Ha ha ha perhitungan anda benar juga.Makanya sebelumnya saya tanya, apakah anda 
mau mengganti formula jadi 50%+1 dari DPT?
Anggap saja anda mempunyai kekuasaan mutlak mengganti formula tsb, dgn contoh 
Pilpres 2014, siapa yg menang dan jadi presiden? atau tidak ada yg menang dan 
pemilu diulangi terus sampai memenuhi formula? atau tidak ada presiden?


---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

Ya, untuk seru-serunya obrolan boleh saja begitu.
Dengan angka resmi dari KPU maka de facto lebih dari 
60% DPT tidak memilih paslon No.2:
Daftar Pemilih Tetap (DPT) : 190.307.134 orang 

Perolehan capres nomor urut (1).........62.576.444 suara 
Perolehan capres nomor urut (2).........70.997.833 suara 
Suara sah........................................133.574.277 suara Golput 
(abstain, suara "rusak" dsb).....56.732.857 orang 
Kesimpulan: 
Capres nomor urut (2) hanya didukung sekitar 37,3% DPT. 

Dengan kata lain, sekurangnya ada 119.309.301 Rakyat 
tidak memilih calon nomor urut (2) menjadi presiden.
demokrasi < 50%

--- jonathangoeij@... wrote:
Data  pilpres 2014:Suara sah 98.98%Tidak sah/rusak 1.02%
Hasil pemilu 53,15% x 46,85%
Suara tidak sah atau rusak itu ada yg nyoblos keduanya, ada yg tidak dicoblos, 
ada juga yg nyoblos bukan keduanya. Ada yg sengaja, ada juga karena error. 
Apakah anda bermaksud mendata hal2 ini?
Melihat disini suara tidak sah atau rusak 1,02% sekalipun dijadikan faktor 
hasilnya tetap memenuhi 50%+1kita revisi: 52.61% x 46.37% x 1,02%(suara rusak) 
==> tetap lebih dari 50%+1
Kutipan:Pemilih yang 
mencoblos pada dua gambar maupun lebih (abstain, atau sebut saja juga sebagai 
golongan putih, golput) cuma dianggap sebagai 'suara rusak'. Tidak dijadikan 
faktor dalam penghitungan suara. Padahal, sekalipun "rusak", mereka Rakyat 
juga. 
Manusia juga. Dan, bersikap juga.
--- ajegilelu@... wrote :

Buat seru-serunya obrolan bisa saja kita bikin macam-macam istilah,utak-atik 
angka, berandai-andai dst. Yang pasti realita data yang tercantum 
pada formulir rekap penghitungan suara di TPS (formulir C1) maupun 
data final dari KPU hanyalah kolom data untuk total perolehan suara sang calon 
dan kolom data untuk jumlah suara sah. Tidak ada kolom untuk suara tidak sah,
tidak ada kolom untuk jumlah DPT. 

Artinya, yang diurus dalam pemilu benar-benar hanya kepentingan si calon 
dan partai pengusungnya. Sebab, suara sah yang dimaksud secara resmi adalah 
tanda coblosan pada gambar atau nomor urut salahsatu paslon. Pemilih yang 
mencoblos pada dua gambar maupun lebih (abstain, atau sebut saja juga sebagai 
golongan putih, golput) cuma dianggap sebagai 'suara rusak'. Tidak dijadikan 
faktor dalam penghitungan suara. Padahal, sekalipun "rusak", mereka Rakyat 
juga. 
Manusia juga. Dan, bersikap juga.
Perdebatan soal cara menghitung rumus 50% + 1 ini sudah berlangsung 
lama,melelahkan, dan sia-sia, sebab pembuat aturan berhitungnya adalah para 
maling 
yang ingin beroperasi secara legal. Nah, jadi, persoalan terpentingnya adalah 
bagaimana mencegat para maling agar tidak berkuasa.
Sikap saya tetap, menolak jadi alas kaki para maling adalah cara paling 
konstitusional.
Punya tawaran lain?
--- jonathangoeij@... wrote:
Waktu saya bilang "suara sah" itu maksudnya dari mereka yang nyoblos, suara sah 
sendiri besarnya 98,98% tidak sah 1,02%. Disini kalau melihat dari mereka yg 
nyoblos hasil pilpres yg lalu masih lebih dari 50%+1 suara. Yang nyoblos 69,58% 
tidak nyoblos 30,42%. Banyak orang bilang golput 30,42% diambil keseluruhan yg 
tidak nyoblos itu, tetapi saya kira pendapat seperti itu tidak benar. Yg 
namanya golput adalah mereka yg tidak setuju pada semua calon, tetapi bukan 
berarti semua yg tidak nyoblos itu golput karena ada yang sakit atau sibuk atau 
memang pada dasarnya tidak mau nyoblos tidak perduli siapapun yg jadi calon. 
Angka golput yg sebenarnya kita tidak tahu.
Apakah anda bermaksud merubah formula jadi 50%+1 dari DPT?
--- ajegilelu@... wrote :

Sebelum dirobah coba benahi dulu penggunaan formula ini 
dengan cara yang lebih tepat. Idealnya kan yang terpilih 
didukung sekurangnya separuh dari suara Rakyat. Tapi karena 
pemilih dibatasi hanya bagi mereka yang sudah berusia 17 tahun 
atau sudah menikah, maka secukupnya itu mestinya ya 50% + 1 
dari suara DPT. Lha mosok cuma didukung 37,3% DPT saja 
lalu menguasai seluruh Rakyat, 100%. Ini sih bukan demokrasi, 
tapi tirani minoritas.

demokrasi < 50%
Kalau pembandingnya cuma suara sah, lantas suara yang tidak sah 
dianggap apa? Bukan suara Rakyat? Untuk apa repot-repot menyusun 
daftar pemilih kalau cuma digunakan sebagai daftar absensi. 
Ini akal-akalan penguasa & partai, membuat aturan main untuk 
kepentingan mereka sendiri dengan mengabaikan kepentingan Rakyat.
Karena mengabaikan kepentingan Rakyat, otomatis kerja mereka
juga mengecewakan. Sudah seharusnyalah partai-partai & penguasa 
itumempertanggungjawabkan perbuatannya mengakali Rakyat, dihukum 
dengan tidak memilihnya lagi sampai ada tanda-tanda mereka mau bekerjauntuk 
kepentingan Rakyat. Biarlah suara dukungan mereka peroleh 
dari para pengikut setia alias kaum alas kaki. 

Ada tawaran lain?
--- jonathangoeij@... wrote:
Secukupnya disini utk presiden dan gubernur dki 50%+ dari suara sah yg masuk, 
utk gubernur daerah lain kelihatannya yg dapat suara terbanyak dibandingkan 
calon yg lain biarpun misalnya tidak sampai 50%, tidak tahu bagaimana utk 
anggota dpr. Apakah anda bermaksud merubah formula ini? Seandainya ya, dirubah 
bagaimana?
Kemudian katakanlah ada yg terpilih kemudian mengecewakan, seharusnya ada cara 
me-recall atau impeach atau makzul, mungkin ini yg anda maksudkan dgn 
menghukum. Di California ada recall election utk menurunkan gubernur terpilih 
yg dianggap mengecewakan, keputusan dikembalikan ke pemilih apakah masih ingin 
mempertahankan gubernur itu atau memilih gubernur yg lain, Gubernur Gray Davis 
misalnya diprotes banyak orang dan diadakan recall election beliau kalah dan yg 
terpilih menggantikan beliau Arnold Schwarzenegger yg melanjutkan sisa jabatan 
gubernur lama. Disini saya rasa Gray Davis dihukum para pemilih California dgn 
menghentikan beliau dan mengangkat gubernur lain. 
Tidak tahu bagaimana maksud anda "hukum" yg dimaksudkan itu?
--- ajegilelu@... wrote :

Itulah, cuma dengan modal suara "secukupnya" mereka menguasai seluruhnya. 
Berani menghukum mati, senang menggusur tanpa ganti rugi, bahkan seenak udel 
merobah persyaratan pilkada demi kepentingan kekuasaan.
Jelas bukan untuk itu mereka kita gaji. 
Jadi, selama masih ada yang mau dijadikan alas kaki partai / penguasa ya selama 
itulah seluruh Rakyat menggaji mafia penindasnya. Menolak jadi alas kaki, itu 
paling konstitusional, menurut saya.
Punya tawaran lain?

--- jonathangoeij@... wrote:
kalau itu kembali mendasar, ada pemilu baik presiden ataupun dpr, mereka yg 
mengantongi suara secukupnya akan jadi presiden ataupun anggota dpr. saya rasa 
itulah legalitasnya, dari pemilih.

--- ajegilelu@... wrote :

Lha menurut Anda bagaimana mereka bisa berkuasa? Siapa yang memberi legalitas 
kepada mereka untuk berkuasa? 

Kirim email ke