Tulisandosen Rosyidin ini membantu orang untuk mengerti hakekat dan tujuan 
sebenarnyadari kebijakan  luar negeri TKK. Olehpara pejabat resminya, sudah 
tentu Tkk berusaha menampilkan dirinya sebagaikekuatan ekonomi dan militer yang 
seolah-olah tidak ingin berdominasi. Semua orang yang berpikir logis 
tentumelihat ofensif agresif Tkk. Dosen Resyidin mencerminkannya dalam 
kutipanini  “Sikap China ini bertolak belakang dengan kebiasaannya yang ofensif 
danterkesan enggan mematuhi norma-norma internasional. China begitu 
kerasmemaksakan kepentingannya, bahkan berhasil memecah-belah ASEAN 
sebagaimanaterjadi pada saat pertemuan tingkat menteri ASEAN di Pnom Penh pada 
2012 ketikaorganisasi regional itu gagal mencapai komunike bersama 
(jointcommunique). Momen kegagalan ASEAN ini membuat Menteri Luar 
NegeriIndonesia (kala itu) Marty Natalegawa frustrasi, dan menyebutnya 
sebagai"salah satu kegagalan terbesar dalam karier diplomatik saya"(Natalegawa, 
2018: 130).

 

Jelas bahwa ofensif dan pembangkangan terhadapnorma-norma Internasional itu 
lahir dari sifat Tkk sendiri yang sudah memasukitahap imperialis. Tentu Chan 
ingin membantah. Tapi tidak ada argumentasi yangsyah untuk membantahnya. Karena 
sepak terjang Tkk sendiri yang mencerminkansikap negara besar yang memaksakan 
kepentingannya. Mirip tidak dengan sikapAS??? Dipupuri dengan bedak 
termahalpun, tidak akan bisa Tkk menutupi wajahsosial imperialisnya, sosialis 
dalam kata-kata, tapi imperialis dalamperbuatan.

 

Lantas. mengapa sekarang Tkk mengubahkebijakannya? Sang dosen juga memberi 
jawaban yang baik. “Penjelasan yang paling masuk akal adalah China 
berusaha"merangkul" ASEAN untuk mencegah campur tangan AS di wilayah LautChina 
Selatan.

 

Ekonomi Tkk sudahterintegrasi sepenuhnya dalam sistim ekonomi kapitalis dunia, 
dalam kondisinyasebagai pabriknya dunia, ia membutuhkan bahan baku dan minyak 
untuk menopangpertumbuhannya.  Sama-sama membutuhkanminyak dan bahan baku 
lainnya, tak terhindarkan bentrokan dan persaingan dengankekuatan imperialis 
lainnya, terutama AS sebagai kekuatan imperialis tradisionilyang sedang menuju 
kebangkrutannya. Dari segi ekonomi Tkk sudah menjadisuperpower tapi dari segi 
militer masih belum bisa menandingi AS. 

Nah, disinilah sekarang masalahnya. Mau tidakkita digunakan oleh Tkk untuk 
membela kepentingan imperialnya? Wilayah Laut TkkSelatan sudah dicaploknya. 
Untuk menjaga dan membelanya dari saingannya,imperialis Tkk, maka dia harus 
merangkul negara-negara ASEAN. Maka  muncullah tampang mesam-mesemnya Kaisar 
Xijingping dalam berbagai kunjungannya diluar negeri.

 

Satu point lagi yang menunjukkan Tkk bukan sebuahnegara sosialis yang 
menggunakan Marxisme-Leninisme sebagai dasar filsafat danpembimbing sepak 
terjangnya. Dosen juga menjelaskannya dengan gamblang. Yangditerapkan Tkk 
adalah Taoisme dan juga ajaran Konghucu. Ya cocok sudah!! OneBelt One Road 
alias Jalan Sutera memang sangat dibutuhkan Tkk untuk mendapatkan 
ruteperdagangan yang dia kontrol sendiri dalam usahanya untuk melampaui 
kekuasaanAS.

 

Tulisan Rosydin inimembuka tabir selubung yang terus dipropagandakan Tkk serta 
para pendukungnyaseolah-olah ofensif ekonomi dalam bentuk penanaman modalnya 
bertujuan untukmemajukan negeri penerima modal alias pengutang. Artinya, 
pembelejetan terhadap penanamanmodal Tkk di segala pelosok dunia yang diajukan 
oleh nenek dalam tempurung ini,kok mendapatkan gemanya dalam tulisan dosen 
Rosydin!!!

    On Thursday, November 8, 2018, 8:25:52 PM GMT+1, Awind 
j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:  
 
     
 


 
 
https://news.detik.com/kolom/d-4293120/kultur-strategis-china-di-laut-china-selatan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.172679329.360779424.1541698862-2136032096.1541698862
 
  Kamis 08 November 2018, 15:24 WIB 
Kolom
 
Kultur Strategis China di Laut China Selatan
 Mohamad Rosyidin - detikNews          Mohamad Rosyidin      Share 0    Tweet   
  Share 0    2 komentar      Foto: Australia Plus ABC  Jakarta - "Barangsiapa 
yang berambisi menguasai dunia, dia tidak akan berhasil. Dunia ini adalah 
tempat yang sakral yang tidak mungkin dikuasai oleh siapapun. Orang yang 
melakukannya tidak akan berhasil. Bila dipaksakan juga akan gagal". (Tao Te 
Ching, Bab 29)
 
 Dinamika keamanan di kawasan khususnya terkait dengan isu Laut China Selatan 
menunjukkan tren yang menarik diamati. Baru-baru ini China menunjukkan sikap 
kooperatif di kawasan yang ditandai oleh latihan militer bersama antara China 
dan negara-negara ASEAN di Provinsi Guangdong, wilayah pesisir Laut China 
Selatan selama sepekan. Ide ini sebenarnya sudah diusulkan China pada 2015 
ketika menggelar pertemuan dengan menteri pertahanan se-ASEAN. Menurut China, 
latihan militer bersama itu merupakan suatu confidence building measure (CBM) 
guna menurunkan ketegangan di kawasan.
 
 Sikap China ini bertolak belakang dengan kebiasaannya yang ofensif dan 
terkesan enggan mematuhi norma-norma internasional. China begitu keras 
memaksakan kepentingannya, bahkan berhasil memecah-belah ASEAN sebagaimana 
terjadi pada saat pertemuan tingkat menteri ASEAN di Pnom Penh pada 2012 ketika 
organisasi regional itu gagal mencapai komunike bersama (joint communique). 
Momen kegagalan ASEAN ini membuat Menteri Luar Negeri Indonesia (kala itu) 
Marty Natalegawa frustrasi, dan menyebutnya sebagai "salah satu kegagalan 
terbesar dalam karier diplomatik saya" (Natalegawa, 2018: 130).
 
 Lantas, apa yang membuat China mengubah sikapnya terhadap ASEAN? Penjelasan 
yang paling masuk akal adalah China berusaha "merangkul" ASEAN untuk mencegah 
campur tangan AS di wilayah Laut China Selatan. Selama ini China memandang 
kehadiran AS sebagai sumber ketidakstabilan keamanan regional. Berulangkali 
keduanya terlibat insiden yang meningkatkan eskalasi konflik. Seperti yang 
terjadi baru-baru ini ketika kapal perang AS USS Decatur yang sedang melakukan 
'operasi navigasi bebas' dihalau kapal perang China karena dianggap mengancam 
kedaulatannya. 
 
 Kultur Strategis
 
 Pendekatan kooperatif China terhadap ASEAN menunjukkan bahwa Beijing tidak 
selalu menggunakan cara-cara koersif untuk mewujudkan ambisinya menguasai Laut 
China Selatan. Selama ini sebagian besar pengamat memandang semata-mata dari 
agresivitas China namun jarang yang melihat sisi "lunak" kebijakan negara itu. 
Padahal, dalam kultur strategis China, kebijakan luar negeri diimplementasikan 
dengan mengkombinasikan dua pendekatan yang pada dasarnya saling bertentangan 
yakni penggunaan sarana militer (koersif) dan sarana kerja sama (kooperatif). 
 
 Menurut ahli hubungan internasional Universitas Harvard Alastair Ian Johnston, 
kultur strategis merupakan seperangkat gagasan yang mempengaruhi para pembuat 
kebijakan untuk merumuskan strategi pertahanan guna menangkal ancaman 
(Johnston, 1995). Dengan kata lain, konsep ini merujuk pada sistem keyakinan 
dan pemahaman elite-elite politik suatu negara yang membentuk persepsi terhadap 
ancaman nasional. Persepsi ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan sistem nilai 
yang dianut suatu masyarakat. 
 
 Dalam kasus politik luar negeri China di Laut China Selatan, salah satu 
gagasan yang cukup besar pengaruhnya adalah Taoisme (selain Konfusianisme). 
Kutipan pada pembuka tulisan ini diambil dari kitab karangan Lao Tzu Tao Te 
Ching (ditulis sekitar abad ke-6 sebelum Masehi). Maknanya kurang lebih sikap 
penolakan terhadap hegemoni kekuasaan oleh satu negara di dalam sistem 
internasional. Setiap ambisi menjadi untuk mendominasi sistem akan mendapatkan 
tantangan dari negara lain. Cara pandang ini serupa dengan gagasan keseimbangan 
kekuasaan (balance of power) dari negara-negara Barat.
 
 Pendekatan kooperatif China, dengan demikian, dapat ditafsirkan sebagai bentuk 
upaya China untuk mengimbangi (lebih tepatnya menghalau) kekuatan AS di 
kawasan. China tahu bahwa sebagian negara anggota ASEAN memiliki kedekatan 
hubungan dengan AS, khususnya Filipina dan Vietnam. China dan Filipina pernah 
bersitegang gara-gara keputusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag pada 2016 
yang memenangkan tuntutan Filipina sekalipun kemudian kedua negara akhirnya 
memutuskan untuk tetap menjaga hubungan baik. Dengan Vietnam, China mendapatkan 
tantangan lebih berat karena pemerintah Hanoi semakin memperluas aliansi dengan 
rival-rival China. 
 
 Pada Maret 2017 lalu kapal induk AS USS Carl Vinson berkunjung ke Vietnam 
sebagai bentuk dukungan AS kepada Vietnam. Vietnam juga memperkuat kerja sama 
keamanan dengan Australia, India, dan Jepang.
 
 Melihat dinamika geopolitik ini, China merasa perlu mengkooptasi negara-negara 
ASEAN supaya lebih dekat ke China dan menjauh dari pengaruh AS. China juga 
paham betul bahwa ASEAN bukanlah lawan tandingnya yang sepadan sehingga 
kebijakan merangkul ASEAN di sini lebih sebagai strategi meminimalisasi 
kecondongan ASEAN pada AS, bukan menundukkan ASEAN. Kesediaan China berkompromi 
dengan ASEAN soal mekanisme penyelesaian konflik atau Code of Conduct (COC) 
yang mencapai kesepakatan pada Agustus 2018 lalu harus dibaca sebagai manuver 
China dalam rangka "membeli" kepercayaan ASEAN. 
 
 Kesepakatan itu bisa jadi bukan tujuan utama China. Sekali lagi kepentingan 
China di Laut China Selatan hanya satu, yaitu menjadikan kawasan sengketa itu 
wilayah kedaulatannya. Sesuai dengan filosofi Taoisme Yin dan Yang, strategi 
kooperatif itu barangkali hanya pelengkap dari strategi koersif China membangun 
pangkalan militer di Spratly. Baik sarana militer dan kerja sama harus 
diimplementasikan secara seimbang, bukan saling meniadakan. Kekuatan militer 
dan kerja sama adalah dua instrumen untuk mencapai tujuan yang sama. 
 
 Peran Indonesia
 
 Sebagai primus inter pares di kawasan, Indonesia harus hati-hati melihat 
perubahan sikap China tersebut. Mengingat kultur strategis China yang memandang 
bahwa kerja sama merupakan salah satu instrumen kepentingan nasional dan bukan 
untuk mencapai kepentingan bersama, Indonesia perlu mengembangkan strategi 
kebijakan luar negeri yang lebih aktif, adaptif, dan transformatif. 
 
 Pertama, Indonesia harus segera memulihkan reputasinya sebagai "honest broker" 
di kawasan. Dunia internasional sejak lama menaruh kepercayaan yang tinggi 
kepada Indonesia sebagai juru damai, penengah, dan agenda-setter di banyak 
forum multilateral. Kepercayaan itu kini terkesan memudar karena karakter 
kebijakan luar negeri Presiden Jokowi yang lebih memprioritaskan pada 
pendekatan bilateralisme alih-alih multilateralisme. 
 
 Pemerintah mungkin akan menepis anggapan itu, dan itu sah-sah saja. Namun, 
fakta-fakta menunjukkan bahwa keterlibatan Indonesia di forum-forum 
multilateral hanyalah cara untuk menjajaki pertemuan-pertemuan bilateral dengan 
negara mitra.
 
 Kedua, kebijakan luar negeri Indonesia harus adaptif menyikapi dinamika isu 
Laut China Selatan. Jika selama ini Indonesia memandang kebijakan China hanya 
dilandasi oleh kalkulasi untung-rugi, perlu cara pandang berbeda untuk memahami 
karakter kebijakan luar negeri China terutama di kawasan. Para pembuat 
kebijakan perlu menyadari bahwa persoalan Laut China Selatan bukan semata soal 
kepentingan nasional negara kuat, melainkan melibatkan faktor-faktor budaya 
yang berakar dari sejarah. Konsekuensinya, penyelesaian konflik ini tidak bisa 
dilakukan hanya dengan pendekatan rasionalistik-mekanistik seperti dialog di 
level regional. 
 
 Pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak di luar pemerintah untuk melakukan 
diplomasi track-II yang lebih informal dengan mengedepankan sarana-sarana 
non-politis. Pendekatan budaya barangkali bisa menjadi instrumen diplomatik 
alternatif dari yang sudah ada.
 
 Ketiga, Indonesia perlu memainkan peran kepemimpinan transformatif dengan 
merangkul negara-negara lain untuk mencapai pemahaman bersama. Melibatkan 
negara-negara rising power seperti Rusia dan India penting untuk mengurangi 
dominasi China dan AS di kawasan. Gagasan ini sejalan dengan doktrin 
'keseimbangan dinamis' (dynamic equilibrium) yang digagas Marty Natalegawa 
bahwa negara-negara kuat tidak diperkenankan mendominasi, melainkan harus patuh 
pada norma-norma yang telah disepakati bersama. 
 
 Selain itu, prinsip kolaborasi lebih dikedepankan ketimbang menonjolkan 
rivalitas. Di sinilah kapasitas diplomasi Indonesia akan diuji, sejauh mana 
mampu mengkooptasi negara-negara kuat untuk saling berkolaborasi 
mengesampingkan ego masing-masing.
 
 Mohamad Rosyidin dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas 
Diponegoro
  
 (mmu/mmu)  Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di 
luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini 
sekarang!   china laut china selatan asean 
  
  
  
  
  
  
   #yiv7909743806 #yiv7909743806 -- #yiv7909743806ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-mkp #yiv7909743806hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mkp #yiv7909743806ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mkp .yiv7909743806ad 
{padding:0 0;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mkp .yiv7909743806ad p 
{margin:0;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mkp .yiv7909743806ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-sponsor 
#yiv7909743806ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-sponsor #yiv7909743806ygrp-lc #yiv7909743806hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-sponsor #yiv7909743806ygrp-lc .yiv7909743806ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv7909743806 #yiv7909743806actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv7909743806
 #yiv7909743806activity span {font-weight:700;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv7909743806 #yiv7909743806activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv7909743806 #yiv7909743806activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv7909743806 #yiv7909743806activity span 
.yiv7909743806underline {text-decoration:underline;}#yiv7909743806 
.yiv7909743806attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv7909743806 .yiv7909743806attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv7909743806 .yiv7909743806attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv7909743806 .yiv7909743806attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv7909743806 .yiv7909743806attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv7909743806 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv7909743806 .yiv7909743806bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv7909743806 
.yiv7909743806bold a {text-decoration:none;}#yiv7909743806 dd.yiv7909743806last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv7909743806 dd.yiv7909743806last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv7909743806 
dd.yiv7909743806last p span.yiv7909743806yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv7909743806 div.yiv7909743806attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv7909743806 div.yiv7909743806attach-table 
{width:400px;}#yiv7909743806 div.yiv7909743806file-title a, #yiv7909743806 
div.yiv7909743806file-title a:active, #yiv7909743806 
div.yiv7909743806file-title a:hover, #yiv7909743806 div.yiv7909743806file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv7909743806 div.yiv7909743806photo-title a, 
#yiv7909743806 div.yiv7909743806photo-title a:active, #yiv7909743806 
div.yiv7909743806photo-title a:hover, #yiv7909743806 
div.yiv7909743806photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv7909743806 
div#yiv7909743806ygrp-mlmsg #yiv7909743806ygrp-msg p a 
span.yiv7909743806yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv7909743806 
.yiv7909743806green {color:#628c2a;}#yiv7909743806 .yiv7909743806MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv7909743806 o {font-size:0;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806photos div {float:left;width:72px;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv7909743806
 #yiv7909743806reco-category {font-size:77%;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806reco-desc {font-size:77%;}#yiv7909743806 .yiv7909743806replbq 
{margin:4px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-mlmsg select, #yiv7909743806 input, #yiv7909743806 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-mlmsg pre, #yiv7909743806 code {font:115% 
monospace;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-mlmsg #yiv7909743806logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-msg 
p#yiv7909743806attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-reco #yiv7909743806reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-sponsor 
#yiv7909743806ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-sponsor #yiv7909743806ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-sponsor #yiv7909743806ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv7909743806 #yiv7909743806ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv7909743806 
#yiv7909743806ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv7909743806   
  • Re: [GELORA45] Kultur St... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke