Mbak ning...
kalau bpk merujuk kepada Al quran
Ahmadiah itu 100% islam dan muslim

Orang2 yang mengatakan bahwa ahmadiha itu bukan muslim
mereka merujuk kepada Hadits2 palsu dan buku2 Riwayat

silakan lihat DEFINISI ISLAM.

http://latifabdul.multiply.com/journal/item/153

"Tri Budi Lestyaningsih (Ning)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                      
       
 
 Saya rasa, tindakan anarkis seperti ini akan terus ada selama pemerintah
 tidak tegas mengambil sikap. Ini bisa karena :
 (1)masyarakat mengambil alih tugas pemerintah - suatu gejala yang sangat
 umum, main hakim sendiri, bila aparat dianggap tidak mampu mengatasi
 permasalahan - atau 
 (2)ada orang mengail di air keruh, memprovokasi sehingga menyulut
 kemarahan massa, dengan tujuan yang antara lain untuk mendiskreditkan
 MUI atau harokah/gerakan-gerakan Islam.
 
 MUI sendiri sudah mengeluarkan "fatwa" untuk tidak berbuat anarkis. HTI
 di pers release-nya menyatakan hal yang sama, melarang tindakan
 anarkisme dan kekerasan kepada Ahmadiyah. Para tokoh PKS pun menyatakan
 larangan tindakan kekerasan kepada Ahmadiyah. Jadi secara institusi,
 setidaknya organisasi2 yang saya sebut ini tidak mensupport terjadinya
 kekerasan kepada Ahmadiyah. Walaupun pendapat mereka tentang aqidah
 Ahmadiyah adalah tetap dan tegas, yakni mereka bukan bagian dari Islam.
 
 Wallahua'lam
 Wassalaam,
 -Ning
 
 -----Original Message-----
 From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
 [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of mediacare
 Sent: Thursday, May 01, 2008 10:42 PM
 To: [EMAIL PROTECTED]; wanita-muslimah@yahoogroups.com; zamanku;
 [EMAIL PROTECTED]; media jabar; [EMAIL PROTECTED]
 Subject: [wanita-muslimah] Re: [mediacare] Preman berjubah, Pemerintah
 dan Ahmadiyah
 
 ----- Original Message -----
   From: [EMAIL PROTECTED]
   To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
 [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
 [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
 [EMAIL PROTECTED]
   Sent: Thursday, May 01, 2008 8:05 PM
   Subject: [mediacare] Preman berjubah, Pemerintah dan Ahmadiyah
 
 Sekadar berbagi, tulisan saya mengenai Ahmadiyah.
 
 ade armando
   Majalah Madina
 
 Preman Berjubah, Pemerintah dan Ahmadiyah
 
 Oleh Ade Armando
 
 "Bunuh, bunuh, bunuh, BUNUH! PERANGI AHMADIYAH, BUNUH AHMADIYAH,
 BERSIHKAN
   AHMADIYAH DARI INDONESIA! Ahmadiyah halal darahnya! Persetan HAM! Tai
   kucing HAM! Allahu Akbar"
 
 Kalimat-kalimat penuh kebencian itu dilontarkan Sobri Lubis. Dia
 adalah
   seorang tokoh Front Pembela Islam (FPI) yang berpidato dalam tabligh
 akbar
   di Banjar, Jawa Barat, 14 Februari 2008.
 
 Saya memiliki rekaman pidatonya saat Sobri tampil dengan didampingi
   beberapa tokoh lainnya di hadapan ribuan umat Islam. Selain Sobri, ada
   pula Ir. M. Khattath, pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia, yang dengan
 lebih
   tenang -- dan dengan senyum dinginnya -- menyatakan bila pengikut
   Ahmadiyah tidak mau bertobat, hukumannya mati. Juga ada Abu Bakar
 Baasyir
   yang juga dengan tenang menyatakan hukuman bagi nabi palsu sederhana:
   kalau ditemukan, tangkap, potong leher.
 
 Kutipan-kutipan di atas sengaja diangkat untuk menunjukkan bahwa
   pembicaraan mengenai masih adanya gerakan-gerakan radikal yang
   menghalalkan kekerasan dalam umat Islam di Indonesia bukanlah omong
   kosong. Inilah kalangan yang atas nama agama merasa berhak menghabisi
   mereka yang berada di luar kelompoknya. Dalam kasus terakhir ini,
 mereka
   secara bergelombang berusaha memaksa pemerintah untuk tunduk pada
   keyakinan mereka: bubarkan Ahmadiyah, nyatakan Ahmadiyah sebagai
 ajaran
   terlarang, paksa mereka tobat!
 
 Kalau pemerintah tidak mau membubarkan, bagaimana? Di sini, pantas
 lagi
   dikutip pernyataan seorang aktivis yang menyebut dirinya Panglima
 Gerakan
   Umat Islam Indonesia (GUII). Bernama asli Abdul Haris Umarela, orang
 yang
   sekarang mengubah namanya menjadi Abdurrahman Assegaf itu berfatwa:
 "Darah
   Ahmadiyah halal," Lalu, Umarela ini berkata pula: "Insya Allah, dalam
   waktu dekat, bila pemerintah tidak menutup Ahmadiyah, jangan kami
   disalahkan bila kami akan memberantas mereka ..."
 
 Saya bukan penganut Ahmadiyah. Saya duga sebagian besar dari pembaca
   artikel ini bukanlah penganut Ahmadiyah. Tapi saya ingin mengingatkan
 Anda
   semua untuk melihat ancaman yang sangat nyata dari kelompok-kelompok
   preman berjubah - dengan menggunakan istilah Ahmad Syafii Maarif -
   tersebut terhadap pertama-tama, Ahmadiyah, dan juga pada gilirannya
 nanti,
   pada keragaman dalam Islam dan juga kebhinekaan di negara ini.
 
 Dalam kasus Ahmadiyah ini, suasananya menjadi lebih menakutkan karena
   gerakan radikal ini Islam memanfaatkan MUI yang memang kerap dijadikan
   rujukan dalam soal-soal keislaman. Dan lebih menakutkan lagi kemudian
   karena mereka sudah memanfaatkan tangan-tangan negara seperti
 Bakorpakem,
   yang melalui sebuah proses pemantauan yang tak memiliki
 pertanggungjawaban
   publik yang jelas, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah memang ajaran
 yang
   sesat.
 
 Saat ni, pemerintah belum mengeluarkan kata akhir. Surat Keputusan
 Bersama
   (SKB) yang ditunggu-tunggu kaum radikal itu belum lagi disahkan. Tapi,
   dalam waktu yang sempit ini, mari kita mengingatkan bahwa bila bila
   pembubaran Ahmadiyah terwujud maka sebenarnya kita sedang membiarkan
   terjadinya penzaliman terhadap jutaan warga Indonesia serta mmbiarkan
   kekuatan anti-demokrasi berkedok agama unjuk gigi mengarahkan politik
 di
   negara ini.
 
 Adalah sangat penting bahwa seluruh bangsa di negara ini diyakini
 bahwa
   ini adalah negara hukum yang tidak bersikap diskriminatif. Kaum preman
   berjubah itu memang bisa saja berteriak, "Tai kucing itu HAM!" 
   Masalahnya, mereka harus sadar bahwa, terlepas dari senang atau tidak,
   Indonesia adalah sebuah negara hukum yang percaya pada perlindungan
 HAM
   sebagaimana tertuang dalm deklarasi Universal HAM dan UUD 1945. Banyak
   dari para ulama itu juga berargumen bahwa di negara-negara seperti
   Pakistan dan Saudi Arabia, Ahmadiyah dilarang. Para ulama yang buicara
   seperti itu lupa dua negara itu adalah negara Islam. Indonesia bukan.
 
 Karena itu alasan untuk membubarkan sebuah ajaran - kalau itu memang
 bisa
   dilakukan - haruslah merujuk pada konstitusi. Dalam hal ini, terlepas
 dari
   para ulama MUI bilang apa, tak ada alasan untuk membubarkan Ahmadiyah.
   Kalau saja Ahmadiyah adalah sebuah gerakan yang memprovokasi kekerasan
 dan
   mendorong para pengikutnya menyerang pihak lain, organisasi itu
 sebaiknya
   memang dibubarkan. Masalahnya, Ahmadiyah tidak bergaya begitu.
 
 Ahmdiyah itu sudah ada di Indonesia sejak 1920an. Pernahkah kita
 mendengar
   mereka melakukan aksi kekerasan dan menyerang pihak lain? Tidak. Dan
 ini
   bisa dijelaskan dengan merujuk pada salah satu dasar ajaran Ahmadiyah.
   Mereka memang anti menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan Islam.
   Istilah jihad dalam komunitas Ahmadiyah dipercaya sebagai penyebaran
   ajaran dengan cara dakwah dan persuasif. Justru karena sikap
   anti-kekerasan inilah, Ahmadiyah dulu kerap dituduh sebagai gerakan
 pro
   kaum penjajah Barat.
 
 Secara ironis harus ditunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir
 ini,
   umat Ahamdiyah justru menjadi korban penindasan oleh kekuatan-kekuatan
   yang melecehkan hukum dan pemerintah. Permukiman mereka dihancurkan,
   mereka diusir dan sebagian sampai sekarang harus ditempat pengungsian,
   masjid-masjid mereka diluluhlantakkan, secara fisik warga Ahmadiyah
   dipukuli, diteror. Dalam hal ini, sangat tidak masuk di akal bila
   dikatakan bahwa Ahmadiyah meresahkan masyarakat karena
 tindakan-tindakan
   mereka.
 
 Karena itu, satu-satunya alasan untuk mempersoalkan kehadiran
 Ahmadiyah
   adalah soal penafsiran Islam. MUI memang sudah mengeluarkan fatwa yang
   menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Dalam konteks
 demokrasi,
   mereka tentu berhak untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu. Tapi
 itu
   tentu saja sebatas penilaian sejumlah ulama yang selalu mungkin salah.
   Bukankah untuk menentukan kapan Iedul Fitri saja, ulama bisa berbeda
   pendapat?
 
 Celakanya, sebagian pihak berusaha meyakinkan orang bahwa karena MUI
 sudah
   berkesimpulan begitu, itulah kebenaran absolut. Ini menggelikan.
   Seandainya kita sempat membaca beragam ensiklopedi otoritatif di
 berbagai
   negara, terbaca jelas bahwa Ahmadiyah senantiasa dianggap sebagai
 sebuah
   aliran dalam Islam. Ensiklopedi Islam yang disusun Prof. Dr. Azyumardi
   Azra saja jelas-jelas menulis Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam.
 Kalau
   Ahmadiyah memang sebuah aliran yang mengada-ada, masakan di dunia ada
   puluhan juta umat Ahamdiyah?
 
 Perdebatan soal Ahmadiyah adalah murni soal penafsiran. Ahmadiyah
   sepenuhnya mengakui rukun Islam dan rukun iman, sebagaimana diyakini
   mayoritas umat Islam lainnya. Ahmadiyah mengakui Muhammad SAW sebagai
   rasul terakhir dan Al-Qur'an sebagai kitab suci mereka. Namun penganut
   Ahmadiyah juga meyakini bahwa di abad 19 lalu, lahir Mirza Ghulam
 Ahmad
   yang kemudian menerima wahyu dari Allah untuk merevitalisasi
 ajaran-ajaran
   yang dibawa Nabi Muhammad itu untuk menyelamatkan dunia Islam yang
 saat
   itu sedang terpuruk. Karena itulah, umat Ahmadiyah meyakini Gulam
 Ahmad
   sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur'an.
 
 Semua penganut Ahmadiyah tidak percaya bahwa Ghulam Ahmad sejajar
 dengan
   Nabi Muhammad dan rasul-rasul lainnya. Mereka hanya percaya bahwa 6-7
 abad
   setelah Nabi Muhamad wafat, Allah menununjuk seorang terpilih - yakni
   Ghulam Ahmad - untuk memimpin umat Islam meraih kembali kejayaan
 Islam.
 
 Para ulama di MUI itu bisa saja tidak percaya dengan segenap klaim
 itu. Tapi
   di sini kita masuk dalam tataran penafsiran dan keyakinan. Selama
 seabad
   terakhir debat tentang kesahihan klaim Ghulam Ahmad merupakan salah
 satu
   isu yang penting dan terus hidup dalam dunia Islam. Tidak pernah
 ditemukan
   titik temu. Sekarang pertanyaannya, kalau ada perselisihan penafsiran
   dalam sebuah agama, pantaskah pemerintah campur tangan dan menentukan
   panafsiran mana yang benar?
 
 Eropa pernah memberi pelajaran yang sangat baik soal ini. Sekitar
 sepuluh
   abad yang lalu, para pemuka gereja diberi kewenangan seperti yang
 dimiliki
   MUI dalam kasus Ahmadiyah ini. Para petinggi gereja saat itu memiliki
   kewenangan untuk memfatwakan siapa yang disebut sebagai menyimpang
 dari
   ajaran Kristen dan dengan itu dapat menggunakan negara untuk menghukum
   mereka yang dinyatakan para petinggi agama itu sebagai murtad, kafir,
 dan
   sesat.
 
 Karena hubungan negara dan agama yang mesra dan saling memanfaatkan
 ini
   Eropa mengalami abad-abad kegelapan terburuknya, yang diwarnai dengan
   penindasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penzaliman mereka
 yang
   berada di luar ajaran Kristen resmi. Eropa terpuruk ketika petinggi
 agama
   berkuasa.
 
 Kita tahu semua, abad kegelapan itu juga sekaligus adalah abad
   keterbelakangan Eropa. Di bawah para petinggi agama yang dengan yakin
   merasa menjalankan amanat Tuhan untuk menjaga kesucian dunia, rakyat
 hidup
   dalam ketakutan - takut berpikir, berbicara, mencari ilmu pengetahuan,
   berkarya. Lebih buruknya lagi, tatkala tahu bahwa tidak ada kontrol
   terhadap mereka, para petinggi agama itu justru kemudian
 menyalahgunakan
   kekuasaannya untuk mengangkangi berbagai kenikmatan duniawi. Mereka
   menjadi korup!
 
 Karena konteks itulah, setelah abad itu dilalui, Eropa tidak pernah
 lagi
   memberikan ruang bagi para petinggi agama untuk mengambil keputusan
 dalam
   kehidupan politik. Dalam demokrasi, agama adalah agama, negara adalah
   negara. Agama disingkirkan karena dianggap tidak memberi ruang bagi
 hak
   untuk memiliki keragaman pendapat - sesuatu yang justru sangat
 esensial
   dalam demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia.
 
 Ini yang sekarang persis terlihat dalam kasus gerombolan 'preman
 berjubah'
   di Indonesia ini. Mereka nampaknya percaya bisa menyetir negara ini
 sesuai
   dengan tafsiran sempit mereka. Mereka seperti bermimpi bisa menempati
   kedudukan menakutkan para petinggi gereja abad kegelapan yang justru
   adalah pangkal keterbelakangan Eropa.
 
 Sekarang, semua bergantung kepada pemerintah. Secara sederhana, ada
 kubu
   pilihan. Yang satu adalah kubu yang menghalalkan kekerasan atas nama
   agama, yang percaya pada gagasan yang menolak keberagaman, gagasan
 bahwa
   hanya ada satu tafsiran tunggal seraya meniadakan yang lain. Di sisi
 lain,
   ada kubu yang percaya pada arti penting hak asasi manusia, pada hak
   berbeda pendapat dan keyakinan, serta hidup dalam suasana yang tidak
   merestui kekerasan.
 
 Semoga pemerintah mengambil pilihan yang benar.
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 ------------------------------------
 
 =======================
 Milis Wanita Muslimah
 Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
 Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI :
 http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
 Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
 Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]
 
 This mailing list has a special spell casted to reject any attachment
 ....Yahoo! Groups Links
 
 
     
                                       

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke