On 4/27/06, Fatih <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

1. mahasiswa china/india yg ke luar negeri kalo gak salah masing2 60.000 (enampuluh ribu) dan 30.000 (tiga puluh ribu) per-tahun. india katanya miskin, lha kok? faktanya adalah: kelompok middle-class (=pengusaha/wiraswasta/profesio nal) india sekitar 30% yg berarti sekitar 300-an juta. kalangan ini cukup banyak krn PNS hunter umumnya kalangan bawah. yg atas lebih demen jadi pengusaha/wiraswasta/profesional. mereka2 ini ya tentu saja sangat mampu unt. sekedar biayain anak2nya ke LN. selain itu, unt. kalangan tak mampu mrk belajar keras

Saya sering memerika lamaran mahasiswa yang ingin magang di tempat saya. Banyak yang datang dari India, dan mereak berrsedia atas biaya sendiri untuk program magang tersebut.  Model begini (mencari pengalaman) yang masih minim di mahasisswa Indonesia. (hint : Indonesia itu bukan ITB, UI, dan kampus 5 besar).
 

 
3. soal kehabisan/kelebihan stok dosen: bila expertise dosen itu diukur dari seberapa banyak yg bergelar S3 (phd, DR), maka jelas kita kekurangan. karena kuliah s2 s3 di indonesia sangat dipersulit baik oleh sistem (4 tahun s2, dan 4 thn [?] s3) plus biaya selangit. bandingkan dg negara2 lain. sehingga daerah merasa kesulitan banget buat program pascasarjana, krn. dosen2nya pada s1 ato cuma s2. akhirnya terjadi fenomena 'dosen terbang' airlines itu yg dampak buruknya bagi sang dosen adalah tak pernah/jarang nulis buku.

Bukan karena lamanya program Doktor, tapi memang karean jumlah mahasiswa (yg disebabkan jumlah populasi).  Program pemenuhan  jumlah dosen relatif baru dimulai tahun 70-an, tahun 50-60 an memang ada program sekolah ke LN tetapi tanpa filter yang pasti (ini cerita dari mereka yang berangkat tahun segitu).

Tahun 70-an fokus mensekolahkan ke LN diiprioritaskan ke guru/dosen.  Tentu saja karena baru berjalan 30 tahun, jumlah tersebut belum memadai.   Jadi memang jumlah kebutuhan akan dosennya yang tinggi.


IMW

Kirim email ke