[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [4-- SELESAI]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 5. MENGEMBANGKAN SISTEM JARINGAN: Melalui kerangka pikiran yang mendasari kelahiran KMB yang disiarkan oleh Manik Praba, nampak bahwa KMB memperhatikan masalah pengembangan sastra-seni dengan sistem jaringan kemitraan baik lokal, nasional, rejional dan internasional. Sistem ini jika diterapkan dengan baik, saya kira akan mampu mengerahkan semua potensi yang terdapat di negeri kita dan unsur-unsur solidaritas manusiawi dari luar. Langsung tidak langsung dengan sistem ini kita melepaskan diri dari jaring jalan kesempitan dan kepongahan sektarisme, serta menempatkan standar tinggi dalam pekerjaan berkesenian. Sistem jaringan juga berarti menggalang kerjasama saling bantu dan mendorong maju seluruh jaringan yang bekerjasama. Sistem ini pun akan berdampak pada usaha penghancuran monopoli nilai dan sentralisme yang kiranya bukan padanan atau tidak compatiblee dengan bhinneka tunggal ika. Saya kira, kalau pemahaman saya benar, titik-titik inilah yang tersirat dalam kata-kata Manik Praba ketika menjelaskan kelahiran KMB: "Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antar pekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia". Barangkali perumusan dasar pemikiran demikian merupakan hasil kesimpulan KMB atas pengalaman berkomunitas selama ini.Perumusan demikian sekaligus menggambarkan suatu program sadar KMB di hari ini, esok dan esoknya lagi...seperti halnya Pernyataan Gelanggang atau Mukaddimah Lekra tidak lain adalah suatu program budaya juga yang dirumuskan secara teoritis. Karena itu barangkali jika prinsip-prinsip umum yang mendasari kegiatan KMB seyogyanya dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang matang rapi. 6. Menjaga Mutu: Hal lain yang ingin saya garisbawahi adalah bagaimana dalam kegiatan-kegiatannya, KMB bisa selalu menjaga mutu baik mutu diskusi, mutu pembicara, mutu topik bahasan, mutu organisasi. Mutu, saya kira, akan berhubungan dengan wibawa, martabat dan pengaruh serta akan bergaung jauh. Ecek-ecek memang satu mutu juga tapi hasilnya pun akan ecek-ecek juga. Dilihat dari komposisi pengurus KMB, pengalaman dan daya kreativitas, kemampuan kerja mereka, saya kira saya tidak akan terlalu salah mengungkapkan kepercayaan. 7. Soal Dana: Dalam berkesenian sering dan sangat sering kita berhadapan dengan kesulitan dana. Dalam soal ini, atas dasar pengalaman pribadi yang sangat sedikit dan sederhana, saya tetap bertolak tidak dari dana melimpah. Dana melimpah kalau tidak dikelola dengan baik akan sirna dalam sekejap mata. Mengelola adalah menyangkut masalah kemampuan dan mutu manusia. Manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab inilah yang menjadi huruftebal saya dalam soal ini. Apabila sekarang kita tidak punya dana, tapi punya barisan manusia demikian, kiranya dana bisa dicari oleh manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab itu. Barangkali pengalaman saya keliru dan atau saya keliru menyimpulkannya. Dengan tulisan ini saya sekaligus menyambut kelahiran KMB yang sejak tangis pertamanya sudah mengemban beban besar negeri dan bangsa serta kemanusiaan yang menagih jawab.Hormat!*** Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [SELESAI] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [3]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 4. PRINSIP KETERBUKAAN DAN KEMAJEMUKAN: Yang saya maksudkan dengan keterbukaan adalah pertama-tama tidak menjadikan pandangan agama atau ideologi tertentu sebagai dasar komunitas sehingga komunitas terbuka bagi siapa saja dari aliran, pandangan dan kepercayaan apapun. Prinsip ini, saya kira sesuai dengan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan: bhinneka tunggal ika. Kalau ditanya lalu, mau ke mana, prinsip apa yang mendasari komunitas maka saya kira jawabannya adalah prinsip-prinsip republiken dan keindonesia sebagai bimbingan dalam memanusiawikan manusia, masyarakat dan kehidupan, prinsip yang saya kira mendasari lahirnya sastra-seni itu sendiri. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini maka konsep sastra-seni kepualauan terdapat di dalamnya. Atas dasar ini maka sentralisme atau monopoli standar akan berada pada kutub lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip republiken dan keindonesia, sebagai bagian dari prinsip-prinsip manusiawi. Saya mengkhawatirkan apabila melepaskan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan yang berhakekatkan menntang pikiran tunggal [la pensée unique], kita akan terjerat oleh sektarisme dan fanatisme yang anti kemajuan bahkan anti sejarah.Ketepatan memilih prinsip banyak menentukan perkembangan suatu komunitas. Yang sektaris tidak bakal berkembang sekali pun nampaknya pada suatu saat berkembang maju dan didukung oleh dana kuat, tapi karena ia tidak tanggap zaman dan tidak aspiratif ia lambat-laun akan jenuh sendiri dan terkubur oleh kecupetannnya.Kecupetan dan sektarisme pada galibnya tidak lain dari liang kuburan. Masalah prinsip ini saya ajukan agar bisa dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh pengurus KMB sambil menarik pelajaran dari komunitas-komunitas terkemuka sekarang seperti TUK dan FLP misalnya. Jika ada di antara para anggota KMB yang berbicara tentang kemasyhuran, saya kira, kemasyhuran bukanlah tujuan. Kemasyhuran erat hubungannya dengan kerja dan penerimaan masyarakat serta haridepan yang diawali oleh pilihan prinsip yang tanggap dan aspiratif. Dalam hal ini saya tidak menganggap TUK dan FLP sangat tanggap dan aspiratif sekali pun nampak bernama. Tapi kedua lembaga itu menyediakan pengalaman berharga bagi KMB. Apakah yang ditawarkan oleh TUK dan FLP untuk negeri dan republik ini dalam pengertian tanggap dan aspiratif dilihat dari segi nasion? Dengan segala keterbatasan dana, barangkali apa yang dilakukan oleh Halim HD dan kawan-kawannya di berbagai daerah, saya jauh lebih tanggap dan aspiratif bagi bangsa, negeri dan republik ini karena itu ia terus berkembang. Saya harap, pendapat ini tidak dianggap sebagai suatu serangan tapi lebih menyangkut pertanyaan prinsip dalam membangun sastra-seni di negeri kita. Pertanyaan prinsip akan bisa terangkat jika kita bisa membaca keadaan negeri dan bangsa secara nyata dengan tujuan tunggal memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, karena bagi saya sastra seni tidak lepas dari tujuan ini. Sekali pun KMB belum merincikan prinsip dan programnya atas prinsip pilihannya, tapi melalui pengenalan pribadi demi pribadi di dalam kepengurusannya dan juga dari kerangka pemikiran yang mendasari didirikannya KMB seperti yang dibeberkan oleh Manik Praba dalam tulisannya di berbagai milis tentang KMB, saya menaruh harapan besar bahwa KMB bisa menempuh jalan alternatif dengan menimba pengalaman dari praktek komunitas-komunitas yang ada sekarang. Kalau KMB hanya mengikuti mentah-mentah apa yang sudah ada, saya tidak yakin KMB akan membesar dan berkembang di seluruh negeri seperti berkembangnya "mata bambu". Tidak juga bakal bisa menjadi katalisator komunitas-komunitas.Keunggulan dan kekurangan komunitas-komunitas yang ada sekarang tentunya merupakan lumbung pelajaran yang berharga.Kemampuan menimba pelaran dari lumbung pengalaman ini berarti KMB melangkah setindak di depan. Kerangka pikiran yang mendasari lahirnya KMB, 15 Juli 2005 adalah: -"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia. -Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum terhadap kesenian dan kebudayaan; -Perlu dikembangkan situasi kehidupan yang kondusif dan layak bagi para pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. -Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang digelutinya. -Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya kondisi kehidupan mereka" [Manik Praba, 21 Juli 2005]. Apabila mengamati kerangka pikiran di atas barangkali yang kurang digarisbawahi adalah sikap keterbukaa
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [2]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 1.Kerjasama Majalah Sastra-Budaya "Aksara" dan KMB. Sejauh yang saya amati, hubungan antara Majalah Aksara dan KMB, kalau amatan ini benar, lebih bersifat kerjasama kemitraan erat saling menguntungkan dan saling tunjang. Artinya dua lembaga ini masing-masing berdiri independen. Sejauh ini belum ada pernyataan bahwa Majalah Aksara merupakan organ dari KMB. Adanya kerjasama begini secara tersirat memperlihatkan bahwa antara keduanya terdapat kesejajaran orientasi. Kalau tidak mana mungkin akan terjalin suatu kerjasama. Melalui kerjasama demikian, kegiatan-kegiatan KMB bisa disebarluaskan. Untuk sebuah organisasi, organisasi apa dan bagaimana pun, adanya sebuah media senantiasa mempunyai arti penting. Sebaliknya Majalah Aksara dengan kerjasama ini mendapatkan tempat leluasa di TIM oleh berpangkalnya KMB di TIM sebagai salah satu pusat kegiatan sastra-seni tak terabaikan di Jakarta. Dengan demikian maka Majalah Aksara pun mendapatkan serta telah mengambil tempatnya di kalangan dunia sastra-seni ibukota. Melalui kerjasama kemitraan dengan Majalah Aksara, KMB pun di lain sisi bisa memanfaatkan pelaksanaan program-programnya antara lain dengan menggunakan jaringan kerja yang ada pada Majalah Aksara yang nampaknya terus berkembang. Dilihat dari segi organisasi, adanya jaringan-jaringan kerja di berbagai tempat yang dikembangkan dan terus dikembangkan oleh Majalah Aksara, saya kira mempunyai arti penting. Dengan cara ini, Majalah Aksara dan KMB bisa menumbuhkan janin gerakan kebudayaan -- mungkin alternatif -- bagi bangsa dan negeri yang sedang ditimpa oleh krisis multi dimensional sekarang ini. Tumbuhnya gerakan kebudayaan dari bawah berbasiskan komunitas-komunitas sastra-seni di berbagai daerah dan pulau, secara pandangan optimistik, bisa diharapkan memobilisasi seluruh kearifan dari bawah yang barangkali mampu menawarkan alternatif budaya bagi negeri dan bangsa. Kerjasama Majalah Aksara-KMB dengan demikian membuat para pendukungnya keluar dari langit kecupetan bersifat setempat. Jika orientasi ini dilaksanakan dengan konsekwen, bukan tidak mungkin keduanya bisa memainkan peran katalisator bagi komunitas-komunitas yang ada dan akan ada. Mendorong dan mengembangkan lebih lanjut baik dari segi kualitas mau pun kuantitas komunitas-komunitas yang ada.Lahirnya komunitas-komunitas sastra-seni ini merupakan kreativitas dari angkatan sekarang dalam berkesenian, cara mengorganisasi diri yang berbeda cara-cara pada masa pemerintahan Soekarno. 2. PROGRAM: Hal lain yang menarik perhatian saya pada KMB adalah adanya program jelas yang menyertai kelahirannya. Adanya program ini memperlihatkan bahwa komunitas baru ini bekerja secara terancang dan bukan insidentil. Terancang dengan tujuan serta orientasi yang jelas. Dan program ini, jika disimak benar mencakup program mendesak, program jangan pendek dan jangka panjang. Program-program ini didukung oleh sebuah struktur organisasi yang padan untuk melaksanakannya. Dari adanya sturuktur organisasi dan program serta komposisi para penanggungjawabnya, saya melihat samar-samar adanya gambaran tentang pola gerakan kebudayaan yang diimpikan oleh KMB-AKSARA. Ciri-ciri ini memperlihatkan bahwa kegiatan KMB-AKSARA bukanlah kegiatan spontan. Betapa pun kecil kegiatannya pada suatu ketika, tapi yang kecil itu merupakan ujud dari suatu mimpi besar dan bukan suatu kegiatan spontan, melainkan suatu aktivitas budaya sadar guna mencapai tujuan. 3. ALIANSI BERBAGAI ANGKATAN: Apabila mengamati susunan pengurus KMB, nampak pada saya bahwa komunitas baru ini mencoba menyatukan potensi dan kearifan serta pengalaman berbagai angkatan sastrawan-seniman. Di dalam kepengurusannya ada nama-nama Sides Sudyarto yang berbeda dari angkatan Manaek Sinaga. Sedangkan angkatan Manaek berbeda pula dari angkatan Dody Iskandar, Donny Anggoro atau Henny Purnama atau pun Faiz Manshur. Potensi, kemampuan, kearifan dan kemungkinan-kemungkinan berbagai angkatan ini agaknya ingin dihimpun oleh KMB sebagai satu kekuatan.Dari susunan kepengurusannya, tertangkap oleh saya, kesadaran para anggota komunitas bahwa masing-masing angkatan punya tempat dan guna. Tidak terlihat pandangan saling hujat dan meremehkan seperti "Ah kau angkatan tua bangka" atau "Huh, bacot gede, padahal baru anak kemarin sore!". Latar pengalaman para anggota dan pengurus pun sangat beraneka. Pengalaman Manik Praba berbeda dengan Sides, dengan Donny Anggoro, Moyak, Faiz Manshur, Arie MP Tamba dan lain-lain.. Pengalaman perbedaan yang juga mau diorganisasi menjadi suatu kekuatan oleh KMB atas dasar "asas kebersamaan dan kekeluargaan". Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Bersambung] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabat
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI [1]MATA BAMBU DI JAKARTA
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [1] Pada tanggal 15 Juli 2005 sejumlah sastrawan-seniman dan budayawan dari berbagai generasi, termasuk yang berhimpun di sekitar Majalah Sastra-Budaya Akasara , Jakarta telah mendirikan sebuah komunitas baru menambah jumlah komunitas yang sudah ada. Komunitas baru ini dinamai Komunitas Mata Bambu [|KMB] yang bersekretariat di: Gedung PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat [Telp: (021) 31936641; E-mail: [EMAIL PROTECTED] ]. Adapun susunan pengurusnya tersusun sebagai berikut: Dewan Pengurus Komunitas matabambu adalah: 1. Manaek Sinaga (Manik Praba) 9. Dody Iskandar (Moyank) 2. Arie MP Tamba 10. Henny Purnama Sari 3. Maroeli Simbolon11. Faiz Manshur 4. Endo Senggono 12. Akhmad Sekhu 5. Sides Sudyarto 13. Mahanani Burhan (Nani) 6. Imam Maarif 14. Farah Farida 7. Nuruddin Asyhadi15. Harna Silwati Silvi 8. Ahmad Nurullah 16. Donny Anggoro dengan penanggung jawab harian: -Ketua Komunitas: Sides Sudyarto -Sekretaris Komunitas: Manaek Sinaga -Humas Komunitas: Arie MP Tamba -Bendahara dan Sponsorship: Henny Purnama Sari -Divisi Penerbitan: Nuruddin Asyhadi KMB ini didirikan atas dasar pertimbangan "bertitiktolak pada pemikiran bahwa" bahwa di negeri ini: -"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia. -Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum terhadap kesenian dan kebudayaan; -Perlu dikembangkan situasi kehidupan yang kondusif dan layak bagi para pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. -Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang digelutinya. -Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya kondisi kehidupan mereka". Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 15.00, di PDS HB. Jassin-TIM, Jakarta, KMB akan mengumumkan secara resmi eksistensinya sekaligus meluncurkan antologi puisi JJ. Kusni berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta [Agustus 2005]. "Sansana" adalah salah satu bentuk puisi rakyat Dayak daerah Katingan, Kalimantan Tengah yang masih sangat hidup sampai sekarang. Menurut keterangan bocoran yang saya peroleh, kegiatan pertama ini akan segera disusul oleh kegiatan-kegiatan terencana lainnya seperti: Diskusi Iwan Simatupang (September 2005), Heroisme (Oktober 2005), Diskusi Maskulinisme vs Feminisme (November 2005). Di samping kegiatan-kegiatan berupa peluncuran buku dan diskusi seperti di atas, KMB juga mempunyai program pendidikan, pengkajian, penerbitan dan memperkokoh sistem kerja jaringan baik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Dalam melaksanakan program-programnya, sejak berdiri, nampaknya, KMB menjalinkan kerjsama erat dengan Majalah Sastra-budaya Aksara, Jakarta yang dipimpin oleh Manaek Sinaga. Kerjasama yang didasarkan pada "asas kebersamaan dan kekeluargaan" yang dipilih oleh KMB sebagai prinsip kerjanya. Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Bersambung] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?
JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF? Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli lalu di Sandakan, Sabah, Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir. Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil pertemuan yang menggunakan label "sastrawan Borneo-Kalimantan" ataukah kembali membuktikan sikap elitis pertemuan yang tidak menyandarkan diri pada sastrawan-seniman dan komunitas-komunitas sastra-seni daerah-daerah yang di atasnamainya? Ataukah kedua-duanya? Apa pun alasan sebenarnya, kukira, pertemuan Sandakan itu dalam kenyataannya merupakan pertemuan para pejabat pemerintah di bidang kebudayaan dengan mengatasnamai sastrawan-seniman dan Borneo-Kalimantan. Apa pun juga alasan sebenarnya, dan pilihan yang diajak serta oleh panitya, kukira tetap menunjukkan suatu orientasi atau politik kebudayaan elitis dan ekslusif serta mengawang tidak membumi dari Pertemuan Sandakan. Terkesan padaku, dengan orientasi begini, penanggungjawab Pertemuan Sandakan merasa diri sebagai baron-baron kebudayaan, sebagai "pangkalima-pangkalima " jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan, Kalteng. Pangkalima tanpa bala. Apakah "pangkalima-pangkalima" sastra tanpa bala ini, kecuali bersandar pada kemampuan uang, mempunyai keperkasaan "memungkas gunung", "menimba tasik atau laut" seperti yang dilukiskan oleh legenda Oloh Dayak Katingan? Jawabannya sudah dijawab dengan orientasi dan sunyinya gema Pertemuan Sandakan di Kalimantan kecuali di segelintir hadirin yang adalah pejabat budaya yang jauh dari bumi nyata. Barangkali pertemuan begini kelak selanjutnya tidak lagi menggunakan label "sastrawan Borneo-Kalimantan" tapi "pertemuan antar pejabat" budaya karena aktor nyata dan berjasa sudah diabaikan. Kalau evaluasiku keliru, aku menagih panitya menyebarluaskan hasil pertemuan, paling tidak ke seluruh Borneo dan Kalimantan. Rahasia negarakah? Amboi, amboi tuan-tuan yang terhormat. Mana pula ada hubungan kerja sastrawan dengan rahasia negara? Apakah aku berhak menagihnya? Ya! Karena aku termasuk orang Kalimantan dan tidak seorang pun bisa menegasi asal kelahiranku yang telah digunakan oleh Pertemuan Sandakan. Dari informasi-informasi yang kemudian kudapatkan ternyata yang hadir dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah pejabat-pejabat juga, dan dari Kalimantan Tengah atau Selatan tidak kudapatkan berita bahwa komunitas-komunitas sastra-seni , aktor-aktor sastra-seni daerah-daerah trebut telah turut menyemaraki Pertemuan Sandakan. Institut Dayakologi Pontianak [ID], sebuah lembaga berwibawa dalam masalah kebudayaan di Kalbar yang berkegiatan sudah berdasawarsa dan sudah melakukan usaha-usaha pemberdayaan serta sumbangan nyata dalam bidang kebudayaan, sama sekali tidak diundang. Karena merasa mempunyai tanggungjawab atas kehidupan kebudayaan di pulau raya Kalimantan/Borneo, majalah Kalimantan Review, organ ID, secara berprakarsa mengirimkan wartawannya. ID sendiri sebagai sebuah lembaga sama sekali tidak digubris, demikian juga Komunitas Terapung, Lembaga Penelitian Dayak21 di Palangka Raya, Kalteng, apalagi Komunitas Meratus di Kalsel. Aku menaruh perhatian pada pertemuan antar Borneo-Kalimantan karena inti prakarsa demikian kukira penting , lebih-lebih jika dilihat dari perspektif pulau. Melalui pertemuan-pertemuan demikian sebenarnya kita bisa sejak dini, sejak hari ini merancangkan dasar kerjasama antar negara yang terdapat di pulau , dasar dari suatu haridepan yang bukan hanya menjadi urusan pejabat yang sering buta aksara dalam bidang budaya. Dari segi ini, kukira sifat eksklusif baronisme dan "anak raja"isme jika menggunakan istilah penyair Perancis, Paul Elouard, tidak akan pernah tanggap dan aspiratif. Yang kuharapkan dalam pertemuan berikut, penyelenggara mempertimbangkan aktor-aktor budaya di lapangan. Mengangkat dan membahas masalah nyata kehidupan sastra-seni di bumi nyata pulau, bukan rekaan akademik dan imajiner atau bahkan sama sekali menjauhkan atau membiarkannya bagai sabut hanyut di sungai. Tidak memperhatikan aktor sastra-seni berwibawa di lapangan dan menjadikan permasalahan nyata sebagai sabut atau busa [buré-- bahasa Dayak Katingan] , hanya menjadikan pertemuan sebagai tempat "berbual-bual kosong", bertamasya dengan beaya negara yang dipungut dari pajak atas rakyat. Kalau ulah begini dipandang sebagai kesalahan, tentu saja kesalahan yang dilakukan sampai delapan kali pertemuan, masih bisa dikoreksi pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Tapi terjadi memang bahwa keledai tersandung di batu yang sama. Apakah manusia sejenis keledai? Ba
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [2-- SELESAI]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM. 2. Pernyataan ini pun barangkali memperlihatkan suatu proses perkembangan tertentu di kalangan komunitas Dayak. Apa dan bagaimanakah proses perkembangan tertentu itu? Diumumkannya Pernyataan ini berguna, karena jika terjadi apa-apa yang berbentuk lain jika pernyataan ini tidak diindahkan khayalak ramai tidak akan heran dan tahu jalan perkembangannya serta asal muasal kejadian, tidak secara gegabah menuding komunitas Dayak sebagai komunitas yang suka perang dan kekerasan. Pernyataan ini juga merupakan usaha membentuk dan menyiapkan pendapat umum baik di tingkat lokal, nasional mau pun iternasional. Aku tidak tahu, apakah ketika mengumumkan pernyataan ini, pihak Komunitas Punan Hulu Kelay sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya yang kongkret, sehingga pernyataan tidak tinggal di pernyataan atau kata-kata di atas kertas tanpa wibawa. Untuk suatu komunitas yang tinggal di pedalaman dan bahkan dikelompokkan pada "suku terasing", penggunaan pernyataan sebagai sarana membela dan memperjuangkan hak asasinya bukanlah hal yang umum, apalagi menggunakan media massa elektronik dan disebarkan melalui milis yang sepadan dengan permasalahan. Memperhatikan gejala ini, besar dugaanku bahwa penggunaan metode perjuangan begini, kiranya tidak lepas dari peranan para cendekiawan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay yang sudah balik kampung. Dugaan ini diperkuat oleh pengorganisasian orang-orang Dayak Punan Hulu Kelay dalam bentuk Komunitas yang sangat lazim sekarang ini. Dari komposisi penandatangan Pernyataan, dugaan ini memperoleh penguatan baru lagi di mana bentuk organisasi "modern" dan "tradisional" dipadukan sehingga antara keduanya ada sambungan. Modern dan tradisi bergabung jadi satu kekuatan, yang modern mendasarkan diri pada budaya lokal yang sudah ada [baca:tradisional]. Jika dugaan ini benar maka di sini aku melihat betapa kearifan dan kebudayaan lokal dijadikan dasar untuk pemberdayaan dan pembangunan bersolidaritas memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, jalan yang dirumuskan oleh Prof.Dr.Sayogjo sebagai "Jalan Kalimantan". Masalah ini adalah masalah konsepsional, masalah urgen patut dipecahkan sebelum kita bertindak dan mengorganisasi diri untuk menjadi tuan atas nasib diri dan di kampung kelahiran sendiri. Untuk mewujudkan "Jalan Kalimantan" ini, penyatuan diri para pemuda-pemudi Dayak yang terdidik dengan mayoritas warga komunitas di daerah-daerah terpencil baik di hulu atau di hilir, akan mempunyai arti sangat strategis. Barangkali keluarnya pernyataan Komunitas Dayak Punan Hulu Kelay ini hanya menegaskan kembali kepentingan ini. Untuk sanggup menyusup hingga ke hulu-hulu yang jauh dari segala fasilitas memang diperlukan keteguhan komitmen dan meresapnya suatu wawasan kemanusiaan di dalam diri orang-seorang. Keteguhan ini pun akhirnya seperti ujar orang Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" juga adanya. Jika dugaan di atas benar, maka ia menggarisbawahi arti pentingnya agar para mahasiswa-mahasiswa Dayak yang sedang belajar di mana pun di luar Kalimantan sekarang untuk pulang kampung begitu mereka selesai dengan studi mereka dan bukan keasyikan di rantau yang memberi kenyamanan dan fasilitas lebih dari di kampung. Jika mau berbicara terus-terang, tanpa menyimpan pengertian sukuisme sempit atau ethnosentrisme apalagi tutuppintuisme, tapi secara kenyataan dan pengalaman sejarah, aku sama sekali belum percaya pemberdayaan dan pembangunan daerah bisa ditangani secara tanggap dan aspiratif oleh etnik-etnik lain. Tidak pernah ada buktinya etnik lain membawa perobahan maju untuk komunitas Dayak. Yang banyak buktinya adalah penggarongan dan pengurasan kekayaan daerah. Kalimantan Tengah lahir dan berkembang adalah karena bersandar pada usaha dan kegiatan, dengan darah dan keringat serta pengorbanan putera-puteri daerah Kalteng sendiri. Jika putra-puteri daerah tidak mau kembali sesudah studi mereka selesai, maka bukanlah salah langit dan bumi, apalagi kesalahan pihak etnik pendatang baru jika komunitas Dayak terpinggirkan. Untuk keluar dari keadaan terpinggir dan terpuruk, kukira Dayak patut jadi etnik yang bermutu dan bukan jadi etnik budak kekinian yang loyo tidak punya harga diri, jati diri dan merelakan diri kehilangan martabat lalu menempatkan uang sebagai raja, memburu dengan segala cara tanpa malu-malu gelar-gelar semu hasil pembelian. Yang diperlukan komunitas Dayak dan negeri ini, kukira, pertama-tama dan di atas segalanya adalah manusia yang bermutu, berwatak dan berkomitmen republiken dan berkeindonesiaan. Gelar bukanlah jaminan menjadi manusia demikian. Untuk Tanah Dayak barangkali pertama-tama yang diperlukan adalah manusia pemimpi dan pejuang dan pejuang-pemimpi bermutu daripada orang-orang bergelar semu dan tanpa nyawa. Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Selesai] [Non-text portions
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [1]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM. 1. Komunitas Masyarakat Punan Kelay, salah satu sub-etnik masyarakat Dayak yang hidup di pedalaman Kalimantan Timur, dan kalau tidak salah ingat, oleh Orde Baru dipandang sebagai salah satu suku terasing yang patut diberadabkan sehingga patut dipindahkan dari kampung-halaman mereka ke daerah perkotaan untuk mendapat bias yang disebut peradaban, pada tanggal 30 Juni 2005 telah mengeluarkan pernyataan tertulis terhadap apa yang sedang menimpa mereka sejak berdasarwarsa hingga sekarang. Pernyataan tertulis ini disiarkan pada 07 Juli 2005 melalui berbagai milis antara lain [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Lengkapnya pernyataan Komunitas Masyarakat Punan Kelay itu berbunyi sebagai berikut: Teman-teman yang baik, salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA daerah kami, semoga berkenan. salam lestari, Zenas Daring Pernyataan Long Suluy Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay) (Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay. Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak: 1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara turun-temurun 2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan 3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun 4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam 6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita. Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami ke depan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. Long Suluy, 30 Juni 2005 Kami yang membuat pernyataan: Ditandatangani oleh: * Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay * Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten Berau*** [Sumber:Punan Hulu Kelay;[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] com ;[EMAIL PROTECTED];Thursday, July 07, 2005 4:54 PM]. *** APA ARTI PERNYATAAN INI? Pernyataan ini pertama-tama kubaca terutama sebagai munculnya isyarat baru di kalangan masyarakat Dayak yang hidup jauh di pedalaman, pesan serius dari kalangan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay. Isyarat tentang adanya suatu kebangkitan baru di kalangan orang-orang yang dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai "suku terasing" atau "primitif" sehingga seperti halnya dengan semua Dayak dipandang sebagai lambang dari segala keburukan, kejahatan dan yang negatif: "Dajakkers". Jika menggunakan lambang-lambang budaya Dayak, maka kebangkitan ini bisa digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya sebagai peringatan serius diucapkan dengan tenang secara Dayak, di alamatkan kepada siapa saja: "Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan alam lainnya yang akan menjadi bencana
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ESTETIKA KEPRIHATINAN
JURNAL KEMBANG KEMUNING: "ESTETIKA KEPRIHATINAN" Ungkapan ini adalah ungkapan yang kuambil dari tulisan Halim HD, budayawan Solo asal Banten dalam salah satu komentarnya ketika menyertai diskusi tentang Manikebu versus Lekra di milis [EMAIL PROTECTED] . Sayangnya Halim HD tidak menjelaskan lebih rinci lagi konsep "estetika keprihatinan", konsep yang ia anggap layak dimiliki oleh para sastrawan-seniman. Tapi sekali pun demikian, kita !mengenal Halim HD dari dekat, maka kita, kuranglebih, kita tidak akan memperoleh kesulitan memahami apa yang ia maksudkan dengan "estetika keprihatinan" itu. Selain banyak bepergian ke berbagai daerah dan pulau dalam rangka mewujudkan konsep "sastra kepulauan", di Solo, Halim HD sangat akrab dengan kehidupan masyarakat lapisan bawah yang merupakan dasar dari suatu piramida masyarakat. Munculnya penyair Wiji Thukul yang berasal dari lapisan masyarakat dan tetap akrab dengan kehidupan lapisan bawah sampai ia "hilang" tak tentu rimba dan lautnya, jika mau jujur, kiranya tidak lepas dari jasa budayawan Solo ini juga. Halim dan seorang temannya jugalah yang mengajukan nama Wiji Thukul agar mendapatkan Wertheim Award. Dan usul ini berakhir dengan diberikannya Wertheim Award pertama kepada Wiji Thukul, bersama-sama dengan Pramoedya A.Toer dan Rendra. Ketika mengajukan nama Thukul ke Yayasan Wertheim, tidak ada sebuah pun antologi puisi Wiji Thukul yang diterbitkan. Yang dijadikan bahan adalah karya-karya berupa fotokopie yang dilakukan oleh Halim HD sendiri dan fotokopie ini diberikan oleh Halim HD kepada teman-teman dekatnya. Halim HD memang banyak menulis dan bekerja di lapangan tapi sejauh pengetahuanku belum ada satu buku pun yang telah ia terbitkan. Ia sibuk dengan kepentingan orang banyak dan kepentingan umum, ciri umum dari seorang networker kebudayaan yang mempunyai rasa solidaritas tinggi tapi karenanya juga menjadi peka pada ketidakadilan. Dalam pengembangan kebudayaan negeri ini, kukira, peran networker tidak bisa diremehkan. Sastra-seni memang pekerjaan kreatif yang umumnya bersifat individual, tapi pekerjaan kreatif individual ini bisa mencapai skala lebih jauh lagi berkat jasa networker yang pada tahun 1960an disebut sebagai pekerjaan organisatoris. Tidak semua orang mampu mengerjakannya. Seorang networker atau organisator kebudayaan, selain memerlukan kemampuan mengorganisasi, ia pun diminta memiliki wawasan, pengetahuan dalam serta bisa menciptakan karya-karya sastra-seni juga. Tidak jarang organisator kebudayaan menjadi tidak produktif berkarya. Karyanya ia alihkan ke dunia pengorganisaian kegiatan berkesenian. Berdasarkan pengenalan ini, maka ketika ia mengentengahkan konsep "estetika keprihatinan", kukira "keprihatinan" yang ia maksudkan tidak jauh, kalau bukan yang utama dan terutama, adalah keprihatinan kepada kehidupan masyarakat luas, terutama lapisan bawah yang merupakan mayoritas penduduk dan dasar dari piramida masyarakat. Sehingga ketika Halim HD mengetengahkan konsep "estetika keprihatinan" kukira dengan pengajuan ini, Halim HD sedang menawarkan usulan agar para sastrawan-senima menaruh perhatian kepada masyarakat, terutama yang menjadi dasar piramida masyarakat. Dengan mengatakan bahwa "keprihatinan" ini sebagai suatu "estetika", kukira Halim HD sedang menghimbau agar para sastrawan-seniman mempunyai "keprihatinan" kemasyarakatan dan keprihatinan kemasyarakatan ini ia bukan lagi suatu "keprihatinan" biasa tapi sudah merupakan suatu estetika. Dengan mengangkat masalah "keprihatinan" ke tingkat "estetika" maka dengan ini sebenarnya Halim HD sudah menjadikan "keprihatinan" ini sebagai standar atau patokan atau tolakukur karya dan kegiatan berkesenian. Dengan mengangkat "keprihatinan" ke tingkat "estetika", kukira Halim HD sekaligus secara tidak langsung mengkritik sikap pamer dan iklan diri tanpa malu-malu seorang seniman. Pamer dan iklan belum jaminan mutu tinggi. Tanpa usah dipamer dan diiklankan seorang sastrawan dan seniman menjadi sastrawan dan seniman karena berkarya dan karyanya. Jika ia berhenti berkarya maka ia pun berhenti menjadi seniman. Tanpa karya dan berkarya, seorang sastrawan-seniman hanyalah sudah mati, dan hanya berbaring di "kasur lama", jika menggunakan ungkapan Tiongkok klasik, dan mengaku-ngaku sastrawan-seniman, ujud dari masturbasi jiwa. Tidak ada yang aneh dan istimewa hingga patut diiklankan dan di pamer-pamerkan jika seorang seniman berkarya. Sekali pun ia tetap berkarya, misalnya, maka dengan mengangkat "keprihatinan" sebagai "estetika", karya-karya itu pun patut ditakar dengan standar "keprihatinan" ini. Dengan mengangkat "keprihatinan" pada tingkat "estetika", agaknya Halim HD pun mengkritik sikap elitis dan menyerukan para sastrawan-seniman agar tidak bersidekap di menara gading memandang kehidupan dari jauh sehingga hanya menduga-duga persoalan nyata kehidupan tapi tidak mengetahui keadaan sesungguhnya apalagi merasakan pahit-manisnya hidup yang nyata. Jik
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN
JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN Di bawah ini adalah sanjak-sanjak Ikranegara [selanjutnya aku singkat dengan Ikra] yang ia siarkan di milis [EMAIL PROTECTED] [5 Juli 2005]. PATH (2) many paths end in dead-end walls DEAD-END WALL this is it a slab of concrete from a fallen dead-end wall which used to be so powerful & frightening which blocked our sight & our free steps which shed the victims' blood and tears now lying low meaningless only scattered smelly garbage where flies feel at home PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? [Sumber: Ikranagara," [EMAIL PROTECTED] , Tuesday, July 05, 2005:2:39 AM; Subject: [koran-sastra] Four more tiny poems from Ikranagara, Four Tiny Poems from "Under the fullmoon Light" selected poems By: Ikranagara]. Ikra bukanlah orang baru di dunia perpuisian Indonesia walau pun tentu berada di bawah angkatan Goenawan Mohamad atau Rendra. Usianya pun sudah mencapai 60 tahun. Pencantuman usia ini kumaksudkan bahwa Ikra bukan anak kemarin sore di dunia puisi. Ia berpuisi sejak masih remaja SMA dan bahkan sejak usia remaja itu, ia sudah menjadi salaah seorang penandatangani Manikebu yang merupakan peristiwa budaya penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Artinya sejak remaja SMA, Ikra mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang dalam dan matang karena turut menandatangani sebuah pernyataan penting demikian [lepas dari kita setuju atau tidak] hanya mungkin jika kita sadar akan isinya dan atau ikut-ikutan. Oleh lamanya Ikra berkecimpung di dunia perpuisian, tidaklah heran jika secara tekhnis nampak ada penemuan diri pada sanjak-sanjaknya di atas.Karena itu di sini aku tidak akan menyentuh masalah tekhnis, tapi membatasi diri tentang pendapat yang Ikra ungkapkan dalam sanjak-sanjak di atas terutama dalam "Path [3]" dan "So Strange". Dalam dua puisi tersebut berpendapat bahwa: PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? Isi kedua puisi di atas, kalau pemahamanku benar, tidak jauh berbeda, tapi saling melengkapi, yang satu menggarisbawahi yang lain, di mana Ikra mengatakan "so strange" terhadap orang ".who depended on their beliefs". Orang-orang ini menurut Ikra akan berakhir pada "go nowhere" Membaca deklarasi ini, pertanyaan yang muncul pada diriku: "Lalu apa yang Ikra maui? Apakah Ikra menginginkan orang-orang hidup tanpa pegangan dan menjadi "bendera di atas bukit" yang berkibar menurut arah angin? Bendera di atas bukit dengan kata lain adalah manusia bunglon, manusia angin-anginan yang berprinsipkan individualisme dan bila perlu tak segan menohok kawan seiring, dan jadi penjilat. Nilai atau prinsip menjadi tidak perlu dan tidak penting. Yang penting aku bisa selamat dan terangkat sehingga sang aku bisa ke mana saja dan bisa hidup dalam situasi apa saja. Bisa "going everywhere" or anywhere. Prinsip dan membela nilai manusiawi dipandang oleh Ikra sebagai "dead-end wall". Berpendapat begini tentu saja adalah hak Ikra sepenuhnya dan pilihan demikian sekaligus menentukan kadar kita sebagai anak manusia. Barangkali Ikra menganggap menjadi bendera di atas bukit, menjadi manusia angin-anginan, menohok kawan seiring, memang jauh lebih luhur dari prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan jika kita menterapkannya pada Indonesia dan Republik Indonesia sehingga dengan demikian kita bisa jadi "pahlawan" di segala zaman tanpa menantang resiko dan bebas dari ancaman bayonet ajal, tapi JIKA, memang pendapat Ikra, tentu aku tidak akan sependapat. Menghalau kolonialisme Belanda dan menjadi bangsa merdeka, bagiku adalah suatu prinsip yang patut dibela dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang ditulis di tembok-tembok kata Yogayakarta --ibukota Rvolusi Agustus 1945 --: "Merdeka atau Mati" atau seperti yang diungkapkan oleh poster Affandi: "Ajo Bung!" atau sanjak-sanjak Chairil Anwar seperti "Aku", "Diponegoro" atau "Kerawang-Bekasi" juga yang ditunjukkan oleh Rendra dalam sanjak-sanjak, Riantiarno di masa Soeharto berkuasa, atau oleh Ramadhan KH dalam "Priangan Si Jelita". Bagiku hidup tanpa prinsip dan tidak berani membela prinsip adalah suatu kekerdilan dan Indonesia serta Republik Indonesia yang kita impikan terwujudnya tidak memerlukan penjilat, orang angin-anginan dan mentalitas bendera di atas bukit sekalipun manusia begini tetap dan akan selalu ada. Adanya manusia jenis ini pun tidak membuatku berkata "so strange!", atau mengatakan yang ber
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR
JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR Karya-karya sastra Indonesia berbahasa Indonesia, tidak sedikit yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan dikomentari oleh pakar-pakar asing dan para Indonesianis berbagai negeri.Apakah komentar dan dimasukkannya karya-karya terpilih untuk suatu antologi terjemahan demikian menunjukkan karya-karya tersebut mencapai taraf lebih tinggi dari karya-karya lainnya dan komentar serta keterpilihannya merupakan suatu standar nilai? Dipilihnya suatu karya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan dimasukkan ke dalam sebuah bunga rampai, tentu saja dilakukan atas dasar suatu patokan atau standar tertentu. Standar siapa? Tentu saja standar sang atau tim pemilih kalau ia merupakan suatu tim. Standar tim barangkali sedikit lebih bersegi banyak dibandingkan dengan hanya dipilih oleh satu orang saja. Pertanyaan berikutnya:Apakah pakar dan Indonesianis merupakan standar kebenaran dan obyektivitas? Tentu saja tidak, banyak contoh menunjukkan bahwa yang disebut pakar dan Indonesianis ini pun penuh dengan subyektivitas bahkan kecerobohan. Salah satu misal adalah buku tentang masalah keagamaan di Tanah Dayak yang diterbitkan oleh LIPI Jakarta sehingga membangkitkan gelombang protes dari kalangan cendekiawan Dayak, sampai-sampai tokoh Kaharingan Kalimantan Tengah mengancam menjatuhkan hukuman adat pada LIPI. Contoh lain adalah sejarah Indonesia yang ditulis dibawah pimpinan Brigjen DR.Noegroho Notosusanto dengan data yang tidak sedikit diputarbalik bahkan pemalsuan. Berbicara tentang standar, sering standar itu bercampurbaur dengan berbagai macam pertimbangan, terutama pertimbangan politik. Contoh: Ketika LIPI menerbitkan terjemahan buku pemikiran-pemikiran politik di Indonesia, dalam buku tersebut pikiran-pikiran dari D.N.Aidit sama sekali dihapus alias disingkirkan. Padahal dalam edisi aslinya tertera pikiran-pikiran D.N. Aidit yang mewakili PKI. Contoh lain buku H.B.Jassin tentang Angkatan '66. Dalam tulisan ini H.B.Jassin memuji setinggi langit dan mengkategorikan sanjak-sanjak Taufiq Ismail dan lain-lain sebagai suatu angkatan, sedangkan sanjak-sanjak para anggota Lekra yang tidak kurang politis dan cara pengungkapannya tidak kurang baik dari sanjak-sanjak Angkatan '66 dikatakan sebagai sanjak-sanjak sloganis. Bukan karya sastra. Dengan contoh-contoh ini aku ingin menunjukkan bahwa dalam menilai dan memilih terdapat unsur subyektivisme. Juga dalam memilih apa yang diterjemahkan pertimbangan subyektif dan pertimbangan politik pun sulit dihindari. Karena itu bagiku, penterjemahan karya-karya ke dalam bahasa asing dan pemuatannya ke dalam yang disebut majalah terkemuka atau penerbitan yang ditopang oleh pakar atau Indonesianis tidak mempunyai arti menentukan dan tidak bisa dijadikan patokan atau standar bermutu tidaknya seorang penulis sedangkan yang tidak dipilih menjadi ntidak bermutu. Dalam konteks ini, aku jadi lebih menghargai Cak Durasim dan atau Wiji Thukul sekali pun karya-karya mereka tidak dipilih oleh majalah terkemuka luar negeri, tapi dengan nyawa mereka telah membela nilai-nilai yang diungkapkannya dalam karya. Apa yang dibela Wiji dan Cak Durasim lebih kongkret artinya bagi usaha memanusiawikan manusia di tanahair daripada suatu terjemahan dan popularitas individual, pamer atau iklan diri yang jika dilihat secara hakiki sangat menjijikkan karena orang begini biasanya tidak enggan menjual diri, jadi pengkhianat dan mencla-mencle, tanpa kepribadian yang tegas. Kebesaran Cak Durasim dan Wiji Thukul tidak pertama-tama terletak pada kemampuan tekhnis berkesenian tapi terdapat pada satunya kata dan perbuatan mereka. Kata adalah terjemahan ide dan hidup mereka. Dengan ini yang ingin kukatakan bahwa patokan tertinggi bagi seorang sastrawan masih saja terdapat pada kesanggupan atau kemampuannya dalam memanusiawikan manusia, masyarakat dan kehidupan di negerinya sendiri sebagai bagian dari kemanusiaan seplanet, bukan terletak pada apakah ia diterjemahkan dan diterbitkan oleh majalah terkemuka suatu negeri mancanegara atau disangga oleh pakar serta Indonesianis yang sering tanggung pengetahuannya tentang Indonesia tapi mencari hidup dari menjual nama Indonesia. Pada masa jayanya Orde Baru Soeharto sementara Indonesianis Perancis pernah berterus-terang kepadaku bahwa Indonesia adalah periuk nasi mereka dan mereka tidak mau periuk nasi ini hancur berantakan karena menyokong kegiatan anti Orbaku. Aku tentu saja menghargai keterus-terangan ini, tapi dari sini kulihat jelas bahwa nilai dan harkat diri, mutu kita, termasuk sastra kita, tidak ditentukan oleh para pakar dan Indonesianis. Dari pengalaman langsung dan bacaan kuketahui bahwa yang disebut pakar dan Indonesianis itu tidak bisa atau sulit membebaskan diri dari status pelayan politik pemerintah negerinya. Yang bisa membebaskan diri dari kaitan ini, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kary
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH
Boni Triyana yang baik, Terimakasih atas komentar dan tambahan data yang sangat berharga. Salam hangat, JJK - Original Message - From: Boni Triyana To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Sunday, July 03, 2005 5:58 PM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Bung Kusni yang baik, Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI." Dalam benak saya, dia jagoan titik. Hebat. Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari korban brain washing Orba. Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis dengan gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang kuat pula. Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena pada periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik lawan-lawannya. Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu itu dibalas dengan membantai massal kepada 3 juta massanya. Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam). Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca. Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya. Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan "Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan tersesat dalam prasangkanya. Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan caption yang menyesatkan. Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966." So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang Sejarah." Sekian dari saya. Bonnie Triyana Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA
JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA OBYEKTIF Dalam diskusi tentang "Lekra versus Manikebu" yang sekarang sedang terus berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED], ada sementara pihak yang menampakkan kebenciannya pada Lekra dan atas dasar pengalaman pribadi sekali pun masih muda remaja mengatakan tanpa ragu bahwa Lekra pada tahun-tahun 60-an telah melakukan tindak-tindak antgi kebudayaan seperti membakar buku tanpa menunjukkan bukti bahwa jika pembakaran buku itu benar terjadi apa bukti-bukti bahwa yang membakarnya adalah anggota-anggota Lekra. Berbicara tanpa bukti dan rincian sama dengan fitnah tidak tahu malu dan tanpa harga diri sehitam kuku pun sambil mengagungkan diri sebagai seorang sastrawan dengan segala perangkat nilai kesastrawanannya, sementara itu yang jelas berapa banyak anggota Lekra yang disiksa , dibuang, dipenjara, dibunuh, karya-karya mereka dinyatakan terlarang [juga pada masa pemerintahan Soekarno], perpustakaan pribadi Pramoedya A. Toer di Jakarta dihancurkan tidak terbantah, merupakan kenyataan diketahui dunia. Fitnah dan kebohongan yang umum dilakukan pada masa Orde Baru, agaknya masih membekas dalam kehidupan hari ini. Aku katakan fitnah jika tuduhan demikian tidak disertai bukti dan rincian data. Fitnah memang sering dialami oleh orang-orang yang sedang berada di bawah angin dan kesewenang-wenangan biasa dilakukan oleh mereka yang berada di atas angin. Tidak setuju dan bahkan anti Lekra adalah hak mutlak seseorang. Tapi fitnah adalah soal lain yang melampaui batas nalar. Aku menghormati hak orang lain tidak setuju bahkan anti Lekra. Tentu saja aku menghormati hak ini. Hanya saja jika anti dan tidak setuju: apanya yang tidak disetujui dan diantikan?! Bagaimana penjelasannya? Akan mustahil rasanya jika apa yang tidak disetujui dan diantikan ini pun diserahkan kepada para pakar sastra, padahal pakar sastra dan Indonesianis pun tidak kurang ada yang pengetahuannya tentang Indonesia pun pas-pasan dan mereka bukan jaminan kebenaran. Ambil contoh Keith Foulcher atau Stephen Miller yang menulis tentang Lekra dengan kesimpulan yang menguntungkan Lekra, apakah mereka bicara tentang debat ide di intern Lekra dan rincian permasalahan Lekra? Bicara tentang Lekra tanpa menyentuh masalah ini kukira hanyalah petunjuk ketidaklengkapan pengetahuan dan data tentang Lekra.Lekra adalah suatu lembaga kebudayaan, dan kebudayaan bersentuhan dengan ide, pola pikir dan mentalitas. Apakah Keith dan Miller menyinggung pergulatan Lekra di bidang ini? Lagi pula mengapa sarjana asing yang dijadikan standar, padahal orang-orang ini menulis dengan motif tersendiri? Berbicara tentang pembakaran buku tanpa bukti dab rician selain fitnah, juga akan menunjukkan terbatasnya pengetahuan tentang konsep dan praktek kebudayaan Lekra. Menyerahkan masalah Indonesia, dalam hal ini masalah "Lekra versus Manikebu" bisa merupakan cara lari menghindari tanggungjawab tapi sekaligus sikap begini juga adalah ujud dari mental budakisme dan pengecut yang tidak diperlukan Indonesia yang republiken. Pernyataan-pernyataan bertendensi fitnah begini kukira menyentuh masalah sikap sejarah yang selama Orba data-datanya dijungkirbalikkan bahkan dipalsukan, sesuai strategi pimpinan teras CIA yang ditetapkan dalam pertemuan di Philipina sebelum Tragedi September 1965 meletus [lihat: Otobiografi Letkol Penerbang Heru Atmodjo, dalam wawancaranya dengan JJ. Kusni -- direncanakan akan diterbitkan oleh Ombak Press Yogyakarta tahun ini. Lihat pula Boni Triayana, dalam milis ppiindia@yahoogroups.com 03 Juli 2005]. Yang kumaksudkan dengan sikap sejarah adalah usaha bersikap semaksimal mungkin setia pada data. Artinya obyektivitas. Obyektivitas, terutama dalam ilmu sosial, termasuk ilmu sejarah, memang seperti yang dikatakan oleh Jan Myrdal mempunyai batas, karena akhirnya data itu ditafsirkan dan tafsiran akan mempunyai ciri subyektif. Sedangkan subyektivisme dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan pada waktu tertentu. Hanya saja jika kita berpegang teguh pada obyektivitas, kukira, kita akan berusaha maksimal mengurangi tingkat subyektvisme dalam menafsirkan data. Sejarah obyektif kukira merupakan keperluan mendesak negeri dan bangsa hari ini dan selanjutnya. Kalau pun ilmu sejarah tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran atau subyektivisme, tapi minimal data-data jangan dipalsukan, jangan diputarbalikkan. Pengetangahan data sebagaimana adanya, kukira adalah suatu kemutlakan. Jika hal ini terpenuhi barangkali obyektivitas itu relatif tercapai. Apabila ada sejarawan yang mengatakan sejarah merupakan suatu rekonstruksi data maka kukira data yang dimaksudkan di sini akan masih sama yaitu data sebagaimana adanya. Pengebiran data, pemutarbalikan data, pemalsuan data, akan menimbulkan krisis pada ilmu sejarah, kalau tidak ia hanya bisa disebut sejarah palsu. Fitnah sebagai bagian dari subyektivisme, tak ada sangkut-pautnya dengan data sebagaimana adan
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH
Bung Kusni yang baik, Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI." Dalam benak saya, dia jagoan titik. Hebat. Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari korban brain washing Orba. Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis dengan gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang kuat pula. Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena pada periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik lawan-lawannya. Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu itu dibalas dengan membantai massal kepada 3 juta massanya. Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam). Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca. Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya. Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan "Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan tersesat dalam prasangkanya. Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan caption yang menyesatkan. Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966." So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang Sejarah." Sekian dari saya. Bonnie Triyana Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain dari "mani kerbau". Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Pro
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain dari "mani kerbau". Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Prof. Arkoun dari Univ. Sorbonne [Paris III] dalam sebuah ceramahnya membedakan dua macam sejarah, yaitu sejarah tafsiran alias sejarah politis dan sejarah obyektif. Sejarah tafsiran atau politis adalah sejarah yang ditulis demi kepentingan politik tertentu dari suatu rezim tertentu. Oleh keberpihakan membuta begini maka si penulis tidak segan memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan kebohongan yang oleh Goebel, menteri penerangan Hitler diberi dasar teori "kebohongan akan jadi kebenaran jika dipropagandakan terus-menerus". Tiga puluh tahun rezim Orde agaknya merupakan periode "penyebaran kebohongan" sehingga "kebohongan itu menjadi "kebenaran", kebenaran pihak pemegang kekuasaan, dan penyebaran kebohongan ini dikawal oleh Orde Baru Soeharto dengan pendekatan "keamanan dan kestabilan nasional" yang melahirkan ketakutan dan membunuh pertanyaan. Pertanyaan menjadi suatu tindak subversif. Pemutarbalikan data sejarah dan penyebaran luas kebohongan oleh pemegang kekuasaan politik akan langsung mempunyai dampak pada masyarakat luas, lebih-lebih jika ia dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah si seluruh tingkat. Kebohongan dan pemutarbalikan ini diperkokoh oleh media massa yang hadir di rumah-rumah keluarga, menyusup hingga bilik-bilik pribadi saban hari sehingga anak-anak yang lahir dan diasuh pada zaman Orba boleh dikatakan tumbuh mendewasa dengan ide-ide kebohongan. Kalau kebohongan dan pemutarbalikan ini adalah daki-daki dan debu, maka daki dan debu-debu inilah yang menutup jiwa dan pikiran satu angkatan paling tidak, sama dekilnya dengan jiwa kaum sektarian. Membuang daki-daki dan debu ini bukanlah pekerjaan sederhana seperti membalik telapak tangan. Tidakkah masalah ini menjadi bidang garapan para sastrawan?! Terbitnya berbagai Memoire para saksi sejarah yang masih tersisa dan lepas dari pembinasaan fisik, pada masa yang digelapkan sesudah turun panggungnya Soeharto, kukira termasuk acuan berguna bagi angkatan muda. Daya kritik tetap diperlukan dalam membaca Memoire itu, sebab sering dalam menulis tentang diri sendiri, orang gampang terpeleset ke lobang-lobang egosentrik. Jadi kalau dikatakan di negeri ini ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah maka penanggungjawab utamanya adalah pemegang kekuasaan politik. Sejarah dijadikan alat penopang kekuasaan. Tapi sejarah itu sendiri tetap ada sebagaimana adanya kejadian-kejadian itu sendiri. Ia ada sebagaimana dirinya, entah disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak tapi sebagai data dan kejadian ia akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Jika dikatakan ketidaksinambungan maka ketidaksinambungan itu sendiri, kukira adalah ujud dari suatu sejarah tertentu pada periode tertentu. Dari segi ini, aku kira, sesungguhnya tidak ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah. Yang disebut ketidaksinambungan sejarah di atas, kukira, adalah praktek politik terhadap sejarah, dan praktek ini ujud dari sebuah sejarah juga. Sejarah sebagaimana adanya sejarah. Misalnya: Manikebu atau Lekra, suka atau tidak suka orang padanya, keduanya ada dan nyata ada dalam catatan sejarah. Masalahnya: Bagaimana kita memahami hakekat peristiwa dan menempatkannya dalam suatu rangkaian sari sejarah yang utuh. Untuk memahami sari ide dan musabab atau roh yang melatari kejadian-kejadian ini untuk kepentingan-baik hari ini dan masa depan, kukira menjadi inti dari suatu pengkajian dan diskusi. Pengkajian masalah atau renungan, bukanlah mengembangkan saling hujat yang tak akan punya ujung, juga bukan pamer jasa dan kepahlawanan atau keluarbiasaan diri. Mengabaikan sari ide, mengenyampingkan roh, dan pertanyaan-pertanyaan hakiki, hanya akan membawa kita ke jalan buntu ketidaktahuan. Hal ini pun kukira berlaku pada saat kita memperbincangkan masalah Lekra versus Manikebu. Agar perbincangan jadi efektif, mengena pada sasaran barangkali, yang kita perlukan adalah merumuskan pertanyaan-perta
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENGGALAKKAN SISTEM JARINGAN KERJA ANTAR KOMUNITAS
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENGGALAKKAN SISTEM JARINGAN KERJA ANTAR KOMUNITAS SASTRA-SENI "Jurnal Kembang Kemuning" yang mengisahkan kegiatan Jaring Penulis Kaltim [JPK] telah mendapat sambutan hangat dari Gola Gong pengasuh Komunitas Rumah Dunia, Banten dan sementara anggota milis [EMAIL PROTECTED] yang anggota-anggotanya tersebar di seluruh Kalimantan, Borneo dan berbagai negeri. Gola Gong dari Rumah Dunia Banten misalnya seperti biasa sambil menyampaikan harapan terbaiknya kepada komunitas-komunitas saastra-seni itu, ia pun menyatakan bahwa pintu Rumah Dunia selalu terbuka untuk semua kerjasama dan saling belajar. Seperti sering kukatakan bahwa lahirnya komunitas-komunitas sastra begini merupakan penemuan baru angkatan sekarang dalam mengembangkan krativitas pada saat mereka berada dalam kebuntuan dan tekanan yang keras dari suatu sistem yang tiranik. Lahirnya komunitas-komunitas begini kukira juga memperlihatkan bahwa kerja kreatif memang merupakan kensicayaan kehidupan yang tidak bisa ditahan dan ditindas oleh kekuasaan tiran sekejam apa pun. Pramoedya A. Toer bahkan melahirkan empat karya utama Pulau Burunya justru di pulau pembuangan itu, sedangkan pada masa kekuasaan Soviet yang represif, di Uni Soviet tumbuh sastra samizdat,di Indonesia misalnya lahir sastra bawahtanah dan yang disebut "sastra eksil", dan tentu masih banyak contoh lagi. Dibandingkan dengan masa pemerintahan Soekarno di mana para sastrawan-seniman umumnya tergabung dalam organisasi-organisasi kebudayaan terpusat, maka berbeda halnya dengan komunitas-komunitas sastra-seni yang terdapat sangat banyak di berbagai daerah dan pulau. Komunitas-komunitas ini bersifat independen dan umumnya mereka muncul dari bawah atas prakarsa seniman-seniman itu sendiri. Berdirinya komunitas-komunitas ini kukira, merupakan petunjuk bahwa massa itu sangat kreatif. Dengan lahirnya komunitas-komunitas ini maka para seniman secara praktek telah mendesentralisasikan kehidupan kesenian dan menolak monopoli nilai standar dalam berkesenian. Melalui praktek-praktek berkesenian, komunitas-komunitas ini melaksanakan secara nyata prinsip budaya "bhinneka tunggal ika" di negeri ini, prinsip yang dijegal oleh pikiran tunggal, asas tunggal dan sentralisme Orde Baru. Dengan kegiatan dan kreasi yang diperlihatkan oleh komunitas-komunitas ini maka tidak bisa dikatakan bahwa kelompok ini dan itu di Jakarta merupakan standar berkesenian. Kelompok-kelompok di Jakarta dalam perkembangannya hanyalah salah satu saja bagian dari komunitas-komunitas yang ada di negeri ini. Melihat perkembangan berkesenian Indonesia sekarang, maka aku melihat jasa tak terabaikan dari komunitas-komunitas ini untuk adanya kebudayaan Indonesia yang republiken dan berkeindonesiaan. Jasa ini kukira merupakan bentuk kepeloporan para seniman dalam bermasyarakat, berkeindonesiaan dan ber-republik-indonesia. Masalah daerah dan pusat, memang dimunculkan oleh Orba ketika Orba menterapkan asas tunggal dan pikiran tunggal yang sangat sentralistis represif dan eksploatatif menyebabkan daerah hanya sebagai sapi perahan, kebudayaan daerah dihancurkan secara lebih sistematik, lebih sistematik daripada yang dilakukan oleh kolonialis Belanda. Oleh pilihan politik ini maka daerah bangkit melawan, sampai-sampai muncul gerakan pemisahan diri dan memerdekakan diri. Dari segi ini maka yang menjadi sumber dari masalah daerah memang Orba. Sedangkan masalah daerah pada masa pemerintahan Soekarno kukira lebih terletak pada bagaimana "bhinneka tunggal ika", nilai-nilai republiken berkeindonesiaan itu terwujud. Setelah bertaburannya komunitas-komunitas sastra-seni ini, pertanyaan berikut yang muncul kukira menjadi bagaimana membuat gebrakan kepeloporan komunitas-komunitas ini bisa menjadi lebih efektif dan berdaya dalam skala dan hasil? Pada pertanyaan inilah kukira terletak masalah perlunya komunitas-komunitas menggalakkan lebih jauh kerjasama, salingbantu dan saling tukar-pengalaman. Aku bahkan berpikir mengapa tidak misalnya komunitas-komunitas membentuk suatu federasi melalui mana dirumuskan politik kebudayaan dari bawah, oleh para aktor kebudayaan itu sendiri atas dasar praktek dan pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Aku kira rumusan yang mereka telurkan akan lebih tanggap dan aspiratif daripada dilakukan oleh kongres kebudayaan elitis yang mengabaikan para aktor itu sendiri. Kongres atau konfrensi antar komunitas ini barangkali sekaligus bisa merumuskan program kebudayaan terkordinir, tanpa melepaskan independensi komunitas. Khusus untuk pertanyaan ini, aku kira masalahnya termasuk mendesak, dan dari segi ini aku sangat menghargai usaha JPK [Jaringan Penulis Kaltim] yang mengisyaratkan mimpi dan keinginan melalui penerbitan antologi puisi Kalimantan dan akan segera diluncurkan -- mungkin di Yogyakarta awal Agustus 2005 ini. Aku tahu benar, di Kalteng, di Kalbar juga di Kalsel terdapat banyak sanggar-sanggar kesenian-kesenian dan komunitas-komuni
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [2-- SELESAI].
JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [2 -- SELESAI]. Apabila kita mengamati kegiatan sastra di Kaltim setelah bedirinya JPK dan mungkin sebentar lagi akan disusul oleh Komite Sastra [KOMSAS] yang kedengarannya akan dipimpin oleh penyair Harsanti, maka nampak benar kegiatan bersastra di Kaltim sangat meningkat. Barangkalki bisa dikategorikan sampai pada tingkat maju melompat. Diskusi-diskusi tentang berbagai masalah sastra-seni dilakukan berulangkali, lebih-lebih di Balikpapan. Yang lebih menarik lagi bagiku bahwa kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara berencana berdasarkan mata program yang sudah ditetapkan.Kegiatan berencana betapa pun nampaknya kecil, tapi ia sudah melebih kegiatan spontan betapa pun besarnya. Adanya rencana, memungkinkan kita mengembangkan sesuatu secara terukur dan kemudian melihat apakah segala kegiatan itu sudah mencapai tujuan minimal dan maksimal. Aku tidak tahu benar, apakah JPK sudah mempunyai pusat berkumpul permanen sekaligus semacam padepokan model yang dimiliki oleh Rendra di Depok, Jakarta atau "Rumah Dunia" asuhan Gola Gong di Banten. Tapi aku kira, hal ini masih belum karena usia JPK pun belum terlalu tua. Dugaan ini menjadi diperkuat dan memperoleh dasar apabila kita membaca cermat program JPK di atas dan melihat susunan pengurus JPK yang untuk hidup melakukan kegiatan-kegiatan lain. Artinya, bersastra merupakan kegiatan sampingan, sebagaimana umumnya terjadi di Indonesia.Seandainya JPK dan kelak juga KOMSAS mempunyai sejenis padepokan model "Rumah Dunia" Gola Gong dan Padepokan Depok Rendra, tempat ini akan berfungsi sebagai pusat kebudayaan dalam bersegi banyak. Lebih-lebih jika padepokan atau pusat kebudayaan ini bertempat di kampung atau pedesaan maka arti pentingnya akan langsung dirasakan oleh penduduk kampung atau desa. Di Serua Indah misalnya, hal ini telah ditunjukkan oleh Herawati Wasito yang mengorganisasi kursus-kursus masak dan membuka perpustakaan kampung untuk Serua Indah,Ciputat. Apa yang dilakukan oleh Herawati Wasito dan "Rumah Dunia" asuhan Gola Gong merupakan ujud kongkret bagaimana membangun kebudayaan dan membudayakan masyarakat dari bawah. Barangkali dengan menimba pengalaman dari komunitas-komunitas begini, komunitas-komunitas di berbagai daerah dan pulau, termasuk Kalimantan [cq. Kalimantan Timur dengan JPK-nya] akan bisa memperoleh cara sendiri yang tanggap keadaan dan lingkungan serta aspiratif. Titik lain yang kukira patut digarisbawahi dari program kegiatan JPK adalah kesadaran mereka akan arti pentingnya jaringan baik dengan propinsi-propinsi lain se Kalimantan termasuk Borneo, mau pun dengan pulau-pulau lain terutama Jawa. Sistem kerja jaringan dan perluasan sistem ini akan memungkinkan kita keluar dari tempurung kecil langit kita, dan menjelajah cakrawala lebih luas. Dengan begini, standar berkarya pun akan menjadi lebih luas sebagai akibat wajar. Masalah standar ini, kukira menghindari kita untuk dijerat oleh kepongahan karena kurang pengetahuan dan pengenalan. Dengan modal sistem jaringan lokal dan nasional akan relatif gampang untuk mengembangkannya lebih lanjut ke tingkat internasional. Solid tidaknya organisasi komunitas, kukira akan membantu berkembangnya sistem kerja jaringan ini. Kesadaran JPK akan makna sistem kerja jaringan ini selain ditunjukkan oleh profile dan programnya, juga dinyatakan dengan sederhana tapi tegas oleh Amien R. Wangsitalaja, sekretaris JPK, ketika menjawab tanggapan Gola Gong dari "Rumah Dunia" Banten. Ujar Amien R.Wangsitalaja: "terima kasih pak kusni, atas semangatnya menyebarkan "virus" jpk. terima kasih bang gola gong, atas sambutannya. jpk dan sanggar sastra tasik tentunya bisa bermitra jaya, jaya, jaya" [29 Juni 2005]. Tumbuh berkembangnya komunitas-komunitas sastra-seni dan tergalangnya kerjasama antar komunitas, aku kira akan membuat konsep "sastra-seni kepulauan" akan mendapat ujudnya yang kian nyata. Dan apabila komunitas-komunitas sastra-seni seluruh tanahair pada suatu hari bertemu, maka pertemuan begini akan merupakan sejenis kongres atau konfrensi nasional kebudayaan dari bawah dan oleh aktor-aktor kebudayaan di lapangan itu sendiri, dan barangkali akan lebih efektif,lebih tanggap situasi dan aspiratif hasilnya daripada yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kesadaran JPK akan arti sistem kerja jaringan secara nyata diperlihatkan sejak usia mudanya dengan menerbitkan antologi puisi Kalimantan dan juga rencana melangsungkan pertemuan penulis seluruh Kaltim untuk menggalakkan sistem jaringan di Kaltim sendiri sebagai pangkalan. Tentu bukan kebetulan pula, jika informasiku benar, apabila peluncuran antologi ini dilakukan di Yogyakarta. Yogyakarta adalah pusat kebudayaan lama, dan sebuah kota di mana paling banyak mahasiswa Kalimantan dari berbagai propinsi sedang belajar. Peluncuran di Yogya, digunakan oleh JPK untuk menggaungkan suara ke berbagai penjuru mata angin mengumumkan kehadirannya da
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [1].
JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [1]. Perkembangan baru yang menarik dalam di daerah-daerah adalah apa yang terjadi di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan. Kegiatan ini terutama dimotori oleh Jaring Penulis Kalimantan Timur [JPK]. Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang kegiatan-kegiatan JPK maka aku ingin memperkenalkan profil JPK, berdasarkan bahan yang terima dari mereka: the network of east kalimantan's writers JARING PENULIS KALTIM Kepenulisan kreatif adalah sebuah aktivitas intelektual yang amat berperan di dalam meningkatkan kualitas kemanusiaan dan kebermasyarakatan. Jaring Penulis Kaltim (JPK) adalah sebuah lembaga independen nonprofit didirikan sebagai wadah kekerjasamaan untuk menciptakan iklim yang menggairahkan di dalam manggala kepenulisan kreatif di Kalimantan Timur. Keanggotaan JPK bersifat terbuka. Seluruh komponen masyarakat yang memiliki minat terhadap kepenulisan dapat bergabung dengan JPK. SUSUNAN PENGURUS Pembina Korrie Layun Rampan (Sastrawan, Ketua Komisi I DPRD II Kubar, Melak) Drs. Mugni Baharuddin (Penyair, Kadisdik Kota Samarinda, Samarinda) Syafril Teha Noor (Pemimpin Redaksi Kaltim Pos, Samarinda) Ketua : Herman A Salam (Sastrawan, Kepala Sekolah SMPN 17, Samarinda) Sekretaris:Amien Wangsitalaja (Sastrawan, Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Kaltim, Samarinda. Bendahara: Hj. Nordiani (Kepala Sekolah SMPN 9, Samarinda) Aggota Pengurus: Erminawati (Guru Bahasa Indonesia SMAN 8, Samarinda) Atik Sulistyowati (Cerpenis, Guru Bahasa Indonesia SMAN 10, Samarinda) Atik Sri Rahayu (Penyair, Guru Bahasa Indonesia SMAN 10, Samarinda) Diyan Kurniawati (Cerpenis, Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Kaltim, Samarinda) Harsanti (Sastrawan, Swasta, Balikpapan) Karno Wahid (Sastrawan, Pegawai Dispenda, Tenggarong) MEDAN KERJA * Kampanye budaya membaca dan menulis * Pelatihan dan bengkel kepenulisan * Penerbitan buku * Pendirian perpustakaan atau "rumah baca" * Pendirian kios buku KEMITRAAN Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera), Malaysia Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jakarta Majalah Sastra-Budaya Aksara, Jakarta Majalah Sastra Horison, Jakarta Majalah Matabaca, Jakarta Harian Tribun Kaltim, Balikpapan Harian Kaltim Post, Balikpapan Penerbit Kompas, Jakarta Penerbit Galang, Yogyakarta Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta Penerbit Mahatari, Yogyakarta Penerbit Navila, Yogyakarta Penerbit Bentang, Yogyakarta Penerbit LKiS, Yogyakarta Penerbit Indonesiatera, Magelang Aliansi Penerbit Independen (API), Yogyakarta Creative Writing Institute (CWI), Jakarta Forum Lingkar Pena (FLP), Jakarta Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Jakarta Yayasan Multimedia Sastra (YMS), Jakarta Koordinatoriat Bangkit Nusantara, Jakarta Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta Komunitas Ladang, Samarinda Forum Lingkar Pena Kaltim, Bontang Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Samarinda, Samarinda Depdiknas Provinsi Kaltim, Samarinda Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten di Kaltim MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia Dewan Kesenian Daerah Kaltim, Samarinda Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten di Kaltim AGENDA KERJA YANG SEDANG DILAKSANAKAN Penerbitan Buku Kumpulan Cerpen Kaltim Bingkisan Petir Pelaksanaan: Juli 2005 Penulis: cerpenis-cerpenis Kalimantan Timur Sifat peredaran: nasional Pertemuan Penulis Kaltim Pelaksanaan: Juli 2005 Bentuk acara: sarasehan, diskusi, pentas sastra Pengisi: pembicara dari Jakarta, Melak, Balikpapan, dan Samarinda Tujuan: penggairahan dunia tulis-menulis di Kalimantan Timur Sasaran: guru, penulis, seniman, mahasiswa, masyarakat umum Peluncuran Buku Aceh Pelaksanaan: Juli 2005 Bentuk acara: diskusi, pentas seni Aceh, pembacaan kisah Pengisi: seniman Aceh, tokoh masyarakat Samarinda, seniman Samarinda, siswa SMA Tujuan: solidaritas sosial dan penggalangan dana untuk recoveri Aceh Sasaran: pejabat pemerintah, pengusaha, pendidik, seniman, masyarakat umum AGENDA KERJA YANG DIRENCANAKAN 1. Penerbitan Buku Cerpen Kaltim Edisi 2 2. Pelatihan Jaringan, Penerbitan, dan Penulisan Kreatif Prawacana: Membaca Meraih Dunia Menulis Esai Syafril Teha Noor (Red. Harian Kaltim Pos, Samarinda) Ahmadun Y Herfanda (Red. Budaya Harian Republika, Jakarta) Menulis Cerpen dan Novel Joni Ariadinata (Pengasuh Cerpen Annida, Red. Majalah Sastra Horison, Jakarta) Helvy Tiana Rosa (Forum Lingkar Pena, Jakarta) Menulis Resensi Buku Amien Wangsitalaja (Sastrawan, Penulis, Samarinda) Arief Santosa (Red. Harian Jawa Pos, Surabaya) Kaltim sebagai Sumber Inspirasi Kepenulisan Herman A Salam (Sastrawan, Samarinda) Korrie Layun Rampan (Sastrawan, Melak) Membangun Jaringan Doddy Achmad Fawdzi (Networker, ex. Wartawan Harian Media Indonesia, Jakarta) Safrullah Sanre (Networker, Sastrawan, Makassar) Penerbitan Alternatif & Politik Media Massa Arief Fauzi M (Direktur Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta) Gunawan Wibis
[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: "Brouillons de la Culture" [BDC] Bernard Pivot
Jurnal Kembang Kemuning: "BROUILLONS de la CULTURE [CORAT-CORET KEBUDAYAAN] BERNARD PIVOT 1. Bernard Pivot adalah salah seorang tokoh dalam dunia sastra dan budaya Perancis sekarang, termasuk dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Perancis. Pivot lah yang melalui sebuah bukunya "Menyelamatkan 100 Kata Yang Hampir Hilang" mengatakan bahwa kalau kita berjuang membela kelestarian hutan, menolak pembabatan hutan secara liar demi kehidupan kita, mengapa kita tidak bersikap sama terhadap bahasa. Dengan latar pikiran begini,maka Pivot mengangkat ulang dan mempopulerkan kembali 100 kata-kata lama dalam bahasa Perancis yang hampir hilang. Kata-kata lama pun di mata pandang Pivot masih bisa melayani kepentingan kehidupan kekinian kita.Mengapa kata-kata itu mesti dibuang? Dalam bidang sastra, melalui acara tetap televisinya di terusan FR2 [France2], Pivot secara teratur membahas secara mendalam karya-karya Perancis dan bukan Perancis yang baru diterbitkan. Berbagai kritikus, termasuk sang sastrawan terkait, oleh Pivot diundang untuk bersama-sama membicarakan karya-karya tersebut. Salman Rusdhi, Solzenitzin, Nasrin, Jelinek, Bernard Henri Levy, Claude Simon, Jean d'Ormesson, Gao Xingjian, Julia Kristeva, hanyalah segelintir saja dari deretan panjang nama-nama besar di dunia sastra yang diundang oleh Pivot untuk mengisi ruangan budayanya. Secara ekonomi, buku-buku yang telah dibahas oleh Pivot melalui ruang tetapnya ini, bisa dikatakan akan laku keras sehingga masuk tidaknya suatu karya di acara Pivot oleh para penerbit dan pengarang dipandang sebagai salah satu ukuran berhasil tidaknya karya yang diterbitkan. Pendapat Pivot nampak sangat berpengaruh di kalangan sastrawan, budayawan dan penerbit Perancis. Dalam bidang bahasa, Pivot jugalah yang mempelopori lomba dikte internasional menulis bahasa Perancis. Perlombaan ini diikuti oleh peserta dari berbagai negeri termasuk beberapa orang dari Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasa Pivot di bidang sastra dan bahasa, oleh François Mitterrand, presiden budayawan Perancis itu, kepada Pivot telah diberikan bintang jasa "Legion d'honneur". Bintang jasa ini pulalah yang pernah diberikan kepada Pramoedya A. Toer bertepatan dengan kunjungan singkatnya ke Paris pada tahun 1999 bersama-sama Joesoef Isak dari Penerbit Hasta Mitra.Karena waktu Pram di Paris terlalu singkat dan daftar urutan undangan sudah terlalu panjang, maka Pram sekali pun sudah diusulkan ke Pivot tapi Pivot tidak berdaya untuk mengobah programnya. Sekarang apa yang dilakukan oleh Pivot dalam bidang sastra-budaya melalui ruang khususnya di televisi diikuti oleh budayawan-budayawan angkatan muda di terusan-terusan telivisi lainnya. Sedangkan Pivot meneruskan acaranya di FR2 melalui rubrik "Bruillons de la Culture" [BDC] -- "Corat-coret Kebudayaan". Kekhususan Pivot dari rubrik-rubrik sejenis yang diselenggarakan oleh budayawan-budayawan dari angkatan di bawah Pivot, terdapat dalam cara pengisian yang kemudian berdampak pada taraf isi. Bagaimana Pivot mengisi BDCnya? Kontak-kontak budaya Pivot sangat luas di berbagai benua. Masalah yang diangkat oleh Pivot memang bukan hanya Perancis tetapi juga mencakup sastra dan budaya dunia. Pembukaan diri ini diarahkan oleh Pivot untuk memperkaya dan mendukung sastra dan budaya Perancis. Dengan menggunakan jaringannya yang luas ini maka Pivot tidak segan-segan mendatangi tokoh-tokoh yang ingin dibicarakannya, merekam perjalanannya ke dalam bentuk filem atau DVD untuk disiarulang. Melalui cara ini, Pivot membuat acaranya sangat hidup dan tidak membosankan. Masalah-masalah yang diangkatnya senantiasa disertai dengan latar sejarah, lingkungan, termasuk lingkungan sosial yang bersangkutan, sehingga pemirsa menjadi paham akan proses pembentukan diri seorang sastrawan dan jalan pikirannya. Roman atau novel yang kita baca pun dengan demikian akan menjadi lebih gampang mencernanya. Saya tidak tahu, apakah cara Pivot mengisi BDCnya, menganalisa karya-karya yang dibahasnya bisa disebut sebagai metode Pivot. Tapi saya memperoleh kesan bahwa metode Pivot ini tak obah dari salah satu bentuk analisa dan kritik sastra yang disesuaikan dengan perkembangan kemajuan tekhnologi? Yang jelas juga bahwa metode kritik dan analisa sastra Pivot yang ringan tapi sarat muatan sangat efektif dalam mengembangkan apresiasi sastra dan budaya. Pengaruh Pivot sangat terasa dalam masyarakat sastra dan dunia penerbitan sastra. Pivot bukan hanya seorang dokumentalis, tetapi juga seorang pembahas dan kritikus sastra. Ia juga mempunyai kolom-kolom tetap di berbagai harian seperti "Le Journal du Dimanche", Paris. Setelah mengikuti acara-acara BDC Pivot sampai malam kemarin [10 Maret 2005], saya dapatkan bahwa salah satu kekuatan Pivot dalam BDC terletak dalam pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Masalah-masalah pemikiran dan sastra yang pelik, melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban interlukotor [lawanbicara]nya, masal
[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menumbuh-Kembangkan Sastra Buruh Migran
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENUMBUH-KEMBANGKAN SASTRA BURUH MIGRAN Komunitas Perantau Nusantara [KPN] Hong Kong, yang kalau tidak salah, anggota-anggotanya terutama terdiri dari Tenaga Kerja Wanita [TKW] dalam surat siarannya di milis [EMAIL PROTECTED] [05 Maret 2005] dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April mendatang bermaksud menyelenggarakan lomba menulis puisi di kalangan buruh migran Indonesia. Surat siaran KPN itu menunjukkan bahwa "Tujuan utama yang hendak dicapai melalui lomba ini adalah :1) mengupayakan lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran Indonesia.2) memacu semangat para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong dalam kecintaan mereka terhadap sastra". Lebih lanjut disebutkan bahwa "Lomba ini dimaksudkan sebagai wahana untuk menjaring para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong yang mempunyai interest pada puisi dan dunia sastra pada umumnya. Peserta lomba boleh menulis puisi dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris". Kemudian "Dari seluruh peserta lomba akan dipilih 20 puisi yang terbaik (10 puisi berbahasa Indonesia dan 10 puisi berbahasa Inggris).Keduapuluh puisi tersebut akan diterbitkan dalam bentuk buletin dan pemenang akan memperoleh sertifikat dan hadiah berupa buku kumpulan puisi karya penyair Indonesia". "Top ten" [peringkat 10 terbaik] pemenang lomba ini akan diumumkan pada 17 April 2005, di acara peringatan hari Kartini yang akan diadakan oleh IMWU dan KOTHIHO di lapangan Victoria Park V Hong Kong, sedangkan sanjak yang menduduki nilai peringkat pertama akan dibacakan di acara tsb. Untuk bisa mengikuti lomba menulis puisi ini ditetapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: "1) Pekerja Migran Indonesia tanpa batas usia, lelaki dan perempuan. 2) Menuliskan Biodata disertai No ID HK dan nomor telpon. 3) mengirimkan satu buah puisi (berbahasa Indonesia atau Inggris) sebelum tanggal 3 April 2005. 4) tema puisi adalah "Mari Mengumpat"¨ Sebuah tema yang dipilih untuk mengungkapkan keluh-kesah, perasaan dan segala macam fenomena yang terjadi dan dialami oleh Pekerja Migran Indonesia di Hongkong. Puisi dikirimkan ke [EMAIL PROTECTED] Atau via post(boleh ditulis tangan) dialamatkan: Komunitas Perantau Nusantara. 406 Rear blok 13/F .Desvoex Road West V HK". Yang menarik, karena sangat langka terjadi di negeri kita, bahwa Deputi Bidang Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan secara khusus menulis kata sambutan yang ditandatangani oleh Abdul Azis Hoesein, terhadap kegiatan yang diorganisasi oleh KPN ini. "[...] sepanjang sejarah yang saya ketahui baru kali ini ada lomba menulis puisi yang pesertanya dikhususkan bagi para pekerja migran Indonesia", ujar Abdul Azis Hoesein dalam Surat Sambutannya tertanda Jakarta 7 Maret 2005, yang selanjutnya juga menulis: "Saya sangat menghargai gagasan menyelenggarakan lomba menulis puisi ini karena selain mengupayakan lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran Indonesia, juga memacu semangat para pekerja migran Indonesia di Hongkong dalam kecintaan mereka terhadap sastra. Saya sudah membaca sajak-sajak yang dibuat oleh salah seorang buruh migran di Hongkong yang sangat menyentuh, menggambarkan bukan hanya kekangenan kepada keluarganya di tanah air, tetapi juga semangat perlawanan kepada ketidak adilan dan solidaritasnya yang tinggi kepada sesama pekerja migran yang menderita dan bermasalah. Puisi yang bagus membangkitkan kekaguman, pengertian, solidaritas, dan dukungan kepada penulisnya. Sehingga dalam kasus buruh migran Indonesia, puisi yang bagus dapat membentuk opini dan keberpihakan yang jujur kepada buruh migran kita. Saya mengucapkan selamat atas diselenggarakannya Lomba ini dan berharap segenap buruh migran Indonesia di Hongkong memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menunjukkan eksistensinya dan kemampuannya dalam menulis puisi". dan sekaligus menyampaikan "apresiasi yang tinggi" kepada "Komunitas Perantau Nusantara yang menjadi organizer lomba ini". Apresiasi dan sambutan hangat dari Abdul Azis Hoesein atas nama Deputi Bidang Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan ini barangkali akan lebih nyata dan bermanfaat lagi apabila pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengambil prakarsa untuk menerbitkan antologi puisi karya-karya buruh migran ini. Tentu saja akan lebih baik jika yang diterbitkan itu, jika pihak "Kementerian" sepakat dengan usul ini, bukan hanya karya-karya hasil lomba, tetapi juga termasuk karya-karya buruh migran yang selama ini tersebar dalam berbagai milis seperti "sastra_tki", "buruh-migran", penerbitan-penerbitan seperti yang ada di Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan atau pun Jepang, dan lain-lain Hasil lomba bisa dijadikan bagian tersendiri pada antologi tersebut. Dengan demikian, maka melalui antologi tersebut, relatif tercermin berbagai segi permasalahan, keadaan dan harapan para buruh migran kita. Apabila usul ini diterima maka sejarah akan mencatat bahwa pihak "Kementerian" turut menumbuh
[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Kalau Penelitian Buchari Jadi Model Karya LIPI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: KALAU PENELITIAN BUCHARI JADI MODEL KARYA LIPI Marko Mahin melalui artikelnya "Teks-teks Kolonial: Surat Terbuka Untuk DR. Muhamad Hisyam" telah membahas buku LIPI tentang Dayak bab per bab.Terhadap tulisan yang merupakan hasil penelitian M.Saleh Buchari ini, komunitas Kaharingan Kalimantan Tengah yang merasa tersinggung berniat menjatuhkan hukuman secara adat. Saya sendiri sudah meminta kepada Redaksi Harian Suara Pembaruan, Jakarta, agar memberikan ruang hak jawab kepada Buchari dan mengharapkan kepada Buchari agar mempertanggungjawabkan isi tulisannya secara terbuka dengan kejujuran seorang ilmuwan sosial, lebih-lebih untuk mempertangungjawabkan apa yang dia sebut sebagai hasil penelitian ilmiah.Dijatuhkannya hukuman adat ini kepada LIPI dan Buchari, adalah urusan komunitas Kaharingan, sedangkan saya sendiri lebih mengutamakan adu data dan debat. Permintaan dan harapan ini, lebih-lebih diperlukan lagi karena Buchari menyiarkan hasil yang disebut sebagai hasil penelitian atas nama LIPI, sebuah lembaga resmi yang mengatas namai lembaga ilmu pengetahuan sosial resmi di negeri ini. Sanggahan dari sementara intelektual Dayak yang diteliti atau dijadikan obyek,khususnya komunitas Kaharingan yang langsung dibicarakan oleh peneliti LIPI bernama Buchari, secara langsung menyangkut kredibilitas LIPI sebagai lembaga penelitian resmi.Masyarakat Kaharingan setelah mengetahui isi tulisan Buchari yang disebut sebagai hasil penelitian itu sampai berniat menjatuhkan hukuman adat kepada Buchari dan LIPI. Sebodoh-bodohnya masyarakat Kaharingan Dayak Kalimantan Tengah, kiranya jika orang berbicara tentang diri mereka tentu tahu apa yang benar dan tidak benar, sehingga keinginan menjatuhkan hukuman adat kepada LIPI dan Buchari bukanlah terlalu serampangan. Pertanyaannya: Siapakah yang lebih tahu tentang Kaharingan? Buchari atau orang Kaharingan itu sendiri? Tentu saja sebelum masyarakat Kaharingan menjatuhkan hukuman adatnya, dari Buchari dan LIPI diharapkan adanya penjelasan pertangungjawaban secara terbuka. Adanya reaksi keras dari masyarakat Kaharingan terhadap tulisan hasil penelian Buchari dari sisi lain menimbulkan pertanyaan, seberapa jauh hasil penelitian LIPI selama ini bisa dianggap valid? Ataukah hasil penelitian lembaga ini yang telah disiarkan atas nama ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari hasil pseudo penelitian belaka? Kasus dengan masyarakat Kaharingan sekarang, tidak terelakkan menimbulkan pertanyaan begini. Yang jelas, hasil yang disebut hasil penelitian Buchari sebagai peneliti LIPI telah membangkitkan reaksi kalangan Kaharingan dan sejumlah cendekiawan Dayak. Apakah orang Kaharingan dan cendekiawan Dayak yang sama terdidiknya dengan Buchari terlalu emosional dan ngawur ketika menyanggah isi tulisan Buchari dari LIPI ini? Barangkali Buchari yang benar dan barangkali juga Buchari yang salah, karena itu diharapkan benar ia sebagai ilmuwan LIPI dituntut pertanggungjawabannya secara terbuka. Sangat menyedihkan dan merusak nama LIPI jika soal ini tidak bisa dipertanggungjawabkan. Entah kalau penelitian model Buchari dianggap oleh LIPI sebagai model penelitian teladan sehingga harus dibela mati-matian. Kita hanya bisa menunggu keterangan publik dari Buchari dan LIPI.Jawaban Buchari dan LIPI akan menunjukkan kadar Buchari dan LIPI itu sendiri.Masalah telah timbul dan ia harus diselesaikan. Kata sudah diucapkan maka ia harus dipertanggungjawabkan, minimal sebagai sesama anak manusia, tanpa embel-embel gelar sarjana atau peneliti. Barangkali Buchari dan LIPI masih mempunyai tanggungjawab ini. Paris,Maret 2005. JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs
[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menyambut Kelahiran Jaring Penulis Kaltim [2]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT KELAHIRAN JARING PENULIS KALTIM [2 --SELESAI]. Kalau sekarang Korrie menjadi orang pertama JPK maka di bahunya terletak tanggujawab seorang pencinta. Bagi saya, pencinta itu adalah manusia berwawasan manusiawi yang mengerti akarnya."Nama besar" tidak sama dengan berwawasan. Bagaimana mempunyai "nama besar" ini adalah satu masalah.Masalah lain, tidak jarang adanya "nama" gampang menjurus ke individualisme jika hampa wawasan manusiawi. Dengan kata-kata ini, saya tidak menghakimi, tapi sebatas mencanangkan seperti kata-kata cerita silat "besar bayangan dari pohon". Praktek adalah gantang terakhir apa siapa kita.Sebagai sesama Dayak saya yakin Korrie bisa memahami maksud saya yang menggarisbawahi akan arti tanggungjawab pada haridepan manusiawi. Hal lain yang menarik perhatian dari berita yang menyertai kelahiran JPK bahwa organisasi Jaring Penulis Kaltim ini, sifat keanggotaannya yang terbuka.Kalau pemahaman saya benar, nampak bahwa yang dimaksudkan dengan penulis Kaltim adalah semua penulis yang berada di Kaltim, tidak memperdulikan asal etnik asal daerah mereka. Hal ini tercermin dari apa yang dikatakan oleh Shantined: "[...]sebuah wadah kreativa kepenulisan yang berada di Kalimantan Timur. Tujuan dibentuknya JPK ini tak lain karena niat mulia,ingin mempersatukan penulis-penulis Kalimantan Timur dan mewadahi segala bentuk kegiatan sastra yang berada di Kaltim".[Lihat: Lampiran]. Selanjutnya: "[...]Diantaranya mengadakan satu peluang bagi seluruh penulis Kaltim ( berdomisili di Kaltim)...". Pengertian penulis Kaltim dengan demikian tidaklah terbatas pada penulis-penulis asal etnik Dayak. Pengertian begini, saya kira [kalau pemahaman saya benar] sesuai dengan hakekat budaya lamin atau betang [soal yang barangkali perlu dijadikan bahan diskusi lebih lanjut secara lebih mendalam sehingga kalau kita menyebut "budaya lamin" atau "budaya betang" kita tahu maknanya dan tidak menyempitkan pengertiannya sebatas artian fisikal betang atau lamin]. Pengertian begini juga merupakan sikap awal yang memungkinkan kita menghimpun semua kekuatan potensial di daerah untuk pemberdayaan daerah dalam usaha membangun pusat-pusat kebudayaan dan intelektual di berbagai daerah dan pulau tanahair. Lahirnya JPK sekaligus menjawab pertanyaan sementara penulis yang tinggal di daerah dan yang melihat karena bertempat tinggal di daerah si penulis merasa dirinya tidak bisa mengembangkan diri sebagai penulis, ia tidak bisa melakukan apa-apa di dunia penulisan. Ia tidak melihat bahwa justru kehidupannya di daerah memberikan keuntungan tersendiri yang tidak dimiliki oleh mereka yang tinggal di kota-kota besar di Jawa. Memang tinggal di daerah, memang mempunyai keterbatasan, terutama dalam mendapatkan bahan acuan yang mutakhir. Tapi keterbatasan begini bukanlah hal yang bersifat fatal apalagi dengan makin berkembangnya terus-menerus tingkat tekhnologi komunikasi seperti sekarang, sehingga isolasi geografis dan fisik, relatif bisa ditembus. Ide pembangunan perpustakaan dari bawah, saya kira termasuk salah satu cara mendapatkan acuan-acuan mutakhir ini. Barangkali dalam soal mengembangkan sastra-seni dari daerah ini, pengalaman Komunitas Rumah Dunia, Banteng, Sanggar Sastra Tasikmalaya dan komunitas-komunitas lainnya, sangat berguna dipelajari. Dalam rangka saling belajar antar komunitas ini, saya sangat menghargai tawaran Gola Gong dari Rumah Dunia yang menawarkan kepada komunitas-komunitas sastra-seni di mana pun untuk mengirimkan profil mereka ke website Rumah Dunia Banten. Hanya saja ajakan dan tawaran ini agaknya masih belum mendapat sambutan berarti. "Gebrakan" -- jika meminjam istilah Shantined --JPK akan makin besar lagi apabila JPK menggalang kerjasama erat dengan organisasi-organisasi sektoral sejenis di seluruh Kalimantan, termasuk Sabah-Sarawak serta pulau-pulau/daerah-daerah tetangga terdekat seperti Makassar, Manado, Jawa Timur. Saya juga melihat penting, perhatian JPK sejak berdirinya mengawali kegiatan dengan memperhatikan masalah "bernuansakan budaya/daerah Kaltim". Pentingnya soal ini saya lihat dari segi melawan pikiran tunggal [la pensée unique] yang membunuh keragaman dan dominasi budaya mayoritas atau budaya "super market". Sejalan dengan pikiran begini maka waktu berada di Palangka Raya, saya usulkan kepada Salundik Gohong yang waktu itu adalah walikota Palangka Raya, agar dalam tatakota dan arsitektur kota, semua orang yang datang ke Palangka Raya,begitu menginjakkan kaki sudah sadar bahwa mereka sedang berada di Kalteng, berada di Palangka Raya dan bukan di Jakarta, Bandung atau Surabaya. Keragaman budaya adalah merupakan kenyataan di negeri ini. Mengapa diseragamkan secara paksa dan membatasi kebudayaan Indonesia pada "puncak-puncak kebudayaan daerah" saja atau diazastunggalkan? Kebudayaan Indonesia saya kira pada hakekatnya adalah suatu "benangdinding", jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan [
[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menyambut Kelahiran Jaring Penulis Kaltim [1]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT KELAHIRAN JARING PENULIS KALTIM [1] Entah kapan dan di kota mana, tapi yang jelas melalui posting Shantined di milis penyair dan dikirimkan oleh Mega Vristianawati ke alamat pribadi saya, di Kalimantan Timur [Kaltim] telah terbentuk sebuah organisasi para sastrawan Kaltim bernama Jaring Penulis Kaltim [JPK].Sebagai orang pertamanya atau "kepala suku" jika menggunakan istilah Shantined, telah diangkat sastrawan Korrie Layun Rampan yang nampaknya memutuskan pulang kampung setelah berada lama di Jawa. Mengapa "mengangkat" dan bukan dipilih? Apakah di kalangan komunitas Dayak Kaltim tidak mengenal kebiasaan memilih? Barangkali komunitas Dayak Kaltim berbeda dengan kebiasaan komunitas-komunitas Dayak di daerah Kalimantan atau Borneo lainnya yang memilih pimpinannya [bukan mengangkat, model Orba] baik ia damang atau pun pambakal atau pangirak. Di daerah sungai Katingan, Kalimantan Tengah [Kalteng] misalnya Dayak Katingan mengenal tradisi yang disebut "pupung" atau "pumpung". Yang dipercayai menjadi orang pertama suatu organisasi diputuskan melalui "pupung" dan bukan diangkat. Jika diangkat, lalu instansi apakah yang lebih tinggi dari suara "pupung"? Mengangkat atau diangkat memberikan citra tersendiri tentang komunitas Dayak yang seakan tidak mengenal kebiasaan "dmokratis", padahal ia ada dalam budaya betang, terungkap dalam budaya "handep", "habaring hurung" atau pun liberalisme seorang yang merasa diri pangkalima [bandingkan dengan legenda "Pangkalima dan Maharaja yang sedang berperahu bersama-sama", atau kisah Pang Palui dengan istrinya]. Sekali lagi barangkali komunitas Dayak Kaltim yang dirujuk oleh Shatined dengan menggunakan istilah "kepala suku", memang sangat lain dari komunitas-komunitas Dayak Borneo lainnya. Jika demikian bagaimana Shatined menjelaskan adanya "lamin" di Kaltim? Barangkali Shatined bisa menjelaskan maksudnya dengan lebih jelas untuk mencegah citra negatif Dayak seperti yang digambarkan oleh Gerry van Klinken berkecenderungan fasis [kesimpulan yang diambil "genial" setelah beberapa minggu berada di Kalteng. Hidup Klinken sang pakar Dayak!?]. Tentang pulang kampungnya Korrie Layun Rampan [selanjutnya saya sebut Korrie], memang sudah sejak beberapa tahun lalu saya dengar. Berita yang saya dengar waktu di Kaleng mengatakan bahwa Korrie pulang, seperti halnya dengan Kolonel Salundik Gohong, mantan walikota Palangka Raya dan mantan perwira Bakin, meninggalkan Bandung, dengan maksud turut membangun kampung halaman. "Kalau saya mau enak, saya akan ngendon di Bandung", ujar Salundik Gohong kepada saya. Dengan semangat ini pula Salundik selalu membela kehadiran saya di Kalteng. [Dari kasus Salundik Gohong saya kembali melihat bahwa militerisme dan orang militer adalah dua hal yang sangat berbeda sehingga adalah suatu kekeliruan menganggap semua orang militer sebagai penganut militerisme]. Sikap ini pula yang jadi pilihan Ronny Teguh yang sarjana komputer. Ronny memilih pulang kampung daripada bekerja di Singapura atau pun di Jawa. Masalah pulang kampung untuk membangun daerah saya sangat garisbawahi, karena tidak sedikit putra daerah yang "mabuk" dengan kenyamanan hidup pribadi di luar daerah setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Saya garisbawahi karena sampai sekarang saya masih melihat bahwa perkembangan dan pembangunan daerah di luar Jawa, terutama, melalui kenyataan dan sejarah, tidak bisa digantungkan pada orang-orang luar daerah, tidak pula bisa digantungkan pada orang model Klinken dan pakar-pakar LIPI. Majumundurnya daerah pertama-tama ditentukan oleh putera-puteri daerah yang sadar dan komit, walaupun tidak berarti kita patut menghindari sikap sektaris, prasangka primer dan tutup pintuisme. Sadar dan komit artinya punya wawasan luas. Artinya dengan ini pun saya sadar bahwa tidak semua putra-putri daerah itu punya komitmen manusiasi dan berwawasan luas. Tidak sedikit putra-putri daerah yang juga tidak lain dari "bandit" dengan ideologi "banditisme". Pulangnya Salundik Gohong, Ronny Teguh, atau pun Korrie dalam hal ini saya kira adalah suatu kepulangan tanggungjawab pada daerah sebagai dermaga memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat -- walau pun orang-orang jenis ini akan lebih banyak menghadapi kesulitan di daerahnya sendiri. Lebih-lebih pengaruh pola pikir dan mentalitas berdasawarsa Orde Baru masih meracuni angin kehidupan kampunghalaman. Pada suatu ketika, setelah berhasil menginjak kembali kampunghalaman, saya pernah mencoba melakukan himbauan pulang kampung kepada putra-putri Kalteng, tapi berakhir dengan kegagalan. Sejak tahun 1991, saya melihat usaha saya untuk Kalteng lebih banyak meninggalkan tanda-tanda hitam kekecewaan, seakan memperlihatkan betapa sulitnya mencintai kampunghalaman, menjadi Indonesia sekaligus sulitnya menjadi manusiawi. Lebih gampang jadi bandit, pembunuh, jadi manipulator dan penjahat dan bukan menjadi seorang pencinta. Kalau sek
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
Bung Partogi Samosir yth., Pada persayaan 17 Agustus 2004 di KBRI Paris pernah diadakan dialog terbuka yang kalau tak salah disebut "Forum Merdeka" di mana dilangsungkan dialog langsung antara para diplomat Indonesia dengan para warganegara RI dari Paris dan sekitar yang hadir. Dalam menjawab pertanyaan Kuasa Usaha, Lucia Rustam [karena sampai sekarang setelah Dubes A.Silalahi usai masa jabatannya, belum ada Dubes pengganti], juga Andreas Sitepu, seorang diplomat senior, mengatakan bahwa mereka [baca: diplomat-diplomat di KBRI] tidak lain dari orang-orang yang melaksanakan garis kebijakan diplomasi dari Jakarta. Sekali pun demikian, kami akan menyampaikan pendapat dan keluhan dari para warganegara ke pihak yang berwenang di Jakarta. Demikian kedua diplomat teras dari KBRI Paris. Dihubungkan dengan pertanyaan Bung, barangkali pernyataan atau pendapat kedua diplomat teras KBRI Paris ini bisa menjadi jawaban. Jika demikian di mana kelayakan pada saya untuk menggunakan kata "perlu" dan "harus"? Sedangkan mengajukan pendapat dan usul sama sekali bukan yang setara dengan "perlu" dan "harus". Barangkali. KBRI Paris sejak masa Dubes A.Silalahi sampai sekarang, sangat mendorong pengajuan pendapat dan mendengar pendapat-pendapat dari warga RI. Saya kira hal ini sangat positif. Salah satu buktinya adalah penyelenggaraan "Forum Merdeka" yang saya sebutkan di atas. Hal ini menciptakan suasana baru dalam hubungan antara KBRI dengan warganya. Saya tidak melihat hal ini negatif bahkan sekali lagi sangat positif. Apakah saya keliru? Salam, JJK - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Sunday, February 20, 2005 10:47 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak Kusni yb, well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah: "Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" Terima kasih togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Partogi Samosir yang baik, Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan, menggalang hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu. Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan panjang lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral Soeharto masih berada di kursi kepresidenan . Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan menarik untuk menjawab pertanyaan itu. Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, saya serahkan kepada Bung Togi dan pembaca untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya tidak mau memasuki rinciannya. Salam hangat, JJ. Kusni - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak kusni yb, perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni. 1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan? 2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis. Terima kasih pak. togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budima
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
Bung Partogi Samosir yang terhormat, Saya -- dan barangkali juga teman-teman saya -- tidak dalam kapasitas memberi nasehat kepada mereka. Hanya saja jika Bung mengikuti tulisan-tulisan saya sebelumnya, usul berbentuk pendapat dan bukan nasehat barangkali bisa didapatkan atau bisa disimak. Usul dan pendapat itu saya tulis atas nama kecintaan saya pada Republik dan Indonesia sebagai "orang kecil" . Tidak berani saya menggunakan kata "harus" dan "perlu". Kiranya tidak ada kelayakan pada saya menggunakan kata "harus" dan "perlu" itu. Salam hangat, JJK - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Sunday, February 20, 2005 10:47 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak Kusni yb, well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah: "Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" Terima kasih togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Partogi Samosir yang baik, Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan, menggalang hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu. Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan panjang lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral Soeharto masih berada di kursi kepresidenan . Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan menarik untuk menjawab pertanyaan itu. Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, saya serahkan kepada Bung Togi dan pembaca untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya tidak mau memasuki rinciannya. Salam hangat, JJ. Kusni - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak kusni yb, perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni. 1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan? 2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis. Terima kasih pak. togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang dikucilkan dan dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras siang-malam. Paris, Februari 2005. JJ.KUSNI - Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Sem
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
dear all, khususnya pak Kusni yb, well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah: "Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" Terima kasih togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Partogi Samosir yang baik, Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan, menggalang hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu. Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan panjang lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral Soeharto masih berada di kursi kepresidenan . Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan menarik untuk menjawab pertanyaan itu. Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, saya serahkan kepada Bung Togi dan pembaca untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya tidak mau memasuki rinciannya. Salam hangat, JJ. Kusni - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak kusni yb, perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni. 1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan? 2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis. Terima kasih pak. togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang dikucilkan dan dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras siang-malam. Paris, Februari 2005. JJ.KUSNI - Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Sponsor Get unlimited calls to U.S./Canada -- Yahoo! Groups Links a.. To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
Bung Partogi Samosir yang baik, Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan, menggalang hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu. Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan panjang lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral Soeharto masih berada di kursi kepresidenan . Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan menarik untuk menjawab pertanyaan itu. Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, saya serahkan kepada Bung Togi dan pembaca untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya tidak mau memasuki rinciannya. Salam hangat, JJ. Kusni - Original Message - From: partogi samosir To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. dear all, khususnya pak kusni yb, perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni. 1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan? 2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis. Terima kasih pak. togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang dikucilkan dan dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras siang-malam. Paris, Februari 2005. JJ.KUSNI - Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Sponsor Get unlimited calls to U.S./Canada -- Yahoo! Groups Links a.. To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ b.. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] c.. Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Take a look at donorschoose.o
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
dear all, khususnya pak kusni yb, perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni. 1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan? 2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis. Terima kasih pak. togi Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang dikucilkan dan dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras siang-malam. Paris, Februari 2005. JJ.KUSNI - Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.
JURNAL KEMMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY. Rabu, 16 Februari 2005 malam jam 19.00, Koperasi Restoran Indonesia Paris yang terletak di pusat kota Paris, kembali mendapat kunjungan kehormatan dari diplomat pertama KBRI Paris: Lucia Rustam dan suaminya. Diplomat pertama KBRI Paris ini berada di Koperasi Restoran Indonesia Paris, dari jam 1900 sampai dengan 22.OO. Seperti diketahui sampai sekarang setelah Dubes Adian Silalahi usai dengan masa tugasnya, jabatan Dubes belum juga terisi. Untuk itu Lucia Rustam, diplomat perempuan menjadi Kuasa Usaha, sehingga beliaulah yang menjadi diplomat pertama di Perancis, sebuah negara yang patut diperhitungkan bukan hanya di tingkat Komunitas Eropa yang beranggotakan 25 negara, tapi juga di tingkat politik dunia. Kalau keterangan yang saya peroleh benar, posisi Paris sebagai kota diplomasi, setara dengan Washington, London, Moskow dan Beijing. Maka tampilnya Lucia Rustam sebagai Kuasa Usaha di Paris, dari segi karir, boleh dibilang merupakan suatu prestasi sendiri. Barangkali karena posisi Paris di dunia diplomasi yang demikian maka sampai sekarang tidak gampang mencari pengganti rasuk untuk menjadi dubes di Perancis walau pun bukan ajaib jika sederetan nama calon berjejer menanti pengesahan dan persetujuan Jakarta untuk pos penting ini. Berdasarkan praktek dan praktek Lucia Rustam sampai sekarang, kebijakan yang diambilnya dalam batas wewenang, apalagi sebagai seorang perempuan, diplomat perempuan, secara subyektif,saya menilai Lucia Rustam sangat layak ditingkatkan dari Kuasa Usaha menjadi Dubes melanjutkan misi diplomasi yang sudah beliau lakukan untuk Republik dan Indonesia. Melihat penampilan dan prakarsa serta kegiatan beliau pada berbagai kesemptan, Lucia Rustam sangat layak dan membanggakan mewakili bangsa, negeri dan negara serta perempuan Indonesia. Lucia pun bisa berbahasa Perancis hal penting yang patut digarisbawahi. Dari pembicaraan langsung yang pernah saya lakukan, saya ketahui bahwa beliau pun adalah anak bangsa dan negeri yang punya mimpi republiken dan keindonesiaan yang kental. Apabila Departemen Luar Negeri meningkatkan posisi dan mengokohkan beliau sebagai Dubes di Paris, saya kira, keputusan demikian akan membanggakan dan aspiratif serta kuasa mengkonsolidasi capaian Dubes Adian Silalahi. Pertanyaannya: Sanggup dan beranikah penanggung jawab pertama diplomasi Republik Indonesia [R.I], yaitu Menteri Luar Negeri melakukan terobosan sehingga bisa melalui Lucia Rustam memanfaatkan posisi Paris sebagai kota diplomasi dunia untuk kepentingan Republik dan Indonesia? Saya menaruh perhatian khusus pada posisi Paris sebagai kota diplomasi dan tepatnya diplomat pertama R.I. yang ditempatkan di negeri dan di kota ini. Perempuan, pemimpi, republiken dan berkeindonesiaan dengan langgam merakyat, mewakili R.I. di salah satu pusat diplomasi dunia, saya kira memang satu hal yang bersifat terobosan jika ini dilakukan oleh Jakarta. Ciri-ciri ini saya kira sesuai dengan perkembangan penonjolan perempuan oleh Perancis sendiri yang sejak pemerintah Mitterrand dan dikembangkan oleh Perdana Menteri Lionel Jospin banyak menampilkan tokoh perempuan di barisan pertama kekuasaan politik. Perkembangan di suatu negeri dalam menunjuk diplomat pertama, saya kira patut dimasukan dalam hitungan. Lucia Rustam, saya kira memenuhi semua kecenderungan di sini. Tentu saja apa yang saya tuliskan ini, tidak punya arti apa-apa bagi pengambil keputusan, tapi ia tetap saya tuliskan karena cinta saya sebagai anak bangsa dan negeri, hak dan keprihatinan sekecil apa pun tetap menjadi hak yang tidak siapa pun bisa menggugatnya. Mencintai bangsa dan negeri, apalagi Republik dan Indonesia bukanlah monopoli. Hak inilah yang saya gunakan untuk berkata --hak yang sering diabaikan, dibiarkan dan tidak diindahkan di Indonesia yang tidak pandai menghargai warganegaranya. Tampilnya tokoh Lucia Rustam yang sekarang menjadi diplomat pertama KBRI Paris, di mata saya kembali memperlihatkan bahwa bangsa dan negeri kita adalah bangsa dan negeri sangat potensial. Masalahnya: potensi ini sampai sekarang belum dibebaskan seperti halnya kita belum mampu membebaskan tenaga produktif [dalam artian ilmu ekonomi politik] untuk memberdayakan masyarakat kita. Tampilnya Lucia Rustam, seperti halnya potensi yang dikandung oleh Atase Pers zaman Dubes A.Silalahi, Yuli Mumpuni, di mata saya, selain memperlihatkan potensi bangsa kita sebagai bangsa potensial, juga merupakan penerus dari tradisi diplomasi dan peranan perempuan seperti yang dirintis oleh Francisca Fangiday, Dubes Keliling Ny.Supeni alm. pada zaman pemerintahan Soekarno: diplomat-diplomat pemimpi, republiken, berkeindonesiaan dan manusiawi. Tampilnya Lucia Rustam sebagai diplomat republiken, berkindonesiaan dan pemimpi dengan langgam kerakyatan, pada pasca Soeharto menunjukkan juga bahwa nilai-nilai tersebut tidak terpunahkan oleh militerisme
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING
JURNAL KEMBANG KEMUNING KUROPTOR KAKAP INDONESIA DARI ETNIK TIONGHOA?! Rinto Jiang dari Taiwan [?] dan Onny dalam milis budaya_tiunghoa [17 Februari 2005, 11:34 AM] menulis sebagai berikut : - Original Message - From: Rinto Jiang To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, February 17, 2005 11:34 AM Subject: [budaya_tionghua] Pengaburan Fokus Masalah (PM Singapura mendukung Korupsi di Indonesia karena semangat Chinese OverSIZE) Onny menulis : Dari pernyataan Sekretaris Eksekutif Government Watch Andi W Saputra, saya menarik kesimpulan bahwa : 1. Koruptor kakap di Indonesia adalah dari suku Cina 2. Singapura melindungi Koruptor Cina Indonesia karena semangat Chinese Oversize (Mungkin kesalahan wartawan, karena saya yakin maksudnya adalah Chinese Overseas) Saya jadi bertanya-tanya. benarkah solidaritas Chinese Overseas begitu kuatnya sehingga mampu untuk membuat satu negara melindungi pelanggar hukum dari negara lain? Saya sendiri berpendapat bahwa pernyataan PM Lee seharusnya disikapi sebagai sindiran beliau terhadap Penegakan Hukum di Indonesia. Walaupun koruptornya tertangkap, tetap saja kemungkinan bebas tetap ada selama perangkat Hukum Indonesia masih seperti saat ini. Jadi memang benar, ekstradisi belum tentu menjamin dihapusnya korupsi di Indonesia. Tetapi hal yang menarik lagi adalah mindset Sdr. Andi mengenai Suku Cina Indonesia dan Chinese Overseas. Tidak heran jika Suku Cina Indonesia selalu menjadi korban di tiap kerusuhan, karena tetap saja diidentifikasikan sebagai 'Mereka' (bagian dari Chinese Overseas) dan bukan 'Kita' (Rakyat Indonesia). Sad, but True. Salam damai, Onny Rinto Jiang : Hehe, bagus sekali pandangan Bung Onny di atas. Saya tambahkan pandangan saya. Masalah ekstradisi dengan Singapura ini sebenarnya satu macam pengalihan perhatian massa dari masalah2 yang lebih mendesak untuk dibereskan. Saya sendiri berpendapat bahwa sikap PM Lee menolak ekstradisi bukan bermaksud untuk melindungi koruptor2 tadi, namun sebagai itu memang hak suatu negara berdaulat untuk menolak permintaan negara lain. Singapura memang tidak bisa didikte mengenai masalah ini, bukan saja masalah ekstradisi, lihat saja masalah hukuman mati ataupun cambuk terhadap para pelanggar hukum di wilayah hukum mereka. Walaupun pemerintah Indonesia, Filipina, AS telah mengajukan permohonan keringanan, tetap saja ditolak. Mereka punya prinsip dan itu harus dihormati oleh Indonesia. Jangan pikir Singapura itu kecil lalu Indonesia boleh sewenang2 memaksakan kehendak dong, mau ekstradisi, Singapura harus manggut2. Koruptor kakap di Singapura itu masalah kecil sebenarnya relatif bila dibandingkan dengan budaya KKN yang mengakar di dalam birokrasi Indonesia itu. Lha, yang di Indonesia sendiri kan tidak usah diekstradisi, tidak usah payah mengejar ke Singapura buat memberantas korupsi toh. Lalu kenapa bersikeras harus Singapura? Lagipula OK-lah, Singapura bersedia menandatangani persetujuan ekstradisi dengan Indonesia, lalu apakah masalah selesai begitu saja? Apakah koruptor kakap tadi gak bisa lari ke negara lain? Kayak Singapura saja satu2nya negara di dunia itu selain Indonesia. Ini gaya pengaburan masalah yang kerap ada di birokrasi Indonesia. Satu lagi, OK-lah kalau semua koruptor kelas kakap itu dari suku Cina, kenapa gak ditangkap dulu Cina2 koruptor yang ada di Indonesia itu? Lalu koruptor itu definisinya apa? Kalau menyuap juga termasuk koruptor, maka saya juga pernah jadi koruptor kelas teri, soalnya waktu perpanjangan paspor, karena waktu saya tidak banyak, jadi terpaksa harus membayar itu uang pelicin supaya bisa keluar tepat waktunya. Gimana yah ini? Apakah saya yang harus ditangkap atau yang memaksa saya jadi penyuap yang harus ditangkap? Rinto Jiang ADA dua masalah sentral yang muncul dari dari tulisan di atas, terutama "Dari pernyataan Sekretaris Eksekutif Government Watch Andi W Saputra, saya menarik kesimpulan bahwa :1. Koruptor kakap di Indonesia adalah dari suku Cina" dan 2. Singapura melindungi Koruptor Cina Indonesia karena semangat Chinese Oversize (Mungkin kesalahan wartawan, karena saya yakin maksudnya adalah Chinese Overseas)". Dua masalah sentral ini semuanya menarik perhatian saya tapi di sini saya membatasi diri pada soal pertama yaitu masalah "Koruptor kakap di Indonesia adalah dari suku Cina". Masalah ini menarik perhatian saya karena menyangkut hubungan antar etnis di Indonesia dan menjadi makin menarik karena ucapan demikian keluar dari mulut seorang Sekretaris Eksekutif Government Watch bernama Andi W Saputra. Saya tidak tahu apakah pernyataan Andi W.Saputra [selanjutnya saya sebut Andi] ini diucapkan secara sadar dengan maksud mengutarakan keadaan obyektif, didasarkan pada pengetahuan sejarah dan kelengkapan data atau lebih bermaksud memprovokasi diskusi tanpa kesungguhan, hanya Andi sendirilah yang paling tahu. Tapi sebagai Sekretaris Eksekutif sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] yang serius seper
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BEN WAE!
JURNAL KEMBANG KEMUNING: BEN WAE! 1. Beni, Media Luar Biasa adalah sebuah penerbitan berkala bulanan yang diterbitkan oleh sekelompok anak-anak muda pencinta sastra-seni di Yogyakarta. Nomor terakhir berkala bulan yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Benih, yang sampai ke tangan saya adalah nomor 20, 15 Januari 05 memuat antara lain tulisan-tulisan penyair Surabaya Nanang Suryadi, Arwan Maulana, Grace, Agustinus Wahyono, Rohyati Sofjan. Apa bagaimana berkala ini, dijelaskan oleh para "awak"nya sebagai berikut:, berkala Beni "direkayasa dan diedarkan oleh Forum Lingkar Benih. Media ini "direkayasa dan diedarkan oleh Forum Lingkar Benih. Media ini berusaha membuat kegairahan menulis sebagai sebuah aktivitas kultural yang luar biasa. Oleh karena itu , redaksi hanya menerima naskah yang tidak biasa. Naskah bisa dikirim via e-mail, pos, atau dititipkan kepada awak media. Rambu-rambu lainnya tentu saja akan diatur kemudian". Tulisan-tulisan "luar biasa" ini bisa dikirimkan ke alamat redaksi : Perumahan Taman Kenari C7, Jln. Perumnas Depok, Sleman 55281.E-mail :[EMAIL PROTECTED] Pandangan "awak" Beni Luar Biasa tentang "menulis sebagai sebuah aktivitas kultural yang luar biasa", saya pahami pertama-tama sebagai pernyataan bahwa bagi para pengasuh berkala sederhana berukuran 30 X 11 cm ini, menulis, apalagi bersastra bukanlah merupakan suatu kegiataan iseng, main-main, tapi merupakan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh dalam memburu menangkap makna, untuk mengurai buhul-buhul rahasia mengusik di tiap langkah penanya siang dan malam. Dari segi ini, bersastra memang suatu kegiatan luar biasa. Dan akan menjadi lebih luar biasa lagi jika "aktivitas kutural" ditautkan dengan program raksasa memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Ini adalah dermaga wacana dari mana para pengasuh berkala ini mulai melaut. Kesederhanaan penampilan yang kita saksikan ketika membuka lembaran-lembaran berjumlah 20 halaman, tidak mengurangi nilai wacana titik-tolak tapi justru membuktikan kesungguhan untuk mewujudkannya. Karena kesungguhan yang sungguh-sungguh tidak terlepas dari sikap realis atau hitungan kongkret. Dalam hal ini saya teringat akan nasehat Prof. Jones Russel dari SOAS London kepada saya ketika saya dan teman-teman mulai menerbitkan Majalah ilmiah populer "Kancah" di Paris pada masa "kejayaan" Orde Baru Soeharto. "Kesempurnaan tekhnis penerbitan pecahkan setapak demi setapak. Tapi sejak awal perhatikan mutu tulisan". Dibandingkan dari segi tekhnis, hasil yang dicapai oleh Beni jauh lebih baik dari pada nomor-nomor awal Kancah yang kami kerjakan dengan mesin ketik tangan (yang namakan sebagai Mesin Ketik Ho Chi Minh karena dengan mesin ketik beginilah Ho Chi Minh menuliskan karya-karya besarnya untuk membebaskan Viêt Nam dari belenggu penjajahan]. Waktu itu komputer belum ada. Kesungguhan para pengasuh berkala ini pun bisa dilihat dari tataletak, ilustrasi dan isi tulisan baik puisi atau cerpen yang disiarkan. Dengan kesederhanaan bentuk seperti sekarang, tapi bisa menerbitkan berkala secara teratur hingga mencapai nomor 20/15 Januari 2005, kita pun menyaksikan bahwa " menulis sebagai sebuah aktivitas kultural yang luar biasa" memang diyakini dan dikhayati oleh para pengasuhnya. Sebagai contoh untuk melihat kesungguhan ini berikut saya sertakan sebuah puisi Nanang Suryadi, penyair Surabaya, yang dimuat dalam nomor 20/15 Januari 2005: Inilah Senyuman dapatkah engkau tersenyum, tertawan, terbahak di depan televisi yang mengabarkan 45ribu mayat berserak diterjang gelombang yang tak pernah disangkasangka akan datang melanda dapatkah engkau terus tersenyum, tertawa, terbahak di depan televisi yang menayangkan ribuan orang terancam kelaparan dan penyakit di puing-puing kehancuran gempa, gelombang banjir dan sengatan bau anyir mayat yang terserak dimana-mana dapatkah engkau tetap tersenyum, tertawa, terbahak di puncak duka tak terkira! o, aku terbahak perih menderaskan airmata menerka rahasia kehendakMu! Sedangkan apabila para pengasuh menulis di box susunan redaksi: "hanya menerima naskah yang tidak biasa", pernyataan begini saya pahami sebagai acuan patokan yang ingin dicapai. Kata-kata begini saya kira bukanlah suatu keangkuhan yang sering melekati pada anak muda, tapi lebih merupakan tuntutan kepada diri mereka sendiri. Sebab dalam Kata Pengantar No.20/15 Januari 2005 berjudul "Ben! wae" [Biar saja]" ditulis: "Jalan ini begitu panjang dan berat, namun sepertinya aku bertambah yakin untuk melewatinya. Tak peduli sudah banyak beban yang menggantung di badan, aku akan terus berjalan.Ben!" Kemudian: "Sekali lagi kukatakan, jalan ini begitu panjang dan berat, jadi aku minta maaf jika aku terus melangkah tanpa peduli kau tertinggal. Langkahmu terlalu lambat dan kau pun terlalu meresahkan beban yang terasa di badanmu itu. Aku tidak bisa terus menunggumu kawan, aku punya hidup dan aku harus bertanggungjawab dengan itu". "Harus be
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MELIHAT DVD PERJALANAN JOESOEF ISAK
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MELIHAT DVD PERJALANAN JOESOEF ISAK 1. Terimakasih kepada Bung Joesoef Isak yang telah mengirimkan DVD perjalanannya ke Eropa Barat dalam rangka memenuhi undangan Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia "Pasar Malam" untuk menjadi pembicara utama di acara "Hari Sastra Indonesia" tahun lalu di Paris. Di Paris Bung Joesoef menyempatkan diri menemui sahabat lamanya: Pelukis Salim. Usai melakukan berbagai acara di Paris dan di Universitas La Rochelle, Bung Joesoef melanjutkan perjalanan memenuhi undangan ke Negeri Belanda dan Swedia di mana ia telah memberikan berbagai ceramah/konfrensi, di samping menemui beberapa tokoh tua seperti Fransica Fangiday -- perempuan pertama yang turut menembus kepungan Belanda untuk melakukan misi diplomatik pertama bagi Republik Indonesia. Sayangnya, Fransica Fangiday sampai sekarang termasuk tokoh pejuang yang dilupakan negeri dan bangsanya. Barangkali ini bentuk penghargaan Republik Indonesia kepada jasa putera-puterinya yang menggadaikan nyawa untuk eksisitensi Republik Indonesia?! Presiden SBY dan Wapres Kalla, barangkali bisa menjawabnya jelas. Perekaman perjalanan melalui sarana tehknologi kekinian seperti DVD yang dilakukan oleh Bung Joesoef saya anggap penting dan barangkali perlu dicontohi. Penting karena melalui rekaman demikian, banyak peristiwa bisa dicatat dan didokumentasikan. Penting apabila saya selalu diganggu oleh pertanyaan: Seberapa jauh anak negeri dan bangsa kita mempunyai kebiasaan mendokumentasikan peristiwa. Juga menjadi pertanyaan yang selalu mengusik apabila saya teringat bahwa di negeri ini kita tidak segan melakukan "sweeping buku" dan dokumentasi sampai kepada pemusnahan dokumen dan buku-buku, belum lagi kita berbicara tentang pelarangan demi pelarangan dengan berbagai bentuk. Pengadaan dokumentasi begini akan menjadi lebih menonjol lagi bagi daerah-daerah di mana tradisi lisan [oral] masih dominan. Adanya dokumentasi membantu kita memelihara ingatan yang sering sekali pun belum menua tapi lebih cenderung dikalahkan oleh kesukaan pada lupa dan sengaja dibuat sebagai ingatan pendek dengan alasan-alasan politis terutama. Ingatan pendek dan lupa yang sengaja dikembangkan erat bertautan dengan sikap sejarah kita, bertautan dengan pandangan ke depan. Ketiadaan atau kekurangan dalam sikap sejarah, pandangan ke depan membuat kita gampang lupa, melupakan dan beringatan pendek karena dibuai oleh kepentingan di depan mata yang mendesak dan menyesak. Masalah ingat dan lupa adalah suatu pola pikir dan sikap mental. Agaknya kita sampai sekarang lebih cenderung menjadi bangsa pelupa dan pandak ingatan sehingga tidak segan memutar-balikkan data dan suka pada prasangka serta dugaan subyektif. Data dan obyektivitas tidak lagi dianggap penting. Pola pikir dan sikap mental begini secara tidak langsung dijadikan dasar pembenaran tindak sewenang-wenang. Atas dasar ini saya selalu mendorong generasi pendahulu untuk mencatat pengalaman mereka dalam bentuk penulisan otobiografi dan atas dasar ini pula saya menghargai usaha Bung Joesoef mendokumentasikan perjalananannya ke Eropa Barat. DVD kenang-kenangan perjalanan ini selain merupakan catatan dan dokumentasi diri Bung Joesoef, ia pun merupakan dokumentasi tentang orang-orang klayaban serta kejadian yang dihadirinya di negeri-negeri bersangkutan. Orang boleh suka atau tidak suka pada Bung Joesoef, tapi Bung Joesoef, ada dan sudah menunjukan makna eksistensinya terutama di dunia ke wartawanan, penerbitan sastra, dan usaha pemanusiawian Indonesia sesuai dengan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Ia pun sudah membayar segalanya dengan menghadapi segala resiko, termasuk pada ajal. Sedangkan para pengkritiknya, jika ada!, tidak atau belum membuktikan kesanggupannya menanggung resiko begini sehingga kesungguhan kata masih dipertanyakan selain oleh waktu juga oleh ajal yang mencoba. Paling baru, sumbangan Joesoef Isak dengan Hasta Mitranya untuk negeri dan bangsa ini berupa penerbitan Das Kapital dalam bahasa Indonesia.Saya tidak tahu, apakah peluncuran buku ini juga telah didokumentasi. Yang sampai ke tangan saya baru berupa beberapa foto. 2. Dari menyaksikan DVD yang dikirimkan oleh Bung Joesoef kepada saya, yang paling menarik bagi saya adalah yang mengenai kegiatannya di Paris, terutama mengenai pelukis Salim dan Koperasi Restoran Indonesia -- yang oleh Gunawan Mohamad disebut sebagai salah satu monumen sejarah Indonesia dan sebagai duta budaya, jika menggunakan istilah diplomat-diplomat Indonesia di Paris. Apa yang direkam oleh Bung Joesoef tentang pelukis Salim disertai dengan sejumlah foto lukisan Salim menambah dokumentasi tentang "maestro" kita yang sekarang berusia hampir seabad. Mengingat jasa dan mutu karya pelukis kita ini, sempat juga terlintas di kepala saya, mengapa tidak, seandainya Republik Indonesia memberikan beliau tanda jasa tertinggi di bidang kebudayaan. Saya kira segala alasan cukup padan dan ter
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REVITALISASI PANTUN
JURNAL KEMBANG KEMUNING: REVITALISASI PANTUN Prakarsa milis [EMAIL PROTECTED] untuk melangsungkan perlombaan menulis pantun dalam rangka solidaritas dengan korban tsunami,dari segi sastra, saya kira merupakan inisiatif yang sangat baik. Pantun merupakan genre sastra yang sangat hidup di kalangan masyarakat dan ia merupakan salah satu alat pengungkap diri yang paling populer pada masa tertentu dan bahkan sampai sekarang. Pantun sebagai genre sastra, sangat berakar dalam masyarakat berbagai pulau nusantara, termasuk semanjung Malaya. Pantun bukan hanya terdapat dan hidup di kalangan etnik Melayu seperti yang sering diduga bahkan dipastikan oleh sementara pakar dan penulis dalam negeri. Hanya saja genre sastra ini di berbagai pulau disebut dengan nama-nama yang berbeda, tapi berhakekat sama. Misalnya "karungut", "deder" yang sangat hidup sampai sekarang ini di kalangan komunitas Dayak di Kalimantan Tengah [Kalteng]. Karungut dan deder adalah puisi yang dinyanyikan dengan berbagai iringan instrumen seperti kecapi atau katambung [sejenis gendang kecil] atau rebana untuk mengiringi mamanda di Kalimantan Selatan.Hanya saja seperti yang pernah saya kemukakan dalam pertemuan Ikatan Sastrawan Indonesia [ISASI] Kalteng, sekali pun karungut dan deder demikian hidup di kalangan masyarakat Dayak Kalteng, tapi terus terang, saya merasa genre sastra yang tadinya lisan sekarang bergeser menjadi sastra tulisan ini, tetap amat monoton dan gampang membosankan. Deder menjadi lebih memikat selain karena dialog antar orang-orang yang sedang berdeder, juga karena kita dihadapkan pada pertandingan ketangkasan bersastra. Bertolak dari kesan ini, paling tidak apa yang saya rasakan saban mendengar terutama karungut, timbul pertanyaan: Tidak bisakah karungut direvitalisasi? Yang saya maksudkan dengan revitalisasi adalah bagaimana menciptakan karungut tipe baru dengan menggunakan unsur-unsur khas karungut? Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan lama. Muncul ketika saya masih berada di Yogyakarta dan turut bersama-sama dengan teman-teman se Jawa Tengah melakukan penelitian tentang sastra-seni di daerah ini. Riset berawal dari pertanyaan bagaimana merevitalisasi bentuk-bentuk sastra-seni yang paling hidup dalam masyarakat Jawa Tengah agar lebih tanggap zaman. Dasar alasan pertanyaan adalah karena bentuk yang sudah ada sebenarnya sudah mencapai puncak. Sedangkan sesuatu yang sudah berada di puncak akan tidak lagi bisa berkembang lebih jauh, kecuali menurun atau statis. Revitalisasi tidak bermaksud menggangugugat hal yang sudah berada di puncak, tapi bagaimana dengan menggunakan unsur-unsur genre sastra yang sudah mencapai puncak itu menciptakan sesuatu yang baru atas dasar unsur-unsur puncak itu.Untuk mewujudkan tujuan ini maka Saptoprio mengaransir kroncong seperti kroncong Kemayoran, Jali-jali, Bandar Jakarta, Suwi Ora Jamu, Bengawan Solo, Tembok Besar [karya Gesang], dan lain-lain dalam bentuk paduan suara serta solis, sedangkan Jony Trisno, seniman yang serba bisa, menciptakan lagu-lagu seperti "Holopis Kuntul Baris", "Pabrik" dan lain-lain... Sayangnya percobaan-percobaan ini terputus oleh meletusnya Tragedi Nasional September 1965. Pantun, saya kira, adalah bentuk sastra lama yang sudah mencapai puncaknya. Masalah pantun pun barangkali sama dengan masalah yang dihadapi karungut, atau tembang Jawa dan bentuk-bentuk sastra-seni lainya yang sudah mencapai puncak. Karena itu agar pantun bisa lebih tanggap zaman, barangkali ia pun perlu direvitalisasi. Untuk bisa melakukan revitalisasi pertama-tama dari penulis, ditagih penguasaan tekhnik atas bentuk pantun itu sendiri terlebih dahulu. Dalam usaha meningkatkan taraf tekhnik kepenyairannya, waktu masih tinggal di Jalan Sukun [sekarang Jalan Mangunsarkoro] Yogyakarta, Rendra banyak sekali menulis sanjak-sanjak latihan dengan menggunakan berbagai bentuk sastra lama seperti gurindam, seloka, syair dan juga pantun. Penguasaan tekhnik atas bentuk-bentuk lama, merupakan syarat untuk merevitalisasi bentuk-bentuk sastra lama tersebut. Apabila mengamati sanjak-sanjak Agam Wispi, penyair asal Aceh, nampak ia pun sangat dekat dengan pantun. Sebagai orang asal Aceh agaknya tekhnik pantun sudah menyatu dengan diri Wispi. Sebagai contoh saya ambil baris-baris yang ditulisnya pada tahun 1957 ini: "kain ini kain sutra kalau mandi disesah jangan main ini main berdua kalau mati disesal jangan" Atau bait berikut: "kecitak kecitung jakarta-bandung terasa jauh, terasa jauh jika kau gubuk di kaki gunung singgahku tidak untuk berteduh" Baris lain lagi: "mengembarai bukit-bukit dab hutanrimbamu gemuruh nafasmu curahan airterjun seluruh cinta detik ini hanya deta-detak jantung kita berburu sudah tenggelam amsterdam, sudah lenyap jakarta [dari: "Pulang, 1996]. Warna pantun dan syair pun menandai sanjak Wispi ini: "kupancing kau masuk hutan, kekasih sayang dan kau ikuti aku seperti bayangan tinggal pantai hilang lautan bertim