Re: How to write a winning grant! From NIH.

2002-05-12 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At  5/12/02, cortino wrote:

| kami mendapatkan sebuah notebook dari National Institute of Health (NIH)
| mengenai cara penulisan grant proposal yang berkualitas, seperti misalnya
| cara membuat hipotesa yang tajam, singkat bahkan sampai dengan cara kita
| menyusun proposal dalam waktu 15 minggu. Notebook ini merupakan suatu
| guidance yang sangat bagus sekali untuk para peneliti.
|
| File ini berjumlah kurang lebih 100 halaman, dan kami sudah scan semuanya
| dalam bentuk PDF format. Total files kurang lebih 10 MB. Untuk membuka file
| anda memerlukan acrobat reader.

Good job Tino, but ... ouch! You may want to add a disclaimer: Due
to the orientation of the text, prolonged reading may cause severe
neck injury :-)

Moko/

PS: I'm glad my wireless iBook can stand on its side like an open book.



Re: How to write a winning grant! From NIH.

2002-05-12 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At  5/12/02, cortino wrote:
| mas moko, diprint dulu donk artikelnya. masa di baca di monitor sih? :o)

Sudah setahun ini saya on the road terus - yang masih bisa masuk
backpack cuma laptop (4.9 lbs), printer is out of question [kecuali
kalau bawa becak :-)

| Kalo di scan satu-satu/perhalaman, bisa gede sekali memorinya. Bisa ngak
| selesai 2 hari buat download untuk teman-teman di indonesia, makanya kita
| scan perdua-halaman.

Yang menjadi masalah sebetulnya ORIENTASI nya. Bisa saja document itu
di scan perdua-halaman dengan orientasi tegak [scroll horizontally],
ataupun kalau mau per halaman dengan dpi yang lebih rendah
(separuhnya). Kebutuhan memory tidak berbeda. [Catatan: lebih baik
ngirit lagi kalau scanningnya langsung pakai OCR, jadi bisa disimpan
dan dikirim sebagai text]

Moko/



Tabletop Nuclear Fusion?

2002-03-06 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Dear Netters,

Mungkin di mailinglist ini masih ada yang punya perhatian pada hal-hal
yang ilmiah atau science ...

Meskipun masih controversial, akhirnya majalah Science yang akan terbit
Jumat ini (Mar 8) jadi memuat paper tentang satu riset yang membuat
klaim bisa membuat nuclear fusion dalam sebuah bejana yang berisi cairan
organic. Kalau klaim ini benar, penemuan ini adalah SOC atau SOM ...
(Science Of the Century/Millenium). Paling tidak ini akan membuat studi
tentang fusion bisa dilakukan secara sederhana dan murah (mampu
dilakukan oleh lab sederhana), dan yang lebih penting lagi adalah
potensi dan pengaruhnya dalam penyediaan energi murah [selama ini energi
nuklir dilakukan secara fission, membelah atom - dengan konsekwensi
by-productnya, limbah radioaktip, menciptakan problem baru]. Meskipun
jalan ke aplikasi praktis masih panjang, klaim riset ini, kalau benar,
memberi masa depan energi yang akan merubah kualitas hidup umat manusia.

Eksperimen tabletop fusion ini dilakukan oleh nuclear engineer Rusi
Taleyarkhan dari OakRidge National Laboratory (Tennessee) bersama
nuclear engineer Richard Lahey dari Rensselaer Polytechnic Institute
(Troy, NY) et al. yang memanfaatkan temperature dan tekanan yang sangat
tinggi ketika gelembung uap (bubble) dalam cairan kolaps secara
implosive, fenomena yang dikenal sebagai cavitation. Temperatur dalam
bubble ketika terjadi implosion ini, tergantung ukuran bubble, bisa
mencapai temperature 10^7 Kelvin, sepanas inti matahari dimana fusi atom
hydrogen membentuk inti yang lebih berat (helium dan tritium) plus
energi nuklir yang hangatnya kita rasakan setiap hari itu.

Taleyarkhan dkk. menggunakan deuterated acetone yaitu pelarut organik
aceton (biasa dipakai untuk membersihkan cat kuku) dimana setiap atom H
(hydrogen) diganti dengan deuterium (D), atom hydrogen yang lebih
berat karena punya satu extra neutron. Gelombang akustik dipakai untuk
menggetarkan bubble yang mengembang dan kemudian kolaps, fenomena ini
disebut sebagai acoustic cavitation. Pada saat yang sama, cairan
tersebut ditembak dengan neutrons energi tinggi (sekitar 14 MeV) untuk
memberi extra punch of energy dan sekaligus menciptakan bubble yang
lebih besar (sekitar satu millimeter, ketimbang biasanya hanya beberapa
nanometer). Menurut para peneliti ini, ketika kolaps, ato-atomm
deuterium ini saling bertumbukan dan bersatu (fuse), melepaskan energi,
neutron dan tritium yang merupakan signatures terjadinya fusion.

Ada kalangan ilmuwan yang sependapat (dan telah mencoba mengulangi
ekperimen ini), tetapi tidak sedikit pula yang skeptikal. Dunia ilmiah
masih belum lupa akan skandal cold fusion di Utah tahun 1989 yang
silam. Kendati kontroversi yang ada, majalah Science akhirnya memutuskan
untuk menerbitkannya, dan juga memberi kesempatan kepada publik untuk
membaca sneak preview artikel yang berkaitan, beberapa hari sebelum
tanggal penerbitan resmi. Buat yang tertarik, silahkan download sendiri
artikelnya (PDF format) dari situs majalah Science:
http://www.sciencemag.org/feature/data/hottopics/bubble/index.shtml


Moko/
Madison, WI



Re: Fasilitas Seminar on-line?

2002-02-28 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At  2/28/02, cortino sukotjo wrote:

| saya ingin bertanya, apakah ada teman-teman pernah
| menyelenggarakan/mengikuti suatu seminar online? Bila pernah, fasilitas apa
| yang pernah dipakai? dan apa suka dukanya baik sebagai organiser maupun
| sebagai peserta? or adakah yang tahu fasilitas tercanggih saat ini yang
| bisa kita gunakan dengan biaya yang minimum/grats dan dapat juga di gunakan
| oleh teman-teman di Indonesia?
|
| Kalau tidak salah, dulu teman-teman di PPI London pernah mengadakan hal
| semacam ini?
|
| Bila ada input, tolong berikan input ke jalur pribadi: [EMAIL PROTECTED]

As a matter of fact Tino, you've already been using it!
THIS mailinglist, is a good example.

[Ini saya kirim ke jalur umum karena merupakan pengetahuan umum dan juga
ada kaitannya dengan alur pembicaraan sebelumnya, i.e. Los Angeles
Scientific Meeting]

Sebelum melangkah pada penjelasan berikutnya, ada baiknya kita sepakat
dulu apa yang dimaksud dengan seminar. Definisi menurut Merriam-Webster
adalah sbb:

1 : a group of advanced students studying under a professor with
each doing original research and all exchanging results through
reports and discussions 2 a (1) : a course of study pursued by a
seminar (2) : an advanced or graduate course often featuring
informality and discussion b : a scheduled meeting of a seminar or
a room for such meetings 3 : a meeting for giving and discussing
information

Mungkin yang paling sering dipakai dikalangan kita adalah definisi nomor
3. Apapun definisi yang dipakai, formatnya pada umumnya tidak berbeda:
ada satu atau lebih pembicara, yang mengajukan tesis, topik, artikel,
makalah, problem, atau apa saja; dan kemudian ada pihak lain (biasanya
disebut audience atau peserta) yang bertanya, menyanggah, mendebat, dan
mendiskusikannya satu-sama-lain.

{Electronic] mailinglist adalah komputer program yang pada dasarnya
melantarkan pembicaraan one-to-many -- persis yang terjadi di seminar
konvensional, yang biasanya dibantu dengan PA system, supaya setiap
orang bisa mendengar kalau ada yang bicara, atau fasilitas telpon untuk
mereka yang berada di remote location.

Dalam era Internet, dimana hampir setiap orang punya fasilitas email
(atau mudah mendapatkannya), seminar via electronik mailinglist ini
menjadi lebih disukai, terutama karena jauh lebih praktis dan ekonomis.

Keuntungan seminar elektronis ini antara lain:

(1) Praktis, karena secara fisik peserta tidak harus hadir diruang
seminar (ruang dalam konteks ini adalah system server yang
mendistribusikan email dan acrhival site yang bisa diakses oleh peserta
via Internet).

(2) Faktor scheduling juga tidak lagi menjadi problem, setiap peserta
bisa membaca dan mengajukan tangapannya pada waktu yang ditentukan
olehnya sendiri.

(3) Batasan geografis juga hilang [it's only a few router hops away, a
few nano-seconds if you talk in real time]. Sebagai contoh, alasan
Marianus 3 jam perjalanan dalam thread yang lalu sudah nggak aci
lagi.

(4) Ekonomis, hampir setiap orang atau student punya email account -
kalau belum cari yang gratis juga mudah.

Meskipun begitu jelas keunggulan media modern ini, pertanyaan yang
otomatis muncul adalah mengapa tidak/belum banyak yang memanfaatkannya?
Beberapa jawaban yang obvious (silahkan menambahkan sendiri ...) adalah:
(1) tidak kenal tidak cinta (the law of ignorance). (2) Tidak cocok
dengan budaya kita (baca: nggak ada SPJ-nya, excuse bapak sedang
sibuk nggak bisa dipakai lagi, kuatir kelihatan bego - karena memang
dari sononya begitu dan disini tidak bisa lagi ditutupi dengan nggedobos
ngalor-ngidul, etc.)

Dari segi teknis, software/hardware untuk melakukan semuanya itu sudah
well-developed di segala jenis platform [saya sendiri mulai pakai di
Macintosh sekitar 7 tahun yang lalu). Tetapi jangan terlalu terbenam
dalam detail teknis [lebih baik memusatkan pikiran dan waktu pada MATERI
seminar] karena fasilitas yang gratis dan dikeola dengan baik juga sudah
banyak tersedia. Mudah dan tinggal pakai. Sebagai contoh adalah
fasilitas mailing list di yahoogroups.com - urusan pengelolaan (admin)
keanggotaan dan sistim arsip tesedia dan sangat mudah dipakai.

So ... what are waiting for?


Moko/



Dukungan pada presiden baru

2001-07-23 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Dear Permias-netters,

Serasa ada tiupan angin segar membaca pembicaraan antara Irwan dan
Agus (subject : Selamat Jalan Pak Wahid). Hari ini saya bangun dengan
sebuah harapan - harapan akan sebuah keluarga besar Indonesia yang
bekerja bahu-membahu membangun negara dari puing-puing akibat
pertengkaran yang berlarut selama ini.

No one is perfect ... so we just have to make the best with what we
got! Itu komentar sobat bule saya --a democrat diehard-- ketika Bush
akhirnya menjadi presiden Amerika, mengalahkan Al Gore. Saya kira
sikap itulah yang perlu kita contoh dalam bernegara, dalam menjadi
anggota masyarakat Indonesia. Mungkin ada yang tidak suka pada
Megawati, dengan alasan apapun, tetapi dia adalah Presiden kita
sekarang - marilah kita dukung dia paling tidak sebagai presiden
kita. Bahkan seandainya kita benci pada Megawati (a lot of American
dislike Bush), dukungan ini bukan untuk Megawati pribadi, tetapi
dukungan pada fungsi dan kapasitas dan tanggungjawab seorang presiden
dari satu negara/bangsa, Indonesia.

Bulan lalu saya ketemu seorang assistant professor dari Santa Cruz
yang datang ke Madison dalam satu seminar asia tengggara. Waktu lunch
dia nyeletuk: Wah,kalau Megawati yang presiden apa nggak kacau, dia
kan nggak tahu apa-apa ... Saya menjawab: Emangnya kalau bukan Mega
terus nggak kacau begitu ... siapapun yang jadi presiden, betapapun
pinternya dia, kalau digerecokin terus ya nggak akan pernah bisa
bekerja. Kalau kita habisin energi kita untuk bertengkar terus,
apakah ada yang tersisa untuk bikin betul urusan negara (masa
pemerintahan Gus Dur yang baru berlalu adalah satu contoh yang
nyata). Problem bangsa akan bisa dipecahkan kalau kita semua
bahu-membahu, sebagai TEAM, bekerja untuk KEPENTINGAN BERSAMA (common
good) - siapapun yang ada diatas sebagai simbol presiden tidaklah
penting, pinter atau tidak.

Pagi ini saya membaca tulisan Louise Williams di Sidney Morning
Herald (23/07/2001), saya jadi ingat kembali percakapan saya dengan
professor tersebut ... saya kutipkan paragraf terakhirnya:

   The problem with Indonesia, says a new group of young
ideologues, is that of political power itself. Without a
commitment to the common good, the revolving door will
keep turning, with many of the same old faces going in and
out in the name - but not the spirit of - democracy.

So ... marilah kita dukung presiden dan pemerintah yang bari ini,
demi COMMON GOOD, untuk kepentingan bersama. Ada perbedaan diantara
kita, ada silang pendapat [dan kita masih terus menerus perlu
bersikap kritis - sikap kritis bukan merongrong]. Justru perbedaan
itulah membuat bangsa kita menjadi lengkap, dan kaya. Seperti
bio-diversity dalam ekologi alam. Setiap individu bisa memberikan
kontribusi menurut apa kemampuannya yang terbaik (satu contoh yang
baik sudah ditunjukkan baru-baru ini oleh Tino). Itulah yang
dibutuhkan oleh negara dan bangsa saat ini dan hari-hari berikutnya.

Marilah sejenak kita lupakan pertengkaran politik (maupun fisik)
kemarin itu sebagai satu mimpi buruk yang tidak perlu terjadi lagi,
janganlah nasib kita ini seperti judul pesimistik tulisan Louise
Williams yang saya kutip diatas, Ordinary Indonesians the losers as
dreams of democracy fade. We don't have to be the losers. We gave a
choice!


Selamat bekerja di era baru,


Moko/



Diskusi gaya Nasrullah Idris

2000-07-29 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 9:40 AM -0700 7/28/00, Budi Haryanto wrote:

|Saya heran bercampur sedih mengamati gaya diskusi rekan Acu ini.
|Berangkat dari ide yang dia lontarkan ke berbagai miling list, apabila
|ada yang menanggapi tulisannya, maka dia akan respon tanggapan tsb namun
|tidak dipostingkan kembali ke miling list asal dari pemberi tanggapan,
|malah dipostingkan ke miling list lain, 
|... Saya rasa cara diskusi seperti ini adalah tidak fair.

Akhirnya ada juga yang mengangkat issue ini (thanks to Budi) ...
mailing list itu bukan media massa -- walau setiap orang bisa jadi
anggota, walau arsipnya bisa diakses lewat web, materi diskusi
mailing list umumnya terbatas (exclusive) untuk mailing list itu
sendiri. Sama sekali tidak fair --melanggar etiket umum, dan dalam
kasus tertentu melanggar hukum-- untuk memforward tulisan seseorang
dari satu mailing list tertentu ke mailing list lain TANPA SEIJIN
penulis aslinya. Ini tidak fair, karena si penulis asli ini kemudian
tidak punya kesempatan untuk menggunakan "hak jawab" nya apabila
tulisannya disanggah, diblejedi, dipergunjingkan oleh anggota list
lain yang tidak dikutinya. Meskipun "aturan" ini tidak explisit
tertulis dalam FAQ atau bylaws tetapi common sense menunjukkan bahwa
ijin dari penulis asli diperlukan kalau mau mengutip karya orang lain
(ijin spesifik untuk apa atau kemana tulisan atau kutipan tersebut
akan dipakai). [PS: Menurut konvensi Berner, hak-cipta sebuah tulisan
OTOMATIS dipunyai oleh penulis aslinya tanpa perlu pernyatan yang
eksplisit].


|Terkesan bahwa rekan Acu hanya ingin menunjukkan kalau dia bisa
|melemahkan tanggapan orang lain dan menonjolkan pemikirannya. Setelah
|itu selesai. Ganti topik ide lain, dan kalau ada tanggapan lagi lalu
|dipostingkan di milis yang lain dengan menonjolkan dominasi
|pemikirannya.

Untuk kasus ini E R Juni menggunakan istilah "cyber-exhibitionist,"
walau istilah itu sendiri sudah berkembang di dubnia web dengan
konotasi yang sangat berbeda (coba search web dengan keyword "cyber"
dan "exhibitionist" :-). Kalau kita mau mengorek jargon psychology
istilah yang mungkin sangat tepat adalah gejala "grandiosity"
(delusion of grandeur) yang dirincikan sebagai "a psychotic disorder
range from highly altruistic to being egocentric or narcissistic, and
therefore self-serving." [Harris (1977), Psychotic Grandiosity.
Psychiatry, 40(4), 344-51] ... sometime I imagine this NI subject as
a very very lonely person, living in his own world, not much of
socializing in the real world, and most likely had an
attention-deprived childhood.


|Cara-cara diskusi seperti ini bagi saya adalah hal yang baru dan terasa
|sangat tidak enak dalam membacanya, karena sangat kentalnya muatan TIDAK
|FAIR-nya. Di sisi lain, kita tidak pernah mendapat pembelajaran dari
|diskusi dengan cara ini. Lalu, dimana dong pola pikir Detail, Tuntas,
|Integratif, yang anda gembar-gemborkan?

I doubt if he understands what he wrote ... as long as they sounds
like "big words". Buat dia, makna tidak jadi masalah, yang penting
kata-kata yang dipakai kelihatan "flashy", hebat, dan memberi kesan
seolah-olah pemakainya intelligent. [Unfortunately, there is so much
you can do with such limited vocabulary ... obviously he stretched
the words so thin and recycles them over and over it bores us all to
death]

Tentu saja tidak cukup kata-kata yang "wah", tetapi ciri-ciri
self-serving narccistic adalah "lawan bicara" yang wah (seolah-olah
ada dialog dengan orang penting, bertukar pikiran dengan orang
bergelar). Tentu saja ini sangat merugikan reputasi "lawan bicara"
nya. Sebagai contoh, posting terakhir dengan Subject: #
Industri Pesawat Terbang Nusantara -- perhatikan "#" yang
konsisten dipakai oleh NI untuk menekankan pentingnya subject (so it
looks like above the rest, the normal posting by everyone else).
Lawan bicaranya (or must I say "kobannya") kali ini adalah "Dr. A
Syamil Amerika Serikat" ... wah!

Tidak terlalu penting bagi NI dalam "dialog" sehebat itu (dengan Dr,
soal industri kapal-muluk lagi), untuk membaca dan memeriksa dalam
tayangan sebelumnya (oleh Mardhika Wisesa, 25 Jul 2000) bahwa penulis
artikel tersebut adalah "Agnes Samil" [EMAIL PROTECTED] dan BUKAN
kawan kita di mailing list Permias ini, "A. Syamil"
[EMAIL PROTECTED]. Dan cilakanya attribusi yang ngawur ini
sudah di cross-post kemana-mana ... ini kan merugikan reputasi Bung
Syamil. Perbuatan ini bisa dituntut sebagai "defamation of character."


Refleksi:

Ketika ada yang menyebut permias@ ini sebagai "mailing-list sampah"
banyak yang tersinggung dan menjadi defensive. Akhir-akhir ini saya
perhatikan mulai muncul tulisan yang complain tentang "sampah" nya
sendiri -- even from those ROMs, read-only members .. they have had
it!. And that's a good sign, an encouraging development. Paling tidak
mulai ada yang acknowledge problem yang sesungguhnya, ada yang mulai
mengenali mana saja yang sampah, dan siapa sih yang suka nyampah itu.

Kadang mengherankan bagaimana orang kita [Indonesian] bisa 

Re: The envelope please ... (was: Peace for permias!)

2000-07-24 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 4:46 AM + 7/23/00, Nasrul Indroyono wrote:

|Wah, Mas Moko,
|Yang saya tahu, anda ini memang pelawak kawakan sejak dahulu
|kala. I always enjoy your humorous comments and jokes.
|Kalau nggak salah anda memang sudah terkenal sejak kuliah
|di Jogja dulu. Bener nggak ?

Sebagian bener, sebagian nggak ...
Dahulu kala saya memang [sesekali saja, sebagai kegiatan
extra-kurikuler] ikut semacam kelompok 'stand-up. Lumayan buat
mengimbangi stress 24 kredit per semester :-) Tetapi dalam soal
tulis-menulis saya lebih banyak dipengaruhi oleh gaya tulisan
'satire', seperti "Animal Farm" nya Orwell, misalnya. Reaksi pembaca
beragam, ada yang senyum-senyum, ketawa, atau bergulingan di lantai,
ada pula yang tersinggung, gondok, and hates my gut for that. I'm
glad you belong to the group that's more 'enlightened' [and
entertained].

Tentang Yogya, saya belum pernah kuliah di sana [may be some day],
tetapi Anda bukan orang pertama yang keliru tentang ini. Ada
kemungkinan orang pernah memergoki saya lesehan sarapan gudeg di tepi
Malioboro, atau sedang menikmati nasi klenyernya Warung Pak Wongso di
Kepatihan.


|I guess you do not remember me by now because of your
|incredible career success.

Tidak mudah untuk "tidak ingat" di jaman Internet ini, karena pada
dasarnya setiap tulisan adalah "permanent record" dari penulisnya,
seperti dikatakan oleh Howard Rheingold dalam bukunya, "The Virtual
Community"

"Although online conversation might have the ephemeral
 and informal feeling of a telephone conversation, it
 has the reach and permanence of a publication."

Selalu saja ada yang punya arsip tulisan kita di mailing-list, baiik
arsip pribadi di komputer masing-masing maupun arsip publik ynag bisa
diakses siapa saja. Jadi justru yang tidak wajar itu adalah kalau ada
yang "gampang lupa", bahkan lupa pada apa yang telah ditulisnya
sendiri beberapa hari sebelumnya. Agak sulit menjelaskan mekanismenya
tanpa menggunakan pisau psycho-analysis (kemungkinan 'dementia', atau
paling tidak 'denial').

Sampai sekarang saya masih tidak habis mengerti kenapa di Internet,
terutama list Permias ini, masih ada saja yang suka "nyampah", omong
jorok, main tuduh kiri-kanan ... apakah tidak sadar kalau mereka itu
seperti menulis 'epitaph' nya sendiri, dan epitaph ini diasisoasikan
dengan sesuatu yang baunya amit-amit jabang bayi.


|Ngomong ngomong apakah masih sering ngambil syuting buat
|acara TV ? Where are you now ?
|Saya lupa, sebenarnya anda yang lebih cocok untuk jadi sutradara nih.
|I am still nothing, nothing and nothing, but I am happy.

Directing?  ... sebetulnya saya lebih tertarik dalam bidang
editing terutama dengan teknologi digital-video (DV) yang membuat
urusan editing ini accessible (dan terutama affordable) untuk studio
kecil-kecilan. Saya juga tertarik dalam screen writing, yang ternyata
jauh lebih challenging daripada menulis cerita biasa (novel
misalnya), karena kita tidak lagi bisa nggedobos bertele-tele [you
can only pack a few words in 2-hour full-feature, and much less in
short movies].

Sutradara merangkap screen writer juga tidak jarang kok [i.e the most
celebrated M. Night Shyamalan in "Sixth Sense"]. Kalau ada waktu kita
bisa angkat "Lenong Permias" kemarin ini ke layar perak. Anda bisa
dengan mudah ambil bagian sebagai casting director :-) Dibawah ini
saya kasih kesempatan ngintip seperti apa kira-kira script-nya (in
cinematography standard)


   LENONG PERMIAS
 by
Moko

  FADE IN:

  INT. PERMIAS@ - NIGHT

  EXTREME CLOSE-UP on a KEYBOARD, showing the tip of fingers
  typing rapidly. Gradualy ZOOM OUT showing ALPHABETS SOUP
  running on the MONITOR SCREEN ...

  BRAWI (O.C.)
 (whistling in tune of a patriotic song)
PERMIAS yang ditunggangi oleh tokoh LSM ...
Saya sanggup dan berani menulis nama ...

  BRAWI  (cont'd)
 (in rage, no longer whistling)
Masak "temen" saya diancam ...
mengobok-obok rumah tangga orang lain ...

... etcetera etcetera

 CUT TO:
  EXT. FORUM@ - DAY

  CLOSE-UP on a COMPUTER MONITOR ...

  MESDIN
 Ada cerita negatif tentang keluarga mertua...

  SYAMIL (V.O.)
 Tidak ada di permias@ yang membeberkan itu...

... etcetera etcetera


Moko/


* following the thread below *

|From: Moko Darjatmoko [EMAIL PROTECTED]
|To: Nasrul Indroyono [EMAIL PROTECTED]
|Subject: The envelope please ... (was: Peace for permias!)
|Date: Sat, 22 Jul 2000 09:29:32 -0500
|
|At 5:35 AM + 7/21/00, Nasrul Indroyono wrote:
|
||Wah seru juga baca tulisan w

Urband Legend (was: JAKARTA IS CRUEL, PLEASE BE CAREFUL)

2000-05-19 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Dear Netters,

Even the DC's story is not true either. This is what commonly called
an "urban legend", i.e. a short tale that is told and retold as true
although it usually has little or no basis in reality or can't be
confirmed one way or another. Whether we know it or not we've all
heard them, usually as something that happened to a "friend of a
friend". This particular urban legend is well documented since 1993
(the "orla tradition" went back long time before that). To get the
complete account on this "Lights Out!" legend, click on the following
URL:

http://www.snopes.com/horrors/madmen/lightout.htm


Moko/

*


On 5/19/00, Mahendra Siregar wrote:

|Mas Arya,
|
|Come on...the last thing that Indonesia needs at the moment are foreign
|tourists who are running scared to visit the country because of
|unsubstantiated e-mails.
|
|Jakarta seperti NY, London (dan tentu saja Washington, DC) atau kota-kota
|internasional lainnya penuh dengan manusia dari segala macam lapisan.
|Akibatnya, kejahatan adalah kejadian yang walaupun kita sesalkan terjadi,
|tetapi memang terjadi setiap hari.
|
|Namun hal itu tidak perlu dibesar-besarkan, apalagi berdasarkan informasi
|yang tidak berdasar namun dapat mengurangi jumlah wisatawan asing yang
|datang. Kenapa saya katakan informasi tidak berdasar? Salah satu kutipan yg
|anda forward di bawah ini, dalam versi bahasa Inggrisnya, justru pernah saya
|lihat disebarluaskan untuk orang-orang yang tinggal di Washington, DC dan
|disebarluaskan oleh polisi DC karena menyangkut kegiatan "gang members" di
|sekitar DC. Jadi hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Jakarta atau
|Indonesia.
|
|So please be careful in forwarding information like this.
|
|Salam
|Mahendra
|
|
|INFORMASI DARI PETUGAS POLISI
|
|Informasi ini didapat dari seorang petugas polisi :
|
|Berhati-hatilah bila anda mengendarai mobil pada saat hari sudah
|mulai malam dan dari arah depan mobil anda berpapasan dengan sebuah
|mobil yang tidak menyalakan lampunya sama sekali. JANGAN SEKALI-KALI
|menyalakan lampu jauh anda ke arah mobil tersebut.
|
|Hal ini disinyalir merupakan pola "CARA-CARA INISIASI" yang berlaku
|pada sebuah kelompok/gang tertentu. Pola tersebut adalah sebagai berikut :
|
|Anggota kelompok/gang yang baru masuk akan mengemudikan mobil
|tanpa menyalakan lampu dan mobil pertama yang dijumpainya dengan
|menyalakan lampu jauh ke arah mobil mereka akan menjadi sasaran mereka.
|Mobil anggota kelompok tersebut akan berputar dan mengejar mobil sasaran,
|kemudian melepaskan tembakan ke arah mobil sasaran, untuk melengkapi
|syarat-syarat penerimaan mereka sebagai anggota yang sah ke dalam kelompok
|gang. Pastikan untuk memberitahu hal ini kepada para pengemudi yang lain
|serta
|anggota keluarga anda.



Re: Elementary ... my dear Watson!

2000-04-10 Terurut Topik Moko Darjatmoko

On 4/10/00, Jeffrey Anjasmara wrote:

| Yang di bawah ini, bagaimana kalau anda sediakan tiketnya?

It would be a waste of $


| Buat yg memandang istilah Mahaguru Gs Durno adalah jorok (terutama
| buat Budi), silakan baca lagi kisah Mahabarata. Tidak ada yg jorok
| karena setiap tokoh mempunyai dua sisi tak terkecuali Mahaguru Durno.
| Untuk saat ini perilaku Gus Dur yg disanjung-sanjung walaupun sering
| terpeleset mirip sanjungan Kurawa dan Pandawa kepada sang mahaguru.
| Kalau anda belum sampai ke pemikiran ini, shut up lalu baca. Saya nggak
| pintar, tetapi tidak perlu kepintaran untuk membaca saja sih:)
|
| Semua analogi saya dari dulu bukan sekedar serapah. Saya lihat
| Moko rajin mencatat setiap istilah yg saya buat. Tampilkan di
| sini nanti saya sampaikan reasoningnya. Itu kalau anda nggak malu kok
| nggak tahu 'opo wijine'.

Jaya, Jaya, Jaya ... atau Anjasmara ... mau sembunyi kemana lagi? Lha
sekarang kok malah mencoba "berlindung" dibalik cerita wayang. Kalau
mau "insult the intelligence" dari sidang pembaca Permias Net ini
mbok ya kira-kira. Apa dianggap anggota list ini nggak bisa baca
konteksnya, atau seakan semua orang itu "buta wayang" sama sekali (on
the contary, a number of people I know are very articulate in the
subject of wayang and javanese lores). Bisa saja dibuat seribu
"penjelasan" sesudah peristiwa terjadi, untuk mengurangi kadar
joroknya, tetapi konteks dimana kata-kata tersebut dipakai tokh tidak
bisa menipu. Apakah labeling komunis, atheis itu memang rutin dipakai
dalam dunia pewayangan? Demikian juga, apakah ada orang --dengan
intelegensia normal-normal saja-- bisa salah mengerti kalimat dibawah
ini sebagai "sanjungan" kepada Gus Dur

"Wahai  mahaguru Dur-jana, siapakah engkau? Ulamakah?
 Ataukah seorang komunis tulen berbulu Islam?" (Anjasmara/Jaya)

Dalam paribasan Jawa kuno --yang sudah jarang terdengar dalam
pegelaran wayang jaman sekarang-- pembelaan yang Anda lakukan ini
disebut "ambalithuk kukum" - artinya melanggar hukum/peraturan dengan
belagak pilon, pura-pura bego tidak tahu aturan, atau tidak tahu malu.

Semakin saya renungkan, mungkin ada benarnya juga kalau ada yang
mengusulkan bantuan seorang professional. Bukan tidak mungkin ini
memang problem Multiple Personality Disorder (MPD) --sekarang sudah
diganti nama dengan Dissociative Identity Disorder (DID*)-- dimana
dominant personality yang muncul adalah Anjasmara. So please, Mr.
Anjasmara, would you call out Mr Brawijaya, or tell him this message?
He may be the only hope to get out from this mess.

[* yang tertarik pada masalah DID, Anda bisa mencari informasi yang
lebih komprehensip di Sidran Foundation (www.sidran.org) atau
International Society for the Study of Dissociation: (www.issd.org) ]

Tulisan saya ini merupakan yang terakhir dalam thread ini (I have
much better things to do). Seandainya yang telah saya tulis ada
gunanya, jadi semacam obat [walau kadang terasa pahit] saya akan
sangat senang - send me feedback, japri saja. Kalaupun tidak, well
... some cases are just incurable -- as my doctor always says. Kalau
ada yang merasa tersinggung ... maapin deh, tetapi ini bukan apologi
dalam artian, apa yang saya tulis adalah sesuatu yang sudah saya
pertimbangkan masak-masak. Sesuatu yang perlu --dan akan saya ulangi
lagi dalam situasi yang sama-- untuk diungkapkan; so that we may all,
as a community, learn from it.

Akhirnya saya akan tutup dengan pitutur Jawa kuno, tetapi masih
sangat relevan dengan tatacara ber-mailing-list-ria di jaman
cyberspace ini: "ajining salira saka wicara." Ujar-ujar supaya
manusia itu hati-hati, penuh pertimbangan dalam menggunakan mulut
(kata-kata) nya. Ini begitu penting terutama buat mereka yang sering
omong atau nulis di net, supaya tidak mengalami nasib seperti
"dhalang kambrukan panggung" - yang mengibaratkan orang yang
mengalami kesulitan atau kesengsaraan sebagai akibat dari kata-kata
yang diucapkannya.

'nuf said,
tanceb kayon.

Moko/


Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan,
ewuh aya kang pambudi, yen meluwa  edan yekti nora tahan.
Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman,
melik kaling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
  -- R. Ng. 
Ranggawarsita

  [ Terjemahan bebas (kalau ada yang lebih baik, please...):

Untuk dibuktikan, yang mengalami jaman gila, jaman edan,
sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut edan tidak tahan.
Apabila tidak ikut menjalani, sudah pasti tidak kebagian,
memiliki harta dunia, sehingga pada akhirnya kelaparan. ]



Re: Elementary ... my dear Watson!

2000-04-09 Terurut Topik Moko Darjatmoko

On 4/9/00, Jeffrey Anjasmara wrote:

| Moko, sudah banyak yang mengenal saya secara pribadi. Saya juga sempat tulis
| bahwa tidak sulit untuk men-trace jati diri. Selanjutnya saya sudah tulis yg
| jadi permasalahan apa perlu sih? Sebetulnya pula banyak yang menulis secara
| pribadi secara bolak-balik. So?

So there is no problem, kan? kan sudah banyak yang tahu, alias
menjadi sudah menjadi "rahasia umum" - dan yang saya tulis juga
informasi yang bisa diakses oleh umum. So, you don't ahve to worry


| Tulisan anda atau tulisan Datubara tidak akan mengubah sikap saya dalam
| memandang suatu masalah.

I can only -and always do- speak for myself (jadi jangan dicampuraduk
dengan tulisan Datubara atau yang lain). Saya tidak pernah punya
keinginan merubah sikap Anda (atau orang lain) dalam melihat satu
masalah. Itu karena saya tahu pasti bahwa usaha semacam itu sia-sia.
Perubahan hanya datang dari dalam diri sendiri. Diskursus dalam forum
elektronik seperti Permias Net ini memberi kesempatan yang satu
belajar dari yang lain, tetapi perubahan itu hanya bisa dilakukan
oleh diri sendiri. Seperti kata Dan Limon, "You can learn from
people, and educate others, but the only one you can change is
yourself."

Jadi, memang saya tidak berpretensi untuk bisa merubah "kebiasaan
jorok" Anda di Net (seperti disinggung oleh Budi haryanto), tetapi
tidak berarti bahwa omongan jorok tersebut tidak lagi mengusik
citarasa [berdiskusi] saya atau perasaan kesantunan umum. Saya masih
tetap terganggu kalau ada orang yang seenaknya melabel orang lain
komunis, atheis, dsb. - saya yang cuma ikut dengar saja terusik,
apalagi yang kena label. Saya tidak punya masalah dengan perbedaan
pendapat, bahkan pendapat yang berlawanan dengan popular view,
kebijakan pemerintah, tetapi rasa kesantunan saya tetap terusik kalau
ada yang melecehkan nama atau sebutan orang lain -- yang tidak ada
kaitannya dengan pendapat yang ditentang tersebut. Masih ingat dengan
tulisan Anda yang pernah saya kutip di tulisan yang lalu: "Gus Dur
alias Mr. Wa-Hyde memang benar-benar buta dan bebal." Dan yang baru
saja muncul dalam hari-hari kemarin ini: "GusDurno," atau "Wahai
mahaguru Dur-jana, siapakah engkau? Ulamakah? Ataukah seorang komunis
tulen berbulu Islam?

No, saya tidak bisa melarang orang omong jorok, apalagi merubah
kebiasaan omong jorok seperti itu ... "emang ude dari pu'unnya!" kata
orang Betawi. Ada yang mengajurkan "delete" saja (dari pada ribut),
tetapi ini juga tidak membuat masalahnya terus hilang, seperti
problem bau busuk sampah, tidak bisa hilang dengan menganggap
sampahnya tidak ada.

Dulu saya percaya pada ujar-ujar lama "sticks and stones will break
my bones, but words alone will never hurt me" -- tetapi ternyata
"kata-kata" bisa juga melukai (dan exchange  di mailing list ini ya
cuma pakai kata-kata belaka). Label seperti "komunis", "atheis", dan
olok-olok kotor lain yang dengan 'casual' suka Anda obral itu
ternyata melukai, terutama buat yang kena label. Dan kalau direnungi
lebih lanjut -dari pengamatan dalam hidup- kata-kata tersebut bisa
membuat orang sengsara, dikucilkan bahkan dibunuh. Ini mirip efek
dari teriakan "rampok, rampok" di pasar, yang sering berakibat
penganiayaan, pembantaian, pembakaran hidup-hidup di masyarakat kita.

Mungkin si Brawijaya tidak pernah merasakan ini sendiri, karena kalau
ada yang marah, yang balik mencaci-maki, sumpah-serapahnya pergi ke
si Anjasmara -- karakter yang Anda (Brawijaya) ciptakan pada tanggal
14 Jul 1999 itu. Saya percaya pada azas dari hampir semua hukum
dimasyarakat beradab, yaitu "the accused has the right to confront
the accuser." Jadi, paling tidak yang sering dilabel komunis, atheis,
dsb. itu tahu SIAPA yang menuduhnya begitu. It is only fair! Dan
mungkin dengan identitas ganda (Brawijaya = Anjasmara) yang sudah
menjadi 'public knowledge' ini, kebiasaan jorok seperti itu bisa
berkurang. Paling tidak sekarang ini ada individu manusia --bukan
'non-person' seperti Anjasmara-- yang bisa kemudian diminta
pertanggungjawaban atas tuduhannya.

Itu semua memang cuma 'teori' atau persisnya harapan saya. Tetapi
teori ini bisa di-test (don't take my words for it, try it yourself):
Apakah si Brawijaya besok berani ngomong apa yang ditulisnya ini
didepan orangnya sendiri - face-to-face, mano-a-mano? (pasti banyak
yang pergi dari Troy ke pertemuan si KBRI Wasington, jadi bisa ngajak
carpooling):

   Mathori lagi? Si Plin-plan penjilat kelas satu itu?
   Nih, Mathori dengan mengatasnamakan PKB langsung meng-iya-kan waktu
   Gus Durno mempunyai ide pencabut TAP MPRS itu. Setelah itu baru
   kebingungan dengan reaksi masyarakat, dan akhirnya fraksi dari PKB
   di MPR-pun ambil jalan aman diam saja. Cuma dari sini kita bisa
   tahu bagaimana tipe-tipe Mathori ini yaitu tipe Kiss Boss' Ass.

   Anjas


--
Moko/

  "He that never changes his opinions, never corrects his mistakes,
  and will never be wiser on the morrow than he is today."
-- Tryon Edwards



Elementary ... my dear Watson!

2000-04-08 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Elementary ... my dear Watson!
 (The case of not-so-elusive Jeffrey)

 "Prestasi intelektual seseorang di bidang kerahasiaan
  tidak hanya ditentukan: apakah bisa dibongkar atau tidak
  ini sih pemikiran kuno. Juga berapa lama rahasia itu
  bisa disembunyikannya FNU Brawijaya telah memperlihatkan
  kelas intelektualitasnya tentang itu." -- Nasrullah Idris

Kembali ada bahan yang 'stimulating'untuk menulis di akhir minggu
ini. Kalau ada yang menaruh simpati (atau tepatnya "kasihan" -- I
do!) itu hal yang biasa, karena pada dasarnya di list ini juga masih
banyak orang yang 'baek-baek' (decent,  compassionate, or simply nice
folks), tetapi kalau kemudian ada yang memuji "kelas intelektualitas"
nya ... nah, ini baru berita!

Apa yang bisa dibilang "intelek" dari kemampuan mengganti isi field
"Return Address" di email program yang kita pakai? Semua orang yang
mengerti letak huruf-huruf A-B-C... di keyboard komputer bisa
melakukan ini -- rumor has it, that even Boogie can do better tricks
[Note: Boogie is the legendary and elusive cybermonkey I mentioned in
my high-brows joke on my recent email -- I know, not very many people
get the joke (read again: "Darwin  Cybermonkey Theory " - 8 Mar
2000).

Sebetulnya banyak yang sudah tahu (atau menduga) siapa sesungguhnya
si "Jeffrey Anjasmara" ini. Tetapi seperti sudah saya tulis,
kebanyakan mereka itu "orang baek-baek", jadi tidak terlalu
mempersoalkan masalah ini. Kebanyakan orang lebih tertarik dan
mendasarkan penilain pada materi dan isi tulisan, yang lebih
mencerminkan karakter seseorang, ketimbang isi "return address" nya.
Tentu saja pendapat umum ini akan berubah bila hal-hal diluar
kewajaran dilakukan, kalau identitas palsu/samaran tersebut dipakai
untuk maki-maki kiri-kanan atau kelakuan "jorok" (pinjam istilah Budi
Haryanto), kalau anonimitas [semu] tersebut dimanfaatkan sebagai
'unfair-advantage' (so he can "safely" harass, threaten, and berate
others).

Walau setiap orang punya alasan pribadi mengapa musti
"sembunyi-sembunyi" seperti itu, saya sangat sependapat dengan
pendapat Irwan Ariston: "Toh sekarang sudah jaman reformasi, kenapa
kita masih takut untuk bersuara kalau memang kita yakini apa yang
kita omongkan itu bisa dipertanggung jawabkan dan juga punya tujuan
baik." Selanjutnya Irwan menyarankan 'wayout' yang tidak kalah
menariknya (or 'amusing', to be exact): " Kalau ternyata hal tersebut
memberatkan, saya sarankan sih untuk membuat email baru lagi sekalian
bangun
karakter baru agar tidak bisa dikenali."

Sebetulnya ada cara yang lebih elegan (dan jantan), seperti sudah
saya anjurkan dalam email yang lalu "to tell us who you really are",
atau just make a 'gentle exit' - pelan-pelan lengser atau menghilang
begitu orang lain mulai menunjukkan kecurigaan. It may not be
something to tell home about, but it could save so much face.

Ada beberapa email (japri) yang intinya menanyakan kenapa saya kok
begitu "yakin", sampai berani menganjurkan hal-hal diatas. Well,
sebetulnya saya nggak sampai hati buka rahasia [on the other hand, I
can't tolerate abusive behavior), tetapi karena sekarang sudah
menjadi rahasia umum (siapa 'Jeffrey Anjasmara' ini) - sekarang saya
bisa menunjukkan bagaimana saya tahu dengan pasti. It is very simple,
the clue is out there in the list itself. Anyone can have akses to
the clue. Begini ceritanya:

Dalam setiap email --yang sebetulnya merupakan kumpulan paket-paket
kecil atau 'datagram'-- selalu ada identifikasi dari mana dan mau ke
mana paket email tersebut akan pergi. Sebetulnya tidak beda dengan
menulis address kalau kirim apa-apa lewat pos. Return address
biasanya ada, secara konvensi sebagai alamat pengembalian, kalau yang
dikirim -karena sesuatu hal- tidak sampai alamat yang dituju.
Singkatnya, supaya pembicaraan ini tidak kelewat teknis, di header
email kita selalu ada identifikasi dari mana email tersebut dikirim,
yang sering diberi label sebagai "Originating-IP" [Catatan: "Full
header" ini kadang tidak kelihatan karena 'default setting'nya
begitu, kalau pakai Eudora, tinggal pencet button "Blah-blah" nya].

Apakah "Originating-IP" itu? Ini adalah IP# atau nomor IP (Internet
Protocol), serangkaian angka 'oktet' yang di-assign secara unik pada
setiap mesin yang terhubung ke Internet. IP# di komputer itu kita
bisa tetap (fixed) atau sementara (dynamic). Kalau hubungan itu
"sementara", misalnya dengan cara dial-up yang lazim kita pakai itu,
IP# ini adalah yang di-assign ke port dari terminal server (dial-up
pool) yang kita pakai (apakah itu University dial-up ataupun ISP).

Dibalik satu (atau lebih) nomor telpon untuk dial ke kampus atau ISP
itu ada beberapa ratus (atau ribu, tergantung jumlah pemakai) modem
yang menerima permintaan koneksi. Setiap modem terhubung pada sebuah
IP-port, dengan IP# yang unik diatas. Setiap kali kita kita memulai
hubungan modem, komputer kita mendapat IP# sesuai dengan modem yang
*kebetulan* avaialable. Lebih sering ketimbang tidak, kita 

Re: Lahirnya Partai Komunis Indonesia (Re: Komunis berbulu Islam atau Islam ...)

2000-04-04 Terurut Topik Moko Darjatmoko

On 4/4/00, Faransyah Jaya wrote:

Mungkin memang takutnya dengan komunis Indonesia.
Kalo komunis Indonesia saya pribadi juga khawatir.
Dari cerita Orang tua langsung sih memang komunis "Indonesia"
itu sadis.

Faran, "sadis" nya itu bukankah karena "Indonesia" nya ... tidak
peduli apakah itu komunis atau non-komunis (artinya: ya tentara, ya
mereka yang ngakunya beragama, dsb.)

Sampai sekarang saya masih terbayang pemandangan masa kecil,
kepala-kepala yang dicocok pada galah bambu sepanjang jalan raya di
Jawa Timur. Ini terjadi setelah PKI dilumpuhkan secara total. Orang
bilang itu kepala orang-orang PKI, ateis, atau mungkin orang yang
lagi sial saja -- seperti tetanga saya yang mendadak lenyap, "in the
wrong place at the wrong time." Pembantainya? ... apakah pembantainya
orang-orang "komunis" yang sadis itu? Lho logikanya gimana sih, kan
komunis (PKI) sudah lumpuh, kan orang-orangnya sudah habis ditangkapi
pada waktu itu?

Ingatan paling 'traumatik" adalah tentang guru agama di SMP saya
dulu. Dia suka bawa pedang kemana-mena termasuk waktu di kelas
pelajaran agama. Dengan bangga dia bercerita, bahwa semalam sudah
menebas kepala yang ketujuh ... "tinggal dua lagi," katanya, "habis
itu karcis ke surga boleh dibilang sudah di tangan." Tiba-tiba saya
ingin muntah -- saya pamit ke WC, dan tidak pernah kembali ke kelas
guru berpedang itu sampai lulus SMP 2 tahun kemudian.

Lha itu kan jaman dulu, jaman kacau ...

Jaman sekarang sebetulnya lebih mudah lagi ... tinggal lihat berita
koran lokal saja. Meniru metode yang sering dipakai Noam Chomsky
(MIT) ini saya ambil sample headline di Kompas rubruik METROpolitan.
harap diingat saya tidak mengutip Pos Kota, tetapi harian Kompas,
koran yang amat "jinak" itu -- atau "banci" meminjam olokan Ben
Anderson (Cornell).

Headlines dari minggu lalu (Senin sampai Sabtu) ...

  Senin, 27 Maret 2000
  
  * Program Penertiban Umum tidak Tercapai
Program 100 Hari Gubernur DKI Jakarta, untuk menegakkan
ketertiban umum dan taat hukum, tampaknya tidak tercapai

  * Maling Motor Tewas Dibakar
Aksi main hakim sendiri oleh massa terhadap pelaku tindak
kejahatan, kembali terjadi di Tangerang, Sabtu (25/3) malam

  Selasa, 28 Maret 2000
  -
  * Personel Tentara "Ngamuk", Tewaskan Pemilik Kafe
Dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD berpangkat
sersan satu (sertu) mengamuk di Tangerang, Senin (27/3) sekitar
pukul 04.30

  * Tak Tanggapi Cinta, Erni Tewas Digorok
Erni Kusumawati (20), karyawati perusahaan swasta, ditemukan
tewas dengan leher hampir putus di dalam kamar rumahnya di
Kampungbaru RT 03/02 Desa Karangasih, Kecamatan Cikarang,
Bekasi, Senin (27/3) dini hari

  * Seorang Wanita Perancis Tewas di Tangan Perampok
Silvy Maupin (39), seorang ibu berkewarganegaraan Perancis,
ditemukan tewas di tempat tidurnya di Jalan Madrasah II Buntu
Kemang, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, pukul 04.40 hari Senin

  * Polisi Masih Periksa Abi dan Teman-temannya
Aparat Kepolisian Resor Metro (Polrestro) Jakarta Pusat sampai
Senin (27/3) sore masih memeriksa Abi Suryosumarno dan enam
temannya, yang diduga keras mengetahui pengeroyok hingga tewas
Bharatu Abraham Mao dan Belly Sihombing di BC Cafe, ...

  Rabu, 29 Maret 2000
  ---
  * Polisi Tembak Mati Dua Penodong
Polisi menembak mati Iwan dan Asep, dua dari empat penodong
yang biasa beroperasi di perempatan di Jalan Perintis-Yos
Sudarso, Kelapagading, Jakarta Utara, Senin (27/3) malam

  * Lima Bangunan Terbakar di Matraman
Seorang anggota Marinir terluka akibat pengeroyokan dan lima
bangunan terbakar dalam sebuah keributan antarwarga di Jl
Matraman Raya, Jakarta Timur, Selasa (28/3) petang

  * Tersangka Pembunuh Ditahan di Pomdam
Fe dan Ro, dua anggota TNI AD berpangkat sersan satu (sertu),
tersangka pelaku pembunuhan Novelim Jemi (42), pemilik Kafe
Duta 168 di Taman Cibodas, Jatiuwung, Kota Tangerang, pada
peristiwa hari Senin pagi, mulai Selasa (28/3) kemarin dit

  Kamis, 30 Maret 2000
  
  * Polisi Ringkus "Bos" Belasan Kelompok Pencuri
Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menangkap Musadar,
seorang tersangka penadah barang curian dengan enam orang
pencuri suruhannya, di Jalan Kebonbawang XV RT 018/02,
Tanjungpriok, Jakarta Utara

  * Gagal Rampas Uang, Perampok Menembak Korbannya
Dua perampok bersenjata api gagal merampas uang sebesar Rp 273
juta milik perusahaan pelayaran PT Sriwijaya Lloyd yang baru
saja diambil di Standard Chartered Bank, Jakarta, Rabu (29/3)
sore

  Jumat, 31 Maret 2000
  
  * Tiga Pencuri Tewas Dihajar Massa
Tiga pencuri di tiga kota, Bogor, Tangerang, dan Bekasi tewas
secara 

Re: WOW! Plagiarism

2000-03-15 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 9:33 PM 3/15/00, Ramadhan Pohan wrote:

|Begitu buka Detikcom, eh saya lihat ada topik menarikSelanjutnya:
|http://www.detik.com/pembaca/2000/03/14/2000314-170745.shtml

Sebelum terlalu jauh 'ngalor-ngidul' ada baiknya kita sepakat dulu
dengan pengertian yang sama apakah "plagiarism" itu. Menurut definisi
di Funk and Wagnalls' New Standard Dictionary (1921) adalah:

1. The act of plagiarizing or appropriating the
ideas, writings, or inventions of another without
due acknowledgment; specifically the stealing of
passages either for word or in substance, from the
writings of another and publishing them as one's
own. 2. A writing, utterance, or invention stolen
from another. (Funk, 1921)

Menarik untuk dicatat bahwa praktek plagiarism ini disebut
"plagiary," yang punya arti lain sebagai "kidnapping." Urutan
etimologinya adalah kata Perancis "plagiaire" yang berasal dari kata
Latin "plagium" yang artinya "kidnapping" (Funk, 1921).

Dalam suratnya ke detikcom, penulis membuka argumennya dengan
mengecilkan permasalahannya, seolah-olah ini hanya kesalahan teknis
"data primer vs sekunder" belaka ...

Saudara Ipong divonis berdasarkan laporan Nurhasim
yang mengklaim bahwa sang doktor menciplak data
sekunder miliknya. Klaim ini ternyata sangat ampuh
sebagai 'primary evidence' dalam mengadili masa
depan dan karir Ipong. (detikcom)

dan selanjutnya digambarkan seolah-olah Dr Affan Gaffar itu "ringan
[tangan]" terhadap anak bimbingnya sendiri. Affan Gaffar sebetulnya
hanya menganjurkan agar Ipong menyerahkan sendiri gelar doktornya ke
UGM (Bernas 27/12). Affan juga mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen
isi disertasi Ipong persis skripsi Nurhasim.

Memang kita tidak bisa mengatakan secara pasti tanpa membaca karya
bermasalah tersebut, tanpa membandingkan disertasi di UGM dan tesis
di Unair tersebut. Tetapi membaca komentar mereka yang mengetahui
'first hand' seperti Affan, dan yang lain (kalau anda rajin membaca
Bernas), jelas masalah ini bukan sekedar urusan "data sekunder"
seperti berkali-kali juga dikatakan oleh Ipong, tetapi bisa dibilang
seluruh disertasi itu sendiri adalah jiplakan.

... Ikrar Nusa Bhakti yang mendampingi Mochamad
Nurhasim, mengatakan penjiplakan yang dilakukan
Ipong dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan
sebagai sebuah buku ini memang terlihat jelas.
Disebutkan, 99 persen isi halaman 88 hingga 179
bukunya yang berjudul "Radikalisme Petani Masa Orde
Baru merupakan salinan dar skripsi Nurhasim
Sedangkan isi Bab II buku itu, katanya, memiliki
substansi yang sama dengan skripsi Nurhashim, cuma
berbeda dalam pengeditan dan pemindahan-pemindahan
tema. (Bernas)

Saya setuju dengan penulis bahwa problem plagiarism ini tidak berdiri
sendiri -- dalam artian "sistim" pendidikan kita ikut memudahkan
terjadinya kejahatan intelektual tersebut, jadi memang harus
diperbaiki secara menyeluruh, bahkan mulai level sekolah dasar --
tetapi kejahatan itu sendiri tidak lalu berkurang bobotnya. Ini kan
tidak ada bedanya dengan seorang pencopet yang berkilah didepan hakim
"lha polisinya cuek saja" atau mencopet itu okay, karena "salahnya
sendiri bawa duit banyak", dst. Apakah cueknya polisi atau lengahnya
membuat mencopet itu jadi boleh dilakukan? atau lebih "enteng"
kadarnya?

Saya juga sependapat bahwa komunitas akademis harus introspeksi,
bahwa kasus Ipong ini hanya merupakan pucuk dari sebuah gunung es
yang sangat besar. Akar dari problemnya sangat mendasar. meluas dan
sistemik. Ini menyangkut "pendidikan" --baik formal maupun informal--
yang gagal membentuk individu yang punya harga diri dan integritas
manusia.

"Kesempatan membuat orang jadi maling" -- terjemahan bebas dari
peribahasa Belanda yang sering dibilang ayah saya dulu. banyak yang
memilih pembenahan sistimnya dulu, kalau disuruh memilih prioritas
antara yang berniat jahat dan
struktur lembaga/masyarakat yang memungkinkannya melaksanakan niat
jahat. Tetapi bagaimanakah bisa dipisahkan antara sistim dan
pelaku-pelakunya -- kecuali dalam masyarakat yang hidup dalam
kebohongan?


Moko/


"Pengakuan" sang doktor ... (dalam keadaan sadar :-)

"Saya ndak percaya lagi dengan Nurhasim. Jadi semua
data yang saya ambil dari skripsinya akan saya
hapus dan saya akan mencari data primer yang hilang
dengan mengacu pada empat teori gerakan petani yang
saya gunakan dalam disertasi saya." (Bernas 25/2).



Darwin Cybermonkey Theory

2000-03-08 Terurut Topik Moko Darjatmoko

|Saya pernah dengar bahwa sebenarnya Darwin itu tidak pernah
| menyimpukan [sic] bahwa Manusia itu berasal dari Monyet.
|Kalau sampai terjadi kontroversil tersebut akibat sepak-terjang
| oknum cendekiawan Yahudi dengan jalan mendramatisasikannya.
|Mohon konfirmasi yang sebenarnya. Ada yang tahu ?


Dear Netters,

That is the most ridiculous BS I've ever heard so far. I doubt that
they guy who wrote the above statement knows anything about Darwin's
Evolution Theory. One thing for sure though: he was born hating Jews
(ironically, he never knows nor even meets any of them).

BTW ... an evolution-related theory has recently been circulating in
the Net. This new theory goes something like this: "Given *enough
time*, a monkey pounding on a typewriter (or modern-day
word-processor) could eventually produce a sonnet, or even the
complete works of Shakespeare."

In apparent attempt to mock Darwin's grand idea on evolution, the new
theory, dubbed as "The Cybermonkey Theory," argues that the chance of
life springing from inorganic matter is as good as finding the monkey
capable of writing a Shakespearean sonnet.

Not everyone agrees. Dr. Ian Musgrave from Prince Henry's Institute
of Medical Research showed that "the probability of a given page of
any text being generated randomly is roughly 1 in 10^1000, assuming
200 words per page, and average word size of 5 letters (not counting
punctuation or whitespace)."

Dr. Musgrave further wrote that generating the 32 amino acid
self-replicating Ghadiri ligase at random has a probability of 1 in
4.2x10^41, and the probability of generating a given sequence of the
101 amino acid peptide cytochrome C is 2.5 x 10^131. Score 1-0 for
the amino acids. [Note: amino acids are building blocks of every
living things]

He added, that in a global ocean of 10^20 litres, with an amino acid
concentration of 1x10^-6 molar, there are something like 1x10^50
potential starting chains. Assuming that it takes a week to generate
a sequence, then the Ghadiri ligase could be generated in one week,
and any cytochrome C sequence could be generated in a bit over a
million years (which is very reasonable in evolutionary/geologic time
scale).

To demonstrate the theory, a nice Java script has been written to
simulate a monkey pounding a typewriter. You can hear the
click-clacking of the typewriter at the site
(http://www.playlink.com/staff/dfox/monkey.htm).

Meanwhile, other experts approached this issue with different
attitudes. Take for example this fellow "Doctor Adam Safran."
Immediately he founded the "100-Monkeys Project", apparently inspired
by the SETI project (Search for Extra Terrestrial Intelligence), so
he can get help from the Net community. And so began the Search for
Intelligent Monkeys on the Internet (SIMI) Project in early spring of
1999. Visit the site (http://www.100monkeys.org/)

I always consider myself a die-hard skeptic, but recently I have a
doubt. May be ... well, could it be possible that there such a
monkey? could it be that it is already running around the Net sending
e-mail and cross-posting here and there. This could explain the so
many unintelligible messages arrive daily in our inbox. That could
also be Boogie, the popular monkey who left the SIMI project on
August 15. As of this writing, Boogie has not reported back. He's
still lurking out there.


Perplexed,

Moko/



Re: Sistem Pemilihan Presiden AS dan Indonesia

2000-02-25 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 1:03 PM 2/25/2000, Mahendra Siregar wrote:

| Saya menyarankan kita dapat mendiskusikan dan membandingkan sistem
| pemilihan presiden di Indonesia dan AS sebagai masukan bagi MPR dan
| Pemerintah RI yang akan membahasnya bulan Agustus tahun ini. Hal
| ini sangat penting karena saya melihat banyak diantara para
| pemimpin kita yang memiliki pemahaman keliru mengenai sistem
| pemilihan presiden di AS dengan mengatakan bahwa sistem pemilihan
| Presiden di AS dilakukan dengan sistem langsung. Setahu saya hal
| itu tidak benar, karena sistem pemilihan di AS adalah tidak
| langsung baik untuk tahap penyisihan (primary atau caucus) maupun
| pemilihan umum (general election).

| Dalam tingkat penyisihan, rakyat AS memilih delegates dari
| masing-masing partai yang akan hadir pada konvensi nasional partai
| itu pada bulan Agustus. Dengan kata lain, rakyat AS memilih
| delegasi yang pada bulan Agustus nanti akan memilih calon Presiden
| dari partai Republik, Demokrat dan Reform.

| Setelah konvensi nasional masing-masing partai menetapkan calon
| presidennya masing-masing, maka mereka akan bertarung dalam pemilu
| bulan Nopember. Pada pemilu Nopember itu, rakyat AS memilih
| electors dari masing-masing distrik yang kemudian akan menetapkan
| siapa presiden AS dalam suatu mekanisme atau lembaga yang disebut
| electoral college. Dengan kata lain, dalam tahap inipun rakyat AS
| tidak memilih langsung presidennya tetapi melalui perwakilan.

| Maka kalau ada orang yang mengatakan bahwa sistem pemilihan
| presiden di AS dilakukan langsung oleh rakyatnya, maka saya menjadi
| bingung. What do you think?

Sebetulnya tidak sesederhana itu ... untuk membandingkan secara betul
orang harus memahami dulu sejarah dan sistim politik Amerika (cukup
dari pelajaran Civics-101 di highschool atau informasi yang banyak
tersedia di Internet). Ini penting sekali, supaya pembicaraan tidak
jadi ngalor-ngidul, tetapi fokus membedah substansi yang sama.

Apakah pemilihan presiden Amerika dilakukan langsung oleh rakyat,
jawabnya adalah YA dan TIDAK (or "it's not that simple!"). Dalam
election, rakyat 'mencoblos' nama individu calon presiden. Kalau ini
dikontraskan dengan pemilu yang selama ini dilakukan di Indonesia,
jawabannya adalah YA. - karena rakyat Indonesia TIDAK mencoblos nama
calon presidennya, bahkan tidak juga memilih wakil (electors) yang
nantinya memilih presiden. DI pemilu kita rakyat hanya memberikan
suaranya kepada PARTAI peserta pemilu.

Jawaban kedua: pemilihan presiden Amerika TIDAK dilakukan langsung
oleh rakyat, karena yang menentukan pemenang itu bukan majoritas
(setengah tambah satu) dari popular votes, tetapi majoritas dari
electoral votes -- yang diberikan oleh para electors dalam lembaga
sementara yang dinamakan "Electoral College" -- yang tugasnya cuma
sehari: ketemu, masukkan suara, dan kemudian bubar.

Electoral College ini dahulu dibentuk oleh 'founding fathers' sebagai
kompromi antara pemilihan presiden oleh Congress (wakil state) dan
langsung oleh rakyat (popular vote). Perlu dicatat bahwa bentuk
"Federal" itu sendiri merupakan kompromi antara kedaulatan State (dan
rakyatnya) dengan perlunya pemerintah pusat yang kuat. Electoral
College terdiri dari 538 electors - satu untuk 435 anggota House of
Representatives (wakil rakyat, tergantung hasil sensus) dan 100 untuk
Senators (wakil negara bagian, 2 setiap state), ditambah 3 untuk
District of Columbia.

Siapa yang menjadi electors ini? Daftar calon electors biasanya
ditentukan oleh partai politik, kecuali Maine dan Nebraska, dimana 2
electors dipilih oleh popular state vote dan sisanya oleh popular
vote disetiap district (akibatnya ada kemungkinan terjadi daftar
campuran, bukan dari satu partai).

Tiap negara bagian punya aturan yang berbeda. Meskipun konstitusi dan
hukum federal tidak mengharuskan electors untuk memilih sesuai dengan
popular vote di negara bagiannya (biasanya berkaitan dengan partai
majoritas), ada pula beberapa negara bagian yang mengharuskan begitu.
Kepada para pembangkangnya ("faithless elector") bisa dikenakan
denda, diskualifikasi atau pembatalan vote (dan kemudian digantikan
oleh substitute elector).

Sepanjang sejarah ada ide-ide untuk merubah sistim yang berlaku
sekarang (misalnya proposal 1977 untuk amendment konstitusi untuk
pemilihan presiden secara "langsung-sung!" -- pinjam gaya bahasa
Malang), tetapi sampai saat ini model electoral college ini masih
dianggap paling 'robust' dan cocok dengan pemikiran yang melandasi
model pemerintahan federal Amerika. Pros dan cons dalam issue ini
tentu saja masih akan terus berlangsung. Kita bisa banyak belajar
dari pengalaman sejarah Amerika dan dari diskusi yang masih terus
bergulir ini.

Seharusnya diskursus yang terbuka dan bebas seperti itu juga bisa
dilakukan di tanah air. Waktunyapun masih cukup masih cukup. Masih
ada waktu hampir 5 tahun untuk membicarakan dengan kepala dingin. Dan
kalau masih belum sempurna bisa dilanjutkan untuk 5 tahun berikutnya
-- tidak ada "harga mati" dalam 

Re: (Ilmu perpisangan)

2000-02-19 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 9:38 AM 2/19/2000, Budi Haryanto wrote:

|Eh.., ngomong-ngomong kamu mau bikin Pisang goreng, Pisang tepung, atau
|Tepung goreng sih? (Kang Acu, permisi numpang pinjem konsep 'kombinasi' dan
|'kompetisi'nya). Kalau dikaitkan dengan 'mati', kelihatannya risiko dari
|makan dua jenis yang tersebut terakhir lebih tinggi dari yang pertama. Jadi
|hati-hati ya milihnya.?!

"Let us not forget the inherent risks always associated
with bananas: One could slip on a peel and break a leg."

Sorry ... I just can't help quoting Dan Hardy [EMAIL PROTECTED] on the
"costarican banana" hoax (to read other message on this thread,
search with keyword "banana" at
http://www.urbanlegends.com/search/nsearch.cgi)

Moko/

PS: Interestingly --except in movie cartoon-- I have never seen
anyone actually slipping on a banana peels. Has anyone else? And
thus, can "slipping on a banana peel" also be considered a hoax or
urban legend?



Re: D e a d A i r ... Theory Facts

2000-02-07 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 8:26 AM 2/7/2000, Jeffrey Anjasmara wrote:

|Ah, Moko emang banyak teori muluk-muluk. Okay-lah saya diam dan hanya
|memonitor. Apakah milis tambah baik tanpa kehadiran saya? Let's see:)

Lho kok terus buru-buru mau "lengser" begitu, Jeff. Tumben kali ini
kok 'sangar'nya nggak keluar. Saya sudah mengharapkan dicacimaki
seperti Nahar ("Habisi Nahar rasis keparat...!") atau yang lain.

"But ... it's only a theory!". Ini adalah klise klasik yang sering
dipakai orang kalau kehabisan daya argumen. Argumen "hanya teori" ini
dipakai untuk  memberi kesan seolah-oleh apa yang dikatakan sebagai
"teori" (argumen lawan) bukan fakta, atau tidak mengandung kebenaran.
Padahal setiap argumen itu umumnya mengandung teori dan fakta, dan
hubungan teori dan fakta tidak harus berlawanan. Stephen J. Gould
menyatakan dengan baik dalam ulasannya mengenai pro-con teori evolusi
("Evolution as Fact and Theory"; Discover, May 1981):

In the American vernacular, "theory" often means "imperfect fact" -
part of a hierarchy of confidence running downhill from fact to
theory to hypothesis to guess [but] facts and theories are
different things, not rungs in a hierarchy of increasing certainty.
Facts are the world's data. Theories are structures of ideas that
explain and interpret facts. Facts don't go away when scientists
debate rival theories to explain them. Einstein's theory of
gravitation replaced Newton's in this century, but apples didn't
suspend themselves in midair, pending the outcome.

Memang, saya menarik "teori" --tentang up-and-down sebuah
mailinglist, tentang efek anonimitas pada perilaku seseorang-- dan
siapa saja boleh berbeda pendapat (atau punya teori lain), tetapi
teori tersebut saya tarik berdasarkan *fakta*, pengamatan yang cukup
lama. Dan fakta ini lah yang tidak berubah, lepas dari teori mana
yang diterima oleh umum sebagai paling masuk akal.

Sebagai contoh, tidak semua orang yang memakai anonimitas itu
perilakunya terus degeneratif, tetapi ada juga sosiologis atau
pengamat perilaku sosial yang tertarik untuk mempelajari perilaku
"mob mentality" ... dimana orang yang tadinya (normalnya) baik-baik,
ramah-tamah, murah senyum, suka gotong-royong --pokoknya gambaran
orang Indonesia lah-- begitu larut dalam anonimitas massa, tiba-tiba
berubah menjadi penjarah, pembakar, perusak, pembunuh. Itu semua
memang teori, yang membutuhkan pengamatan dan dukungan fakta untuk
mencapai tingkat confidence tertentu. Bagaimanapun, fakta adanya
penjarahan, pembakaran, perusakan, pembunuhan dalam kerusuhan yang
melibatkan massa (mob) begitu sering terjadi -- sampai hampir manjadi
berita regular di media massa kita.

Kembali ke tulisan saya, bagian mana yang teori, dan bagian mana yang
fakta? Atau kalau memakai konotasi klise Jeffrey diatas, bagian mana
yang ngibul?

Saya yakin anggota list ini masih ingat atau punya arsipnya tentang
"Habisi Nahar..." dan baris-baris lain yang saya kutip dalam tulisan
yang lalu. Itu bisa disebut *fakta* (hitam-putih malah!). Lalu apakah
"teori" bahwa perilaku semacam itu muncul karena anonimitas itu
salah, atau masuk diakal. Ooops, ada satu asumsi yang diloncati,
apakah memang "Jeffrey Anjasmara" itu sebuah rekayasa anonimitas
(dengan nama samaran) atau identitas yang benar-benar ada
eksitensinya -- seperti yang ditulisnya pada "introducion form" nya
IDS list (bisa diperoleh di arsip IDS list, kirim  email ke
[EMAIL PROTECTED], body: GET IDS LOG9907B)

  Date: Wed, 14 Jul 1999 09:39:48 EDT
  Reply-To: "Indonesian Development Studies [EMAIL PROTECTED]
  From: Jeffrey Anjasmara [EMAIL PROTECTED]

  **

  Nama/Name : Jeffry Anjasmara

  Alamat rumah/kampus/kerja : Rutgers, Bedmisnter, NJ

  Alamat permanen  # telepon   : Tidak ada

  Email Address[es] : [EMAIL PROTECTED]

  Pendidikan/Education  : S1 (Ekonomi)

  Pekerjaan  lembaga   : Swasta

  Pengalaman kerja  : 1 tahun

  ***


It is one thing not to volunteer personal data, but it is something
else to deceive or to forge personal data -- so that other
mailinglist members believe that you are someone else. Jeff, isn't it
about time you tell those you have deceived (IDS, Permias, Isnet
communities) who you really are or in fact, an Economics student at
Rutgers as you claimed?

This is a chance for to to make a gentle exit, to tell us who you
really are ... or do I have to spell it out?


Moko/



Re: Mematikan Ide (was: D e a d A i r

2000-02-07 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 10:43 AM 2/7/2000, Ramadhan Pohan wrote:

|Saya tidak berpihak kepada Jeffrey dan menentang Moko. Kedua manusia ini sama
|derajatnya di mata saya. Tetapi saya paling menentang ketika orang diberangus
|karena idenya. Apa bedanya Anda dengan Soeharto dan Orba-- larang ini-itu.
|Sudah masanya kita camkan: Dilarang Melarang.

I believe you're barking the wrong tree. Pohan! Siapa yang melarang
ini-itu? Ada baiknya tulisan saya dibaca kembali (mungkin profesi
wartawan itu terlalu banyak menulis, jadi agak kurang membaca :-).
Saya justru mengajurkan pengurus untuk tidak melarang atau membatasi
ekspresi. Perhatikan cuplikan dari tulisan saya, ketika saya
menjabarkan fungsi pengurus list:

 ... pengurus list juga punya andil besar,
 dalam artian sebagai fasilitator, yang menyediakan dan menjamin
 keamanan supaya orang dapat berdiskusi dan melakukan exchange
 informasi secara civil. Tugas pengurus ini termasuk misalnya,
 mengurus adminstrasi keanggotaan, memelihara server (if applicable),
 memberitahu aggota yang melenceng dari aturan dan tujuan list --
 kalau perlu mendepak pantat mereka yang sengaja mengacau atau tidak
 tahu aturan. Pengurus bisa saja ikut dalam diskusi, atau mengarahkan
 jalannya diskusi, tetapi tidak melarang atau membatasi ekspresi
 seseorang atau suatu topik.

Yang saya tentang adalah 'unruly behavior' (a willful disregard for
the rights of others) seperti yang ditunjukkan secara konsisten oleh
"Jeffery Anjasmara." Permias list adalah 'forum diskusi'--meskipun
tidak secara explisit telah mengumumkan aturannya-- dimana tatacara
diskusi yang umum masih berlaku, kesantunan diskusi harus tetap
dipakai. Dalam forum diskusi yang santun, ungkapan seperti "Habisi
Nahar rasis keparat...!" dan baris-baris yang saya kutip kemarin
tidak punya tempat. Kebebasan individu untuk berpendapat yang
dilindungi itu itu tidak termasuk perilaku yang "disregard for the
rights of others", hak orang lain untuk melakukan diskusi yang santun
di forum ini.

|Dubes bilang milis ini sampah, itu jelas omongan tidak terhormat. Dia telah
|menghinakan dirinya sendiri, dengan menggunakan kalimat-kalimat dan gaya
|kekuasaan yang seperti itu. Kenapa dia tidak ikut kirim posting, sebaliknya
|menyampaikan lewat jalur "jubir".  Persis Orba!  Apa yang  dimauinya? Posting
|Permias ini kan bersifat independen.

That's Dubes' opinion! He's entitled to his own opinion, just like
everyone else. Kenapa yang ini tidak boleh. Kenapa Pohan "melarang"
ekspresi Dubes? Anda boleh punya opini lain, bahkan yang diametrikal
sekalipun dari pendapat Dubes. Opini Dubes ini --walau mungkin susah
"ditelan" oleh beberapa individu -- dinyatakan dengan cara yang
santun, bukan caci-maki, ejekan, ancaman. Shouldn't you be more
concerned with those of Jeffrey's?

|Yang saya bela adalah mereka yang tertindas. Saya prihatin, terutama terhadap
|kampanye penindasan Ide. Walau belum seperti di Uni Soviet pasca Revolusi
|Bolshevik 1917 pimpinan Lenin, mereka memulainya dengan tembakan. Dor!!!

Nah menurut Pohan, siapakah yang "tertindas" itu? Sebelum membuat
paralel dengan yang lebih besar, ada baiknya disimak dan dipahami
dulu "masalah lokal" nya. Dengan begitu problem yang sesungguhnya
tidak terkaburkan.


Moko/



D e a d A i r

2000-02-05 Terurut Topik Moko Darjatmoko

 dead air - a broadcasting term for silence, perhaps resulting
 from a dead mike (inoperative microphone)  taken from
 Webster's New Words: Dictionary of Media  Communication.

Istilah lama dari jaman perang dunia kedua ini masih menjadi "momok"
para pemilik radio atau TV station. Selain karena peralatan yang
malfunction, dead air juga bisa disebabkan oleh 'human factor',
misalnya penyiar yang ketiduran di depan mike, tiba-tiba kena
stroke, atau sekedar tidak menyimak schedule. Apapun penyebabnya,
'dead air' menyiratkan adanya 'somethng wrong', sesuatu yang tidak
beres.

Membaca posting-posting lama, saya temukan pertanyaan dari tetangga
saya, E R Juni, yang waktu itu belum sempat terjawab (1/16/2000):

|btw mas moko, sebagai sesepuh di sini, dulu biasanya seperti apa
|sih diskusi di milis permias ini? mungkin mas moko bisa kasih
|arahan supaya teman2 yang ada di sini tidak bisa melanjutkan provokasi
|nonsense-nya karena sudah ketahuan belangnya ... dan bisa menyadarkan
|yang lain2 supaya tidak mudah terpancing ... dulu2 bagaimana sih ?

Kata yang pertama muncul di kepala adalah 'dead air' --for the lack
of a better term-- ketika saya mencoba memberi deskripsi situasi
mailing list ini ... a state of silence, especially caused by the
absence of *intelligent* postings.

List Permias ini masih bertumbuh, jadi bisa dimengerti kalau masih
jauh dari kematangan, tetapi tidak seharusnya mailinglist seperti
ini mengalami degenerasi sampai level 'dead air'. List ini punya
potensi besar untuk menjadi satu komunitas yang intelligent.
Pertama, jumlah mahasiswa Indonesia di AS cukup banyak, sehingga
cepat tercapainya 'critical mass'. Kedua, dari namanya perMiAS,
majoritas anggota list ini sedikit banyak telah terekspose pada
sistim pendidikan yang baik, pada tatacara masyarakat yang sudah
mapan dan beradab. Jadi bahan dasar untuk posting yang berbobot itu
sudah ada (sesuai dengan interest, keahlian, formal training
masing-masing). Tatacara diskusi yang baik, penggunaan alur logika
dan argument yang 'cogent' juga bukan barang baru lagi -- banyak
buku yang bisa dijadikan acuan kalau memang masih belum memahaminya.

"Sesepuh" mungkin bukan kata yang tepat, karena ukuran senioritas
dalam mailinglist sukar diterapkan ... people come and go. Dari segi
produktivitas [menulis] pun saya juga tidak masuk hitungan, karena
saya memang lebih sibuk dengan list lain. Kalau ukuran produktivitas
dipakai, lae Irwan Ariston boleh ditaruh di tangga paling atas).
Banyaknya tulisan pun tidak selalu bisa menjadi ukuran, karena
kualitas *isi* tulisan lah yang seharusnya menjadi tolok ukur
kecerdasan.

Meskipun tidak terlalu aktif, saya memang mengamati list ini sejak
pertama dibentuk (sebagai forum komunikasi pengurus Permias). Sejak
dulu, jaman email belum dikenal di tanah air, saya sudah mulai
mengamati mailinglist (in fact, I make a study of watching them, to
understand what makes them tick). Sangat menarik menyaksikan adanya
"parallel" antara sebuah mailing list dan komunitas dari mana para
anggotanya berasal. Bisa dibilang, mailinglist merupakan
'mikrokosmos' dari sebuah entitas yang lebih besar, yaitu masyarakat
atau bangsa.

Jadi sesungguhnya tidak usah heran (atau sakit hati) kalau ada yang
mengatakan bahwa mailinglist ini isinya "sampah" (yup, saya dengar
sendiri ketika pak Dubes mengatakan ini di sebuah pertemuan lokal).
I can't agree more. Bahkan beberapa bulan belakangan ini sampahnya
mulai mengeluarkan bau busuk yang menyengat, seperti uap busuk yang
keluar dari timbunan sampah Bantar Gebang.

Manusia memang punya tendensi menyampah, tetapi pengelolaan sampah
yang baik membuat sebuah kota tetap asri dan nyaman ditinggali
(Madison is one of them :-) Kalau kita terima nasib, membiarkan
"parallelism" diatas bekerja, maka list ini ya seperti miniatur
Indonesia saat ini, chaotic, provokasi merajalela, bakar sana bakar
sini ... seakan pikiran sehat sudah punah.

Dalam dunia informasi atau elektronik dikenal istilah
'signal-to-noise ratio' (S/N), yang dipakai sebagai ukuran kualitas
trnasmisi atau broadcast. Istilah yang sama sering dipakai dalam
menilai kualitas mailing list, dimana "signal" adalah posting yang
bermutu, punya 'content value', yang berguna buat publik, dan
sisanya adalah 'noise' alias sampah itu tadi. "Noise" ini sendiri
ditimbulkan dari berbagai sebab, karena 'ignorance' seperti misalnya
penyebaran surat berantai (virus, urban legend, etc), kemalasan
pikir (fenomena "oneliners"), atau kombinasi keduanya ... i.e. plain
stupidity.

Ada juga "noise" jenis lain, noise yang sengaja dibuat oleh para
provokator, mereka yang hidup dari mempertajam konflik,
warmongering, menebarkan uap jahat rahwana. Ini paralel dengan badai
provokasi yang ramai mengobok-obok tanah air belakangan ini, apakah
itu dilakukan 'oknum' tersamar, figur publik, ataupun media massa.
Pertanyaannya adalah apakah list Permias ini 'pasrah bongok',
menyerah begitu saja dipakai sebagai ajang provokasi. Provokator ini
biasanya sangat 'cheap', 

How to UNSUBscribe this d@#% list.

2000-01-16 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 4:49 PM 1/16/2000, andy syahputra wrote:

|buat teman-teman semuanya,
|ada yang tahu nggak gimana caranya untuk unscribe dari mailing
|list inibantuannya sangat berharga buat saya
|terima kasih
|andy

Andy,

Send email to: [EMAIL PROTECTED]
Body of message: UNSUBscribe PERMIAS
(SIGNOFF PERMIAS also works the same)


For future reference, you may want to print these commonly used commands:

INFO  topic|listname   Order documentation (plain text files)
SUBscribe listname full name   Subscribe to a list
SIGNOFF   listname   Sign off from a list
SIGNOFF   *  (NETWIDE - from all lists on all servers
Query listname   Query your subscription options
Searchlistname  keyword...   Search list archives
SET   listname  options  Update your subscription options
INDex listname Order a list of LISTSERV files
GET   filename filetype  Order a file from LISTSERV


Hope this also helps those fed up by the nonsense in this list ...


Moko/



Re: Khadijah Umar: Perayaan Natal di TV

1999-12-30 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Terimakasih Mardhika,

Siapapun yang menulis email yang Anda forward dibawah ini, bukan saja
punya kearifan tetapi juga keberanian. Kearifan, karena muncul ditengah
kekerasan yang ditimbulkan oleh kedengkian yang sudah begitu lama
berlangsung. Keberanian, ditengah melandanya arus deras irrasionalitas
(baca "kegilaan") yang melanda bangsa dan negara kita selama ini.

Karl Marx pernah menulis bahwa "Religion is the sigh of the oppressed
creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless
conditions. It is the opium of the people." Marx menarik kesimpulan
tersebut dari peristiwa sejarah yang tercatat sejak mulai ditulis
manusia. Agaknya apa yang disimpulkan Marx masih berlangsung sampai saat
ini. Tidak usah jauh-jauh mencari kemana-mana ... lihat saja apa yang
terjadi di Ambon, Aceh, Jakarta, disekitar kita, bahkan di mailing list
ini.

Akhir-akhir ini kata yang dianggap paling jorok adalah "provokator" --
yang sering diindetikkan dengan setan jahat, pengacau, biang keonaran,
dsb. meskipun selalu dicari (katanya), sampai sekarang kelihatannya belum
pernah ada yang tertangkap dan mendapat hukuman sepantasnya. Ini
mengingatkan saya pada situasi bangsa India sekitar awal kemerdekaannya.
Saat itu perang antar saudara, abtar tetangga, sesama bangsa sudah
mencapai titik yang dapat menghancurkan. Perbedaan agamalah yang terutama
menjadi pemicu dan minyak pengobar bibit-bibit kebencian dan irihati yang
sudah lama terpendam sejak menjadi kaum terjajah (the "opressed,"
according to Marx). Saling bunuh, saling bakar dan saling menyalahkan
pihak lain, menjadi cara berpikir majoritas masyarakat.

India sangat beruntung karena mempunyai seorang Mahatma Gandhi. Seorang
yang arif dalam melihat kehancuran yang niscaya seandainya kegilaan itu
tidak dihentikan, seandainya balas-membalas itu tidak segera diakhiri.
"An eye for an eye only ends up making the whole world blind," adalah
argumennya yang tidak terbantahkan. Mahatma Gandhi, seorang yang cinta
damai, juga gagah berani. Keberaniannya tidak kalah dibandingkan dengan
pahlawan manapun. "Pahlawan" dalam gambaran umum adalah prajurit atau
pejuang yang gagah-berani ... ready to KILL for the cause. Mahatma Gandhi
satu tingkat diatas itu ... he's ready to DIE for the cause. Dengan
berani dia melakukan mogok makan, dan hanya berhenti --sampai mati
sekalipun-- kalau kekerasan di seluruh India dihentikan. Dan akhirnya,
seluruh rakyat India menghentikan kegilaan mereka! India sungguh
beruntung.

Saya ucapkan terimakasih dan terutama rasa hormat pada "Khadijah Umar."
Memmbaca emailmu itu, saya jadi punya harapan baru akan bangsa dan negara
Indonesia, saya jadi yakin bahwa bangsa kita ini masih punya "second
chance." Saya tidak terlalu heran kalau tidak banyak yang bisa menghargai
tulisanmu itu (bahkan ada yang --gara-gara tulisan itu-- meragukan
jatidiri dan "keislaman"mu).  Mata hati kita seakan memakai kacamata
gelap, tentu saja semua yang dilihat jadi ikut berwarna hitam. Ditengah
kegilaan dan iklim kekerasan dan saling kecurigaan yang pekat, pemikiran
yang jernih dan rasional memang sukar diterima. Guru saya pernah bilang
"orang yang terlalu lama tinggal dikandang babi tidak lagi mampu mencium
harumnya bunga."

Terimakasih sekali lagi, Khadijah... tulisanmu telah menunjukkan bahwa
agama itu sangat indah, buat mereka yang bisa memahaminya. Sayang sekali
sebagian besar dari kita telah merubah agama menjadi "opium" yang
memabukkan, bahkan mejadikannya sebagai minyak pengobar kebencian. Hati
kita sering dipenuhi dengan opium kedengkian dan semangat menyala dalam
mencari dan memerangi "setan jahat.". Padahal tidak usah jauh-jauh,
"setan jahat" tersebut ada didalam hati kita masing-masing. Sekali lagi
saya kutip ucapan  Mahatma Gandhi yang lain, "... the only devils in the
world are those running around in our own hearts--and that's where all
the battles ought to be fought."


Selamat Tahun Baru 2000,

Moko/

*

At 1:36 AM 12/30/1999, Mardhika Wisesa forwarded the following:

| From: "khadijah umar" [EMAIL PROTECTED]
| To: [EMAIL PROTECTED]
| Subject: (94)- Perayaan Natal di TV
| Date: Tue, 28 Dec 1999 17:11:44 JAVT
|
| (94)- Perayaan Natal di TV
| --
|
| Tadi malam TB Silalahi sang arsitek perayaan Natal di TV
| menyampaikan  sepatah dua patah kata. Mula-mula, sebelum dia mulai
| berbicara banyak, saya  agak khawatir. Jangan-jangan akan terlalu
| banyak ayat seperti: ëAkulah jalan  kebenaran. Barang siapa tidak
| melalui aku, tidak akan memperoleh kehidupan  kekalí.
|
| Ayat itu bila ditafsirkan keliru, sering dianggap berbau pongah.
| Dan  kebetulan lebih banyak yang menafsirkannya secara keliru.
| Sengaja atau  tidak. Lalu bisa dipakai untuk yang bukan-bukan :
| menyombong maupun  ber-asosial.
|
| Ternyata tidak. Ternyata si arsitek itu berbicara sangat indah.
| Indahnya tak kalah dengan  sambutannya Gus Dur. Seorang teman saya
| yang biasanya sering ekstrim, tapi  kali itu justru memuji. Bahkan
| ia sampai bertepuk tangan waktu Silalahi  

Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI (Moko)

1999-11-10 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 10:48 AM 11/8/1999, Mahendra Siregar wrote:

|Terima kasih atas tanggapannya. Sungguh suatu cara pandang yang menarik
|yang dapat kita kaji dan diskusikan bersama.

Thanks to you too -- it is always enlightening to have an intelligent
discourse, on any subject. But I must first 'highlight' the last sentence
in your reply:

|Mungkin anda melihat pemilihan kata "strike back" itu terlalu
|keras, dan lebih tepat "long-term partnership in promoting Indonesian
|democracy?.

Sudah barang tentu, pemilihan kata sangat menentukan makna. Dan makna
masing-maing ekspresi diatas sangat berbeda. Yang pertama ("strike back")
lebih menyiratkan adanya permusuhan, perlawanan, atau pembalasan kepada
pihak *luar* (yang belum tentu lebih buruk dalam praktek demokrasinya),
sedangkan yang kedua ("promoting democracy") bukan saja menunjukkan pada
pihak luar tentang upaya demokratisasi di Indonesia, tetapi --yang lebih
penting lagi-- adalah ajakan *kedalam*, lepada kita sendiri yang paling
berkepentingan, untuk menggalakkan praktek kehidupan bernegara yang lebih
demokratis. Ajakan yang kedua ini jelas lebih mudah saya diterima, karena
lebih selaras dengan keyakinan dan nurani saya.


|Sebagai background information,
|mungkin ada baiknya anda sampaikan kira-kira kapan acara brownbag seminar
|itu, sebelum atau setelah SU-MPR. Apa topik dan siapa pembicaranya.

Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari acara tersebut, ini bukan seminar
politis, bahkan bukan pula khusus tentang Indonesia, tetapi lebih
merupakan cross-culture event. Sungguh berat "mempertahankan" nilai-nilai
Indonesiawi kalau sudah bersentuhan dan memperbandingkan diri dengan
berbagai kultur dalam tatanan global seperti itu.


|Kenapa perkembangan itu tidak langsung "diterima" oleh rakyat AS secara
|menyeluruh. Argumentasi saya sederhana saja. Bad news travels much faster
|than good news. Itu adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam
|dunia media massa dan public opinion. Berita yang mengandung tragedi
|kemanusiaan jauh lebih menarik daripada berita baik. Disamping itu, publik
|AS terkenal sangat ignorant terhadap hal-hal yang terjadi di belahan dunia
|lain (salah satu adalah kecilnya reaksi publik thd penolakan Senat AS
|terhadap CTBT), kecuali kalau berita itu memang sensasional atau kalau
|mereka melihat dan mendengar dari sumbernya langsung.

Argumen yang sama juga berlaku untuk masyarakat dimana saja. Apakah
publik juga  menaruh perhatian pada apa yang terjadi dibicarakan
Congress, misalnya. Jangankan yang di Indonesia, kita-kita yang hidup di
Amerika pun bisa dibilang tidak ada yang peduli. "Penyakit ignoramus" ini
bukan monopoli khusus masyarakat Amerika saja, tetapi lebih merupakan
konsekuensi logis dari "kelokalan," "radius of effect" dari media massa
-- seperti halnya penduduk Jakarta lebih suka membaca Pos Kota dari pada
berita lokal di New York Time maupun koran lokal manapun. Harus diingat
juga, bahwa Indonesia sendiri memang bukan negara yang paling penting
dalam skala global (and who's fault is that ... if we have to find the
culprit)


|Disitulah saya melihat Permias yang memiliki anggota di seluruh penjuru AS
|memiliki posisi strategis untuk membantu pulihnya citra Indonesia. Hal itu
|tidak berarti kita harus "menipu" diri seperti diwaktu yang lalu. Alasan itu
|pula yang membuat saya pribadi juga tidak terlalu optimis dan bersemangat
|dalam mengajak Permias bekerjasama melaksanakan hal seperti ini diwaktu
|lalu. Penipuan seperti itu tidak akan efektif karena dalam era globalisasi
|seperti sekarang, tindakan menipu diri sendiri itu hanya menjadi tertawaan
|orang lain.

Saya sependapat. Setiap individu warganegara Indonesia yang tinggal di
Amerika ini punya potensi yang penting, sebab mau tidak mau setiap
tindakan dan penampilan kita mau tidak mau tetap terkait dengan
keindonesiaan yang kita sandang. Citra positip atau negatip sangat
tergantung bagaimana kita merealisasikan potensi yang sytrategis ini
dalam *tindakan*, dalam bersikap dan dalam berpikir. Kata kuncinya adalah
tindakan nyata, saya tidak melihat perlunya memberi tekanan pada
"kampanye" atau "counter propaganda" seperti diusulkan seorang netter.

Keyakinan saya sederhana saja, berpegang pada ujar-ujar lama, bahwa "good
from good' (or "light from light"). Frank Lloyd Wright, bapak arsitektur
modern Amerika, menyatakannya secara bagus dalam wawancaranya dengan Mike
Wallace (1957): "You don't have to push hard, talk loud, or in any way
get up to defend what you believe in. If it is right, and it is good, and
it is sound, it will defend you ... if you give it a chance." Singkatnya,
perbuatan baik adalah propaganda terbaik.

[ NOTE: Propaganda --in the usual sense of the word-- never works. No
rational and free thinking man believes in propaganda anymore. In fact,
propaganda has been rendered ineffective long time ago ... since the
publication of George Orwell's classic, "Animal Farm," more than half a
century ago.]

Tentu saja tidak berarti bahwa propaganda itu sendiri sudah tidak 

Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI

1999-11-07 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 11:25 PM 11/7/1999, Mahendra Siregar wrote:

|Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS
|berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak
|pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu,
|namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik
|daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak
|di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS
|"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap
|"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa
|Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
|yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN.

Ada sebuah "adegan" dalam satu brownbag seminar di kampus, dimana seorang
mahasiswa asal Indonesia dengan semangat menyala berusaha menepis image
buruk tentang negerinya. Dengan berapi-api dia bertanya kenapa si
pembicara tidak mengikut sertakan negerinya dalam kelompok negara yang
demokratis ... "what you expect from us [Indonesia], what Indonesia
supposed to do to be called a democratic country?" Dengan halus si
pembicara menjawab: "It is very simple ... just be like one, or at the
very least, act like one!"

Sudah terlalu lama problem 'image' ini dihadapi dengan "strike back" pada
mereka yang mengritik kita. Sudah lama pula --kalau kita mau melihat
relita-- kita seharusnya mengetahui bahwa pendekatan seperti ini tidak
akan jalan. "Kegagalan" kita dalam diplomasi, soal Timtim misalnya, bukan
karena kurang pandainya Menlu Ali Alatas atau Dubes untuk PBB Makarim
Wibisono bersilang kata --dibandingkan Ramos Horta misalnya-- tetapi
karena memang hampir mustahil meyakinkan orang bahwa loyang adalah emas.
It is a complete waste of time and energy.

Daripada habis buat "kampanye ke AS", alangkah baiknya kalau seluruh
usaha itu dicurahkan sekuatnya untuk memperbaiki diri kita sendiri. Masih
jauh jalan ke masyarakat demokratis, masih banyak problem dalam diri kita
sendiri, baik didalam maupun diluar negeri -- sebagai individu, kelompok
kerja, instansi, komunitas dan bangsa. Ini pekerjaan yang kolosal, yang
hanya bisa dilakukan kalau setiap orang menyadari masalahnya dan mau
kontribusi, paling tidak mulai dari dirinya sendiri dan lingkungan
terdekatnya.  baru kalau semuanya ini sudah terlaksana, orang akan
menyebut dan memperlakukan sebagai bangsa yang demokratis -- tanpa perlu
kampanye lagi.


Moko/

"One of the most untruthful things possible, you know, is a collection
 of facts, because they can be made to appear so many different ways."
-- Karl Menninger



To Smoke Or Not To Smoke ...

1999-10-17 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Rizal Az wrote:

|hmmm... engga' relevan yah ngomong gitu... alkohol juga berbahaya.
|Untuk liver (untuk sendiri), drunk driving (untuk yang lain).
|Jadi kalau gitu  orang engga' boleh ngelamar kerja di bir bintang??
|
|Notrida Mandica wrote:
|Mungkin saatnya kita serukan "ANTI ROKOK"
|Kalau dihitung-hitung uang yang dibeliin rokok dan kemudian dibakar,
|konstribusi Perusahaan Rokok pada kelemahan ekonomi Indonesia besar juga
|tuh..coba tanya Bang Irwan deh. Selain itu, Indonesia sangat tidak sehat
|oleh karena:
|
|1. Udaranya polusi asap rokok
|2. Banyak angkatan muda yang terkena Cancer
|3. Banyak korban second hand smokers
|4. Belum lagi batuk-batuk yang mengakibatkan TBC

*

Dear Netters,

Bincang-bincang soal rokok antara Ida dan Rizal diatas (sehubungan dengan
pengumunan recruitment dari pabrik rokok Sampoerna) sebetulnya sangat
penting dan perlu direnungi. Kebetulan Summer yang lalu saya menulis
essay (op-ed) di mailing list saya sehubungan dengan topik serupa.
Berikut ini adalah essay tersebut, yang saya edit kembali khusus untuk
mailing list ini. Selamat merenungi -- Moko/


To Smoke Or Not To Smoke ...
 (that's NO LONGER the question!)

Membandingkan rokok dengan alkohol saya rasa kurang tepat. Konsumsi
alkohol yang "moderate" justru bermanfaat (menurunkan kemungkinan
serangan jantung), sedangkan asap rokok dalam jumlah sekecil apapun
merugikan kesehatan. Penelitian akan bahaya merokok ini sebetulnya sudah
dilakukan oleh pabrik rokok di Amerika sejak 1950-an, tetapi hasilnya
tidak disembunyikan dari mata  publik -- mudah dimengerti bahwa 'ulterior
motive' nya adalah bisnis, yaitu mencari untung sebanyak-banyaknya.

Memang kelihatannya "tidak relevan" juga untuk mengaitkan kampanye
anti rokok (karena bahaya rokok) dengan hak dan kesempatan kerja di
pabrik rokok. Masalahnya memang tidak hitam-putih, tetapi kita selalu
bisa mencoba melihat issue ini secara rasional. Dari sisi pengaruh
adiksinya, berbagai studi telah menunjukkan bahwa nikotin adalah senyawa
yang sangat adiktif, dan adiksinya setingkat atau lebih berat ketimbang
adiksi yang ditimbulkan oleh heroin dan kokain. Survey di koran New York
Times melaporkan bahwa 45% pemakai cocaine merasa dorongan merokok lebih
besar atau sekuat dorongan untuk menggunakan cocaine. Demikian pula di
kalangan pemakai heroin, 38% merasa dorongan merokok lebih kuat dari
dorongan pada heroin. Untuk para alkoholik, 50% merasa dorongan merokok
lebih kuat daripada keinginan minum alkohol. (Philip J. Hilts, "Is
Nicotine Addictive? Depends on Whose Criteria You Use", NYT, August 2,
1994).

Seandainya nikotin sendiri tidak 'harmful', adalah adiksi yang
ditimbulkan yang membuat orang ketagihan dan susah berhenti, seperti
halnya kalau orang kecanduan heroin atau cocaine. Data yang diberikan
oleh FDA Commissioner menunjukkan bahwa setiap tahun ada 17 juta yang mau
berhenti merokok, yang tidak berhasil ada 15,000,000. [Sumber: "Statement
on Nicotine Containing Cigarettes" by David A. Kessler, M.D.,
Commissioner of Food and Drugs before
the Subcommittee on Health and the Environment, U.S. House of
Representatives, March 25, 1994.]

Padahal dalam rangka memenuhi adiksi nikotin ini, segala macam racun
yang ada dalam asap rokok ikut terhisap ke dalam tubuh si perokok (juga
oleh secondary smoker di sekitarnya). Berikut ini adalah daftar
carcinogens (penyebab kanker) dalam asap rokok yang sudah dapat
diidentifikasi oleh ilmu modern:
+---+--+
|   | 11 various compounds with known  |
| polyaromatic  | animal carcinogenicity, including|
| hydrocarbons  | benzo(a)pyrene, a "probable" human   |
|   | carcinogen.  |
+---+--+
| aza-arenes| four known animal carcinogens|
+---+--+
| N-nitrosaminenine | known animal carcinogens |
+---+--+
|   | three known carcinogens, including   |
| aromatic  | 2-naphthylamine and 4-aminobiphenyl, |
|   | both known human carcinogens.|
+---+--+
|   | three known carcinogens including|
| aldehydes | formaldehyde, a suspected human  |
|   | carcinogen.  |
+---+--+
| miscellaneous | six carcinogens, including benzene   |
| organic compounds | and vinyl chloride, both known   |
|   | human carcinogens.   |
+---+--+
| inorganic | seven carcinogens, including 

Re: Yang mana yang pernyataan Menhan Mur?

1999-09-30 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 9:06 AM 9/30/1999, Jeffrey Anjasmara wrote:

|Saya bener-bener bingung yang mana pernyataan Menhan Mur ini, apakah versi
|Kompas atau versi SMH?

Alhamdulilah ... setelah kenyang membaca tulisan dari Bung Jeffrey yang
produktip, akhirnya ada juga satu tayangan yang agak cerdas
(intelligent). Kebingungan memang merupakan prasyarat pencerahan .. atau
kalau meminjam ujar-ujar kahlil Gibran, "Perplexity is the beginning of
knowledge."

Memang baca berita itu tidak bisa cuma yang 'enak didengar telinga' saja,
tetapi perlu membaca dan mengikut-sertakan sumber lain sebagai
pembanding. Ini kalau yang dimaksud adalah mencari "kebenaran" ("the
truth"). Memang sangat susah mencapai "The Truth' (capitalized, as for
the Absolute Truth), tetapi makin bervariasi sumber yang dipakai --dan
tentunya makin 'open-minded' sikap pikir kita-- makin dekat kita pada The
Truth, paling tidak akan mendapatkan mencapai "a better truth"
(dibandingkan kalau hanya lihat dari satu sisi saja).

Nah, kalau beritanya berbeda --bahkan dalam hal ini diametrikal-- mana
yang betul. Disinilah faktor "kecerdasan" masuia mabil bagian. Kemampuan
analisa, kepandaian memisahkan antara fakta dan opini sangat berperan.
Pada akhirnya setiap individu harus mengambil keputusan dan pisosinya
masing-masing. "The truth" atau kesimpulan yang ditarik pun masih
tergantung pada masing-masing individu.


|We'll hunt down militias
|
|By BERNARD LAGAN and PETER COLE-ADAMS
|
|The Australian-led force in East Timor might cross Indonesia's
|border in "hot pursuit" if Indonesia allowed Timorese militias to
|launch attacks from its territory, the Defence Minister, Mr
|Moore, warned yesterday.
|
|Expressing concern at a build-up of militias in Indonesian West
|Timor, Mr Moore said the mandate given to the international
|force Interfet under Article 7 of the United Nations charter
|authorised such interventions. This allows raiders to be chased to
|their hideouts across the border.
|--
|
|Menhan Australia:
|Australia Tidak Akan Kejar Milisi
|Pro-Integrasi ke NTT
|
|Canberra, Antara
|
|Pasukan Australia di Timtim tidak mungkin akan mengejar
|para milisi pro-integrasi hingga masuk ke wilayah Nusa
|Tenggara Timur (NTT)--negara Barat menyebutnya Timor
|Barat--karena mandat PBB tidak membenarkan tindakan
|tersebut.
|
|Menteri Pertahanan Australia John Moore, Kamis,
|menyatakan, Pasukan Internasional untuk Timtim (Interfet)
|memang diberi wewenang penuh untuk menggunakan kekuatan
|bersenjata, tetapi pemerintah Australia tidak
|mengharapkan itu terjadi.

Dalam membandingkan kedua berita diatas, kita bisa pakai logika bahasa
sederhana saja. Mandat PBB (artikel 7) membolehkan tentara UN melakukan
lintas batas kalau memang ada provokasi dari tetangga sebelah. Tentunya
tetangga sebelah ini bisa protes, tetapi logikanya kalau provokasi ini
--meskipun karena ulah si oknum provokator-- berasal dari rumah tetangga,
adalah tanggung-jawab si tetangga ini untuk menjewer si provokator supaya
tidak mengganggu tetangga di sebelah timurnya.

Entahlah apa motivasi Antara menyiarkan kabar tersebut -- yang sayangnya
dikutip dengan taat (tanpa konfirmasi lagi) oleh kebanyakan koran
Indonesia. Saya rasa kemungkinan terjadinya salah kutip atau salah
terjemahan sangat kecil. Suara Pembaruan yang meliput langsung dari
Canberra melaporkannya mirip beritanya SMH (Suara Pembaruan, 30 September
99, "TNI Akan Hadapi Interfet Bila Masuk Timor Barat")

 "Sebagaimana diketahui, Menhan Australia John Moore mengatakan
  pasukan multinasional di Timtim mempunyai wewenang untuk melintasi
  perbatasan di Timor Barat jika mereka terlibat pertempuran dengan
  milisi pro-integrasi dan harus melakukan pengejaran (hot pursuit).
  Pernyataan John Moore itu muncul setelah sebuah laporan menyebutkan
  para milisi membangun kekuatan di Timor Barat."


Dalam menyimaki berita, pembanding dari sumber lain adalah mutlak perlu
untuk bisa membuat kesimpulan yang lebih baik. Kredibel tidaknya berita
sendiri, memerlukan koroborasi atau dukungan dari evidence, bukti-bukti,
dan saksi mata lainnya yang independent. Ini mungkin bisa menjelaskan
kenapa berita "pembakaran hidup-hidup" kemarin itu tidak disiarkan oleh
kantor berita lain  (seperti Reuter, AFP, CNN) tetapi hanya oleh kantor
berita Antara sendirian. Berita di koran lokal seperti Kompas, Republika,
Suara Merdeka tidak biosa dianggap koroborasi, karena mereka hanya
mengutip dari Antara.

Kejadian tersebut, yang katanya terjadi pada saat pendaratan (20
September) di dermaga Dili, seharusnya menjadi berita besar. Tentara
dibawah mandat PBB sampai melakukan kekejaman seperti itu adalah
'unprecedented', seharusnya jadi cover-page berbagai media massa dimana
saja. Kebiadaban model 'bakar hidup-hidup' semacam itu hampir tidak
mungkin lolos dari liputan pers internasional. Tetapi kenyataannya berita
tersebut ternyata hanya berdasarkan "cerita" dari seorang milisi PPI
(Mahadomi) Filomeno Antonio Britto. Sejauh ini tidak ada bukti atau
kesaksian lain yang 

Re: Pasukan PBB Aniaya 8 Anggota PPI Manatuto Satu Tewas (fwd)

1999-09-23 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Oooops, ternyata update berita masih belum masuk ke link saya (berita diupdate
Kamis, 23 September 1999, 15:33). Berita tersebut ada URL sbb:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/berita-terbaru/3689.html


Moko/

At 8:38 AM 9/23/1999, Moko Darjatmoko wrote:

|Is this for real .. or just a slander?
|
|Saya mengikuti setiap berita berita Timtim di Kompas dan hampir semua
|koran dalam dan luar negeri (s/d tagl 23 Septenber), tetapi berita
|"penganiayaan" oleh pasukan gabungan PBB ini kok tidak pernah saya baca
|sebelumnya.
|
|Tolong Mas Syamil, kasih tahu artikel tersebut di Kompas tanggal berapa,
|halaman berapa ... atau lebih baik lagi URL-nya.
|
|Moko/



Re: Allan Nairn's statement to the Indonesian Military

1999-09-19 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 11:00 AM 9/19/1999, Mahendra Siregar wrote:

|My point is: If it is an Indonesian problem, let the Indonesians solve
|it through an Indonesian way. The last thing we need is foreigners with
|undefined real agenda meddling into our problems ...

Saya sepenuhnya setuju dengan point Pak Mahendra diatas. KEDAULATAN satu
bangsa tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun yang tidak berhak --
dalam bahasa Jawa ini dianalogikan dengan aturan/hukum sakral "pager ayu"
yang tidak boleh dilanggar. Premise kedaulatan ini merupakan argumen yang
sukar digoyahkan.

Dalam perspektif kasus Timtim, premise diatas meinmbulkan pertanyaan:
apakah hukum Indonesia itu sah diatas bumi Loro Sae? Apakah Indonesia/TNI
boleh mencampuri (meddling) dengan kedaulatan rakyat Maubere? Logika akal
sehat memberi jawaban TIDAK ... karena Indonesia TIDAK punya legitimasi
pada klaimnya atas teritori Timor Timor -- baik historis maupun
legalistis (PBB sejak dulu sampai sekarang tidak pernah mengakui aneksasi
Timor Timor oleh Indonesia).

Mungkin ada yang mau merujuk pada Tap MPR No VI/MPR/1978 yang menetapkan
bahwa Timtim itu bagian wilayah Republik Indonesia. Tetapi dalam kacamata
internasional (antar bangsa -- ingat, bahwa ini masalah Indonesia dan
teritori lain, Timtim) ini kan peraturan SEPIHAK yang dipaksakan dengan
jurus "because I'm stronger than you," bukan aturan yang disetujui secara
bilateral atau atas persetujuan badan arbitrasi bangsa-bangsa (dalam hal
ini PBB).

Saat ini Indonesia seakan "dikeroyok" oleh negara-negara lain, bahkan
dituduh telah melakukan "CRIME against HUMANITY." Selanjutnya, apakah
kita masih akan berkeras kepala menggunakan dalih "kedaulatan" (atas
Timtim?) atau akan kahsemuanya itu kita lawan dengan senjata? Akal sehat
menunjukkan kita untuk memakai akal ketimbang okol (otot) -- disamping
itu, jurus "I'm stronger than you" itu sendiri tidak pernah menjadi
kenyataan selama 23 tahun belakangan ini, apalagi sekarang menghadapi
gabungan komunitas internasional.


Moko/

   "... kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu
penjajahan diatas bumi harus dihapuskan ..." -- Preambul UUD45



Re: PDIP - Partai Islam - PAN cukup berimbang di Permias-Net dan IDS-Net ?

1999-06-13 Terurut Topik Moko Darjatmoko

Ya sudah to, Mas ... sing waras ngalah :-) Dan ingat-ingat juga,
jangan mengejar terus dengan pertanyaan lanjutan: apa sih "disain
operasional informasi" itu ?

I bet there is 95% probability (or better) that you won't get a
straight answer either. But, coming from a [self-proclaimed]
reformer on "Sains/Matematika/Teknologi" ... it's a bit scary,
isn't it?

Moko/

*

At 8:31 PM 6/12/1999, Budi Haryanto wrote:

|Wah lali aku nek musuh wong seler
|
|At 08:06 AM 6/13/99 +0700, you wrote:
|From: Budi Haryanto [EMAIL PROTECTED]
|To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]
|Date: Friday, June 11, 1999 9:11 PM
|Subject: Re: PDIP - Partai Islam - PAN cukup berimbang di Permias-Net dan
|IDS-Net ?
|
|
|Boleh tanya nggak?
|Bagaimana cara anda mengambil sampelnya?
|Berapa jumlah sampel yang anda investigasi?
|===
|
|Sorry ! Itu sih rahasia.
|Yang jelas saya menggunakan "disain operasional informasi" (DOI).
|
|Salam,
|
|Nasrullah Idris
|



Sensitivity against racism

1999-05-15 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 5:20 PM 11/3/1998, Vincent Sitindjak wrote:

|Mas Moko tulis:
|
| At 11:59 AM 5/11/1999, FNU Brawijaya wrote:
|
| |Lha KAMU belum jadi tauke lagunya sudah kayak
| |Donald Trump. Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan
| |bisa bayarin tiket buat keluarga untuk keluar dari
| |Indonesia. Tauke kayak KAMU ini yang biasanya
| |jadi sasaran pertama tiap ada kerusuhan.
|
| Siapapun yang sedikit rasional dan mngerti situasi rasial di
| Indonesia mengerti apa maksud kalimat diatas, siapa yang dituju.
|
| The above phrase DOES send a clear message ... and the word is no
| longer neutral! It is a racist's remark.
|
|he..he..koq saya jadi binun sekarang...
|
|kalo "tauke" dikutipan diatas ditujukan ke orang cina, mungkin aja
|"it is a racist's remark".
|tapi "tauke" dikutipan diatas khan ditujukan ke orang batak (Patrick
|Simanjuntak), apa ini juga masuk dalem kategori "a racist's remark"?


Bung Vincent yang sedang 'bingung',

Mengulangi apa yang telah saya tulis sebelumnya, kata "tauke"
--berdiri sendiri-- memang netral. Tetapi kenyataannya kan kata
"tauke" ini tidak berdiri sendiri, tetapi diiringi oleh kata-kata
dan kalimat lain yang membentuk konteksnya (kecuali kalau saya
telah 'salah' kutip):

  * Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan bisa bayarin tiket buat
keluarga untuk keluar dari Indonesia.
  * Tauke kayak KAMU ini yang biasanya jadi sasaran pertama tiap
ada kerusuhan.

Sounds familiar? ... terutama sejak pertengahan Mei tahun lalu?

Memang kita tidak pernah tahu --kecuali si penulis sendiri-- apa
persisya yang dimaksud oleh si penulis dalam suatu tulisan. Karena
itulah penting sekali untuk berpikir masak-masak sebelum tekan
tombol "send." Guy Kawasaki (a Mac Fellow) memberikan cara nge-test
yang praktis dalam menulis email: "Read it out loud to your spouse,
to your best friend, to your roomate, or even better, to your own
mother. If you think it's okay say the words you just wrote on
their faces, then it's okay to hit the send button." Kehati-hatian
Kawasaki beralasan, ternyata peribahasa kuno "sticks and stones
will break my bones, but names will never hurt me" itu tidak selalu
benar. It has been known that arsh words hurt or even kill people.

Saya dulu suka bertanya-tanya, kenapa kebanyakan kawan kerja atau
staff di kampus itu kok tidak pernah bertindak rasis, baik dalam
sikap maupun kata-kata. Apakah orang disini memang lebih
'superior'? Setelah mengamati --dan mengalami sendiri-- ternyata
semuanya itu tidak 'jatuh dari langit'. Racism adalah 'concsious
choice', dan itu harus dikoreksi atau dilawan dengan kesadaran
pula, dengan *conscious effort*. Waktu direkrut jadi TA dulu saya
disuruh mengikuti apa yang disebut "sensitivity workshop" -- yang
menjelaskan dampak buruk rasisme, mulai yang berbentuk unfair
discrimination sampai hal yang 'kecil-kecil' seperti racial slurs,
racist remaks, dsb. Dan ternyata setiap pegawai secara bertahap
diwajibkan mengikuti workshop ini -- dimulai dari mereka yang
banyak berhubungan dengan publik (yang plural itu). Ini adalah
conscious effort komunitas disini utnuk mencegah "kesalahan lama"
terulang kembali Dan ternyata ini juga diajarkan pada anak-anak
sejak usia dini, sejak mereka di taman kanak-kanak.

Forum Internet (seperti mailing list ini) memberi kita "kebebasan"
utnuk menyatakan pendapat kita. Kebebasan ini terasa lebih longgar
ketimbang yang kita rasakan dalm dunia nyata--terutama karena ada
kesan 'anonimitas', dimana orang hanya dikenal sebagai email
address saja. kebebasan ini bak pisau bermata dua, disisi lain
orang juga "bebas" mengartikan tulisan kita. Ditambah keterbatasan
kata-kata yang tidak bisa mentertakan intonasi, raut muka maupun
isyarat badan yang lain, gampang sekali terjadi misunderstanding.
Di forum elektronis seperti ini, kebanyakan kita ini hanya kenal
dari tulisan kita, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya feomena
"you are what you write" -- kita ini di'nilai' melulu dari apa yang
kita tulis saja. Tulisan kita merupakan 'representasi' dari
personality kita. Tentu saja ini tidak benar, kita semua tahu,
tetapi itulah 'impression' yang terjadi di Internet (in the absence
of other means of physical contact).


|Terus abis gitu, yang dikatain sama Mas Jaya khan orang batak, kalopun yang
|dikatain orang cina, koq yang pusing Andrew? Andrew khan neither batak nor
|cina. Emang di AKABRI diajarin supaya suka ngatur-ngatur orang laen,
|mangkanya ABRI sukanya ngatur orang laen. Saya baru tau kalo ternyata di
|Norwich juga diajarin yang sama dengan di AKABRI.

That's wrong .. one doesn't have to be the victim (chinese, jew, or
any victimized person) to sense the pain, to feel disgusted by such
injustice treatment to the fellow human being. Jaman racism masih
dominan di Amerika dulu (terutama tahun 50an di daerah selatan),
banyak orang putih (bukan victim) yang menentang diskriminasi dan
segregasi terhadap orang kulit hitam. Bukan karena muak saja,
tetapi karena juga  pikiran rasionalnya menyadari bahwa "racism
destroys 

Free speech ?

1999-05-15 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 12:53 PM 5/15/1999, Vincent Sitindjak wrote:

|Kuliah tentang racism di paragraph berikut ini engga relevan banget. Anda
|yang maksain bahwa dua kalimat Mas Jaya yang anda kutip diatas adalah
|racist's remarks (berdasarkan konteks yang salah), saya engga melihatnya
|sebagai rasis, therefore there is no need for you to lecture me on racism,
|especially when you use Americans as examples. Americans are among the most
|racist people in the world. They have to "tag" one another with race:
|"African American", "Asian American", "Italian American", etc.

Saya bilang bahwa kalimat tersebut adalah rasis, itu opini saya.
Saya tidak menilai orangnya (saya tidak kenal pribadi kok), tetapi
saya menilai apa yang ditulis, apa arti kalimat itu buat saya. Itu
pendapat saya pribadi, orang boleh setuju atau tidak, seperti saya
tidak setuju opini anda bahwa "orang Amerika paling rasis" dari
argumen seperti itu (you can do better than that). Jadi .. apanya
yang yang "maksain" itu, I have my opinion (karena 'risih' dengan
kalimat tersebut) dan saya yakin ada pula yang punya opini lain ...
that's perfectly all right. Setiap pernyataan selalu mengundang
opini orang lain, sejalan atau berlawanan. Bukan soal setuju atau
tidak saja, tetapi argumen apa yang mendukung setuju atau tidak
setuju nya itu. itu yang lebih penting lagi. Inilah esensi sebuah
forum diskusi. Kalau nggak bisa menerima ya payah ... don't go to
the kitchen if you can't stand the heat. Masalahnya adalah, apakah
kita ini bisa 'accomodate" opini yang berbeda tersebut. Ini yang
menunjukkan tingat 'demokrasi' satu bangsa, sebuah komunitas, atau
dalam hal ini, kelompok kecil di mailing list ini.

|Ya kalo emang Andrew feel disgusted by injustice treatment mendingan pergi
|ke Kosova aja bareng NATO sana buat belain orang Albania, daripada
|ngatur-ngatur orang tentang apa yang baik dan tidak baik di mailing-list
|ini.
|
|And, please, save your lecture about racism (such as one in the following
|paragraphs) for the more appropriate curcumstances. Jaya's remarks were not
|racist, they only become racist when you want them to be. You, my friend,
|already have a preconceived idea about Jaya (that he is a racist), therefore
|anything he says--that has even the slightest suggestion--will be racism to
|you. You already have prejudice against him, that's why you interpreted his
|writing the way you did. Just read it as it is--without prejudice, then you
|won't see any racism, apalagi Mas Jaya dah terangkan maksudnya dengan
|penggunaan kata 'tauke'.

Sangat menarik bahwa Bung Vincent yang begitu "kesal" pada Andrew
yang katanya suka "ngatur-ngatur" itu, pada saat yang sama (tanpa
sadar barangkali :-) suka ngatur-ngatur apa yang musti saya tulis,
kapan sebaiknya tulisan itu ditayangkan. What an irony! Ini contoh
klasik dari apa yang oleh teman bule yang 'paling rasis' itu
disebut sebagai simptom "free speech for me but not for thee". Oh
well 

Saya jadi ingat apa yang dikatakan Noam Chomsky dalam salah satu
seminarnya -- ketika ditanya bagaimana posisi dia tentang "freedom
of speech", jawabnya:

  "If you're in favor for freedom of speech, that means your
   precisely in favor for freedom of speech for views you
   despise ... otherwise, you're *not* in favor of freedom of
   speech. So. you're gonna have two positions in freedom of
   speech, and you decide which position you want."


Moko/



Re: RASIALIS VS KEBANGSAAN

1999-05-13 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 4:41 PM 5/13/1999, FNU Brawijaya wrote:

|Okay mengenai pemakaian tauke dengan mas. Sebetulnya istilah apa saja
|kalo dipake secara nggak bener juga akan nggak bener. Sebaliknya kalo
|mau diplesetkan untuk diartikan salah juga akan salah, bagaimanapun
|kita mau bikin bener.
|
|Kayak 'tauke', ini istilah yg digunakan sehari-hari, ...

Betul sekali, seperti halnya kata apapun, "tauke" atau "cina", atau
kata apa saja itu memang netral. Baru setelah mendapatkan intonasi
(dalam bahasa ucap) atau dalam *konteks* tertentu (kalimat,
situasi, dsb.) maka kata yang sebetulnya "netral" tersebut bisa
menjadi derogatory (pelecehan), rasis, dsb.

Kalau kita simak awal mula thread ini ...

At 11:59 AM 5/11/1999, FNU Brawijaya wrote:

|Lha KAMU belum jadi tauke lagunya sudah kayak
|Donald Trump. Bisa bayar 3-20 juta mestinya kan
|bisa bayarin tiket buat keluarga untuk keluar dari
|Indonesia. Tauke kayak KAMU ini yang biasanya
|jadi sasaran pertama tiap ada kerusuhan.

Siapapun yang sedikit rasional dan mngerti situasi rasial di
Indonesia mengerti apa maksud kalimat diatas, siapa yang dituju.

The above phrase DOES send a clear message ... and the word is no
longer neutral! It is a racist's remark.


Moko/



Re: A bunch of ignorant people saying Jihad???

1999-03-08 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 7:42 AM 3/8/1999, Indi Soemardjan wrote:

|To all religious persons on the Net:
|It is very sad that these people DO NOT know that this so-called-
|inter religious Feud is an engineered form of chaos.
|I repeat, this is a just an engineered form of Chaos.
|
|They have no idea that a much more evil person has created this
|type of tension.

Dear Indi ... ketika dulu musti membaca-baca karya Karl Marx
(bagian dari literature research), saya tidak habis mengerti kenapa
Karl Marx ini menyamakan agama sebagai "candu" yang memabokkan
masyarakat ...

 "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a
  heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the
  opium of the people." --Karl Marx (1818-1883)

Menyimak situasi tanah air terutama akhir-akhir ini, kata-kata Karl
Marx diatas menjadi lebih 'make sense'. Tetapi kalau melihat
kenyataan didunia, bahwa pengaruh "opium" ini tidak selalu sama ...
misalnya dinegara yang sudah "lebih maju" [mungkin lebih kena kalau
dibaca "lebih beradab"], kendati perbedaan agama selalu ada (karena
pluralitas), tetapi masalah yang disebabkan oleh perbedaan agama
ini tidak mengalami eskalasi seperti dialami negeri kita.

Jadi, thesis Karl Marx ini tidak 'universally right'. Bukan agama
[atau perbedaan antara agama yang satu dengan lain] lah yang
menimbulkan kegilaan masyarakat ini, tetapi terutama lebih
disebabkan oleh *kebodohan* manusia itu sendiri. *Kebodohan* inilah
yang gampang di rekayasa oleh para provokator --you don't have to
go far to find them ... just look in this mailing list. Tentu saja
dibutuhkan penalaran yang jernih untuk melihat masalahnya, untuk
memisahkan 'wheat from chaff', untuk membedakan kebenaran dan 'true
concern' dengan kebohongan, manipulasi fakta untuk memperbesar
masalah, memperuncing pertentangan yang memang sudah cukup lama
ada.

Saya yakin berpikir dengan nalar yang jernih ini merupakan
kewajiban kita semua, sebagai seorang intelek, sebagai orang
beriman, sebagai manusia yang bijak (homo sapiens sapiens).
Kewajiban kita sebagai manusia bijak untuk "seek the truth" dan
meluruskan mereka yang ignorant, bukannya malah menyebarkan
kebohongan atau 'kebenaran' yang sudah dipelintir habis-habisan
(twisted truth).

Paling tidak ada dua penyebab kebodohan, sikap atau situasi yang
"ignorant", disatu sisi karena keterbatasan informasi. Dilain pihak
*kebodohan* juga bisa terjadi justru karena kebanyakan informasi
(information overload) yang dikombinasikan dengan kemalasan memilah
informasi, keengganan berpikir yang kriris dan reflektip (as
opposed to simple or naive thinking). *Kebodohan* inilah yang
membuat orang jadi gampang diobok-obok oleh provokator, dan
kemudian timbulnya mob- atau herd-mentaliity.

Sebetulnya penggunaan kata *kebodohan* ini kurang 'pas'. Saya
pernah melihat sebuah bumper sticker yang menarik, "ignorance is
bliss, but stupidity kills". Agak susah
menerjemahkan kalimat ini karena keduanya merujuk kata Indonesia
yang sama, yaitu "kebodohan". Dalam bahasa Inggris "ignorance"
mengesankan situasi diluar kemampuan penyandangnya, sedangkan
"stupidity" menyiratkan adanya pilihan .. free choice, to know or
not to know. Jadi orang bisa jadi ignorant karena hidupnya
terpencil sehingga tidak bisa baca buku atau tidak bisa belajar
karena tidak ada akses ke library atau sekolah, tetapi lain halnya
dengan orang yang tinggal di kota (apalagi sekolah di Amerika, jadi
dosen, etc) yang punya akses segalanya. Yang terakhir itu
'bodoh'nya
karena pilihan pribadi -- and that is plain *stupidity*. And it *does* kill!

Kerusuhan di Ambon, dan di kota-kota lain mengingatkan saya pada
problem yang serupa di India sekitar setengah abad yang lalu [if
you don't have time to read the history book, watch the movie
"Gandhi", starring Ben Kingsley]. Beberapa saat setelah mendapatkan
kemerdekaannya dari "tuannya", bangsa Inggris, ketegangan antara
kaum Hindu dan Moslem mengalami eksalasi yang hebat ("aparat
keamanan" Inggris sudah mengundurkan diri). Pertentangan ini
memuncak jadi bunuh-bunuhan, bakar-bakaran, eye for an eye
...sehingga Calcutta sudah diambang 'civil war.' Mahatma Gandhi
yang seruannya tidak digubris oleh mereka yang sedang 'frenzy'
dalam kegilaan berdarah ini, mulai mogok makan. Dia bilang akan
mogok makan [sampai mati sekalipun], sampai kegilaan itu berhenti,
dan itu saja tidak cukup, sampai dia percaya bahwa kegilaan itu
tidak akan terulang lagi. Diambang maut Gandhi menerima kabar bahwa
semua orang sudah meletakkan senjata, dan bersumpah berhenti dari
kegilaan tersebut. Ketika ditanya repoter Amerika kenapa dia se
"stubborn" itu [dibelain sampai hampir mati], jawabnya:

  "I'm simply going to prove to the Hindhus here and the Moslems there,
   that the only devils in the world are those running around in our
   own hearts - and that's where all the battles ought to be fought."

That's right ... setannya itu ada di dalam hati kita masing-masing,
disitulah tempat jihad yang tepat -- kalau memang tujuannya mau
melenyapkan 

Re: BOIKOT KOMPAS

1999-03-02 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 12:44 AM 3/2/1999, Ramadhan Pohan wrote:

|Koran partisan, fundamentalis seperti Kompas-- saya pikir, kelak hanya akan
|dibaca oleh kaum fundamentalis nya belaka. Sebab yang merah dibilang hijau,
|yang putih dibilang abu-abu-- dan hanya kaum fundamentalis saja
|yang mau tepuk
|tangan atas  pembohongan dan keculasan seperti itu. Bagi yang nasionalis dan
|pro kepada kenetralan-- kelak akan memilih selera kebenarannya sendiri: yang
|tidak bias dan tidak selektif.

Sebelum forum ini jadi kancah "pers bashing", saya ingin bertanya ... apa sih
sebenarnya 'kriteria' yang dipakai untuk mendakwa atau menyimpulkan satu koran
atau penerbitan itu "partisan, fundamentalis, bohong, culas." Apakah hanya
karena beritanya tidak sesuai dengan 'keinginan' kita semata?

Bias dan selektip tidak bisa dihindari baik oleh koran yang 'paling objectip'
sekalipun  --pertama-tama karena volume berita selalu lebih besar dari ruang
yang tersedia, kemudian ada perbedaan [sumber] informasi, beda sudut pandang,
dsb. Ini terjadi dinegara mana saja, ukuran bias dan selektipnya biasanya
lebih tergantung pada 'independency' -- umumnya independency dari kepentingan
negara atau penguasa setempat.

Seandainya pun ada pemberitaan yang salah, tidak akurat .. bukankah itu bisa
diluruskan, paling tidak diforum diskusi kita ini. Sebagai orang pers,
seharusnya Bung Pohan bisa lebih spesifik, pemberitaan mana yang disebut
"partisan, fundamentalis, bohong, culas" itu. Agak janggal rasanya mendengar
tuduhan 'wholesale' semacam ini dari seorang profesional seperti Bung Pohan.

Tentu saja orang selalu bisa menggunakan cara apa saja untuk menyanggah
'kebohongan' - bahkan kalau perlu dengan kebohongan yang lain, seperti yang
ditulis oleh FNU Brawijaya dibawah ini:

|Mbak Steph baru nyadar kalau Kompas sekaligus membawa nama Nasrani?
|Sudah terkenal bahwa kompas boleh dipanjangkan menjadi Komando Pastur.
|Bila nggak percaya silakan lihat susunan redaksinya. ...

But .. that is hardly professional or intelectual.

Moko/



Re: bahasa berkembang

1999-01-18 Terurut Topik Moko Darjatmoko

At 12:36 PM 1/18/1999, Nasrullah Idris wrote:

|Influensa berasal dari Bahasa Arab, Alfu Anza alias Hidung Kambing

Sebelum ngawur jadi 'ngelmu gothak-gathuk', sebaiknya buka kamus dulu untuk
mendapatkan definisi yang sudah baku. Misalnya dari Merriam-Webster ...

  Main Entry: influenza
  Function: noun
  Etymology: Italian, literally, influence, from Medieval Latin influentia;
from the belief that epidemics were due to the 'influence' of the stars
  Date: 1743
  1 : an acute highly contagious virus disease caused by various strains of
a myxovirus (family Orthomyxoviridae) and characterized by sudden onset,
fever, prostration, severe aches and pains, and progressive inflammation
of the respiratory mucous membrane; broadly : a human respiratory
infection of undetermined cause
  2 : any of numerous febrile usually virus diseases of domestic animals
marked by respiratory symptoms, inflammation of mucous membranes,
and often systemic involvement



Moko/