Assalaamu'alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuhu,

Yth dunsanak sadonyo:

Ambo ikuik ciek:

Dari diskusi-diskusi ttg ABSSBK ko, "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi
Kitabullah", Kalimat ko mungkin bisa kito artikan bahwa Adat bersumber pada
Syara' (Agama/hukum Islam), sedangkan hukum Islam itu sendiri bersumberkan
pada Kitabullah, yaitu al-Qur'aanul Kariim.  Dari rumusan itu nampaklah
bahwa adat Minangkabau bersumberkan pada hukum Islam, yang mana hukum islam
itu harus bersumber pada al-Qur'an.

Nan jadi pertanyaan kiniko kan, "apokah adaik Minang ko alah sasuai jo
slogan diateh tu" ABSSBK"?  Sabalun ambo mancubo manjawek partanyaan diateh
mungkin sarancaknyo kito bahas juo saketek masalah kedudukan *'Urf/ adat *dalam
hukum Islam itu sendiri. Dari panjalasan ko nantik Insha Allah kito bisa
mancaliak persoalan demi persoalan satu persatu, sesuai nan alah tasusun di
DIM (oleh pak Syaf), tantu mungkin iko manjadi tugeh dari team panyusun
nantik, Insha Allah.

 Seperti nan alah banyak nan tahu bahwa sumber utama hukum Islam itu adolah
Al-Qur'an, jo Hadiith Nabi. Kamudian sasudah tu banyak lai sumber-sumber
hukum Islam nan lain sarupo *Qiyas, MaslahahMursalah, Istihsan, dan 'Urf
(Adat).* Sedangkan sumber selain al-Qur'an dan Hadiith itu, keputusan
hukumnya harus selalu bersumberkan pada dua (2) sumber hukum Islam nan utama
itu, yaitu al-Qur'an dan Hadiith. Oleh sebab itu ' pembahasan mengenai
seputar hukum Islam, ada beberapa disiplin pengetahuan yang menyokong kita
untuk memahami latar belakang kemunculan sebuah ketentuan hukum dalam Islam
sehingga kita mampu mengaplikasikannya secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu disiplin pengetahuan dianggap cukup signifikan dan
memiliki peranan dalam kerangka metodologi hukum adalah *'urf/adat* dalam
Ushul Fiqh (Ushûl al-Fiqh) sebagai acuan hukum yang diambil dari
tradisi-tradisi sebuah masyarakat tertentu. Maka dalam masalah ini akan
dibahas pengertian adat dan 'urf, macam-macam adat, penyerapan 'urf dalam
hukum, dan kedudukan 'urf dalam menetapkan hukum.
*
Pengertian adat dan 'urf*
Dalam disiplin/literatur ilmu Ushul Fiqh, pengertian a*dat (al-'âdah*) dan '
*urf* mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal
dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata
'urf berasal dari kata 'araf yang mempunyai derivasi kata al-ma'rûf yang
berarti sesuatu yang dikenal/diketahui. Sedangkan kata adat berasal dari
kata 'âd yang mempunyai derivasi kata al-'âdah yang berarti sesuatu yang
diulang-ulang (kebiasaan). Dalam pengertian lain 'urf adalah segala sesuatu
yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi
baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan meninggalkan
perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Sedangkan menurut ahli Syara`
'urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain 'urf dan adat itu tidak ada
perbedaan.

'Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan
berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk 'urf
yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap
pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan
bukan anak wanita.
*
Macam-macam adat*
Secara garis besar 'urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, 'urf shahîh
yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua umat manusia dan tidak
berlawanan dengan hukum syara' dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram
serta tidak menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap
kontrak pemborongan atau saling mengerti tentang pembagian mas kawin
(al-mahar) kepada mas kawin yang didahulukan dan diakhirkan.
Kedua, 'urf fâsid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh manusia dan
berlawanan dengan hukum syara' serta menghalalkan sesuatu yang haram dan
menafikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap sesuatu yang
bertentangan dengan hukum syara' seperti kontrak manusia dalam perjudian dan
lain-lain.

*Penyerapan 'urf dalam hukum*
Adapun mengenai kedudukan hukum 'urf dalam Islam tergantung kepada jenisnya.
Untuk '*urf shahîh* dia mempunyai kedudukan hukum yang patut dilestarikan
karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat positif dan tidak
bertentangan dengan hukum syara' untuk dilakukan dan dipertahankan. Maka
para ulama berpandangan bahwa hukum adat bersifat tetap *(al-'âdat
muhakkamah)*.
Mengenai *'urf fâsid*, dia mempunyai kedudukan hukum yang tidak patut
dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat negatif dan
dan bertentangan dengan hukum syara' untuk dilakukan dan dipertahankan. Pada
dasarnya, hukum adat/'urf adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat.

*Kedudukan 'urf dalam menetapkan hukum*
Dalam proses pengambilan hukum 'urf/adat hampir selalu dibicarakan secara
umum. Namun telah dijelaskan di atas bahwa 'urf dan adat yang sudah diterima
dan diambil oleh syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara`
tidak perlu diperbincangkan lagi tentang lasagna.
Secara umum 'urf/adat diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan
madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân
(salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak
diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu
adalah istihsân al-'urf (istihsân yang menyandarkan pada 'urf). Oleh *ulama
Hanafiyya*h, 'urf itu didahulukan atas (qiyâs yang ringan) dan juga
didahulukan atas nash yang umum, dalam arti 'urf itu men-takhshîs nash yang
umum. *qiyâs khafîUlama Malikiyyah* menjadikan 'urf yang hidup di kalangan
penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
*Ulama Syâfi`iyyah* banyak menggunakan 'urf dalam hal-hal yang tidak
menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa.
Dalam menanggapi adanya penggunaan 'urf dalam fiqh, al-Suyûthî mengulasnya
dengan mengembalikannya kepada kaidah al-'âdat muhakkamah (adat itu menjadi
pertimbangan hukum)

Mudah2an dari uraian-uraian  diatas mungkin  bisa simpulkan  bahwa Adat
sesuatu bangsa, sesuatu masyarakat harus kita lestarikan, karena diterima
oleh syara' (hukum Islam) dengan arti kata tidak bertentangan dengan agama,
sepanjang indak memberi kemudaratan /kerusakan pado masyarakaik setempat
('urf shahih). Masalah-masalah nan alah jaleh manganduang unsur syiriak, spt
picayo ka sasuatu barang nan dianggap manganduang kekuatan dalam (jimaik)
iko dianggap batantangan jo agamo. Adapun masalah masalah lainnyo,
sapanjang  maagiah keuntuangan ka masyarakaik, ndak ado unsur  syiriaknyo,
dalam hukum Islam itu dianggap mubah/dibolehkan. Kuncinyo adolah kato
"maslahah/kebaikan ("Urf Shahih) diatas. Wallaahu A'lam bis shawab.

Ambo mohon maaf kalau ado nan salah kalau uraian amboko ka manambah kusuik
sajo. Insha Allah ambo cubo bahas masalah Adat jo ibadah nanti.

Wassalam

Aswita (P-43/LI)
----------------------------------------
Bisa dicaliak di sumber bawah ko:

 1. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid
2. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh,
3. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj.
Noer Iskandar
5. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia,


>
>
> On 3/1/08, Dr.Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> > Assalamualaikum w.w. Sanak Andre Suchitra, Adyan, Ichwan dan para sanak
> > sa palanta,
> >
> > Walau ditampilkan secara amat sederhana, namun masalah yang sudah
> > berusia 170 tahun ini akan menentukan bagaimana wujud rumusan akhir dari ABS
> > SBK yang sekarang secara informal disebut sebagai 'jati diri Minangkabau'
> > itu. Menurut penglihatan saya, masalah ini belum pernah dibahas secara
> > mendasar, apalagi dipungut suara.
> >
> > Jika diperhatikan baik-baik, mungkin ada pilihan D, yaitu
> > pengintegrasian penuh antara Adat dan Syarak, dengan tingkat pengaruh yang
> > berbeda. Kan agak mengherankan jika ayat-ayat Al Quran yang diyakini
> > kebenarannya -- berdasar Rukun Iman -- itu disamakan saja statusnya  dengan
> > pepatah petitih adat, yang ada empat pula macamnya.
> >
> > Dalam pilihan D ini  Adat dan Syarak tidak [lagi] mengatur hal yang sama
> > secara sendiri-sendiri dan konflik hukum yang terjadi diselesaikan secara
> > khusus. Harus jelas mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Mana
> > yang lex superiori dan mana yang lex inferiori.  Para ahli hukum --
> > kalau saya tidak salah -- akan menyebut gagasan ini sebagai Stufenbau
> > Theorie des Rechts.
> >
> > Harus jelas mana yang Grundnorm dalam ABS SBK: Adat atau Syarak ?
> >
> > Saya catat sebagai DIM 33.
> >
> > Wassalam,
> > Saafroedin Bahar
> > (L, 70+6+20, Jakarta)
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tuliskan Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer & bagian yg tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur 
pribadi.
- Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta 
maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Agar dapat melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke