Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

Catatan: teks Arab dihilangkan. Untuk lengkapnya lihat URL sumber:

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=358

-----------------------------------
Praktek Ruqyah yang Menyimpang
Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi Al-Medani
Syariah, Kajian Utama, 27 - Juli - 2006, 08:40:54


Diakui atau tidak, ruqyah memang telah menjadi sebuah komoditi yang
menarik. Tak heran, jika hal itu kemudian dijadikan alat untuk
kepentingan politik praktis di mana ramai-ramai parpol yang mengaku
Islam kemudian menggelar ritual pengobatan gratis. Di sejumlah kota
bahkan mulai menjamur dengan apa yang disebut klinik ruqyah. Tak ayal,
berbagai kekeliruan pun muncul ketika banyak orang mempraktekkan
amalan ini tanpa dilandasi keilmuan yang benar.

Praktek ruqyah yang marak di tengah-tengah kaum muslimin belakangan
ini menuntut kita untuk bersikap jeli dan teliti. Karena tak semua
praktek ruqyah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Bahkan banyak yang bertentangan dengan kedua wahyu ini. Di
satu sisi, mereka melakukan pengobatan dengan mengharap kesembuhan
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun di sisi lain, dalam melakukannya
mereka melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini merupakan hal
yang sangat bertolak belakang. Bagaimana mungkin mereka menggabungkan
pengharapan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pelanggaran terhadap
syariat-Nya?
Tak heran, jika banyak orang yang kemudian menjadi rusak hati dan
agamanya karena melakukan praktek ruqyah yang menyimpang. Oleh karena
itu, barangsiapa ingin melakukan amalan ini dengan mengharap
kesembuhan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan juga diridhai oleh-Nya,
hendaknya dia mempelajari terlebih dahulu rambu-rambu syariat Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang masalah ini.

Setelah sebelumnya membahas ruqyah syar'i, maka dalam kesempatan ini
akan dikaji tentang ruqyah yang menyimpang. Sehingga kita tidak mudah
tertipu oleh para peruqyah yang membawa berbagai bentuk pelanggaran
terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apalagi amat disayangkan,
sebagian mereka justru membawa label Islam, bergelar ustadz, kyai atau
yang lainnya. Ini merupakan tindakan aniaya terhadap Islam dan gelar
keilmuan itu sendiri.

Di antara contohnya, yakni menyemarakkan praktek ruqyah dengan
tendensi politik tertentu dalam rangka menggalang simpatisan atau
kader partai, dan lainnya.

Di antara yang bisa kita sebutkan dari praktek ruqyah yang menyimpang
adalah sebagai berikut:

1. Melakukan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala

Seharusnya ruqyah-ruqyah itu diambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Bukan dari jampi-jampi, mantera, atau bacaan yang berasal dari dukun,
tukang sihir, paranormal, setan atau jin. Karena yang demikian itu tak
jarang mengandung permintaan tolong kepada setan, jin, wali, dan yang
lainnya. Ini jelas merupakan perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Bahkan ruqyah-ruqyah yang syirik ini terkadang disertai
penyembelihan, nadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan
kesyirikan-kesyirikan lainnya. Maka seseorang yang melakukan ruqyah
wajib menjauhi perbuatan syirik. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyatakan dalam Al-Qur`an:

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya,
dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang-orang yang Allah
kehendaki." (An-Nisa`:48)

Bila seseorang ingin menyembuhkan penyakitnya, menghindarkan gangguan
setan atau jin, dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, atau
paranormal, ini termasuk perbuatan dosa yang bisa mengeluarkannya dari
Islam. Meminta jampi-jampi, mantera, jimat yang memuat tulisan
nama-nama setan atau nama-nama yang tidak dikenal, lalu dibacakan
kepada orang yang sakit dengan tujuan mencari kesembuhan, merupakan
syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hendaknya seorang muslim
melakukan ruqyah dengan cara yang disyariatkan, bukan dengan cara-cara
yang mengandung kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahul
musta'an.

2. Memakai bahasa 'ajam (non-Arab) dan kalimat-kalimat yang tidak bisa
dipahami, kumpulan huruf tidak bermakna, huruf-huruf yang terpotong,
atau yang semisalnya.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ruqyah semacam ini merupakan hal
terlarang, karena dikhawatirkan mengandung perbuatan syirik.
Berikut ini beberapa bentuk ruqyah yang menyimpang, kita nukilkan dari
ucapan Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami rahimahullahu dalam kitabnya
Ma'arijul Qabul (hal. 406-407 cet. Darul Hadits). Beliau berkata:

"Di antaranya, ruqyah yang mereka klaim berasal dari Al-Qur`an,
As-Sunnah, atau nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
ditetapkan di dalamnya. Mereka ubah sendiri ke dalam bahasa
Suryaniyah, Ibraniyah, atau yang selainnya dan mereka keluarkan dari
bahasa Arab. Aku tidak tahu –jika kita benarkan pengakuan-pengakuan
mereka– apakah mereka meyakini bahwa ruqyah tidak bermanfaat bila
menggunakan bahasa Arab yang dengannya Al-Qur`an turun dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan Sunnahnya, sehingga mereka
perlu menerjemahkannya ke bahasa selain Arab? Atau mereka meyakini
bahwa ruqyah dengan bahasa 'ajam lebih bermanfaat daripada ruqyah
dengan bahasa Arab? Atau ruqyah dengan bahasa Arab bermanfaat untuk
satu perkara sedangkan ruqyah dengan bahasa 'ajam bermanfat untuk
perkara yang lain, dan salah satunya tidak pantas digunakan untuk yang
lainnya? Atau setankah yang telah menghiasi perbuatan mereka ini dan
merasuki jiwa mereka? Atau dusta apakah yang telah mereka perbuat?

Termasuk yang mereka sangka nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala namun
sesungguhnya tak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara
merekapun mengetahuinya dari selain keduanya, adalah sesuatu yang
mereka pakai untuk menyeru Nabi Adam, Nuh, Hud, atau para nabi yang
selain mereka. Di antaranya, sesuatu yang mereka katakan tak terdapat
kecuali dalam Ummul-Kitab, tertulis di Baitul Ma'mur, tertulis pada
sayap malaikat Jibril, Mikail, Israfil, atau sayap para malaikat yang
lainnya. Demikian pula sesuatu yang mereka katakan tertulis pada pintu
surga, dan lain sebagainya. Duhai, kapankah mereka pernah menyaksikan
Al-Lauhul Mahfuzh dan menyalin darinya sesuatu yang mereka sangka itu?
Kapankah mereka pernah naik ke Baitul Ma'mur dan mereka membacanya di
sana? Kapankah para malaikat pernah membentangkan sayapnya kepada
mereka dan mereka melihatnya di sana? Kapankah mereka pernah
menyaksikan pintu surga dan mereka melihatnya di sana?

Ketika seseorang yang licik dan berlagak pintar ingin berbuat dusta
atas manusia dan melakukan tipu daya untuk memakan harta mereka,
niscaya dia akan mencari cara untuk sampai kepada tipu daya itu dan
membuat pijakan yang dipakai sebagai rujukannya. Jika dia memperoleh
syubhat yang laris di kalangan orang-orang yang lemah akalnya dan buta
mata hatinya, maka dia akan melakukannya. Jika tidak, maka dia akan
berdusta kepada mereka dengan kedustaan yang murni lalu bersumpah
dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala di hadapan mereka bahwa dia
termasuk seorang pemberi nasehat. Akhirnya orang-orang pun membenarkan
karena berbaik sangka kepadanya.

Di antaranya, nama-nama yang mereka seru, yang terkadang mereka klaim
sebagai nama-nama malaikat dan terkadang mereka anggap sebagai
nama-nama setan. Mereka meyakini bahwa nama-nama ini sebagai khadam
(pelayan) surat ini atau ayat ini (dari Al-Qur`an). Terkadang mereka
meyakini pula bahwa nama ini termasuk nama-nama Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Mereka memanggil: 'Wahai khadam, surat demikian, ayat
demikian, atau nama demikian.' 'Wahai fulan bin fulan, fulan bin
fulan, kabulkanlah, kabulkanlah, wahai Al-'Ijl, Al-'Ijl,' atau
panggilan yang semacam itu. Tak ada sebuah surat, ayat Al-Qur`an, atau
sebuah nama dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan mereka
buatkan satu khadam dan mereka seru untuknya. Betapa jelek kedustaan
yang mereka lakukan.

Terkadang mereka menulis sebuah surat atau ayat secara berulang-ulang
dalam bentuk yang beraneka ragam. Mereka menjadikan bagian awal
sebagai akhirnya dan akhirnya menjadi awal, pertengahan sebagai
awalnya pada sebuah tempat dan sebagai akhirnya pada tempat yang lain.
Terkadang mereka menulisnya dengan huruf yang terputus-putus. Setiap
huruf ditulis sendiri-sendiri.

Mereka menyangka bahwa huruf-huruf itu dengan kondisi ini memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kondisi-kondisi huruf yang
lainnya. Aku tidak tahu dari mana mereka mengambil dan menukilkannya.
Tidaklah yang demikian melainkan bisikan-bisikan setan yang telah
mereka hiasi, khurafat-khurafat sesat yang telah mereka biasakan, dan
beragam kedustaan yang telah mereka hubung-hubungkan di mana Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan padanya. Yang demikian
itu diketahui tidak memiliki dasar hukum baik dari Al-Qur`an maupun
As-Sunnah. Tidak pula pernah dinukilkan dari seorang ahli agama dan
iman. Mereka itu hanyalah para pendusta yang membuat tipu daya.
Niscaya mereka akan dibalas sesuai dengan perbuatan mereka.

Terkadang mereka menulis rumus-rumus dari bilangan-bilangan Arab yang
dikenal. Mulai dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan yang
selainnya. Mereka menganggapnya sebagai rumus-rumus yang menyampaikan
kepada huruf-huruf ayat, surat, nama tertentu, atau sesuatu dari
perkara yang telah kita kemukakan tadi sesuai dengan huruf-huruf abjad
yang dikenal di kalangan Arab.

Banyak lagi khurafat-khurafat batil dan kedustaan-kedustaan palsu yang
mereka buat. Mayoritasnya mereka ambil dari umat yang telah dimurkai,
yang mengambil dan mempelajari sihir dari para setan. Setelah itu
mereka susupkan kepada para pemeluk Islam dengan dalih bahwa itu dari
Al-Qur`an, As-Sunnah, atau nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Hanya saja mereka mengubah lafadz-lafadznya dan mereka terjemahkan ke
dalam bahasa selain Arab, demi tujuan-tujuan yang menurut mereka tidak
akan tercapai kecuali dengan cara ini. Di antara umat yang telah
dimurkai itu terdapat para penyembah malaikat, setan, atau yang
sejenis mereka. Mereka ambil nama-nama malaikat atau setan, lalu
mereka katakan kepada orang-orang bodoh bahwa itu adalah nama-nama
Allah Subhanahu wa Ta'ala agar mereka bisa melariskan perbuatan syirik
di antara orang-orang bodoh tersebut, sehingga mereka memanggil selain
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah perbuatan makar yang tidak mampu
dilakukan oleh iblis kecuali dengan perantara orang-orang sesat ini.
Adapun iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Sesungguhnya dia hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala." (Fathir: 6)
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al-Qur`an) sedangkan dia dibacakan kepada mereka?
Sesungguhnya dalam (Al-Qur`an) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman." (Al-'Ankabut: 51)

"Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (An-Nur: 40)

3. Mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal

Di antara praktek ruqyah menyimpang yaitu mendatangi dukun, tukang
sihir, paranormal, dan peramal untuk meminta penyembuhan penyakit atau
mengatasi kerasukan jin. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk mendatangi mereka.

Shahabat Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiallahu 'anhu berkata:
Aku bertanya: 'Ya Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu kami
melakukannya di masa jahiliyah. Dahulu kami mendatangi para dukun.'
Beliau menjawab:

"Janganlah kalian mendatangi para dukun." (HR. Muslim)

Ini larangan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya
sangat disayangkan bila sebagian kaum muslimin melakukan perbuatan
ini. Jika mereka ditimpa penyakit, kerasukan jin, atau gangguan setan
lainnya, mereka bersegera datang kepada para dukun untuk meminta
jampi-jampi maupun bacaan ruqyah. Mereka ingin mencari kesembuhan
dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
bahkan dilarang dalam agama-Nya.

Ketahuilah, bahwa para dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal
yang memberikan jampi-jampi, ruqyah, pengobatan alternatif, dan
memberitakan perkara-perkara ghaib, mereka ingin melakukan pengkaburan
terhadap kaum muslimin, atas nama penyembuhan, terapi alternatif, dan
sebagainya. Padahal mereka berambisi memakan harta manusia dengan cara
yang batil dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka
bukan wali-wali Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi wali-wali setan. Oleh
karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan dalam firman-Nya:

"Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa."
(Asy-Syu'ara`: 221-222)

Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan: "Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengajak bicara kaum musyrikin yang menyangka bahwa yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak haq karena beliau
mengada-adakan sendiri atau beliau didatangi oleh jin yang menampakkan
diri. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala bersihkan nama beliau dari ucapan
dan kedustaan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan bahwa
yang beliau bawa berasal dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala,
diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, diwahyukan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala, dan disampaikan oleh malaikat yang mulia,
terpercaya dan agung. Bukan dari kalangan setan, sebab mereka tak
punya motivasi terhadap kitab suci seperti Al-Qur`an yang agung ini.
Sesungguhnya para setan itu turun atas orang-orang yang menyamai dan
serupa dengan mereka dari kalangan para dukun yang pendusta. Oleh
karena ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa."
(Asy-Syu'ara`: 221-222)

Sedangkan yang dimaksud dengan al-affaak adalah al-kadzuub (pendusta)
pada ucapannya dan yang dimaksud dengan al-atsiim adalah al-faajir
(penjahat) pada perbuatannya. Kepada mereka inilah setan turun. Mereka
itu adalah para dukun dan pendusta serta orang-orang fasik yang
sejalan dengan para setan itu." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/469-470
cet. Maktabah Darul Faiha` dan Darus Salam)

Aisyah radhiallahu 'anha berkata (yang artinya):
Beberapa orang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang para dukun. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: "Ini sesuatu yang tidak diperbolehkan." Mereka mengatakan:
"Sesungguhnya mereka terkadang mengucapkan kepada kami sesuatu dan
ternyata benar." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun
bersabda: "Itu adalah kalimat benar yang disambar oleh jin lalu
diberitakannya pada telinga walinya. Maka mereka mencampurkan
bersamanya seratus kedustaan." (HR. Al-Bukhari)

Oleh karena itu, barangsiapa mendatangi para dukun, tukang sihir,
paranormal, atau peramal maka dia terancam dengan beberapa hal yang
telah disebutkan pada hadits-hadits berikut. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mendatangi 'arraf (peramal) lalu bertanya tentang sesuatu
maka tidak diterima shalatnya selama 40 malam." (HR. Muslim)
Bila orang yang bertanya kepada peramal tidak diterima shalatnya
selama 40 hari, maka bagaimana dengan peramal yang ditanya?
Yang lebih parah, jika dia tidak hanya sekedar bertanya bahkan
membenarkan ucapan dukun atau peramal itu. Abu Hurairah dan Al-Hasan
(cucu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) radhiallahu 'anhuma
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:

"Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu dia membenarkan
ucapannya berarti dia telah kafir terhadap ajaran yang diturunkan
kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam."

Inilah ancaman bagi orang yang bertanya kepada para dukun atau peramal
dan membenarkan ucapan mereka. Na'udzu billah min dzalik.

"Maka tak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan." (Yunus: 32)

Oleh karena itu tidak boleh meminta ruqyah dari para dukun, tukang
sihir, paranormal atau peramal untuk penyembuhan suatu penyakit atau
gangguan lainnya. Ini hanya akan membawa kerugian dan bukan
keberuntungan.

Jika mereka sembuh setelah 'berdukun', maka kesembuhan itu datang
dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan karena kehebatan si
dukun. Itupun setelah mereka mengorbankan agama mereka, yang tentunya
jauh lebih berharga bila mereka mengetahui. Hal ini perlu diyakini
oleh kaum muslimin agar mereka tidak terpedaya dengan kesembuhan yang
didapatkan melalui dukun setelah mereka mengorbankan sesuatu yang
lebih berharga, yaitu agama mereka." (Lihat Ahkam Ar-Ruqa wat Tama`im,
hal. 181-183)

4. Menggunakan jin dalam meruqyah

Hal ini dilakukan oleh sebagian peruqyah. Mereka menganggap bahwa
meminta tolong kepada jin adalah hal yang diperbolehkan. Alasannya,
jin bisa membantu mendiagnosa jenis penyakit yang tengah diderita
orang yang diruqyah, apakah terkena 'ain (pengaruh sorotan mata yang
jahat), sihir, atau kemungkinan yang lainnya. Padahal hukum asal
meminta tolong kepada jin adalah dilarang. Hanya saja sebagian ulama
membolehkannya bila seorang jin menampakkan dirinya kepada seorang
muslim dan menawarkan diri untuk menolongnya. Namun tidak sepantasnya
hal ini dipakai ketika melakukan ruqyah, karena keadaannya berbeda.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memiliki dua kondisi dalam berhubungan dengan jin.

Yang pertama, dalam rangka memerintahkan kepada yang ma'ruf dan
melarang dari yang mungkar. Karena jin sama seperti manusia harus
mengikuti syariat Islam.

Yang kedua, berlindung dari keburukan setan-setan jin. Beliau
menggunakan ruqyah yang disyariatkan untuk menolak segala keburukan
mereka. Adapun meminta tolong kepada jin, khususnya dalam masalah
ruqyah, bukanlah merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
maupun para shahabatnya. Sebagian ulama membolehkannya hanya dalam
kondisi tertentu, tidak pada semua kondisi.
Oleh karena itu, seharusnya seorang peruqyah meninggalkan perbuatan
meminta tolong kepada jin. Karena ini merupakan sarana yang akan
menyampaikan kepada perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Meminta tolong atau mengambil berita dari jin sangat bergantung kepada
kondisi mereka yang adil dan bisa dipercaya. Sementara kedua perkara
ini tidak mungkin diketahui pada diri jin, walaupun dia biasa membantu
seorang manusia. Karena jin adalah makhluk yang tidak bisa dilihat
oleh manusia. Sehingga keadilan dan kondisinya yang bisa dipercaya
tetap majhul (tidak diketahui) dan perlu dipertanyakan.
Inilah sebab para ulama hadits dalam kitab-kitab mushthalah
menyebutkan bahwa riwayat jin yang muslim adalah lemah. Karena
keshahihan riwayat tergantung kepada keadilan dan kondisi jin yang
bisa dipercaya. Padahal jalan untuk mengetahuinya secara benar
tertutup dengan rapat.

Demikian pula, jin bisa saja membuat keonaran dengan mengadu domba
atau melemparkan tuduhan yang tidak benar sehingga memunculkan
permusuhan dan pertikaian di antara manusia. Oleh karena itu,
mengambil bantuan jin dalam meruqyah seharusnya ditinggalkan. (Lihat
transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh hal. 9)

5. Banyak berdialog dengan jin

Hal ini lebih baik ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para salaf tidak pernah mencontohkan yang demikian dalam
meruqyah. Hanya orang-orang belakangan yang melakukannya. Berdialog
dengan jin ketika meruqyah akan melalaikan dari ruqyah itu sendiri.
Lagipula, perbuatan ini tidak membawa manfaat yang nyata bagi yang
diruqyah. Semestinya peruqyah berupaya sesegera mungkin mengusir jin
yang merasuki pasiennya dengan ruqyah syar'i dan tidak
berlambat-lambat.

Berdialog dengan jin tentunya akan menunda kesembuhan bagi yang
dirasuki jin itu. Tentunya sikap tidak berdialog dengan jin merupakan
bentuk kasih sayang kepada orang yang kerasukan. Sebab ketika jin
diajak berdialog, dia akan menggunakan fisik orang yang kemasukan.
Sehingga tatkala ruqyah selesai dilakukan, orang itu terlihat sangat
letih karena tubuhnya dipakai oleh jin untuk melayani acara dialog
yang digelar oleh si peruqyah. Sesungguhnya dialog yang dilakukan
bersama jin cenderung sia-sia, karena ucapannya tidak bisa dipegang
mentah-mentah.

Pemberitaan jin tentang identitas diri, komunitas, dan ke-Islamannya
serta berbagai hal lainnya adalah perkara yang tidak bisa dipastikan
kebenarannya. Manusia tidak bisa mengetahui keberadaan dan kondisi jin
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa membenarkan
ucapannya?

Sebagaimana yang telah lalu bahwa para ulama hadits melemahkan
periwayatan jin muslim karena kebenarannya tidak bisa diteliti dan
dibuktikan. Tentu penyebabnya adalah keberadaan jin sebagai makhluk
ghaib. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan
kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang berhasil menangkap setan
jin yang biasa mencuri kurma zakat:

"Dia jujur kepadamu padahal dia seorang pendusta." (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaannya adalah berdusta.
Kejujurannya tidak diketahui kecuali setelah diberitakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang jelas, manusia tidak bisa
mengetahui kebenaran jin, baik sedikit ataupun banyak. Karena itu,
hendaknya seorang peruqyah meninggalkan berdialog dengan jin yang
sedang merasuki tubuh pasiennya, kecuali bila memang sangat
dibutuhkan. Dalam kondisi yang sangat dibutuhkan dia berdialog dengan
jin itu seperlunya dan tidak melebihi kebutuhan. Setiap kebutuhan
diukur dengan kadarnya dan tidak lebih dari itu. Wallahu a'lam.

Selanjutnya, marilah kita simak perkataan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu: "Di sisi lain, aku sangat mengingkari orang-orang yang
mencuri kesempatan dalam keyakinan ini (keyakinan bahwa jin bisa masuk
ke dalam tubuh manusia), dengan menjadikan penghadiran jin dan acara
berdialog dengan jin sebagai rutinitas untuk mengobati orang-orang
yang gila atau kemasukan. Mereka menjadikan hal itu sebagai sarana
tambahan, di samping membaca Al-Qur`an semata. Perkara ini termasuk
hal yang Allah tidak turunkan kekuasaan padanya. Juga pemukulan yang
keras (ketika melakukan ruqyah) yang terkadang menimbulkan kematian
bagi orang yang kerasukan, sebagaimana hal ini terjadi di sini (Amman,
Yordania), juga di Mesir. Sehingga peristiwa ini menjadi headline di
surat-surat kabar dan berbagai majelis.

Dahulu, orang yang menangani pembacaan Al-Qur`an terhadap orang yang
kerasukan hanyalah segelintir orang shalih saja. Namun hari ini,
jumlahnya sampai ratusan. Bahkan ada di antaranya wanita yang bersolek
dengan cara jahiliyyah. Sehingga perkara ini telah keluar dari
kedudukannya sebagai wasilah yang syar'i, yang semestinya hanya
dilakukan oleh para dokter. Perkara ini berubah menjadi perkara dan
sarana lain yang tidak dikenal, baik oleh syariat ataupun kedokteran.
Hal ini –menurutku– adalah suatu jenis kedustaan dan bisikan yang
diilhamkan setan kepada musuhnya.

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (Al-An'am: 112)
Hal ini juga termasuk mengambil perlindungan kepada jin yang dahulu
dilakukan kaum musyrikin di masa jahiliyah, sebagaimana firman Allah:

"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." (Al-Jin: 6)

Sehingga barangsiapa yang mengambil bantuan mereka untuk menghilangkan
pengaruh sihir –dalam anggapan mereka– atau mengetahui identitas jin
yang merasuki tubuh manusia, apakah laki-laki atau wanita, muslim atau
kafir, lalu dibenarkan oleh orang yang meminta bantuannya dan
dibenarkan pula oleh orang-orang yang hadir di sisinya, mereka semua
tercakup dalam ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun lalu membenarkan ucapannya,
berarti dia telah kafir terhadap perkara yang diturunkan kepada
Muhammad."

Dalam hadits yang lain:

"…tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam."

Sehingga sepantasnya perkara ini diperhatikan. Yang aku ketahui,
kebanyakan orang yang disibukkan dengan rutinitas ini adalah
orang-orang yang lalai tentang hal ini. Aku menasehati mereka bila
tetap bersikeras melanjutkan rutinitas mereka, agar tidak berdialog
melebihi ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Keluarlah wahai musuh Allah."

Ini untuk mengingatkan mereka (yang melakukan rutinitas ini) dengan
firman Allah:

"Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nur: 63)
Allah-lah tempat meminta pertolongan, wala haula wala quwwata illa
billah. (Ash-Shahihah no. 2918, hal. 1009-1010)

Dan sebenarnya di sana ada sebagian ulama yagn membolehkan berdialog
dengan jin. Namun apabila hal itu tidak dibutuhkan maka lebih baik
ditinggalkan. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

6. Menggunakan ruqyah yang melampui batas

Sebagian orang berijtihad untuk membuat bacaan ruqyah sendiri dan
tidak mengambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, lalu menyusupkan ke
dalamnya kalimat-kalimat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan
As-Sunnah, mendoakan keburukan bagi pihak-pihak yang tak bersalah. Ini
adalah perbuatan aniaya kepada orang lain. Padahal Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mengharamkan kedzaliman di antara manusia bahkan bagi
diri-Nya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur`an
dan hadits Nabi. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar
Al-Ghifari radhiallahu 'anhu dan dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah berfirman: 'Aku telah mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku, dan
Aku menjadikannya di antara kalian sebagai sesuatu yang diharamkan.
Maka janganlah kalian saling mendzalimi'." (HR. Muslim)

7. Bermudah-mudahan dalam meruqyah sehingga tidak sesuai dengan tuntunan syariat

Yang dimaksud di sini yaitu sebagian peruqyah melakukannya dengan
seenaknya dan sekenanya. Tidak mengikuti tata cara yang telah
digariskan syariat, karena banyaknya pasien dan keterbatasan waktu.
Misalnya dengan membuat cincin-cincin yang telah ditulis padanya
ayat-ayat Al-Qur`an. Kemudian distempelkan di atas selembar kertas
atau daun, lalu diberikan kepada pasiennya. Lalu mereka menyimpan atau
menggantungkan lembaran kertas atau daun itu, dengan keyakinan bahwa
hal tiu bisa menyembuhkan atau mencegah penyakit.

Hal ini, di samping akan membawa kepada keyakinan yang batil, juga
akan berujung pada penghinaan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Sehingga
cara ini jelas merupakan tuntunan yang keliru dan menyelisihi syariat
dalam praktek ruqyah. Karena menghinakan Al-Qur`an merupakan perkara
yang diharamkan.

8. Membedakan bacaan ruqyah sesuai dengan pesanan pasien

Maksudnya, ada bacaan yang biasa, ada bacaan yang disebut dengan
bacaan inti, ada pula yang disebut bacaan raja. Tentunya tarif yang
dikenakan pada masing-masing bacaan ini berbeda. Ini termasuk memakan
harta manusia dengan cara yang batil dan menyelisihi ruqyah yang
disyariatkan. Karena dalam meruqyah tidak dibedakan antara satu bacaan
dengan yang lainnya. Ruqyah bertujuan untuk membantu dan memberi
manfaat kepada orang lain, bukan untuk memakan harta manusia dengan
cara yang batil. Ini merupakan ruqyah yang menyimpang dan seharusnya
dihindarkan oleh kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah
kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepada kalian." (An-Nisa`: 29)

9. Memukul, mencekik, atau yang semacamnya ketika meruqyah

Semua ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam maupun salafush shalih. Memang diriwayatkan bahwa sebagian
ulama melakukan hal itu ketika meruqyah. Namun hal ini sekedarnya
saja, dan tidak menjadi kebiasaan atau bagian aktivitas dalam ruqyah.
Apalagi jika dilakukan dengan cara yang keras dan kasar sehingga
menyakiti pasiennya. Ini jelas merupakan kedzaliman yang dilarang oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam terkadang hanya menyebutkan:

"Keluarlah wahai musuh Allah."

Hanya dengan demikian, orang yang kemasukan jin sembuh dari penyakitnya.

10. Melecehkan sebagian syiar Islam

Termasuk dalam perkara ini adalah meruqyah menggunakan mushaf
Al-Qur`an tanpa membaca isinya. Di sini terdapat praktek lain yang
melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala atau mengandung penghinaan
terhadap syiar Islam. Hal ini termasuk praktek ruqyah yang menyimpang.

11. Menjadikan ruqyah sebagai profesi atau mata pencaharian

Ini adalah penyimpangan dalam praktek ruqyah karena tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para
shahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Yang diamalkan oleh para salaf
dan diajarkan oleh As-Sunnah bahwa seseorang meruqyah saudaranya, baik
dengan upah atau tidak untuk memberi kemanfaatan bagi saudaranya.
Namun mereka tidak menjadikan amalan ruqyah sebagai profesi layaknya
seorang dokter. Sungguh yang demikian itu hanya muncul dari
orang-orang yang datang belakangan. Padahal di masa salaf juga banyak
orang yang membutuhkan ruqyah. Ketika mereka tidak melakukannya,
berarti meninggalkannya merupakan kebaikan. Sebaik-baik petunjuk
adalah mengikuti jejak salaf.

Asy-Syaikh 'Ali bin Nashir Al-Faqihi berkomentar tentang hal ini
sebagai berikut:
"Barangkali seseorang akan bertanya-tanya, 'Apakah di masa lampau ada
seorang ulama salaf yang baik, yang berprofesi sebagai peruqyah baik
secara gratis atau dengan mengambil upah, karena hal itu
diperbolehkan?'

Aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang bisa menetapkan hal itu.
Sungguh dahulu bila seseorang datang dan meminta ruqyah dari para
ulama dan orang-orang baik serta bertakwa, mereka meruqyahnya dengan
ruqyah-ruqyah yang disyariatkan lalu selesai urusannya. Sebagian
manusia telah menyimpang dari manhaj salaf yang baik dalam perkara
ini. Seperti yang kita lihat pada hari ini di mana telah dibuka
berbagai klinik (atau yang bisa disamakan dengan klinik, red.) yang
berorientasi bisnis disertai iklan bahwa kliniknya memiliki
'pakar-pakar' yang menangani secara khusus ruqyah syar'i (yang
dimaksud beliau adalah ruqyah center yang sekarang sedang menjamur di
mana-mana, pen.). Sementara yang selain mereka dianggap tidak bisa
memberi kemanfaatan kepada manusia (dengan ruqyah itu). Padahal ruqyah
tidaklah terbatas pada orang-orang tertentu saja. Sepantasnya
klinik-klinik ini ditutup.

Hendaknya imam-imam masjid diarahkan agar mereka menerangkan dalam
khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka tentang ruqyah syar'i, dan
menerangkan pula bahwa ruqyah itu dengan membaca Al-Qur`an yang mulia
dan As-Sunnah yang shahih. Niscaya di setiap kota dan kampung akan
didapatkan orang yang bisa meruqyah dengan cara yang disyariatkan.
Orang yang bertakwa dan shalih adalah orang yang tepat untuk melakukan
ruqyah itu (tanpa menjadikannya sebagai profesi, pent.). Mereka itu
–alhamdulillah– ada di setiap pelosok negeri.

Demikian pula dianjurkan seorang muslim untuk menguatkan imannya,
tawakalnya, dan penyandaran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam seluruh perkara. Demikianlah, kita memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala niat yang baik dan bimbingan-Nya bagi kita semua."
(Lihat Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 82)

12. Menjadikan ruqyah sebagai arena ikhtilath (campur baur antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa hijab) atau khalwat
(seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, tanpa
disertai mahram si wanita)

Ini merupakan pelanggaran syariat yang nyata dalam praktek ruqyah yang
dilakukan oleh banyak pihak dari kaum muslimin. Padahal Islam telah
mengharuskan para wanita untuk berhijab dari para lelaki yang bukan
mahramnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para istri
Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir). Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka." (Al-Ahzab: 53)

Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang para sahabat untuk meminta
sesuatu kepada istri-istri Nabi kecuali dari belakang hijab –padahal
mereka adalah orang-orang suci– dengan alasan untuk menyucikan
hati-hati mereka, bagaimana dengan yang selain mereka yang tidak suci
sebagaimana mereka? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutakan
hati-hati kita.
Islam juga melarang khalwat antara lelaki dan wanita yang bukan mahram
tanpa kehadiran mahramnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

"Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali bila si wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang
wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya. Bangkitlah seorang
laki-laki dan bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku telah
keluar untuk pergi haji, sedangkan aku telah mendaftarkan diri untuk
ikut serta dalam peperangan ini dan itu? Beliau pun bersabda:
'Berangkatlah dan hajilah bersama istrimu'." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)

Banyak pula di antara peruqyah yang berhadapan langsung dengan pasien
wanitanya dalam jarak yang sangat dekat. Sehingga mereka meruqyah
sekaligus me-ru`yah (melihat) wanita yang bukan mahramnya dengan puas
dan tanpa sungkan-sungkan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

"Katakanlah kepada kaum mukminin: 'Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang mereka
perbuat.' Dan katakanlah kepada kaum mukminat: 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya'." (An-Nur: 30-31)

Bahkan lebih dari itu, para wanita yang datang untuk diruqyah banyak
yang berpakaian dengan model yang tidak diperbolehkan dalam Islam
karena tidak menutup aurat secara sempurna. Pakaian mereka walaupun
sebagiannya dilengkapi dengan jilbab (gaul), tetapi lekukan tubuh
mereka masih kelihatan jelas. Mereka mengenakan jeans atau celana
panjang dan baju yang tidak lebar, bahkan ketat. Belum lagi warna
pakaian mereka yang norak dan menarik disertai bersolek ala
jahiliyyah.

Dengan penampilan yang demikian, sebagian wanita itu bila diruqyah ada
yang tertawa, menangis, dan tergeletak dengan bentuk tubuh yang tampak
di hadapan laki-laki yang meruqyah. Banyak peruqyah memegang bagian
tubuh wanita yang diruqyah, walaupun dengan memakai sarung tangan
tetapi sentuhannya tetap saja dirasa oleh kedua belah pihak. Dengan
bebas, sang peruqyah memegang dan melihat wanita yang sedang menjadi
pasiennya. Bukankah ini pelanggaran yang nyata terhadap syariat?
Apakah mereka tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika
melakukan pelanggaran itu?

Jika mereka beralasan bahwa ini dilakukan dalam rangka pengobatan,
maka yang demikian tidaklah tepat. Karena ruqyah bisa dilakukan tanpa
harus melanggar ketentuan syariat Islam. Ruqyah bukanlah hujjah untuk
menghalalkan segala cara. Ruqyah adalah amalan yang disyariatkan, maka
semestinya dipraktekkan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat
lainnya.

Karena praktek ruqyah yang menyimpang ini, banyak kaum lelaki dan
wanita yang terfitnah hati dan agamanya. Sebab mereka adalah keturunan
Nabi Adam dan Hawa yang memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya.
Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir. Wallahul Musta'an
wa 'alaihi tiklan.

13. Praktek ruqyah yang diabadikan dengan kamera, foto, dan gambar.

Ini merupakan praktek ruqyah yang melanggar syariat, walaupun dengan
alasan untuk pengajaran ruqyah, sosialisasi, penyebarluasan ruqyah
syar'i, atau alasan lainnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah memberitakan bahwa di antara orang yang paling keras
siksanya di hari kiamat nanti adalah para penggambar.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud
radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah pada
hari kiamat nanti adalah para penggambar." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini diadzab di
hari kiamat nanti, dinyatakan kepada mereka: 'Hidupkanlah apa yang
telah kalian ciptakan'." (HR. Al-Bukhari)

Gambar tangan (manual) atau foto (digital) hukumnya sama yaitu haram.
Karena keduanya disebut sebagai gambar. Sedangkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjatuhkan hukum yang satu pada segala
gambar yang bernyawa sebagaimana hadits di atas. Wallahu a'lam

Inilah beberapa praktek ruqyah yang menyimpang dan sering terjadi di
tengah kaum muslimin. Kami yakin masih banyak lagi penyimpangan
praktek ruqyah yang terjadi di kalangan mereka.

Semoga yang kami sebutkan cukup bagi mereka sebagai peringatan untuk
berhati-hati dari para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Kami berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya
dengan harapan dapat meraih ilmu dan kebaikan dunia dan akhirat.

Wallahu a'lam bish-shawab.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke