Patut diperhatikan, dalam rangka “MEMPERINGATI 100Th Kemenangan Revolusi 
Oktober”, Republik Rakyat Tiongkok pada tgl. 26 September yl. menjelang Kongres 
19 PKT, melangsungkan SEMINAR Revolusi Oktober dan Sosialisme Berciri Khas 
Tiongkok, ... Bertekad teguh meneruskan OBOR Revolusi Oktober yang telah padam 
di Sovyet terus menyala lebih membawa dibumi Tiongkok! Kenyataan tidak dapat 
disangkal, setelah Sovyet roboh ditahun 1991, obor Sosialisme telah jatuh 
dipundak Rakyat Tiongkok dan, PKT dalam 30 tahun terakhir ini menunjukkan 
KEMAMPUAN memikul TUGAS MULIA Lenin-Stalin yang telah dicampakkan Gobarchove 
dan mengakibatkan Sovyet roboh dibawah gempuran Budaya dan Finans Kapitalisme! 
Untuk mengenal lebih baik karya Lenin, PKT kembali menerbitkan Karya Lenin 
Lengkap dalam bhs. Tionghoa, agar rakyat Tiongkok harus benar-benar bisa 
memahami Leninisme dari karya langsung Lenin sendiri!

Beberapa tulisan, makalah dan tanggapan dari Seminar yang berlangsung tgl. 26 
Sept. itu, yang menurut saya PANTAS diajukan untuk kalian ketahui: adalah, 
pernyataan keharusan bagi setiap komunis yang mengaku materialisme dan 
realistis, bisa melihat keberhasilan Lenin-Stalin dengan Revolusi Oktober 
meembangun negara sosialis pertama didunia ini! Bukan saja berhasil 
mempertahankan Sovyet menghdapi serangan Hitler dimasa PD-II, tapi juga 
BERHASIL membawa Sovyet tumbuh menjadi negara industri yang sanggup bersaing 
dengan imperialisme AS, tidak hanya dibidang ekonomi, pertahanan tapi juga 
termasuk kemajuan teknologi, peluncuran satelit dan astraunot diruang angkasa 
sampai ke Bulan! Disaat itu sampai tahun-tahun 60-an kehidupan rakyat Sovyet 
juga bisa dikatakan telah mencapai kesejahteraan yang lumayan, ... BEBAS dari 
KEMISKINAN! Ini kenyataan pertama yang harus diakui!

Kedua, setiap BANGSA yang besar tidak bisa tidak harus mempunyai pimpinan, 
Lenin-Stalin itulah Pemimpin BANGSA Rusia yang tidak boleh disangkal! Bangsa 
Rusia menjadi bangsa yang besar, Sovyet menjadi negara-kuat justru karena ada 
pemimpin macam Lenin-Stalin! Inilah keritik keras PKT, dan diingatkan kembali 
dengan TEGAS oleh Deng, pada tahun 1980 atas kesalahan Khruschove yang 
kebablasan dalam mengkritik kesalahan Stalin yang dikatakan otoriter dengan 
KEKERASAN itu! Bahwa negara-kuat harus mencerminkan adanya “KEBEBASAN PRIBADI” 
juga tidak salah! Tapi yang lebih PENTING dan UTAMA adalah adanya PERSATUAN dan 
KESTABILAN POLITIK untuk bersama-sama melangkah maju dengan derap langkah 
SEREMPAK! ... Disinilah keunggulan Stalin dalam mengangkat KESATUAN BANGSA, 
membuat Bangsa Rusia besar dan membawa rakyat Sovyet maju sejahtera, ... 
KENYATAAN yang tidak boleh disangkal, sekalipun dalam mpelaksanaan disana-sini 
ada kesalahan!

Begitulah penekanan Deng bagi rakyat Tiongkok harus BELAJAR baik dari kesalahan 
Khruschove tsb! JANGAN sampai Rakyat Tiongkok juga melanjutkan KESALAHAN yang 
sama! Sebagaimana kita ketahui bersama, ketika itu ada arus keras hendak 
mengkritik kesalahan Mao, khususnya masa RBKP yang berlebihan! Ada usaha 
meng-HITAM-kan segala jasa Mao, ...! BERUNTUNG, Deng berhasil mengarahkan 
perjuangan dan membawa rakyat Tiongkok terus maju melangkah menuju jalan 
SOSIALISME berciri khas Tiongkok! Dan dalam waktu relatif singkat, 30 tahunan 
BERHASIL mencapai kemajuan yang dahsyat dan dengan demikian BERKEMAMPUAN 
menerima TUGAS meneruskan obor Revolusi Oktober yang jatuh diatas pundaknya! 
Bahkan RRT dengan BAIK menerima tugas pusat perjuangan SOSIALISME didunia ini 
yang telah beralih ke Tiongkok! Meneruskan perjuangan Sovyet Uni dahulu dalam 
menghadapi dan melawan IMPERIALISME AS yg hendak menguasai dan mengangkangi 
dunia, ...!

Sedang nenek yang satu ini, masih saja menutup diri dalam tempurung, dan tidak 
berhasil melihat realitias perjuangan dunia NYATA didunia! Tetap saja tenggelam 
dalam subjektivisme dalil-dalil DOGMA klasiknya yg dipegang teguh! Masih juga 
belum bisa menggunakan ajaran Ketua Mao, khususnya Tentang Kontradiksi, untuk 
menganalisa situasi kongkrit yang dihadapi. Main gempur saja semua 
jenderal-jenderal yang dihadapi. Tentu saja semua jenderal yg berada dalam 
jajaran Pemerintah “TIDAK SESUAI” dengan pendapat dan pendiriannya! Bagaimana 
kita bisa mengharapkan di pemerintah sekarang yang berkuasa itu ada jenderal 
KOMUNIS??? Kalau toch ada, PASTI juga tidak bisa sama sepenuhnya dengan 
dirinya! Lalu, dihajar juga dengan alasan MUNAFIK, RENEGAT? Yaa, kalau begitu 
berjuang saja sendiri didalam tempurung itu! Hehehee, ...

Dari sekian banyak jenderal-jenderal yang harus kita hadapi, bukankah kita 
harus bisa menentukan jenderal mana yg UTAMA digempur dahulu, diblejeti 
kereaksioneran dan tangannya berlumuran darah pelanggaran HAM! Darimana 
kekuatan anda untuk sekaligus menyerang dan gempur semua jenderal-jenderal 
itu??? Bahwa Jenderal Agus masih saja menyalahkan dan memojokkan PKI itu juga 
wajar-wajar saja! Tapi, bukankah ditahun yl. saat menyelenggarakan Simposium 
Membongkar Tragedi 1965, itu bisa juga dikatakan merupakan satu usaha jenderal 
Agus untuk menemkukan atau menjernihkan “SIAPA” sesungguhnya yang membunuh ayah 
nya itu! Sampai-sampai ketika itu dia dituduh jenderal-KIRI! Tentu kita juga 
tetap harus melihat kenyataan, masih sangat kuatnya jenderal-kanan yang pemuja 
Suharto, jadi juga tidak perlu terlalu berilusi simposium macam itu bisa 
membawakan HASIL baik! Dan kenyataan juga KANDAS, ...!

Juga, TIDAK SALAH menyatakan yang membunuh 6 jenderal itu TNI, khususnya 
pasukan Tjakrabirawa, ...! Tapi kan, TETAP harus dibedakan antara perajurit 
pelaksana perintah dengan komandan, jenderal yang turunkan perintah! Jangan 
lalu seluruh pasukan Tjakrabirawa harus dihujat dan di BASMI habis! Usutlah 
siapa sesungguhnya jenderal dibalik G30S itu! Dan inilah tugas pekerja sejarah 
anak bangsa ini untuk menjernihkan masalah, ... jangan tergantung Pemerintah 
yang berkuasa! Dan harus dikerjakan lebih cekatan dan cepat, karena makin 
tertunda lebih lama, akan makin sulit menemukan data-data akurat yang selama 
ini sudah cukup banyak dibawa kubur oleh tokoh-tokoh, pelaku yang banyak 
mengetahui kejadian nyata!

Jadi perajurit pelaku kekejaman kemanusiaan yang harus tunduk menjalankan 
PERINTAH, setelah bertobat dan mengakui kesalahannya, yaa, biarlah diberi 
kesempatan untuk BERSAHABAT dengan para korban, termasuk segenap keluarganya! 
Tidak perlu saling bermusuhan, ...! Apalagi bagi anak-anak jenderal yg juga 
KORBAN itu, yang jelas TIDAK terlibat kekejaman kemanusiaan, tentu TIDAK 
MASALAH bersahabat dengan anak-anak KORBAN sisi lain, lha mereka kan sama-sama 
KORBAN kekejaman kemanusiaan! KORBAN-KORBAN konyol yang tidak seharusnya 
terjadi! Sudah cukup BAGUUUS, anak-anak jenderal yg jadi korban itu sudah 
bersediaq bersahabat dengan anak-anak KORBAN yg dituduh membunuh ayah-ayah 
mereka! Tidak meneruskan pertengkaran dan dendam yang tidak ada juntrungnya 
itu, ... tidak perlu melanjutkan pertengkaran, permusuhan orang-tua mereka! 
Biarlah mereka, anak-anak KORBAN itu menjadi sahabat, lha memang sama-sama 
tidak bermasalah, kok! Sekalipun dalam kenyataan melihat masa-lampau itu, dalam 
melihat siapa sesungguhnya Dalang G30S masih berbeda pendapat! Bukankah yang 
lebih PENTING adalah menatap kedepan, kehendak MAJU BERSAMA, BEKERJA BERSAMA 
membangun masyarakat lebih baik dan sejahtera! Jadi, kalau orang sudah 
mengulurkan tangan bersalaman, tidak perlu ditampik, sekalipun kita juga boleh 
saja mencurigai motif nya! Biarlah nanti setelah apa yang kita curigai, 
kemunafikan bersalaman itu muncul, baru dihadapi! Begitulah bersatu dan 
berjuang didalam kesatuan kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat! Setiap 
saat tetap harus bersiap-siap menghadapi pertempuran dan penghianatan! Pecahnya 
persatuan dan kerjasama, tanamkan saja kewaspadaan itu, ...! Jangan pula 
meneruskan kesalahan lama, ...keenakan bekerja sama! Hehehee, ...

Jadi, sebaiknya jangan buru-buru dan gampang2an nuduh PKT REMO, renegad! 
Ingatlah bagaimana PKI dahulu menuduh Tan Ling Djieisme, tapi justru 
parlementerisme itulah yang dijalankan PKI dengan KONSEKWEN! Yang lebih penting 
perlu kejernihan apa dan dimana kesalahan, kesalahan dahulu bukan pada 
kerjasama dengan Pemerintah yang berkuasa, tapi ketidak siapan PKI digebug! 
Kesalahannya bukan menggunakan parlemen, kesempatan legal yang diberikan 
pemerintah ketika itu, tapi keenakan gunakan jalan parlementer dan TIDAK 
siapkan diri kalau digebug!

Untuk mengikuti lebih lanjut bagaimana peran Tjakrabirawa bisa klik link 
dibawah ini:
  
Pengakuan Mengejutkan eks-Cakrabirawa. 
https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/214575

Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!
https://www.youtube.com/watch?v=oi0w3Wq1wqQ


Salam,
ChanCT



From: Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Saturday, October 7, 2017 1:04 AM
To: GELORA45@yahoogroups.com ; Jonathan Goeij 
Cc: Yahoogroups ; DISKUSI FORUM HLD ; Daeng ; Gol ; Billy Gunadi ; Rachmat 
Hadi-Soetjipto ; Ronggo A. ; Oman Romana ; Farida Ishaja ; in...@ozemail.com.au 
; Harry Singgih ; Harsono Sutedjo ; Mitri ; Lingkar Sitompul 
Subject: Re: [GELORA45] (Tiada) Proklamasi Indonesia Tanpa Wikana

  

Saya kenal banyak orang, terutama generai muda, yang sama sekali tidak punya 
latar belakang keluarga korban 65 dengan jelas dan gamblang menyatakan bahwa 
yang bunuh 6 jenderal dan 1 kapten adalah Cakrabirawa, artinya TENTARA. Kalau 
orang mau mengakui bahwa itulah faktanya, maka  anak-anak para jenderal itu, 
seperti Letjen Agus Wijoyo, kalau mau rekonsiliasi, ya SEHARUSNYA dengan 
anak-anak para PEMBUNUH ayah mereka, yaitu anggota Cakrabirawa yang melakukan 
serangan, penculikan dan pembunuhan itu, bukan? Mengapa mereka 
ber"rekonsiliasi" dengan satu dua anak penggede PKI dan anggota Gerwani atau 
korban pemenjaraan, penyiksaan dan pembuangan rezim Suharto??? Kelihatannya, 
sementara anak penggede PKI dan sementara korban 65 yang tampil untuk jadi 
"contoh" rekonsiliasi dengan sementara anak jenderal-jenderal, tidak sadar 
bahwa mereka digunakan oleh media dan "otak" di belakang etalase rekonsiliasi 
justru untuk terus memfitnah PKI sebagai "pembunuh" 6 jenderal dan kapten itu.
Dan disini masuk peran si remo dan renegad Chan yang membantu pendukung ORBA 
dengan turut mengorek-ngorek 'kejahatan' PKI untuk "membuktikan" dan menuntut 
PKI untuk bertanggung jawab atas banjir darah 65-66!!!! 

Letjen Agus Wijoyo walaupun sudah mengakui dan percaya bahwa keenam jenderal 
dan kapten itu tidak disiksa atau disayat-sayat badannya dan kemaluannya, tapi 
TETAP MENGANGGAP PKI MELAKUKAN PEMBUNUHAN DAN MENEROR MASYARAKAT.  Dibawah ini 
kata-katanya:
…” PKI harus bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan di tahun 
1948, pada 1 Oktober 1965 dan sebelumnya. Mereka melakukan pembunuhan dan 
meneror masyarakat. Puncaknya adalah membunuh para jenderal di malam kelam 
tersebut.”.



Pandangan Agus Wijoyo ini PADA HAKEKATNYA senafas dengan pandangannya si Remo 
dan renegad Chan. Kelihatan sekali kebenciannya terhadap PKI. Yah, tidak 
heran!!! Dan juga kelihatan  letjen Agus Wijoyo tidak berbeda dari para 
jenderal yang sampai sekarang terus mempertahankan pandangan bahwa PKI dalang 
G30 S dan memberontak!!!


Saya ingat dulu si Pelana Kuda alias Atjong dikeluarkan oleh Chan dari milis 
Gelora 45, disebabkan oleh sikapnya yang sangat membenci PKI dan bersyukur 
adanya penindasan Suharto yang dianggapnya sebagai penyelamat Indonesia. Saya 
tidak tahu apa anda ingat itu? Eh....tahu-tahunya secara diam-diam diterima 
kembali si Pelana Kuda. Bahkan Chan turut mempropagandakan penjualan CD 
musiknya Pelana Kuda. Saya sama sekali tidak heran melihat tingkah lakunya si 
Chan. Chan dan Pelana Kuda sama!!!!Karena saya belajar dari pengalaman dan 
sejarah, orang remo adalah pembantu kaum imperialis dan sudah tentu juga 
antek-antek lokalnya. Karena remo menghilangkan kontradiksi dan perjuangan 
kelas yang memudahkannya untuk loncat ke seberang barisan di mana dulu dia 
berada.





On Thursday, October 5, 2017 10:22 PM, "Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:




  
Saya rasa Wikana menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang hilang tidak 
ketentuan rimbanya dijemput tentara.

Si Agus Wijoyo saya rasa sedang berada di-awang2 menikmati sanjungan seakan 
dirinya orang berjiwa besar yang memaafkan.


On Thursday, October 5, 2017, 11:04:27 AM PDT, Tatiana Lukman 
<jetaimemuc...@yahoo.com> wrote: 


Dan bagaimana nasib Wikana setelah G30S? Setelah dijemput tentara, lantas 
hilang tidak diketahui apa yang terjadi....??? Ada yang tahu apa yang terjadi 
dengan dirinya? KALAU memang benar Wikana hilang, tak diketahui apa yang 
terjadi dengan dirinya, maka ia hanya satu dari puluhan ribu atau ratusan ribu 
yang hilang lenyap seperti ditelan bumi.... Bukannya saya tidak merasakan 
kesedihan dari anak-anak para jenderal yang dibunuh tentara juga..... Tapi 
jutaan harus mati, dipenjara, disiksa dan dihilangkan untuk "membalas" kematian 
6 jenderal dan seorang kapten!!! Seperti banyak terjadi di jaman Nazi, untuk 
seorang tentara Nazi yang terbunuh, penduduk sekampung harus mati....
Persahabatan, undangan makan, silaturahmi antara anak-anak para jenderal dan 
keluarga serta korban genosida adalah urusan pribadi. Yang menarik perhatian, 
Agus tidak henti-hentinya menggunakan kesempatan silaturahmi dan rekonsiliasi 
untuk "mengingatkan" akan "kejahatan" dan 'hutang darah" PKI baik di aksi 
sepihak, peristiwa Madiun atau kejadian lain.






On Tuesday, October 3, 2017 6:15 PM, "jonathango...@yahoo.com [GELORA45]" 
<GELORA45@yahoogroups.com> wrote:




  




(Tiada) Proklamasi Indonesia Tanpa Wikana


Wikana [Gambar/Sabit]


Reporter: Petrik Matanasi
10 November, 2016

  a.. Wikana jadi juru bicara dan pemimpin kelompok muda 
  b.. Hatta berkeras tak mau dipaksa untuk segera proklamasi 
  c.. Tanpa Wikana Proklamasi tak akan berjalan lancar terjadi

Proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa dilepaskan dari peran Wikana dan 
pemuda-pemuda lain yang bersamanya mendesak golongan tua yang ragu untuk 
menyegerakan pernyataan kemerdekaan.
tirto.id - Golongan tua, yang kemudian dicap kolaborator Jepang, karena 
terpaksa bekerjasama dengan Pemerintah Militer Balatentara Jepang, merasa ngeri 
jika tergesa-gesa untuk proklamasi. Mereka terjepit dalam situasi akhir Perang 
Dunia: Jepang yang sebentar lagi kalah, namun hanya Jepang yang (pernah) 
menjanjikan mendukung kemerdekaan. Masalahnya, jika Jepang tak segera 
memerdekakan, namun pada saat yang sama Sekutu kadung memenangkan Perang Dunia, 
maka janji Jepang niscaya kasip dan Sekutu belum tentu menyetujui kemerdekaan 
Indonesia. Jika segera memerdekakan diri secara sepihak, masalahnya Jepang 
masih eksis sebagai penguasa.  

Golongan muda, kebanyakan mahasiswa dan pemuda yang tinggal di asrama-asrama 
sekitar Menteng, pernyataan kemerdekaan harus sesegera mungkin diumumkan. Tak 
hanya selekas-lekasnya, namun juga mesti dinyatakan tanpa campur tangan Jepang. 
 Jika tidak, kemerdekaan Indonesia hanyalah hadiah dari Jepang. 

Darah muda mereka yang bergejolak itu bahkan tak peduli dengan berbagai risiko, 
katakanlah jika Jepang mengamuk karena proklamasi tersebut. Golongan tua, yang 
punya banyak perhitungan politik, lebih memilih menghindari korban jiwa. Mereka 
menunggu kepastian. Mencoba mengharapkan Jepang bisa secepatnya memerdekakan 
Indonesia, sebagaimana dijanjikan oleh petinggi Jepang sepekan sebelumnya di 
Vietnam kepada Sukarno-Hatta. 

Tapi waktu tak bisa menunggu. Sjahrir memberitahu bahwa Jepang sudah menyerah 
kalah. Sekutu sudah pasti akan datang mempertahankan status quo sebagaimana 
situasi sebelum Jepang masuk. Proklamasi kemerdekaan terancam. 

Di sinilah angkatan muda, dengan Wikana jadi juru bicara dan pemimpinnya, 
memainkan peranan. Mereka mengambil langkah yang sebenarnya berbahaya, yaitu 
membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Rencananya: mereka akan memaksa 
Sukarno-Hatta memproklamirkan Indonesia. Tapi siasat itu gagal. Sukarno-Hatta 
tetap tidak mau melakukannya. Mereka masih belum yakin dengan kebenaran kabar 
menyerahnya Jepang.

Pada petang 16 Agustus 1945, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta karena situasi 
sudah kelewat genting. Kabar tentang menyerahnya Jepang sudah nyaris tidak bisa 
lagi dibantah. Malam 16 Agustus itu juga, Sukarno-Hatta meminta keterangan 
kepada pihak Jepang dan barulah mereka tahu bahwa berita menyerahnya Jepang 
memang benar.

Justru karena itulah mereka tak bisa lagi menuntut Jepang memenuhi janjinya. 
Sebab Jepang adalah pihak yang kalah sehingga harus memenuhi permintaan Sekutu 
untuk menjaga status quo. Jepang sendiri mengklaim mereka bersedia 
memfasilitasi kemerdekaan Indonesia jika Sukarno-Hatta ada di Jakarta pada pagi 
sampai sore 16 Agustus 1945 itu. Tapi keduanya masih di Rengasdengklok.

Sukarno, dan terutama Hatta, enggan mengakui peranan angkatan muda. Bagi 
keduanya, jika mereka tak dibawa paksa ke Rengasdengklok, Indonesia bisa 
merdeka pada siang hari 16 Agustus. Peristiwa Rengasdengklok menunda proklamasi 
Indonesia.

Masalahnya: jika Indonesia merdeka pada 16 Agustus, maka Indonesia sulit 
menghindar dari dakwaan bahwa proklamasi adalah pemberian Jepang, 
sekurang-kurangnya berkat perlindungan Jepang. Inisiatif Wikana, dkk., memang 
gagal mendesak Sukarno secepat-cepatnya mengumumkan kemerdekaan sebagaimana 
direncanakan. Namun di luar skema itu, Wikana, dkk., justru berhasil mencegah 
proklamasi kemerdekaan diumumkan dalam kerangka Jepang.

Wikana dalam Proklamasi

Semuanya terjadi karena sebagian pemuda dan Mahasiswa yang berhasil mendapatkan 
berita penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 di 
kapal perang USS Missouri. Berita itu menyebar di kalangan terbatas. Tak hanya 
menyebar, berita itu juga disikapi para pemuda. Mereka segera berkumpul esok 
harinya, 15 Agustus 1945, di bawah pohon. Masih  di sekitar Cikini. Wikana 
hadir di sana.

Rapat sederhana itu memutuskan mengirim delegasi pemuda untuk berbicara pada 
golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu 
bersemangat. Bahkan ketika itu, Ahmad Aidit, pemuda asal Belitung, mengusulkan 
Sukarno sebagai Presiden setelah Proklamasi. Mengenai siapa yang akan mereka 
kirim, telah dipilih Suroto Kunto, Subadio, Wikana dan Aidit untuk bicara para 
Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua.

Malam harinya, keempat pemuda tadi menemui Soekarno di kediamannya, Jalan 
Pegangsaan Timur 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Kebetulan, rumah 
Sukarno sedang ramai oleh orang-orang Golongan Tua. Sukarno dan Hatta ketika 
itu baru saja pulang dari Saigon menemui Marsekal Terauchi di sana.  

Seperti rencana rapat di bawah pohon, Wikana mendesak agar kemerdekaan 
diumumkan secepat-cepatnya. Jika perlu pada 16 Agustus 1945. Sukarno yang tak 
suka dipaksa, enggan menuruti mau para pemuda itu. Soekarno tak bisa ambil 
keputusan sendiri. Harus ada pembicaraan dengan golongan tua yang lain dulu 
untuk proklamasi. 

Wikana dan kawan-kawan pemuda yang ikut dengannya mempersilakan para golongan 
tua untuk berunding dan pemuda menunggu di beranda rumah. Mohamad Hatta keluar 
menemui pemuda-pemuda itu. Hatta berkeras mereka tak mau dipaksa untuk segera 
proklamasi karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Tak 
lupa Hatta menantang pemuda yang dianggap tak mau mengerti tadi. Yang dimau 
golongan tua berharap golongan muda bersabar.

“Jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, 
cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara.,” kata Hatta pada 
para pemuda itu.

“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan 
menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” balas Wikana. Kepada Sukarno, 
Wikana juga mengancam, “Jika tidak mau memproklamasikan, maka esok akan terjadi 
pembunuhan dan pertumpahan darah.”

Menurut Suhartono Pranoto, dalam Kaigun Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis 
Proklamasi (2007), Sukarno tak mempan dengan ancaman tersebut dan balik 
menantang, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya...”

Tekanan proklamasi tak hanya dari golongan muda, tapi juga datang dari Sutan 
Sjahrir. Sore sepulang Sukarno-Hatta kembali dari Vietnam, ia mendesak Hatta 
untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. 

“Sjahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita 
penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar 
kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa 
sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang 
disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).

Akhirnya, pada 16 Agustus 1945, para pemuda menujukan kesanggupannya. Bukan 
memproklamasikan sendiri. Tapi untuk mendesak lebih jauh. Dengan cara, Sukarno 
dan Hatta mereka culik. Begitu juga istri Soekarno, Fatmawati, dan anak yang 
masih kecil, Guntur, terpaksa jadi satu paket dengan Sukarno. Para pemuda 
menyebut jika PETA dan Heiho akan berontak, jadi Sukarno-Hatta diamankan para 
pemuda. Dengan memakai dua mobil, mereka dibawa ke Rengasdengklok , Karawang. 
Daerah ini dirasa aman, karena komandan PETA di wilayah itu menjamin keamanan 
Bung Karno dan Bung Hatta. 

Pemberontakan itu tak pernah terjadi. 

Ahmad Soebardjo sempat mengira Angkatan Darat Jepang menangkap Sukarno-Hatta.  
Begitu pun Laksamanan Maeda, yang menjadi wakil Angkatan Laut Jepang di 
Jakarta. Nishijima, asisten Laksamana Maeda, lalu menemukan Wikana di Asrama 
Indonesia Merdeka dan memaksa Wikana menunjukan di mana Sukarno-Hatta. 
Perdebatan emosional sempat terjadi. Perdebatan itu berakhir setelah ada 
jaminan bahwa Nishijima dan Maeda akan bekerjasama untuk mengumumkan 
proklamasi. Tanpa menujukkan di mana Sukarno-Hatta, Wikana mengatur kepulangan 
keduanya ke Jakarta. 

Subardjo lalu menjemput ke Rengasdengklok sore harinya. Tiba di sana, hari 
sudah senja. Soebardjo meyakinkan para penjaga bahwa Laksamana Maeda mendukung 
proklamasi tersebut. Pukul delapan malam, mereka semua kembali ke Jakarta. 
Malam itu juga, begitu sudah tiba lagi di Jakarta, Sukarno-Hatta begadang 
bersama yang lain. Di rumah Maeda, naskah Proklamasi pun lahir. Esok paginya, 
17 Agustus 1945, dibacakan di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. 

Setelah itu, segalanya telah dicatat oleh sejarah!

 share infografik

Adik Seorang Digulis

Wikana bukan pemuda hasil bentukan Jepang. Wikana bahkan tergolong anti-fasis 
Jepang meski dia bekerja untuk Angkatan Laut Jepang dalam Asrama Indonesia 
Merdeka yang didirikan pada Oktober 1944. Maeda yang mendirikan asrama 
tersebut. Diam-diam Maeda agak berseberangan dengan militer Jepang di 
Indonesia. Soebardjo selaku pimpinan asrama mempekerjakan Wikana karena 
pengaruhnya di Gerindo. Wikana sepintas terlihat bekerja untuk Jepang. Hal ini 
membuat Wikana terlindung dari mata-mata Jepang yang benci dengan komunis 
pengikut Tan Malaka macam dirinya. 

Dalam pergerakan nasional zaman kolonial Hindia Belanda, menurut Ben Anderson, 
Wikana adalah anak didik Sukarno dan pernah menjadi anggota Barisan Pemuda 
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Wikana adalah ketua pertama Gerindo. Wikana 
juga dekat dengan Sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Pada 1940, Wikana 
tertangkap karena menyebarkan buletin komunis ilegal Menara Merah. 

Pergerakan dan Komunisme memang bukan hal aneh bagi Wikana. Winanta, abangnya, 
adalah seorang Digoelis yang telah menulis novel Antara Hidup dan Mati atau 
Buron dari Boven Digul. Winanta dianggap terlibat Pemberontakan PKI 1926. Tidak 
banyak catatan soal abangnya. 

Wikana dan Winanta adalah anak dari Raden Haji Soelaiman, pendatang Jawa asal 
Demak yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Setelah melewati pendidikan barat 
di ELS dan MULO, Wikana masuk pergerakan nasional sejak 1930an. Wikana yang 
kelahiran Sumedang, pada 16 Oktober 1914 itu, tak berbeda jauh dengan abangnya. 
Keduanya hanya beda zaman dalam bergerak. 

Di zaman Jepang, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak (2011), 
meski tak sebebas di zaman kolonial Hindia Belanda, Wikana masih berpolitik. 
Kali ini dengan resiko besar. Di masa pendudukan Jepang itu, Aidit dan Lukman, 
bakal pimpinan Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI), berhasil 
direkrutnya masuk asrama. Mereka mendirikan Gerakan Indonesia Merdeka 
(Gerindom). 

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 yang 
diinisiasi oleh Front Demokrasi Rakyat FDR. Sebelum Peristiwa Madiun, Wikana 
adalah Gubernur Militer di Solo. Di FDR, Wikana diserahi urusan kepemudaan. 
Setelah peristiwa Madiun 1948, dia menghilang dan baru muncul kembali pada awal 
1950-an. 

Wikana melanjutkan karier politiknya dengan menjadi anggota CC PKI. Meski dulu 
pernah bersama Aidit dan Lukman di zaman pendudukan Jepang, Wikana kemudian 
terbuang dari lingkaran kepemimpinan PKI setelah kedua tokoh itu jadi pemimpin 
besar PKI. Saat meledak peristiwa 1965, Wikana adalah anggota Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). 

Dia pernah tinggal di sekitar Jalan Dempo, Matraman Plantsoen.  Ketika G30S 
berlangsung, Wikana sedang menghadiri hari Nasionalis Tiongkok di Beijing. 
Pulang dari Beijing pada 10 Oktober 1965, Wikana disembut tentara yang kemudian 
menggiringnya ke KODAM Jaya. Setelah menginap di KODAM dia dibebaskan. Setelah 
sekian bulan di rumah, pada Juni 1966, dia dibawa lagi oleh tentara. Dan sejak 
itu ia tak pernah kembali. 

Wikana sendiri punya keinginan tertentu jika ajalnya tiba. “Kalau harus mati, 
saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana seperti dikatakan cucu menantunya 
yang dilansir Historia.  Abriyanto, cucu menantunya, sedang menyusun biografi 
Wikana. 

Wikana jelas sosok yang patut dicatat dalam sejarah Indonesia. Dalam skripsinya 
Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1969), Soe Hok Gie, mencatat: tanpa 
Wikana Proklamasi Indonesia tak akan berjalan lancar. 

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan menarik lainnya Petrik 
Matanasi 

(tirto.id - pet/zen)








Kirim email ke