Iyaa, ... rupanya pengertian nasionalisasi itu mengambil alih aset perusahaan asing/swasta menjadi milik NEGARA! Dan itu dijalankan tanpa ganti rugi, negara harus “membeli” nilai aset perusahaan yang diambil alih itu! Dan nampaknya pengertian inilah yang dijalankan Soekarno ditahun 1958-1964, yang dimulai menasionalisasi perusahaan Belanda diakhir tahun 1957. Dan akhirnya kalau tidak salah ingat, diakhir tahun 1964 atau awal 1964, Bank Of China di Indonesia mengambil keputusan menghibahkan aset BOC (entah berapa nilainya) pada RI dan menjadi Bank Indonesia, ...
Ternyata cara ini yang dijalankan RI dan juga dibeberapa negara lain, khususnya Amerika Latin, seperti Venezuela dalam menasionalisasi perusahaan minyak AS dan membuat AS mencak-mencak. Yang menjadi masalah, apakah cara mengambil alih demikian PANTAS diteruskan dijaman modern dan globaliswasi sedang bergulir didunia ini? Saya merasa akan jauh lebih baik dan simpati, sikap yang dijalankan ketua Mao di RRT, saat nasionalisasi aset perusahaan swasta di Tiongkok dimasa 1957-1958 itu, Pemerintah mengganti rugi! Sekalipun saat itu pemerintah masih sangat MISKIN dan ganti-rugi yang diberikan mungkin tidak memuaskan pengusaha kapitalis! Tapi, TETAP menunjukkan SIKAP KOMUNIS yang bijaksana dan manusiawi, ...! Bukankah sikap mengambil alih aset perusahaan asing tanpa ganti-rugi merupakan pelanggaran ketentuan HUKUM dagang internasional? Apa RI tidak diharuskan mentaati ketentuan yang ddiberlakukan di WTO? Dan dengan sikap BRUTAL begitu, apakah RI tidak akan terkucilkan didunia perdagangan internasional? Dan ... akibatnya tentu akan sangat merugikan Indonesia sendiri! Jadi, Prinsip menjalankan nasionalisasi perusahaan swasta apalagi aset asing, Pemerintah wajib memberikan ganti rugi secara “prompt, effective and adequate.” Terutama setelah PBB mengeluarkannya Resolusi 1803 “Permanent Sovereignty over National Resources” yang menegaskan bahwa dalam nasionalisasi perusahaan dan pengambilalihan aset asing, negara harus memberi ganti rugi yang memadai terhadap pihak pemilik perusahaan dan aset yang diambil alih. Ada satu kasus pengalaman pahit Indonesia, yang sangat terkenal dengan Bremen Tobacco Case, dimana produk tembakau Indonesia diboikot di pasar komoditas tembakau internasional di Bremen, Jerman. Aksi ini berlanjut pada tuntutan hukum yang berakhir dengan kekalahan pihak pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian diwajibkan membayar ganti rugi yang layak kepada pemilik perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, ...! JASMERAH, bung! Jangan Lupakan Pengalaman Sejarah, masak iya kita masih saja hendak meneruskan sikap TIDAK BIJAKSANA dalam menasionalisasi perusahaan asing. Yang akibatnya akan lebih merugikan RI sendiri, ... terkucil didunia dagang internasional. Dan, ... nampak jelas, untuk menasionalisasi Freeport yang begitu besar skalanya, disamping RI belum ada kemampuan dana yang cukup, nampaknya juga BELUM ada kesiapan teknologi dan manajemen untuk meneruskan operasi tgambang emas disitu, ... sedang menurut menteri Jonan lebih lanjut, tambang Freeport tidak boleh berhenti terlalu lama! Jadi, yaa jangan cuman ASBUN saja, mengajukan TUNTUTAN yang saangvat revolusioner, .... nasionalisasi Freeport yang jelas sangat TIDAK REALISTIS! Satu tuntutan ekstrim yang kebablasan dan TIDAK MUNGKIN dijalankan itu! Salam, ChanCT Kronik Nasionalisasi Perusahaan Asing Tahun 1957 http://www.berdikarionline.com/kronik-nasionalisasi-perusahaan-asing-tahun-1957/ Seharusnya, bagi bangsa Indonesia, nasionalisasi bukanlah hal yang tabu. Negara ini punya pengalaman menasionalisasi perusahaan milik asing, khususnya Belanda. Berikut ini kronik singkat gelombang nasionalisasi di akhir 1957. Pada bulan November 1957, upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan persoalan Irian Barat di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui jalan buntu. Sidang Umum PBB ke-XII gagal menyelesaikan persoalan Irian Barat. Pemerintah Indonesia sangat kecewa dengan gagalnya upaya penyelesaian damai tersebut. Dalam Sidang Kabinet diputuskan rencana pemulangan orang-orang Belanda. Sementara itu, di dalam negeri, pada 30 November 1957, terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Ia digranat oleh gerombolan DI/TII sangat menghadiri perayaan HUT Perguruan Cikini. Bung Karno berhasil selamat. Namun, ledakan granat itu menewaskan 10 orang, termasuk sejumlah anak sekolah dan pengawal Bung Karno. Tak lama setelah itu, Dubes keliling AS, Gordon Main, mengunjungi Indonesia. Ia meminta persetujuan pemerintah Indonesia terkait rencana pendirian pangkalan SEATO di Irian Barat. Namun, pemerintah dan rakyat Indonesia menafsirkan rencana itu sebagai upaya campur tangan imperialisme di wilayah NKRI. Sementara itu, Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia menyebarluaskan telegram berisi seruan solidaritas kepada kaum komunis dan kaum buruh seluruh dunia untuk bersolidaritas dan mendukung perjuangan Rakyat Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme Belanda. Pada bulan Desember 1957, majalah New York Times melaporkan kerasahan orang-orang Belanda di Indonesia. Dilaporkan bahwa mayoritas orang Belanda yang bermukim di Indonesia tidak setuju dengan politik pemerintah Belanda mempertahankan cengkeramannya di Irian Barat. Dilaporkan pula, salah seorang pengusaha Belanda menganggap “tidak masuk akal” sikap nekat pemerintah Belanda mempertahankan ‘hutan rimba Irian Barat’, namun justru mempertaruhkan resiko semua modal Belanda di wilayah Indonesia lainnya. Pada tanggal 1 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya aksi mogok selama dua puluh empat jam terhadap semua perusahaan Belanda (Bartlett, 1986:100). Tanggal 2 Desember 1957, sebagai respon atas seruan pemerintah, kaum buruh mulai menggelar pemogokan umum di pabrik-pabrik milik Belanda maupun pabrik campuran milik Belanda-Indonesia. Akibatnya, pengusaha Belanda menderita kerugian lebih dari Rp 100 juta. Tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia mulai menutup konsulat Belanda di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga membekukan semua transfer keuntungan perusahaan Belanda ke luar negeri. Tanggal 6 Desember 1957, kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda, yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur Jakarta, diambil-alih oleh kaum buruh. Pada hari yang sama, kaum buruh juga mengambilalih Hotel Des Indes. Motor utama aksi-aksi nasionalisasi ini adalah SOBSI (Sentral Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dan KBKI (Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia). Pada hari yang sama, Kementeria Luar Negeri Indonesia menginstruksikan semua perusahaan Belanda di Indonesia untuk menghentikan aktivitasnya. Tiga kapal KPM, yang rencananya berlayar ke Indonesia, terpaksa berhenti di Singapura. Sehari kemudian, Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) di Jakarta berupaya untuk menduduki dan menguasai bank-bank Belanda di Jakarta. Aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, Kementerian Kehakiman RI telah memerintahkan 5000 warga Belanda di negerinya untuk segera kembali ke negerinya. Namun, Menteri Kehakiman juga memerintahkan agar kaum buruh tidak menguasai pabrik yang sudah diambilalih dari tangan Belanda. Sebaliknya, Menteri Kehakiman menuntut agar perusahaan tersebut diserahkan ke militer (TNI). Pada tanggal 7 Desember 1957, seiring dengan menghebatnya aksi-aksi nasionalisasi di Indonesa, Panglima Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, Felix Sump, menerima radiogram dari Kepala Operasi AL Laksamana Arleigh Burke tentang perintah pengerahan pasukan AL Amerika Serikat ke perairan Indonesia karena “situasi kritis di Indonesia”. Sejurus dengan itu, atas permintaan Belanda, NATO (Fakta Pertahanan Atlantik Utara) menggelar Sidang Darurat untuk mendengar dan membahas laporan dari Indonesia. 9 Desember 1957, pers-pers di Indonesia memuat keputusan Perdana Menteri Juanda, bahwa semua perusahaan pertanian Belanda, juga campuran Belanda-Indonesia, termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan, sejak itu berada di bawah pengawasan pemerintah RI. Pemerintah juga mengambilalih pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk KPM dan KLM, Bank-Bank Belanda, Perusahaan Niaga, kantor-kantor, perusahaan gula, stasiun listrik, perusahaan gas, dan lain-lain. Pada tanggal 10 Desember 1957, Menteri Pertahanan secara resmi menginstruksikan menguasai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Padahal, perusahaan-perusahaan ini diambilalih dan dikuasai oleh kaum buruh Indonesia. Inilah titik balik dari aksi nasionalisasi tahun 1957. Pertengahan Desember 1957, Serikat Buruh Belanda menyatakan mendukung perjuangan rakyat Indonesia dan menuntut agar penjajah meninggalkan Irian Barat. Kemudian, 15 Desember 1957, UU Keadaan Bahaya ditandatangani. UU ini merupakan upaya militer untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh dan sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang direbut dengan darah dan keringat oleh kaum buruh. Puncaknya adalah berlakunya Keadaan Bahaya (SOB) pada tahun 1958. Namun, aksi-aksi nasionalisasi oleh kaum buruh masih terus berlanjut hingga tahun 1958. Tahun 1958, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Januari 1958, kubu negara-negara sosialis dan negara-negara Asia-Afrika menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia terkait pengembalian Irian Barat. Pada Februari 1958, pihak imperialis berhasil menyulut pemberontakan separatis PRRI. Imperialisme AS menyuplai dana, senjata, dan amunisi kepada para pemberontak. Selain itu, AS juga mengirimkan barisan kapal perang dari Armada ke-7 untuk daerah pemberontakan. Alasannya: untuk membantu pengungsian pegawai perusahaan minyak AS, Caltex. Tanggal 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui Undang-Undang Nasionalisasi terhadap semua perusahaan Belanda di wilayah Indonesia. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 yang menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI. Tercatat, dari sejak 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70% perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia jaman itu. Sementara itu Prof Dr R.Z Leirissa dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia mencatat: sejak terjadinya gelombang nasionalisasi, kepemilikan dari 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa (Robison, 1986:72). Timur Subangun; disarikan dari berbagai sumber: Kronik Irian Barat (Koesalah Subagyo Toer), Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (Frof Leirissa), dll). From: nesa...@yahoo.com [GELORA45] Sent: Tuesday, September 5, 2017 6:51 AM To: GELORA45@yahoogroups.com Subject: RE: [GELORA45] Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Roeslan: NASIONALISASI ADALAH PROSES DI MANA NEGARA MENGAMBIL ALIH KEPEMILIKAN SUATU PERUSAHAAN MILIK SWASTA ATAU ASUNG. Nesare: setuju ini benar. Dinegara apa bisa terjadi hal ini? Bagi saya hanya di negara komunisme. Kenapa? Karena dinegara komunisme tidak ada kepemilikan individu. Ini dasar berpikirnya. Jadi perusahaan asing akan dinasionalisasikan ketika komunisme menang. Apakah ini salah? Bung kan mau nasionalisasi 100% gratis/gak bayar dan hanya bisa terjadi dinegara komunisme. Sekarang RRT dan kuba yang masih disebut negara komunisme saja sudah tidak bisa menerapkan nasionalisasi ini lagi. Kenapa? Karena system ekonominya sudah dibuka dan menganut kapitalisme. Saya sudah bilang sebelumnya nasionalisasi itu ada karena 2 hal: revolusi dan komunisme. Komunisme sendiri sudah tidak ada lagi bentuk nyatanya sekarang ini (baca: tidak ada negara komunis lagi didunia ini sekarang). Yang ada hanyalah negara sosialisme. Ini yang ditentang oleh tatyana. Saya sudah berulang2 kali nulis sosialisme itu adalah peralihan dari kapitalisme ke komunisme. Istilah remo yg dilabelkan tatyana ke chan itu adalah sosialisme. Tolong jelaskan bagaimana cara bung mau menasionalisasikan PTFI itu? Merubah RI menjadi komunisme dulu? Atau mau revolusi lagi? Pertanyaan terakhir: apakah bung tidak berani menyatakan diri sebagai komunis? saya sudah lemparkan pertanyaan ini ke tatyana tetapi tidak pernah dijawab. Jelas sekali ideologi bung berdua adalah komunisme. Moso’ malu bilang begitu. Saya saja tidak malu bilang saya kapitalis. Saya gak pernah bilang kapitalisme hebat. Sedangkan bung berdua yang selalu mencerca kapitalisme yang sudah dianut seluruh dunia. Kalau jawaban atas pertanyaan terakhir saya ini adalah bung bukan komunis, artinya saya salah mengatakan “nasionalisasi roeslan ala komunisme”. Saya akan tarik klaim saya ini. Silahkan diklarifikasi! Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Sent: Monday, September 4, 2017 3:05 PM To: GELORA45@yahoogroups.com; nesa...@yahoo.com Subject: AW: [GELORA45] Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Nampaknya bung Nesare ini telah menjadi murit setianya Orde baru Suharto, sehingga kejangkitan penyakit Komunistophobi, ini tercermin dalam tulisannya yang menyatakan bahwa Nasionalissi roeslan ala komunis. Wah hebat betul cuci otak yang telah dilakukan oleh rezim militerfasis suharto, sampai sampai seorsng terpelajar seperti Nesare tak bisa membedakan antara nasionalisasi dengan komunisme. Setiap orang bilang Nasionalisasi lalu distempel Komunis. Ini membutikan bahwa nesara itu sejatinya adalah murit yang paling setia pada Rezim milkiter fasis Suharto. Saya tidak yakin bahwa Nesare bisa memahami apa yang dutulis di Wikipedia Indonesia, bahwa NASIONALISASI ADALAH PROSES DI MANA NEGARA MENGAMBIL ALIH KEPEMILIKAN SUATU PERUSAHAAN MILIK SWASTA ATAU ASUNG. Mengambil alih itu artinya seluruh perusahaan (100%) disita tanpa bayar sepeserpun. Kutipan Wikipedia Indonesia dibawah ini saya ambil dari Google (bukan karangan saya). Sekarang ganti bung harus menjelaskan apa yang bung maksud Nasionalisasi ala komunis harap bung jelaskan secara ilmiah!!! Ini penting buat kita semua. Semoga bung bisa sembuh dari penyakit komunistophobi. Roeslan. WIKIPEDIA INDONESISA Nasionalisasi Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan. Selain itu para pegawainya menjadi pegawai negeri. Lawan dari nasionalisasi adalah privatisasi. Von: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Gesendet: Sonntag, 3. September 2017 17:02 An: GELORA45@yahoogroups.com Betreff: RE: [GELORA45] Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Hehehehehe dulu dengan sombongnya bilang nasionalisasi (eh nasionalisasi yg ente maksud = beli saham) freeport. Sekarang rejim Jokowi sudah setuju beli 51% saham yg duitnya gak tahu dari mana, eh ente ngomong ini seperti menyuntik duit. Sombongnya (baca: gobloknya) minta ampun. Persoalan freeport itu bukan hanya persoalan bisnis saja. Itu persoalan “Corporate America” yg menjadi soko guru negara ente. Disinggung sedikit saja bisa ngamuk negara ente. Kenapa ngamuk? Karena “Corporate America” itu adalah alat yg digunakan utk menjajah dalam sejarah modern dunia ini terutama setelah menang PD2. Baca tulisan chan yg gak sok tahu. Teknis main saham nya saja ente ngak ngerti (mana ngerti ente kalau jual beli saham pakai blok blokan?!!). Belum lagi isi perut dalamnya freeport. Begitu juga: kemampuan teknis Indonesia dalam mengelola; apakah masih feasible utk dikelola; USA kalau marah akan ganggu RI tidak plus serangan2 baik langsung maupun pre emptive dll. SUDAH DIAM KAN?!!! KABUR KEMANA ENTE?!!! Ni baca tulisan ente yg dulu: 12/6/2015 Oon, nasionalisasi itu perlu biaya baik itu di BUMN-kan ataupun di provatisasi, terkecuali Indonesia mau menjadi negara "tirai rotan". ---In GELORA45@yahoogroups.com, <nesare@...> wrote : Bung Roeslan ngerti tidak apa yang dimaksud oleh jonathan dengan nasionalisasi Freeport itu? Ini tulisan jonathan selanjutnya: Harga saham Freeport saat ini lagi murah2nya, ditambah berita licensing tidak akan diperpanjang harganya bisa "dirt-cheap". Saat yang tepat sekali untuk nasionalisasi. Nasionalisasi Freeport versi jonathan itu adalah beli saham Freeport yang sedang murah. Dia ini lagi ngomong dalam konteks neoliberal. Dari dulu jonathan ini sudah saya telanjangi bahwa dia itu bukan democrat. Dia ngomongnya adalah registered democratic party di USA. Tetapi isi sebetulnya, dia itu adalah anggota partai democrat krn unsur pragmatisme saja, tetapi bukan idealisme. Jadi jonathan itu bukan orang kiri. Beda dengan bung Roeslan yang memang orang kiri. Hati2 kalau menyetujui ide seseorang. Memangnya ini yang dimaksud nasionalisasi bung Roeslan? Salam Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Sent: Friday, December 04, 2015 2:53 PM To: mailto:GELORA45@yahoogroups.com; 'Jonathan Goeij' Subject: AW: [GELORA45] Re: #sastra-pembebasan# Soal Freeport, Fokuslah Ke Persoalan Pokok: Neokolonialisme! Usulan yang bagus bung JG, saya juga setuju, karena menasionalisasi Freeport itu sejalan dengan Pasal 33 UUD45. Salam, Roeslan Von: mailto:GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Gesendet: Freitag, 4. Dezember 2015 21:31 An: GELORA45@yahoogroups.com Betreff: [GELORA45] Re: #sastra-pembebasan# Soal Freeport, Fokuslah Ke Persoalan Pokok: Neokolonialisme! Saya kok setuju Freeport di nasionalisasi, dengan demikian kepentingan US di Papua akan berkurang banyak bahkan mungkin tidak ada lagi, resolusi PBB agar diadakan referendum penentuan nasib sendiri bisa gol karena tidak ada lagi negara besar yg menghalangi. ---In GELORA45@yahoogroups.com, <mailto:lusi_d@..> wrote : Karakter penguasa pemerintahan Indonesia sekarang ini komprador atau bukan? Apa mungkin komprador mensita milik tuannya? From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Sent: Saturday, September 2, 2017 10:22 AM To: GELORA45@yahoogroups.com Subject: Re: [GELORA45] Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Melihat apa yg akan dilakukan dgn divestasi 51% ini, kok sepertinya pihak Indonesia jadinya kayak menyuntik dana. Freeport Indonesia go public di BEJ dan telah terjamin ada yg beli 51% sahamnya. ---In GELORA45@yahoogroups.com, <SADAR@...> wrote : Dilihat sepintas apa yang bung ajukan point ketiga itu ada betulnya! Tapi, apakah masalah Freeport, tambang emas terbesar di Nusantara ini begitu sederhana? Kalau begitu sederhana kenapa pula kedua-b elah pihak, RI dan Freeport saling ngotot bertahan pada pendapat masing-masing, dan diahri terakhir pihak Freeport baru ngalah dan bersedia devestasi untuk bisa memperpanjang KK sampai 2041? Apa dan dimana masalahnya? PASTI KEUNTUNGAN yang masih bisa didapat lebih BESAR! Bagi siapa? RI atau Freeport yang lebih diuntungkan, ..? Saya melihat KESALAHAN pihak RI, dari penandatanganan menyerahkan Freeport membuka tambang emas ini di tahun 1967! Dimana Suharto sepenuhnya menyerahkan pada Freeport tanpa ada usaha memperjuangkan keuntungan/kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia sebagai PEMILIK HARTA BUMI kekayaan Nusantara ini! Disini perbedaan PRINSIP antara Suharto dan Deng saat jalankan politik buka-pintu, mengundang masuk MODAL-ASING! Deng b erusaha dengan masuk modal-asing, rakyat TIongkok bisa diuntungkan, belajar dan akhirnya menguasai usaha yang dijalankan itu! Tidak lebih dari 20 tahun, rakyat Tiongkok bisa menguasai dan bikin sendiri segala produksi yang dikerjakan modal-asing itu! Bahkan dengan prinsip BERDIKARI, KREATIF, rakyat Tiongkok berhasil mengembangkan prinsip-prinsip teknologi yang berhasil dikuasai itu! Sedang Suharto, TIDAK! Yang diperhitungkan berapa besar KOMISI yang bisa masuk kantong sendiri, bagaimana kesejahteraan rakyat tidak peduli, ... begitulah akhirnya rakyat banyak tetap menderita kemiskinan, ekonomi nasional belum berhasil keluar dari lembah keterpurukkan sampai sekarang. Yang menjadi problem Freeport kalau dihentikan KK di tahun 2021, sudah bisa dan mampukah RI meneruskannya sendiri? Pertanyaan yang harus diperhitungkan serius oleh pemerintah untuk menjamin kelanjutan kerja buruh Freeport yang jumlahnya belasan atau puluhan ribu itu! Kalau masih belum mampu, tentu ada 2 cara, melanjutkan KK Freeport atau menemukan modal-asing lain. Nampaknya RI memilih Freeport bisa meneruskan dgn bisa memberikan keuntungan LEBIH BESAR pada RI! Saya tidak tahu bagaimana perhitungan rinci RI mengambil cara minta 51% saham dan menaikkan pajak penghasilan/keuntungan Freeport sebagai jalan yang dianggap paling baik, dengan membiarkan Freeport menerusakan usaha sampai 2041. Dan jelas, areal operasi tambang diperluas entah sampai kemana-mana! Dan sangat saya sesalkan, ... dalam perjanjian perpanjangan KK itu, kemungkinan juga tidak menegaskan KEHARUSAN pihak Freeport mengoper teknologi penampangan pada pihak pekerja Indonesia! Agar pihak Indonesia bisa menjalani sendiri usaha tambang emas itu sebelum emasnya habis diangkut ke AS! Salam, ChanCT From: Jonathan Goeij jonathangoeij@... [GELORA45] Sent: Saturday, September 2, 2017 2:59 AM To: Yahoogroups Subject: [GELORA45] Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Kelihatannya banyak yang bermata jernih bisa melihat hal simple seperti ini. --- Ketiga, Redhi menilai pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya Kontrak Karya (KK) merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia, karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada tahun 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks PT Freeport menjadi milik Pemerintah Indonesia. ... 30 August 2017 09:10 WITA Kuasai 51% Saham Freeport, Indonesia Tak Memiliki Untung Editor: Adil Patawai Anar RAKYATKU.COM - Pengamat Energi dan Sumberdaya Alam Universitas Tarumanegara, Ahmad Redhi menilai disetujuinya poin kesepakatan melalui perundingan antara PTFI dan Pemerintah, sesungguhnya tidak memberikan keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Hal ini karena, poin-poin kesepakatan perundingan mengandung masalah. Ia menilai, Pemberian IUPK kepada PT Freeport tidak sesuai dengan UU Minerba. Menurut UU Minerba IUPK dapat diberikan melalui penetapan WPN yang harus disetujui DPR. IUPK pun diprioritaskan diberikan kepada BUMN. Kedua, Pembangunan smelter merupakan kewajiban lama PT Freeport yang di waktu yang lalu pun diperjanjikan oleh PT Freeport untuk dibangun. Namun hingga saat ini belum ada progres terkait hal tersebut. "Toh hingga detik ini pun tidak terbangun. Harusnya pemerintah punya langkah strategis untuk bisa menekan Freeport untuk bisa konsekuen dengan janji ini," ujar Redhi, dilansir republika.co.id, Rabu (29/8/2017). Ketiga, Redhi menilai pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya Kontrak Karya (KK) merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia, karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada tahun 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks PT Freeport menjadi milik Pemerintah Indonesia. Terkait divestasi saham oleh PT Freeport, sesungguhnya dalam KK perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham PT Freeport yang harusnya pada tahun 2011 sudah 51 persen dimiliki pemerintah, namun faktanya hingga detik ini kewajiban divestasi 51 persen ini tidak juga direalisasikan PT Freeport. Ia menilai, hasil perundingan ini malah bentuk mengukuhkan kembali PT Freeport untuk mengeksploitasi SDA Indonesia yang kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia sangat rendah. "Pemerintah sekarang pun menjadi pewaris potensi masalah PT Freeport sebagaimana tahun 1967 dan 1991 ketika Orde baru mewariskan masalah PT Freeport kepada generasi saat ini," ujar Redhi.