagon spokesman told Mr. Hersh that juveniles received some special care, but added, Age is not a determining factor in detention. The United States has found, the spokesman said, that age does not necessarily diminish threat potential. It's true that some of these children may have picked up a stone or a gun. But coalition intelligence officers told the Red Cross that 70 percent to 90 percent of detainees in Iraq are eventually found innocent and released. Many innocent children are swept up with their parents in chaotic nighttime dragnets based on tips from unreliable informants. We know of children under 15, Clarisa Bencomo of Human Rights Watch told me, held for over a year at Guantánamo Bay, whom the government later said were not security risks. Even if a child is found guilty, he or she should be treated humanely, rather than tortured or rendered, as the C.I.A. puts it, to third parties that torture. AMBASSADOR MILLER is right. Children matter. To really place