Yup!
Inti email saya ini sama sekali bukan pada khitanan massal itu sendiri, tetapi lebih kepada untuk menerangkan keadaan kampung saya yg sesungguhnya.
Kampung yg sangat strategis, menjadi penghubung antara kotamadya (Bukittinggi) dan ibukota kabupaten (Lubuk Basung), tapi kok orang2nya susah secara ekonomi??
Jadi saya memang baru saja dihadapi dengan kenyataan pahit terhadap kampung saya.
Memang betul, di sana banyak sekali rumah2 bagus2 (bisa lihat juga di situs : www.geocities.com/msjjmatur/)
Dan nggak sedikit pula rumah2 di sana yang ibaratnya 'disentuh dengan satu jari saja akan tumbang'.
 
Menyedihkan :
1. Pasar Matur itu malah nggak terlalu populer karena orang2 lebih suka membawa dagangan dan belanja ke Pasar di Koto Tuo.  Padahal sekitar awal hingga pertengahan 80an, pasar itu rame banget dan cindua nyo lamak bana.
Sekarang malahan kalah dengan pasar Lawang (yg notabene masyarakatnya pedagang) dan pasar di Embun Pagi (Matur Mudik) sudah bisa bikin hari pakan 2 kali seminggu.
 
2. Ada satu jorong yg masuk di wilayah Matur Hilir, yaitu Aie Taganang, yang oleh karena kondisi geografisnya kurang menguntungkan (zaman Belanda, wilayah ini dijadikan tempat pengungsian) sehingga PLN belum punya alasan kuat untuk menarik kabel ke sana.  Jadilah di sana mereka masih pakai lampu templok!!!
 
3. Januari lalu, ketika saya 'nyepi' sebulan di kampung, saya sudah memboyong beberapa kardus buku2 cerita anak2 dan majalah.  Rencananya saya mau buka Taman Bacaan di sana.  Tetapi ketika saya survai ke lapangan, mereka mengatakan bahwa anak2 di sana tidak sempat membaca karena sepulang sekolah mereka harus langsung ke sawah.
Saya sedih.  Rendah sekali minat baca.  Di sisi lain, saya pikir, apa iya mereka sudah harus bekerja di bawah umur karena membantu ekonomi keluarga?
Karena saya merasa momennya belum pas, maka Taman Bacaan itu urung saya buat.
Padahal anak2 itu adalah SDM kita di masa mendatang, apa jadinya kalau mereka tidak 'melek buku'?
Belum tentu mereka punya TV di rumah, tidak pula membaca buku...
Info yang saya terima, kualitas SD di Matur termasuk yg rendah pula!!!
Kalau sudah rendah mutu dari SD, bagaimana mereka bisa 'keep up' di jenjang berikut2nya?
 
4. Masalah pergantian pemerintahan dari pemerintah desa ke pemerintahan kanagarian juga masih agak 'kacau'.
Si Camat terkena post power syndrome dan si Wali Nagari terkena krisis percaya diri yg lumayan serius.
Sebab tidak semua masyarakat bisa langsung menerima kehadiran pemerintahan baru tersebut. Ironisnya pemilihan Wali Nagari kan melalui pemungutan suara langsung...
Maka sosialisasi kepemimpinan baru ini memang sedang dan harus terus dijalankan, tentunya dengan bantuan dan dukungan kami dari rantau.
 
Masih banyak lagi masalah di kampung saya tercinta itu.
 
Walhasil, ketika kami para perantau pulang, maka yang terlihat di mata mereka, kami adalah seorang Sinterklas yang siap dengan sekarung hadiah2...
Sayangnya memang tidak ada dari kami yang sekaya Bapak Aminuzal Amin, misalnya.
 
Ternyata pembangunan mental lebih dibutuhkan daripada pembangunan fisik.
 
Tapi, gimana ya caranya?
 
Cysca
 
----- Original Message -----
 
selamat cysca atas kegiatan sosialnya yg begitu
bermakna.
saya kira Matur , harus nya bisa maju daerahnya karena
daerahnya berada di tengah persimpangan  persimpangan
jalan dari bukittinggi ke maninjau atau lawang -
palembayan.

kalau saya sering lewat daerah , rumah nya cukup bagus
bagus ( yg di pinggir jalan ), pemandangan alam nya
pun indah sekali ( antara balingka - matur ), bahkan
saya kira lebih indah dari lintasan kebun teh di
puncak , bogor-cianjur.

jadi secara pikiran sederhana, harusnya matur lebih
maju secara ekonomi dan sosial dibanding maninjau atau
lawang dan palembayan , yg lebih jauh jaraknya dari
Bukittinggi ( kalau kita mengacu bukitttinggi sebagai
barometer , sumber ekonomi )

Kirim email ke