Assalamu'alaikum wr.wb.,
 
Lembang Alam

28.     THAWAF WADA’

Jam sepuluh lebih dua puluh. Si Bungsu melapor bahwa
sampai saat ini dia ‘bersih’.   Saya bilang, pergilah
mandi dan setelah itu ‘bismillah’. Dia langsung
mengerjakan yang saya suruh. Jam setengah sebelas kami
semua turun dan berangkat menuju mesjid. Inilah ‘wada’
‘ itu. Inilah perpisahan itu. Kami naik ke lantai dua
mesjid. Berlima, sekeluarga utuh. Mudah-mudahan Allah
terima ‘suci’ nya si Bungsu. Dan inilah
sekali-sekalinya kami melakukan thawaf dengan
bersama-sama seperti ini pada kesempatan berkunjung
untuk ibadah haji ini. Segera saja kami dekati batas
‘start’ yang ada lampu tanda berwarna hijau. Berbaris
berlima. Bismillahi Allahu Akbar. Memberi isyarat ke
sudut hajar aswad. Dan setelah itu melangkah maju.
Saya biasa membaca zikir, atau membaca ayat-ayat
hafalan saya kalau sedang thawaf. Kecuali dari sudut
yamani menjelang sudut hajar aswad, seperti yang
disunnahkan membaca doa ‘sapu jagad’. Rabbanaa aatinaa
fiddunyaa haasanah, wafil aakhirati haasanah, waqinaa
‘atzaabannaar. Saya biasa menandai dengan jari tangan
setiap nomor putaran.

Kamipun melangkah terus. Sambil sekali-sekali yang
sering kali melongok juga ke arah ka’bah. Dalam doa,
dalam zikir. Dalam tetesnya air  mata lagi. Di bawah
sana, masya Allah ramainya jamaah yang sedang
berthawaf pula. Itulah pertimbangannya tadi saya
mengajak keluarga saya untuk melakukannya di lantai
dua ini. Disinipun sebenarnya cukup ramai yang thawaf.
Seorang ibu-ibu India salah berpegangan tangan kepada
si Tengah. Berpuluh-puluh atau mungkin beratus langkah
sebelum dia sadar dan melepaskan tangannya sambil
tersipu. Sambil mencari pasangannya yang tertinggal
beberapa langkah di belakang.

Kami selesaikan putaran demi putaran dengan santai.
Tidak tergesa-gesa. Karena insya Allah waktu kami
lebih dari cukup. Sementara itu jamaah yang datang ke
mesjid makin bertambah banyak karena semakin mendekati
waktu zuhur. Sebelum jam dua belas selesai ketujuh
putaran itu. Kami berhenti di tempat yang kira-kira
sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunah.
Sebelumnya saya ingatkan istri dan anak-anak saya agar
nanti sesudah shalat zuhur langsung menjamak shalat
ashar. Kalau memungkinkan kita lakukan bersama-sama,
tapi kalau tidak memungkinkan biar saya sendiri
terpisah. Saya suruh mereka duduk agak ke belakang, di
tempat yang sudah banyak jamaah wanitanya. Saya berada
di bagian depan. Beberapa jamaah yang bergabung wanita
dan laki-laki di depan sini (seharusnya tentu mereka
suami istri) di tegor oleh petugas berpakaian biasa,
menyuruh agar wanitanya pindah ke belakang. Ada yang
segera patuh saja, ada yang memerlukan beberapa kali
tegoran sebelum mengerjakannya. 

Jam setengah satu lebih berkumandang azan. Inilah azan
terakhir kiranya yang akan saya dengar dari mesjid
ini. Mudah-mudahan untuk kali ini dan mudah-mudahan
Allah izinkan saya untuk mendengarkan azan seperti ini
disini kembali nati. Saya shalat sunah qabliyah
seperti kemarin. Dua kali dua rakaat. Yang kedua belum
selesai, masih menjelang salam, terdengar iqamat. Kami
berdiri berbaris rapi. Imampun takbir. Allaahu Akbar!
Kamipun takbir.

Sesudah salam saya segera berdiri. Melihat ke
belakang. Tidak mungkin kami shalat jamak
berdekat-dekatan. Saya beri isyarat si Sulung yang pas
melihat ke arah saya agar shalat di sana saja. Saya
iqamat sendiri sambil berbisik. Dan shalat sendiri.
Shalat ashar jama’ taqdim. Baru saya lanjutkan dengan
zikir. Dengan doa lagi. 

Waktu jamaah sudah mulai berdiri untuk beranjak keluar
saya panggil istri dan anak-anak saya untuk mendekat.
Memandang ka’bah dari atas sini, dari pagar pembatas.
Memandang ka’bah yang akan kami tinggalkan. Saya suruh
mereka berdoa. Berdoalah! mudah-mudahan Allah
mengizinkan kita sekalian datang lagi kesini kelak.
Mereka berdoa. Istri dan anak-anak saya. Mereka berdoa
dan menangis. Cukup lama kita berdiri terpaku. Dan
akhirnya tentu harus melangkah juga keluar. Harus
meninggalkan juga tempat ini. Meninggalkan juga
ka’batullah ini. Meninggalkan jamaah yang masih banyak
di dalam mesjid.

Kami melangkah ke arah pintu. Menuruni anak tangga.
Dan keluar dari mesjid. Dari pintu nomor 45, tempat
kami selalu keluar masuk. Dalam diam. Semua diam tidak
mengeluarkan sepatah katapun.  Sesampai di hotel kami
pergi makan siang. Kelihatannya kami termasuk
rombongan yang terakhir.  Ruangan makan itu sudah
sepi. Jamaah lain sudah lebih dulu selesai makan dan
sedang bersiap-siap untuk turun ke lobby. Kelihatannya
semua sudah ingin cepat-cepat berangkat. Karena
rencananya kami akan berangkat jam dua siang ini. 

Kamipun mampir ke kamar. Mengemasi barang-barang
tentengan. Dan langsung turun pula ke lobby. Akhirnya
saya kena juga demam ingin cepat berangkat ini. Hari
masih kurang dari jam dua. Dan saya tidak yakin kami
akan benar-benar berangkat jam dua. Busnya belum lagi
datang. Dan perlu waktu untuk menaikkan koper-koper
kami ke bagasi bus. Saya ikut bergegas turun karena
saya punya keperluan lain di bawah sana. Mengisi
jeriken saya dengan air zam-zam. Jeriken ini saya beli
tiga hari yang lalu, waktu dokter menganjurkan agar
saya banyak minum. Dan sejak itu saya isi jeriken ini
dengan air zam-zam untuk minum kami berlima kalau lagi
di kamar. Dan sekarang jeriken ini sudah hampir
kosong. Saya akan mengisinya untuk dibawa pulang ke
Indonesia.

Mulailah kami menunggu di lobby hotel. Menunggu sampai
bus datang. Menunggu sampai barang-barang dinaikkan ke
atas bus. Akhirnya liwat jam tiga baru kami bergerak
meninggalkan hotel. Waktu yang nyaris ashar. Waktu
orang sudah berduyun-duyun lagi menuju ke mesjid. Saya
memandang mereka dengan pilu dan lesu. Saya tidak ikut
lagi bersama mereka. Kami sedang berangkat pulang.

                                                                      ****   

29.     JEDDAH

Kami tinggalkan Makkah. Dengan melengong juga ke
belakang melihat menara-menara Masjidil Haram. Melalui
terowongan-terowongan, lubang-lubang perut bumi yang
bagai sambung menyambung di kota ini. Mula-mula menuju
ke kantor maktab 106 dekat Aziziah untuk mengambil
dokumen / pasport kami. Dan sesudah itu,
beriring-iring, rombongan kami dengan rombongan besar,
melaju di jalan raya bebas hambatan menuju Jeddah.
Berhenti sebentar di check point. Entah apa yang
mereka periksa. Dan ada cadeau lagi dari Khadamul
Harramain. Kotak berwarna hijau lagi seperti ketika
kami datang dua minggu yang lalu dari Madinah, beserta
sebotol plastik ukuran satu liter air zam-zam.  Tidak
besar artinya kalau ditilik dari harganya isi kotak
hijau berisi kue-kue dan minuman ini. Tapi saya
terharu lagi, ini pemberian tanda putih hati. Kami ini
tamu Allah, datang memenuhi panggilan Allah ke negeri
ini, dan penjaga negeri ini menerima kami dengan basa
basi yang paling asli. Bukan karena mau mengambil
muka, muka siapa pula di antara kami ini yang akan
mereka ambil. Bukan karena mau minta maaf, kesalahan
apa pula yang mereka perbuat kepada kami. Tapi
benar-benar sebagai tanda menghormati tamu.
Subhanallah.

Bus melaju dan terus melaju. Melalui batas Haram.
Keluar dari tanah Haram. Melalui padang pasir dan
bukit batu gersang. Di negeri yang insya Allah akan
selalu dikunjungi orang-orang yang beriman ini.  Jarak
sekitar seratus kilometer  ke Jeddah terasa dekat saja
ketika bus ini berlari di jalan yang mulus. Lebih
kurang satu jam saja sejak kami meninggalkan hotel di
Makkah kami sudah memasuki kota Jeddah. Untuk
berputar-putar melihat kota pelabuhan dan pintu
gerbang kerajaan Saudi ini. Kota yang dipoles-poles
meniru kota moderen di manca negara. Di
persimpangan-persimpangan jalan ditempatkan
onggokan-onggokan objek abstrak sebagai hiasan.
Sebagai pengganti patung. Karena patung tidak boleh
karena ianya tidak islami. Maka macam-macam bentuk
objek yang dipajang itu. Dari kubus-kubus batu
bertumpuk-tumpuk. Ada pula yang separoh mobil sedan
yang dipancangkan kedalam tonggak tembok masif. Ada
pula sepeda besar sekali. Dan air mancur dengan
kolamnya. 
Ya, air adalah sebuah prestasi kepedulian negeri
padang pasir ini. Air  laut Merah yang tak terbatas
jumlahnya itu, mereka suling untuk mengairi segalanya.
Untuk air minum, air cuci-mencuci, air siram menyiram.
Untuk menyirami pohon-pohon yang ditanam untuk
menghijaukan Arafah. Air, yang kami para jamaah
nikmati, bagaikan tanpa batas banyaknya dimanapun kami
berada di negeri padang pasir ini.

Kami berwisata sebelum menuju hotel di Jeddah ini.
Melihat pantai laut Merah. Melihat Mesjid Terapung di
pantai laut Merah dan berhenti sejenak disana persis
saat menjelang maghrib. Untuk berpose dan
melihat-lihat. Mengamati matahari yang hampir
tenggelam di ufuk barat di laut Merah. Kami berlima
duduk-duduk saja di pinggir jalan. Ramai juga
pelancong disini sore ini. Para jamaah haji Indonesia
juga. Kelihatannya menziarahi Mesjid Terapung sudah
merupakan bagian dari paket perjalanan ibadah. Meski
sudah maghrib, tapi kami tidak shalat di mesjid itu.
Kami segera berangkat setelah itu menuju ke hotel
Ka’ki tempat kami menginap malam ini. 

Sesudah shalat maghrib dan isya di hotel, saya di
jemput anak / keluarga ‘belahan’ saya yang sudah jadi
mukimin disini sejak nenek-nenek kami. Bertamu ke
rumah mereka. Dijamu dirumah mereka dalam suasana
persaudaraan yang tulus. Padahal mereka hampir tidak
bisa berbahasa Indonesia. Kami hampir sangat tidak
bisa berbahasa Arab. Dan kita berbahasa gado-gado,
kadang-kadang bercampur dengan  bahasa Inggeris. Kami
sangat akrab. Anak-anak sangat akrab. Ini adalah
pertemuan mereka yang kedua sesudah tahun 2001 waktu
kami datang berumrah dulu. Kami lalui obrolan dalam
bahasa yang ‘tidak karuan’ itu sampai hampir jam
sebelas malam. Mereka menahan kami untuk menginap,
tapi kami minta maaf karena tidak boleh berpisah dari
jamaah dan rombongan. 

Dan besok paginya kami dijemput lagi untuk pergi
menziarahi seorang dari sepupu saya yang terbaring
sakit di bagian lain kota Jeddah. A, nama suami 
sepupu saya adalah keturunan orang Jawa Timur yang
sudah dua tiga generasi pula menetap di Makkah. Sangat
ramah. Dia ingin mengajak kami melancong lagi di
Jeddah, tapi kami beritahukan bahwa waktu kami sangat
terbatas. Kami harus keluar dari hotel jam dua siang
ini untuk bertolak ke Jakarta pada malam harinya.
Disempatkannya juga membawa kami sekedar
berkeliling-keliling. Sekedar menunjukkan
bagian-bagian kota, yang tadi malam sudah kami lalui.
Jam sebelas lebih kami diantarkannya kembali ke hotel.
Kami berpisah dan saling mendoakan keselamatan
masing-masing. Mudah-mudahan berjumpa lagi.

Di hotel sebenarnya ada temu ramah terakhir dengan
rombongan besar karena masing-masing kami nanti akan
berangkat dari tempat pemberangkatan yang berbeda.
Rombongan besar akan berangkat dari terminal umum,
menggunakan pesawat Emirat yang akan membawa mereka
terbang ke Dubai, Colombo, Kuala Lumpur dan Jakarta. 
Sementara kami akan berangkat dari terminal haji
dengan pesawat Saudia dengan penerbangan langsung
Jeddah – Jakarta. Sayang saya sekeluarga  sudah
terlambat untuk mengikuti acara temu ramah itu. Tapi
kami masih akan bersama-sama makan siang sebentar
lagi. Sesudah shalat berjamaah di mushalla hotel.
Kebersamaan ini, rupanya sudah benar-benar hampir
selesai.

Masih ada lagi sedikit ‘ngepak-ngepak’ yang terakhir
yang harus diurus. Mengepak oleh-oleh dari sepupu yang
di Jeddah sini untuk sepupu-sepupu di Jakarta.
Oleh-oleh sebagai tanda putih hati, sebagai tanda awak
berdunsanak. Yang saya jadi ingat karenanya, sejak
saya kecil dulu, setiap ada orang kampung kami yang
pulang dari melaksanakan haji, selalu saja nenek,
kemudian ibu saya, menerima paket dari ‘dunsanak awak’
di Makkah, berisi tamar, berisi kurma, berisi tiin.
Oleh-oleh pengikat tali dunsanak. Dan sekarang akan
diterima adik saya yang perempuan.

                          ****                        
                              




=====

St. Lembang Alam



__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Finance Tax Center - File online. File on time.
http://taxes.yahoo.com/filing.html
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke