[teknologia] Re: Mesin kopi Re: [teknologia] Kopi dan Starbucks (was Re: [teknologia] Re: 2MB unlimited 150 ribu / bulan)

2006-10-16 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 10/16/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote:
On 10/16/06, Mohammad DAMT [EMAIL PROTECTED] wrote:

Pada hari Senin, tanggal 16/10/2006 pukul 11:15 +0200, Ariya Hidayatmenulis: Ya saya tahu ke Starbucks itu cari suasana. Tapi karena kopinya tidak memuaskan (OTOH, YMMV), dari sekarang saya selalu minum teh saja.
Paling enak Teh Tongtji atau Teh Tjap Botol dari Slawi [0].Saya juga import teh selalu dari Indoneisa :-) dan kalo habis ya ke 
tokoindonesia.deNL:Sebulan lalu saya ke Aceh, merasakan nikmatnya kopi Aceh dan cara menyeduhnya yang unik.Beberapa genggam bubuk kopi dimasukkan ke saringan spt jala ikan super kecil, dicelup ke air mendidih beberapa saat, lalu ditarik dan ditus di gelas pembeli. 
Sayang yang jualan kopi aceh ke luar malah orang asing. Lihat di http://www.acehcoffee.com/index.htmlSalamNukmanwww,portalhr.com


--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Industri Buku di India

2006-08-23 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 8/23/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote:
Cara utk memperbanyak buku murah, proyek pemerintah pembuatan buku, dilisensikan Free :-) Kampus yg menerima subsidi/bantuan dari pemerintah utk perbaikan kurikulum, materi praktikum WAJIB menyediakan materinya secara bebas
IMW 
Kemarin saya ngobrol2 sama penerbit buku. Mereka sekarang sedang khawatir karena mendengar kabar bahwa pemerintah punya rencana untuk membeli lisensi buku2 sekolah dari para penerbit, kemudian disebarkan secara gratis melalui internet. Jadi pelajar yang membutuhkan buku itu tinggal download gratis dan ngeprin (kalau perlu).
-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-08-02 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 8/2/06, Andry S Huzain [EMAIL PROTECTED] wrote:
Istilah general/horisontal vs vertikal adalah lebih banyak digunakan untuk pembagian pasarnya. Yang general, dibaca/dipakai siapa saja dengan rentang demografis yang luas. Detikcom misalnya, dibaca siapa saja mulai dari bapak2, ibu2, mahasiswa, orang kantoran, dll. Profil punya hp atau punya mobil atau punya hobis khusus tidak masuk dalam kategori demografisnya. Ini beda dengan situs 
http://www.horizon-line.com, yang saya yakin demografis pembacanya adalah mereka yang cinta jazz.
Gambaran paling gampang adalah antara koran Kompas dan Bisnis Indonesia. Meski sama2 harian, Kompas adalah koran umum, sementara Bisnis Indonesia adalah koran vertikal di bidang bisnis. Sehebat apapun Bisnis Indonesia melakukan upaya pemasaran, tak akan mampu mengalahkan tiras Kompas karena memang segmen umum jumlah potensial pembacanya selalu lebih besar daripada yang khusus. 


Bukannya kultur media tradisional dengan media internet itu berbeda? Point saya memberi contoh media cetak di atas hanya untuk mempertegas perbedaan gambaran  antara yang general dan yang khusus. 
Meski demikian, statement Andry benar bahwa kultur media tradisional dengan media internet itu berbeda.
Kultur bukan cumabeda strategi menulis. Tapi juga cara kita mendapatkan informasi : 

* Kalo televisi, kita disuguhi satu aliran informasi saja. Kan ga bisa kita minta ganti acara. 

* Untuk media cetak, adalah ide bagus menempatkan ringkasan dari semua section berita. Headline section sport, section ekonomi, section internasional dll jadi satu di halaman pertama. Rasional, karena content media cetak adalah kronologis waktu.
Sampai di sini, saya sependapat.* Nah, kalo internet, pilihan ada ditangan pengguna. Semuanya tinggal click. 
Di sini mulai saya beda pendapat:Media apapun, entah cetak, radio, teve, juga internet, memang seolah-olah pilihan di tangan pengguna. Nggak suka Kompas, sukanya koran merah, misalnya ya nggak usah beli Kompas dan belilah koran merah. Nonton teve, nggak suka acara tertentu, tinggal pindah kanal, demikian pula di radio, demikian pula di internet.
Tapi sadar nggak kalau akhirnya ada kecenderungan umum, seperti:- banyak eksekutif atau orang kantoran yang mendengarkan talkshow di radio tertentu sepanjang perjalanan ke kantor atau mendengarkan guyonan bhs Inggris di radio tertentu?
- banyak eksekutif yang akhirnya merasa wajib baca Kompas dan Bisnis Indonesia?- banyak ibu2 rumah tangga yang menonton sinetron?- banyak orang yang merasa perlu mengakses Detikcom sehari 3x?Intinya: meski punya setiap orang kuasa, dengan strategi pemasaran yang betul, sebuah media bisa mengarahkan minat kelompok demografis tertentu sehingga mereka jadi jatuh cinta dan tanpa sadar kekuasaannya untuk memilih berkurang.
Dan informasi menjadi sangat mudah didapatkan. Di era information overloaded, orang malah cenderung milih yang fokus. Yang lebih simple malah lebih laris. Bandingkan saja start pageGoogle - Yahoo - MSN. Orang suka Google, selain memang jurus Google sakti2, juga karena Google ga bertele-tele. 
Ini pandangan umum. Pandangan lain (terbaru?): memang BEHAVIOR orang untuk mencari sesuatu cenderung ke search engine.  Data terakhir, 80% orang lari ke search engine ketika mencari produk.
Orang bilang Saya mau search engine, saya gapeduli dengan index saham gabungan dan berita tentangPenelope Cruzkawin lagi. Dan kalaupun saya ingin tahu ttg pergerakan harga saham, saya percaya ke 
charlesscwab.com (misalnya).

Jadi di internet, yang semakin fokus itu semakin bagus.Semakin fokus semakin bagus hanya berlaku untuk penganut spesialis.
Faktanya: di dunia ini kalangan terbanyak adalah generalis.Oleh karena itu, kembali ke topik, kalau mencari trafik tinggi untuk menghasilkan iklan, larilah ke general content.Sebaliknya, kalau mencari kualitas komunitas/pengunjung untuk mendapatkan iklan, ciptakanlah niche content.
Contoh paling simple itu blog. Blog bertopik cenderung lebih bersinar kan?

Blog pak Nukman dengan mudah saya taruh satu folder bernama Business bersama Seth Godin,Naked Conversation,dan Micropersuasion. 
Hla blog gw, jelas masuk folder bernama Ga jelas, naif, dangkal, dan membingungkan secara[sic] topiknya terlalu lebar dan personal :)
-- http://andryshuzain.com 


Dari kacamata general/vertikal, sebagus apapun usaha saya, sangat bisa jadi trafik blog saya tidak akan setinggi blog Enda atau Priyadi.-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-08-02 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 8/2/06, muhamad cpsmb tarigan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Pak Nukman saya ada pertanyaan.salah satu contohportal vertikal mungkin seperti LightReading(www.lightreading.com) yang target audiensnya adalah networkers yang
bergerak di bidang broadband dan routing/switching. Si Lightreading inijuga punya adik portal yang audiensnya orang orang storage networking (http://www.byteandswitch.com/
 ).Yang jadi pertanyaan :1. Apakah perlu (atau bisa) membuat copycat portal narrowed markettersebut ke regional atau specific country ? misalnya light readingasia atau bahkan lightreading indonesia,etc ? note: jurnalisnya
lightreading mantan engineer juga yg punya pengalaman tentang apa yangmereka tulis.Pertanyaan cerdas :).Saya ambil contoh kasus: - Friendster tanpa membuat Friendster versi Indonesia, ternyata banyak dipakai orang Indonesia.
- Demikian pula Gmail, Yahoo! dll.- Demikian pula MTV Asia. (Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu, MTV Asia masuk 10 besar website paling banyak diakses oleh orang Indonesia)Apakah kasus ini berlaku untuk content based spt Lightreading?
Dugaan sementara saya: iya.Dulu di awal boom dotcom di sini, ada portal IT seperti CNet yang mau membuka versi Indonesianya, (saya lupa namanya), namun gagal. Insight yang saya dapat dari orang Indonsia yang biasa baca content berbahasa  Inggris, khususnya orang2 yang sudah spesialis, mereka enggan membaca versi Indonesianya. Jadi tidak otomatis orang Indonesia yang biasa berkunjung ke Lightreading kemudian pindah ke Lightreading Indonesia.
Insight ini memang harus diuji kembali kalau memang Carlos berminat mengembangkan semacam Lightreading Indonesia. Saya dengan senang hati akan membantu mencari insight ini. 
2. Darimana kita bisa tahu bahwa ada market audiens untuk sebuah portalnarrowed market di Indonesia ? Tahunya bisa dari dua sumber.
Pertama intuisi. Kayaknya ini ndak usah dibahas, meski dalam beberapa hal saya bisa berhasil karena intuisi ini.
Kedua, pandai2 membaca lalulintas data yang setiap hari bersliweran di Internet.
Misalnya saya ada dua ide, mau bikinportal badminton indonesia dan sepaktakraw indonesia. Darimana sayabisa tahu portal mana yang punya probabilitas menguntungkan (dan hiduplebih lama/independen) dari sisi bisnis ? apa dari survey ? komitmen
user ?-mcpKalau menghitung probabilitas secara akademis ya terpaksa pakai survei.Meski pecinta bulutangkis secara statistik lebih besar ketimbang sepaktakraw misalnya, belum tentu portal bulutangkis bakal lebih sukses. Ada hasil penelitian rekan saya yang ngambil S3 di Aussie mengenai Web Connectedness yang sangat menarik berkaitan dengan hal ini. Kapan2 saya share kalau diperbolehkan sama sahabat saya itu.
Sebaiknya jangan sekali2 percaya komitmen user.User tidak pernah commit. Perusahaanlah yang harus memberikan jasa sebaik mungkin agar user tanpa sadar commit dengan sendirinya, sepanjang tidak ada pesaing lain yang bisa mengurangi komitmen itu.
Salam-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-08-01 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 8/2/06, Christian Partogi [EMAIL PROTECTED] wrote:
Kalo data yang dikasih Oom Erwien terlalu wah, jangan berkecil hati dulu. Berikut ini statistik salah satu situs komunitas di Indonesia yang dikelola secara pribadi sebagai bisnis sampingan. Sudah ada pemasang iklan dan mempunyai penghasilan kotor antara 50 - 75 juta per tahun (menurut pengakuan yang punya). 
Monthly Statistics for May 2006Average Hits per Hour 40,004
Average Hits per Day 960,115
Average Files per Day 760,760
Average Pages per Day 392,367Average Visits per Day 

17,271
CP


Kalau melihatnya dari sisi trafik saja, maka portal bisa dibagi dalam dua kategori:Pertama: general portal atau horisontal portal. Tentu saja karena menembak pembaca general, trafiknya harus tinggi, seperti yang dikutip Erwin.
Kedua: vertical portal. Karena menembak pasar khusus, trafiknya tak perlu setinggi horizontal portal, bahkan mungkin tak ada apa apanya dibanding horizontal portal. Di portal seperti, kualitas trafik lebih penting: misalnya, portal otomotif, disenangi oleh orang2 yang punya mobil atau ingin punya mobil. Portal ponsel digemari orang yang punya atau ingin punya ponsel. Dan sejenisnya. Portal spt ini trafiknya tidak banyak. Apalagi yang lebih spesifik, misalnya portal kolektor arloji. Namun, sekarang calon pemasang iklan juga mulai memikirkan iklan yang menembak niche market seperti ini.
Oleh karena itu, ketika kita bermain di portal khusus, meski trafiknya kecil, pastikan demografis pengunjungnya terdata dengan baik, sehingga kita bisa memberikan gambaran yang jelas ke pemasang iklan.Nah, sekarang ini yg lagi ngetren portal yang menyasar perempuan. Portal baru seperti 
perempuan.com saja yg baru diluncurkan bulan lalu (berarti belum punya demografis pengunjungnya) sudah ada tiga iklan berbayarnya. Hanyawanita.com yang sudah lebih lama, juga banyak iklannya.
Lalu bagaimana ukuran layak tidaknya untuk jualan iklan. Sepanjang belum ada pesaing, kita boleh saja jualan dengan lebih optimis.Kalau sudah ada saingannya, ya otomatis kita dibanding2kan dengan data pesaing.
Nah, sekarang bisa nggak para dotcomers ini bermain di level laut biru alias blue ocean, dan bukan bertempur mati-matian di tataran red ocean?Salam-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-08-01 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 8/2/06, Andry S Huzain [EMAIL PROTECTED] wrote:

Hm.. saya kok jadi rancu ya. Begini, untuk murni bisnis dotcom bukannya cuma ada dua : 
1. Service oriented. Friendster, Digg, dan Kilasanitu menyediakan service. 
2. Content oriented. Misalnya Detikcom, GawkerMedia.

Nah, kalo portal lain lagi. Istilah portal yang saya ketahui semacam menggabungkan keduanya, service + content. Misal portal untuk penggemar ponsel, bisa terdiri dari berita/tulisan/ulasan ttg ponsel (konten) dan presentasi data2 aktual misal daftar harga atau trend market suatu produk ponsel tertentu 


Strategi kedua-nya (atau ketiganya) jelas berbeda donk. 

* Teknisnya beda = CMS vs. aplikasi web selain CMS. 

* Dagangannya beda = content provided vs. user generated content. Masa profile user2 Friendster yang konon 68% valid itu diketik oleh staff friendster. 

* Sumber duit beda = iklan vs. subscription. 
Subscription bisa berupa Gold Member atau Premium Service seperti yang dilakukan Flickr. Subscription juga bisa berupa payed-content. 

Itu dulu. 
Intinya saya cuma agak rancu, ini untuk content atau service. Meski sama-sama blue oceannya, sea-nya beda jauh :)

-- http://andryshuzain.com 

Kalau kembali ke topik, bahasannya adalah kemampuan dotcomers membangun content local yang layak iklan. Content local ini bisa apa saja: yang berbasis news spt detikcom, kcm, astaga, atau berbasis service seperti 
Plasa.com, friendster dll. Yang penting, model bisnisnya adalah mengandalkan iklan sebagai pendapatan utama.Istilah general/horisontal vs vertikal adalah lebih banyak digunakan untuk pembagian pasarnya. Yang general, dibaca/dipakai siapa saja dengan rentang demografis yang luas. Detikcom misalnya, dibaca siapa saja mulai dari bapak2, ibu2, mahasiswa, orang kantoran, dll. Profil punya hp atau punya mobil atau punya hobis khusus tidak masuk dalam kategori demografisnya. Ini beda dengan situs 
http://www.horizon-line.com, yang saya yakin demografis pembacanya adalah mereka yang cinta jazz.Gambaran paling gampang adalah antara koran Kompas dan Bisnis Indonesia. Meski sama2 harian, Kompas adalah koran umum, sementara Bisnis Indonesia adalah koran vertikal di bidang bisnis. Sehebat apapun Bisnis Indonesia melakukan upaya pemasaran, tak akan mampu mengalahkan tiras Kompas karena memang segmen umum jumlah potensial pembacanya selalu lebih besar daripada yang khusus.
Kalau dari kacamata ini, maka friendster bisa digolongkan sebagai media general karena penggunanya adalah umum, terlepas bahwa basisnya adalah servis dan user generated content serta secara teknis berbeda dgn content portal.
Salam-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-28 Terurut Topik Nukman Luthfie

 -Original Message-
 From: teknologia@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
 Behalf Of Budi Rahardjo
 Sent: Friday, July 28, 2006 1:59 PM
 To: teknologia@googlegroups.com
 Subject: [teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?
 
 
 Kalau di blog saya mau pak? ;-) ha ha ha
 Rata-rata sehari-hari aksesnya antara 200 orang s/d 500 orang
 
 -- budi

[NL:] Kalau dari pengamatan saya, yang punya 10-an ribu yang akses per hari
atau 100 ribuan bulan baru layak iklan pak. Memang ndak ada hitungan
akademisnya. Namun yang di bawah itu, berdasarkan pengalaman sulit mendapat
iklan komersial.

Salam
Nukman


--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html
-~--~~~~--~~--~--~---



[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-28 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 7/28/06, syarifl∞ [EMAIL PROTECTED] wrote:
On 7/28/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote:

On Fri, Jul 28, 2006 at 12:52:40PM +0700, Nukman Luthfie wrote:Misalnya kultur yang seperti apa pak? Dan seharusnya seperti apa?Mungkin detik bisa share bagaimana bertahan setelah menang momentumwaktu awalnya.

Kalo kita ingat2 detik.com hadir pada saat/momentum yang PAS yaitu kerusuhan Mei... Waktu itu jakarta sangat mencekam, orang takut keluar... Nunggu berita di stasiun tivi nggak kunjung datang... akhirnya 'ke 
detik.com ajah'... bahkan orang rela browsernya slalu stay tuned di detik. jadi tinggal refresh2 aja...
Ya seperti itulah pandangan banyak orang. :).Momentum.Tapi bisnis tidak akan bisa berlanjut hanya dengan momentum.-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-28 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 7/28/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote:
On Fri, Jul 28, 2006 at 12:52:40PM +0700, Nukman Luthfie wrote: NL: Ya, sebagian besar memang seperti itu. Sayang ya.. Tapi yang juga mesti diperhatikan, meski bisnisnya IT, masih banyak hal
 diperlukan untuk sukses di bisnis dotcom. Terutama soal komunikasi (bukan telekomunikasi lho) dan kultur. Lho kok kultur? hehehe pengamatan saya menunjukkan, justru kultur lah penjegal utama banyak bos2 besar di sini
 ketika masuk ke bisnis dotcomIni maksudnya kultur penggerak dotcom atau kultur konsumen yang disasardotcom?--fade2blacTentu saja kultur pemilik/pengelola/manajemen perusahaan dotcom.
Saya kasih satu contoh simple saja:- Tulisan/liputan di media cetak itu panjang2, padahal pembaca online lebih suka baca pendek2 dan tidak terlalu dalam. Bisakah penulis media cetak yang sudah bertahun-tahun menulis dengan gayanya kemudian dalam tempo singkat berubah gaya? 
- Wartawan cetak biasa diberi deadline. Bisakah dalam tempo singkat berubah gaya menjadi wartawan breaking news seperti radio, teve atau online?Hm... sdh semakin jelas kenapa butuh kultur online untuk masuk ke dunia online kan?
-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-27 Terurut Topik Nukman Luthfie










Biasa melongok Friendster?

Kini iklan asal Indonesianya lumayan banyak.

Fenomena ini perlu kita perhatikan secara serius.



Pertama, kenapa mesti pasang iklan di Friendster jika memang
menembak pasar orang Indonesia juga? Jika ingin menarget pasar luar dengan
memasang iklan di Yahoo! atau Google, itu sangat mudah dipahami. Namun jika
ingin menarget pasar Indonesia kemudian memasang iklan di media luar yang juga
dibaca orang Indonesia, itu ironis. Kecuali Detikcom, KCM, SWA,
content lokal lain yang mengandalkan income dari iklan belum berhasil memikat
hati pemasang iklan. Bahkan Plasacom yang trafiknya sangat tinggi dan
memiliki registered user aktif hampir sejuta account pun tidak dikelola dengan
baik sehingga tak ada iklan non Telkom yang mampir ke sana. Sebaliknya, Friendster,
yang saat ini sudah memiliki sekitar setuja registered user asal Indonesia,
dibanjiri iklan dari Indonesia. 

Ironis bukan? Pasti ada sesuatu yang kurang: paling tidak,
belum ada media Interenet lokal untuk anak muda yang sukses di Indonesia dan
layak dipasangi iklan seperti Friendster.



Memang kita ndak perlu iri sama Friendster. Tapi, kenapa
para entepreneur dotcom di sini, kecuali yang disebut di atas, tidak
mampu membuat portal yang layak iklan?



Kedua, dalam hal ini kita rugi bandwithd ke luar negeri.



Jadi, sudah potensi iklan digerogoti pemain asing, biaya
bandwitd ke luar pun makin besar.



Bagaimana komentar teknologia?



http://www.virtual.co.id/blog/?p=93



Salam



Nukman








--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---






[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-27 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 7/28/06, Ilya [EMAIL PROTECTED] wrote:
 pemasang iklan. Bahkanhttp://www.plasa.com/ Plasacom yang trafiknya sangat tinggi dan memiliki registered user aktif hampir sejuta account pun tidak dikelola dengan baik sehingga tak ada iklan non Telkom yang mampir ke
 sana.Balik lagi ke brand-image  target nya sih pakKalau saya ada di pihak brand-brand tsb (yg ada bannernya ada difriendster) dikasih pilihan utk pasang di plasa or fs, merem, saya vote
for fs.btw, banner system booking fs juga done thru their appointed agency, dijakarta juga.-ilya-
[NL:] 

Ya, itu point saya. Artinya content lokal kita tidak
mampu persaing secara bisnis/komersial dengan asing. Ini sangat menyedihkan.
Sejak ambruknya dotcom di Indonesia, yang bertahan hanya Detikcom, sisanya
nggak tahu entah kemana. Di saat bisnis dotcom di luar bangkit, di Indonesia
tidak bangkit. Maka ketika para pengiklan ingin menembak pasar abg, mereka bingung,
maaaa portal abg yang layak iklan? Ndak ado. Yang ada, di mata agency dan
pemasang iklan saat ini barangkali cuma Friendster. Padahal iklan di Friendster muahaal.



Hayo di mana masalahnya kalau bukan di industri dotcom
kita sendiri?



Salam

Nukman

-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-27 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 7/28/06, baskara [EMAIL PROTECTED] wrote:
On 7/28/06, Nukman Luthfie [EMAIL PROTECTED] wrote: Maka ketika para pengiklan ingin menembak pasar abg, mereka bingung, maaaa portal abg yang layak iklan? Ndak ado. Yang ada, di mata agency
 dan pemasang iklan saat ini barangkali cuma Friendster. Padahal iklan di Friendster muahaal.Pasang iklan di friendster mahal?Portal abg yang layak iklan ndak ado?Pasang saja iklan di majalah buat abg. Beres kan? Gitu aja koq repot. ;-)
Hehehe topiknya media internet lha kok lompat ke majalah.-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Content Lokal jalan di tempat?

2006-07-27 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 7/28/06, muhamad cpsmb tarigan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 [NL:] Ya, itu point saya. Artinya content lokal kita tidak mampu persaing secara bisnis/komersial dengan asing. Ini sangat menyedihkan. Sejak ambruknya dotcom di Indonesia, yang bertahan hanya Detikcom, sisanya nggak tahu entah
 kemana. Di saat bisnis dotcom di luar bangkit, di Indonesia tidak bangkit.*mungkin* masalahnya klasik pak :+ gak ada industri lain *sejenis* yg membackup bisnis dotcom, kalaudetik *mungkin* ada.
(misalnya group gramedia membackup bisnis online,etc) , jadi bisniscontentnya gak jalan sendirian dan bisa dapat bantuan dikala masasusah.NL: Ini case menarik: Detikcom tidak di back-up oleh industri sejenis, malah sukses. Sebaliknya KCM yang di-back-up Kompas ndak bisa sebesar Detikcom. Mereka yang memiliki bahan dasar untuk di-online-kan malah gagal di dunia online. Ini yang saya lihat di Indonesia lho.
+ real owner di belakang industri dotcomnya gak punya visi dan seringkali oportunistik, sering kali owner dotcom .id dan .my (jaman dulu
paling tidak) main bisnisnya bukan bisnis it, sering kali: juragan gula, juraganpaku , juragan bahan2 kimia ( walaupun dalam skala besar ) , he he ..tapi ini serius lho :))dalam kata lain mereka tidak punya how-to,know-how, risk proposition
dan marketing/sales channel untuk menjalankan bisnis dotcomNL: Ya, sebagian besar memang seperti itu. Sayang ya..Tapi yang juga mesti diperhatikan, meski bisnisnya IT, masih banyak hal diperlukan untuk sukses di bisnis dotcom. Terutama soal komunikasi (bukan telekomunikasi lho) dan kultur. Lho kok kultur? hehehe pengamatan saya menunjukkan, justru kultur lah penjegal utama banyak bos2 besar di sini ketika masuk ke bisnis dotcom
sebenarnya saya dulu ditawari juga untuk managing big dot com di .id ,tapi karena saya lihat masalahnya di nomor dua
( juragan duren mau jualan online ) , ya mending serius jadi networkerssaja :))-mcpSalam-- Nukman Luthfie

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Bagaimana cara mengukur kesuksesan sebuah web site???

2006-05-31 Terurut Topik Nukman Luthfie
On 5/31/06, risiyanto budi [EMAIL PROTECTED] wrote:
Nukman Luthfie wrote: Pengunjung reguler itu tdk harus tiap hari spt portal berita. Sebulan
 sekali juga reguler. Untuk penjual software misalnya, pengunjung reguler perlu untuk mengupdate patch. Kunjungan reguler amat penting untuk menjaga hubungan dengan pelanggan atau calon pelanggan. Ini
 sebuah sisi non teknis yang sering diabaikan oleh penjual software.Tempat saya bekerja adalah komputer online store.Setelah seseorang melihat website kami, kemudian menghubungi lewattelepon, transaksi, dan senang, di kemudian hari ketika dia butuh
sesuatu, dia langsung menghubungi lewat telepon.Banyak pelanggan yang modelnya seperti itu, mungkin karena internetdisini masih mahal kali ya.Dan kalau lokasi mereka jauh dari offline store, mereka kami beri no
handphone yang kami pasang di server sms2mail gateway. Dari sms-sms yangmasuk, -kebetulan saya bisa memantaunya- banyak yang hanya menanyakan:device dengan spec blablabla ada ngga?, harganya berapa?



NL:
Untuk barang2 yang sifatnya price sensitive, itulah yang terjadi. Pembeli akan mengejar harga termurah. Di luar Indonesia, user tinggal membanding2kan harga dari banyak online store, terus memilih yang terbaik (termurah). Di Indonesia, belum banyak pilihan online store. Jadi behaviornya ya spt tadi: cek harga via online, habis itu tawar via telp. Coba saja kalau banyak pilihan, kemungkinan besar behaviornya berubah.

Berinteraksi dengan manusia lebih menyenangkan daripada berinteraksidengan mesin (web server).


NL: Menyenangkan kalau manusianya bisa menjawab dengan baik dan sesuai kebutuhan user. Oleh karena itu membuat web juga harus diusahakan agarbisa menyenangkan. Pada level tertentu, web lebih menyenangkan ketimbang manusia. Contohnya, mencari dan membandingkan harga di web bisa seenak udel. Kalau nanya ke customer service bisa saja ditanggapi dengan marah karena kita nanya banyak tapi nggak beli.

Dan bukankah _online_ hanyalah kepanjangan (extension) dari _offline_?Jadi kalau sudah bisa terhubung offline(telp, sms), hubungan
online(email, www) menjadi nomor dua. Yah ini kondisi di tempat kami, ditempat lain mungkin berbeda.---Aris
Kalau basisnya offline, sudah punya toko duluan, online memang dianggap ekstension. Kalau basisnya murni online spt amazon, ya hubungan online menjadi prioritas utama.
Tiap bisnis memang punya keunikan sendiri, tinggal bagaimana pintar2 meembrace Internet. (maaf saya belum ketemu terjemahan yang tepat utk embrace)
-- Nukman Luthfie 

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Bagaimana cara mengukur kesuksesan sebuah web site???

2006-05-30 Terurut Topik Nukman Luthfie

On 5/31/06, Harry Sufehmi [EMAIL PROTECTED] wrote:



On 5/30/2006 at 5:04 PM pika wrote: 


selain dari visits dan hits
apa ada lagi variabel2 lain yang menentukan kesuksesan sebuah web site?
dan jika akan dibuat data miningnya atau dalam hal ini web mining (CMIIW)
algoritma apa yang kira2 tepat?


Tiap situs bisa berbeda-beda kriteria suksesnya.

Contoh; pada situs e-commerce, jumlah hits tidak terlalupenting. Asalkan dagangannya laku tho.

Contoh lagi, pada situs perusahaan pengiriman barang (seperti TikiJNE, Fedex, dll), hits juga tidak terlalu penting. Yang penting adalah ketika fitur2 di situs tersebut bisa membuat suatu pihak jadi batal menggunakan jasa kompetitor dan justru memilih mereka.


Contoh lagi; pada situs eGov, hits tidak penting. Yang penting adalah bagaimana situs tersebut mudah digunakan  accessible, sehingga orang jadi lebih memilih menggunakan situs --- mengurangi beban pekerjaan pegawai pemda  meningkatkan kepuasan masyarakat atas layanan pemda secara signifikan.


Dst.

Jadi, definisikan dulu kriteria sukses Anda. Baru kemudian diukur.
Just my 2 rupiah :-)


Salam,

Harry

Apapaun kriteria suksesnya berdasarkan kebutuan masing, tetap saja ada proses bisnis yang sama.

Pertama: bagaimana mengundang bukan visitor (target audience) menjadi visitor.Apapaun jasa yang ditawarkan, kalau membuat website ya harus ada pengunjungnya, dan pengunjungnya adalah target audience yang diharapkan. Jadi jumlah visitor sangat penting. Kalau ndak penting ya ndak usah buat website


Kedua: bagaimana pengunjung awal menjadi pengunjung rutin.
Mereka yang sengaja atau tidak sengaja datang ke situs kita, belum tentu senang dan bakal kembali lagi. Lha kalau ndak senang, ya jasa yang kita jual ndak laku. Atau bisa2 malah lari ke website pesaing. Jadi konversi dari pengunjung menjadi pengunjung rutin itu sangat penting.


Ketiga: bagaimana pengunjung rutin menjadi member. Member ini artinya pengunjung bersedia memberikan datanya dan secara reguler dapat kita hubungi dengan berbagai cara. Member ini bisa gratisan atau berbayar. Nah, dengan data member ini kita bisa merekam jejak perilaku mereka di situs kita agar kita bisa melakukan perbaikan di masa depan. Ini perlunya pengetahuan tentang user behavior. Jadi konversi dari pengunjung loyal ke member ini juga penting.


Keempat: bagaimana mendapatkan value dari member dan pengunjung setia. Value ini biasanya berupa uang atau yang lainnya.

Jadi apapaun kriteria suksesnya, empat alat ukur diatas bisa dijadikan patokan.

Salam
Nukman Luthfie 

--~--~-~--~~~---~--~~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html  -~--~~~~--~~--~--~---


[teknologia] Re: Corporate Social Responsibility (CSR)

2006-05-07 Terurut Topik Nukman Luthfie


 -Original Message-
 From: teknologia@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
 Behalf Of Budi Rahardjo
 Sent: Saturday, May 06, 2006 5:08 AM
 To: teknologia@googlegroups.com
 Subject: [teknologia] Corporate Social Responsibility (CSR)
 
 
 Baru saja ada thread tentang social responsibility dari perusahaan,
 kemudian saya membaca berita tentang Telkom dan Pos yang
 membangun warnet gratis di beberapa lokasi Kantor Pos.
 Diberitakan bahwa program ini merupakan bagian dari
 Corporate Social Responsibility (CSR). Tuh kan ada.
 
 -- budi

[NL:] Sudah banyak kok yang menerapkan CSR pak. Malah majalah SWA sempat
bikin CSR Award untuk perusahaan2 yang serius menebar berkah ini.
Simak laporannya di:

http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1id=3677

http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1id=3730
 
Telkom sendiri secara terang-terangan mengedepankan program CSR seperti yang
terlihat di corp sitenya: www.telkom.co.id

Salam
Nukman



[teknologia] Re: Social responsibility (was: Re: [teknologia] Re: Korea)

2006-05-03 Terurut Topik Nukman Luthfie

 -Original Message-
 From: teknologia@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
 Behalf Of fade2blac
 Sent: Wednesday, May 03, 2006 7:12 PM
 To: teknologia@googlegroups.com
 Subject: [teknologia] Re: Social responsibility (was: Re: [teknologia] Re:
 Korea)
 
 
 On Wed, May 03, 2006 at 10:43:12AM +0700, Nukman Luthfie wrote:
 
  [NL:] Piutang hanyalah salah satu faktor. Faktor lain misalnya
  ketidakmampuan mencari pembiayaan proyek sehingga profit yang dibukukan
  terserap untuk pembiayaan proyek. Trauma perbankan terhadap kredit macet
  yang triliunan kini masih terasa. Susah sekali cari kredit modal kerja
 atau
  investasi. Akibatnya perusahaan dipaksa mencari alternatif lain. Kalau
  terpaksa ya membiayai sendiri -- dengan memanfaatkan laba terbukukan.
 Begitu
  laba dijadikan sumber utama pertumbuhan dan pembiayaan, maka risiko
 seretnya
  cashflow makin besar.
 
 
 Kalau gitu ada formula yang cocok untuk membiayai pertumbuhan? Esia
 setahu saya beberapa kali menerbitkan surat utang/split saham. Secara
 pembukuan dia untung, tapi sebagian besar keuntungannya dipergunakan
 untuk membangun infrastruktur. Apakah begini sehat?

[NL:] Kalau ngomoning formula... buanyak.. tiap konsultan keuangan punya
formula masing2... Tetapi pada dasarnya pertumbuhan yang ideal itu dibiayai
oleh sedikit uang sendiri dan sebagian besar uang orang lain. Ingat konsep
entrepreneur: bagaimana mendayagunakan resource yang tidak ia punyai. Ndak
punya duit, cari duit orang lain, ndak punya mesin produksi pakai punya
orang lain, dst..

Nah soal sehat tidaknya harus dilihat secara komprehensif. Salah satunya ya
itu tadi: cash flow. Cash flow ini ibarat aliran darah. Kalau aliran darah
di tubuh kita lancar, jumlahnya cukup, maka kita sehat walafiat, (meski
utangnya besar). Nah kalau aliran darah macet dan jumlahnya sedikit, maka
tubuh kita akan lemah, kena virus sedikit bisa tewas (meski kita punya uang
buat beli darah).

Saya sampaikan soal cashflow ini karena kebanyakan dari kita lebih suka
melihat angka2 mati laba, rugi dan sejenisnya. Padahal angka laba rugi itu
hanyalah hasil akhir proses pada periode tertentu, sementara cashflow adalah
prosesnya.


 Btw, milis ini kok malah ngomongin ginian ya? :-)
 
 --
 fade2blac

[NL:] Engineer perlu memahami dunia bisnis dengan lebih baik. Kalau pakai
kacamata kuda engineer, mereka akan sulit berkembang di pasar. Sudah terlalu
banyak contoh engineer yang jadi pengusaha hanya berangkat dari produk
development dan ternyata gagal di pasar.




[teknologia] Re: Social responsibility (was: Re: [teknologia] Re: Korea)

2006-05-02 Terurut Topik Nukman Luthfie


















From:
teknologia@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Made Wiryana
Sent: Tuesday, May 02, 2006 4:00
PM
To: teknologia@googlegroups.com
Subject: [teknologia] Re: Social
responsibility (was: Re: [teknologia] Re: Korea)





On 5/2/06, Budi Rahardjo
[EMAIL PROTECTED] wrote:






On 5/2/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED]
wrote:


Menurut aturan Jerman Geschaftfuehrer (alias CEO) memililiki 2
tugas utama
- Membayar gaji pekerja 
- Membayar pajak

Lain-lainnya itu tambahan, kalau 2 itu tidak terpenuhi bisa
dibui. Lain
 halnya kalau membayar pajak dan gaji pekerja itu disebut social
 responsibility: 

Sip. Jadi klop bahwa tugas CEO tidak harus menghasilkan profit.
hi hi hi.






Mbayarnya pakai dedek kali ya mas 

IMW





[NL:] Tergantung bisnisnya. Untuk bisnis tradisional, CEO
wajib menghasilkan profit sebagai prioritas utama.

Sebaliknya untuk bisnis non tradisional, semacam
Yahoo!, Google dll, CEO wajib menciptakan value dan masa depan. Ndak profit (sementara
waktu) ndak papa, yang penting mampu membawa perusahaan go public atau private
placement dan meningkatkan harga sahamnya. Tapi pada saatnya nanti, perusahaan
harus bisa menghasilkan profit.



Tapi mesti diingat, profit hanyalah salah satu ukuran. Yang
tidak kalah penting adalah cashflow. Lebih banyak perusahaan kolaps gara2
cashflownya kering (padahal secara pembukuan menghasilkan profit)



Salam

Nukman












[teknologia] Re: Social responsibility (was: Re: [teknologia] Re: Korea)

2006-05-02 Terurut Topik Nukman Luthfie


 -Original Message-
 From: teknologia@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
 Behalf Of adi
 Sent: Wednesday, May 03, 2006 10:18 AM
 To: teknologia@googlegroups.com
 Subject: [teknologia] Re: Social responsibility (was: Re: [teknologia] Re:
 Korea)
 
 
 On Wed, May 03, 2006 at 02:58:25AM -, m.c. cptrwn wrote:
   Tapi mesti diingat, profit hanyalah salah satu ukuran. Yang tidak
 kalah
   penting adalah cashflow. Lebih banyak perusahaan kolaps gara2
 cashflownya
   kering (padahal secara pembukuan menghasilkan profit)
  
 
  Hmm menarik , ada contohnya ?

[NL:] Contoh seabreg2 terjadi pada era ngamuknya dolar periode 1998-an.
Perusahaan tak mampu menarik tagihan karena pembeli kolaps. Perusahaan
terlanjur investasi tapi daya beli konsumen turun. 
Kalau masih ingat, pada awal 2000an, orang finance tiba2 menjadi primadona
perusahaan dan paling banyak diburu untuk menjadi CEO. Tugas utamanya:
menyehatkan keuangan perusahaan dan memperlancar arus kas.

 isinya piutang melulu kali .. hi.hi..
 
 Salam,
 
 P.Y. Adi Prasaja

[NL:] Piutang hanyalah salah satu faktor. Faktor lain misalnya
ketidakmampuan mencari pembiayaan proyek sehingga profit yang dibukukan
terserap untuk pembiayaan proyek. Trauma perbankan terhadap kredit macet
yang triliunan kini masih terasa. Susah sekali cari kredit modal kerja atau
investasi. Akibatnya perusahaan dipaksa mencari alternatif lain. Kalau
terpaksa ya membiayai sendiri -- dengan memanfaatkan laba terbukukan. Begitu
laba dijadikan sumber utama pertumbuhan dan pembiayaan, maka risiko seretnya
cashflow makin besar.

Salam

Nukman