[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [4-- SELESAI]

2005-07-23 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].

[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  


5. MENGEMBANGKAN SISTEM JARINGAN:
Melalui kerangka pikiran yang mendasari kelahiran KMB yang disiarkan oleh Manik 
Praba, nampak bahwa KMB memperhatikan masalah pengembangan sastra-seni dengan 
sistem jaringan kemitraan baik lokal, nasional, rejional dan internasional.  
Sistem ini jika diterapkan dengan baik, saya kira akan mampu mengerahkan semua 
potensi yang terdapat di negeri kita dan unsur-unsur solidaritas manusiawi dari 
luar. Langsung tidak langsung dengan sistem ini kita melepaskan diri dari 
jaring jalan kesempitan dan kepongahan sektarisme, serta menempatkan standar 
tinggi dalam pekerjaan berkesenian. Sistem jaringan juga berarti menggalang 
kerjasama saling bantu dan mendorong maju seluruh jaringan yang bekerjasama. 
Sistem ini pun akan berdampak pada usaha penghancuran monopoli nilai dan 
sentralisme yang kiranya bukan padanan atau tidak compatiblee dengan bhinneka 
tunggal ika. Saya kira, kalau pemahaman saya benar, titik-titik inilah yang 
tersirat dalam kata-kata Manik Praba ketika menjelaskan kelahiran KMB:



"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antar pekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia". 



Barangkali perumusan dasar pemikiran demikian merupakan hasil kesimpulan KMB 
atas pengalaman berkomunitas selama ini.Perumusan demikian sekaligus 
menggambarkan suatu program sadar KMB di hari ini, esok dan esoknya 
lagi...seperti halnya Pernyataan Gelanggang atau Mukaddimah Lekra tidak lain 
adalah suatu program budaya juga yang dirumuskan secara teoritis. Karena itu 
barangkali jika prinsip-prinsip umum yang mendasari kegiatan KMB seyogyanya 
dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang matang rapi.  



6. Menjaga Mutu: 

Hal lain yang ingin saya garisbawahi adalah bagaimana dalam 
kegiatan-kegiatannya, KMB bisa selalu menjaga mutu baik mutu diskusi, mutu 
pembicara, mutu topik bahasan, mutu organisasi. Mutu, saya kira, akan 
berhubungan dengan wibawa, martabat dan pengaruh serta akan bergaung jauh. 
Ecek-ecek memang satu mutu juga tapi hasilnya pun akan ecek-ecek juga. Dilihat 
dari komposisi pengurus KMB, pengalaman dan daya kreativitas, kemampuan kerja 
mereka, saya kira saya tidak akan terlalu salah mengungkapkan kepercayaan.



7. Soal Dana:

Dalam berkesenian sering dan sangat sering kita berhadapan dengan kesulitan 
dana. Dalam soal ini, atas dasar pengalaman pribadi yang sangat sedikit dan 
sederhana, saya tetap bertolak tidak dari dana melimpah. Dana melimpah kalau 
tidak dikelola dengan baik akan sirna dalam sekejap mata. Mengelola adalah 
menyangkut masalah kemampuan dan mutu manusia. Manusia bermutu, berwawasan dan 
bertanggungjawab inilah yang menjadi huruftebal saya dalam soal ini. Apabila 
sekarang kita tidak punya dana, tapi punya barisan manusia demikian, kiranya 
dana bisa dicari oleh manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab itu. 
Barangkali pengalaman saya keliru dan atau saya keliru menyimpulkannya.



Dengan tulisan ini saya sekaligus menyambut kelahiran KMB yang sejak tangis 
pertamanya sudah mengemban beban besar negeri dan bangsa serta kemanusiaan yang 
menagih jawab.Hormat!***

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[SELESAI]




[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [3]

2005-07-23 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].



[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  

4. PRINSIP KETERBUKAAN DAN KEMAJEMUKAN:

Yang saya maksudkan dengan keterbukaan adalah pertama-tama tidak menjadikan 
pandangan agama atau ideologi tertentu sebagai dasar komunitas sehingga 
komunitas terbuka bagi siapa saja dari aliran, pandangan dan kepercayaan 
apapun. Prinsip ini, saya kira sesuai dengan prinsip-prinsip republiken dan 
keindonesiaan: bhinneka tunggal ika. Kalau ditanya lalu, mau ke mana, prinsip 
apa yang mendasari komunitas maka saya kira jawabannya adalah prinsip-prinsip 
republiken dan keindonesia sebagai bimbingan dalam memanusiawikan manusia, 
masyarakat dan kehidupan, prinsip yang saya kira mendasari lahirnya sastra-seni 
itu sendiri. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini maka konsep sastra-seni 
kepualauan terdapat di dalamnya. Atas dasar ini maka sentralisme atau monopoli 
standar akan berada pada kutub lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip 
republiken dan keindonesia, sebagai bagian dari prinsip-prinsip manusiawi. Saya 
mengkhawatirkan apabila melepaskan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan 
yang berhakekatkan menntang pikiran tunggal [la pensée unique], kita akan 
terjerat oleh sektarisme dan fanatisme yang anti kemajuan bahkan anti 
sejarah.Ketepatan memilih prinsip banyak menentukan perkembangan suatu 
komunitas. Yang sektaris tidak bakal berkembang sekali pun nampaknya pada suatu 
saat berkembang maju dan didukung oleh dana kuat, tapi karena ia tidak tanggap 
zaman dan tidak aspiratif ia lambat-laun akan jenuh sendiri dan terkubur oleh 
kecupetannnya.Kecupetan dan sektarisme pada galibnya tidak lain dari liang 
kuburan. Masalah prinsip ini saya ajukan agar bisa dipertimbangkan secara 
sungguh-sungguh oleh pengurus KMB sambil menarik pelajaran dari 
komunitas-komunitas terkemuka sekarang seperti TUK dan FLP misalnya. Jika ada 
di antara para anggota KMB yang berbicara tentang kemasyhuran, saya kira, 
kemasyhuran bukanlah tujuan. Kemasyhuran erat hubungannya dengan kerja dan 
penerimaan masyarakat serta haridepan yang diawali oleh pilihan prinsip yang 
tanggap dan aspiratif. Dalam hal ini saya tidak menganggap TUK dan FLP sangat 
tanggap dan aspiratif sekali pun nampak bernama. Tapi kedua lembaga itu 
menyediakan pengalaman berharga bagi KMB. Apakah yang ditawarkan oleh TUK dan 
FLP untuk negeri dan republik ini dalam pengertian tanggap dan aspiratif 
dilihat dari segi nasion? Dengan segala keterbatasan dana, barangkali apa yang 
dilakukan oleh Halim HD dan kawan-kawannya di berbagai daerah, saya jauh lebih 
tanggap dan aspiratif bagi bangsa, negeri dan republik ini karena itu ia terus 
berkembang. Saya harap, pendapat ini tidak dianggap sebagai suatu serangan tapi 
lebih menyangkut pertanyaan prinsip dalam membangun sastra-seni di negeri kita. 
Pertanyaan prinsip akan bisa terangkat jika kita bisa membaca keadaan negeri 
dan bangsa secara nyata dengan tujuan tunggal memanusiawikan manusia, kehidupan 
dan masyarakat, karena bagi saya sastra seni tidak lepas dari tujuan ini.



Sekali pun KMB belum merincikan prinsip dan programnya atas prinsip pilihannya, 
tapi melalui pengenalan pribadi demi pribadi di dalam kepengurusannya dan juga 
dari  kerangka pemikiran yang mendasari didirikannya KMB seperti yang 
dibeberkan oleh Manik Praba  dalam tulisannya di berbagai milis tentang KMB, 
saya menaruh harapan besar bahwa KMB bisa menempuh jalan alternatif dengan 
menimba pengalaman dari praktek komunitas-komunitas yang ada sekarang. Kalau 
KMB hanya mengikuti mentah-mentah apa yang sudah ada, saya tidak yakin KMB akan 
membesar dan berkembang di seluruh negeri seperti berkembangnya "mata bambu". 
Tidak juga bakal bisa menjadi katalisator komunitas-komunitas.Keunggulan dan 
kekurangan komunitas-komunitas yang ada sekarang tentunya merupakan lumbung 
pelajaran yang berharga.Kemampuan menimba pelaran dari lumbung pengalaman ini 
berarti KMB melangkah setindak di depan.

Kerangka pikiran yang mendasari lahirnya KMB, 15 Juli 2005 adalah:



-"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia. 
-Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum 
terhadap kesenian dan kebudayaan; 
-Perlu dikembangkan situasi  kehidupan yang kondusif dan layak bagi para 
pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. 
-Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan 
kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang 
digelutinya. 
-Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan 
kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya 
kondisi kehidupan mereka" [Manik Praba, 21 Juli 2005]. 



Apabila mengamati kerangka pikiran di atas barangkali yang kurang digarisbawahi 
adalah sikap keterbukaa

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [2]

2005-07-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].



[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  



1.Kerjasama Majalah Sastra-Budaya "Aksara" dan KMB.

Sejauh yang saya amati, hubungan antara Majalah Aksara dan KMB, kalau amatan 
ini benar, lebih bersifat kerjasama kemitraan erat saling menguntungkan dan 
saling tunjang. Artinya dua lembaga ini masing-masing berdiri independen. 
Sejauh ini belum ada pernyataan bahwa Majalah Aksara merupakan organ dari KMB. 
Adanya kerjasama begini secara tersirat memperlihatkan bahwa antara keduanya 
terdapat kesejajaran orientasi. Kalau tidak mana mungkin akan terjalin suatu 
kerjasama. 



Melalui kerjasama demikian, kegiatan-kegiatan KMB bisa disebarluaskan. Untuk 
sebuah organisasi, organisasi apa dan bagaimana pun, adanya sebuah media 
senantiasa mempunyai arti penting. Sebaliknya Majalah Aksara dengan kerjasama 
ini mendapatkan tempat leluasa di TIM oleh berpangkalnya KMB di TIM sebagai 
salah satu pusat kegiatan sastra-seni tak terabaikan di Jakarta. Dengan 
demikian maka Majalah Aksara pun mendapatkan serta telah mengambil tempatnya di 
kalangan dunia sastra-seni ibukota.



Melalui kerjasama kemitraan dengan Majalah Aksara, KMB pun di lain sisi bisa 
memanfaatkan pelaksanaan program-programnya antara lain dengan menggunakan 
jaringan kerja yang ada pada Majalah Aksara yang nampaknya terus berkembang. 
Dilihat dari segi organisasi, adanya jaringan-jaringan kerja di berbagai tempat 
yang dikembangkan dan terus dikembangkan oleh Majalah Aksara, saya kira 
mempunyai arti penting. Dengan cara ini, Majalah Aksara dan KMB bisa 
menumbuhkan janin gerakan kebudayaan -- mungkin alternatif -- bagi bangsa dan 
negeri yang sedang ditimpa oleh krisis multi dimensional sekarang ini. 
Tumbuhnya gerakan kebudayaan dari bawah berbasiskan komunitas-komunitas 
sastra-seni di berbagai daerah dan pulau, secara pandangan optimistik, bisa 
diharapkan memobilisasi seluruh kearifan dari bawah yang barangkali mampu 
menawarkan alternatif budaya bagi negeri dan bangsa. Kerjasama Majalah 
Aksara-KMB dengan demikian membuat para pendukungnya keluar dari langit 
kecupetan bersifat setempat. Jika orientasi ini dilaksanakan dengan konsekwen, 
bukan tidak mungkin keduanya bisa memainkan peran katalisator bagi 
komunitas-komunitas yang ada dan akan ada. Mendorong dan mengembangkan lebih 
lanjut baik dari segi kualitas mau pun kuantitas komunitas-komunitas yang 
ada.Lahirnya komunitas-komunitas sastra-seni ini merupakan kreativitas dari 
angkatan sekarang dalam berkesenian, cara mengorganisasi diri yang berbeda 
cara-cara pada masa pemerintahan Soekarno.



2. PROGRAM:

Hal lain yang menarik perhatian saya pada KMB adalah adanya program jelas yang 
menyertai kelahirannya. Adanya program ini memperlihatkan bahwa komunitas baru 
ini bekerja secara terancang dan bukan insidentil. Terancang dengan tujuan 
serta orientasi yang jelas. Dan program ini, jika disimak benar mencakup 
program mendesak, program jangan pendek dan jangka panjang. Program-program ini 
didukung oleh sebuah struktur organisasi yang padan untuk melaksanakannya. Dari 
adanya sturuktur organisasi dan program serta komposisi para 
penanggungjawabnya, saya melihat samar-samar adanya gambaran tentang pola 
gerakan kebudayaan yang diimpikan oleh KMB-AKSARA. Ciri-ciri ini memperlihatkan 
bahwa kegiatan KMB-AKSARA bukanlah kegiatan spontan. Betapa pun kecil 
kegiatannya pada suatu ketika, tapi yang kecil itu merupakan ujud dari suatu 
mimpi besar dan bukan suatu kegiatan spontan, melainkan suatu aktivitas budaya 
sadar guna mencapai tujuan.



3. ALIANSI BERBAGAI ANGKATAN:

Apabila mengamati susunan pengurus KMB, nampak pada saya bahwa komunitas baru 
ini mencoba menyatukan potensi dan kearifan serta pengalaman berbagai angkatan 
sastrawan-seniman. Di dalam kepengurusannya ada nama-nama Sides Sudyarto yang 
berbeda dari angkatan Manaek Sinaga. Sedangkan angkatan Manaek berbeda pula 
dari angkatan Dody Iskandar, Donny Anggoro atau Henny Purnama atau pun Faiz 
Manshur. Potensi, kemampuan, kearifan dan kemungkinan-kemungkinan berbagai 
angkatan ini agaknya ingin dihimpun oleh KMB sebagai satu kekuatan.Dari susunan 
kepengurusannya, tertangkap oleh saya, kesadaran para anggota komunitas bahwa 
masing-masing angkatan punya tempat dan guna. Tidak terlihat pandangan saling 
hujat dan meremehkan seperti "Ah kau angkatan tua bangka" atau "Huh, bacot 
gede, padahal baru anak kemarin sore!". Latar pengalaman para anggota dan 
pengurus pun sangat beraneka. Pengalaman Manik Praba berbeda dengan Sides, 
dengan Donny Anggoro, Moyak, Faiz Manshur, Arie MP Tamba  dan lain-lain.. 
Pengalaman perbedaan yang juga mau diorganisasi menjadi suatu kekuatan oleh KMB 
atas dasar "asas kebersamaan dan kekeluargaan".



Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Bersambung]


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabat

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI [1]MATA BAMBU DI JAKARTA

2005-07-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].

[1]

Pada tanggal 15 Juli 2005 sejumlah sastrawan-seniman dan budayawan dari 
berbagai generasi, termasuk yang berhimpun di sekitar Majalah Sastra-Budaya 
Akasara , Jakarta telah mendirikan sebuah komunitas baru menambah jumlah 
komunitas yang sudah ada. Komunitas baru ini dinamai Komunitas Mata Bambu 
[|KMB] yang bersekretariat di: Gedung PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin 
Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat [Telp: (021) 
31936641; E-mail: [EMAIL PROTECTED] ].

Adapun susunan pengurusnya tersusun sebagai berikut:

Dewan Pengurus Komunitas matabambu adalah: 
1. Manaek Sinaga (Manik Praba)  9. Dody Iskandar (Moyank) 
2. Arie MP Tamba   10. Henny Purnama Sari 
3. Maroeli Simbolon11. Faiz Manshur 
4. Endo Senggono   12. Akhmad Sekhu 
5. Sides Sudyarto  13. Mahanani Burhan (Nani) 
6. Imam Maarif 14. Farah Farida 
7. Nuruddin Asyhadi15. Harna Silwati Silvi 
8. Ahmad Nurullah  16. Donny Anggoro 

dengan penanggung jawab harian: 

-Ketua Komunitas: Sides Sudyarto 
-Sekretaris Komunitas: Manaek Sinaga 
-Humas Komunitas: Arie MP Tamba 
-Bendahara dan Sponsorship: Henny Purnama Sari 
-Divisi Penerbitan: Nuruddin Asyhadi 

KMB ini didirikan atas dasar pertimbangan "bertitiktolak pada pemikiran bahwa" 
bahwa di negeri ini:

-"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia. 
-Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum 
terhadap kesenian dan kebudayaan; 
-Perlu dikembangkan situasi  kehidupan yang kondusif dan layak bagi para 
pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. 
-Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan 
kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang 
digelutinya. 
-Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan 
kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya 
kondisi kehidupan mereka". 

Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 15.00, di PDS HB. Jassin-TIM, Jakarta, KMB 
akan mengumumkan secara resmi eksistensinya sekaligus meluncurkan antologi 
puisi JJ. Kusni berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang 
diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta [Agustus 2005]. "Sansana" adalah 
salah satu bentuk puisi rakyat Dayak daerah Katingan, Kalimantan Tengah yang 
masih sangat hidup sampai sekarang.

Menurut keterangan bocoran yang saya peroleh, kegiatan pertama ini akan segera 
disusul oleh kegiatan-kegiatan terencana lainnya seperti: Diskusi Iwan 
Simatupang (September 2005),  Heroisme (Oktober 2005),  Diskusi Maskulinisme vs 
Feminisme (November 2005). 

Di samping kegiatan-kegiatan berupa peluncuran buku dan diskusi seperti di 
atas, KMB juga mempunyai program pendidikan, pengkajian, penerbitan dan 
memperkokoh sistem kerja jaringan baik di tingkat lokal, nasional dan 
internasional. Dalam melaksanakan program-programnya, sejak berdiri, nampaknya, 
KMB menjalinkan kerjsama erat dengan Majalah Sastra-budaya Aksara, Jakarta yang 
dipimpin oleh Manaek Sinaga.   Kerjasama yang didasarkan pada "asas kebersamaan 
dan kekeluargaan" yang dipilih oleh KMB sebagai prinsip kerjanya.

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Bersambung]


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?

2005-07-09 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

AKANKAH  PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI 
ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?



Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli 
lalu di Sandakan, Sabah,  Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir.  
Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang 
ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga 
oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu 
kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil 
pertemuan yang menggunakan label "sastrawan  Borneo-Kalimantan" ataukah kembali 
membuktikan sikap elitis pertemuan yang tidak menyandarkan diri pada 
sastrawan-seniman dan komunitas-komunitas sastra-seni  daerah-daerah  yang di 
atasnamainya? Ataukah kedua-duanya? Apa pun alasan sebenarnya,  kukira, 
pertemuan Sandakan itu dalam kenyataannya merupakan pertemuan para pejabat 
pemerintah di bidang kebudayaan dengan mengatasnamai sastrawan-seniman dan 
Borneo-Kalimantan.  Apa pun juga alasan sebenarnya, dan pilihan yang diajak 
serta oleh panitya, kukira tetap menunjukkan suatu orientasi atau politik 
kebudayaan elitis dan ekslusif serta mengawang tidak membumi dari Pertemuan 
Sandakan. Terkesan padaku, dengan orientasi begini,  penanggungjawab Pertemuan 
Sandakan merasa diri sebagai baron-baron kebudayaan, sebagai 
"pangkalima-pangkalima " jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan, 
Kalteng. Pangkalima tanpa bala. Apakah "pangkalima-pangkalima"  sastra tanpa 
bala ini, kecuali bersandar pada kemampuan uang, mempunyai keperkasaan 
"memungkas gunung", "menimba tasik atau laut" seperti yang dilukiskan oleh 
legenda Oloh Dayak Katingan? Jawabannya sudah dijawab dengan orientasi dan 
sunyinya gema Pertemuan Sandakan di Kalimantan kecuali di segelintir hadirin 
yang adalah pejabat  budaya yang  jauh dari bumi nyata.   Barangkali pertemuan 
begini kelak selanjutnya tidak lagi menggunakan label "sastrawan 
Borneo-Kalimantan" tapi "pertemuan antar pejabat" budaya karena aktor nyata dan 
berjasa sudah diabaikan. Kalau evaluasiku keliru, aku menagih  panitya 
menyebarluaskan hasil pertemuan, paling tidak ke seluruh  Borneo dan 
Kalimantan.  Rahasia negarakah? Amboi, amboi tuan-tuan yang terhormat. Mana 
pula ada hubungan kerja sastrawan dengan rahasia negara?  Apakah aku berhak 
menagihnya? Ya! Karena aku termasuk orang Kalimantan dan tidak seorang pun bisa 
menegasi asal kelahiranku yang telah digunakan oleh Pertemuan Sandakan.

Dari informasi-informasi yang kemudian kudapatkan ternyata yang hadir dari 
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah pejabat-pejabat juga, dan dari 
Kalimantan Tengah atau Selatan tidak kudapatkan berita bahwa  
komunitas-komunitas sastra-seni , aktor-aktor sastra-seni daerah-daerah trebut 
telah turut  menyemaraki Pertemuan Sandakan.  Institut Dayakologi Pontianak 
[ID], sebuah lembaga berwibawa dalam masalah kebudayaan di Kalbar yang 
berkegiatan sudah berdasawarsa dan sudah melakukan usaha-usaha pemberdayaan 
serta sumbangan nyata dalam bidang kebudayaan, sama sekali tidak diundang.  
Karena merasa mempunyai tanggungjawab atas kehidupan kebudayaan di pulau raya 
Kalimantan/Borneo, majalah Kalimantan Review, organ ID, secara berprakarsa 
mengirimkan wartawannya.  ID sendiri sebagai sebuah lembaga sama sekali tidak 
digubris, demikian juga Komunitas Terapung, Lembaga Penelitian  Dayak21 di 
Palangka Raya, Kalteng, apalagi Komunitas Meratus di Kalsel. 

Aku menaruh perhatian pada pertemuan antar Borneo-Kalimantan karena inti 
prakarsa demikian kukira penting , lebih-lebih jika dilihat dari perspektif  
pulau. Melalui pertemuan-pertemuan demikian sebenarnya kita bisa sejak dini, 
sejak hari ini merancangkan dasar kerjasama antar negara yang terdapat di pulau 
, dasar dari suatu haridepan yang bukan hanya menjadi urusan pejabat yang 
sering buta aksara dalam bidang budaya. Dari segi ini, kukira sifat eksklusif 
baronisme dan "anak raja"isme jika menggunakan istilah penyair Perancis, Paul 
Elouard,  tidak akan pernah tanggap dan aspiratif.  Yang kuharapkan dalam 
pertemuan berikut, penyelenggara mempertimbangkan aktor-aktor budaya di 
lapangan.  Mengangkat dan membahas masalah nyata kehidupan sastra-seni di bumi 
nyata pulau, bukan rekaan akademik dan imajiner atau bahkan sama sekali 
menjauhkan atau membiarkannya bagai sabut hanyut di sungai.

Tidak memperhatikan aktor sastra-seni  berwibawa di lapangan dan menjadikan 
permasalahan nyata sebagai sabut atau busa [buré-- bahasa Dayak Katingan] ,  
hanya menjadikan pertemuan sebagai tempat  "berbual-bual kosong", bertamasya 
dengan beaya negara yang dipungut dari pajak atas rakyat. Kalau ulah begini 
dipandang sebagai kesalahan,  tentu saja kesalahan yang dilakukan sampai 
delapan kali pertemuan, masih bisa dikoreksi pada pertemuan-pertemuan 
berikutnya. Tapi terjadi memang bahwa keledai  tersandung di batu yang sama.  
Apakah manusia sejenis keledai? Ba

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [2-- SELESAI]

2005-07-08 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 




ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM.

2.


Pernyataan ini pun barangkali memperlihatkan suatu proses perkembangan tertentu 
di kalangan komunitas Dayak.


Apa dan bagaimanakah proses perkembangan tertentu itu? 


Diumumkannya Pernyataan ini berguna, karena jika terjadi apa-apa yang berbentuk 
lain jika pernyataan ini tidak diindahkan khayalak ramai tidak akan heran dan 
tahu jalan perkembangannya serta asal muasal kejadian, tidak secara gegabah 
menuding komunitas Dayak sebagai komunitas yang suka perang dan kekerasan. 
Pernyataan ini juga merupakan usaha membentuk dan menyiapkan pendapat umum baik 
di tingkat lokal, nasional mau pun iternasional. Aku tidak tahu, apakah ketika 
mengumumkan pernyataan ini, pihak Komunitas Punan Hulu Kelay sudah menyiapkan 
langkah-langkah berikutnya yang kongkret, sehingga pernyataan tidak tinggal di 
pernyataan atau kata-kata di atas kertas tanpa wibawa.


Untuk suatu komunitas yang tinggal di pedalaman dan bahkan dikelompokkan pada 
"suku terasing", penggunaan pernyataan sebagai sarana membela dan 
memperjuangkan hak asasinya bukanlah hal yang umum, apalagi menggunakan media 
massa elektronik dan disebarkan melalui milis yang sepadan dengan permasalahan.


Memperhatikan gejala ini, besar dugaanku bahwa penggunaan metode perjuangan 
begini,  kiranya tidak lepas dari peranan para cendekiawan komunitas Dayak 
Punan Hulu Kelay yang sudah balik kampung. Dugaan ini diperkuat oleh 
pengorganisasian orang-orang Dayak Punan Hulu Kelay dalam bentuk Komunitas yang 
sangat lazim sekarang ini. Dari komposisi penandatangan Pernyataan, dugaan ini 
memperoleh penguatan baru lagi di mana bentuk organisasi "modern" dan 
"tradisional" dipadukan sehingga antara keduanya ada sambungan. Modern dan 
tradisi bergabung jadi satu kekuatan, yang modern mendasarkan diri pada budaya 
lokal yang sudah ada [baca:tradisional]. Jika dugaan ini  benar maka di sini 
aku melihat betapa kearifan dan kebudayaan lokal dijadikan dasar untuk 
pemberdayaan dan pembangunan bersolidaritas memanusiawikan manusia, kehidupan 
dan masyarakat, jalan yang dirumuskan oleh Prof.Dr.Sayogjo sebagai "Jalan 
Kalimantan". Masalah ini adalah masalah konsepsional, masalah urgen patut 
dipecahkan sebelum kita bertindak dan mengorganisasi diri untuk menjadi tuan 
atas nasib diri dan di kampung kelahiran sendiri. Untuk mewujudkan "Jalan 
Kalimantan" ini, penyatuan diri para pemuda-pemudi Dayak yang terdidik dengan 
mayoritas warga komunitas di daerah-daerah terpencil baik di hulu atau di 
hilir, akan mempunyai arti sangat strategis. Barangkali keluarnya pernyataan 
Komunitas Dayak Punan Hulu Kelay ini hanya menegaskan kembali kepentingan ini. 
Untuk sanggup menyusup hingga ke hulu-hulu yang jauh dari segala fasilitas 
memang diperlukan keteguhan komitmen dan meresapnya suatu wawasan kemanusiaan 
di dalam diri orang-seorang. Keteguhan ini pun akhirnya seperti ujar orang 
Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" juga 
adanya.


Jika dugaan di atas benar, maka ia menggarisbawahi arti pentingnya agar para 
mahasiswa-mahasiswa Dayak yang sedang belajar di mana pun di luar Kalimantan 
sekarang untuk pulang kampung begitu mereka selesai dengan studi mereka dan 
bukan keasyikan di rantau yang memberi kenyamanan dan fasilitas lebih dari di 
kampung. Jika mau berbicara terus-terang, tanpa menyimpan pengertian sukuisme 
sempit atau ethnosentrisme apalagi tutuppintuisme, tapi secara kenyataan dan 
pengalaman sejarah,  aku sama sekali belum percaya pemberdayaan dan pembangunan 
daerah bisa ditangani secara tanggap dan aspiratif oleh etnik-etnik lain. Tidak 
pernah ada buktinya etnik lain membawa perobahan maju untuk komunitas Dayak. 
Yang banyak buktinya adalah penggarongan dan pengurasan kekayaan daerah. 
Kalimantan Tengah lahir dan berkembang adalah karena bersandar pada usaha dan 
kegiatan, dengan darah dan keringat serta pengorbanan putera-puteri daerah 
Kalteng sendiri. Jika putra-puteri daerah tidak mau kembali sesudah studi 
mereka selesai, maka bukanlah salah langit dan bumi, apalagi kesalahan pihak 
etnik pendatang baru jika komunitas Dayak terpinggirkan. Untuk keluar dari 
keadaan terpinggir dan terpuruk, kukira Dayak patut jadi etnik yang bermutu dan 
bukan jadi etnik budak kekinian yang loyo tidak punya harga diri, jati diri dan 
merelakan diri kehilangan martabat lalu menempatkan  uang sebagai raja, memburu 
dengan segala cara tanpa malu-malu  gelar-gelar semu hasil pembelian. Yang 
diperlukan komunitas Dayak dan negeri ini, kukira, pertama-tama dan di atas 
segalanya adalah manusia yang bermutu, berwatak dan berkomitmen republiken dan 
berkeindonesiaan. Gelar bukanlah jaminan menjadi manusia demikian. Untuk Tanah 
Dayak barangkali pertama-tama yang diperlukan adalah manusia  pemimpi dan 
pejuang dan pejuang-pemimpi bermutu daripada orang-orang bergelar semu dan 
tanpa nyawa.


Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



[Selesai]

[Non-text portions

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [1]

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 




ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM.

1.


Komunitas Masyarakat Punan Kelay, salah satu sub-etnik masyarakat Dayak yang 
hidup di pedalaman Kalimantan Timur, dan kalau tidak salah ingat, oleh Orde 
Baru dipandang sebagai salah satu suku terasing yang patut diberadabkan 
sehingga patut dipindahkan dari kampung-halaman mereka ke daerah perkotaan 
untuk mendapat bias yang disebut peradaban, pada tanggal 30 Juni 2005 telah 
mengeluarkan pernyataan tertulis terhadap apa yang sedang menimpa mereka sejak 
berdasarwarsa hingga sekarang. Pernyataan tertulis ini disiarkan pada 07 Juli 
2005 melalui berbagai milis antara lain [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED]


Lengkapnya pernyataan Komunitas Masyarakat Punan Kelay itu berbunyi sebagai 
berikut:



Teman-teman yang baik,
salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini 
menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA 
daerah kami, semoga berkenan.

salam lestari,
Zenas Daring



Pernyataan Long Suluy

Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay)

(Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan 
Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau

Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay.


Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang 
buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan 
sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. 
Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, 
akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan 
kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, 
dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:



1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan 
menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan 
secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara 
turun-temurun

2.   Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan 
secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami 
menggantungkan hidup dan kehidupan 

3.   Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh 
siapapun dan dalam bentuk apapun

4.   Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang 
dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan 
bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 

5.   Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak 
masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam

6.   Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu 
sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh 
sumber-sumber kehidupan kita.


Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan 
alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, 
binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu 
berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan 
alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami ke 
depan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. 


Long Suluy, 30 Juni 2005


Kami yang membuat pernyataan:

Ditandatangani oleh:

* Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay

* Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long 
Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten 
Berau***


[Sumber:Punan Hulu Kelay;[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] com ;[EMAIL 
PROTECTED];Thursday, July 07, 2005 4:54 PM].


***


APA ARTI PERNYATAAN INI?


Pernyataan ini pertama-tama kubaca terutama sebagai munculnya isyarat baru di 
kalangan masyarakat Dayak yang hidup jauh di pedalaman, pesan serius dari 
kalangan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay. Isyarat tentang adanya suatu 
kebangkitan baru di kalangan orang-orang yang dipandang rendah, hina, 
dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai "suku terasing" atau "primitif" sehingga 
seperti halnya dengan semua Dayak dipandang sebagai lambang dari segala 
keburukan, kejahatan dan yang negatif:
"Dajakkers". 

Jika menggunakan lambang-lambang budaya Dayak, maka kebangkitan ini bisa 
digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan 
dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya sebagai peringatan serius 
diucapkan dengan tenang secara Dayak, di alamatkan kepada siapa saja:


"Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan 
alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, 
binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu 
berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan 
alam lainnya yang akan menjadi bencana

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ESTETIKA KEPRIHATINAN

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


"ESTETIKA KEPRIHATINAN"


Ungkapan ini adalah ungkapan yang kuambil dari tulisan Halim HD, budayawan Solo 
asal Banten dalam salah satu komentarnya ketika menyertai diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di milis [EMAIL PROTECTED] . Sayangnya Halim HD tidak 
menjelaskan lebih rinci lagi konsep "estetika keprihatinan", konsep yang ia 
anggap layak dimiliki oleh para sastrawan-seniman. Tapi sekali pun demikian, 
kita !mengenal Halim HD dari dekat, maka kita, kuranglebih, kita tidak akan 
memperoleh kesulitan memahami apa yang ia maksudkan dengan "estetika 
keprihatinan" itu.

Selain banyak bepergian ke berbagai daerah dan pulau dalam rangka mewujudkan 
konsep "sastra kepulauan", di Solo, Halim HD sangat akrab dengan kehidupan 
masyarakat lapisan bawah yang merupakan dasar dari suatu piramida masyarakat. 
Munculnya penyair Wiji Thukul yang berasal dari lapisan masyarakat dan tetap 
akrab dengan kehidupan lapisan bawah sampai ia "hilang" tak tentu rimba dan 
lautnya, jika mau jujur, kiranya tidak lepas dari jasa budayawan Solo ini juga. 
Halim dan seorang temannya jugalah yang mengajukan nama Wiji Thukul agar 
mendapatkan Wertheim Award. Dan usul ini berakhir dengan diberikannya Wertheim 
Award pertama kepada Wiji Thukul, bersama-sama dengan Pramoedya A.Toer dan 
Rendra. Ketika mengajukan nama Thukul ke Yayasan Wertheim, tidak ada sebuah pun 
antologi puisi Wiji Thukul yang diterbitkan. Yang dijadikan bahan adalah 
karya-karya berupa fotokopie yang dilakukan oleh Halim HD sendiri dan fotokopie 
ini diberikan oleh Halim HD kepada teman-teman dekatnya.

Halim HD memang banyak menulis dan bekerja di lapangan tapi sejauh 
pengetahuanku belum ada satu buku pun yang telah ia terbitkan. Ia sibuk dengan 
kepentingan orang banyak dan kepentingan umum, ciri umum dari seorang networker 
kebudayaan yang mempunyai rasa solidaritas tinggi tapi karenanya juga menjadi 
peka pada ketidakadilan. Dalam pengembangan kebudayaan negeri ini, kukira, 
peran networker tidak bisa diremehkan. Sastra-seni memang pekerjaan kreatif 
yang umumnya bersifat individual, tapi pekerjaan kreatif individual ini bisa 
mencapai skala lebih jauh lagi berkat jasa networker yang pada tahun 1960an 
disebut sebagai pekerjaan organisatoris. Tidak semua orang mampu 
mengerjakannya. Seorang networker atau organisator kebudayaan, selain 
memerlukan kemampuan mengorganisasi, ia pun diminta memiliki wawasan, 
pengetahuan dalam serta bisa menciptakan karya-karya sastra-seni juga. Tidak 
jarang organisator kebudayaan menjadi tidak produktif berkarya. Karyanya ia 
alihkan ke dunia pengorganisaian kegiatan berkesenian.


Berdasarkan pengenalan ini, maka ketika ia mengentengahkan konsep "estetika 
keprihatinan", kukira "keprihatinan" yang ia maksudkan tidak jauh, kalau bukan 
yang utama dan terutama, adalah keprihatinan kepada kehidupan masyarakat luas, 
terutama lapisan bawah yang merupakan mayoritas penduduk dan dasar dari 
piramida masyarakat. Sehingga ketika Halim HD mengetengahkan konsep "estetika 
keprihatinan" kukira dengan pengajuan ini, Halim HD sedang menawarkan usulan 
agar para sastrawan-senima menaruh perhatian kepada masyarakat, terutama yang 
menjadi dasar piramida masyarakat. Dengan mengatakan bahwa "keprihatinan" ini 
sebagai suatu "estetika", kukira Halim HD sedang menghimbau agar para 
sastrawan-seniman mempunyai "keprihatinan" kemasyarakatan dan keprihatinan 
kemasyarakatan ini ia bukan lagi suatu "keprihatinan" biasa tapi sudah 
merupakan suatu estetika. Dengan mengangkat masalah "keprihatinan" ke tingkat 
"estetika" maka dengan ini sebenarnya Halim HD sudah menjadikan "keprihatinan" 
ini sebagai standar atau patokan atau tolakukur karya dan kegiatan berkesenian. 
Dengan mengangkat "keprihatinan" ke tingkat "estetika", kukira Halim HD 
sekaligus secara tidak langsung mengkritik sikap pamer dan iklan diri tanpa 
malu-malu seorang seniman. Pamer dan iklan belum jaminan  mutu tinggi. Tanpa 
usah dipamer dan diiklankan seorang sastrawan dan seniman menjadi sastrawan dan 
seniman karena berkarya dan karyanya. Jika ia berhenti berkarya maka ia pun 
berhenti menjadi seniman. Tanpa karya dan berkarya, seorang sastrawan-seniman 
hanyalah sudah mati, dan hanya berbaring di "kasur lama", jika menggunakan 
ungkapan Tiongkok klasik, dan mengaku-ngaku sastrawan-seniman, ujud dari 
masturbasi jiwa. Tidak ada yang aneh dan istimewa hingga patut diiklankan dan 
di pamer-pamerkan jika seorang seniman berkarya. Sekali pun ia tetap berkarya, 
misalnya, maka dengan mengangkat "keprihatinan" sebagai "estetika", karya-karya 
itu pun patut ditakar dengan standar "keprihatinan" ini.

Dengan mengangkat "keprihatinan" pada tingkat "estetika", agaknya Halim HD pun 
mengkritik sikap elitis dan menyerukan para sastrawan-seniman agar tidak 
bersidekap di menara gading memandang kehidupan dari jauh sehingga hanya 
menduga-duga persoalan nyata kehidupan tapi tidak mengetahui keadaan 
sesungguhnya apalagi merasakan pahit-manisnya hidup yang nyata. Jik

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

GELEMBUNG SABUN 



Di bawah ini adalah sanjak-sanjak Ikranegara [selanjutnya aku singkat dengan 
Ikra] yang ia siarkan di milis [EMAIL PROTECTED] [5 Juli 2005].

PATH (2)

many paths end in dead-end walls


DEAD-END WALL

this is it
a slab of concrete
from a fallen dead-end wall
which used to be so powerful & frightening
which blocked our sight & our free steps
which shed the victims' blood and tears
now lying low meaningless
only scattered smelly garbage where flies
feel at home



PATH (3)

those who depend on their beliefs
when facing a dead-end wall
keep moving
continue the journey

   but
go nowhere




SO STRANGE!

so strange! those who depended on their beliefs
facing a dead-end wall in the last century
are still walking in the same place even in this new century

  forever?
going nowhere?


[Sumber: Ikranagara," [EMAIL PROTECTED] , Tuesday, July 05, 2005:2:39 AM; 
Subject: [koran-sastra] Four more tiny poems from Ikranagara, Four Tiny Poems 
from "Under the fullmoon Light" selected poems By: Ikranagara].



Ikra bukanlah orang baru di dunia perpuisian Indonesia walau pun tentu berada 
di bawah angkatan Goenawan Mohamad atau Rendra. Usianya pun sudah mencapai 60 
tahun. Pencantuman usia ini kumaksudkan bahwa Ikra bukan anak kemarin sore di 
dunia puisi. Ia berpuisi sejak masih remaja SMA dan bahkan sejak usia remaja 
itu, ia sudah menjadi salaah seorang penandatangani Manikebu yang merupakan 
peristiwa budaya penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Artinya sejak remaja 
SMA, Ikra mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang dalam dan matang 
karena turut menandatangani sebuah pernyataan penting demikian [lepas dari kita 
setuju atau tidak] hanya mungkin jika kita sadar akan isinya dan atau 
ikut-ikutan.


Oleh lamanya Ikra berkecimpung di dunia perpuisian, tidaklah heran jika secara 
tekhnis nampak ada penemuan diri pada sanjak-sanjaknya di atas.Karena itu di 
sini aku tidak akan menyentuh masalah tekhnis, tapi membatasi diri tentang 
pendapat yang Ikra ungkapkan dalam sanjak-sanjak di atas terutama dalam "Path 
[3]" dan "So Strange". 


Dalam dua puisi tersebut berpendapat bahwa:


PATH (3)

those who depend on their beliefs
when facing a dead-end wall
keep moving
continue the journey

   but
go nowhere




SO STRANGE!

so strange! those who depended on their beliefs
facing a dead-end wall in the last century
are still walking in the same place even in this new century

  forever?
going nowhere?


Isi kedua puisi di atas, kalau pemahamanku benar, tidak jauh berbeda, tapi 
saling melengkapi, yang satu menggarisbawahi yang lain, di mana Ikra mengatakan 
"so strange" terhadap orang ".who depended on their beliefs". Orang-orang ini 
menurut Ikra akan berakhir pada "go nowhere"



Membaca deklarasi ini, pertanyaan yang muncul pada diriku: "Lalu apa yang Ikra 
maui? Apakah Ikra menginginkan orang-orang hidup tanpa pegangan dan menjadi 
"bendera di atas bukit" yang berkibar menurut arah angin? Bendera di atas bukit 
dengan kata lain adalah manusia bunglon, manusia angin-anginan yang  
berprinsipkan individualisme dan bila perlu tak segan menohok kawan seiring, 
dan jadi penjilat. Nilai atau prinsip menjadi tidak perlu dan tidak penting. 
Yang penting aku bisa selamat dan terangkat sehingga sang aku bisa ke mana saja 
dan bisa hidup dalam situasi apa saja. Bisa "going everywhere" or anywhere. 
Prinsip dan membela nilai manusiawi dipandang oleh Ikra sebagai "dead-end 
wall". Berpendapat begini tentu saja adalah hak Ikra sepenuhnya dan pilihan 
demikian sekaligus menentukan kadar kita sebagai anak manusia. Barangkali Ikra 
menganggap menjadi bendera di atas bukit, menjadi manusia angin-anginan, 
menohok kawan seiring, memang jauh lebih luhur dari prinsip-prinsip republiken 
dan keindonesiaan jika kita menterapkannya pada Indonesia dan Republik 
Indonesia  sehingga dengan demikian kita bisa jadi "pahlawan" di segala zaman 
tanpa menantang resiko dan bebas dari ancaman bayonet ajal, tapi JIKA, memang 
pendapat Ikra, tentu aku tidak akan sependapat. Menghalau kolonialisme Belanda 
dan menjadi bangsa merdeka, bagiku adalah suatu prinsip yang patut dibela 
dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang ditulis di tembok-tembok kata 
Yogayakarta --ibukota Rvolusi Agustus 1945 --: "Merdeka atau Mati" atau seperti 
yang diungkapkan oleh poster Affandi: "Ajo Bung!" atau sanjak-sanjak Chairil 
Anwar seperti "Aku", "Diponegoro" atau "Kerawang-Bekasi" juga yang ditunjukkan 
oleh Rendra dalam sanjak-sanjak, Riantiarno di masa Soeharto berkuasa, atau 
oleh Ramadhan KH dalam "Priangan Si Jelita".  Bagiku hidup tanpa prinsip dan 
tidak berani membela prinsip adalah suatu kekerdilan dan Indonesia serta 
Republik Indonesia yang kita impikan terwujudnya tidak memerlukan penjilat, 
orang angin-anginan dan mentalitas bendera di atas bukit sekalipun manusia 
begini tetap dan akan selalu ada. Adanya manusia jenis ini pun tidak membuatku 
berkata "so strange!", atau mengatakan yang ber

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR

2005-07-04 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR


Karya-karya  sastra Indonesia berbahasa Indonesia, tidak sedikit yang sudah 
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan dikomentari oleh pakar-pakar 
asing dan para Indonesianis berbagai negeri.Apakah komentar dan dimasukkannya 
karya-karya terpilih untuk suatu antologi terjemahan demikian menunjukkan 
karya-karya tersebut mencapai taraf lebih tinggi dari karya-karya lainnya dan 
komentar serta keterpilihannya merupakan suatu standar nilai?


Dipilihnya suatu karya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan dimasukkan 
ke dalam sebuah  bunga rampai, tentu saja dilakukan atas dasar suatu patokan 
atau standar tertentu. Standar siapa? Tentu saja standar sang atau tim pemilih 
kalau ia merupakan suatu tim. Standar tim barangkali sedikit lebih bersegi 
banyak dibandingkan dengan hanya dipilih oleh satu orang saja. Pertanyaan 
berikutnya:Apakah pakar dan Indonesianis merupakan standar kebenaran dan 
obyektivitas? Tentu saja tidak, banyak contoh menunjukkan bahwa yang disebut 
pakar dan Indonesianis ini pun penuh dengan subyektivitas bahkan kecerobohan. 
Salah satu misal adalah buku tentang masalah keagamaan di Tanah Dayak yang 
diterbitkan oleh LIPI Jakarta sehingga membangkitkan gelombang protes dari 
kalangan cendekiawan Dayak, sampai-sampai tokoh Kaharingan Kalimantan Tengah 
mengancam menjatuhkan hukuman adat pada LIPI. Contoh lain adalah sejarah 
Indonesia yang ditulis dibawah pimpinan Brigjen DR.Noegroho Notosusanto dengan 
data yang tidak sedikit diputarbalik bahkan pemalsuan. 


Berbicara tentang standar, sering standar itu bercampurbaur dengan berbagai 
macam pertimbangan, terutama pertimbangan politik. Contoh: Ketika LIPI 
menerbitkan terjemahan buku pemikiran-pemikiran politik di Indonesia, dalam 
buku tersebut pikiran-pikiran dari D.N.Aidit sama sekali dihapus alias 
disingkirkan. Padahal dalam edisi aslinya tertera pikiran-pikiran D.N. Aidit 
yang mewakili PKI. Contoh lain buku H.B.Jassin tentang Angkatan '66. Dalam 
tulisan ini H.B.Jassin memuji setinggi langit dan mengkategorikan sanjak-sanjak 
Taufiq Ismail dan lain-lain sebagai suatu angkatan, sedangkan sanjak-sanjak 
para anggota Lekra yang tidak kurang politis dan cara pengungkapannya tidak 
kurang baik dari sanjak-sanjak Angkatan '66 dikatakan sebagai sanjak-sanjak 
sloganis. Bukan karya sastra. Dengan contoh-contoh ini aku ingin menunjukkan 
bahwa dalam menilai dan memilih terdapat unsur subyektivisme. Juga dalam 
memilih apa yang diterjemahkan pertimbangan subyektif dan pertimbangan politik 
pun sulit dihindari.


Karena itu bagiku, penterjemahan karya-karya ke dalam bahasa asing dan 
pemuatannya ke dalam yang disebut majalah terkemuka atau penerbitan yang 
ditopang oleh pakar atau Indonesianis tidak mempunyai arti menentukan dan tidak 
bisa dijadikan patokan atau standar bermutu tidaknya seorang penulis sedangkan 
yang tidak dipilih menjadi ntidak bermutu.


Dalam konteks ini, aku  jadi lebih menghargai Cak Durasim dan atau Wiji Thukul 
sekali pun karya-karya mereka tidak dipilih oleh majalah terkemuka luar negeri, 
tapi dengan nyawa mereka telah membela nilai-nilai yang diungkapkannya dalam 
karya. Apa yang dibela Wiji dan Cak Durasim lebih kongkret artinya bagi usaha 
memanusiawikan manusia di tanahair daripada suatu terjemahan dan popularitas 
individual,  pamer atau iklan diri yang jika dilihat secara hakiki sangat 
menjijikkan karena orang begini biasanya tidak enggan menjual diri, jadi 
pengkhianat dan mencla-mencle, tanpa kepribadian yang tegas. Kebesaran Cak 
Durasim dan Wiji Thukul tidak pertama-tama terletak pada kemampuan tekhnis 
berkesenian tapi terdapat pada satunya kata dan perbuatan mereka. Kata adalah 
terjemahan ide dan hidup mereka. 


Dengan ini yang ingin kukatakan bahwa patokan tertinggi bagi seorang sastrawan 
masih saja terdapat pada kesanggupan atau kemampuannya dalam memanusiawikan 
manusia, masyarakat dan kehidupan di negerinya sendiri sebagai bagian dari 
kemanusiaan seplanet, bukan terletak pada apakah ia diterjemahkan dan 
diterbitkan oleh majalah terkemuka suatu negeri mancanegara atau disangga oleh 
pakar serta Indonesianis yang sering tanggung pengetahuannya tentang Indonesia 
tapi mencari hidup dari menjual nama Indonesia. Pada masa jayanya Orde Baru 
Soeharto sementara Indonesianis Perancis pernah berterus-terang kepadaku bahwa 
Indonesia adalah periuk nasi mereka dan mereka tidak mau periuk nasi ini hancur 
berantakan karena menyokong kegiatan anti Orbaku. Aku tentu saja menghargai 
keterus-terangan ini, tapi dari sini kulihat jelas bahwa nilai dan harkat diri, 
mutu kita, termasuk sastra kita, tidak ditentukan oleh para pakar dan 
Indonesianis. Dari pengalaman langsung dan bacaan kuketahui bahwa yang disebut 
pakar dan Indonesianis itu tidak bisa atau sulit membebaskan diri dari status 
pelayan politik pemerintah negerinya. Yang bisa membebaskan diri dari kaitan 
ini, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kary

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH

2005-07-04 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Boni Triyana yang baik,
Terimakasih atas komentar dan tambahan data yang sangat berharga.
Salam hangat,

JJK

- Original Message - 
  From: Boni Triyana 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, July 03, 2005 5:58 PM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN 
SEJARAH


  Bung Kusni yang baik,

  Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah 
seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah 
langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa 
otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget.

  Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, 
terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan 
juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI."  Dalam benak saya, dia jagoan titik. 
Hebat.

  Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. 
Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan 
buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari 
korban brain washing Orba.

  Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis 
dengan gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang 
kuat pula. 

  Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena 
pada periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik 
lawan-lawannya. Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu 
itu dibalas dengan membantai massal kepada 3 juta massanya.

  Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di 
kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka 
yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) 
dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam).

  Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah 
peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang 
baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi 
yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah 
yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap 
orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat 
berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca.

  Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan 
sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah 
yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang 
digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya.

  Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi 
Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata 
pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 
terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam 
keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan 
"Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat 
tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau 
milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu 
diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan 
versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan 
tersesat dalam prasangkanya.

  Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan 
Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa 
tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan 
caption yang menyesatkan. 

  Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis 
dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah 
Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966."

  So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah 
wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang 
Sejarah."

  Sekian dari saya.

  Bonnie Triyana

  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  JURNAL KEMBANG KEMUNING:


  MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


  Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer 

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA

2005-07-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


REKONSTRUKSI DATA OBYEKTIF


Dalam diskusi tentang "Lekra versus Manikebu" yang sekarang sedang terus 
berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED], ada sementara pihak yang menampakkan 
kebenciannya pada Lekra dan atas dasar pengalaman pribadi sekali pun masih muda 
remaja mengatakan tanpa ragu bahwa Lekra  pada tahun-tahun 60-an telah 
melakukan tindak-tindak antgi kebudayaan seperti membakar buku tanpa 
menunjukkan bukti bahwa jika pembakaran buku itu benar terjadi apa bukti-bukti 
bahwa yang membakarnya adalah anggota-anggota Lekra. Berbicara tanpa bukti dan 
rincian sama dengan fitnah tidak tahu malu dan tanpa harga diri sehitam kuku 
pun sambil mengagungkan diri sebagai seorang sastrawan dengan segala perangkat 
nilai kesastrawanannya, sementara itu yang jelas berapa banyak anggota Lekra 
yang disiksa , dibuang, dipenjara, dibunuh, karya-karya mereka dinyatakan 
terlarang [juga pada masa pemerintahan Soekarno], perpustakaan pribadi 
Pramoedya A. Toer di Jakarta dihancurkan tidak terbantah, merupakan kenyataan 
diketahui dunia. 


Fitnah dan kebohongan yang umum dilakukan pada masa Orde Baru, agaknya masih 
membekas dalam kehidupan hari ini. Aku katakan fitnah jika tuduhan demikian 
tidak disertai bukti dan rincian data. Fitnah memang sering dialami oleh 
orang-orang yang sedang berada di bawah angin dan kesewenang-wenangan biasa 
dilakukan oleh mereka yang berada di atas angin. 


Tidak setuju dan bahkan anti Lekra adalah hak mutlak seseorang. Tapi fitnah 
adalah soal lain yang melampaui batas nalar. Aku menghormati hak orang lain 
tidak setuju bahkan anti Lekra. Tentu saja aku menghormati hak ini. Hanya saja 
jika anti dan tidak setuju: apanya yang tidak disetujui dan diantikan?! 
Bagaimana penjelasannya?  Akan mustahil rasanya jika apa yang tidak disetujui 
dan diantikan ini pun diserahkan kepada para pakar sastra, padahal pakar sastra 
dan Indonesianis pun tidak kurang ada yang pengetahuannya tentang Indonesia pun 
pas-pasan dan mereka bukan jaminan kebenaran. Ambil contoh Keith Foulcher  atau 
Stephen Miller yang menulis tentang Lekra dengan kesimpulan yang menguntungkan 
Lekra, apakah mereka bicara tentang debat ide di intern Lekra dan rincian 
permasalahan Lekra? Bicara tentang Lekra tanpa menyentuh masalah ini kukira 
hanyalah petunjuk ketidaklengkapan pengetahuan dan data tentang Lekra.Lekra 
adalah suatu lembaga kebudayaan, dan kebudayaan bersentuhan dengan ide, pola 
pikir dan mentalitas. Apakah Keith dan Miller menyinggung pergulatan Lekra di 
bidang ini? Lagi pula mengapa sarjana asing yang dijadikan standar, padahal 
orang-orang ini menulis dengan motif tersendiri? Berbicara tentang pembakaran 
buku tanpa bukti dab rician selain fitnah, juga akan menunjukkan terbatasnya 
pengetahuan tentang konsep dan praktek kebudayaan Lekra.


Menyerahkan masalah Indonesia, dalam hal ini masalah "Lekra versus Manikebu" 
bisa merupakan cara lari menghindari tanggungjawab tapi sekaligus sikap begini 
juga adalah ujud dari mental budakisme dan pengecut yang tidak diperlukan 
Indonesia yang republiken.


Pernyataan-pernyataan bertendensi fitnah begini kukira menyentuh masalah sikap 
sejarah yang selama Orba data-datanya dijungkirbalikkan bahkan dipalsukan, 
sesuai strategi pimpinan teras CIA yang ditetapkan dalam pertemuan di Philipina 
sebelum Tragedi September 1965 meletus [lihat: Otobiografi Letkol Penerbang 
Heru Atmodjo, dalam wawancaranya dengan JJ. Kusni -- direncanakan akan 
diterbitkan oleh Ombak Press Yogyakarta tahun ini. Lihat pula Boni Triayana, 
dalam milis ppiindia@yahoogroups.com 03 Juli 2005].


Yang kumaksudkan dengan sikap sejarah adalah usaha bersikap semaksimal mungkin 
setia pada data. Artinya obyektivitas. Obyektivitas, terutama dalam ilmu 
sosial, termasuk ilmu sejarah, memang seperti yang dikatakan oleh Jan Myrdal  
mempunyai batas, karena akhirnya data itu ditafsirkan dan tafsiran akan 
mempunyai ciri subyektif. Sedangkan subyektivisme dipengaruhi oleh kondisi 
sosial-politik-ekonomi dan lingkungan pada waktu tertentu. Hanya saja jika kita 
berpegang teguh pada obyektivitas, kukira, kita akan berusaha maksimal 
mengurangi tingkat subyektvisme dalam menafsirkan data. Sejarah obyektif kukira 
merupakan keperluan mendesak negeri dan bangsa hari ini dan selanjutnya.


Kalau pun ilmu sejarah tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran atau 
subyektivisme, tapi minimal data-data jangan dipalsukan, jangan 
diputarbalikkan. Pengetangahan data sebagaimana adanya, kukira adalah suatu 
kemutlakan. Jika hal ini terpenuhi barangkali obyektivitas itu relatif 
tercapai. Apabila ada sejarawan yang mengatakan sejarah merupakan suatu 
rekonstruksi data maka kukira data yang dimaksudkan di sini akan  masih sama 
yaitu data sebagaimana adanya. Pengebiran data, pemutarbalikan data, pemalsuan 
data, akan menimbulkan krisis pada ilmu sejarah, kalau tidak ia hanya bisa 
disebut sejarah palsu. Fitnah sebagai bagian dari subyektivisme, tak ada 
sangkut-pautnya dengan data sebagaimana adan

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH

2005-07-03 Terurut Topik Boni Triyana
Bung Kusni yang baik,
 
Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah 
seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah 
langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa 
otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget.
 
Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, 
terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan 
juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI."  Dalam benak saya, dia jagoan titik. 
Hebat.
 
Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. 
Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan 
buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari 
korban brain washing Orba.
 
Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis dengan 
gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang kuat 
pula. 
 
Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena pada 
periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik lawan-lawannya. 
Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu itu dibalas 
dengan membantai massal kepada 3 juta massanya.
 
Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di 
kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka 
yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) 
dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam).
 
Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah 
peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang 
baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi 
yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah 
yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap 
orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat 
berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca.
 
Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan 
sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah 
yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang 
digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya.
 
Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi 
Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata 
pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 
terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam 
keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan 
"Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat 
tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau 
milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu 
diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan 
versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan 
tersesat dalam prasangkanya.
 
Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan 
Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa 
tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan 
caption yang menyesatkan. 
 
Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis 
dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah 
Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966."

So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah 
wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang 
Sejarah."
 
Sekian dari saya.
 
Bonnie Triyana

Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang 
kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain  dari 
"mani kerbau". 

Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di 
negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang 
setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan 
memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu 
tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Pro

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH

2005-07-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang 
kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain  dari 
"mani kerbau". 

Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di 
negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang 
setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan 
memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu 
tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Prof. Arkoun 
dari Univ. Sorbonne [Paris III] dalam sebuah ceramahnya membedakan dua macam 
sejarah, yaitu sejarah tafsiran alias sejarah politis dan sejarah obyektif. 
Sejarah tafsiran atau politis adalah sejarah yang ditulis demi kepentingan 
politik tertentu dari suatu rezim tertentu. Oleh keberpihakan membuta begini 
maka si penulis tidak segan memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan 
kebohongan yang oleh Goebel, menteri penerangan Hitler diberi dasar teori 
"kebohongan akan jadi kebenaran jika dipropagandakan terus-menerus". Tiga puluh 
tahun rezim Orde agaknya merupakan periode "penyebaran kebohongan" sehingga 
"kebohongan itu menjadi "kebenaran", kebenaran pihak pemegang kekuasaan, dan 
penyebaran kebohongan ini dikawal oleh Orde Baru Soeharto dengan pendekatan 
"keamanan dan kestabilan nasional" yang melahirkan ketakutan dan membunuh 
pertanyaan. Pertanyaan menjadi suatu tindak subversif.

Pemutarbalikan data sejarah dan penyebaran luas kebohongan oleh pemegang 
kekuasaan politik akan langsung mempunyai dampak pada masyarakat luas, 
lebih-lebih jika ia dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah si seluruh 
tingkat. Kebohongan dan pemutarbalikan ini diperkokoh oleh media massa yang 
hadir di rumah-rumah keluarga, menyusup hingga bilik-bilik pribadi saban hari 
sehingga anak-anak yang lahir dan diasuh pada zaman Orba boleh dikatakan tumbuh 
mendewasa dengan ide-ide kebohongan. Kalau kebohongan dan pemutarbalikan ini 
adalah daki-daki dan debu, maka daki dan debu-debu inilah yang menutup jiwa dan 
pikiran satu angkatan paling tidak, sama dekilnya dengan jiwa kaum sektarian. 
Membuang daki-daki dan debu ini bukanlah pekerjaan sederhana seperti membalik 
telapak tangan. Tidakkah masalah ini menjadi bidang garapan para sastrawan?!

Terbitnya berbagai Memoire para saksi sejarah yang masih tersisa dan lepas dari 
pembinasaan fisik, pada masa yang digelapkan sesudah turun panggungnya 
Soeharto, kukira termasuk acuan berguna bagi angkatan muda. Daya kritik tetap 
diperlukan dalam membaca Memoire itu, sebab sering dalam menulis tentang diri 
sendiri, orang gampang terpeleset ke lobang-lobang egosentrik.

Jadi kalau dikatakan di negeri ini ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah 
maka penanggungjawab utamanya adalah pemegang kekuasaan politik. Sejarah 
dijadikan alat penopang kekuasaan. Tapi sejarah itu sendiri tetap ada 
sebagaimana adanya kejadian-kejadian itu sendiri. Ia ada sebagaimana dirinya, 
entah disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak tapi sebagai data dan 
kejadian ia akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Jika dikatakan 
ketidaksinambungan maka ketidaksinambungan itu sendiri, kukira adalah ujud dari 
suatu sejarah tertentu pada periode tertentu. Dari segi ini, aku kira, 
sesungguhnya tidak ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah. Yang disebut 
ketidaksinambungan sejarah di atas, kukira, adalah praktek politik terhadap 
sejarah, dan praktek ini ujud dari sebuah sejarah juga. Sejarah sebagaimana 
adanya sejarah. Misalnya: Manikebu atau Lekra, suka atau tidak suka orang 
padanya, keduanya ada dan nyata ada dalam catatan sejarah. Masalahnya: 
Bagaimana kita memahami hakekat peristiwa dan menempatkannya dalam suatu 
rangkaian sari sejarah yang utuh.

Untuk memahami sari ide dan musabab atau roh yang melatari kejadian-kejadian 
ini untuk kepentingan-baik hari ini dan masa depan, kukira menjadi inti dari 
suatu pengkajian dan diskusi. Pengkajian masalah atau renungan, bukanlah 
mengembangkan saling hujat yang tak akan punya ujung, juga bukan pamer jasa dan 
kepahlawanan atau keluarbiasaan diri. Mengabaikan sari ide, mengenyampingkan 
roh, dan pertanyaan-pertanyaan hakiki, hanya akan membawa kita ke jalan buntu 
ketidaktahuan. Hal ini pun kukira berlaku pada saat kita memperbincangkan 
masalah Lekra versus Manikebu. Agar perbincangan jadi efektif, mengena pada 
sasaran barangkali, yang kita perlukan adalah merumuskan pertanyaan-perta

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENGGALAKKAN SISTEM JARINGAN KERJA ANTAR KOMUNITAS

2005-07-02 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 



MENGGALAKKAN SISTEM JARINGAN KERJA ANTAR KOMUNITAS SASTRA-SENI

"Jurnal Kembang Kemuning" yang mengisahkan kegiatan Jaring Penulis Kaltim [JPK] 
telah mendapat sambutan hangat dari Gola Gong pengasuh Komunitas Rumah Dunia, 
Banten dan sementara anggota milis [EMAIL PROTECTED] yang anggota-anggotanya 
tersebar di seluruh Kalimantan, Borneo dan berbagai negeri. Gola Gong dari 
Rumah Dunia Banten misalnya seperti biasa sambil menyampaikan harapan 
terbaiknya kepada komunitas-komunitas saastra-seni itu, ia pun menyatakan bahwa 
pintu Rumah Dunia selalu terbuka untuk semua kerjasama dan saling belajar.

Seperti sering kukatakan bahwa lahirnya komunitas-komunitas sastra begini 
merupakan penemuan baru angkatan sekarang dalam mengembangkan krativitas pada 
saat mereka berada dalam kebuntuan dan tekanan yang keras dari suatu sistem 
yang tiranik. Lahirnya komunitas-komunitas begini kukira juga memperlihatkan 
bahwa kerja kreatif memang merupakan kensicayaan kehidupan yang tidak bisa 
ditahan dan ditindas oleh kekuasaan tiran sekejam apa pun. Pramoedya A. Toer 
bahkan melahirkan empat karya utama Pulau Burunya justru di pulau pembuangan 
itu, sedangkan pada masa kekuasaan Soviet yang represif, di Uni Soviet tumbuh 
sastra samizdat,di Indonesia misalnya lahir sastra bawahtanah dan yang disebut 
"sastra eksil", dan  tentu masih banyak contoh lagi.

Dibandingkan dengan masa pemerintahan Soekarno di mana para sastrawan-seniman 
umumnya tergabung dalam organisasi-organisasi kebudayaan terpusat, maka berbeda 
halnya dengan komunitas-komunitas sastra-seni yang terdapat sangat banyak di 
berbagai daerah dan pulau. Komunitas-komunitas ini bersifat independen dan 
umumnya mereka muncul dari bawah atas prakarsa seniman-seniman itu sendiri. 
Berdirinya komunitas-komunitas ini kukira, merupakan petunjuk bahwa massa itu 
sangat kreatif. Dengan lahirnya komunitas-komunitas ini maka para seniman 
secara praktek telah mendesentralisasikan kehidupan kesenian dan menolak 
monopoli nilai standar dalam berkesenian. Melalui praktek-praktek berkesenian, 
komunitas-komunitas ini melaksanakan secara nyata prinsip budaya "bhinneka 
tunggal ika" di negeri ini, prinsip yang dijegal oleh pikiran tunggal, asas 
tunggal dan sentralisme Orde Baru. Dengan kegiatan dan kreasi yang 
diperlihatkan oleh komunitas-komunitas ini maka tidak bisa dikatakan bahwa 
kelompok ini dan itu di Jakarta merupakan standar berkesenian. 
Kelompok-kelompok di Jakarta dalam perkembangannya hanyalah salah satu saja 
bagian dari komunitas-komunitas yang ada di negeri ini. Melihat perkembangan 
berkesenian Indonesia sekarang, maka aku melihat jasa tak terabaikan dari 
komunitas-komunitas ini untuk adanya kebudayaan Indonesia yang republiken dan 
berkeindonesiaan. Jasa ini kukira merupakan bentuk kepeloporan para seniman 
dalam bermasyarakat, berkeindonesiaan dan ber-republik-indonesia.

Masalah daerah dan pusat, memang dimunculkan oleh Orba ketika Orba menterapkan 
asas tunggal dan pikiran tunggal yang sangat sentralistis represif dan 
eksploatatif menyebabkan daerah hanya sebagai sapi perahan, kebudayaan daerah 
dihancurkan secara lebih sistematik, lebih sistematik daripada yang dilakukan 
oleh kolonialis Belanda. Oleh pilihan politik ini maka daerah bangkit melawan, 
sampai-sampai muncul gerakan pemisahan diri dan memerdekakan diri. Dari segi 
ini maka yang menjadi sumber dari masalah daerah memang Orba. Sedangkan masalah 
daerah pada masa pemerintahan Soekarno kukira lebih terletak  pada bagaimana 
"bhinneka tunggal ika", nilai-nilai republiken berkeindonesiaan itu terwujud. 

Setelah bertaburannya komunitas-komunitas sastra-seni ini, pertanyaan berikut 
yang muncul kukira menjadi bagaimana membuat gebrakan kepeloporan 
komunitas-komunitas ini bisa menjadi lebih efektif dan berdaya dalam skala dan 
hasil? 

Pada pertanyaan inilah kukira terletak masalah perlunya komunitas-komunitas 
menggalakkan lebih jauh kerjasama, salingbantu dan saling tukar-pengalaman. Aku 
bahkan berpikir mengapa tidak misalnya komunitas-komunitas membentuk suatu 
federasi melalui mana dirumuskan politik kebudayaan dari bawah, oleh para aktor 
kebudayaan itu sendiri atas dasar praktek dan pengalaman-pengalaman mereka 
sendiri. Aku kira rumusan yang mereka telurkan akan lebih tanggap dan aspiratif 
daripada dilakukan oleh kongres kebudayaan elitis yang mengabaikan para aktor 
itu sendiri. Kongres atau konfrensi antar komunitas ini barangkali sekaligus 
bisa merumuskan program kebudayaan terkordinir, tanpa melepaskan independensi 
komunitas. 

Khusus untuk pertanyaan ini, aku kira masalahnya termasuk mendesak, dan dari 
segi ini aku sangat menghargai usaha JPK [Jaringan Penulis Kaltim]  yang 
mengisyaratkan mimpi dan keinginan melalui penerbitan antologi puisi Kalimantan 
dan akan segera diluncurkan -- mungkin di Yogyakarta awal Agustus 2005 ini. Aku 
tahu benar, di Kalteng, di Kalbar juga di Kalsel terdapat banyak 
sanggar-sanggar kesenian-kesenian dan komunitas-komuni

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [2-- SELESAI].

2005-06-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [2 -- SELESAI].



Apabila kita mengamati kegiatan sastra di Kaltim setelah bedirinya JPK dan 
mungkin sebentar lagi akan disusul oleh Komite Sastra [KOMSAS] yang 
kedengarannya akan dipimpin oleh penyair Harsanti, maka nampak benar kegiatan 
bersastra di Kaltim sangat meningkat. Barangkalki bisa dikategorikan sampai 
pada tingkat maju melompat.  Diskusi-diskusi tentang berbagai masalah 
sastra-seni dilakukan berulangkali, lebih-lebih di Balikpapan.

Yang lebih menarik lagi bagiku bahwa kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara 
berencana berdasarkan mata program yang sudah ditetapkan.Kegiatan berencana 
betapa pun nampaknya kecil, tapi ia sudah melebih kegiatan spontan betapa pun 
besarnya. Adanya rencana, memungkinkan kita mengembangkan sesuatu secara 
terukur dan kemudian melihat apakah segala kegiatan itu sudah mencapai tujuan 
minimal dan maksimal.


Aku tidak tahu benar, apakah JPK sudah mempunyai pusat berkumpul permanen 
sekaligus semacam padepokan model yang dimiliki oleh Rendra di Depok, Jakarta 
atau "Rumah Dunia" asuhan Gola Gong di Banten. Tapi aku kira, hal ini masih 
belum karena usia JPK pun belum terlalu tua. Dugaan ini menjadi diperkuat dan 
memperoleh dasar apabila kita membaca cermat program JPK di atas dan melihat 
susunan pengurus JPK yang untuk hidup melakukan kegiatan-kegiatan lain. 
Artinya, bersastra merupakan kegiatan sampingan, sebagaimana umumnya terjadi di 
Indonesia.Seandainya JPK dan kelak juga KOMSAS mempunyai sejenis padepokan 
model "Rumah Dunia" Gola Gong dan Padepokan Depok Rendra, tempat ini akan 
berfungsi sebagai pusat kebudayaan dalam bersegi banyak. Lebih-lebih jika 
padepokan atau pusat kebudayaan ini bertempat di kampung atau pedesaan maka 
arti pentingnya akan langsung dirasakan oleh penduduk kampung atau desa. Di 
Serua Indah misalnya, hal ini telah ditunjukkan oleh Herawati Wasito yang 
mengorganisasi kursus-kursus masak dan membuka perpustakaan kampung untuk Serua 
Indah,Ciputat. Apa yang dilakukan oleh Herawati Wasito dan "Rumah Dunia" asuhan 
Gola Gong merupakan ujud kongkret bagaimana membangun kebudayaan dan 
membudayakan masyarakat dari bawah. Barangkali dengan menimba pengalaman dari 
komunitas-komunitas begini, komunitas-komunitas di berbagai daerah dan pulau, 
termasuk Kalimantan [cq. Kalimantan Timur dengan JPK-nya] akan bisa memperoleh 
cara sendiri yang tanggap keadaan dan lingkungan serta aspiratif.

Titik lain yang kukira patut digarisbawahi dari program kegiatan JPK adalah 
kesadaran mereka akan arti pentingnya jaringan baik dengan propinsi-propinsi 
lain se Kalimantan termasuk Borneo, mau pun dengan pulau-pulau lain terutama 
Jawa. Sistem kerja jaringan dan perluasan sistem ini akan memungkinkan kita 
keluar dari tempurung kecil langit kita, dan menjelajah cakrawala lebih luas. 
Dengan begini, standar berkarya pun akan menjadi lebih luas sebagai akibat 
wajar. Masalah standar ini, kukira menghindari kita untuk dijerat oleh 
kepongahan karena kurang pengetahuan dan pengenalan. Dengan modal sistem 
jaringan lokal dan nasional akan relatif gampang untuk mengembangkannya lebih 
lanjut ke tingkat internasional. Solid tidaknya organisasi komunitas, kukira 
akan membantu berkembangnya sistem kerja jaringan ini. Kesadaran JPK akan makna 
sistem kerja jaringan ini selain ditunjukkan oleh profile dan programnya, juga 
dinyatakan dengan sederhana tapi tegas oleh Amien R. Wangsitalaja, sekretaris 
JPK, ketika menjawab tanggapan Gola Gong dari "Rumah Dunia" Banten. Ujar Amien 
R.Wangsitalaja:

"terima kasih pak kusni, atas semangatnya menyebarkan "virus" jpk. terima kasih 
bang gola gong, atas sambutannya. jpk dan sanggar sastra tasik tentunya bisa 
bermitra jaya, jaya, jaya" [29 Juni 2005].

Tumbuh berkembangnya komunitas-komunitas sastra-seni dan tergalangnya kerjasama 
antar komunitas, aku kira akan membuat konsep "sastra-seni kepulauan" akan 
mendapat ujudnya yang kian nyata. Dan apabila komunitas-komunitas sastra-seni 
seluruh tanahair pada suatu hari bertemu, maka pertemuan begini akan merupakan 
sejenis kongres atau konfrensi nasional kebudayaan dari bawah dan  oleh  
aktor-aktor kebudayaan di lapangan itu sendiri, dan barangkali akan lebih 
efektif,lebih tanggap situasi dan aspiratif  hasilnya daripada yang 
diselenggarakan oleh pemerintah. 

Kesadaran JPK akan arti sistem kerja jaringan secara nyata diperlihatkan sejak 
usia mudanya dengan menerbitkan antologi puisi Kalimantan dan juga rencana 
melangsungkan pertemuan penulis seluruh Kaltim untuk menggalakkan sistem 
jaringan di Kaltim sendiri sebagai pangkalan. Tentu bukan kebetulan pula, jika 
informasiku benar, apabila peluncuran antologi ini dilakukan di Yogyakarta. 
Yogyakarta adalah pusat kebudayaan lama, dan sebuah kota di mana paling banyak 
mahasiswa Kalimantan dari berbagai propinsi sedang belajar. Peluncuran di 
Yogya, digunakan oleh JPK untuk menggaungkan suara ke berbagai penjuru mata 
angin mengumumkan kehadirannya da

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [1].

2005-06-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

BERKEMBANGNYA KEGIATAN JARING PENULIS KALTIM [1].


Perkembangan baru yang menarik dalam di daerah-daerah adalah apa yang terjadi 
di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan. Kegiatan ini terutama dimotori oleh 
Jaring Penulis Kalimantan Timur [JPK]. Sebelum membicarakan lebih lanjut 
tentang kegiatan-kegiatan JPK maka aku ingin memperkenalkan profil JPK, 
berdasarkan bahan yang terima dari mereka:   


the network of east kalimantan's writers


JARING PENULIS KALTIM


Kepenulisan kreatif adalah sebuah aktivitas intelektual yang amat berperan di 
dalam meningkatkan kualitas kemanusiaan dan kebermasyarakatan.

Jaring Penulis Kaltim (JPK) adalah sebuah lembaga independen nonprofit 
didirikan sebagai wadah kekerjasamaan untuk menciptakan iklim yang 
menggairahkan di dalam manggala kepenulisan kreatif di Kalimantan Timur.

Keanggotaan JPK bersifat terbuka. Seluruh komponen masyarakat yang memiliki 
minat terhadap kepenulisan dapat bergabung dengan JPK.


SUSUNAN PENGURUS 


Pembina 

Korrie Layun Rampan (Sastrawan, Ketua Komisi I DPRD II Kubar, Melak) 
Drs. Mugni Baharuddin (Penyair, Kadisdik Kota Samarinda, Samarinda) 

Syafril Teha Noor (Pemimpin Redaksi Kaltim Pos, Samarinda) 

Ketua : Herman A Salam (Sastrawan, Kepala Sekolah SMPN 17, Samarinda)

Sekretaris:Amien Wangsitalaja (Sastrawan, Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi 
Kaltim, Samarinda.

Bendahara: Hj. Nordiani (Kepala Sekolah SMPN 9, Samarinda)

Aggota Pengurus:

Erminawati (Guru Bahasa Indonesia SMAN 8, Samarinda)

Atik Sulistyowati (Cerpenis, Guru Bahasa Indonesia SMAN 10, Samarinda)

Atik Sri Rahayu (Penyair, Guru Bahasa Indonesia SMAN 10, Samarinda)

Diyan Kurniawati (Cerpenis, Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Kaltim, 
Samarinda)

Harsanti (Sastrawan, Swasta, Balikpapan)

Karno Wahid (Sastrawan, Pegawai Dispenda, Tenggarong)



MEDAN KERJA

* Kampanye budaya membaca dan menulis

* Pelatihan dan bengkel kepenulisan

* Penerbitan buku

* Pendirian perpustakaan atau "rumah baca" 

* Pendirian kios buku


KEMITRAAN


Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera), Malaysia

Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta

Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jakarta

Majalah Sastra-Budaya Aksara, Jakarta

Majalah Sastra Horison, Jakarta

Majalah Matabaca, Jakarta

Harian Tribun Kaltim, Balikpapan

Harian Kaltim Post, Balikpapan

Penerbit Kompas, Jakarta

Penerbit Galang, Yogyakarta

Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta

Penerbit Mahatari, Yogyakarta

Penerbit Navila, Yogyakarta

Penerbit Bentang, Yogyakarta

Penerbit LKiS, Yogyakarta

Penerbit Indonesiatera, Magelang

Aliansi Penerbit Independen (API), Yogyakarta

Creative Writing Institute (CWI), Jakarta

Forum Lingkar Pena (FLP), Jakarta

Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Jakarta

Yayasan Multimedia Sastra (YMS), Jakarta

Koordinatoriat Bangkit Nusantara, Jakarta

Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta

Komunitas Ladang, Samarinda

Forum Lingkar Pena Kaltim, Bontang

Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Samarinda, Samarinda

Depdiknas Provinsi Kaltim, Samarinda

Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten di Kaltim

MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia

Dewan Kesenian Daerah Kaltim, Samarinda

Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten di Kaltim



AGENDA KERJA YANG SEDANG DILAKSANAKAN


Penerbitan Buku Kumpulan Cerpen Kaltim Bingkisan Petir

Pelaksanaan: Juli 2005

Penulis: cerpenis-cerpenis Kalimantan Timur

Sifat peredaran: nasional


Pertemuan Penulis Kaltim

Pelaksanaan: Juli 2005

Bentuk acara: sarasehan, diskusi, pentas sastra

Pengisi: pembicara dari Jakarta, Melak, Balikpapan, dan Samarinda

Tujuan: penggairahan dunia tulis-menulis di Kalimantan Timur

Sasaran: guru, penulis, seniman, mahasiswa, masyarakat umum


Peluncuran Buku Aceh

Pelaksanaan: Juli 2005

Bentuk acara: diskusi, pentas seni Aceh, pembacaan kisah

Pengisi: seniman Aceh, tokoh masyarakat Samarinda, seniman Samarinda, siswa SMA

Tujuan: solidaritas sosial dan penggalangan dana untuk recoveri Aceh

Sasaran: pejabat pemerintah, pengusaha, pendidik, seniman, masyarakat umum


AGENDA KERJA YANG DIRENCANAKAN


1. Penerbitan Buku Cerpen Kaltim Edisi 2
2. Pelatihan Jaringan, Penerbitan, dan Penulisan Kreatif

Prawacana: Membaca Meraih Dunia


Menulis Esai

Syafril Teha Noor (Red. Harian Kaltim Pos, Samarinda)

Ahmadun Y Herfanda (Red. Budaya Harian Republika, Jakarta)

Menulis Cerpen dan Novel

Joni Ariadinata (Pengasuh Cerpen Annida, Red. Majalah Sastra Horison, Jakarta)

Helvy Tiana Rosa (Forum Lingkar Pena, Jakarta)

Menulis Resensi Buku

Amien Wangsitalaja (Sastrawan, Penulis, Samarinda)

Arief Santosa (Red. Harian Jawa Pos, Surabaya)

Kaltim sebagai Sumber Inspirasi Kepenulisan

Herman A Salam (Sastrawan, Samarinda)

Korrie Layun Rampan (Sastrawan, Melak)

Membangun Jaringan

Doddy Achmad Fawdzi (Networker, ex. Wartawan Harian Media Indonesia, Jakarta)

Safrullah Sanre (Networker, Sastrawan, Makassar)

Penerbitan Alternatif & Politik Media Massa

Arief Fauzi M (Direktur Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta)

Gunawan Wibis

[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: "Brouillons de la Culture" [BDC] Bernard Pivot

2005-03-11 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Jurnal Kembang Kemuning:



"BROUILLONS de la CULTURE [CORAT-CORET KEBUDAYAAN] BERNARD PIVOT


1.

Bernard Pivot adalah salah seorang tokoh dalam dunia sastra dan budaya Perancis 
sekarang, termasuk dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Perancis. Pivot 
lah yang melalui sebuah bukunya "Menyelamatkan 100 Kata Yang Hampir Hilang" 
mengatakan bahwa kalau kita berjuang membela kelestarian hutan, menolak 
pembabatan hutan secara liar demi kehidupan kita, mengapa kita tidak bersikap 
sama terhadap bahasa. Dengan latar pikiran begini,maka Pivot mengangkat ulang 
dan mempopulerkan kembali 100 kata-kata lama dalam bahasa Perancis yang hampir 
hilang. Kata-kata lama pun di mata pandang Pivot masih bisa melayani 
kepentingan kehidupan kekinian kita.Mengapa kata-kata itu mesti dibuang?


Dalam bidang sastra, melalui acara tetap televisinya di terusan FR2 [France2], 
Pivot secara teratur membahas secara mendalam karya-karya Perancis dan bukan 
Perancis yang baru diterbitkan. Berbagai kritikus, termasuk sang sastrawan 
terkait, oleh Pivot diundang untuk bersama-sama membicarakan karya-karya 
tersebut. Salman Rusdhi, Solzenitzin, Nasrin, Jelinek, Bernard Henri Levy, 
Claude Simon, Jean d'Ormesson, Gao Xingjian, Julia Kristeva, hanyalah 
segelintir saja dari deretan panjang nama-nama besar di dunia sastra yang 
diundang oleh Pivot untuk mengisi ruangan budayanya. 


Secara ekonomi, buku-buku yang telah dibahas oleh Pivot melalui ruang tetapnya 
ini, bisa dikatakan akan laku keras sehingga masuk tidaknya suatu karya di 
acara Pivot oleh para penerbit dan pengarang dipandang sebagai salah satu 
ukuran berhasil tidaknya karya yang diterbitkan. Pendapat Pivot nampak sangat 
berpengaruh di kalangan sastrawan, budayawan dan penerbit Perancis.


Dalam bidang bahasa, Pivot jugalah yang mempelopori lomba dikte internasional 
menulis bahasa Perancis. Perlombaan ini diikuti oleh peserta dari berbagai 
negeri termasuk beberapa orang dari Indonesia.


Untuk menghargai jasa-jasa Pivot di bidang sastra dan bahasa, oleh François 
Mitterrand, presiden budayawan Perancis itu, kepada Pivot telah  diberikan 
bintang jasa "Legion d'honneur". Bintang jasa ini pulalah yang pernah diberikan 
kepada Pramoedya A. Toer bertepatan dengan kunjungan singkatnya ke Paris pada 
tahun 1999 bersama-sama Joesoef Isak dari Penerbit Hasta Mitra.Karena waktu 
Pram di Paris terlalu singkat dan daftar urutan undangan sudah terlalu panjang, 
maka Pram sekali pun sudah diusulkan ke Pivot tapi Pivot tidak berdaya untuk 
mengobah programnya.


Sekarang apa yang dilakukan oleh Pivot dalam bidang sastra-budaya melalui ruang 
khususnya di televisi diikuti oleh budayawan-budayawan angkatan muda di 
terusan-terusan telivisi lainnya. Sedangkan Pivot meneruskan acaranya di FR2 
melalui rubrik "Bruillons de la Culture" [BDC] -- "Corat-coret Kebudayaan". 
Kekhususan Pivot dari rubrik-rubrik sejenis yang diselenggarakan oleh 
budayawan-budayawan dari angkatan di bawah Pivot, terdapat dalam cara pengisian 
yang kemudian berdampak pada taraf isi.


Bagaimana Pivot mengisi BDCnya? 


Kontak-kontak budaya Pivot  sangat luas di berbagai benua. Masalah yang 
diangkat oleh Pivot memang bukan hanya Perancis tetapi juga mencakup sastra dan 
budaya dunia. Pembukaan diri ini diarahkan oleh Pivot untuk memperkaya dan 
mendukung sastra dan budaya Perancis. Dengan menggunakan jaringannya yang luas 
ini maka Pivot tidak segan-segan mendatangi tokoh-tokoh yang ingin 
dibicarakannya, merekam perjalanannya ke dalam bentuk filem atau DVD untuk 
disiarulang. Melalui cara ini, Pivot membuat acaranya sangat hidup dan tidak 
membosankan. Masalah-masalah yang diangkatnya senantiasa disertai dengan latar 
sejarah, lingkungan, termasuk lingkungan sosial yang bersangkutan, sehingga 
pemirsa menjadi paham akan proses pembentukan diri seorang sastrawan dan jalan 
pikirannya. Roman atau novel yang kita baca pun dengan demikian akan menjadi 
lebih gampang mencernanya. Saya tidak tahu, apakah cara Pivot mengisi BDCnya, 
menganalisa karya-karya yang dibahasnya bisa disebut sebagai metode Pivot. Tapi 
saya memperoleh kesan  bahwa metode Pivot  ini tak obah dari  salah satu bentuk 
  analisa dan kritik sastra yang disesuaikan dengan perkembangan kemajuan 
tekhnologi? Yang jelas juga bahwa metode kritik dan analisa sastra Pivot yang  
ringan tapi sarat muatan sangat efektif dalam mengembangkan apresiasi sastra 
dan budaya. Pengaruh Pivot sangat terasa dalam masyarakat sastra dan dunia 
penerbitan sastra. Pivot bukan hanya seorang dokumentalis, tetapi juga seorang 
pembahas dan kritikus sastra. Ia juga mempunyai kolom-kolom tetap di berbagai 
harian seperti "Le Journal du Dimanche", Paris. 


Setelah mengikuti acara-acara BDC Pivot sampai malam kemarin [10 Maret 2005], 
saya dapatkan bahwa salah satu kekuatan Pivot dalam BDC terletak dalam 
pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Masalah-masalah pemikiran dan sastra 
yang pelik, melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban  interlukotor 
[lawanbicara]nya, masal

[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menumbuh-Kembangkan Sastra Buruh Migran

2005-03-08 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING:
MENUMBUH-KEMBANGKAN SASTRA BURUH MIGRAN



Komunitas Perantau Nusantara [KPN] Hong Kong, yang kalau tidak salah, 
anggota-anggotanya terutama terdiri dari Tenaga Kerja Wanita [TKW] dalam surat 
siarannya di milis [EMAIL PROTECTED] [05 Maret 2005] dalam rangka memperingati 
Hari Kartini 21 April mendatang  bermaksud menyelenggarakan lomba menulis puisi 
di kalangan buruh migran Indonesia. Surat siaran KPN itu menunjukkan bahwa 
"Tujuan utama yang hendak dicapai melalui lomba ini adalah :1) mengupayakan 
lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran Indonesia.2) memacu 
semangat para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong dalam kecintaan mereka 
terhadap sastra". Lebih lanjut disebutkan bahwa "Lomba ini dimaksudkan sebagai 
wahana untuk menjaring para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong yang 
mempunyai interest pada puisi dan dunia sastra pada umumnya. Peserta lomba 
boleh menulis puisi dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris". Kemudian "Dari 
seluruh peserta lomba akan dipilih 20 puisi yang terbaik (10 puisi berbahasa 
Indonesia dan 10 puisi berbahasa Inggris).Keduapuluh puisi tersebut akan 
diterbitkan dalam bentuk buletin dan pemenang akan memperoleh sertifikat dan 
hadiah berupa buku kumpulan puisi karya penyair Indonesia". "Top ten" 
[peringkat 10 terbaik] pemenang lomba ini akan diumumkan pada  17 April 2005, 
di  acara peringatan hari Kartini yang akan diadakan oleh IMWU dan KOTHIHO di 
lapangan Victoria Park V Hong Kong, sedangkan  sanjak yang menduduki nilai 
peringkat pertama akan dibacakan di acara tsb. Untuk bisa mengikuti lomba 
menulis puisi ini ditetapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

"1) Pekerja Migran Indonesia tanpa batas usia, lelaki dan perempuan.
2) Menuliskan Biodata disertai No ID HK dan nomor telpon.
3) mengirimkan satu buah puisi (berbahasa Indonesia atau Inggris) sebelum 
tanggal 3 April 2005.
4) tema puisi adalah "Mari Mengumpat"¨ Sebuah tema yang dipilih untuk 
mengungkapkan keluh-kesah, perasaan dan segala macam fenomena yang terjadi dan 
dialami oleh Pekerja Migran Indonesia di Hongkong. Puisi dikirimkan ke [EMAIL 
PROTECTED] Atau via post(boleh ditulis tangan) dialamatkan: Komunitas Perantau 
Nusantara. 406 Rear blok 13/F .Desvoex Road West V HK".

Yang menarik, karena sangat langka terjadi di negeri kita, bahwa Deputi Bidang 
Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan secara khusus menulis 
kata sambutan yang ditandatangani oleh Abdul Azis Hoesein, terhadap kegiatan 
yang diorganisasi oleh KPN ini. "[...] sepanjang sejarah yang saya ketahui baru 
kali ini ada lomba menulis puisi yang pesertanya dikhususkan bagi para pekerja 
migran Indonesia", ujar Abdul Azis Hoesein dalam Surat Sambutannya tertanda 
Jakarta 7 Maret 2005, yang selanjutnya juga menulis: 

"Saya sangat menghargai gagasan menyelenggarakan lomba menulis puisi ini karena 
selain mengupayakan lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran 
Indonesia, juga memacu semangat para pekerja migran Indonesia di Hongkong dalam 
kecintaan mereka terhadap sastra.


Saya sudah membaca sajak-sajak yang dibuat oleh salah seorang buruh migran di 
Hongkong yang sangat menyentuh, menggambarkan bukan hanya kekangenan kepada 
keluarganya di tanah air, tetapi juga semangat perlawanan kepada ketidak adilan 
dan solidaritasnya yang tinggi kepada sesama pekerja migran yang menderita dan 
bermasalah. 


Puisi yang bagus membangkitkan kekaguman, pengertian, solidaritas, dan dukungan 
kepada penulisnya. Sehingga dalam kasus buruh migran Indonesia, puisi yang 
bagus dapat membentuk opini dan keberpihakan yang jujur kepada buruh migran 
kita.


Saya mengucapkan selamat atas diselenggarakannya Lomba ini dan berharap segenap 
buruh migran Indonesia di Hongkong memanfaatkan kesempatan baik ini untuk 
menunjukkan eksistensinya dan kemampuannya dalam menulis puisi".

dan sekaligus menyampaikan "apresiasi yang tinggi" kepada  "Komunitas Perantau 
Nusantara yang menjadi organizer lomba ini". 

Apresiasi dan sambutan hangat dari  Abdul Azis Hoesein atas nama Deputi Bidang 
Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan ini barangkali akan 
lebih nyata dan bermanfaat lagi apabila pihak Kementerian Pemberdayaan 
Perempuan mengambil prakarsa untuk menerbitkan antologi puisi karya-karya buruh 
migran ini. Tentu saja akan lebih baik jika yang diterbitkan itu, jika pihak 
"Kementerian" sepakat dengan usul ini, bukan hanya karya-karya hasil lomba, 
tetapi juga termasuk karya-karya buruh migran yang selama ini tersebar dalam 
berbagai milis seperti "sastra_tki", "buruh-migran", penerbitan-penerbitan 
seperti yang ada di Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan atau pun Jepang, dan 
lain-lain Hasil lomba bisa dijadikan bagian tersendiri pada antologi 
tersebut. Dengan demikian, maka melalui antologi tersebut, relatif tercermin 
berbagai segi permasalahan, keadaan dan harapan para buruh migran kita. Apabila 
usul ini diterima maka sejarah akan mencatat bahwa pihak "Kementerian" turut 
menumbuh

[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Kalau Penelitian Buchari Jadi Model Karya LIPI

2005-03-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING:

KALAU PENELITIAN BUCHARI JADI MODEL KARYA LIPI



Marko Mahin melalui artikelnya "Teks-teks Kolonial: Surat Terbuka Untuk DR. 
Muhamad Hisyam"  telah membahas buku LIPI tentang Dayak bab per bab.Terhadap 
tulisan yang merupakan hasil penelitian M.Saleh Buchari ini, komunitas 
Kaharingan Kalimantan Tengah yang merasa tersinggung berniat menjatuhkan 
hukuman secara adat. Saya sendiri sudah meminta kepada Redaksi Harian Suara 
Pembaruan, Jakarta, agar  memberikan ruang hak jawab kepada Buchari dan 
mengharapkan kepada Buchari agar mempertanggungjawabkan isi tulisannya secara 
terbuka dengan kejujuran seorang ilmuwan sosial, lebih-lebih untuk 
mempertangungjawabkan apa yang dia sebut sebagai hasil penelitian 
ilmiah.Dijatuhkannya hukuman adat ini kepada LIPI dan Buchari, adalah urusan 
komunitas Kaharingan, sedangkan saya sendiri lebih mengutamakan adu data dan 
debat.

Permintaan dan harapan ini, lebih-lebih diperlukan lagi karena Buchari 
menyiarkan hasil yang disebut sebagai hasil penelitian atas nama LIPI, sebuah 
lembaga resmi yang mengatas namai lembaga ilmu pengetahuan sosial resmi di 
negeri ini. Sanggahan dari sementara intelektual Dayak yang diteliti atau 
dijadikan obyek,khususnya komunitas Kaharingan yang langsung dibicarakan oleh 
peneliti LIPI bernama Buchari, secara langsung menyangkut kredibilitas LIPI 
sebagai lembaga penelitian resmi.Masyarakat Kaharingan setelah mengetahui isi 
tulisan Buchari yang disebut sebagai hasil penelitian itu sampai berniat 
menjatuhkan hukuman adat kepada Buchari dan LIPI. 

Sebodoh-bodohnya masyarakat Kaharingan Dayak Kalimantan Tengah, kiranya jika 
orang berbicara tentang diri mereka tentu tahu apa yang benar dan tidak benar, 
sehingga keinginan menjatuhkan hukuman adat kepada LIPI dan Buchari bukanlah 
terlalu serampangan. Pertanyaannya: Siapakah yang lebih tahu tentang 
Kaharingan? Buchari atau orang Kaharingan itu sendiri?

Tentu saja sebelum masyarakat Kaharingan menjatuhkan hukuman adatnya, dari 
Buchari dan LIPI diharapkan adanya penjelasan pertangungjawaban secara terbuka.

Adanya reaksi keras dari masyarakat Kaharingan terhadap tulisan hasil penelian 
Buchari dari sisi lain menimbulkan pertanyaan, seberapa jauh hasil penelitian 
LIPI selama ini bisa dianggap valid? Ataukah hasil penelitian lembaga ini yang 
telah disiarkan atas nama ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari hasil 
pseudo penelitian belaka? Kasus dengan masyarakat Kaharingan sekarang, tidak 
terelakkan menimbulkan pertanyaan begini. Yang jelas, hasil yang disebut hasil 
penelitian Buchari sebagai peneliti LIPI telah membangkitkan reaksi kalangan 
Kaharingan dan sejumlah cendekiawan Dayak. Apakah orang Kaharingan dan 
cendekiawan Dayak yang sama terdidiknya dengan Buchari terlalu emosional dan 
ngawur ketika menyanggah isi tulisan Buchari dari LIPI ini? Barangkali Buchari 
yang benar dan barangkali juga Buchari yang salah, karena itu diharapkan benar 
ia sebagai ilmuwan LIPI dituntut pertanggungjawabannya secara terbuka. Sangat 
menyedihkan dan merusak nama LIPI jika soal ini tidak bisa 
dipertanggungjawabkan. Entah kalau penelitian model Buchari dianggap oleh LIPI 
sebagai model penelitian teladan sehingga harus dibela mati-matian.

Kita hanya bisa menunggu keterangan publik dari Buchari dan LIPI.Jawaban 
Buchari dan LIPI akan menunjukkan kadar Buchari dan LIPI itu sendiri.Masalah 
telah timbul dan ia harus diselesaikan. Kata sudah diucapkan maka ia harus 
dipertanggungjawabkan, minimal sebagai sesama anak manusia, tanpa embel-embel 
gelar sarjana atau peneliti. Barangkali Buchari dan LIPI masih mempunyai 
tanggungjawab ini.



Paris,Maret 2005.

JJ.KUSNI


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs

[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menyambut Kelahiran Jaring Penulis Kaltim [2]

2005-02-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT KELAHIRAN JARING PENULIS KALTIM [2 --SELESAI].



Kalau sekarang Korrie menjadi orang pertama JPK maka di bahunya terletak 
tanggujawab seorang pencinta. Bagi saya, pencinta itu adalah manusia berwawasan 
manusiawi yang mengerti akarnya."Nama besar" tidak sama dengan berwawasan. 
Bagaimana mempunyai "nama besar" ini adalah satu masalah.Masalah lain, tidak 
jarang adanya "nama" gampang menjurus ke individualisme jika hampa wawasan 
manusiawi. Dengan kata-kata ini, saya tidak menghakimi, tapi sebatas 
mencanangkan seperti kata-kata cerita silat "besar bayangan dari pohon". 
Praktek adalah gantang terakhir apa siapa kita.Sebagai  sesama Dayak saya yakin 
Korrie bisa memahami maksud saya yang menggarisbawahi akan arti tanggungjawab 
pada haridepan manusiawi.


Hal lain yang menarik perhatian dari berita yang menyertai kelahiran JPK bahwa 
organisasi Jaring Penulis Kaltim ini, sifat keanggotaannya yang terbuka.Kalau 
pemahaman saya benar, nampak bahwa yang dimaksudkan dengan penulis Kaltim 
adalah semua penulis yang berada di Kaltim, tidak memperdulikan asal etnik asal 
daerah mereka. Hal ini tercermin dari apa yang dikatakan oleh Shantined:


"[...]sebuah wadah kreativa kepenulisan yang berada di Kalimantan Timur. Tujuan 
dibentuknya JPK ini tak lain karena niat mulia,ingin mempersatukan 
penulis-penulis Kalimantan Timur dan mewadahi segala bentuk kegiatan sastra 
yang berada di Kaltim".[Lihat: Lampiran].


Selanjutnya:


"[...]Diantaranya mengadakan satu peluang bagi seluruh penulis Kaltim ( 
berdomisili di Kaltim)...".


Pengertian penulis Kaltim dengan demikian tidaklah terbatas pada 
penulis-penulis asal etnik Dayak. Pengertian begini, saya kira [kalau pemahaman 
saya benar] sesuai dengan hakekat budaya lamin atau betang [soal yang 
barangkali perlu dijadikan bahan diskusi lebih lanjut secara lebih mendalam 
sehingga kalau kita menyebut "budaya lamin" atau "budaya betang" kita tahu 
maknanya dan tidak menyempitkan pengertiannya sebatas artian fisikal betang 
atau lamin]. Pengertian begini juga merupakan sikap awal yang memungkinkan kita 
menghimpun semua kekuatan potensial di daerah untuk pemberdayaan daerah dalam 
usaha membangun pusat-pusat kebudayaan dan intelektual di berbagai daerah dan 
pulau tanahair. 


Lahirnya JPK sekaligus menjawab pertanyaan sementara penulis yang tinggal di 
daerah dan yang melihat karena bertempat tinggal di daerah si penulis merasa 
dirinya tidak bisa mengembangkan diri sebagai penulis, ia tidak bisa melakukan 
apa-apa di dunia penulisan. Ia tidak melihat bahwa justru kehidupannya di 
daerah memberikan keuntungan tersendiri yang tidak dimiliki oleh mereka yang 
tinggal di kota-kota besar di Jawa. Memang tinggal di daerah, memang mempunyai 
keterbatasan, terutama dalam mendapatkan bahan acuan yang mutakhir. Tapi 
keterbatasan begini bukanlah hal yang bersifat fatal apalagi dengan makin 
berkembangnya terus-menerus tingkat tekhnologi komunikasi seperti sekarang, 
sehingga isolasi geografis dan fisik, relatif bisa ditembus.  Ide pembangunan 
perpustakaan dari bawah, saya kira termasuk salah satu cara mendapatkan 
acuan-acuan mutakhir ini. Barangkali dalam soal mengembangkan sastra-seni dari 
daerah ini, pengalaman Komunitas Rumah Dunia, Banteng, Sanggar Sastra 
Tasikmalaya dan komunitas-komunitas lainnya, sangat berguna dipelajari. Dalam 
rangka saling belajar antar komunitas ini, saya sangat menghargai tawaran Gola 
Gong dari Rumah Dunia yang menawarkan kepada komunitas-komunitas sastra-seni di 
mana pun untuk mengirimkan profil mereka  ke website Rumah Dunia Banten. Hanya 
saja ajakan dan tawaran ini agaknya masih belum mendapat sambutan berarti.


"Gebrakan" -- jika meminjam istilah Shantined --JPK akan makin besar lagi 
apabila JPK menggalang kerjasama erat dengan organisasi-organisasi sektoral 
sejenis di seluruh Kalimantan, termasuk Sabah-Sarawak serta 
pulau-pulau/daerah-daerah tetangga terdekat seperti Makassar, Manado, Jawa 
Timur. 


Saya juga melihat penting, perhatian JPK sejak berdirinya mengawali kegiatan 
dengan  memperhatikan masalah "bernuansakan budaya/daerah Kaltim". Pentingnya 
soal ini saya lihat dari segi melawan pikiran tunggal [la pensée unique] yang 
membunuh keragaman dan dominasi budaya mayoritas atau budaya "super market". 
Sejalan dengan pikiran begini maka waktu berada di Palangka Raya, saya usulkan 
kepada Salundik Gohong yang waktu itu adalah walikota Palangka Raya, agar dalam 
tatakota dan arsitektur kota, semua orang yang datang ke Palangka Raya,begitu 
menginjakkan kaki sudah sadar bahwa mereka sedang berada di Kalteng, berada di 
Palangka Raya dan bukan di Jakarta, Bandung atau Surabaya. Keragaman budaya 
adalah merupakan kenyataan di negeri ini. Mengapa diseragamkan secara paksa dan 
membatasi kebudayaan Indonesia pada "puncak-puncak kebudayaan daerah" saja atau 
diazastunggalkan? Kebudayaan Indonesia saya kira pada hakekatnya adalah suatu 
"benangdinding", jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan [

[ppiindia] Jurnal Kembang Kemuning: Menyambut Kelahiran Jaring Penulis Kaltim [1]

2005-02-26 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT KELAHIRAN JARING PENULIS KALTIM [1]


Entah kapan dan di kota mana, tapi yang jelas melalui posting Shantined di 
milis penyair dan dikirimkan oleh Mega Vristianawati ke alamat pribadi saya, di 
Kalimantan Timur [Kaltim] telah terbentuk sebuah organisasi para sastrawan 
Kaltim bernama Jaring Penulis Kaltim [JPK].Sebagai orang pertamanya atau 
"kepala suku" jika menggunakan istilah Shantined,  telah diangkat sastrawan 
Korrie Layun Rampan yang nampaknya memutuskan pulang kampung setelah berada 
lama di Jawa. 


Mengapa "mengangkat" dan bukan dipilih? Apakah di kalangan komunitas Dayak 
Kaltim tidak mengenal kebiasaan memilih? Barangkali komunitas Dayak Kaltim 
berbeda dengan kebiasaan komunitas-komunitas Dayak di daerah Kalimantan atau 
Borneo lainnya yang memilih pimpinannya [bukan mengangkat, model Orba] baik ia 
damang atau pun pambakal atau pangirak. Di daerah sungai Katingan, Kalimantan 
Tengah [Kalteng] misalnya Dayak Katingan mengenal tradisi yang disebut "pupung" 
atau "pumpung". Yang dipercayai menjadi orang pertama suatu organisasi 
diputuskan melalui "pupung" dan bukan diangkat. Jika diangkat, lalu instansi 
apakah yang lebih tinggi dari suara "pupung"? Mengangkat atau diangkat 
memberikan citra tersendiri tentang komunitas Dayak yang seakan tidak mengenal 
kebiasaan "dmokratis", padahal ia ada dalam budaya betang, terungkap dalam 
budaya "handep", "habaring hurung" atau pun liberalisme seorang yang merasa 
diri pangkalima [bandingkan dengan legenda "Pangkalima dan Maharaja yang sedang 
berperahu bersama-sama", atau kisah Pang Palui dengan istrinya].


Sekali lagi barangkali komunitas Dayak Kaltim yang dirujuk oleh Shatined dengan 
menggunakan istilah "kepala suku", memang sangat lain dari komunitas-komunitas 
Dayak Borneo lainnya. Jika demikian bagaimana Shatined menjelaskan adanya 
"lamin" di Kaltim? Barangkali Shatined bisa menjelaskan maksudnya dengan lebih 
jelas untuk mencegah citra negatif Dayak seperti yang digambarkan oleh Gerry 
van Klinken berkecenderungan fasis [kesimpulan yang diambil "genial" setelah 
beberapa minggu berada di Kalteng. Hidup Klinken sang pakar Dayak!?].


Tentang pulang kampungnya Korrie Layun  Rampan [selanjutnya saya sebut Korrie], 
memang sudah sejak beberapa tahun lalu saya dengar. Berita yang saya dengar 
waktu di Kaleng mengatakan bahwa Korrie pulang, seperti halnya dengan Kolonel 
Salundik Gohong, mantan walikota Palangka Raya dan mantan perwira Bakin, 
meninggalkan Bandung, dengan maksud turut  membangun kampung halaman. "Kalau 
saya mau enak, saya akan ngendon di Bandung", ujar Salundik  Gohong kepada 
saya. Dengan semangat ini pula Salundik selalu membela kehadiran saya di 
Kalteng. [Dari kasus Salundik Gohong saya kembali melihat bahwa militerisme dan 
orang militer adalah dua hal yang sangat berbeda sehingga adalah suatu 
kekeliruan menganggap semua orang militer sebagai penganut militerisme]. Sikap 
ini pula yang jadi pilihan Ronny Teguh yang sarjana komputer. Ronny memilih 
pulang kampung daripada bekerja di Singapura atau pun di Jawa. 


Masalah pulang kampung untuk membangun daerah saya sangat garisbawahi, karena 
tidak sedikit putra daerah yang "mabuk" dengan kenyamanan hidup pribadi di luar 
daerah setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Saya garisbawahi karena sampai 
sekarang saya masih melihat bahwa perkembangan dan pembangunan daerah di luar 
Jawa,  terutama, melalui kenyataan dan sejarah, tidak bisa digantungkan pada 
orang-orang luar daerah, tidak pula bisa digantungkan pada orang model Klinken 
dan pakar-pakar LIPI. Majumundurnya daerah pertama-tama ditentukan oleh 
putera-puteri daerah yang sadar dan komit, walaupun tidak berarti kita patut 
menghindari sikap sektaris, prasangka primer dan tutup pintuisme. Sadar dan 
komit artinya punya wawasan luas. Artinya dengan ini pun saya sadar bahwa tidak 
semua putra-putri daerah itu punya komitmen manusiasi dan berwawasan luas. 
Tidak sedikit putra-putri daerah yang juga tidak lain dari "bandit" dengan 
ideologi "banditisme". Pulangnya Salundik Gohong, Ronny Teguh, atau pun Korrie 
dalam hal ini saya kira adalah suatu kepulangan tanggungjawab pada daerah 
sebagai dermaga memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat -- walau pun 
orang-orang jenis ini akan lebih banyak menghadapi kesulitan di daerahnya 
sendiri. Lebih-lebih pengaruh pola pikir dan mentalitas berdasawarsa Orde Baru 
masih meracuni angin kehidupan kampunghalaman.


Pada suatu ketika, setelah berhasil menginjak kembali kampunghalaman, saya 
pernah mencoba melakukan himbauan pulang kampung kepada putra-putri Kalteng, 
tapi berakhir dengan kegagalan. Sejak tahun 1991, saya melihat usaha saya untuk 
Kalteng lebih banyak meninggalkan tanda-tanda hitam kekecewaan, seakan 
memperlihatkan betapa sulitnya mencintai kampunghalaman, menjadi Indonesia 
sekaligus sulitnya menjadi manusiawi. Lebih gampang jadi bandit, pembunuh, jadi 
manipulator dan penjahat dan bukan menjadi seorang pencinta. 


Kalau sek

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-20 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Bung Partogi Samosir yth.,

Pada persayaan 17 Agustus 2004 di KBRI Paris pernah diadakan dialog terbuka 
yang kalau tak salah disebut "Forum Merdeka" di mana dilangsungkan dialog 
langsung antara para diplomat  Indonesia dengan para warganegara RI  dari Paris 
dan sekitar yang hadir.

Dalam menjawab pertanyaan Kuasa Usaha, Lucia Rustam [karena sampai sekarang 
setelah Dubes A.Silalahi usai masa jabatannya, belum ada Dubes pengganti], juga 
Andreas Sitepu, seorang diplomat senior, mengatakan bahwa mereka [baca: 
diplomat-diplomat di KBRI] tidak lain dari orang-orang yang melaksanakan garis 
kebijakan diplomasi dari Jakarta.  Sekali pun demikian, kami akan menyampaikan 
pendapat dan keluhan dari para warganegara ke pihak yang berwenang di Jakarta. 
Demikian kedua diplomat teras dari KBRI Paris.

Dihubungkan dengan pertanyaan Bung, barangkali  pernyataan atau pendapat kedua 
diplomat  teras KBRI Paris ini bisa menjadi jawaban. Jika demikian di mana 
kelayakan pada saya untuk menggunakan kata "perlu" dan "harus"? Sedangkan 
mengajukan pendapat dan usul sama sekali bukan yang setara dengan "perlu" dan 
"harus". Barangkali.  KBRI Paris sejak masa Dubes A.Silalahi sampai sekarang, 
sangat  mendorong pengajuan pendapat dan mendengar pendapat-pendapat dari warga 
RI. Saya kira hal ini sangat positif. Salah satu buktinya adalah 
penyelenggaraan "Forum Merdeka" yang saya sebutkan di atas. Hal ini menciptakan 
suasana baru dalam hubungan antara KBRI dengan warganya. Saya tidak melihat hal 
ini negatif bahkan sekali lagi sangat positif. Apakah  saya keliru?

Salam,

JJK







- Original Message - 
  From: partogi samosir 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, February 20, 2005 10:47 AM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  dear all, khususnya pak Kusni yb,
  well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah:
  "Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar 
dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" 
Terima kasih
  togi

  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Bung Partogi Samosir yang baik,

  Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan 
oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi 
sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan,  menggalang 
hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi 
pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu.  

  Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul 
pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan 
dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan  panjang 
lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar 
Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan 
Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran 
Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan 
berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral  Soeharto  masih 
berada di kursi kepresidenan . 

  Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab  
tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, 
otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan 
menarik untuk menjawab pertanyaan itu. 

  Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. 
Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena 
menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, 
saya serahkan kepada  Bung Togi dan pembaca untuk  mempercayainya atau tidak 
mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan 
memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya 
tidak mau memasuki rinciannya. 

  Salam hangat,
  JJ. Kusni

  - Original Message - 
From: partogi samosir 
To: ppiindia@yahoogroups.com 
    Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM
Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


dear all, khususnya pak kusni yb,

perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni.

1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi 
restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi 
kerakyatan?

2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu 
mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis.

Terima kasih pak.
togi


Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budima

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-20 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Bung Partogi Samosir yang terhormat,
Saya -- dan barangkali juga teman-teman saya -- tidak dalam kapasitas memberi 
nasehat kepada mereka. 

Hanya saja jika Bung mengikuti tulisan-tulisan saya sebelumnya, usul berbentuk 
pendapat dan bukan nasehat barangkali bisa didapatkan atau bisa disimak. Usul 
dan pendapat itu saya tulis atas nama kecintaan saya pada Republik dan 
Indonesia sebagai "orang kecil" . Tidak berani saya menggunakan kata "harus" 
dan "perlu". Kiranya tidak ada kelayakan pada saya menggunakan kata "harus"  
dan "perlu" itu.

Salam hangat,
JJK



  - Original Message - 
  From: partogi samosir 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, February 20, 2005 10:47 AM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  dear all, khususnya pak Kusni yb,
  well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah:
  "Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar 
dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" 
Terima kasih
  togi

  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Bung Partogi Samosir yang baik,

  Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan 
oleh orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi 
sebagai badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan,  menggalang 
hubungan persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi 
pemerintah setempat untuk maksud ini dan itu.  

  Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul 
pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan 
dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan  panjang 
lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar 
Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan 
Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran 
Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan 
berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral  Soeharto  masih 
berada di kursi kepresidenan . 

  Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab  
tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, 
otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan 
menarik untuk menjawab pertanyaan itu. 

  Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. 
Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena 
menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, 
saya serahkan kepada  Bung Togi dan pembaca untuk  mempercayainya atau tidak 
mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan 
memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya 
tidak mau memasuki rinciannya. 

  Salam hangat,
  JJ. Kusni

  - Original Message - 
From: partogi samosir 
To: ppiindia@yahoogroups.com 
Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM
Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


dear all, khususnya pak kusni yb,

perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni.

1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi 
restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi 
kerakyatan?

2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu 
mempunyai dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis.

Terima kasih pak.
togi


Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir 
setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan 
oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi 
Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di 
Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. 
Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang  dikucilkan dan 
dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak 
secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada 
belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras 
siang-malam.
Paris, Februari 2005.

JJ.KUSNI



-
Do you Yahoo!?
Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Sem

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-20 Terurut Topik partogi samosir

dear all, khususnya pak Kusni yb,
well kalau begitu pertanyaan saya berikutnya adalah:
"Apa yang perlu (bahkan harus) dilakukan oleh para diplomat Indonesia agar 
dapat meneladani kinerja orang2 yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia?" 
Terima kasih
togi

Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Bung Partogi Samosir yang baik,

Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh 
orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai 
badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan,  menggalang hubungan 
persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah 
setempat untuk maksud ini dan itu.  

Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul 
pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan 
dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan  panjang 
lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar 
Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan 
Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran 
Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan 
berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral  Soeharto  masih 
berada di kursi kepresidenan . 

Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab  
tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, 
otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan 
menarik untuk menjawab pertanyaan itu. 

Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. 
Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena 
menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, 
saya serahkan kepada  Bung Togi dan pembaca untuk  mempercayainya atau tidak 
mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan 
memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya 
tidak mau memasuki rinciannya. 

Salam hangat,
JJ. Kusni

- Original Message - 
  From: partogi samosir 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  dear all, khususnya pak kusni yb,

  perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni.

  1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi 
restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi 
kerakyatan?

  2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai 
dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis.

  Terima kasih pak.
  togi


  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

  MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir 
setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan 
oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi 
Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di 
Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. 
Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang  dikucilkan dan 
dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak 
secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada 
belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras 
siang-malam.
  Paris, Februari 2005.
  
  JJ.KUSNI


  
  -
  Do you Yahoo!?
  Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

  [Non-text portions of this message have been removed]



  ***
  Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
  ***
  __
  Mohon Perhatian:

  1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
  2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
  3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
  4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
  5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
  6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]



Yahoo! Groups Sponsor 
 
Get unlimited calls to

U.S./Canada
   
   


--
  Yahoo! Groups Links

a.. To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
   

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-19 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Bung Partogi Samosir yang baik,

Barangkali suatu kesalahan pada saya menyatakan bahwa bahwa yang dilakukan oleh 
orang-orang yang hidup dari Koperasi Restoran Indonesia [bukan Koperasi sebagai 
badan usaha] semacam kegiatan diplomasi kerakyatan,  menggalang hubungan 
persahabatan antar kedua rakyat dan dari pihak tidak resmi melobi pemerintah 
setempat untuk maksud ini dan itu.  

Kesalahannya terletak bahwa dengan menyatakan demikian, wajar jika timbul 
pertanyaan seperti yang Bung [?] Togi lakukan karena nampak seakan berkelebihan 
dan tidak galib. Untuk mengetahui isi rincinya, diperlukan tuturan  panjang 
lebar sejenis penulisan otobiografi seperti yang dilakukan oleh Bung A. Umar 
Said melalui otobiografinya yang baru saja diluncurkan di Jakarta dan 
Surabaya.Bahan-bahan itu juga bisa disimak dari riwayat Koperasi Restoran 
Indonesia yang sudah disiarkan di e-mail, koran-koran lama Indonesia dan 
berita-berita Kantor Berita Asing mulai dari masa Jendral  Soeharto  masih 
berada di kursi kepresidenan . 

Dengan bahan-bahan itu saja , barangkali pertanyaan Bung Togi bisa terjawab  
tanpa usah saya menutur ulang yang sudah sering diceritakan. Sekali lagi, 
otobiografi A. Umar Said yang baru diluncurkan , merupakan dokumen acuan 
menarik untuk menjawab pertanyaan itu. 

Terimakasih atas perhatian sudah meluangkan waktu membaca yang saya tulis. 
Hanya dengan minta maaf besar, saya tidak bisa memasuki rinciannya karena 
menyangkut banyak pihak. Dengan permintaan maaf menolak memasuki perinciannya, 
saya serahkan kepada  Bung Togi dan pembaca untuk  mempercayainya atau tidak 
mempercayainya. Bagi yang tidak percaya, saya tidak berkeberatan, dan silahkan 
memandang apa yang sudah saya tulis sebagai "ngedobos". Maaf sekali lagi: Saya 
tidak mau memasuki rinciannya. 

Salam hangat,
JJ. Kusni

- Original Message - 
  From: partogi samosir 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, February 19, 2005 11:48 AM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF 
DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  dear all, khususnya pak kusni yb,

  perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni.

  1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi 
restoran Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi 
kerakyatan?

  2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai 
dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis.

  Terima kasih pak.
  togi


  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

  MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


  Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir 
setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan 
oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi 
Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di 
Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. 
Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang  dikucilkan dan 
dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak 
secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada 
belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras 
siang-malam.
  Paris, Februari 2005.
  
  JJ.KUSNI


  
  -
  Do you Yahoo!?
  Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

  [Non-text portions of this message have been removed]



  ***
  Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
  ***
  __
  Mohon Perhatian:

  1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
  2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
  3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
  4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
  5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
  6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]



Yahoo! Groups Sponsor 
 
Get unlimited calls to

U.S./Canada
   
   


--
  Yahoo! Groups Links

a.. To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
  
b.. To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
  
c.. Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 



[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Take a look at donorschoose.o

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-19 Terurut Topik partogi samosir

dear all, khususnya pak kusni yb,
 
perkenankan saya mengeksplorasi pernyataan Bapak Kusni.
 
1. "Apa sih yang sudah dilakukan oleh orang2 yang hidup dari koperasi restoran 
Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai melakukan diplomasi kerakyatan?
 
2. Lebih jauh lagi, apakah diplomasi kerakyatan yang dilakukan itu mempunyai 
dampak positif terhadap hubungan Indonesia-Perancis.
 
Terima kasih pak.
togi


Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


Kalau mau terus-terang, seperti yang dikatakan oleh Arief Budiman hampir 
setengah abad silam, diplomasi kerakyatan Indonesia di Paris tidak dilakukan 
oleh KBRI Orba Paris, tapi dilakukan oleh ORANG-ORANG yang hidup dari Koperasi 
Restoran Indonesia. Apa yang dilakukan oleh ORANG-ORANG yang bekerja di 
Koperasi Restoran Indonesia adalah suatu diplomasi alternatif bagi Indonesia. 
Melalui Koperasi Restoran Indonesia Paris, orang-orang yang  dikucilkan dan 
dimusuhi oleh Orba bahkan diancam secara fisik untuk dipetuskan [ditembak 
secara misterius], hidup dengan kepala tegak tanpa menggantungkan diri pada 
belas kasihan pemerintah Perancis dan bantuan sosial tapi dengan bekerja keras 
siang-malam.
Paris, Februari 2005.

JJ.KUSNI



-
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.

2005-02-18 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMMBANG KEMUNING:

MENYONGSONG PERSPEKTIF DIPLOMASI BARU: PERTANYAAN UNTUK SBY.


Rabu, 16 Februari 2005 malam jam 19.00, Koperasi Restoran Indonesia Paris yang 
terletak di pusat kota Paris, kembali mendapat kunjungan kehormatan dari 
diplomat pertama KBRI Paris: Lucia Rustam dan suaminya. Diplomat pertama KBRI 
Paris ini berada di Koperasi Restoran Indonesia Paris, dari jam 1900 sampai 
dengan 22.OO. 

Seperti diketahui sampai sekarang setelah Dubes Adian Silalahi usai dengan masa 
tugasnya,  jabatan Dubes belum juga terisi. Untuk itu Lucia Rustam, diplomat 
perempuan menjadi Kuasa Usaha, sehingga beliaulah yang menjadi diplomat pertama 
di Perancis, sebuah negara yang patut diperhitungkan bukan hanya di tingkat 
Komunitas Eropa yang beranggotakan 25 negara, tapi juga di tingkat politik 
dunia. Kalau keterangan yang saya peroleh benar, posisi Paris sebagai kota 
diplomasi, setara dengan Washington, London, Moskow dan Beijing. Maka tampilnya 
Lucia Rustam sebagai Kuasa Usaha di Paris, dari segi karir, boleh  dibilang 
merupakan suatu prestasi sendiri. Barangkali karena posisi Paris di dunia 
diplomasi yang demikian maka sampai sekarang tidak gampang mencari pengganti 
rasuk untuk menjadi dubes di Perancis walau pun bukan ajaib jika sederetan nama 
calon berjejer menanti pengesahan dan persetujuan Jakarta untuk pos penting 
ini.  

Berdasarkan praktek dan praktek Lucia Rustam sampai sekarang, kebijakan yang 
diambilnya dalam batas wewenang, apalagi sebagai seorang perempuan, diplomat 
perempuan, secara subyektif,saya menilai Lucia Rustam sangat layak ditingkatkan 
dari Kuasa Usaha menjadi Dubes melanjutkan misi diplomasi yang sudah beliau 
lakukan untuk Republik dan Indonesia. Melihat penampilan dan prakarsa serta 
kegiatan beliau pada berbagai kesemptan, Lucia Rustam sangat layak dan 
membanggakan mewakili bangsa, negeri dan negara serta perempuan Indonesia. 
Lucia pun bisa berbahasa Perancis hal penting yang patut digarisbawahi. Dari 
pembicaraan langsung yang pernah saya lakukan, saya ketahui bahwa beliau pun 
adalah anak bangsa dan negeri yang punya mimpi republiken dan keindonesiaan 
yang kental. Apabila Departemen Luar Negeri meningkatkan posisi dan mengokohkan 
beliau sebagai Dubes di Paris, saya kira, keputusan demikian akan membanggakan 
dan aspiratif serta kuasa mengkonsolidasi capaian Dubes Adian Silalahi. 
Pertanyaannya: Sanggup dan beranikah penanggung jawab pertama diplomasi 
Republik Indonesia [R.I], yaitu Menteri Luar Negeri melakukan terobosan 
sehingga bisa melalui Lucia Rustam memanfaatkan posisi Paris sebagai kota 
diplomasi dunia untuk kepentingan Republik dan Indonesia?

Saya menaruh perhatian khusus pada posisi Paris sebagai kota diplomasi dan 
tepatnya diplomat pertama R.I. yang ditempatkan di negeri dan di kota ini. 
Perempuan, pemimpi, republiken dan berkeindonesiaan dengan langgam merakyat, 
mewakili R.I. di salah satu pusat diplomasi dunia, saya kira memang satu hal 
yang bersifat terobosan jika ini dilakukan oleh Jakarta. Ciri-ciri ini saya 
kira sesuai dengan perkembangan penonjolan perempuan oleh Perancis sendiri yang 
sejak pemerintah Mitterrand dan dikembangkan oleh  Perdana Menteri Lionel 
Jospin banyak menampilkan tokoh perempuan di barisan pertama kekuasaan politik. 
Perkembangan di suatu negeri dalam menunjuk diplomat pertama, saya kira patut 
dimasukan dalam hitungan. Lucia Rustam, saya kira memenuhi semua kecenderungan 
di sini. 

Tentu saja apa yang saya tuliskan ini, tidak punya arti apa-apa bagi pengambil 
keputusan, tapi ia tetap saya tuliskan karena cinta saya sebagai anak bangsa 
dan negeri, hak dan keprihatinan sekecil apa pun tetap menjadi hak yang tidak 
siapa pun bisa menggugatnya. Mencintai bangsa dan negeri, apalagi Republik dan 
Indonesia bukanlah monopoli. Hak inilah yang saya gunakan untuk berkata --hak 
yang sering diabaikan, dibiarkan dan tidak diindahkan di Indonesia yang tidak 
pandai menghargai warganegaranya.

Tampilnya  tokoh Lucia Rustam yang sekarang menjadi diplomat pertama KBRI 
Paris, di mata saya kembali memperlihatkan bahwa bangsa dan negeri kita adalah 
bangsa dan negeri sangat potensial. Masalahnya: potensi ini sampai sekarang 
belum dibebaskan seperti halnya kita belum mampu membebaskan tenaga produktif 
[dalam artian ilmu ekonomi politik] untuk memberdayakan masyarakat kita. 
Tampilnya Lucia Rustam, seperti halnya potensi yang dikandung oleh Atase Pers 
zaman Dubes A.Silalahi, Yuli Mumpuni,  di mata saya, selain memperlihatkan 
potensi bangsa kita sebagai bangsa potensial, juga merupakan penerus dari 
tradisi diplomasi dan peranan perempuan seperti yang dirintis oleh Francisca 
Fangiday, Dubes Keliling Ny.Supeni alm. pada zaman pemerintahan Soekarno: 
diplomat-diplomat pemimpi, republiken, berkeindonesiaan dan manusiawi. 
Tampilnya Lucia Rustam sebagai diplomat republiken, berkindonesiaan dan pemimpi 
dengan langgam kerakyatan, pada pasca Soeharto menunjukkan juga bahwa 
nilai-nilai tersebut tidak terpunahkan oleh militerisme 

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING

2005-02-17 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING  


KUROPTOR KAKAP INDONESIA DARI ETNIK TIONGHOA?!

Rinto Jiang dari Taiwan [?] dan Onny dalam milis budaya_tiunghoa [17 Februari 
2005, 11:34 AM]  menulis sebagai berikut :


- Original Message - 
From: Rinto Jiang 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, February 17, 2005 11:34 AM
Subject: [budaya_tionghua] Pengaburan Fokus Masalah (PM Singapura mendukung 
Korupsi di Indonesia karena semangat Chinese OverSIZE)


Onny menulis :

Dari pernyataan Sekretaris Eksekutif Government Watch Andi W Saputra, saya 
menarik kesimpulan bahwa :
1. Koruptor kakap di Indonesia adalah dari suku Cina
2. Singapura melindungi Koruptor Cina Indonesia karena semangat Chinese 
Oversize (Mungkin kesalahan wartawan, karena saya yakin maksudnya adalah 
Chinese Overseas)

Saya jadi bertanya-tanya. benarkah solidaritas Chinese Overseas begitu kuatnya 
sehingga mampu untuk membuat satu negara melindungi pelanggar hukum dari negara 
lain?

Saya sendiri berpendapat bahwa pernyataan PM Lee seharusnya disikapi sebagai 
sindiran beliau terhadap Penegakan Hukum di Indonesia. Walaupun koruptornya 
tertangkap, tetap saja kemungkinan bebas tetap ada selama perangkat Hukum 
Indonesia masih seperti saat ini. Jadi memang benar, ekstradisi belum tentu 
menjamin dihapusnya korupsi di Indonesia.

Tetapi hal yang menarik lagi adalah mindset Sdr. Andi mengenai Suku Cina 
Indonesia dan Chinese Overseas. Tidak heran jika Suku Cina Indonesia selalu 
menjadi korban di tiap kerusuhan, karena tetap saja diidentifikasikan sebagai 
'Mereka' (bagian dari Chinese Overseas) dan bukan 'Kita' (Rakyat Indonesia). 
Sad, but True.

Salam damai,

Onny 


Rinto Jiang :

Hehe, bagus sekali pandangan Bung Onny di atas.

Saya tambahkan pandangan saya. Masalah ekstradisi dengan Singapura ini 
sebenarnya satu macam pengalihan perhatian massa dari masalah2 yang lebih 
mendesak untuk dibereskan. Saya sendiri berpendapat bahwa sikap PM Lee menolak 
ekstradisi bukan bermaksud untuk melindungi koruptor2 tadi, namun sebagai itu 
memang hak suatu negara berdaulat untuk menolak permintaan negara lain. 
Singapura memang tidak bisa didikte mengenai masalah ini, bukan saja masalah 
ekstradisi, lihat saja masalah hukuman mati ataupun cambuk terhadap para 
pelanggar hukum di wilayah hukum mereka. Walaupun pemerintah Indonesia, 
Filipina, AS telah mengajukan permohonan keringanan, tetap saja ditolak. Mereka 
punya prinsip dan itu harus dihormati oleh Indonesia. Jangan pikir Singapura 
itu kecil lalu Indonesia boleh sewenang2 memaksakan kehendak dong, mau 
ekstradisi, Singapura harus manggut2.

Koruptor kakap di Singapura itu masalah kecil sebenarnya relatif bila 
dibandingkan dengan budaya KKN yang mengakar di dalam birokrasi Indonesia itu. 
Lha, yang di Indonesia sendiri kan tidak usah diekstradisi, tidak usah payah 
mengejar ke Singapura buat memberantas korupsi toh. Lalu kenapa bersikeras 
harus Singapura? Lagipula OK-lah, Singapura bersedia menandatangani persetujuan 
ekstradisi dengan Indonesia, lalu apakah masalah selesai begitu saja? Apakah 
koruptor kakap tadi gak bisa lari ke negara lain? Kayak Singapura saja satu2nya 
negara di dunia itu selain Indonesia.

Ini gaya pengaburan masalah yang kerap ada di birokrasi Indonesia.

Satu lagi, OK-lah kalau semua koruptor kelas kakap itu dari suku Cina, kenapa 
gak ditangkap dulu Cina2 koruptor yang ada di Indonesia itu? 

Lalu koruptor itu definisinya apa? Kalau menyuap juga termasuk koruptor, maka 
saya juga pernah jadi koruptor kelas teri, soalnya waktu perpanjangan paspor, 
karena waktu saya tidak banyak, jadi terpaksa harus membayar itu uang pelicin 
supaya bisa keluar tepat waktunya. Gimana yah ini? Apakah saya yang harus 
ditangkap atau yang memaksa saya jadi penyuap yang harus ditangkap?

Rinto Jiang 

ADA dua  masalah sentral yang muncul dari dari tulisan di atas, terutama "Dari 
pernyataan Sekretaris Eksekutif Government Watch Andi W Saputra, saya menarik 
kesimpulan bahwa :1. Koruptor kakap di Indonesia adalah dari suku Cina" dan 2. 
Singapura melindungi Koruptor Cina Indonesia karena semangat Chinese Oversize 
(Mungkin kesalahan wartawan, karena saya yakin maksudnya adalah Chinese 
Overseas)". 

Dua masalah sentral ini semuanya menarik perhatian saya tapi di sini saya 
membatasi diri pada soal pertama yaitu masalah "Koruptor kakap di Indonesia 
adalah dari suku Cina". Masalah ini menarik perhatian saya karena menyangkut 
hubungan antar etnis di Indonesia dan menjadi makin menarik karena ucapan 
demikian keluar dari mulut seorang  Sekretaris Eksekutif Government Watch 
bernama Andi W Saputra. 

Saya tidak tahu apakah pernyataan  Andi  W.Saputra [selanjutnya saya sebut 
Andi]  ini diucapkan secara sadar dengan maksud mengutarakan keadaan obyektif, 
didasarkan pada pengetahuan sejarah dan kelengkapan data atau lebih bermaksud  
memprovokasi diskusi tanpa kesungguhan, hanya Andi sendirilah yang paling tahu. 
Tapi sebagai Sekretaris Eksekutif sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] yang 
serius seper

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: BEN WAE!

2005-02-14 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING:


BEN WAE!



1.

Beni, Media Luar Biasa adalah sebuah penerbitan berkala bulanan yang 
diterbitkan oleh sekelompok anak-anak muda pencinta sastra-seni di Yogyakarta. 
Nomor terakhir berkala bulan yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Benih, yang 
sampai ke tangan saya adalah nomor 20, 15 Januari 05 memuat antara lain 
tulisan-tulisan penyair Surabaya Nanang Suryadi, Arwan Maulana, Grace, 
Agustinus Wahyono, Rohyati Sofjan. 

Apa bagaimana berkala ini, dijelaskan oleh para "awak"nya  sebagai berikut:,  
berkala Beni "direkayasa dan diedarkan oleh Forum Lingkar Benih. Media ini 
"direkayasa dan diedarkan oleh Forum Lingkar Benih. Media ini berusaha membuat 
kegairahan menulis sebagai sebuah aktivitas kultural yang luar biasa. Oleh 
karena itu , redaksi hanya menerima naskah yang tidak biasa. Naskah bisa 
dikirim via e-mail, pos, atau dititipkan kepada awak media. Rambu-rambu lainnya 
tentu saja akan diatur kemudian". Tulisan-tulisan "luar biasa" ini bisa 
dikirimkan ke alamat redaksi : Perumahan Taman Kenari C7, Jln. Perumnas Depok, 
Sleman 55281.E-mail :[EMAIL PROTECTED]  

Pandangan "awak" Beni Luar Biasa tentang "menulis sebagai sebuah aktivitas 
kultural yang luar biasa", saya pahami pertama-tama sebagai pernyataan bahwa 
bagi para pengasuh berkala sederhana berukuran 30 X 11 cm ini,  menulis, 
apalagi bersastra   bukanlah merupakan suatu kegiataan iseng, main-main, tapi 
merupakan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh dalam memburu menangkap makna, 
untuk mengurai buhul-buhul rahasia mengusik di tiap langkah penanya siang dan 
malam.  Dari segi ini, bersastra memang suatu kegiatan luar biasa. Dan akan 
menjadi lebih luar biasa lagi jika "aktivitas kutural" ditautkan dengan program 
raksasa memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat.  Ini adalah  dermaga 
wacana  dari mana para pengasuh berkala ini mulai melaut. Kesederhanaan  
penampilan yang kita saksikan ketika membuka lembaran-lembaran berjumlah 20 
halaman,  tidak mengurangi nilai wacana titik-tolak tapi justru membuktikan 
kesungguhan untuk mewujudkannya. Karena kesungguhan yang sungguh-sungguh tidak 
terlepas dari sikap realis atau hitungan kongkret. Dalam hal ini saya teringat 
akan nasehat Prof. Jones Russel dari SOAS London kepada saya ketika saya dan 
teman-teman mulai menerbitkan Majalah ilmiah populer "Kancah" di Paris pada 
masa "kejayaan" Orde Baru Soeharto. "Kesempurnaan tekhnis penerbitan pecahkan 
setapak demi setapak. Tapi sejak awal perhatikan mutu tulisan". Dibandingkan 
dari segi tekhnis, hasil yang dicapai oleh Beni jauh lebih baik dari pada 
nomor-nomor  awal Kancah yang kami kerjakan dengan mesin ketik tangan (yang 
namakan sebagai Mesin Ketik Ho Chi Minh karena dengan mesin ketik beginilah Ho 
Chi Minh menuliskan karya-karya besarnya untuk membebaskan Viêt Nam dari 
belenggu penjajahan]. Waktu itu komputer belum ada.  Kesungguhan para pengasuh 
berkala ini pun bisa dilihat dari tataletak, ilustrasi dan isi tulisan baik 
puisi atau cerpen yang disiarkan. Dengan kesederhanaan bentuk seperti sekarang, 
tapi bisa menerbitkan berkala secara teratur hingga mencapai nomor 20/15 
Januari 2005, kita pun menyaksikan bahwa " menulis sebagai sebuah aktivitas 
kultural yang luar biasa" memang diyakini dan dikhayati oleh para pengasuhnya. 

Sebagai contoh untuk melihat kesungguhan ini berikut saya sertakan sebuah puisi 
Nanang Suryadi, penyair Surabaya, yang dimuat dalam nomor 20/15 Januari 2005:


Inilah Senyuman 

dapatkah engkau tersenyum, tertawan, terbahak di
depan televisi yang mengabarkan 45ribu mayat
berserak diterjang gelombang yang tak pernah 
disangkasangka akan datang melanda

dapatkah engkau terus tersenyum, tertawa, terbahak
di depan televisi yang menayangkan ribuan orang
terancam kelaparan dan penyakit di puing-puing
kehancuran gempa, gelombang banjir dan sengatan 
bau anyir mayat yang terserak dimana-mana

dapatkah engkau tetap tersenyum, tertawa, terbahak
di puncak duka tak terkira!

o, aku terbahak perih menderaskan airmata menerka
rahasia kehendakMu!


Sedangkan apabila para pengasuh menulis di box susunan redaksi: "hanya menerima 
naskah yang tidak biasa", pernyataan begini saya pahami sebagai acuan patokan 
yang ingin dicapai.  Kata-kata begini saya kira bukanlah suatu keangkuhan yang 
sering melekati pada anak muda,  tapi lebih merupakan tuntutan kepada diri 
mereka sendiri. Sebab dalam Kata Pengantar No.20/15 Januari 2005 berjudul "Ben! 
wae" [Biar saja]" ditulis: 


"Jalan ini begitu panjang dan berat, namun sepertinya aku bertambah yakin untuk 
melewatinya. Tak peduli sudah banyak beban yang menggantung di badan, aku akan 
terus berjalan.Ben!"

Kemudian:  

"Sekali lagi kukatakan, jalan ini begitu panjang dan berat, jadi aku minta maaf 
jika aku terus melangkah tanpa peduli kau tertinggal. Langkahmu terlalu lambat 
dan kau pun terlalu meresahkan beban yang terasa di badanmu itu. Aku tidak bisa 
terus menunggumu kawan, aku punya hidup dan aku harus bertanggungjawab dengan 
itu".


"Harus be

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MELIHAT DVD PERJALANAN JOESOEF ISAK

2005-02-13 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING:


MELIHAT DVD PERJALANAN JOESOEF ISAK

1.

Terimakasih kepada Bung Joesoef Isak yang telah mengirimkan DVD perjalanannya 
ke Eropa Barat dalam rangka memenuhi undangan Lembaga Persahabatan 
Perancis-Indonesia "Pasar Malam" untuk menjadi pembicara utama di acara "Hari 
Sastra Indonesia" tahun lalu di Paris. Di Paris Bung Joesoef menyempatkan diri 
menemui sahabat lamanya: Pelukis Salim.

Usai melakukan berbagai acara di Paris dan di Universitas La Rochelle, Bung 
Joesoef melanjutkan perjalanan memenuhi undangan ke Negeri Belanda dan Swedia 
di mana ia telah memberikan berbagai ceramah/konfrensi, di samping menemui 
beberapa tokoh tua seperti Fransica Fangiday -- perempuan pertama yang turut 
menembus kepungan Belanda untuk melakukan misi diplomatik pertama bagi Republik 
Indonesia. Sayangnya, Fransica Fangiday sampai sekarang termasuk tokoh pejuang 
yang dilupakan negeri dan bangsanya. Barangkali ini bentuk penghargaan Republik 
Indonesia kepada jasa putera-puterinya yang menggadaikan nyawa untuk 
eksisitensi Republik Indonesia?! Presiden SBY dan Wapres Kalla, barangkali bisa 
menjawabnya jelas.

Perekaman perjalanan melalui sarana tehknologi kekinian seperti DVD yang 
dilakukan oleh Bung Joesoef saya anggap penting dan barangkali perlu dicontohi. 
Penting karena melalui rekaman demikian, banyak peristiwa bisa dicatat dan 
didokumentasikan. Penting apabila saya selalu diganggu oleh pertanyaan: 
Seberapa jauh anak negeri dan bangsa kita mempunyai kebiasaan mendokumentasikan 
peristiwa. Juga menjadi pertanyaan yang selalu mengusik apabila saya teringat 
bahwa di negeri ini kita tidak segan melakukan "sweeping buku" dan dokumentasi 
sampai kepada pemusnahan dokumen dan buku-buku, belum lagi kita berbicara 
tentang pelarangan demi pelarangan dengan berbagai bentuk. Pengadaan 
dokumentasi begini akan menjadi lebih menonjol lagi bagi daerah-daerah di mana 
tradisi lisan [oral] masih dominan. Adanya dokumentasi membantu kita memelihara 
ingatan yang sering sekali pun belum menua tapi lebih cenderung dikalahkan oleh 
kesukaan pada lupa dan sengaja dibuat sebagai ingatan pendek dengan 
alasan-alasan politis terutama. Ingatan pendek dan lupa yang sengaja 
dikembangkan erat bertautan dengan sikap sejarah kita, bertautan dengan 
pandangan ke depan. Ketiadaan atau kekurangan dalam  sikap sejarah, pandangan 
ke depan membuat kita gampang lupa, melupakan dan beringatan pendek karena 
dibuai oleh kepentingan di depan mata yang mendesak dan menyesak. Masalah ingat 
dan lupa adalah suatu pola pikir dan sikap mental. Agaknya kita sampai sekarang 
lebih cenderung menjadi bangsa pelupa dan pandak ingatan sehingga tidak segan 
memutar-balikkan data dan suka pada prasangka serta dugaan subyektif. Data dan 
obyektivitas  tidak lagi dianggap penting. Pola pikir dan sikap mental begini 
secara tidak langsung dijadikan dasar pembenaran tindak sewenang-wenang.  

Atas dasar ini saya selalu mendorong generasi pendahulu untuk mencatat 
pengalaman mereka dalam bentuk penulisan otobiografi dan atas dasar ini pula 
saya menghargai usaha Bung Joesoef mendokumentasikan perjalananannya ke Eropa 
Barat. DVD kenang-kenangan perjalanan ini selain merupakan catatan dan 
dokumentasi diri Bung Joesoef, ia pun merupakan dokumentasi tentang orang-orang 
klayaban serta kejadian yang dihadirinya di negeri-negeri bersangkutan. Orang  
boleh suka atau tidak suka pada Bung Joesoef, tapi Bung Joesoef, ada dan sudah 
menunjukan makna eksistensinya terutama di dunia ke wartawanan, penerbitan 
sastra, dan usaha pemanusiawian Indonesia sesuai dengan nilai-nilai republiken 
dan keindonesiaan. Ia pun sudah membayar segalanya dengan menghadapi segala 
resiko, termasuk pada ajal. Sedangkan para pengkritiknya, jika ada!, tidak atau 
belum membuktikan kesanggupannya menanggung resiko begini sehingga kesungguhan 
kata masih dipertanyakan selain oleh waktu juga oleh ajal yang mencoba. Paling 
baru,  sumbangan Joesoef Isak dengan Hasta Mitranya untuk negeri dan bangsa ini 
berupa penerbitan Das Kapital dalam bahasa Indonesia.Saya tidak tahu, apakah 
peluncuran buku ini juga telah didokumentasi. Yang sampai ke tangan saya baru 
berupa beberapa foto.



2.

Dari menyaksikan DVD yang dikirimkan oleh Bung Joesoef kepada saya, yang paling 
menarik bagi saya adalah yang mengenai kegiatannya di Paris, terutama mengenai 
pelukis Salim dan Koperasi Restoran Indonesia -- yang oleh Gunawan Mohamad 
disebut sebagai salah satu monumen sejarah Indonesia dan sebagai duta budaya, 
jika menggunakan istilah diplomat-diplomat Indonesia di Paris. 

Apa yang direkam oleh Bung Joesoef tentang pelukis Salim disertai dengan 
sejumlah foto lukisan Salim menambah dokumentasi tentang "maestro" kita yang 
sekarang berusia hampir seabad. Mengingat jasa dan mutu karya pelukis kita ini, 
sempat juga terlintas di kepala saya, mengapa tidak, seandainya Republik 
Indonesia memberikan beliau tanda jasa tertinggi di bidang kebudayaan. Saya 
kira segala alasan cukup padan dan ter

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REVITALISASI PANTUN

2005-01-30 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

JURNAL KEMBANG KEMUNING:

REVITALISASI PANTUN

Prakarsa milis [EMAIL PROTECTED] untuk melangsungkan perlombaan menulis pantun 
dalam rangka solidaritas dengan korban tsunami,dari segi sastra, saya kira 
merupakan inisiatif yang sangat baik. 


Pantun merupakan genre sastra yang sangat hidup di kalangan masyarakat dan ia 
merupakan salah satu alat pengungkap diri yang paling populer pada masa 
tertentu dan bahkan sampai sekarang. Pantun sebagai genre sastra, sangat 
berakar dalam masyarakat berbagai pulau nusantara, termasuk semanjung Malaya. 
Pantun bukan hanya terdapat dan hidup di kalangan etnik Melayu seperti yang 
sering diduga bahkan dipastikan oleh sementara pakar dan penulis dalam negeri. 
Hanya saja genre sastra ini di berbagai pulau disebut dengan nama-nama yang 
berbeda, tapi berhakekat sama. Misalnya "karungut", "deder" yang sangat hidup 
sampai sekarang ini di kalangan komunitas Dayak di Kalimantan Tengah [Kalteng].


Karungut dan deder adalah puisi yang dinyanyikan dengan berbagai  iringan 
instrumen seperti kecapi atau katambung [sejenis gendang kecil] atau rebana 
untuk mengiringi mamanda di Kalimantan Selatan.Hanya saja seperti yang pernah 
saya kemukakan dalam pertemuan Ikatan Sastrawan Indonesia [ISASI] Kalteng, 
sekali pun karungut dan deder demikian hidup di kalangan masyarakat Dayak 
Kalteng, tapi terus terang, saya merasa genre sastra yang tadinya lisan 
sekarang bergeser menjadi sastra tulisan ini, tetap amat monoton dan gampang 
membosankan. Deder menjadi lebih memikat selain karena dialog antar orang-orang 
yang sedang berdeder, juga karena kita dihadapkan pada pertandingan ketangkasan 
bersastra. 


Bertolak dari kesan ini, paling tidak apa yang saya rasakan saban mendengar 
terutama karungut, timbul pertanyaan: Tidak bisakah karungut direvitalisasi? 
Yang saya maksudkan dengan revitalisasi adalah bagaimana menciptakan karungut 
tipe baru dengan menggunakan unsur-unsur khas karungut? Pertanyaan ini 
sebenarnya pertanyaan lama. Muncul ketika saya masih berada di Yogyakarta dan 
turut bersama-sama dengan teman-teman se Jawa Tengah melakukan penelitian 
tentang sastra-seni di daerah ini. Riset berawal dari pertanyaan bagaimana 
merevitalisasi bentuk-bentuk sastra-seni yang paling hidup dalam masyarakat 
Jawa Tengah agar lebih tanggap zaman. Dasar alasan pertanyaan adalah karena 
bentuk yang sudah ada sebenarnya sudah mencapai puncak. Sedangkan sesuatu yang 
sudah berada di puncak akan tidak lagi bisa berkembang lebih jauh, kecuali 
menurun atau statis. Revitalisasi tidak bermaksud menggangugugat hal yang sudah 
berada di puncak, tapi bagaimana dengan menggunakan unsur-unsur genre sastra 
yang sudah mencapai puncak itu menciptakan sesuatu yang baru atas dasar 
unsur-unsur puncak itu.Untuk mewujudkan tujuan ini maka Saptoprio mengaransir 
kroncong seperti kroncong Kemayoran, Jali-jali, Bandar Jakarta, Suwi Ora Jamu, 
Bengawan Solo, Tembok Besar [karya Gesang],   dan lain-lain dalam bentuk paduan 
suara serta solis, sedangkan Jony Trisno,  seniman yang serba bisa, menciptakan 
lagu-lagu seperti "Holopis Kuntul Baris", "Pabrik" dan lain-lain... Sayangnya 
percobaan-percobaan ini terputus oleh meletusnya Tragedi Nasional September 
1965.


Pantun, saya kira, adalah bentuk sastra lama yang sudah mencapai puncaknya.  
Masalah pantun pun barangkali sama dengan masalah yang dihadapi karungut, atau 
tembang Jawa dan bentuk-bentuk sastra-seni lainya yang sudah mencapai puncak. 
Karena itu agar pantun bisa lebih tanggap zaman, barangkali ia pun perlu 
direvitalisasi. Untuk bisa melakukan revitalisasi pertama-tama dari penulis, 
ditagih penguasaan tekhnik atas bentuk pantun itu sendiri terlebih dahulu. 
Dalam usaha meningkatkan taraf tekhnik kepenyairannya, waktu masih tinggal di 
Jalan Sukun [sekarang Jalan Mangunsarkoro]  Yogyakarta, Rendra banyak sekali 
menulis sanjak-sanjak latihan dengan menggunakan berbagai bentuk sastra lama 
seperti gurindam, seloka, syair dan juga pantun. Penguasaan tekhnik atas 
bentuk-bentuk lama, merupakan syarat untuk merevitalisasi bentuk-bentuk sastra 
lama tersebut. 


Apabila mengamati sanjak-sanjak Agam Wispi, penyair asal Aceh, nampak ia pun 
sangat  dekat dengan pantun. Sebagai orang asal Aceh agaknya tekhnik pantun 
sudah menyatu dengan diri Wispi. Sebagai contoh saya ambil baris-baris yang 
ditulisnya pada tahun 1957 ini:


"kain ini kain sutra  
kalau mandi disesah jangan
main ini main berdua
kalau mati disesal jangan"


Atau bait berikut:


"kecitak kecitung jakarta-bandung
terasa jauh, terasa jauh
jika kau gubuk di kaki gunung
singgahku tidak untuk berteduh"


Baris lain lagi:

"mengembarai bukit-bukit dab hutanrimbamu
gemuruh nafasmu curahan airterjun seluruh cinta
detik ini hanya deta-detak jantung kita berburu
sudah tenggelam amsterdam, sudah lenyap jakarta

[dari: "Pulang, 1996]. 


Warna pantun dan syair pun menandai sanjak Wispi ini:


"kupancing kau masuk hutan, kekasih sayang
dan kau ikuti aku seperti bayangan
tinggal pantai hilang lautan
bertim