Assalamu'alaikum Mak Gindo,

Ambo ndak pendukuang teroris do, sesuai jo Teroris nan mamak maksuik.
Tapi... dari kutipan mamak di bawah nanko, agak saketek batanyo2 kanakan
mamak ko ha....
Tolonglah agiah saketek pencerahan kanakan dari Pejuang2 Iblis nantu.
Disiko secara tersirat mamak katokan, bahwa paham wahabi itu adolah paham
Setan alia ubili.

Berikut ambo postingkan lagi tentang sejarah Islam di ranah minang nan
alah pernah dipostingkan di palanta ko tempo dulu.
Atau mungkin mamanda laun sempat mambaco lagi???
Ambo mintak pandapek mamak tentang Harimau nan Salapan ko.

Dari kamanakan nan slalu mancari....
---------------------------------

SEJARAH ISLAM INDONESIA

Perang Paderi
(1821-1837)

Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan
sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat
yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal
demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang
sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku
nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda.
Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh
cenderung lebih tegas. """Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari
tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan
Wahabi""". Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan
Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka
adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur,
Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu
Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto
Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan,
yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid
berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan
tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik
terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak
kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian
putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi
berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di
Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning
Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi
pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi.
Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam
untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris
Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal
ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat
Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat
mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100
tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah.
Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan
Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang
telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan
panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari
Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung
dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der
Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit
terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak
menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku
nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung
Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam.
Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah
komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan
adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio.
Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga
kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah
tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan
Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia
juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan
Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak
Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai.
Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk
menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said
Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825,
perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana
Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau.
Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku
Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang
Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota
demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap
kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah,
membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan
menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka
rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan.
Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat
Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu
Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada
pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah
Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13
tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam
keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat
perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan
perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian
ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur,
Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia
dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli
Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah
berbasis muslim.n
http://www.pesantren.net/sejarah/indo-20001114213940-sji6.shtml





> ---------- Original Message ----------------------------------
> From: "SBN" <[EMAIL PROTECTED]>
> Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
> Date:  Mon, 18 Aug 2003 08:00:06 +0700
>
> Assalamu'alaikum wr. wb.
> Kelompok pejuang yang mau menguasai orang lain dengan membunuhi orang
> seperti membunuhi lalat, nggak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan
> tidak ada pula dalam sejarahnya urang Minang dahulu, sekarang rupanya
telah
> berubah sejak masuknya paham arab wahabi kesini. Lebih pantas disebut
mereka
> itu pejuang-pejuang iblis.
>
> Salam
> SBN



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke