Membubarkan FPI, Mungkinkah? Reportase Diskusi Kampus di Malang
Oleh Edi Purwanto

Indonesia yang terkenal dengan penduduk muslimnya terbesar di dunia seolah 
tidak memberikan jawaban bahwa Islam adalah agama yang membawa pesan perdamaian 
dan cinta kasih. Apalagi akhir-akhir ini sering kita mendengar dan bahkan 
melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa kekerasan berbasis agama sudah 
semakin sering dilakukan, baik oleh individu terlebih kelompok. 
Tindakan-tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang cenderung main hakim sendiri 
menjadi salah satu contoh nyata betapa memang kekerasan telah semakin membudaya 
di diri sebagian bangsa ini. 

Kekerasan adalah cermin jiwa yang rapuh, begitu tutur Mahatma Gandhi suatu 
ketika. Memang jika kita telisik lebih jauh ucapan yang diutarakan oleh tokoh 
nasional India tersebut merupakan cermin kekerdilan akan kondisi suatu 
individu, kelompok bahkan bangsa yang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan 
permasalahan yang terjadi. Sudah berlembar-lembar sejarah telah ditorehkan 
dalam perjalan bangsa ini. Berlembar-lembar itu pula sejarah kekerasan 
terus-menerus diproduksi dan di reproduksi ulang. Entah dalam konteks sosial, 
budaya, agama ataupun dalam kancah perpolitikan. Kekerasan seolah selalu 
menjadi jawaban akhir. Ruang-ruang publik yang seharusnya bisa menjembatani 
perbedaan ternyata tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Bagi mereka yang tidak 
sepakat, ruang publik semacam dialog terbuka tidak dilihat sebagai sebuah 
jawaban atas penyikapan perbedaaan tersebut. Naïf, ruang publik justru dilihat 
sebagai salah satu media brainwashing.

Indonesia yang terkenal dengan penduduk muslimnya terbesar di dunia seolah 
tidak memberikan jawaban bahwa Islam adalah agama yang membawa pesan perdamaian 
dan cinta kasih. Apalagi akhir-akhir ini sering kita mendengar dan bahkan 
melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa kekerasan berbasis agama sudah 
semakin sering dilakukan, baik oleh individu terlebih kelompok. 
Tindakan-tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang cenderung main hakim sendiri 
menjadi salah satu contoh nyata betapa memang kekerasan telah semakin membudaya 
di diri sebagian bangsa ini. Pembakaran, fatwa penyesatan, pengucilan adalah 
sedikit dari sekian yang dilakukan oleh yang mengklaim diri mereka yang paling 
benar. Tindakan main hakim sendiri ini dari sisi manapun tidak bisa dibenarkan.

Kekerasan yang dilakukan oleh FPI di berbagai kota memberi inspirasi Pusat 
Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes bekerja sama dengan 
Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta mengadakan diskusi publik pada 26 Juli 
2010. Diskusi tersebut mengangkat tema, Pembubaran Ormas Islam "Keras" 
Mungkinkah? (Tinjauan Konseptual Dan Yuridis Atas Gagasan Pembubaran FPI).

Acara yang dihelat di gedung IKA Universitas Brawijaya Malang ini dihadiri oleh 
kurang lebih sekitar 110 peserta. Peserta datang dari berbagai kelompok dan 
elemen yang kebanyakan adalah mahasiswa. Termasuk HTI tidak pernah mau 
ketinggalan untuk kegiatan seperti ini. Beberapa tampak hadir dari LSM, 
organisasi kepemudaan, media cetak dan elektronik juga sempat meliput acara 
ini. Bahkan salah satu radio sempat meliput on air acara tersebut.

Pada sesi pembuka diskusi ini diawali dengan paparan Fajar Santoso. Wacana 
pembubaran Front Pembela Islam (FPI) ramai di bincangkan dan diwacanakan, 
karena tindakannya yang anarkis dan sering main hakim sendiri. Kekerasan yang 
lakukannya terjadi di berbagai daerah, terakhir terjadi di Banyuangi. FPI 
membubarkan sebuah acara sosialisasi kesehatan yang diselenggarakan tiga 
anggota DPR dari PDI Perjuangan, Nursuhud, Ribka Tjiptaning dan Rieke Dyah 
Pitaloka yang dilaksanakan di Rumah Makan Buyung, Kelurahan Pakis, Banyuwangi. 
Berbagai forum dan pengamat banyak yang mengusulkan agar FPI dibubarkan.

Aktivis LBH Malang ini menilai bahwa pembubaran ormas Islam semisal FPI hingga 
sekarang masih dalam perdebatan. Salah satu problemnya, karena organisasi 
tersebut tidak berbadan hukum. Ketika beberapa saat yang lalu diajukan uji 
materi pembubaran FPI, Mahkamah Konstitusi (MK) membantah dengan alasan tidak 
berkompeten untuk mengadili masalah ini. Karena Undang-Undang hanya memberi 
amanah pembubaran partai politik (parpol), bukan pembubaran ormas. Ini adalah 
problem ketika pembubaran ormas diajukan ke MK, ungkap Fajar Santoso dalam 
pertemuan itu.

Lebih lanjut Fajar beranggapan bahwa wacana pembubaran FPI memang ada 
kekosongan hukum. Namun bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa di tengah 
kekosongan hukum itu. Jika masalah ini diajukan di pengadilan, hakim tidak bisa 
menolak dengan alasan tidak ada hukumnya. Alasan hakim seperti itu terbantahkan 
dengan asas hukum yang mengatakan solis populis sprimalek (keselamatan rakyat 
adalah hukum tertinggi). Alasan ini cukup kuat jika digunakan untuk membubarkan 
ormas semisal FPI, ungkap alumni Sekolah demokrasi ini.

Dalam melihat masalah ini, Levi Riansyah memiliki pandangan yang berbeda. 
Direktur PUSPeK Averroes ini malah tidak sepakat jika FPI dibubarkan. "Saya 
sebenarnya orang yang tidak sepakat dengan pembubaran ormas maupun partai dan 
saya tidak sepakat dengan pembubaran apa pun, karena di dunia ini semua berhak 
hidup, siapapun itu. Ada atau tidak ada hukum, meskipun ada perkara lain tapi 
mereka berhak hidup," tegasnya.

Menurutnya, jika FPI dibubarkan akan muncul ormas-ormas baru yang semakin tidak 
jelas bajunya. Alasan kedua jika ormas dibubarkan maka peristiwa ini akan 
dijadikan rujukan untuk membubarkan ormas-ormas yang tidak sejalan dengan 
pemerintah. Hal ini akan mengulang kediktatoran orde baru. Pembubaran FPI 
adalah emosi sesaat saja, ketika melihat ulahnya dalam menanggapi berbagai 
persoalan.

Namun ketika melihat ulah FPI dalam melakukan aksinya semakin membabibuta dan 
tidak terkontrol serta menggunakan kekerasan, maka dia dengan lantang 
mengatakan bahwa "Dalam bahasa kemanusian mana pun, yang namanya kekerasan 
tidak ada yang bisa membenarkan. Tindakan ini satu level dengan hukum mencuri 
dan korupsi yang terjadi di Negara ini", tambahnya.

Semangat untuk berperang terhadap kriminalitas yang mengatasnamakan agama harus 
tetap dilakukan, cuman perang yang dilukan oleh Habib Rizik dengan cara yang 
otoriter tetap tidak boleh. Karena cara-cara otoriter tidak baik untuk 
membangun peradaban kemanusiaan. Pada kenyataannya memang agak sulit untuk 
membangun dialog dengan mereka, namun membangun ruang bersama adalah tanggung 
jawab kita bersama. Ruang itu harus tetap dibangun untuk mencari kesepahaman 
dengan cara-cara yang strategis. "Ini adalah tugas intelektual untuk membangun 
dialong dan mentranformasikan pemahaman, bahwa tindakan-tindakan seperti itu 
tidak dibenarkan," pungkasnya.

Kemudian diskusi dilanjutkan dengan pemaparan yang disampaikan oleh Ust. Mus`ab 
Abdurrahman dari HTI. Dalam diskusi itu hanya sedikit tanggapan yang 
disampaikan. Mus'ab hanya mengklarifikasi kejadia di Banyuwangi. Dia tidak 
ingin mengetahui dan menjelaskan lebih jauh tentang peristiwa itu. "Terkait 
kejadian di Banyuangi saya tidak ingin terlalu jauh berbicara tentang FPI, 
karena kasus di Banyuwangi sudah di klarifikasi oleh Habib Rizik, bahwa yang 
membubarkan acara itu bukan FPI, melainkan hanya oknum-oknum karena FPI tidak 
ada di sana. Mus'ab malah menaggapi tentang terminologi Islam keras dan lunak 
yang menurutnya tidak ada dalam Islam. Ia beranggapan bahwa terminologi itu 
diciptakan oleh orang-orang Barat.

Menanggapi tentang kekerasan, Mus'ab balik melempar bahwa kekerasan itu tidak 
hanya dilakukan oleh ormas Islam saja. Ada berbagai ormas dan organisasi yang 
melakukan aksinya dengan jalan kekerasan. Dia mencontohkan Arema Indonesia yang 
menurutnya sering melakukan kekerasan. Kenapa tidak dibubarkan saja organisasi 
ynag seperti itu? Kenapa hanya organisasi yang berlabelkan Islam saja yang 
dibubarkan jika melakukan kekerasan, pungkasnya.

Menanggapi berbagai dan tindakan FPI, Moqsith Gozali, narasumber dari JIL 
adalah orang yang lantang dan tegas mengatakan, "tindakan FPI di berbagai 
daerah merupakan tindakan kriminalitas yang harus ditindak tegas oleh aparat, 
karena begitu banyak aksi kekerasan yang sudah dilakukan oleh FPI. Wahid 
Institute dan JIL memiliki data terkait sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan 
oleh FPI di berbagai daerah, lanjutnya.

Menurut Moqsith pihak kepolisian dan pemerintah harus tegas. Begitu ada orang 
atau ormas yang melakukukan tindakan kriminial, maka segera tangkap dan 
diadili. Namun kenapa FPI tidak ditindak, padahal tindakannya dilakukuan secara 
sistemik dan terstruktur. Selain itu FPI membuka kemungkinan bahkan menjadi 
ideologi untuk membolehkan tindakan kekerasan, sekalipun tidak memiliki hak", 
tambahnya.

Kasus yang terjadi di Banyuwangi menurut Moqsith termasuk dalam tindak 
kekerasan. "Sekalipun itu benar ada sekelompok oknum yang membicarakan atau 
mendiskusikan Marxisme, Leninisme dan Komunisme. FPI tidak punya otoritas atau 
hak apapun membubarkan dan menginterfensi acara itu. Kecuali FPI di SK terlebih 
dahulu menjadi pegawai negeri kepolisian, lalu punya hak dan otoritas untuk 
membubarkannya. Saya tegaskan lagi, mereka tidak punya kewanangan apapun. 
Sebalikya juga, JIL tidak boleh mengintervensi diskusi-diskusi tentang Khilafah 
Islamiah yang dilakukan oleh FPI atau HTI, karena itu menjadi bagian diskursus 
demokrasi," tegasnya.

Dia juga mengatakan, bahwa apa yang dilakukan Habib Rizik, telah keluar dari 
koridor Ahlussunah Waljamaah (ASWAJA), siapa yang mengaku ahlussunnah, maka 
tidak boleh main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat. Soal FPI adalah 
tindak kriminalitas dan solusinya melalui penyelesaian dari sudut hukum. 
Pemerintah harus tegas dan tegak menjalankan hukum dan aparat kepolisian 
menjamin keselamatan masyarakat.

Kemudian, aktivis Wahid Institute ini juga menyinggung bahwa HTI adalah 
organisasi keagamaan yang tidak mengakui UUD. "Bagaimana menyikapi 
organisasi-organisasi keagamaan yang tidak mengakui eksistensi UUD. Misalkan 
HTI, itu kan tidak mengakui indonesia berlandaskan UUD, kalau tidak mengakui 
bagaimana bisa melakukan, bagaimana bisa mengkritik. Dan pemerintah bisa 
bertindak tegas dengan membubarkan HTI, karena dianggap terlarang", terangnya.

Menurut Moqsith, jika HTI tidak ingin dibubarkan, maka harus menjadi partai 
politik Indonesia. Dengan demikian bisa menguasai parlemen dan mendeklarasikan 
syari'at Islam. "Kalau hanya dengan demonstrasi-demonstrasi anti palestina, ya 
kapan syariat islam ini bisa terbentuk di Indonesia", ucapnya sambil terkekeh.

Setelah itu dibuka sesi pertanyaan dan ditanggapi oleh beberapa narasumber. 
Diskusi itu dihadiri oleh Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal, Ust. 
Mus'ab Abdurrahman (HTI), Fajar Santoso (LBH Malang) dan Levi Riansyah (Puspek 
Averroes) ini berjalan dengan rileks. Walaupun ada sentilan-sentilan yang 
kadang membuat muka memerah ataupun memmbuat kuping menjadi panas. Diskusi 
diakhiri jam 13.15 diteruskan dengan pemberian kenang-kenangan kepada para nara 
sumber yang hadir.

Panitia sebelumnya telah mengundang KH. Lutfi Bashori Alwi (komisi fatwa FPI 
Jawa Timur), pada mulanya beliau memastikan kehadirannya. Namun ketika beliau 
mengetahui bahwa akan berada dalam satu meja dengan Moqsith Gazali, Lutfi 
Bashori membatalkan kesediaannya. Entah trauma peristiwa apa yang melanda KH. 
Lutfi Bashori Alwi sehingga tidak berkenan satu meja dengan Moqsith.

Penulis adalah Aktivis Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) 
Averroes Malang


Kirim email ke