urusan kewarganegaraan antara negara dan rakyat itu tidak sama dgn rumah dan tamu perumpamaan anda itu rasis sekali
---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote : Kalau rumah Anda kedatangan tamu dan dia ngotot nggak mau pulang, menolak ke luar dari rumah Anda, lalu Anda biarkan dia menjadi tuanrumah atau bagaimana? Semua orang tahu kok, setelah urusan dengan tuanrumah selesai, setiap tamu yang waras pastilah akan pamit pulang. Ini umum terjadi di mana-mana dalam adab manusia. Yah sebuah etika mendasar yang tidak pandang usia, gender, apalagi ras. Setiap tamu ya harus pulang, titik Semua orang tau itu. Anak kecil juga tau. Anda harus banyak belajar dan cari pengalaman supaya tahu bahwa di mana dan tahun berapa pun, yang namanya tamu ya harus pulang. --- jonathangoeij@... wrote: Omongan anda benar untuk saat sekarang, tetapi ngaco ngawur dalam diskusi ini. Pengalaman teman2 anda itu tahun berapa? --- ajegilelu@... wrote: Banyak kok WNI keturunan (bukan cuma keturunan Cina) yang tidak merasa perlu pulang ke negara asal, selain untuk melancong, bertamu. Kalau berstatus pendatang / tamu ya jelas harus pulang ke negaranya. Semua orang tahu itu.. Itu yang harus Anda ketahui. --- jonathangoeij@... wrote: Kelihatannya memang pengetahuan yang terbatas. Th 1964 berusia 19 tahun, Zheng tentu lahir th 1945 cuman kurang jelas sebelum atau sesudah proklamasi. Berdasarkan UU Warga Negara 1946 Zheng tentunya merupakan warga negara Indonesia, tetapi th 1958 mendadak sontak jadi orang asing kehilangan kewarga negaraan Indonesia begitu saja tanpa ada kesalahan yang dilakukan oleh individu2 tsb. Saya kira pd th 1964 (atau mungkin sebelumnya) waktu Zheng pergi ke Tiongkok itu istilah "pulang" sangat tepat, sebagai akibat policy RASIS pemerintahan SOEKARNO. --- ajegilelu@... wrote : Anggap saja pengetahuan saya soal ini terbatas karena berdasarkan pengalaman, beberapa teman yang WNI keturunan (bukan hanya keturunan Cina) hanya melancong ke negara asal. Tidak lagi berpikir untuk pulang ke sana. Indonesia sudah menjadi kampung halamannya. Kalau bukan WNI ya jelas harus pulang dong. Kalau bisa tanpa membawa apa pun yang kategorinya dilindungi, langka.. Kecuali dapat izin dari pihak berwenang. --- sadar@... wrote: Lalu, ... apa salah mereka PULANG ke Tiongkok, negara leluhurnya? Setiap orang BEBAS untuk memilih jalan hidup yang dianggap lebih baik bagi dirinya. Itulah kebebasan manusia yang harus dilindungi oleh setiap negara, ... bukan karena Tionghoa dia berhak kembali kenegara asal nenek moyangnya, bahkan orang Jawa pun boleh saja hendak hijrah hidup dan bekerja di Tiongkok. Itulah kebebasan hidup dijaman globalisasi sekarang ini, orang bisa dengan mudah untuk menentukan pilihan hidup nya sendiri. Tentu disamping kebebasan seseorang memilih hendak hidup dimana yang dirasakan lebih nyaman dan hari-depan yang lebih baik, dari berbagai faktor objektif alam, sosial dan kebijakan PEMERINTAH yang berkuasa dalam menata masyarakat, menjamin keamanan, ketentraman dan menciptakan lapangan kerja bagi setiap warga sangat menentukan pilihan orang. Kalau diperhatikan kehidupan politik di tahun-tahun 40-an sampai 70-an, nampak sangat jelas adanya politik diskriminasi rasial terhadap Tionghoa Indonesia, bagaimana masalah kewarganegaraan saja bolak-balik dipersoalkan dan akhirnya sejak tahun 1958 ditetapkan ketentuan etnis Tionghoa harus memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI) untuk membuktikan dirinya adalah WNI. Dibidang ekonomi, usaha sejak awal 50 diberlakukan politik Benteng, ijin import-eksport hanya diberikan pada pengusaha yang dinamakan "pribumi", sedang dibidang pendidikan, persoalan menjadi lebih serius, bukan saja terjadi pembatasan anak Tionghoa tidak lebih dari 3% yang bisa diterima masuk di Univ. Negeri, bahkan sejak tahun 1958 anak2 Tionghoa yang WNI tidak lagi boleh masuk sekolah Tionghoa! Padahal pemerintah belum siap menyediakan bangku sekolah menampung semua anak-anak sekolah! Disinilah BAPERKI berperan membantu pemerintah mendirikan sekolah-sekolah dari SR sampai Univ., untuk menampung anak2 sekolah, ... termasuk anak-anak suku lain dan Agama berbeda. Dalam menghadapi suasa kehidupan didiskriminasi, tentu saja tidak sedikit Tionghoa mengambil sikap "PULANG" kenegara leluhur saja daripada meneruskan hidup dianak-tirikan bahkan dijadikan KAMBING-HITAM yang di KORBANKAN seenak-udelnya oleh sementara pejabat/jenderal untuk mencapai TUJUAN POLITIK! Begitulah kalau kita perhatikan bagaimana diawal tahun 1950, khususnya setelah razia Sukiman tahun 1951, dimana tidak sedikit Tionghoa juga ujug-ujug ditangkap tanpa dasar kesalahan, ... tentu saja tidak sedikit Tionghoa yang akhirnya mengambil keputusan PULANG saja kenegeri leluhur, sekalipun mereka berpendidikan Belanda dan sudah tidak lagi bisa bahasa Tionghoa. Bahkan Liem Koen Hian, pejuang kemerdekaan RI yang sejak awal tahun 30-an dengan Partai Tionghoa Indonesia sudah mempropagandakan "Menjadikan Indonesia sebagai TANAHAIR!", PATAH-HATI, tidak bisa menerima dan mengerti bagaimana PEMERINTAH yang dia perjuangkan pembentukkannya justru menangkap dirinya tanpa dasar, ... akhirnya mati merana dirantau! Dipulau Hai Nan itu juga ada seorang Tionghoa asal Indonesia, The Tjeng Djin, ahli karet yang juga PULANG diawal tahun 50-an itu dianggap sangat BERJASA dalam mengembangkan perkebunan karet Tiongkok, bahkan menjadi anggota Kongres Rakyat, ... Sedang Cheng Wentai yang pulang ditahun 1964, hanya anak sekolah yang lulus SMA hendak melanjutkan sekolah saja, ... tentu dia PULANG tidak membawa tumbuhan tropis apalagi langka pula, ... TIDAK mungkin! Ini ada tulisan bung Djie disebelah: Cheng Wentai : Tahun 1964, umur 19 tahun pergi ke Xinglong, Hainan dari Fujian. Dia belajar di universitas Huaqiao di Fujian : https://en.wikipedia.org/wiki/Huaqiao_University https://en.wikipedia.org/wiki/Huaqiao_University Di situ dia mengambil pelajaran utama : Botani. Cheng lulusan Universitas Hong Kong di bidang Civil Engineering dan Arsitektur. Waktu Special Economic Zone dibuka untuk Hainan, dia membangun Hainan Overseas Chinese Hotel. Tahun 1991 dia jatuh sakit. Waktu jatuh sakit, dia melakukan refleksi, dan memutuskan akan melakukan sesuatu yang berguna untuk Tanah Air dan Generasi y.a.d. Tahun 1992 menjual semua assetnya, dan membangun Xinglong Tripical Garden untuk tanaman2 tropis. Dia mendapat 387 hektare tanah dari Xinglong Overseas Chinese Farm. http://www.bjreview.com/Nation/201804/t20180408_800125880.html http://www.bjreview.com/Nation/201804/t20180408_800125880.html Zheng Wentai (LIU SUNMOU) Protector of tropical plants Zheng Wentai, a returned overseas Chinese from Indonesia, spent 26 years building up a gene library for tropical plants in Xinglong, Hainan. The Xinglong Tropical Garden, a massive species gene library, was certificated by the Chinese Government as one of the four demonstration bases for ecological and environmental protection. It was also recommended to the United Nations for the Global 500 Roll of Honor for Environmental Achievement Award. Zheng's ancestral home was in Fujian Province on the southeast coast of China. In 1964, at the age of 19, Zheng went to Xinglong as a student from Huaqiao University majoring in tropical botany. He regarded the experience as part of his accumulation of knowledge and nothing more. But it was actually the prelude to his indissoluble bond with Hainan. After completing his studies in civil engineering and architecture at the University of Hong Kong, Zheng set off on a business career in cities such as Guangzhou and Hong Kong, and soon made a name for himself as a successful entrepreneur. In the midst of the establishment of the Hainan Special Economic Zone, he went back to the island and participated in the design and construction of the Hainan Overseas Chinese Hotel. Zheng would have continued his career if it hadn't been for a serious illness in 1991. Lying in bed, he reflected on his life and decided to do something for his motherland and for future generations. The vision of establishing a species gene library for tropical plants sprang to his mind. He conducted field trips to many areas before he finally realized that the optimal location was Xinglong in Wanning City in Hainan, which had favorable natural conditions but a poor infrastructure. It was an interesting coincidence that Xinglong, where Zheng worked as an urban student back in the 1960s, became his new starting point.. In 1992, he sold all his assets and flung himself into the construction of the Xinglong Tropical Garden. The Xinglong Overseas Chinese Farm provided him with a stretch of land covering 387 hectares where he was able to grow various tropical plants in what was otherwise a barren area. The tropical garden has now entered the second phase of restoration with the covering area expanded to about 800 hectares. About 4,000 to 5,000 species grow vigorously here, saving many endangered species and helping them propagate and form plant communities. The garden has become the most distinctive garden of tropical forest landscape in China, integrating natural scenery, cultural heritage, garden art and ecological and environmental protection all in one. The project has protected China's rainforests and saved a species gene library for future generations. According to Zheng, the provincial government and citizens of Hainan have long understood the great value of ecological and environmental protection, which laid the groundwork for his efforts. The support he received from the government and other sectors facilitated the achievement of his dream.. He is never alone in the path of protecting tropical plants. Salam, ChanCT ajeg 於 29/5/2018 15:46 寫道: "Pulang"? "Pulang"..?? Dengan membawa tumbuhan tropis spesies langka pula. Hmm. --- SADAR@... wrote: Impian Hijau Seorang Keturunan Tionghoa Indonesia 2018-05-29 11:47:55 Kantor Berita Xinhua Cheng Wentai, seorang keturunan Tionghoa Indonesia yang telah pulang ke Tiongkok, adalah Direktur Taman Tropis Xinglong, Kapubaten Wanning, Provinsi Hainan Tiongkok. Cheng yang berusia 73 tahun itu seumur hidupnya telah berupaya untuk mewujudkan impian hijaunya dalam pembangunan taman tropis tersebut. Menurut data statistik, taman tropis Xinglong telah berhasil menyelamatkan 4000 lebih spesies tumbuhan, di antaranya 65 spesies langka, dan 27 spesies yang telah dimasukkan dalam daftar "China Plant Red Data Book". Taman tersebut juga ditetapkan sebagai salah satu empat besar pusat pendidikan lingkungan dan ekologi serta gudang data gen spesies oleh negara. Melalui upaya selama bertahun-tahun, sejumlah besar tumbuhan langka telah mendapatkan perlindungan, pengembangbiakan dan membentuk komunitas. Siklus lingkungan ekologi yang baik perlahan-lahan pulih kembali.. https://us-mg5.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=c2eiteqdsuh0v&guccounter=1#DAB4FAD8-2DD7-40BB-A1B8-4E2AA1F9FDF2