Selamat Pagi
Salam buat semua sahabat seprofesi yang peduli masalah ini. Saya termasuk yang setuju perlunya tenaga ekspat untuk menunjang peningkatan eksplorasi dan produksi. Namun tenaga mereka perlu dibatasi (jumlah dan lamanya di Indonesia), lalu performa kerja mereka harus dievaluasi secara berkala sesuai KPI dan bila kurang baik / tidak ada kontribusi positif serta tidak menunjang kegiatan eksplorasi produksi, harus dengan tegas untuk dipulangkan ke negaranya. Ini dapat menghemat pengeluaran negara dari gaji mereka yang besar namun tidak ada "added value"-nya. Sebaiknya, mereka tidak lama di posisi strategis pada setiap perusahaan dan pada sisi lain, kita lebih mengutamakan profesional Indonesia sendiri untuk memimpin bisnis strategis negaranya sendiri. Saya pikir, China sudah lebih maju dan bahkan mampu menyaingi (bahkan melebihi) Amerika dan Eropa, termasuk di Industri MIGAS. Perusahaan mereka (IOC maupun Service Company) sudah terkenal dan berprestasi baik dengan harga yang kompetitif untuk bersaing dengan semua IOC (International Oil Company), NOC (National Oil Company) dan Oil Services di semua region dunia. Termasuk juga profesional mereka yang terbukti kompeten di bidangnya masing-masing. Namun masih ada harapan bagi Indonesia untuk maju dan bersaing di era globalisasinya tanpa memikirkan "brain drain" lagi, seperti analisis yang disampaikan Bung RDP sebelumnya. Menurut saya, Indonesia masih bisa maju bila mengambil semua pelajaran yang sudah ada (dulu sempat menjadi "guru" atau "contoh" semua perencanaan dan pengelolaan bidang migas, seperti model PSC yang kini banyak ditiru negara lain) dengan lebih menghargai para profesionalnya (tidak melulu masalah gaji), namun dengan memberikan lebih kesempatan pada mereka untuk memimpin pengelolaan industri migas dalam negri. Dukungan dan sikap tegas pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin suksesnya kemajuan Indonesia dan sejahteranya seluruh rakyat Indonesia. Tambahan catatan menurut saya, bisnis migas di Indonesia sebaiknya dijauhkan dengan intrik politik atau kepentingan suatu kelompok, diluar etika bisnis yang ada. Semoga bangkit dan majulah Indonesia yang lebih baik serta selamat beraktifitas semuanya di awal pekan. Sekedar urun rembug pribadi dan mohon maaf bila ada yang khilaf. Salam G&G Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com> Sender: <iagi-net@iagi.or.id> Date: Mon, 8 Apr 2013 08:11:07 To: IAGI<iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net] MASALAH KLASIK: EXPAT vs NATIONAL 2013/4/8 Franciscus B Sinartio <fbsinar...@yahoo.com> > Hallo juga, > Petronas dan Sonangol memakai expat karena tidak punya tenaga yang cukup > untuk melakukan operasi nya. > Kalau Pertamina, Medco dan EMP ngak ada yang pake expat setahu saya, entah > perusahaan nasional yang lainnya. > Dalam han tenaga kerja, Indonesia tidak tepat dibandingkan dengan Petronas maupun Senagol. Barangkali Indonesia lebih tepat dibandingkan dengan China. China memiliki tenaga manusia yang suangat banyak sehingga China memiliki beberapa perusahaan migas nasional Multi National Companies (State owned companies). Perushaan China milik pemerintah di China itu tidak hanya migas, tetapi juga pertambangan dan perindustrian. Lihat disini http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Metal_companies_of_China (banyak perush metal yg juga beroperasi di Indonesia (misal CITIC). Multi BUMN ini lebih tepat untuk Indonesia yang juga memiliki tenaga kerja banyak. "Overflow" dari pekerja Indonesia itu yang akhirnya banyak expat Indonesia di LN (braindrain), Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain, bukanlah perkara mudah. Malesa juga sudah beberapa tahun lalu mencobanya juga gagal. Akhirnya lebih mudah mendapatkan TKI (Intelek) dari Indonesia yang "relatif lebih murah" ketimbang dari Eropa dan Amrik, dng kapasitas yang sepadan tentunya. Untuk Indonesia. menurut saya, lebih baik mencegah 'overflow' ketimbang mengharapkan 'back flow' (brain gain). Perbaikan struktur remunerasi di dalam negeri akan lebih bermanfaat dan berdampak lebih positip. Jadi jangan harap yang di LN mendapatkan apa yang diinginkan, karena sudah tidak sebanding. Usaha-usaha "recuitment" ke ME ataupun Malesa cukup dibakai sebagai pembanding saja untuk memperbaiki strutur remunerasi di dalam negeri. BPR (Bussiness Proccess Reingineering yang berbuntut pada outsourcing adalah cara kapitalis dalam meningkatkan efisiensi modalnya. Namun jelas cara ini pasti berbenturan dengan Indonesia yang "socio-democrate". Jumlah tenaga kerja yang terlalu melimpah dengan lapangan kerja masih terbatas tentunya cara outsourcing bukanlah yang ideal, karena dalam outsourcing terdapat "pemerasan" tenaga dimana pencari kerja "diadu" supaya mendapat harga terendah. Sepertinya ini penjajahan tenaga manusia bentuk baru yang seolah "mengikuti pasar". Oleh sebab itu salah satu cara paling baik untuk Indonesia adalah meningkatkan lapangan kerja. Menyediakan sumberdaya alam dan sumber bahan baku (bahan dasar), juga bahan bakar atau energi sebagai tenaga untuk terus berkarya. Tentusaja saya akan selalu mengkapanyekan Demografi Bonus 2020-2030 sebagai sebuah momentum yang tidak boleh diabaikan dalam setiap program jangka panjang, dan juga future outlook of Indonesia. Baik kebutuhan energi, bahan baku, mitigasi kebencanaan dan lingkungan serta pengembangan wilayah dll. Salam senin ! RDP -- *"**Good idea is important key to success, "working on it" will make it real."*