"...Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun 
silam dalam sebuah workshop internasional... "- gak ada wasitnya kali ya....

ar-.

Lumpur Lapindo, Lumpurnya "Tuhan"?
 
Kamis, 28 Februari 2008 | 02:41 WIB 
Jonatan Lassa
Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)
Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang 
dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi 
hujan buatan.
Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran 
Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok 
pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat 
keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, 
’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)
Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana 
terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin 
penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau 
lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban 
”bencana alam atau bencana teknologi”?
Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi 
terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok 
kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah 
definiendum harus bermakna sama dengan definien.
Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu 
bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu 
dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu 
berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara 
pandang pemberi definisi.

Definisi
Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian 
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat 
yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, 
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian 
harta benda, dan dampak psikologis.”
Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 
24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah 
terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai 
paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin 
melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami 
bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.
Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana 
juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan 
lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di 
baliknya.
Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, 
”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian 
peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, 
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana 
non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian 
peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, 
epidemi, dan wabah penyakit.”
Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau 
definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami 
dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal 
sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja 
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip 
kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan 
memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu 
kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang 
setahun silam.
Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa 
dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan 
masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)
Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang 
dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini 
yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi 
epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang 
dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah 
alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam 
sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

Istilah bencana alam
Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan 
masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir 
bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. 
Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan 
alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.
Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: 
antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial 
dan pihak yang dianggap korban/pelaku).
Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini 
adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata 
mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab 
bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan 
politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena 
keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif 
menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun 
terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.
Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah 
pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya 
dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat 
politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan 
ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak 
menentu.
Jonatan Lassa PhD Researcher Kajian Disaster Risk Governance-BIGS-DR-ZEF 
University of Bonn-Bonn; Co- editor Journal of NTT Studies; Anggota Forum 
Academia NTT


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ 

Kirim email ke