Re: How to write a winning grant! From NIH.
At 5/12/02, cortino wrote: | kami mendapatkan sebuah notebook dari National Institute of Health (NIH) | mengenai cara penulisan grant proposal yang berkualitas, seperti misalnya | cara membuat hipotesa yang tajam, singkat bahkan sampai dengan cara kita | menyusun proposal dalam waktu 15 minggu. Notebook ini merupakan suatu | guidance yang sangat bagus sekali untuk para peneliti. | | File ini berjumlah kurang lebih 100 halaman, dan kami sudah scan semuanya | dalam bentuk PDF format. Total files kurang lebih 10 MB. Untuk membuka file | anda memerlukan acrobat reader. Good job Tino, but ... ouch! You may want to add a disclaimer: Due to the orientation of the text, prolonged reading may cause severe neck injury :-) Moko/ PS: I'm glad my wireless iBook can stand on its side like an open book.
Re: How to write a winning grant! From NIH.
At 5/12/02, cortino wrote: | mas moko, diprint dulu donk artikelnya. masa di baca di monitor sih? :o) Sudah setahun ini saya on the road terus - yang masih bisa masuk backpack cuma laptop (4.9 lbs), printer is out of question [kecuali kalau bawa becak :-) | Kalo di scan satu-satu/perhalaman, bisa gede sekali memorinya. Bisa ngak | selesai 2 hari buat download untuk teman-teman di indonesia, makanya kita | scan perdua-halaman. Yang menjadi masalah sebetulnya ORIENTASI nya. Bisa saja document itu di scan perdua-halaman dengan orientasi tegak [scroll horizontally], ataupun kalau mau per halaman dengan dpi yang lebih rendah (separuhnya). Kebutuhan memory tidak berbeda. [Catatan: lebih baik ngirit lagi kalau scanningnya langsung pakai OCR, jadi bisa disimpan dan dikirim sebagai text] Moko/
Tabletop Nuclear Fusion?
Dear Netters, Mungkin di mailinglist ini masih ada yang punya perhatian pada hal-hal yang ilmiah atau science ... Meskipun masih controversial, akhirnya majalah Science yang akan terbit Jumat ini (Mar 8) jadi memuat paper tentang satu riset yang membuat klaim bisa membuat nuclear fusion dalam sebuah bejana yang berisi cairan organic. Kalau klaim ini benar, penemuan ini adalah SOC atau SOM ... (Science Of the Century/Millenium). Paling tidak ini akan membuat studi tentang fusion bisa dilakukan secara sederhana dan murah (mampu dilakukan oleh lab sederhana), dan yang lebih penting lagi adalah potensi dan pengaruhnya dalam penyediaan energi murah [selama ini energi nuklir dilakukan secara fission, membelah atom - dengan konsekwensi by-productnya, limbah radioaktip, menciptakan problem baru]. Meskipun jalan ke aplikasi praktis masih panjang, klaim riset ini, kalau benar, memberi masa depan energi yang akan merubah kualitas hidup umat manusia. Eksperimen tabletop fusion ini dilakukan oleh nuclear engineer Rusi Taleyarkhan dari OakRidge National Laboratory (Tennessee) bersama nuclear engineer Richard Lahey dari Rensselaer Polytechnic Institute (Troy, NY) et al. yang memanfaatkan temperature dan tekanan yang sangat tinggi ketika gelembung uap (bubble) dalam cairan kolaps secara implosive, fenomena yang dikenal sebagai cavitation. Temperatur dalam bubble ketika terjadi implosion ini, tergantung ukuran bubble, bisa mencapai temperature 10^7 Kelvin, sepanas inti matahari dimana fusi atom hydrogen membentuk inti yang lebih berat (helium dan tritium) plus energi nuklir yang hangatnya kita rasakan setiap hari itu. Taleyarkhan dkk. menggunakan deuterated acetone yaitu pelarut organik aceton (biasa dipakai untuk membersihkan cat kuku) dimana setiap atom H (hydrogen) diganti dengan deuterium (D), atom hydrogen yang lebih berat karena punya satu extra neutron. Gelombang akustik dipakai untuk menggetarkan bubble yang mengembang dan kemudian kolaps, fenomena ini disebut sebagai acoustic cavitation. Pada saat yang sama, cairan tersebut ditembak dengan neutrons energi tinggi (sekitar 14 MeV) untuk memberi extra punch of energy dan sekaligus menciptakan bubble yang lebih besar (sekitar satu millimeter, ketimbang biasanya hanya beberapa nanometer). Menurut para peneliti ini, ketika kolaps, ato-atomm deuterium ini saling bertumbukan dan bersatu (fuse), melepaskan energi, neutron dan tritium yang merupakan signatures terjadinya fusion. Ada kalangan ilmuwan yang sependapat (dan telah mencoba mengulangi ekperimen ini), tetapi tidak sedikit pula yang skeptikal. Dunia ilmiah masih belum lupa akan skandal cold fusion di Utah tahun 1989 yang silam. Kendati kontroversi yang ada, majalah Science akhirnya memutuskan untuk menerbitkannya, dan juga memberi kesempatan kepada publik untuk membaca sneak preview artikel yang berkaitan, beberapa hari sebelum tanggal penerbitan resmi. Buat yang tertarik, silahkan download sendiri artikelnya (PDF format) dari situs majalah Science: http://www.sciencemag.org/feature/data/hottopics/bubble/index.shtml Moko/ Madison, WI
Re: Fasilitas Seminar on-line?
At 2/28/02, cortino sukotjo wrote: | saya ingin bertanya, apakah ada teman-teman pernah | menyelenggarakan/mengikuti suatu seminar online? Bila pernah, fasilitas apa | yang pernah dipakai? dan apa suka dukanya baik sebagai organiser maupun | sebagai peserta? or adakah yang tahu fasilitas tercanggih saat ini yang | bisa kita gunakan dengan biaya yang minimum/grats dan dapat juga di gunakan | oleh teman-teman di Indonesia? | | Kalau tidak salah, dulu teman-teman di PPI London pernah mengadakan hal | semacam ini? | | Bila ada input, tolong berikan input ke jalur pribadi: [EMAIL PROTECTED] As a matter of fact Tino, you've already been using it! THIS mailinglist, is a good example. [Ini saya kirim ke jalur umum karena merupakan pengetahuan umum dan juga ada kaitannya dengan alur pembicaraan sebelumnya, i.e. Los Angeles Scientific Meeting] Sebelum melangkah pada penjelasan berikutnya, ada baiknya kita sepakat dulu apa yang dimaksud dengan seminar. Definisi menurut Merriam-Webster adalah sbb: 1 : a group of advanced students studying under a professor with each doing original research and all exchanging results through reports and discussions 2 a (1) : a course of study pursued by a seminar (2) : an advanced or graduate course often featuring informality and discussion b : a scheduled meeting of a seminar or a room for such meetings 3 : a meeting for giving and discussing information Mungkin yang paling sering dipakai dikalangan kita adalah definisi nomor 3. Apapun definisi yang dipakai, formatnya pada umumnya tidak berbeda: ada satu atau lebih pembicara, yang mengajukan tesis, topik, artikel, makalah, problem, atau apa saja; dan kemudian ada pihak lain (biasanya disebut audience atau peserta) yang bertanya, menyanggah, mendebat, dan mendiskusikannya satu-sama-lain. {Electronic] mailinglist adalah komputer program yang pada dasarnya melantarkan pembicaraan one-to-many -- persis yang terjadi di seminar konvensional, yang biasanya dibantu dengan PA system, supaya setiap orang bisa mendengar kalau ada yang bicara, atau fasilitas telpon untuk mereka yang berada di remote location. Dalam era Internet, dimana hampir setiap orang punya fasilitas email (atau mudah mendapatkannya), seminar via electronik mailinglist ini menjadi lebih disukai, terutama karena jauh lebih praktis dan ekonomis. Keuntungan seminar elektronis ini antara lain: (1) Praktis, karena secara fisik peserta tidak harus hadir diruang seminar (ruang dalam konteks ini adalah system server yang mendistribusikan email dan acrhival site yang bisa diakses oleh peserta via Internet). (2) Faktor scheduling juga tidak lagi menjadi problem, setiap peserta bisa membaca dan mengajukan tangapannya pada waktu yang ditentukan olehnya sendiri. (3) Batasan geografis juga hilang [it's only a few router hops away, a few nano-seconds if you talk in real time]. Sebagai contoh, alasan Marianus 3 jam perjalanan dalam thread yang lalu sudah nggak aci lagi. (4) Ekonomis, hampir setiap orang atau student punya email account - kalau belum cari yang gratis juga mudah. Meskipun begitu jelas keunggulan media modern ini, pertanyaan yang otomatis muncul adalah mengapa tidak/belum banyak yang memanfaatkannya? Beberapa jawaban yang obvious (silahkan menambahkan sendiri ...) adalah: (1) tidak kenal tidak cinta (the law of ignorance). (2) Tidak cocok dengan budaya kita (baca: nggak ada SPJ-nya, excuse bapak sedang sibuk nggak bisa dipakai lagi, kuatir kelihatan bego - karena memang dari sononya begitu dan disini tidak bisa lagi ditutupi dengan nggedobos ngalor-ngidul, etc.) Dari segi teknis, software/hardware untuk melakukan semuanya itu sudah well-developed di segala jenis platform [saya sendiri mulai pakai di Macintosh sekitar 7 tahun yang lalu). Tetapi jangan terlalu terbenam dalam detail teknis [lebih baik memusatkan pikiran dan waktu pada MATERI seminar] karena fasilitas yang gratis dan dikeola dengan baik juga sudah banyak tersedia. Mudah dan tinggal pakai. Sebagai contoh adalah fasilitas mailing list di yahoogroups.com - urusan pengelolaan (admin) keanggotaan dan sistim arsip tesedia dan sangat mudah dipakai. So ... what are waiting for? Moko/
Dukungan pada presiden baru
Dear Permias-netters, Serasa ada tiupan angin segar membaca pembicaraan antara Irwan dan Agus (subject : Selamat Jalan Pak Wahid). Hari ini saya bangun dengan sebuah harapan - harapan akan sebuah keluarga besar Indonesia yang bekerja bahu-membahu membangun negara dari puing-puing akibat pertengkaran yang berlarut selama ini. No one is perfect ... so we just have to make the best with what we got! Itu komentar sobat bule saya --a democrat diehard-- ketika Bush akhirnya menjadi presiden Amerika, mengalahkan Al Gore. Saya kira sikap itulah yang perlu kita contoh dalam bernegara, dalam menjadi anggota masyarakat Indonesia. Mungkin ada yang tidak suka pada Megawati, dengan alasan apapun, tetapi dia adalah Presiden kita sekarang - marilah kita dukung dia paling tidak sebagai presiden kita. Bahkan seandainya kita benci pada Megawati (a lot of American dislike Bush), dukungan ini bukan untuk Megawati pribadi, tetapi dukungan pada fungsi dan kapasitas dan tanggungjawab seorang presiden dari satu negara/bangsa, Indonesia. Bulan lalu saya ketemu seorang assistant professor dari Santa Cruz yang datang ke Madison dalam satu seminar asia tengggara. Waktu lunch dia nyeletuk: Wah,kalau Megawati yang presiden apa nggak kacau, dia kan nggak tahu apa-apa ... Saya menjawab: Emangnya kalau bukan Mega terus nggak kacau begitu ... siapapun yang jadi presiden, betapapun pinternya dia, kalau digerecokin terus ya nggak akan pernah bisa bekerja. Kalau kita habisin energi kita untuk bertengkar terus, apakah ada yang tersisa untuk bikin betul urusan negara (masa pemerintahan Gus Dur yang baru berlalu adalah satu contoh yang nyata). Problem bangsa akan bisa dipecahkan kalau kita semua bahu-membahu, sebagai TEAM, bekerja untuk KEPENTINGAN BERSAMA (common good) - siapapun yang ada diatas sebagai simbol presiden tidaklah penting, pinter atau tidak. Pagi ini saya membaca tulisan Louise Williams di Sidney Morning Herald (23/07/2001), saya jadi ingat kembali percakapan saya dengan professor tersebut ... saya kutipkan paragraf terakhirnya: The problem with Indonesia, says a new group of young ideologues, is that of political power itself. Without a commitment to the common good, the revolving door will keep turning, with many of the same old faces going in and out in the name - but not the spirit of - democracy. So ... marilah kita dukung presiden dan pemerintah yang bari ini, demi COMMON GOOD, untuk kepentingan bersama. Ada perbedaan diantara kita, ada silang pendapat [dan kita masih terus menerus perlu bersikap kritis - sikap kritis bukan merongrong]. Justru perbedaan itulah membuat bangsa kita menjadi lengkap, dan kaya. Seperti bio-diversity dalam ekologi alam. Setiap individu bisa memberikan kontribusi menurut apa kemampuannya yang terbaik (satu contoh yang baik sudah ditunjukkan baru-baru ini oleh Tino). Itulah yang dibutuhkan oleh negara dan bangsa saat ini dan hari-hari berikutnya. Marilah sejenak kita lupakan pertengkaran politik (maupun fisik) kemarin itu sebagai satu mimpi buruk yang tidak perlu terjadi lagi, janganlah nasib kita ini seperti judul pesimistik tulisan Louise Williams yang saya kutip diatas, Ordinary Indonesians the losers as dreams of democracy fade. We don't have to be the losers. We gave a choice! Selamat bekerja di era baru, Moko/
Diskusi gaya Nasrullah Idris
At 9:40 AM -0700 7/28/00, Budi Haryanto wrote: |Saya heran bercampur sedih mengamati gaya diskusi rekan Acu ini. |Berangkat dari ide yang dia lontarkan ke berbagai miling list, apabila |ada yang menanggapi tulisannya, maka dia akan respon tanggapan tsb namun |tidak dipostingkan kembali ke miling list asal dari pemberi tanggapan, |malah dipostingkan ke miling list lain, |... Saya rasa cara diskusi seperti ini adalah tidak fair. Akhirnya ada juga yang mengangkat issue ini (thanks to Budi) ... mailing list itu bukan media massa -- walau setiap orang bisa jadi anggota, walau arsipnya bisa diakses lewat web, materi diskusi mailing list umumnya terbatas (exclusive) untuk mailing list itu sendiri. Sama sekali tidak fair --melanggar etiket umum, dan dalam kasus tertentu melanggar hukum-- untuk memforward tulisan seseorang dari satu mailing list tertentu ke mailing list lain TANPA SEIJIN penulis aslinya. Ini tidak fair, karena si penulis asli ini kemudian tidak punya kesempatan untuk menggunakan "hak jawab" nya apabila tulisannya disanggah, diblejedi, dipergunjingkan oleh anggota list lain yang tidak dikutinya. Meskipun "aturan" ini tidak explisit tertulis dalam FAQ atau bylaws tetapi common sense menunjukkan bahwa ijin dari penulis asli diperlukan kalau mau mengutip karya orang lain (ijin spesifik untuk apa atau kemana tulisan atau kutipan tersebut akan dipakai). [PS: Menurut konvensi Berner, hak-cipta sebuah tulisan OTOMATIS dipunyai oleh penulis aslinya tanpa perlu pernyatan yang eksplisit]. |Terkesan bahwa rekan Acu hanya ingin menunjukkan kalau dia bisa |melemahkan tanggapan orang lain dan menonjolkan pemikirannya. Setelah |itu selesai. Ganti topik ide lain, dan kalau ada tanggapan lagi lalu |dipostingkan di milis yang lain dengan menonjolkan dominasi |pemikirannya. Untuk kasus ini E R Juni menggunakan istilah "cyber-exhibitionist," walau istilah itu sendiri sudah berkembang di dubnia web dengan konotasi yang sangat berbeda (coba search web dengan keyword "cyber" dan "exhibitionist" :-). Kalau kita mau mengorek jargon psychology istilah yang mungkin sangat tepat adalah gejala "grandiosity" (delusion of grandeur) yang dirincikan sebagai "a psychotic disorder range from highly altruistic to being egocentric or narcissistic, and therefore self-serving." [Harris (1977), Psychotic Grandiosity. Psychiatry, 40(4), 344-51] ... sometime I imagine this NI subject as a very very lonely person, living in his own world, not much of socializing in the real world, and most likely had an attention-deprived childhood. |Cara-cara diskusi seperti ini bagi saya adalah hal yang baru dan terasa |sangat tidak enak dalam membacanya, karena sangat kentalnya muatan TIDAK |FAIR-nya. Di sisi lain, kita tidak pernah mendapat pembelajaran dari |diskusi dengan cara ini. Lalu, dimana dong pola pikir Detail, Tuntas, |Integratif, yang anda gembar-gemborkan? I doubt if he understands what he wrote ... as long as they sounds like "big words". Buat dia, makna tidak jadi masalah, yang penting kata-kata yang dipakai kelihatan "flashy", hebat, dan memberi kesan seolah-olah pemakainya intelligent. [Unfortunately, there is so much you can do with such limited vocabulary ... obviously he stretched the words so thin and recycles them over and over it bores us all to death] Tentu saja tidak cukup kata-kata yang "wah", tetapi ciri-ciri self-serving narccistic adalah "lawan bicara" yang wah (seolah-olah ada dialog dengan orang penting, bertukar pikiran dengan orang bergelar). Tentu saja ini sangat merugikan reputasi "lawan bicara" nya. Sebagai contoh, posting terakhir dengan Subject: # Industri Pesawat Terbang Nusantara -- perhatikan "#" yang konsisten dipakai oleh NI untuk menekankan pentingnya subject (so it looks like above the rest, the normal posting by everyone else). Lawan bicaranya (or must I say "kobannya") kali ini adalah "Dr. A Syamil Amerika Serikat" ... wah! Tidak terlalu penting bagi NI dalam "dialog" sehebat itu (dengan Dr, soal industri kapal-muluk lagi), untuk membaca dan memeriksa dalam tayangan sebelumnya (oleh Mardhika Wisesa, 25 Jul 2000) bahwa penulis artikel tersebut adalah "Agnes Samil" [EMAIL PROTECTED] dan BUKAN kawan kita di mailing list Permias ini, "A. Syamil" [EMAIL PROTECTED]. Dan cilakanya attribusi yang ngawur ini sudah di cross-post kemana-mana ... ini kan merugikan reputasi Bung Syamil. Perbuatan ini bisa dituntut sebagai "defamation of character." Refleksi: Ketika ada yang menyebut permias@ ini sebagai "mailing-list sampah" banyak yang tersinggung dan menjadi defensive. Akhir-akhir ini saya perhatikan mulai muncul tulisan yang complain tentang "sampah" nya sendiri -- even from those ROMs, read-only members .. they have had it!. And that's a good sign, an encouraging development. Paling tidak mulai ada yang acknowledge problem yang sesungguhnya, ada yang mulai mengenali mana saja yang sampah, dan siapa sih yang suka nyampah itu. Kadang mengherankan bagaimana orang kita [Indonesian] bisa
Re: The envelope please ... (was: Peace for permias!)
At 4:46 AM + 7/23/00, Nasrul Indroyono wrote: |Wah, Mas Moko, |Yang saya tahu, anda ini memang pelawak kawakan sejak dahulu |kala. I always enjoy your humorous comments and jokes. |Kalau nggak salah anda memang sudah terkenal sejak kuliah |di Jogja dulu. Bener nggak ? Sebagian bener, sebagian nggak ... Dahulu kala saya memang [sesekali saja, sebagai kegiatan extra-kurikuler] ikut semacam kelompok 'stand-up. Lumayan buat mengimbangi stress 24 kredit per semester :-) Tetapi dalam soal tulis-menulis saya lebih banyak dipengaruhi oleh gaya tulisan 'satire', seperti "Animal Farm" nya Orwell, misalnya. Reaksi pembaca beragam, ada yang senyum-senyum, ketawa, atau bergulingan di lantai, ada pula yang tersinggung, gondok, and hates my gut for that. I'm glad you belong to the group that's more 'enlightened' [and entertained]. Tentang Yogya, saya belum pernah kuliah di sana [may be some day], tetapi Anda bukan orang pertama yang keliru tentang ini. Ada kemungkinan orang pernah memergoki saya lesehan sarapan gudeg di tepi Malioboro, atau sedang menikmati nasi klenyernya Warung Pak Wongso di Kepatihan. |I guess you do not remember me by now because of your |incredible career success. Tidak mudah untuk "tidak ingat" di jaman Internet ini, karena pada dasarnya setiap tulisan adalah "permanent record" dari penulisnya, seperti dikatakan oleh Howard Rheingold dalam bukunya, "The Virtual Community" "Although online conversation might have the ephemeral and informal feeling of a telephone conversation, it has the reach and permanence of a publication." Selalu saja ada yang punya arsip tulisan kita di mailing-list, baiik arsip pribadi di komputer masing-masing maupun arsip publik ynag bisa diakses siapa saja. Jadi justru yang tidak wajar itu adalah kalau ada yang "gampang lupa", bahkan lupa pada apa yang telah ditulisnya sendiri beberapa hari sebelumnya. Agak sulit menjelaskan mekanismenya tanpa menggunakan pisau psycho-analysis (kemungkinan 'dementia', atau paling tidak 'denial'). Sampai sekarang saya masih tidak habis mengerti kenapa di Internet, terutama list Permias ini, masih ada saja yang suka "nyampah", omong jorok, main tuduh kiri-kanan ... apakah tidak sadar kalau mereka itu seperti menulis 'epitaph' nya sendiri, dan epitaph ini diasisoasikan dengan sesuatu yang baunya amit-amit jabang bayi. |Ngomong ngomong apakah masih sering ngambil syuting buat |acara TV ? Where are you now ? |Saya lupa, sebenarnya anda yang lebih cocok untuk jadi sutradara nih. |I am still nothing, nothing and nothing, but I am happy. Directing? ... sebetulnya saya lebih tertarik dalam bidang editing terutama dengan teknologi digital-video (DV) yang membuat urusan editing ini accessible (dan terutama affordable) untuk studio kecil-kecilan. Saya juga tertarik dalam screen writing, yang ternyata jauh lebih challenging daripada menulis cerita biasa (novel misalnya), karena kita tidak lagi bisa nggedobos bertele-tele [you can only pack a few words in 2-hour full-feature, and much less in short movies]. Sutradara merangkap screen writer juga tidak jarang kok [i.e the most celebrated M. Night Shyamalan in "Sixth Sense"]. Kalau ada waktu kita bisa angkat "Lenong Permias" kemarin ini ke layar perak. Anda bisa dengan mudah ambil bagian sebagai casting director :-) Dibawah ini saya kasih kesempatan ngintip seperti apa kira-kira script-nya (in cinematography standard) LENONG PERMIAS by Moko FADE IN: INT. PERMIAS@ - NIGHT EXTREME CLOSE-UP on a KEYBOARD, showing the tip of fingers typing rapidly. Gradualy ZOOM OUT showing ALPHABETS SOUP running on the MONITOR SCREEN ... BRAWI (O.C.) (whistling in tune of a patriotic song) PERMIAS yang ditunggangi oleh tokoh LSM ... Saya sanggup dan berani menulis nama ... BRAWI (cont'd) (in rage, no longer whistling) Masak "temen" saya diancam ... mengobok-obok rumah tangga orang lain ... ... etcetera etcetera CUT TO: EXT. FORUM@ - DAY CLOSE-UP on a COMPUTER MONITOR ... MESDIN Ada cerita negatif tentang keluarga mertua... SYAMIL (V.O.) Tidak ada di permias@ yang membeberkan itu... ... etcetera etcetera Moko/ * following the thread below * |From: Moko Darjatmoko [EMAIL PROTECTED] |To: Nasrul Indroyono [EMAIL PROTECTED] |Subject: The envelope please ... (was: Peace for permias!) |Date: Sat, 22 Jul 2000 09:29:32 -0500 | |At 5:35 AM + 7/21/00, Nasrul Indroyono wrote: | ||Wah seru juga baca tulisan w
Urband Legend (was: JAKARTA IS CRUEL, PLEASE BE CAREFUL)
Dear Netters, Even the DC's story is not true either. This is what commonly called an "urban legend", i.e. a short tale that is told and retold as true although it usually has little or no basis in reality or can't be confirmed one way or another. Whether we know it or not we've all heard them, usually as something that happened to a "friend of a friend". This particular urban legend is well documented since 1993 (the "orla tradition" went back long time before that). To get the complete account on this "Lights Out!" legend, click on the following URL: http://www.snopes.com/horrors/madmen/lightout.htm Moko/ * On 5/19/00, Mahendra Siregar wrote: |Mas Arya, | |Come on...the last thing that Indonesia needs at the moment are foreign |tourists who are running scared to visit the country because of |unsubstantiated e-mails. | |Jakarta seperti NY, London (dan tentu saja Washington, DC) atau kota-kota |internasional lainnya penuh dengan manusia dari segala macam lapisan. |Akibatnya, kejahatan adalah kejadian yang walaupun kita sesalkan terjadi, |tetapi memang terjadi setiap hari. | |Namun hal itu tidak perlu dibesar-besarkan, apalagi berdasarkan informasi |yang tidak berdasar namun dapat mengurangi jumlah wisatawan asing yang |datang. Kenapa saya katakan informasi tidak berdasar? Salah satu kutipan yg |anda forward di bawah ini, dalam versi bahasa Inggrisnya, justru pernah saya |lihat disebarluaskan untuk orang-orang yang tinggal di Washington, DC dan |disebarluaskan oleh polisi DC karena menyangkut kegiatan "gang members" di |sekitar DC. Jadi hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Jakarta atau |Indonesia. | |So please be careful in forwarding information like this. | |Salam |Mahendra | | |INFORMASI DARI PETUGAS POLISI | |Informasi ini didapat dari seorang petugas polisi : | |Berhati-hatilah bila anda mengendarai mobil pada saat hari sudah |mulai malam dan dari arah depan mobil anda berpapasan dengan sebuah |mobil yang tidak menyalakan lampunya sama sekali. JANGAN SEKALI-KALI |menyalakan lampu jauh anda ke arah mobil tersebut. | |Hal ini disinyalir merupakan pola "CARA-CARA INISIASI" yang berlaku |pada sebuah kelompok/gang tertentu. Pola tersebut adalah sebagai berikut : | |Anggota kelompok/gang yang baru masuk akan mengemudikan mobil |tanpa menyalakan lampu dan mobil pertama yang dijumpainya dengan |menyalakan lampu jauh ke arah mobil mereka akan menjadi sasaran mereka. |Mobil anggota kelompok tersebut akan berputar dan mengejar mobil sasaran, |kemudian melepaskan tembakan ke arah mobil sasaran, untuk melengkapi |syarat-syarat penerimaan mereka sebagai anggota yang sah ke dalam kelompok |gang. Pastikan untuk memberitahu hal ini kepada para pengemudi yang lain |serta |anggota keluarga anda.
Re: Elementary ... my dear Watson!
On 4/10/00, Jeffrey Anjasmara wrote: | Yang di bawah ini, bagaimana kalau anda sediakan tiketnya? It would be a waste of $ | Buat yg memandang istilah Mahaguru Gs Durno adalah jorok (terutama | buat Budi), silakan baca lagi kisah Mahabarata. Tidak ada yg jorok | karena setiap tokoh mempunyai dua sisi tak terkecuali Mahaguru Durno. | Untuk saat ini perilaku Gus Dur yg disanjung-sanjung walaupun sering | terpeleset mirip sanjungan Kurawa dan Pandawa kepada sang mahaguru. | Kalau anda belum sampai ke pemikiran ini, shut up lalu baca. Saya nggak | pintar, tetapi tidak perlu kepintaran untuk membaca saja sih:) | | Semua analogi saya dari dulu bukan sekedar serapah. Saya lihat | Moko rajin mencatat setiap istilah yg saya buat. Tampilkan di | sini nanti saya sampaikan reasoningnya. Itu kalau anda nggak malu kok | nggak tahu 'opo wijine'. Jaya, Jaya, Jaya ... atau Anjasmara ... mau sembunyi kemana lagi? Lha sekarang kok malah mencoba "berlindung" dibalik cerita wayang. Kalau mau "insult the intelligence" dari sidang pembaca Permias Net ini mbok ya kira-kira. Apa dianggap anggota list ini nggak bisa baca konteksnya, atau seakan semua orang itu "buta wayang" sama sekali (on the contary, a number of people I know are very articulate in the subject of wayang and javanese lores). Bisa saja dibuat seribu "penjelasan" sesudah peristiwa terjadi, untuk mengurangi kadar joroknya, tetapi konteks dimana kata-kata tersebut dipakai tokh tidak bisa menipu. Apakah labeling komunis, atheis itu memang rutin dipakai dalam dunia pewayangan? Demikian juga, apakah ada orang --dengan intelegensia normal-normal saja-- bisa salah mengerti kalimat dibawah ini sebagai "sanjungan" kepada Gus Dur "Wahai mahaguru Dur-jana, siapakah engkau? Ulamakah? Ataukah seorang komunis tulen berbulu Islam?" (Anjasmara/Jaya) Dalam paribasan Jawa kuno --yang sudah jarang terdengar dalam pegelaran wayang jaman sekarang-- pembelaan yang Anda lakukan ini disebut "ambalithuk kukum" - artinya melanggar hukum/peraturan dengan belagak pilon, pura-pura bego tidak tahu aturan, atau tidak tahu malu. Semakin saya renungkan, mungkin ada benarnya juga kalau ada yang mengusulkan bantuan seorang professional. Bukan tidak mungkin ini memang problem Multiple Personality Disorder (MPD) --sekarang sudah diganti nama dengan Dissociative Identity Disorder (DID*)-- dimana dominant personality yang muncul adalah Anjasmara. So please, Mr. Anjasmara, would you call out Mr Brawijaya, or tell him this message? He may be the only hope to get out from this mess. [* yang tertarik pada masalah DID, Anda bisa mencari informasi yang lebih komprehensip di Sidran Foundation (www.sidran.org) atau International Society for the Study of Dissociation: (www.issd.org) ] Tulisan saya ini merupakan yang terakhir dalam thread ini (I have much better things to do). Seandainya yang telah saya tulis ada gunanya, jadi semacam obat [walau kadang terasa pahit] saya akan sangat senang - send me feedback, japri saja. Kalaupun tidak, well ... some cases are just incurable -- as my doctor always says. Kalau ada yang merasa tersinggung ... maapin deh, tetapi ini bukan apologi dalam artian, apa yang saya tulis adalah sesuatu yang sudah saya pertimbangkan masak-masak. Sesuatu yang perlu --dan akan saya ulangi lagi dalam situasi yang sama-- untuk diungkapkan; so that we may all, as a community, learn from it. Akhirnya saya akan tutup dengan pitutur Jawa kuno, tetapi masih sangat relevan dengan tatacara ber-mailing-list-ria di jaman cyberspace ini: "ajining salira saka wicara." Ujar-ujar supaya manusia itu hati-hati, penuh pertimbangan dalam menggunakan mulut (kata-kata) nya. Ini begitu penting terutama buat mereka yang sering omong atau nulis di net, supaya tidak mengalami nasib seperti "dhalang kambrukan panggung" - yang mengibaratkan orang yang mengalami kesulitan atau kesengsaraan sebagai akibat dari kata-kata yang diucapkannya. 'nuf said, tanceb kayon. Moko/ Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan. Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kaling donya iki, satemahe kaliren wekasane. -- R. Ng. Ranggawarsita [ Terjemahan bebas (kalau ada yang lebih baik, please...): Untuk dibuktikan, yang mengalami jaman gila, jaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut edan tidak tahan. Apabila tidak ikut menjalani, sudah pasti tidak kebagian, memiliki harta dunia, sehingga pada akhirnya kelaparan. ]
Re: Elementary ... my dear Watson!
On 4/9/00, Jeffrey Anjasmara wrote: | Moko, sudah banyak yang mengenal saya secara pribadi. Saya juga sempat tulis | bahwa tidak sulit untuk men-trace jati diri. Selanjutnya saya sudah tulis yg | jadi permasalahan apa perlu sih? Sebetulnya pula banyak yang menulis secara | pribadi secara bolak-balik. So? So there is no problem, kan? kan sudah banyak yang tahu, alias menjadi sudah menjadi "rahasia umum" - dan yang saya tulis juga informasi yang bisa diakses oleh umum. So, you don't ahve to worry | Tulisan anda atau tulisan Datubara tidak akan mengubah sikap saya dalam | memandang suatu masalah. I can only -and always do- speak for myself (jadi jangan dicampuraduk dengan tulisan Datubara atau yang lain). Saya tidak pernah punya keinginan merubah sikap Anda (atau orang lain) dalam melihat satu masalah. Itu karena saya tahu pasti bahwa usaha semacam itu sia-sia. Perubahan hanya datang dari dalam diri sendiri. Diskursus dalam forum elektronik seperti Permias Net ini memberi kesempatan yang satu belajar dari yang lain, tetapi perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh diri sendiri. Seperti kata Dan Limon, "You can learn from people, and educate others, but the only one you can change is yourself." Jadi, memang saya tidak berpretensi untuk bisa merubah "kebiasaan jorok" Anda di Net (seperti disinggung oleh Budi haryanto), tetapi tidak berarti bahwa omongan jorok tersebut tidak lagi mengusik citarasa [berdiskusi] saya atau perasaan kesantunan umum. Saya masih tetap terganggu kalau ada orang yang seenaknya melabel orang lain komunis, atheis, dsb. - saya yang cuma ikut dengar saja terusik, apalagi yang kena label. Saya tidak punya masalah dengan perbedaan pendapat, bahkan pendapat yang berlawanan dengan popular view, kebijakan pemerintah, tetapi rasa kesantunan saya tetap terusik kalau ada yang melecehkan nama atau sebutan orang lain -- yang tidak ada kaitannya dengan pendapat yang ditentang tersebut. Masih ingat dengan tulisan Anda yang pernah saya kutip di tulisan yang lalu: "Gus Dur alias Mr. Wa-Hyde memang benar-benar buta dan bebal." Dan yang baru saja muncul dalam hari-hari kemarin ini: "GusDurno," atau "Wahai mahaguru Dur-jana, siapakah engkau? Ulamakah? Ataukah seorang komunis tulen berbulu Islam? No, saya tidak bisa melarang orang omong jorok, apalagi merubah kebiasaan omong jorok seperti itu ... "emang ude dari pu'unnya!" kata orang Betawi. Ada yang mengajurkan "delete" saja (dari pada ribut), tetapi ini juga tidak membuat masalahnya terus hilang, seperti problem bau busuk sampah, tidak bisa hilang dengan menganggap sampahnya tidak ada. Dulu saya percaya pada ujar-ujar lama "sticks and stones will break my bones, but words alone will never hurt me" -- tetapi ternyata "kata-kata" bisa juga melukai (dan exchange di mailing list ini ya cuma pakai kata-kata belaka). Label seperti "komunis", "atheis", dan olok-olok kotor lain yang dengan 'casual' suka Anda obral itu ternyata melukai, terutama buat yang kena label. Dan kalau direnungi lebih lanjut -dari pengamatan dalam hidup- kata-kata tersebut bisa membuat orang sengsara, dikucilkan bahkan dibunuh. Ini mirip efek dari teriakan "rampok, rampok" di pasar, yang sering berakibat penganiayaan, pembantaian, pembakaran hidup-hidup di masyarakat kita. Mungkin si Brawijaya tidak pernah merasakan ini sendiri, karena kalau ada yang marah, yang balik mencaci-maki, sumpah-serapahnya pergi ke si Anjasmara -- karakter yang Anda (Brawijaya) ciptakan pada tanggal 14 Jul 1999 itu. Saya percaya pada azas dari hampir semua hukum dimasyarakat beradab, yaitu "the accused has the right to confront the accuser." Jadi, paling tidak yang sering dilabel komunis, atheis, dsb. itu tahu SIAPA yang menuduhnya begitu. It is only fair! Dan mungkin dengan identitas ganda (Brawijaya = Anjasmara) yang sudah menjadi 'public knowledge' ini, kebiasaan jorok seperti itu bisa berkurang. Paling tidak sekarang ini ada individu manusia --bukan 'non-person' seperti Anjasmara-- yang bisa kemudian diminta pertanggungjawaban atas tuduhannya. Itu semua memang cuma 'teori' atau persisnya harapan saya. Tetapi teori ini bisa di-test (don't take my words for it, try it yourself): Apakah si Brawijaya besok berani ngomong apa yang ditulisnya ini didepan orangnya sendiri - face-to-face, mano-a-mano? (pasti banyak yang pergi dari Troy ke pertemuan si KBRI Wasington, jadi bisa ngajak carpooling): Mathori lagi? Si Plin-plan penjilat kelas satu itu? Nih, Mathori dengan mengatasnamakan PKB langsung meng-iya-kan waktu Gus Durno mempunyai ide pencabut TAP MPRS itu. Setelah itu baru kebingungan dengan reaksi masyarakat, dan akhirnya fraksi dari PKB di MPR-pun ambil jalan aman diam saja. Cuma dari sini kita bisa tahu bagaimana tipe-tipe Mathori ini yaitu tipe Kiss Boss' Ass. Anjas -- Moko/ "He that never changes his opinions, never corrects his mistakes, and will never be wiser on the morrow than he is today." -- Tryon Edwards
Elementary ... my dear Watson!
Elementary ... my dear Watson! (The case of not-so-elusive Jeffrey) "Prestasi intelektual seseorang di bidang kerahasiaan tidak hanya ditentukan: apakah bisa dibongkar atau tidak ini sih pemikiran kuno. Juga berapa lama rahasia itu bisa disembunyikannya FNU Brawijaya telah memperlihatkan kelas intelektualitasnya tentang itu." -- Nasrullah Idris Kembali ada bahan yang 'stimulating'untuk menulis di akhir minggu ini. Kalau ada yang menaruh simpati (atau tepatnya "kasihan" -- I do!) itu hal yang biasa, karena pada dasarnya di list ini juga masih banyak orang yang 'baek-baek' (decent, compassionate, or simply nice folks), tetapi kalau kemudian ada yang memuji "kelas intelektualitas" nya ... nah, ini baru berita! Apa yang bisa dibilang "intelek" dari kemampuan mengganti isi field "Return Address" di email program yang kita pakai? Semua orang yang mengerti letak huruf-huruf A-B-C... di keyboard komputer bisa melakukan ini -- rumor has it, that even Boogie can do better tricks [Note: Boogie is the legendary and elusive cybermonkey I mentioned in my high-brows joke on my recent email -- I know, not very many people get the joke (read again: "Darwin Cybermonkey Theory " - 8 Mar 2000). Sebetulnya banyak yang sudah tahu (atau menduga) siapa sesungguhnya si "Jeffrey Anjasmara" ini. Tetapi seperti sudah saya tulis, kebanyakan mereka itu "orang baek-baek", jadi tidak terlalu mempersoalkan masalah ini. Kebanyakan orang lebih tertarik dan mendasarkan penilain pada materi dan isi tulisan, yang lebih mencerminkan karakter seseorang, ketimbang isi "return address" nya. Tentu saja pendapat umum ini akan berubah bila hal-hal diluar kewajaran dilakukan, kalau identitas palsu/samaran tersebut dipakai untuk maki-maki kiri-kanan atau kelakuan "jorok" (pinjam istilah Budi Haryanto), kalau anonimitas [semu] tersebut dimanfaatkan sebagai 'unfair-advantage' (so he can "safely" harass, threaten, and berate others). Walau setiap orang punya alasan pribadi mengapa musti "sembunyi-sembunyi" seperti itu, saya sangat sependapat dengan pendapat Irwan Ariston: "Toh sekarang sudah jaman reformasi, kenapa kita masih takut untuk bersuara kalau memang kita yakini apa yang kita omongkan itu bisa dipertanggung jawabkan dan juga punya tujuan baik." Selanjutnya Irwan menyarankan 'wayout' yang tidak kalah menariknya (or 'amusing', to be exact): " Kalau ternyata hal tersebut memberatkan, saya sarankan sih untuk membuat email baru lagi sekalian bangun karakter baru agar tidak bisa dikenali." Sebetulnya ada cara yang lebih elegan (dan jantan), seperti sudah saya anjurkan dalam email yang lalu "to tell us who you really are", atau just make a 'gentle exit' - pelan-pelan lengser atau menghilang begitu orang lain mulai menunjukkan kecurigaan. It may not be something to tell home about, but it could save so much face. Ada beberapa email (japri) yang intinya menanyakan kenapa saya kok begitu "yakin", sampai berani menganjurkan hal-hal diatas. Well, sebetulnya saya nggak sampai hati buka rahasia [on the other hand, I can't tolerate abusive behavior), tetapi karena sekarang sudah menjadi rahasia umum (siapa 'Jeffrey Anjasmara' ini) - sekarang saya bisa menunjukkan bagaimana saya tahu dengan pasti. It is very simple, the clue is out there in the list itself. Anyone can have akses to the clue. Begini ceritanya: Dalam setiap email --yang sebetulnya merupakan kumpulan paket-paket kecil atau 'datagram'-- selalu ada identifikasi dari mana dan mau ke mana paket email tersebut akan pergi. Sebetulnya tidak beda dengan menulis address kalau kirim apa-apa lewat pos. Return address biasanya ada, secara konvensi sebagai alamat pengembalian, kalau yang dikirim -karena sesuatu hal- tidak sampai alamat yang dituju. Singkatnya, supaya pembicaraan ini tidak kelewat teknis, di header email kita selalu ada identifikasi dari mana email tersebut dikirim, yang sering diberi label sebagai "Originating-IP" [Catatan: "Full header" ini kadang tidak kelihatan karena 'default setting'nya begitu, kalau pakai Eudora, tinggal pencet button "Blah-blah" nya]. Apakah "Originating-IP" itu? Ini adalah IP# atau nomor IP (Internet Protocol), serangkaian angka 'oktet' yang di-assign secara unik pada setiap mesin yang terhubung ke Internet. IP# di komputer itu kita bisa tetap (fixed) atau sementara (dynamic). Kalau hubungan itu "sementara", misalnya dengan cara dial-up yang lazim kita pakai itu, IP# ini adalah yang di-assign ke port dari terminal server (dial-up pool) yang kita pakai (apakah itu University dial-up ataupun ISP). Dibalik satu (atau lebih) nomor telpon untuk dial ke kampus atau ISP itu ada beberapa ratus (atau ribu, tergantung jumlah pemakai) modem yang menerima permintaan koneksi. Setiap modem terhubung pada sebuah IP-port, dengan IP# yang unik diatas. Setiap kali kita kita memulai hubungan modem, komputer kita mendapat IP# sesuai dengan modem yang *kebetulan* avaialable. Lebih sering ketimbang tidak, kita
Re: Lahirnya Partai Komunis Indonesia (Re: Komunis berbulu Islam atau Islam ...)
On 4/4/00, Faransyah Jaya wrote: Mungkin memang takutnya dengan komunis Indonesia. Kalo komunis Indonesia saya pribadi juga khawatir. Dari cerita Orang tua langsung sih memang komunis "Indonesia" itu sadis. Faran, "sadis" nya itu bukankah karena "Indonesia" nya ... tidak peduli apakah itu komunis atau non-komunis (artinya: ya tentara, ya mereka yang ngakunya beragama, dsb.) Sampai sekarang saya masih terbayang pemandangan masa kecil, kepala-kepala yang dicocok pada galah bambu sepanjang jalan raya di Jawa Timur. Ini terjadi setelah PKI dilumpuhkan secara total. Orang bilang itu kepala orang-orang PKI, ateis, atau mungkin orang yang lagi sial saja -- seperti tetanga saya yang mendadak lenyap, "in the wrong place at the wrong time." Pembantainya? ... apakah pembantainya orang-orang "komunis" yang sadis itu? Lho logikanya gimana sih, kan komunis (PKI) sudah lumpuh, kan orang-orangnya sudah habis ditangkapi pada waktu itu? Ingatan paling 'traumatik" adalah tentang guru agama di SMP saya dulu. Dia suka bawa pedang kemana-mena termasuk waktu di kelas pelajaran agama. Dengan bangga dia bercerita, bahwa semalam sudah menebas kepala yang ketujuh ... "tinggal dua lagi," katanya, "habis itu karcis ke surga boleh dibilang sudah di tangan." Tiba-tiba saya ingin muntah -- saya pamit ke WC, dan tidak pernah kembali ke kelas guru berpedang itu sampai lulus SMP 2 tahun kemudian. Lha itu kan jaman dulu, jaman kacau ... Jaman sekarang sebetulnya lebih mudah lagi ... tinggal lihat berita koran lokal saja. Meniru metode yang sering dipakai Noam Chomsky (MIT) ini saya ambil sample headline di Kompas rubruik METROpolitan. harap diingat saya tidak mengutip Pos Kota, tetapi harian Kompas, koran yang amat "jinak" itu -- atau "banci" meminjam olokan Ben Anderson (Cornell). Headlines dari minggu lalu (Senin sampai Sabtu) ... Senin, 27 Maret 2000 * Program Penertiban Umum tidak Tercapai Program 100 Hari Gubernur DKI Jakarta, untuk menegakkan ketertiban umum dan taat hukum, tampaknya tidak tercapai * Maling Motor Tewas Dibakar Aksi main hakim sendiri oleh massa terhadap pelaku tindak kejahatan, kembali terjadi di Tangerang, Sabtu (25/3) malam Selasa, 28 Maret 2000 - * Personel Tentara "Ngamuk", Tewaskan Pemilik Kafe Dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD berpangkat sersan satu (sertu) mengamuk di Tangerang, Senin (27/3) sekitar pukul 04.30 * Tak Tanggapi Cinta, Erni Tewas Digorok Erni Kusumawati (20), karyawati perusahaan swasta, ditemukan tewas dengan leher hampir putus di dalam kamar rumahnya di Kampungbaru RT 03/02 Desa Karangasih, Kecamatan Cikarang, Bekasi, Senin (27/3) dini hari * Seorang Wanita Perancis Tewas di Tangan Perampok Silvy Maupin (39), seorang ibu berkewarganegaraan Perancis, ditemukan tewas di tempat tidurnya di Jalan Madrasah II Buntu Kemang, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, pukul 04.40 hari Senin * Polisi Masih Periksa Abi dan Teman-temannya Aparat Kepolisian Resor Metro (Polrestro) Jakarta Pusat sampai Senin (27/3) sore masih memeriksa Abi Suryosumarno dan enam temannya, yang diduga keras mengetahui pengeroyok hingga tewas Bharatu Abraham Mao dan Belly Sihombing di BC Cafe, ... Rabu, 29 Maret 2000 --- * Polisi Tembak Mati Dua Penodong Polisi menembak mati Iwan dan Asep, dua dari empat penodong yang biasa beroperasi di perempatan di Jalan Perintis-Yos Sudarso, Kelapagading, Jakarta Utara, Senin (27/3) malam * Lima Bangunan Terbakar di Matraman Seorang anggota Marinir terluka akibat pengeroyokan dan lima bangunan terbakar dalam sebuah keributan antarwarga di Jl Matraman Raya, Jakarta Timur, Selasa (28/3) petang * Tersangka Pembunuh Ditahan di Pomdam Fe dan Ro, dua anggota TNI AD berpangkat sersan satu (sertu), tersangka pelaku pembunuhan Novelim Jemi (42), pemilik Kafe Duta 168 di Taman Cibodas, Jatiuwung, Kota Tangerang, pada peristiwa hari Senin pagi, mulai Selasa (28/3) kemarin dit Kamis, 30 Maret 2000 * Polisi Ringkus "Bos" Belasan Kelompok Pencuri Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menangkap Musadar, seorang tersangka penadah barang curian dengan enam orang pencuri suruhannya, di Jalan Kebonbawang XV RT 018/02, Tanjungpriok, Jakarta Utara * Gagal Rampas Uang, Perampok Menembak Korbannya Dua perampok bersenjata api gagal merampas uang sebesar Rp 273 juta milik perusahaan pelayaran PT Sriwijaya Lloyd yang baru saja diambil di Standard Chartered Bank, Jakarta, Rabu (29/3) sore Jumat, 31 Maret 2000 * Tiga Pencuri Tewas Dihajar Massa Tiga pencuri di tiga kota, Bogor, Tangerang, dan Bekasi tewas secara
Re: WOW! Plagiarism
At 9:33 PM 3/15/00, Ramadhan Pohan wrote: |Begitu buka Detikcom, eh saya lihat ada topik menarikSelanjutnya: |http://www.detik.com/pembaca/2000/03/14/2000314-170745.shtml Sebelum terlalu jauh 'ngalor-ngidul' ada baiknya kita sepakat dulu dengan pengertian yang sama apakah "plagiarism" itu. Menurut definisi di Funk and Wagnalls' New Standard Dictionary (1921) adalah: 1. The act of plagiarizing or appropriating the ideas, writings, or inventions of another without due acknowledgment; specifically the stealing of passages either for word or in substance, from the writings of another and publishing them as one's own. 2. A writing, utterance, or invention stolen from another. (Funk, 1921) Menarik untuk dicatat bahwa praktek plagiarism ini disebut "plagiary," yang punya arti lain sebagai "kidnapping." Urutan etimologinya adalah kata Perancis "plagiaire" yang berasal dari kata Latin "plagium" yang artinya "kidnapping" (Funk, 1921). Dalam suratnya ke detikcom, penulis membuka argumennya dengan mengecilkan permasalahannya, seolah-olah ini hanya kesalahan teknis "data primer vs sekunder" belaka ... Saudara Ipong divonis berdasarkan laporan Nurhasim yang mengklaim bahwa sang doktor menciplak data sekunder miliknya. Klaim ini ternyata sangat ampuh sebagai 'primary evidence' dalam mengadili masa depan dan karir Ipong. (detikcom) dan selanjutnya digambarkan seolah-olah Dr Affan Gaffar itu "ringan [tangan]" terhadap anak bimbingnya sendiri. Affan Gaffar sebetulnya hanya menganjurkan agar Ipong menyerahkan sendiri gelar doktornya ke UGM (Bernas 27/12). Affan juga mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen isi disertasi Ipong persis skripsi Nurhasim. Memang kita tidak bisa mengatakan secara pasti tanpa membaca karya bermasalah tersebut, tanpa membandingkan disertasi di UGM dan tesis di Unair tersebut. Tetapi membaca komentar mereka yang mengetahui 'first hand' seperti Affan, dan yang lain (kalau anda rajin membaca Bernas), jelas masalah ini bukan sekedar urusan "data sekunder" seperti berkali-kali juga dikatakan oleh Ipong, tetapi bisa dibilang seluruh disertasi itu sendiri adalah jiplakan. ... Ikrar Nusa Bhakti yang mendampingi Mochamad Nurhasim, mengatakan penjiplakan yang dilakukan Ipong dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku ini memang terlihat jelas. Disebutkan, 99 persen isi halaman 88 hingga 179 bukunya yang berjudul "Radikalisme Petani Masa Orde Baru merupakan salinan dar skripsi Nurhasim Sedangkan isi Bab II buku itu, katanya, memiliki substansi yang sama dengan skripsi Nurhashim, cuma berbeda dalam pengeditan dan pemindahan-pemindahan tema. (Bernas) Saya setuju dengan penulis bahwa problem plagiarism ini tidak berdiri sendiri -- dalam artian "sistim" pendidikan kita ikut memudahkan terjadinya kejahatan intelektual tersebut, jadi memang harus diperbaiki secara menyeluruh, bahkan mulai level sekolah dasar -- tetapi kejahatan itu sendiri tidak lalu berkurang bobotnya. Ini kan tidak ada bedanya dengan seorang pencopet yang berkilah didepan hakim "lha polisinya cuek saja" atau mencopet itu okay, karena "salahnya sendiri bawa duit banyak", dst. Apakah cueknya polisi atau lengahnya membuat mencopet itu jadi boleh dilakukan? atau lebih "enteng" kadarnya? Saya juga sependapat bahwa komunitas akademis harus introspeksi, bahwa kasus Ipong ini hanya merupakan pucuk dari sebuah gunung es yang sangat besar. Akar dari problemnya sangat mendasar. meluas dan sistemik. Ini menyangkut "pendidikan" --baik formal maupun informal-- yang gagal membentuk individu yang punya harga diri dan integritas manusia. "Kesempatan membuat orang jadi maling" -- terjemahan bebas dari peribahasa Belanda yang sering dibilang ayah saya dulu. banyak yang memilih pembenahan sistimnya dulu, kalau disuruh memilih prioritas antara yang berniat jahat dan struktur lembaga/masyarakat yang memungkinkannya melaksanakan niat jahat. Tetapi bagaimanakah bisa dipisahkan antara sistim dan pelaku-pelakunya -- kecuali dalam masyarakat yang hidup dalam kebohongan? Moko/ "Pengakuan" sang doktor ... (dalam keadaan sadar :-) "Saya ndak percaya lagi dengan Nurhasim. Jadi semua data yang saya ambil dari skripsinya akan saya hapus dan saya akan mencari data primer yang hilang dengan mengacu pada empat teori gerakan petani yang saya gunakan dalam disertasi saya." (Bernas 25/2).
Darwin Cybermonkey Theory
|Saya pernah dengar bahwa sebenarnya Darwin itu tidak pernah | menyimpukan [sic] bahwa Manusia itu berasal dari Monyet. |Kalau sampai terjadi kontroversil tersebut akibat sepak-terjang | oknum cendekiawan Yahudi dengan jalan mendramatisasikannya. |Mohon konfirmasi yang sebenarnya. Ada yang tahu ? Dear Netters, That is the most ridiculous BS I've ever heard so far. I doubt that they guy who wrote the above statement knows anything about Darwin's Evolution Theory. One thing for sure though: he was born hating Jews (ironically, he never knows nor even meets any of them). BTW ... an evolution-related theory has recently been circulating in the Net. This new theory goes something like this: "Given *enough time*, a monkey pounding on a typewriter (or modern-day word-processor) could eventually produce a sonnet, or even the complete works of Shakespeare." In apparent attempt to mock Darwin's grand idea on evolution, the new theory, dubbed as "The Cybermonkey Theory," argues that the chance of life springing from inorganic matter is as good as finding the monkey capable of writing a Shakespearean sonnet. Not everyone agrees. Dr. Ian Musgrave from Prince Henry's Institute of Medical Research showed that "the probability of a given page of any text being generated randomly is roughly 1 in 10^1000, assuming 200 words per page, and average word size of 5 letters (not counting punctuation or whitespace)." Dr. Musgrave further wrote that generating the 32 amino acid self-replicating Ghadiri ligase at random has a probability of 1 in 4.2x10^41, and the probability of generating a given sequence of the 101 amino acid peptide cytochrome C is 2.5 x 10^131. Score 1-0 for the amino acids. [Note: amino acids are building blocks of every living things] He added, that in a global ocean of 10^20 litres, with an amino acid concentration of 1x10^-6 molar, there are something like 1x10^50 potential starting chains. Assuming that it takes a week to generate a sequence, then the Ghadiri ligase could be generated in one week, and any cytochrome C sequence could be generated in a bit over a million years (which is very reasonable in evolutionary/geologic time scale). To demonstrate the theory, a nice Java script has been written to simulate a monkey pounding a typewriter. You can hear the click-clacking of the typewriter at the site (http://www.playlink.com/staff/dfox/monkey.htm). Meanwhile, other experts approached this issue with different attitudes. Take for example this fellow "Doctor Adam Safran." Immediately he founded the "100-Monkeys Project", apparently inspired by the SETI project (Search for Extra Terrestrial Intelligence), so he can get help from the Net community. And so began the Search for Intelligent Monkeys on the Internet (SIMI) Project in early spring of 1999. Visit the site (http://www.100monkeys.org/) I always consider myself a die-hard skeptic, but recently I have a doubt. May be ... well, could it be possible that there such a monkey? could it be that it is already running around the Net sending e-mail and cross-posting here and there. This could explain the so many unintelligible messages arrive daily in our inbox. That could also be Boogie, the popular monkey who left the SIMI project on August 15. As of this writing, Boogie has not reported back. He's still lurking out there. Perplexed, Moko/
Re: Sistem Pemilihan Presiden AS dan Indonesia
At 1:03 PM 2/25/2000, Mahendra Siregar wrote: | Saya menyarankan kita dapat mendiskusikan dan membandingkan sistem | pemilihan presiden di Indonesia dan AS sebagai masukan bagi MPR dan | Pemerintah RI yang akan membahasnya bulan Agustus tahun ini. Hal | ini sangat penting karena saya melihat banyak diantara para | pemimpin kita yang memiliki pemahaman keliru mengenai sistem | pemilihan presiden di AS dengan mengatakan bahwa sistem pemilihan | Presiden di AS dilakukan dengan sistem langsung. Setahu saya hal | itu tidak benar, karena sistem pemilihan di AS adalah tidak | langsung baik untuk tahap penyisihan (primary atau caucus) maupun | pemilihan umum (general election). | Dalam tingkat penyisihan, rakyat AS memilih delegates dari | masing-masing partai yang akan hadir pada konvensi nasional partai | itu pada bulan Agustus. Dengan kata lain, rakyat AS memilih | delegasi yang pada bulan Agustus nanti akan memilih calon Presiden | dari partai Republik, Demokrat dan Reform. | Setelah konvensi nasional masing-masing partai menetapkan calon | presidennya masing-masing, maka mereka akan bertarung dalam pemilu | bulan Nopember. Pada pemilu Nopember itu, rakyat AS memilih | electors dari masing-masing distrik yang kemudian akan menetapkan | siapa presiden AS dalam suatu mekanisme atau lembaga yang disebut | electoral college. Dengan kata lain, dalam tahap inipun rakyat AS | tidak memilih langsung presidennya tetapi melalui perwakilan. | Maka kalau ada orang yang mengatakan bahwa sistem pemilihan | presiden di AS dilakukan langsung oleh rakyatnya, maka saya menjadi | bingung. What do you think? Sebetulnya tidak sesederhana itu ... untuk membandingkan secara betul orang harus memahami dulu sejarah dan sistim politik Amerika (cukup dari pelajaran Civics-101 di highschool atau informasi yang banyak tersedia di Internet). Ini penting sekali, supaya pembicaraan tidak jadi ngalor-ngidul, tetapi fokus membedah substansi yang sama. Apakah pemilihan presiden Amerika dilakukan langsung oleh rakyat, jawabnya adalah YA dan TIDAK (or "it's not that simple!"). Dalam election, rakyat 'mencoblos' nama individu calon presiden. Kalau ini dikontraskan dengan pemilu yang selama ini dilakukan di Indonesia, jawabannya adalah YA. - karena rakyat Indonesia TIDAK mencoblos nama calon presidennya, bahkan tidak juga memilih wakil (electors) yang nantinya memilih presiden. DI pemilu kita rakyat hanya memberikan suaranya kepada PARTAI peserta pemilu. Jawaban kedua: pemilihan presiden Amerika TIDAK dilakukan langsung oleh rakyat, karena yang menentukan pemenang itu bukan majoritas (setengah tambah satu) dari popular votes, tetapi majoritas dari electoral votes -- yang diberikan oleh para electors dalam lembaga sementara yang dinamakan "Electoral College" -- yang tugasnya cuma sehari: ketemu, masukkan suara, dan kemudian bubar. Electoral College ini dahulu dibentuk oleh 'founding fathers' sebagai kompromi antara pemilihan presiden oleh Congress (wakil state) dan langsung oleh rakyat (popular vote). Perlu dicatat bahwa bentuk "Federal" itu sendiri merupakan kompromi antara kedaulatan State (dan rakyatnya) dengan perlunya pemerintah pusat yang kuat. Electoral College terdiri dari 538 electors - satu untuk 435 anggota House of Representatives (wakil rakyat, tergantung hasil sensus) dan 100 untuk Senators (wakil negara bagian, 2 setiap state), ditambah 3 untuk District of Columbia. Siapa yang menjadi electors ini? Daftar calon electors biasanya ditentukan oleh partai politik, kecuali Maine dan Nebraska, dimana 2 electors dipilih oleh popular state vote dan sisanya oleh popular vote disetiap district (akibatnya ada kemungkinan terjadi daftar campuran, bukan dari satu partai). Tiap negara bagian punya aturan yang berbeda. Meskipun konstitusi dan hukum federal tidak mengharuskan electors untuk memilih sesuai dengan popular vote di negara bagiannya (biasanya berkaitan dengan partai majoritas), ada pula beberapa negara bagian yang mengharuskan begitu. Kepada para pembangkangnya ("faithless elector") bisa dikenakan denda, diskualifikasi atau pembatalan vote (dan kemudian digantikan oleh substitute elector). Sepanjang sejarah ada ide-ide untuk merubah sistim yang berlaku sekarang (misalnya proposal 1977 untuk amendment konstitusi untuk pemilihan presiden secara "langsung-sung!" -- pinjam gaya bahasa Malang), tetapi sampai saat ini model electoral college ini masih dianggap paling 'robust' dan cocok dengan pemikiran yang melandasi model pemerintahan federal Amerika. Pros dan cons dalam issue ini tentu saja masih akan terus berlangsung. Kita bisa banyak belajar dari pengalaman sejarah Amerika dan dari diskusi yang masih terus bergulir ini. Seharusnya diskursus yang terbuka dan bebas seperti itu juga bisa dilakukan di tanah air. Waktunyapun masih cukup masih cukup. Masih ada waktu hampir 5 tahun untuk membicarakan dengan kepala dingin. Dan kalau masih belum sempurna bisa dilanjutkan untuk 5 tahun berikutnya -- tidak ada "harga mati" dalam
Re: (Ilmu perpisangan)
At 9:38 AM 2/19/2000, Budi Haryanto wrote: |Eh.., ngomong-ngomong kamu mau bikin Pisang goreng, Pisang tepung, atau |Tepung goreng sih? (Kang Acu, permisi numpang pinjem konsep 'kombinasi' dan |'kompetisi'nya). Kalau dikaitkan dengan 'mati', kelihatannya risiko dari |makan dua jenis yang tersebut terakhir lebih tinggi dari yang pertama. Jadi |hati-hati ya milihnya.?! "Let us not forget the inherent risks always associated with bananas: One could slip on a peel and break a leg." Sorry ... I just can't help quoting Dan Hardy [EMAIL PROTECTED] on the "costarican banana" hoax (to read other message on this thread, search with keyword "banana" at http://www.urbanlegends.com/search/nsearch.cgi) Moko/ PS: Interestingly --except in movie cartoon-- I have never seen anyone actually slipping on a banana peels. Has anyone else? And thus, can "slipping on a banana peel" also be considered a hoax or urban legend?
Re: D e a d A i r ... Theory Facts
At 8:26 AM 2/7/2000, Jeffrey Anjasmara wrote: |Ah, Moko emang banyak teori muluk-muluk. Okay-lah saya diam dan hanya |memonitor. Apakah milis tambah baik tanpa kehadiran saya? Let's see:) Lho kok terus buru-buru mau "lengser" begitu, Jeff. Tumben kali ini kok 'sangar'nya nggak keluar. Saya sudah mengharapkan dicacimaki seperti Nahar ("Habisi Nahar rasis keparat...!") atau yang lain. "But ... it's only a theory!". Ini adalah klise klasik yang sering dipakai orang kalau kehabisan daya argumen. Argumen "hanya teori" ini dipakai untuk memberi kesan seolah-oleh apa yang dikatakan sebagai "teori" (argumen lawan) bukan fakta, atau tidak mengandung kebenaran. Padahal setiap argumen itu umumnya mengandung teori dan fakta, dan hubungan teori dan fakta tidak harus berlawanan. Stephen J. Gould menyatakan dengan baik dalam ulasannya mengenai pro-con teori evolusi ("Evolution as Fact and Theory"; Discover, May 1981): In the American vernacular, "theory" often means "imperfect fact" - part of a hierarchy of confidence running downhill from fact to theory to hypothesis to guess [but] facts and theories are different things, not rungs in a hierarchy of increasing certainty. Facts are the world's data. Theories are structures of ideas that explain and interpret facts. Facts don't go away when scientists debate rival theories to explain them. Einstein's theory of gravitation replaced Newton's in this century, but apples didn't suspend themselves in midair, pending the outcome. Memang, saya menarik "teori" --tentang up-and-down sebuah mailinglist, tentang efek anonimitas pada perilaku seseorang-- dan siapa saja boleh berbeda pendapat (atau punya teori lain), tetapi teori tersebut saya tarik berdasarkan *fakta*, pengamatan yang cukup lama. Dan fakta ini lah yang tidak berubah, lepas dari teori mana yang diterima oleh umum sebagai paling masuk akal. Sebagai contoh, tidak semua orang yang memakai anonimitas itu perilakunya terus degeneratif, tetapi ada juga sosiologis atau pengamat perilaku sosial yang tertarik untuk mempelajari perilaku "mob mentality" ... dimana orang yang tadinya (normalnya) baik-baik, ramah-tamah, murah senyum, suka gotong-royong --pokoknya gambaran orang Indonesia lah-- begitu larut dalam anonimitas massa, tiba-tiba berubah menjadi penjarah, pembakar, perusak, pembunuh. Itu semua memang teori, yang membutuhkan pengamatan dan dukungan fakta untuk mencapai tingkat confidence tertentu. Bagaimanapun, fakta adanya penjarahan, pembakaran, perusakan, pembunuhan dalam kerusuhan yang melibatkan massa (mob) begitu sering terjadi -- sampai hampir manjadi berita regular di media massa kita. Kembali ke tulisan saya, bagian mana yang teori, dan bagian mana yang fakta? Atau kalau memakai konotasi klise Jeffrey diatas, bagian mana yang ngibul? Saya yakin anggota list ini masih ingat atau punya arsipnya tentang "Habisi Nahar..." dan baris-baris lain yang saya kutip dalam tulisan yang lalu. Itu bisa disebut *fakta* (hitam-putih malah!). Lalu apakah "teori" bahwa perilaku semacam itu muncul karena anonimitas itu salah, atau masuk diakal. Ooops, ada satu asumsi yang diloncati, apakah memang "Jeffrey Anjasmara" itu sebuah rekayasa anonimitas (dengan nama samaran) atau identitas yang benar-benar ada eksitensinya -- seperti yang ditulisnya pada "introducion form" nya IDS list (bisa diperoleh di arsip IDS list, kirim email ke [EMAIL PROTECTED], body: GET IDS LOG9907B) Date: Wed, 14 Jul 1999 09:39:48 EDT Reply-To: "Indonesian Development Studies [EMAIL PROTECTED] From: Jeffrey Anjasmara [EMAIL PROTECTED] ** Nama/Name : Jeffry Anjasmara Alamat rumah/kampus/kerja : Rutgers, Bedmisnter, NJ Alamat permanen # telepon : Tidak ada Email Address[es] : [EMAIL PROTECTED] Pendidikan/Education : S1 (Ekonomi) Pekerjaan lembaga : Swasta Pengalaman kerja : 1 tahun *** It is one thing not to volunteer personal data, but it is something else to deceive or to forge personal data -- so that other mailinglist members believe that you are someone else. Jeff, isn't it about time you tell those you have deceived (IDS, Permias, Isnet communities) who you really are or in fact, an Economics student at Rutgers as you claimed? This is a chance for to to make a gentle exit, to tell us who you really are ... or do I have to spell it out? Moko/
Re: Mematikan Ide (was: D e a d A i r
At 10:43 AM 2/7/2000, Ramadhan Pohan wrote: |Saya tidak berpihak kepada Jeffrey dan menentang Moko. Kedua manusia ini sama |derajatnya di mata saya. Tetapi saya paling menentang ketika orang diberangus |karena idenya. Apa bedanya Anda dengan Soeharto dan Orba-- larang ini-itu. |Sudah masanya kita camkan: Dilarang Melarang. I believe you're barking the wrong tree. Pohan! Siapa yang melarang ini-itu? Ada baiknya tulisan saya dibaca kembali (mungkin profesi wartawan itu terlalu banyak menulis, jadi agak kurang membaca :-). Saya justru mengajurkan pengurus untuk tidak melarang atau membatasi ekspresi. Perhatikan cuplikan dari tulisan saya, ketika saya menjabarkan fungsi pengurus list: ... pengurus list juga punya andil besar, dalam artian sebagai fasilitator, yang menyediakan dan menjamin keamanan supaya orang dapat berdiskusi dan melakukan exchange informasi secara civil. Tugas pengurus ini termasuk misalnya, mengurus adminstrasi keanggotaan, memelihara server (if applicable), memberitahu aggota yang melenceng dari aturan dan tujuan list -- kalau perlu mendepak pantat mereka yang sengaja mengacau atau tidak tahu aturan. Pengurus bisa saja ikut dalam diskusi, atau mengarahkan jalannya diskusi, tetapi tidak melarang atau membatasi ekspresi seseorang atau suatu topik. Yang saya tentang adalah 'unruly behavior' (a willful disregard for the rights of others) seperti yang ditunjukkan secara konsisten oleh "Jeffery Anjasmara." Permias list adalah 'forum diskusi'--meskipun tidak secara explisit telah mengumumkan aturannya-- dimana tatacara diskusi yang umum masih berlaku, kesantunan diskusi harus tetap dipakai. Dalam forum diskusi yang santun, ungkapan seperti "Habisi Nahar rasis keparat...!" dan baris-baris yang saya kutip kemarin tidak punya tempat. Kebebasan individu untuk berpendapat yang dilindungi itu itu tidak termasuk perilaku yang "disregard for the rights of others", hak orang lain untuk melakukan diskusi yang santun di forum ini. |Dubes bilang milis ini sampah, itu jelas omongan tidak terhormat. Dia telah |menghinakan dirinya sendiri, dengan menggunakan kalimat-kalimat dan gaya |kekuasaan yang seperti itu. Kenapa dia tidak ikut kirim posting, sebaliknya |menyampaikan lewat jalur "jubir". Persis Orba! Apa yang dimauinya? Posting |Permias ini kan bersifat independen. That's Dubes' opinion! He's entitled to his own opinion, just like everyone else. Kenapa yang ini tidak boleh. Kenapa Pohan "melarang" ekspresi Dubes? Anda boleh punya opini lain, bahkan yang diametrikal sekalipun dari pendapat Dubes. Opini Dubes ini --walau mungkin susah "ditelan" oleh beberapa individu -- dinyatakan dengan cara yang santun, bukan caci-maki, ejekan, ancaman. Shouldn't you be more concerned with those of Jeffrey's? |Yang saya bela adalah mereka yang tertindas. Saya prihatin, terutama terhadap |kampanye penindasan Ide. Walau belum seperti di Uni Soviet pasca Revolusi |Bolshevik 1917 pimpinan Lenin, mereka memulainya dengan tembakan. Dor!!! Nah menurut Pohan, siapakah yang "tertindas" itu? Sebelum membuat paralel dengan yang lebih besar, ada baiknya disimak dan dipahami dulu "masalah lokal" nya. Dengan begitu problem yang sesungguhnya tidak terkaburkan. Moko/
D e a d A i r
dead air - a broadcasting term for silence, perhaps resulting from a dead mike (inoperative microphone) taken from Webster's New Words: Dictionary of Media Communication. Istilah lama dari jaman perang dunia kedua ini masih menjadi "momok" para pemilik radio atau TV station. Selain karena peralatan yang malfunction, dead air juga bisa disebabkan oleh 'human factor', misalnya penyiar yang ketiduran di depan mike, tiba-tiba kena stroke, atau sekedar tidak menyimak schedule. Apapun penyebabnya, 'dead air' menyiratkan adanya 'somethng wrong', sesuatu yang tidak beres. Membaca posting-posting lama, saya temukan pertanyaan dari tetangga saya, E R Juni, yang waktu itu belum sempat terjawab (1/16/2000): |btw mas moko, sebagai sesepuh di sini, dulu biasanya seperti apa |sih diskusi di milis permias ini? mungkin mas moko bisa kasih |arahan supaya teman2 yang ada di sini tidak bisa melanjutkan provokasi |nonsense-nya karena sudah ketahuan belangnya ... dan bisa menyadarkan |yang lain2 supaya tidak mudah terpancing ... dulu2 bagaimana sih ? Kata yang pertama muncul di kepala adalah 'dead air' --for the lack of a better term-- ketika saya mencoba memberi deskripsi situasi mailing list ini ... a state of silence, especially caused by the absence of *intelligent* postings. List Permias ini masih bertumbuh, jadi bisa dimengerti kalau masih jauh dari kematangan, tetapi tidak seharusnya mailinglist seperti ini mengalami degenerasi sampai level 'dead air'. List ini punya potensi besar untuk menjadi satu komunitas yang intelligent. Pertama, jumlah mahasiswa Indonesia di AS cukup banyak, sehingga cepat tercapainya 'critical mass'. Kedua, dari namanya perMiAS, majoritas anggota list ini sedikit banyak telah terekspose pada sistim pendidikan yang baik, pada tatacara masyarakat yang sudah mapan dan beradab. Jadi bahan dasar untuk posting yang berbobot itu sudah ada (sesuai dengan interest, keahlian, formal training masing-masing). Tatacara diskusi yang baik, penggunaan alur logika dan argument yang 'cogent' juga bukan barang baru lagi -- banyak buku yang bisa dijadikan acuan kalau memang masih belum memahaminya. "Sesepuh" mungkin bukan kata yang tepat, karena ukuran senioritas dalam mailinglist sukar diterapkan ... people come and go. Dari segi produktivitas [menulis] pun saya juga tidak masuk hitungan, karena saya memang lebih sibuk dengan list lain. Kalau ukuran produktivitas dipakai, lae Irwan Ariston boleh ditaruh di tangga paling atas). Banyaknya tulisan pun tidak selalu bisa menjadi ukuran, karena kualitas *isi* tulisan lah yang seharusnya menjadi tolok ukur kecerdasan. Meskipun tidak terlalu aktif, saya memang mengamati list ini sejak pertama dibentuk (sebagai forum komunikasi pengurus Permias). Sejak dulu, jaman email belum dikenal di tanah air, saya sudah mulai mengamati mailinglist (in fact, I make a study of watching them, to understand what makes them tick). Sangat menarik menyaksikan adanya "parallel" antara sebuah mailing list dan komunitas dari mana para anggotanya berasal. Bisa dibilang, mailinglist merupakan 'mikrokosmos' dari sebuah entitas yang lebih besar, yaitu masyarakat atau bangsa. Jadi sesungguhnya tidak usah heran (atau sakit hati) kalau ada yang mengatakan bahwa mailinglist ini isinya "sampah" (yup, saya dengar sendiri ketika pak Dubes mengatakan ini di sebuah pertemuan lokal). I can't agree more. Bahkan beberapa bulan belakangan ini sampahnya mulai mengeluarkan bau busuk yang menyengat, seperti uap busuk yang keluar dari timbunan sampah Bantar Gebang. Manusia memang punya tendensi menyampah, tetapi pengelolaan sampah yang baik membuat sebuah kota tetap asri dan nyaman ditinggali (Madison is one of them :-) Kalau kita terima nasib, membiarkan "parallelism" diatas bekerja, maka list ini ya seperti miniatur Indonesia saat ini, chaotic, provokasi merajalela, bakar sana bakar sini ... seakan pikiran sehat sudah punah. Dalam dunia informasi atau elektronik dikenal istilah 'signal-to-noise ratio' (S/N), yang dipakai sebagai ukuran kualitas trnasmisi atau broadcast. Istilah yang sama sering dipakai dalam menilai kualitas mailing list, dimana "signal" adalah posting yang bermutu, punya 'content value', yang berguna buat publik, dan sisanya adalah 'noise' alias sampah itu tadi. "Noise" ini sendiri ditimbulkan dari berbagai sebab, karena 'ignorance' seperti misalnya penyebaran surat berantai (virus, urban legend, etc), kemalasan pikir (fenomena "oneliners"), atau kombinasi keduanya ... i.e. plain stupidity. Ada juga "noise" jenis lain, noise yang sengaja dibuat oleh para provokator, mereka yang hidup dari mempertajam konflik, warmongering, menebarkan uap jahat rahwana. Ini paralel dengan badai provokasi yang ramai mengobok-obok tanah air belakangan ini, apakah itu dilakukan 'oknum' tersamar, figur publik, ataupun media massa. Pertanyaannya adalah apakah list Permias ini 'pasrah bongok', menyerah begitu saja dipakai sebagai ajang provokasi. Provokator ini biasanya sangat 'cheap',
How to UNSUBscribe this d@#% list.
At 4:49 PM 1/16/2000, andy syahputra wrote: |buat teman-teman semuanya, |ada yang tahu nggak gimana caranya untuk unscribe dari mailing |list inibantuannya sangat berharga buat saya |terima kasih |andy Andy, Send email to: [EMAIL PROTECTED] Body of message: UNSUBscribe PERMIAS (SIGNOFF PERMIAS also works the same) For future reference, you may want to print these commonly used commands: INFO topic|listname Order documentation (plain text files) SUBscribe listname full name Subscribe to a list SIGNOFF listname Sign off from a list SIGNOFF * (NETWIDE - from all lists on all servers Query listname Query your subscription options Searchlistname keyword... Search list archives SET listname options Update your subscription options INDex listname Order a list of LISTSERV files GET filename filetype Order a file from LISTSERV Hope this also helps those fed up by the nonsense in this list ... Moko/
Re: Khadijah Umar: Perayaan Natal di TV
Terimakasih Mardhika, Siapapun yang menulis email yang Anda forward dibawah ini, bukan saja punya kearifan tetapi juga keberanian. Kearifan, karena muncul ditengah kekerasan yang ditimbulkan oleh kedengkian yang sudah begitu lama berlangsung. Keberanian, ditengah melandanya arus deras irrasionalitas (baca "kegilaan") yang melanda bangsa dan negara kita selama ini. Karl Marx pernah menulis bahwa "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people." Marx menarik kesimpulan tersebut dari peristiwa sejarah yang tercatat sejak mulai ditulis manusia. Agaknya apa yang disimpulkan Marx masih berlangsung sampai saat ini. Tidak usah jauh-jauh mencari kemana-mana ... lihat saja apa yang terjadi di Ambon, Aceh, Jakarta, disekitar kita, bahkan di mailing list ini. Akhir-akhir ini kata yang dianggap paling jorok adalah "provokator" -- yang sering diindetikkan dengan setan jahat, pengacau, biang keonaran, dsb. meskipun selalu dicari (katanya), sampai sekarang kelihatannya belum pernah ada yang tertangkap dan mendapat hukuman sepantasnya. Ini mengingatkan saya pada situasi bangsa India sekitar awal kemerdekaannya. Saat itu perang antar saudara, abtar tetangga, sesama bangsa sudah mencapai titik yang dapat menghancurkan. Perbedaan agamalah yang terutama menjadi pemicu dan minyak pengobar bibit-bibit kebencian dan irihati yang sudah lama terpendam sejak menjadi kaum terjajah (the "opressed," according to Marx). Saling bunuh, saling bakar dan saling menyalahkan pihak lain, menjadi cara berpikir majoritas masyarakat. India sangat beruntung karena mempunyai seorang Mahatma Gandhi. Seorang yang arif dalam melihat kehancuran yang niscaya seandainya kegilaan itu tidak dihentikan, seandainya balas-membalas itu tidak segera diakhiri. "An eye for an eye only ends up making the whole world blind," adalah argumennya yang tidak terbantahkan. Mahatma Gandhi, seorang yang cinta damai, juga gagah berani. Keberaniannya tidak kalah dibandingkan dengan pahlawan manapun. "Pahlawan" dalam gambaran umum adalah prajurit atau pejuang yang gagah-berani ... ready to KILL for the cause. Mahatma Gandhi satu tingkat diatas itu ... he's ready to DIE for the cause. Dengan berani dia melakukan mogok makan, dan hanya berhenti --sampai mati sekalipun-- kalau kekerasan di seluruh India dihentikan. Dan akhirnya, seluruh rakyat India menghentikan kegilaan mereka! India sungguh beruntung. Saya ucapkan terimakasih dan terutama rasa hormat pada "Khadijah Umar." Memmbaca emailmu itu, saya jadi punya harapan baru akan bangsa dan negara Indonesia, saya jadi yakin bahwa bangsa kita ini masih punya "second chance." Saya tidak terlalu heran kalau tidak banyak yang bisa menghargai tulisanmu itu (bahkan ada yang --gara-gara tulisan itu-- meragukan jatidiri dan "keislaman"mu). Mata hati kita seakan memakai kacamata gelap, tentu saja semua yang dilihat jadi ikut berwarna hitam. Ditengah kegilaan dan iklim kekerasan dan saling kecurigaan yang pekat, pemikiran yang jernih dan rasional memang sukar diterima. Guru saya pernah bilang "orang yang terlalu lama tinggal dikandang babi tidak lagi mampu mencium harumnya bunga." Terimakasih sekali lagi, Khadijah... tulisanmu telah menunjukkan bahwa agama itu sangat indah, buat mereka yang bisa memahaminya. Sayang sekali sebagian besar dari kita telah merubah agama menjadi "opium" yang memabukkan, bahkan mejadikannya sebagai minyak pengobar kebencian. Hati kita sering dipenuhi dengan opium kedengkian dan semangat menyala dalam mencari dan memerangi "setan jahat.". Padahal tidak usah jauh-jauh, "setan jahat" tersebut ada didalam hati kita masing-masing. Sekali lagi saya kutip ucapan Mahatma Gandhi yang lain, "... the only devils in the world are those running around in our own hearts--and that's where all the battles ought to be fought." Selamat Tahun Baru 2000, Moko/ * At 1:36 AM 12/30/1999, Mardhika Wisesa forwarded the following: | From: "khadijah umar" [EMAIL PROTECTED] | To: [EMAIL PROTECTED] | Subject: (94)- Perayaan Natal di TV | Date: Tue, 28 Dec 1999 17:11:44 JAVT | | (94)- Perayaan Natal di TV | -- | | Tadi malam TB Silalahi sang arsitek perayaan Natal di TV | menyampaikan sepatah dua patah kata. Mula-mula, sebelum dia mulai | berbicara banyak, saya agak khawatir. Jangan-jangan akan terlalu | banyak ayat seperti: ëAkulah jalan kebenaran. Barang siapa tidak | melalui aku, tidak akan memperoleh kehidupan kekalí. | | Ayat itu bila ditafsirkan keliru, sering dianggap berbau pongah. | Dan kebetulan lebih banyak yang menafsirkannya secara keliru. | Sengaja atau tidak. Lalu bisa dipakai untuk yang bukan-bukan : | menyombong maupun ber-asosial. | | Ternyata tidak. Ternyata si arsitek itu berbicara sangat indah. | Indahnya tak kalah dengan sambutannya Gus Dur. Seorang teman saya | yang biasanya sering ekstrim, tapi kali itu justru memuji. Bahkan | ia sampai bertepuk tangan waktu Silalahi
Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI (Moko)
At 10:48 AM 11/8/1999, Mahendra Siregar wrote: |Terima kasih atas tanggapannya. Sungguh suatu cara pandang yang menarik |yang dapat kita kaji dan diskusikan bersama. Thanks to you too -- it is always enlightening to have an intelligent discourse, on any subject. But I must first 'highlight' the last sentence in your reply: |Mungkin anda melihat pemilihan kata "strike back" itu terlalu |keras, dan lebih tepat "long-term partnership in promoting Indonesian |democracy?. Sudah barang tentu, pemilihan kata sangat menentukan makna. Dan makna masing-maing ekspresi diatas sangat berbeda. Yang pertama ("strike back") lebih menyiratkan adanya permusuhan, perlawanan, atau pembalasan kepada pihak *luar* (yang belum tentu lebih buruk dalam praktek demokrasinya), sedangkan yang kedua ("promoting democracy") bukan saja menunjukkan pada pihak luar tentang upaya demokratisasi di Indonesia, tetapi --yang lebih penting lagi-- adalah ajakan *kedalam*, lepada kita sendiri yang paling berkepentingan, untuk menggalakkan praktek kehidupan bernegara yang lebih demokratis. Ajakan yang kedua ini jelas lebih mudah saya diterima, karena lebih selaras dengan keyakinan dan nurani saya. |Sebagai background information, |mungkin ada baiknya anda sampaikan kira-kira kapan acara brownbag seminar |itu, sebelum atau setelah SU-MPR. Apa topik dan siapa pembicaranya. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari acara tersebut, ini bukan seminar politis, bahkan bukan pula khusus tentang Indonesia, tetapi lebih merupakan cross-culture event. Sungguh berat "mempertahankan" nilai-nilai Indonesiawi kalau sudah bersentuhan dan memperbandingkan diri dengan berbagai kultur dalam tatanan global seperti itu. |Kenapa perkembangan itu tidak langsung "diterima" oleh rakyat AS secara |menyeluruh. Argumentasi saya sederhana saja. Bad news travels much faster |than good news. Itu adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam |dunia media massa dan public opinion. Berita yang mengandung tragedi |kemanusiaan jauh lebih menarik daripada berita baik. Disamping itu, publik |AS terkenal sangat ignorant terhadap hal-hal yang terjadi di belahan dunia |lain (salah satu adalah kecilnya reaksi publik thd penolakan Senat AS |terhadap CTBT), kecuali kalau berita itu memang sensasional atau kalau |mereka melihat dan mendengar dari sumbernya langsung. Argumen yang sama juga berlaku untuk masyarakat dimana saja. Apakah publik juga menaruh perhatian pada apa yang terjadi dibicarakan Congress, misalnya. Jangankan yang di Indonesia, kita-kita yang hidup di Amerika pun bisa dibilang tidak ada yang peduli. "Penyakit ignoramus" ini bukan monopoli khusus masyarakat Amerika saja, tetapi lebih merupakan konsekuensi logis dari "kelokalan," "radius of effect" dari media massa -- seperti halnya penduduk Jakarta lebih suka membaca Pos Kota dari pada berita lokal di New York Time maupun koran lokal manapun. Harus diingat juga, bahwa Indonesia sendiri memang bukan negara yang paling penting dalam skala global (and who's fault is that ... if we have to find the culprit) |Disitulah saya melihat Permias yang memiliki anggota di seluruh penjuru AS |memiliki posisi strategis untuk membantu pulihnya citra Indonesia. Hal itu |tidak berarti kita harus "menipu" diri seperti diwaktu yang lalu. Alasan itu |pula yang membuat saya pribadi juga tidak terlalu optimis dan bersemangat |dalam mengajak Permias bekerjasama melaksanakan hal seperti ini diwaktu |lalu. Penipuan seperti itu tidak akan efektif karena dalam era globalisasi |seperti sekarang, tindakan menipu diri sendiri itu hanya menjadi tertawaan |orang lain. Saya sependapat. Setiap individu warganegara Indonesia yang tinggal di Amerika ini punya potensi yang penting, sebab mau tidak mau setiap tindakan dan penampilan kita mau tidak mau tetap terkait dengan keindonesiaan yang kita sandang. Citra positip atau negatip sangat tergantung bagaimana kita merealisasikan potensi yang sytrategis ini dalam *tindakan*, dalam bersikap dan dalam berpikir. Kata kuncinya adalah tindakan nyata, saya tidak melihat perlunya memberi tekanan pada "kampanye" atau "counter propaganda" seperti diusulkan seorang netter. Keyakinan saya sederhana saja, berpegang pada ujar-ujar lama, bahwa "good from good' (or "light from light"). Frank Lloyd Wright, bapak arsitektur modern Amerika, menyatakannya secara bagus dalam wawancaranya dengan Mike Wallace (1957): "You don't have to push hard, talk loud, or in any way get up to defend what you believe in. If it is right, and it is good, and it is sound, it will defend you ... if you give it a chance." Singkatnya, perbuatan baik adalah propaganda terbaik. [ NOTE: Propaganda --in the usual sense of the word-- never works. No rational and free thinking man believes in propaganda anymore. In fact, propaganda has been rendered ineffective long time ago ... since the publication of George Orwell's classic, "Animal Farm," more than half a century ago.] Tentu saja tidak berarti bahwa propaganda itu sendiri sudah tidak
Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI
At 11:25 PM 11/7/1999, Mahendra Siregar wrote: |Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS |berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak |pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu, |namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik |daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak |di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS |"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap |"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa |Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, |yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN. Ada sebuah "adegan" dalam satu brownbag seminar di kampus, dimana seorang mahasiswa asal Indonesia dengan semangat menyala berusaha menepis image buruk tentang negerinya. Dengan berapi-api dia bertanya kenapa si pembicara tidak mengikut sertakan negerinya dalam kelompok negara yang demokratis ... "what you expect from us [Indonesia], what Indonesia supposed to do to be called a democratic country?" Dengan halus si pembicara menjawab: "It is very simple ... just be like one, or at the very least, act like one!" Sudah terlalu lama problem 'image' ini dihadapi dengan "strike back" pada mereka yang mengritik kita. Sudah lama pula --kalau kita mau melihat relita-- kita seharusnya mengetahui bahwa pendekatan seperti ini tidak akan jalan. "Kegagalan" kita dalam diplomasi, soal Timtim misalnya, bukan karena kurang pandainya Menlu Ali Alatas atau Dubes untuk PBB Makarim Wibisono bersilang kata --dibandingkan Ramos Horta misalnya-- tetapi karena memang hampir mustahil meyakinkan orang bahwa loyang adalah emas. It is a complete waste of time and energy. Daripada habis buat "kampanye ke AS", alangkah baiknya kalau seluruh usaha itu dicurahkan sekuatnya untuk memperbaiki diri kita sendiri. Masih jauh jalan ke masyarakat demokratis, masih banyak problem dalam diri kita sendiri, baik didalam maupun diluar negeri -- sebagai individu, kelompok kerja, instansi, komunitas dan bangsa. Ini pekerjaan yang kolosal, yang hanya bisa dilakukan kalau setiap orang menyadari masalahnya dan mau kontribusi, paling tidak mulai dari dirinya sendiri dan lingkungan terdekatnya. baru kalau semuanya ini sudah terlaksana, orang akan menyebut dan memperlakukan sebagai bangsa yang demokratis -- tanpa perlu kampanye lagi. Moko/ "One of the most untruthful things possible, you know, is a collection of facts, because they can be made to appear so many different ways." -- Karl Menninger
To Smoke Or Not To Smoke ...
Rizal Az wrote: |hmmm... engga' relevan yah ngomong gitu... alkohol juga berbahaya. |Untuk liver (untuk sendiri), drunk driving (untuk yang lain). |Jadi kalau gitu orang engga' boleh ngelamar kerja di bir bintang?? | |Notrida Mandica wrote: |Mungkin saatnya kita serukan "ANTI ROKOK" |Kalau dihitung-hitung uang yang dibeliin rokok dan kemudian dibakar, |konstribusi Perusahaan Rokok pada kelemahan ekonomi Indonesia besar juga |tuh..coba tanya Bang Irwan deh. Selain itu, Indonesia sangat tidak sehat |oleh karena: | |1. Udaranya polusi asap rokok |2. Banyak angkatan muda yang terkena Cancer |3. Banyak korban second hand smokers |4. Belum lagi batuk-batuk yang mengakibatkan TBC * Dear Netters, Bincang-bincang soal rokok antara Ida dan Rizal diatas (sehubungan dengan pengumunan recruitment dari pabrik rokok Sampoerna) sebetulnya sangat penting dan perlu direnungi. Kebetulan Summer yang lalu saya menulis essay (op-ed) di mailing list saya sehubungan dengan topik serupa. Berikut ini adalah essay tersebut, yang saya edit kembali khusus untuk mailing list ini. Selamat merenungi -- Moko/ To Smoke Or Not To Smoke ... (that's NO LONGER the question!) Membandingkan rokok dengan alkohol saya rasa kurang tepat. Konsumsi alkohol yang "moderate" justru bermanfaat (menurunkan kemungkinan serangan jantung), sedangkan asap rokok dalam jumlah sekecil apapun merugikan kesehatan. Penelitian akan bahaya merokok ini sebetulnya sudah dilakukan oleh pabrik rokok di Amerika sejak 1950-an, tetapi hasilnya tidak disembunyikan dari mata publik -- mudah dimengerti bahwa 'ulterior motive' nya adalah bisnis, yaitu mencari untung sebanyak-banyaknya. Memang kelihatannya "tidak relevan" juga untuk mengaitkan kampanye anti rokok (karena bahaya rokok) dengan hak dan kesempatan kerja di pabrik rokok. Masalahnya memang tidak hitam-putih, tetapi kita selalu bisa mencoba melihat issue ini secara rasional. Dari sisi pengaruh adiksinya, berbagai studi telah menunjukkan bahwa nikotin adalah senyawa yang sangat adiktif, dan adiksinya setingkat atau lebih berat ketimbang adiksi yang ditimbulkan oleh heroin dan kokain. Survey di koran New York Times melaporkan bahwa 45% pemakai cocaine merasa dorongan merokok lebih besar atau sekuat dorongan untuk menggunakan cocaine. Demikian pula di kalangan pemakai heroin, 38% merasa dorongan merokok lebih kuat dari dorongan pada heroin. Untuk para alkoholik, 50% merasa dorongan merokok lebih kuat daripada keinginan minum alkohol. (Philip J. Hilts, "Is Nicotine Addictive? Depends on Whose Criteria You Use", NYT, August 2, 1994). Seandainya nikotin sendiri tidak 'harmful', adalah adiksi yang ditimbulkan yang membuat orang ketagihan dan susah berhenti, seperti halnya kalau orang kecanduan heroin atau cocaine. Data yang diberikan oleh FDA Commissioner menunjukkan bahwa setiap tahun ada 17 juta yang mau berhenti merokok, yang tidak berhasil ada 15,000,000. [Sumber: "Statement on Nicotine Containing Cigarettes" by David A. Kessler, M.D., Commissioner of Food and Drugs before the Subcommittee on Health and the Environment, U.S. House of Representatives, March 25, 1994.] Padahal dalam rangka memenuhi adiksi nikotin ini, segala macam racun yang ada dalam asap rokok ikut terhisap ke dalam tubuh si perokok (juga oleh secondary smoker di sekitarnya). Berikut ini adalah daftar carcinogens (penyebab kanker) dalam asap rokok yang sudah dapat diidentifikasi oleh ilmu modern: +---+--+ | | 11 various compounds with known | | polyaromatic | animal carcinogenicity, including| | hydrocarbons | benzo(a)pyrene, a "probable" human | | | carcinogen. | +---+--+ | aza-arenes| four known animal carcinogens| +---+--+ | N-nitrosaminenine | known animal carcinogens | +---+--+ | | three known carcinogens, including | | aromatic | 2-naphthylamine and 4-aminobiphenyl, | | | both known human carcinogens.| +---+--+ | | three known carcinogens including| | aldehydes | formaldehyde, a suspected human | | | carcinogen. | +---+--+ | miscellaneous | six carcinogens, including benzene | | organic compounds | and vinyl chloride, both known | | | human carcinogens. | +---+--+ | inorganic | seven carcinogens, including
Re: Yang mana yang pernyataan Menhan Mur?
At 9:06 AM 9/30/1999, Jeffrey Anjasmara wrote: |Saya bener-bener bingung yang mana pernyataan Menhan Mur ini, apakah versi |Kompas atau versi SMH? Alhamdulilah ... setelah kenyang membaca tulisan dari Bung Jeffrey yang produktip, akhirnya ada juga satu tayangan yang agak cerdas (intelligent). Kebingungan memang merupakan prasyarat pencerahan .. atau kalau meminjam ujar-ujar kahlil Gibran, "Perplexity is the beginning of knowledge." Memang baca berita itu tidak bisa cuma yang 'enak didengar telinga' saja, tetapi perlu membaca dan mengikut-sertakan sumber lain sebagai pembanding. Ini kalau yang dimaksud adalah mencari "kebenaran" ("the truth"). Memang sangat susah mencapai "The Truth' (capitalized, as for the Absolute Truth), tetapi makin bervariasi sumber yang dipakai --dan tentunya makin 'open-minded' sikap pikir kita-- makin dekat kita pada The Truth, paling tidak akan mendapatkan mencapai "a better truth" (dibandingkan kalau hanya lihat dari satu sisi saja). Nah, kalau beritanya berbeda --bahkan dalam hal ini diametrikal-- mana yang betul. Disinilah faktor "kecerdasan" masuia mabil bagian. Kemampuan analisa, kepandaian memisahkan antara fakta dan opini sangat berperan. Pada akhirnya setiap individu harus mengambil keputusan dan pisosinya masing-masing. "The truth" atau kesimpulan yang ditarik pun masih tergantung pada masing-masing individu. |We'll hunt down militias | |By BERNARD LAGAN and PETER COLE-ADAMS | |The Australian-led force in East Timor might cross Indonesia's |border in "hot pursuit" if Indonesia allowed Timorese militias to |launch attacks from its territory, the Defence Minister, Mr |Moore, warned yesterday. | |Expressing concern at a build-up of militias in Indonesian West |Timor, Mr Moore said the mandate given to the international |force Interfet under Article 7 of the United Nations charter |authorised such interventions. This allows raiders to be chased to |their hideouts across the border. |-- | |Menhan Australia: |Australia Tidak Akan Kejar Milisi |Pro-Integrasi ke NTT | |Canberra, Antara | |Pasukan Australia di Timtim tidak mungkin akan mengejar |para milisi pro-integrasi hingga masuk ke wilayah Nusa |Tenggara Timur (NTT)--negara Barat menyebutnya Timor |Barat--karena mandat PBB tidak membenarkan tindakan |tersebut. | |Menteri Pertahanan Australia John Moore, Kamis, |menyatakan, Pasukan Internasional untuk Timtim (Interfet) |memang diberi wewenang penuh untuk menggunakan kekuatan |bersenjata, tetapi pemerintah Australia tidak |mengharapkan itu terjadi. Dalam membandingkan kedua berita diatas, kita bisa pakai logika bahasa sederhana saja. Mandat PBB (artikel 7) membolehkan tentara UN melakukan lintas batas kalau memang ada provokasi dari tetangga sebelah. Tentunya tetangga sebelah ini bisa protes, tetapi logikanya kalau provokasi ini --meskipun karena ulah si oknum provokator-- berasal dari rumah tetangga, adalah tanggung-jawab si tetangga ini untuk menjewer si provokator supaya tidak mengganggu tetangga di sebelah timurnya. Entahlah apa motivasi Antara menyiarkan kabar tersebut -- yang sayangnya dikutip dengan taat (tanpa konfirmasi lagi) oleh kebanyakan koran Indonesia. Saya rasa kemungkinan terjadinya salah kutip atau salah terjemahan sangat kecil. Suara Pembaruan yang meliput langsung dari Canberra melaporkannya mirip beritanya SMH (Suara Pembaruan, 30 September 99, "TNI Akan Hadapi Interfet Bila Masuk Timor Barat") "Sebagaimana diketahui, Menhan Australia John Moore mengatakan pasukan multinasional di Timtim mempunyai wewenang untuk melintasi perbatasan di Timor Barat jika mereka terlibat pertempuran dengan milisi pro-integrasi dan harus melakukan pengejaran (hot pursuit). Pernyataan John Moore itu muncul setelah sebuah laporan menyebutkan para milisi membangun kekuatan di Timor Barat." Dalam menyimaki berita, pembanding dari sumber lain adalah mutlak perlu untuk bisa membuat kesimpulan yang lebih baik. Kredibel tidaknya berita sendiri, memerlukan koroborasi atau dukungan dari evidence, bukti-bukti, dan saksi mata lainnya yang independent. Ini mungkin bisa menjelaskan kenapa berita "pembakaran hidup-hidup" kemarin itu tidak disiarkan oleh kantor berita lain (seperti Reuter, AFP, CNN) tetapi hanya oleh kantor berita Antara sendirian. Berita di koran lokal seperti Kompas, Republika, Suara Merdeka tidak biosa dianggap koroborasi, karena mereka hanya mengutip dari Antara. Kejadian tersebut, yang katanya terjadi pada saat pendaratan (20 September) di dermaga Dili, seharusnya menjadi berita besar. Tentara dibawah mandat PBB sampai melakukan kekejaman seperti itu adalah 'unprecedented', seharusnya jadi cover-page berbagai media massa dimana saja. Kebiadaban model 'bakar hidup-hidup' semacam itu hampir tidak mungkin lolos dari liputan pers internasional. Tetapi kenyataannya berita tersebut ternyata hanya berdasarkan "cerita" dari seorang milisi PPI (Mahadomi) Filomeno Antonio Britto. Sejauh ini tidak ada bukti atau kesaksian lain yang
Re: Pasukan PBB Aniaya 8 Anggota PPI Manatuto Satu Tewas (fwd)
Oooops, ternyata update berita masih belum masuk ke link saya (berita diupdate Kamis, 23 September 1999, 15:33). Berita tersebut ada URL sbb: http://www.kompas.com/kompas-cetak/berita-terbaru/3689.html Moko/ At 8:38 AM 9/23/1999, Moko Darjatmoko wrote: |Is this for real .. or just a slander? | |Saya mengikuti setiap berita berita Timtim di Kompas dan hampir semua |koran dalam dan luar negeri (s/d tagl 23 Septenber), tetapi berita |"penganiayaan" oleh pasukan gabungan PBB ini kok tidak pernah saya baca |sebelumnya. | |Tolong Mas Syamil, kasih tahu artikel tersebut di Kompas tanggal berapa, |halaman berapa ... atau lebih baik lagi URL-nya. | |Moko/
Re: Allan Nairn's statement to the Indonesian Military
At 11:00 AM 9/19/1999, Mahendra Siregar wrote: |My point is: If it is an Indonesian problem, let the Indonesians solve |it through an Indonesian way. The last thing we need is foreigners with |undefined real agenda meddling into our problems ... Saya sepenuhnya setuju dengan point Pak Mahendra diatas. KEDAULATAN satu bangsa tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun yang tidak berhak -- dalam bahasa Jawa ini dianalogikan dengan aturan/hukum sakral "pager ayu" yang tidak boleh dilanggar. Premise kedaulatan ini merupakan argumen yang sukar digoyahkan. Dalam perspektif kasus Timtim, premise diatas meinmbulkan pertanyaan: apakah hukum Indonesia itu sah diatas bumi Loro Sae? Apakah Indonesia/TNI boleh mencampuri (meddling) dengan kedaulatan rakyat Maubere? Logika akal sehat memberi jawaban TIDAK ... karena Indonesia TIDAK punya legitimasi pada klaimnya atas teritori Timor Timor -- baik historis maupun legalistis (PBB sejak dulu sampai sekarang tidak pernah mengakui aneksasi Timor Timor oleh Indonesia). Mungkin ada yang mau merujuk pada Tap MPR No VI/MPR/1978 yang menetapkan bahwa Timtim itu bagian wilayah Republik Indonesia. Tetapi dalam kacamata internasional (antar bangsa -- ingat, bahwa ini masalah Indonesia dan teritori lain, Timtim) ini kan peraturan SEPIHAK yang dipaksakan dengan jurus "because I'm stronger than you," bukan aturan yang disetujui secara bilateral atau atas persetujuan badan arbitrasi bangsa-bangsa (dalam hal ini PBB). Saat ini Indonesia seakan "dikeroyok" oleh negara-negara lain, bahkan dituduh telah melakukan "CRIME against HUMANITY." Selanjutnya, apakah kita masih akan berkeras kepala menggunakan dalih "kedaulatan" (atas Timtim?) atau akan kahsemuanya itu kita lawan dengan senjata? Akal sehat menunjukkan kita untuk memakai akal ketimbang okol (otot) -- disamping itu, jurus "I'm stronger than you" itu sendiri tidak pernah menjadi kenyataan selama 23 tahun belakangan ini, apalagi sekarang menghadapi gabungan komunitas internasional. Moko/ "... kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan diatas bumi harus dihapuskan ..." -- Preambul UUD45
Re: PDIP - Partai Islam - PAN cukup berimbang di Permias-Net dan IDS-Net ?
Ya sudah to, Mas ... sing waras ngalah :-) Dan ingat-ingat juga, jangan mengejar terus dengan pertanyaan lanjutan: apa sih "disain operasional informasi" itu ? I bet there is 95% probability (or better) that you won't get a straight answer either. But, coming from a [self-proclaimed] reformer on "Sains/Matematika/Teknologi" ... it's a bit scary, isn't it? Moko/ * At 8:31 PM 6/12/1999, Budi Haryanto wrote: |Wah lali aku nek musuh wong seler | |At 08:06 AM 6/13/99 +0700, you wrote: |From: Budi Haryanto [EMAIL PROTECTED] |To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] |Date: Friday, June 11, 1999 9:11 PM |Subject: Re: PDIP - Partai Islam - PAN cukup berimbang di Permias-Net dan |IDS-Net ? | | |Boleh tanya nggak? |Bagaimana cara anda mengambil sampelnya? |Berapa jumlah sampel yang anda investigasi? |=== | |Sorry ! Itu sih rahasia. |Yang jelas saya menggunakan "disain operasional informasi" (DOI). | |Salam, | |Nasrullah Idris |
Sensitivity against racism
At 5:20 PM 11/3/1998, Vincent Sitindjak wrote: |Mas Moko tulis: | | At 11:59 AM 5/11/1999, FNU Brawijaya wrote: | | |Lha KAMU belum jadi tauke lagunya sudah kayak | |Donald Trump. Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan | |bisa bayarin tiket buat keluarga untuk keluar dari | |Indonesia. Tauke kayak KAMU ini yang biasanya | |jadi sasaran pertama tiap ada kerusuhan. | | Siapapun yang sedikit rasional dan mngerti situasi rasial di | Indonesia mengerti apa maksud kalimat diatas, siapa yang dituju. | | The above phrase DOES send a clear message ... and the word is no | longer neutral! It is a racist's remark. | |he..he..koq saya jadi binun sekarang... | |kalo "tauke" dikutipan diatas ditujukan ke orang cina, mungkin aja |"it is a racist's remark". |tapi "tauke" dikutipan diatas khan ditujukan ke orang batak (Patrick |Simanjuntak), apa ini juga masuk dalem kategori "a racist's remark"? Bung Vincent yang sedang 'bingung', Mengulangi apa yang telah saya tulis sebelumnya, kata "tauke" --berdiri sendiri-- memang netral. Tetapi kenyataannya kan kata "tauke" ini tidak berdiri sendiri, tetapi diiringi oleh kata-kata dan kalimat lain yang membentuk konteksnya (kecuali kalau saya telah 'salah' kutip): * Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan bisa bayarin tiket buat keluarga untuk keluar dari Indonesia. * Tauke kayak KAMU ini yang biasanya jadi sasaran pertama tiap ada kerusuhan. Sounds familiar? ... terutama sejak pertengahan Mei tahun lalu? Memang kita tidak pernah tahu --kecuali si penulis sendiri-- apa persisya yang dimaksud oleh si penulis dalam suatu tulisan. Karena itulah penting sekali untuk berpikir masak-masak sebelum tekan tombol "send." Guy Kawasaki (a Mac Fellow) memberikan cara nge-test yang praktis dalam menulis email: "Read it out loud to your spouse, to your best friend, to your roomate, or even better, to your own mother. If you think it's okay say the words you just wrote on their faces, then it's okay to hit the send button." Kehati-hatian Kawasaki beralasan, ternyata peribahasa kuno "sticks and stones will break my bones, but names will never hurt me" itu tidak selalu benar. It has been known that arsh words hurt or even kill people. Saya dulu suka bertanya-tanya, kenapa kebanyakan kawan kerja atau staff di kampus itu kok tidak pernah bertindak rasis, baik dalam sikap maupun kata-kata. Apakah orang disini memang lebih 'superior'? Setelah mengamati --dan mengalami sendiri-- ternyata semuanya itu tidak 'jatuh dari langit'. Racism adalah 'concsious choice', dan itu harus dikoreksi atau dilawan dengan kesadaran pula, dengan *conscious effort*. Waktu direkrut jadi TA dulu saya disuruh mengikuti apa yang disebut "sensitivity workshop" -- yang menjelaskan dampak buruk rasisme, mulai yang berbentuk unfair discrimination sampai hal yang 'kecil-kecil' seperti racial slurs, racist remaks, dsb. Dan ternyata setiap pegawai secara bertahap diwajibkan mengikuti workshop ini -- dimulai dari mereka yang banyak berhubungan dengan publik (yang plural itu). Ini adalah conscious effort komunitas disini utnuk mencegah "kesalahan lama" terulang kembali Dan ternyata ini juga diajarkan pada anak-anak sejak usia dini, sejak mereka di taman kanak-kanak. Forum Internet (seperti mailing list ini) memberi kita "kebebasan" utnuk menyatakan pendapat kita. Kebebasan ini terasa lebih longgar ketimbang yang kita rasakan dalm dunia nyata--terutama karena ada kesan 'anonimitas', dimana orang hanya dikenal sebagai email address saja. kebebasan ini bak pisau bermata dua, disisi lain orang juga "bebas" mengartikan tulisan kita. Ditambah keterbatasan kata-kata yang tidak bisa mentertakan intonasi, raut muka maupun isyarat badan yang lain, gampang sekali terjadi misunderstanding. Di forum elektronis seperti ini, kebanyakan kita ini hanya kenal dari tulisan kita, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya feomena "you are what you write" -- kita ini di'nilai' melulu dari apa yang kita tulis saja. Tulisan kita merupakan 'representasi' dari personality kita. Tentu saja ini tidak benar, kita semua tahu, tetapi itulah 'impression' yang terjadi di Internet (in the absence of other means of physical contact). |Terus abis gitu, yang dikatain sama Mas Jaya khan orang batak, kalopun yang |dikatain orang cina, koq yang pusing Andrew? Andrew khan neither batak nor |cina. Emang di AKABRI diajarin supaya suka ngatur-ngatur orang laen, |mangkanya ABRI sukanya ngatur orang laen. Saya baru tau kalo ternyata di |Norwich juga diajarin yang sama dengan di AKABRI. That's wrong .. one doesn't have to be the victim (chinese, jew, or any victimized person) to sense the pain, to feel disgusted by such injustice treatment to the fellow human being. Jaman racism masih dominan di Amerika dulu (terutama tahun 50an di daerah selatan), banyak orang putih (bukan victim) yang menentang diskriminasi dan segregasi terhadap orang kulit hitam. Bukan karena muak saja, tetapi karena juga pikiran rasionalnya menyadari bahwa "racism destroys
Free speech ?
At 12:53 PM 5/15/1999, Vincent Sitindjak wrote: |Kuliah tentang racism di paragraph berikut ini engga relevan banget. Anda |yang maksain bahwa dua kalimat Mas Jaya yang anda kutip diatas adalah |racist's remarks (berdasarkan konteks yang salah), saya engga melihatnya |sebagai rasis, therefore there is no need for you to lecture me on racism, |especially when you use Americans as examples. Americans are among the most |racist people in the world. They have to "tag" one another with race: |"African American", "Asian American", "Italian American", etc. Saya bilang bahwa kalimat tersebut adalah rasis, itu opini saya. Saya tidak menilai orangnya (saya tidak kenal pribadi kok), tetapi saya menilai apa yang ditulis, apa arti kalimat itu buat saya. Itu pendapat saya pribadi, orang boleh setuju atau tidak, seperti saya tidak setuju opini anda bahwa "orang Amerika paling rasis" dari argumen seperti itu (you can do better than that). Jadi .. apanya yang yang "maksain" itu, I have my opinion (karena 'risih' dengan kalimat tersebut) dan saya yakin ada pula yang punya opini lain ... that's perfectly all right. Setiap pernyataan selalu mengundang opini orang lain, sejalan atau berlawanan. Bukan soal setuju atau tidak saja, tetapi argumen apa yang mendukung setuju atau tidak setuju nya itu. itu yang lebih penting lagi. Inilah esensi sebuah forum diskusi. Kalau nggak bisa menerima ya payah ... don't go to the kitchen if you can't stand the heat. Masalahnya adalah, apakah kita ini bisa 'accomodate" opini yang berbeda tersebut. Ini yang menunjukkan tingat 'demokrasi' satu bangsa, sebuah komunitas, atau dalam hal ini, kelompok kecil di mailing list ini. |Ya kalo emang Andrew feel disgusted by injustice treatment mendingan pergi |ke Kosova aja bareng NATO sana buat belain orang Albania, daripada |ngatur-ngatur orang tentang apa yang baik dan tidak baik di mailing-list |ini. | |And, please, save your lecture about racism (such as one in the following |paragraphs) for the more appropriate curcumstances. Jaya's remarks were not |racist, they only become racist when you want them to be. You, my friend, |already have a preconceived idea about Jaya (that he is a racist), therefore |anything he says--that has even the slightest suggestion--will be racism to |you. You already have prejudice against him, that's why you interpreted his |writing the way you did. Just read it as it is--without prejudice, then you |won't see any racism, apalagi Mas Jaya dah terangkan maksudnya dengan |penggunaan kata 'tauke'. Sangat menarik bahwa Bung Vincent yang begitu "kesal" pada Andrew yang katanya suka "ngatur-ngatur" itu, pada saat yang sama (tanpa sadar barangkali :-) suka ngatur-ngatur apa yang musti saya tulis, kapan sebaiknya tulisan itu ditayangkan. What an irony! Ini contoh klasik dari apa yang oleh teman bule yang 'paling rasis' itu disebut sebagai simptom "free speech for me but not for thee". Oh well Saya jadi ingat apa yang dikatakan Noam Chomsky dalam salah satu seminarnya -- ketika ditanya bagaimana posisi dia tentang "freedom of speech", jawabnya: "If you're in favor for freedom of speech, that means your precisely in favor for freedom of speech for views you despise ... otherwise, you're *not* in favor of freedom of speech. So. you're gonna have two positions in freedom of speech, and you decide which position you want." Moko/
Re: RASIALIS VS KEBANGSAAN
At 4:41 PM 5/13/1999, FNU Brawijaya wrote: |Okay mengenai pemakaian tauke dengan mas. Sebetulnya istilah apa saja |kalo dipake secara nggak bener juga akan nggak bener. Sebaliknya kalo |mau diplesetkan untuk diartikan salah juga akan salah, bagaimanapun |kita mau bikin bener. | |Kayak 'tauke', ini istilah yg digunakan sehari-hari, ... Betul sekali, seperti halnya kata apapun, "tauke" atau "cina", atau kata apa saja itu memang netral. Baru setelah mendapatkan intonasi (dalam bahasa ucap) atau dalam *konteks* tertentu (kalimat, situasi, dsb.) maka kata yang sebetulnya "netral" tersebut bisa menjadi derogatory (pelecehan), rasis, dsb. Kalau kita simak awal mula thread ini ... At 11:59 AM 5/11/1999, FNU Brawijaya wrote: |Lha KAMU belum jadi tauke lagunya sudah kayak |Donald Trump. Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan |bisa bayarin tiket buat keluarga untuk keluar dari |Indonesia. Tauke kayak KAMU ini yang biasanya |jadi sasaran pertama tiap ada kerusuhan. Siapapun yang sedikit rasional dan mngerti situasi rasial di Indonesia mengerti apa maksud kalimat diatas, siapa yang dituju. The above phrase DOES send a clear message ... and the word is no longer neutral! It is a racist's remark. Moko/
Re: A bunch of ignorant people saying Jihad???
At 7:42 AM 3/8/1999, Indi Soemardjan wrote: |To all religious persons on the Net: |It is very sad that these people DO NOT know that this so-called- |inter religious Feud is an engineered form of chaos. |I repeat, this is a just an engineered form of Chaos. | |They have no idea that a much more evil person has created this |type of tension. Dear Indi ... ketika dulu musti membaca-baca karya Karl Marx (bagian dari literature research), saya tidak habis mengerti kenapa Karl Marx ini menyamakan agama sebagai "candu" yang memabokkan masyarakat ... "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people." --Karl Marx (1818-1883) Menyimak situasi tanah air terutama akhir-akhir ini, kata-kata Karl Marx diatas menjadi lebih 'make sense'. Tetapi kalau melihat kenyataan didunia, bahwa pengaruh "opium" ini tidak selalu sama ... misalnya dinegara yang sudah "lebih maju" [mungkin lebih kena kalau dibaca "lebih beradab"], kendati perbedaan agama selalu ada (karena pluralitas), tetapi masalah yang disebabkan oleh perbedaan agama ini tidak mengalami eskalasi seperti dialami negeri kita. Jadi, thesis Karl Marx ini tidak 'universally right'. Bukan agama [atau perbedaan antara agama yang satu dengan lain] lah yang menimbulkan kegilaan masyarakat ini, tetapi terutama lebih disebabkan oleh *kebodohan* manusia itu sendiri. *Kebodohan* inilah yang gampang di rekayasa oleh para provokator --you don't have to go far to find them ... just look in this mailing list. Tentu saja dibutuhkan penalaran yang jernih untuk melihat masalahnya, untuk memisahkan 'wheat from chaff', untuk membedakan kebenaran dan 'true concern' dengan kebohongan, manipulasi fakta untuk memperbesar masalah, memperuncing pertentangan yang memang sudah cukup lama ada. Saya yakin berpikir dengan nalar yang jernih ini merupakan kewajiban kita semua, sebagai seorang intelek, sebagai orang beriman, sebagai manusia yang bijak (homo sapiens sapiens). Kewajiban kita sebagai manusia bijak untuk "seek the truth" dan meluruskan mereka yang ignorant, bukannya malah menyebarkan kebohongan atau 'kebenaran' yang sudah dipelintir habis-habisan (twisted truth). Paling tidak ada dua penyebab kebodohan, sikap atau situasi yang "ignorant", disatu sisi karena keterbatasan informasi. Dilain pihak *kebodohan* juga bisa terjadi justru karena kebanyakan informasi (information overload) yang dikombinasikan dengan kemalasan memilah informasi, keengganan berpikir yang kriris dan reflektip (as opposed to simple or naive thinking). *Kebodohan* inilah yang membuat orang jadi gampang diobok-obok oleh provokator, dan kemudian timbulnya mob- atau herd-mentaliity. Sebetulnya penggunaan kata *kebodohan* ini kurang 'pas'. Saya pernah melihat sebuah bumper sticker yang menarik, "ignorance is bliss, but stupidity kills". Agak susah menerjemahkan kalimat ini karena keduanya merujuk kata Indonesia yang sama, yaitu "kebodohan". Dalam bahasa Inggris "ignorance" mengesankan situasi diluar kemampuan penyandangnya, sedangkan "stupidity" menyiratkan adanya pilihan .. free choice, to know or not to know. Jadi orang bisa jadi ignorant karena hidupnya terpencil sehingga tidak bisa baca buku atau tidak bisa belajar karena tidak ada akses ke library atau sekolah, tetapi lain halnya dengan orang yang tinggal di kota (apalagi sekolah di Amerika, jadi dosen, etc) yang punya akses segalanya. Yang terakhir itu 'bodoh'nya karena pilihan pribadi -- and that is plain *stupidity*. And it *does* kill! Kerusuhan di Ambon, dan di kota-kota lain mengingatkan saya pada problem yang serupa di India sekitar setengah abad yang lalu [if you don't have time to read the history book, watch the movie "Gandhi", starring Ben Kingsley]. Beberapa saat setelah mendapatkan kemerdekaannya dari "tuannya", bangsa Inggris, ketegangan antara kaum Hindu dan Moslem mengalami eksalasi yang hebat ("aparat keamanan" Inggris sudah mengundurkan diri). Pertentangan ini memuncak jadi bunuh-bunuhan, bakar-bakaran, eye for an eye ...sehingga Calcutta sudah diambang 'civil war.' Mahatma Gandhi yang seruannya tidak digubris oleh mereka yang sedang 'frenzy' dalam kegilaan berdarah ini, mulai mogok makan. Dia bilang akan mogok makan [sampai mati sekalipun], sampai kegilaan itu berhenti, dan itu saja tidak cukup, sampai dia percaya bahwa kegilaan itu tidak akan terulang lagi. Diambang maut Gandhi menerima kabar bahwa semua orang sudah meletakkan senjata, dan bersumpah berhenti dari kegilaan tersebut. Ketika ditanya repoter Amerika kenapa dia se "stubborn" itu [dibelain sampai hampir mati], jawabnya: "I'm simply going to prove to the Hindhus here and the Moslems there, that the only devils in the world are those running around in our own hearts - and that's where all the battles ought to be fought." That's right ... setannya itu ada di dalam hati kita masing-masing, disitulah tempat jihad yang tepat -- kalau memang tujuannya mau melenyapkan
Re: BOIKOT KOMPAS
At 12:44 AM 3/2/1999, Ramadhan Pohan wrote: |Koran partisan, fundamentalis seperti Kompas-- saya pikir, kelak hanya akan |dibaca oleh kaum fundamentalis nya belaka. Sebab yang merah dibilang hijau, |yang putih dibilang abu-abu-- dan hanya kaum fundamentalis saja |yang mau tepuk |tangan atas pembohongan dan keculasan seperti itu. Bagi yang nasionalis dan |pro kepada kenetralan-- kelak akan memilih selera kebenarannya sendiri: yang |tidak bias dan tidak selektif. Sebelum forum ini jadi kancah "pers bashing", saya ingin bertanya ... apa sih sebenarnya 'kriteria' yang dipakai untuk mendakwa atau menyimpulkan satu koran atau penerbitan itu "partisan, fundamentalis, bohong, culas." Apakah hanya karena beritanya tidak sesuai dengan 'keinginan' kita semata? Bias dan selektip tidak bisa dihindari baik oleh koran yang 'paling objectip' sekalipun --pertama-tama karena volume berita selalu lebih besar dari ruang yang tersedia, kemudian ada perbedaan [sumber] informasi, beda sudut pandang, dsb. Ini terjadi dinegara mana saja, ukuran bias dan selektipnya biasanya lebih tergantung pada 'independency' -- umumnya independency dari kepentingan negara atau penguasa setempat. Seandainya pun ada pemberitaan yang salah, tidak akurat .. bukankah itu bisa diluruskan, paling tidak diforum diskusi kita ini. Sebagai orang pers, seharusnya Bung Pohan bisa lebih spesifik, pemberitaan mana yang disebut "partisan, fundamentalis, bohong, culas" itu. Agak janggal rasanya mendengar tuduhan 'wholesale' semacam ini dari seorang profesional seperti Bung Pohan. Tentu saja orang selalu bisa menggunakan cara apa saja untuk menyanggah 'kebohongan' - bahkan kalau perlu dengan kebohongan yang lain, seperti yang ditulis oleh FNU Brawijaya dibawah ini: |Mbak Steph baru nyadar kalau Kompas sekaligus membawa nama Nasrani? |Sudah terkenal bahwa kompas boleh dipanjangkan menjadi Komando Pastur. |Bila nggak percaya silakan lihat susunan redaksinya. ... But .. that is hardly professional or intelectual. Moko/
Re: bahasa berkembang
At 12:36 PM 1/18/1999, Nasrullah Idris wrote: |Influensa berasal dari Bahasa Arab, Alfu Anza alias Hidung Kambing Sebelum ngawur jadi 'ngelmu gothak-gathuk', sebaiknya buka kamus dulu untuk mendapatkan definisi yang sudah baku. Misalnya dari Merriam-Webster ... Main Entry: influenza Function: noun Etymology: Italian, literally, influence, from Medieval Latin influentia; from the belief that epidemics were due to the 'influence' of the stars Date: 1743 1 : an acute highly contagious virus disease caused by various strains of a myxovirus (family Orthomyxoviridae) and characterized by sudden onset, fever, prostration, severe aches and pains, and progressive inflammation of the respiratory mucous membrane; broadly : a human respiratory infection of undetermined cause 2 : any of numerous febrile usually virus diseases of domestic animals marked by respiratory symptoms, inflammation of mucous membranes, and often systemic involvement Moko/