Pada Rabu, 23 November 2016 7:08, Chalik Hamid <chalik.ha...@yahoo.co.id> 
menulis:
 

 Bung Djie,Terimakasih bung saudah saya sampaikan pada Martin.Salam: Chalik 
Hamid.

     Pada Rabu, 23 November 2016 6:05, kh djie <dji...@gmail.com> menulis:
 

 Bung Chalik,Tolong sampaikan pada bung Martin terimakasih saya untuk 
tulisan-tulisannya yang menarik. Leih-lebih yang menghubungkan pengaruh latar 
belakang pekerjaan orang tua pada anaknya.Saya tidak pernah mengalami stress di 
pekerjaan, dan saya kerjanya melebihi tugas saya. Saya ambil tugas-tugas yang 
tidak jelas bagian siapa. Orang Belanda inginnya kerja terbatas apa yang 
ditulis di fungsi kerjanya. Saya sebaliknya, saya kerjakan saja tugas-tugas 
lain, tetapi tahun depannya saya minta ditulis ditambahkan pada fungsi kerjaan 
saya.Istri saya justru sebaliknya, mengalami banyak stress dari orang2 
tertentu. Untung ada satu professor Belanda yang selalu membantu.Jadi anjuran 
saya berbeda pada anak. Saya bilang pilih jurusan yang kamu sukai, tetapi yang 
banyak dibutuhkan.Istri saya bilang : Pilih jurusan yang kamu sukai, tetapi 
yang kamu bisa kerja sendiri, tidak di bawah orang lain.Saya bilang, itu 
mungkin lebih baik. tetapi kalau tidak sanggup kerja sendiri seperti saya yang 
masuk ke negeri Belandanya pada waktu umur 40 tahun, ya kerja di lapangan yang 
saya kuasai dari latar belakang pendidikan dan pengalaman, tetapi dengan erus 
menerus belajar supaya tidak ketinggalan dari perkembangan terakhir.Ternyata 
anjuran ibunya lebih kena pada anak kami.Salam,KH
2016-11-22 20:44 GMT+01:00 Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>:

     Penderitaan di Indonesia Menyemangati Hidup Sayaoleh Martin Aleida

Dalam usia 76 tahun dia masih bisa bertahan hidup dengan mengemudikan taksi di 
kota Berlin. Agak gemuk, tingginya rata-rata orang Indonesia. Ramah dan suka 
guyon. Orang Indonesia yang jumlahnya tak seberapa di kota ini mengenalnya 
dengan baik. Dengan taksi yang dikemudikannya, Sunarto menjemput saya di 
Richard Strasse, di mana saya menumpang. Saya duduk di samping kanannya, dan 
dia membawa saya ke sebuah restoran Turki. Restoran itu agak sempit, dan di 
tengah-tengah keramaian pengunjung yang sedang makan siang wawancara ini 
berlangsung.Bagaimana kisahnya Bung sampai di Berlin?
Suatu hari saya dipanggil polisi di Republik Demokrasi Demokrasi Jerman (DDR) 
atau Jerman Timur. Saya disuruh meninggalkan negara itu karena izin tinggal 
untuk studi saya sudah habis. Padahal, sebelumnya ada keputusan Dewan Menteri 
bahwa orang seperti saya boleh tinggal di negara tersebut selamanya. Belakangan 
saya tahu, bahwa DDR ingin meningkatkan hubungan diplomatik dengan pemerintahan 
Suharto. Saya dapat tekanan dari dua pihak ketika itu, dari DDR dan dari komite 
luar negeri delegasi PKI di Moskow yang dipimpin oleh Thomas Sinuraya. Tak ada 
gunanya melawan, dan saya pergi. Pemerinah Jerman memberikan saya tiket pesawat 
Interflug milik DDR untuk terbang pulang ke Jakarta. Tiket itu tidak saya 
pakai. Apa saya sudah gila mau pulang? Tiket itu masih saya simpan sampai 
sekarang sebagai kenang-kenangan …
Dari Dresden saya malah berangkat ke Berlin naik kereta-api. Saya membawa 
paspor yang sudah saya perpanjang sendiri. Tak ada masalah dengan polisi 
perbatasan Jerman. Tiba di Berlin tak ada masalah awal 1970-an itu. Saya 
melaporkan diri kepada polisi, dan saya jelaskan bahwa saya mahasiswa yang 
dikirim oleh Presiden Sukarno untuk belajar di DDR, tetapi kemudian saya 
diusir. ‘Kami sudah tahu itu,’ kata mereka. Saya dapat izin tinggal melalui 
proses yang cepat, tidak lama. Ada pengacara yang meyakinkan bahwa saya layak 
dilindungi. Pemerintah Jerman yang menyediakan pengacara itu. Saya mana punya 
uang untuk membayarnya.Kapan meninggalkan Indonesia?
Saya meninggalkan Indonesia tahun 1962. Dikirim oleh Perguruan Tinggi Ilmu 
Pendidikan. Ada perjanjian, kalau sudah selesai studi akan diangkat jadi 
pegawai negeri. Dapat uang dari pemerintah Indonesia tiap bulan 7 
poundsterling. Itu untuk bantuan makanan dan pakaian. Untuk tahun 1963 
dibayarkan pada tahun berikutnya. Untuk 1964 dibayarkan tahun 1965. Kebetulan 
tahun 1965 terjadi G30S.
Saya tidak dikirim oleh organisasi yang berafiliasi dengan PKI atau organisasi 
lain. Tidak. Saya studi di Dresden, bidang industri tekstil. Sebelum pendidikan 
reguler dimulai, saya belajar bahasa Jerman terlebih dulu selama setahun. Studi 
dimulai Januari 1963. G30S meletus, pendidikan jalan terus sampai selesai pada 
tahun 1968. Saya berhak atas titel akademis sebagai sarjana teknik industri 
tekstil.Bung sendirian?
Tidak. Dari Indonesia rombongan terdiri dari 31 orang. Mereka dinamakan 
“mahid”, atau mahasiswa ikatan dinas. Selain dari Jawa, ada juga yang dari 
Sumatera, Kalimantan.Bagaimana reaksi mahasiswa Indonesia ketika mendengar G30S?
Waktu peristiwa terjadi, keesokan harinya saya sudah membacanya di koran. Juga 
mendengar beritanya dari Radio Hilversum. Kuliah jalan terus. Kami yakin 
Presiden Sukarno bisa bertahan pada waktu itu. Kami tidak punya kehawatiran, 
sekalipun waktu itu ada tuntatan bubarkan PKI. Suharto sudah muncul sebagai 
orang kuat. Kami tak punya kekhawatiran. Kita kuat, dan kepemimpinan Sukarno 
begitu hebat.
Namun, yang kemudian terjadi adalah dilancarkannya pengejaran terhadap 
orang-orang progresif di Indonesia. Pengejaran itu sampai ke Eropa ini juga. 
Kedutaan Indonesia yang berada di Cekoslowakia juga mencakup Jerman Timur 
ketika itu. Kawan-kawan di luar Jerman Timur sudah mulai di-screening. Paspor 
diserahkan, tetapi ternyata kemudian tidak dikembalikan oleh pihak kedutaan. 
Kita sadar betapa beratnya hidup kalau tidak punya paspor. Hidup akan seperti 
apa?
Di antaara 31 mahasiswa Indonesia, termasuk yang sudah lebih dulu datang untuk 
belajar di DDR, terjadi perpecahan. Terjadi kristalisasi. Pihak sana, menuntut 
orang-orang seperti saya dipulangkan. Jadi, pengejaran terhadap kami juga 
dilancarkan. Screening untuk legalisasi keberadaan kami, kami tolak. Kami tidak 
mau mengikuti screening. Karena papor harus diserahkan, dan mengisi daftar 
pertanyaan siapa-siapa saja orang komunis di antara kami. Siapa Pemuda Rakyat 
dan lain-lain. Ditanya siapa-siapa saja kenalanmu. Pertanyaan yang kami anggap 
merupakan pelanggaran hebat terhadp hak-hak kami sebagai manusia.
Kedudukan Bung Karno semakin lemah. Pengejaran terhadap kami bertambah keras. 
Kita punya kekuatan, tetapi nyatanya kita kalah. Begitulah kesimpuan kami pada 
akhirnya. Kami menolak screening dengan segala konsekuensinya. Yang melakukan 
screening datang ke DDR dari kedutaan Indonesia di Ceko. Usaha mereka yang 
pertama gagal. Karena kita masih punya pengaruh di PPI (Perhimpunan Pelajar 
Indonesia). Kedatangan mereka yang kedua untuk melakukan screening secara 
paksa. Mereka datang ke Dresden. Semua mahasiswa dikumpulkan. Kami, kira-kira 
30 orang, menolak untuk datang. Yang datang secara keseluruhan sekitar 100-an. 
Kemudian kedutaan Indonesia di Cekoslowakia mengeluarkan keputusan berisi 
dafatar mahasiswa yang paspornya dicabut.
Jalannya sejarah tak bisa dihindarkan dan kami sudah siap. Tapi, paspor tetap 
di tangan walau pun tidak berlaku. Kami sadar betapa pentingnya paspor itu. 
Kami menghubungi pihak tuanrumah, DDR. Ada keputusan yang menyatakan bahwa 
Dewan Menteri DDR yang menyatakan selama keadaan tetap seperti ini mahasiswa 
Indonesia boleh tinggal di DDR untuk selama-lamanya. Hebat! Dan kami mulai 
berpikir secara aktif.
Tapi, taktik bagaimana, dan apa yang harus dilakukan. Yang penting jangan 
sampai terjadi pengelompokan diantara kami. Waktu itu yang berkuasa di DDR 
masih Walter Ulbrich. Setiap perubahan di pemerintahan DDR ada efeknya terhadap 
kami. Selama ini kami dapat uang dari DDR, juga dari Indonesia. Dari Indonesia 
7 poundsterling dari DDR 280 Deutsche Mark. Itu cukup untuk makan, pakaian, 
kos, untuk ongkos transpor. Mereka yang loyal terhadap pemerintah Indonesia 
tetap dapat uang dari Jakarta. Dari 31 mahasiswa di kelompok saya ketikaa itu 
setengahnya memihak pemerintahan Suharto.
​Berita-berita tentang kekerasan di Indonesia sampai kepada kami, sementara 
kami tak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak mahasiswa yang reaksioner juga mau 
mengejar kami. Kami lawan. Ternyata mereka takut. Padahal, orang seperti saya 
waktu itu kerempeng, tidak seperti sekarang. Berkelahi saja nggak tahu kok… 
Penderitaan mempertebal keberanian untuk melakukan perlawanan. “Kalau kalian 
berani, ayo …!” Nyaris bentrok fisik, ternyata mereka mundur. Kalau kita mati 
mereka juga musti mati kan? Kita ketahui di Indonesia tidak ada perlawanan. 
Tinggal siap diambil, dipotong… Menyerah tanpa perlawanan samasekali dan kami 
belajar dari kenyataan itu.
Saya orang pemerintah, saya tak tahu apa yang terjadi di dalam PKI. Dan kami 
tidak merasa bersalah. Saya waktu itu memang pro terhadap orang kiri. Saya 
bertanya, siapa yang tidak tergerak oleh Bung Karno pada waktu itu? Oto-kritik 
PKI sampai ke sini dalam bentuk dokumen. Kita jadi memahami apa yang terjadi di 
dalam PKI. Sebelumnya kita tahu mengenai PKI itu ‘kan hanya instinktif saja. 
Terjadi perpecahan. Ada yang setuju oto-kritik, tapi ada yang mendukung garis 
lama. Kita mulai belajar buku klasik mengenai komunisme. Sebelumnya ‘kan cuma 
yakin PKI itu hebat….!Bung ikuti pertentangan antara Uni Soviet dan RRT pada 
waktu itu?
Mengikuti pertentangan antara Uni Soviet dan RRT lebih menarik daripada mata 
kuliah. Betul! Argumen PKT begini, argumen PKUS begitu. Apa itu revisionisme. 
Kami memihak kebenaran garis Mao Tse-tung. PKI di luar negeri pecah. Ada PKI 
yang memihak Peking, ada yang memihak Moskow. Kami di Dresden ditinggalkan. 
Thomas Sinuraya di Moskow menyebutkan dia pimpinan PKI di luar negeri. Dari 
yang kami pelajari membuat kami jadi memiliki senjata ideologi. Apa-apaan ini 
…. Kemudian ada tulisan mengenai PKI, tetapi bahasanya dan tema-temannya 
cemplang. Kata-katanya, misalnya, “yang lahir seperti pisang goreng.” 
Terminologi ini tidak dikenal. Sekalipun saya bukan orang partai, saya tahu ini 
tidak benar.
​Ketika PPI yang reaksioner itu meminta kami dipulangkan, maka kami mendirikan 
PPI tandingan. Di samping saya, ada beberapa kawn lain. Kemudian sikap yang 
memihak pada kami bermunculan, dan ikut membenarkan garis PKT. Namun, 
perpecahan tetap mengancam. Waktu itu juga ada PPI Moskow, tetapi kami 
mempertahankan PPI yang kami bentuk, PPI tandingan melawan Suharto. Mereka 
dapat fasilitas, kami tidak. Saya, misalnnya, yang sudah lulus tak dapat 
pekerjaan. Kalau pun dapat, hanya sebagai magang. Supaya kami tidak ngumpul, 
tempatnya dipisah-pisah. Jadi, kita dapat hmbatan dari orang-orang kita 
sendiri. Kawan-kawan di Indonnesia begitu menderitanya, tetapi mereka di sini 
ke mana-mana naik mobil. Petantang-petenteng. Wataknya jelek walau PKI. Tak 
mendapat simpati. Akhirnya, simpati tumpah pada orang-otang yang berpihak pada 
sikap Tiongkok.
​Teman-teman yang di Uni Soviet itu naik kedudukannya bukan karena prestasi 
kerja, tetapi hadiah. Thomas Sinuraya yang mengangkat. Kemudian ada yang datang 
ke Dresden menemui saya, meminta saya meninggalkan PPI. Saya jawab, “Saya telah 
menyelamatkan banyak orang, kok terus keluar. Ke mana muka saya.” Lantas dia 
mengancam, jangan kaget PPI dan CGMI yang di sini akan dibunuh. Terserah, kata 
saya. Pokoknya saya tak mau ikut-ikutan.Apa yang Bung lakukan dengan ijazah 
sarjana teknik industri?
Selesai studi tahun 1968, saya kirim surat kepada delegasi PKI di Peking, di 
bawah pimpinan Yusuf Ajitorop. Saya minta diberangkatkan ke Peking. Ditolak! 
“Bung lebih baik berada di tempat di mana Bung bisa melihat orang,” jawabnya. 
Karena saya tak menggabungkan diri dengan kelompok mahasiswa di Uni Soviet, 
jadi saya tidak dapat fasilitas dari DDR. Nggak apa-apa. Saya cari pekerjaan 
sendiri. Dapat. Jauh di luar kota. Tidak sebagai insinyur tetapi sebagai 
magang. Tapi, saya pikir tak apa, untuk sementara sebelum saya bisa keluar.
Saya membuka hubungan dengan orang-orang yang berada di luar DDR, yang berada 
di Berlin ini. Waktu tahun 1968 itu di Jerman Barat berkembang gerakan pemuda 
revolusioner. Hebat pemuda-pemuda Jerman itu. Di situ saya menemukan kontak. 
Anak-anak muda itu tahu kritik-otokritik PKI. Mereka membacanya dalam bahasa 
Jerman. Jadi, saya punya kebanggaan tersendiri melihat kenyataan itu. Di 
mana-mana PKI ada hahaha ... Saya rasa, kritik-otokiritik itu bernilai tinggi. 
Kritik itu menambah pengetahuan dan keyakinan saya.
​Saya mengalami sendiri, ketika berada di DDR, bagaimanna dari negara sosialis 
negara itu perlahan berubah menjadi revisionis. Bagaimana moral orang-orang 
partai berubah menjadi moral borjuis. Dampaknnya nyata sekali, misalnnya 
perpanjangan paspor, wah.. lamanya bukan main. Bagaimana mereka acuh tak acuh 
terhadap nasib rakyat mereka. Produksi pabrik tidak melibatkan pekerja, cuma 
pimpinan yang menentukan. Target tidak tercapai. Buruhnya yang dipersalahkan. 
Dimarahi. Buruh tidak berani protes. Karena kalau protes, gajinya yang sudah 
sedikit akan dikurangi lagi. Jadi, kemerosotan ideologi komunis sudah begitu 
hebatnya. Sehingga tak mengherankan terjadi perubahan yang drastis.Sejauh mana 
hubungan Bung dengan gerakan pemuda kiri di Jerman?
Kepada para pemuda di Jerman Barat itu saya tanyakan kemungkinan saya masuk ke 
Berlin Barat. Mereka nyatakan siap membantu. Sebelumnya saya juga sudah punya 
kontak dengan sebuah komite internasional untuk mendukung rakyat Vietnam, waktu 
ramai-ramainya Perang Vietnam. Komite itu ada di berbagai kota, seperti Praha, 
dan kota lain di Eropa. Juga Dresden. Tapi, yang di Dresden tidak disenangi 
karena DDR yang bersikap bunglon dalam menghadapi masalah Perang Vietnam.
​Sebelum meninggalkan Dresden, saya pergi menemui Agam Wispi, penyair dan 
koresponden Harian Rakyat serta seorang lagi yang bernama Bambang. Waktu itu 
mereka ikut dengan komite yang dipimpin Thomas Sinuraya. Terus terang saya 
tanyakan apakah konflik intern sudah sampai begini parahnya? Sampai hati ikut 
mengusir kawan sendiri. Belakangan, mereka menuduh saya, “Narto itu kepalanya 
di Tiongkok, cuma kakinya yang di sini.”Ketika permohonan suaka Bung diterima 
di Jerman yang sudah bersatu ini, apakah pekerjaan dan tempattinggal disediakan 
pemerintah setempat sebagaimana di negara Eropa Barat lainnya?
Tidak. Saya cari sendiri. Itu bedanya di Jerman dengan di negara lain, di mana 
banyak kawan meminta perlindungan.Pekerjaan?
Waktu itu ada mobilisasi mahasiswa di sini. Yang tidak melanjutkan pendidikan, 
karena berbagai hal, ditawarkan pekerjaan. Saya ikut.Apa pekerjaan Bung yang 
pertama?
Penjaga toko. Pekerjaannya antara lain menerima barang dan memasukkannya ke 
gudang.Kapan Bung hidup berkeluarga?
Saya menikah pada usia 40. Ada teman saya di sini, orang Indonesia. Dia 
memperkenalkan saya kepada keponakannya yang tinggal di Indonesia. 
Ditunjukkannya foto-fotonya. Anak dari Malang. Saya setuju. Suatu hari saya 
diminta supaya pulang, walau sejam. Pulang? Saya bilang, pulang itu nggak 
mungkin. Dari Indonesia didesak terus. Pokoknya sejam saja cukup, untuk 
memenuhi sarat peresmian saja. Saya mengerti, tapi bagi saya tak memungkinkan. 
Putus sampai di situ. Karena saya tak mungkkin datang walau hanya satu jam.
Saya melangsungkan pernikahan setelah empat tahun di Berlin sini, sekitar 1975, 
setelah dapat suaka. Ceritanya begini. Setelah gagal dengan keponakan teman 
saya itu, gadis dari Malang itu, muncul tawaran dari Ibu saya sendiri. Sebagai 
orangtua dia tentu punya pikiran dan rencana untuk saya. Saya diperkenalkan 
dengan perempaun yang jadi istri saya sekarang. Ada hubungan famili yang jauh 
sekali. Dia orang Cepu. Waktu itu, dia bekerja di konsulat Indonesia di Jepang. 
Kami berkenalan. Mau nggak? tanya Ibu. Mau, jawab saya. Kalau mau, dia harap 
memaklumi keadaan saya. Tak punya apa-apa. Siap memulai dari nol. Jangan dikira 
saya di luar negri punya macam-macam.
Dia pulang ke Indonesia. Pernikahan diresmikan di Indonesia, di Klaten, Jawa 
Tengah. Saya ‘kan tak bisa pulang. Tak bisa datang. Yang mewakili saya kakak 
saya. Alasannya karena saya sedang dinas di luar negeri. Di dalam surat nikah 
disebutkan pengantin lelaki namanya Sunarto, tanggal lahir ini dan lain-lain 
dan lain-lain … Sudah. Selesai. Begitu istri saya dapat paspor, dia lantas 
berangkat ke sini. Dia sampai di Berlin tahun 1976. Sampai sekarang punya anak 
dua. Yang tertua lelaki, 30 tahun. Yang kedua 26, juga lelaki. Kakak yang 
mewakil saya dalam pernikahan di Klaten itu meninggal tahun lalu.Dengan 
anak-istri bahasa apa yang digunakan?
Bahasa Indonesia dong… Dengan Ibunya, anak-anak menggunakan bahasa Jawa, dengan 
saya Jerman.Sudah pernah ke Indonesia?
Sudah! Tiga kali.Ketika pulang anak-istri diajak?
Oh, tidak.Yang terakhir?
Dua tahun lalu. Pada waktu Gus Dur, pada tahun 2000, saya berusaha untuk 
memperoleh paspor dari KBRI. Setelah sekitar enam tahun menunggu barulah paspor 
itu saya dapatkan. Keberhasilan itu merupakan buah dari upaya yang 
terus-menerus. Setiap bertemu dengan pejabat KBRI, dan di dalam pertemuan, 
seperti seminar yang menyangkut Indonesia, dan berlangsung di sini, masalah 
mereka yang tak bisa pulang saya ketengahkan. Ada yang mengatakan 
penyelesaiannya sedang diperoses. Akhirnya, saya dapat paspor.
Ketika pulang yang kedua kali ke Indonesia saya berangkat bersama istri. Anak 
tidak, karena mereka sekolah. Dengan anak belum pernah pulang bareng ke 
sana.Ketika Bung dan istri tiba di Klaten suasananya seperti apa?
Sambutan baik sekali. Yang menarik ketika saya datang ke sana, saya didatangi 
seorang teman lama. “Jangan banyak ngomong. Mereka masih banyak,” dia 
menasihati. Saya tahu arti kata-kata itu. Saya juga sudah tahu di daerah itu 
ada kuburan massal. Hanya sehari di Klaten. Datang dan diterima keluarga saya. 
Famili dari mana-mana pada datang. Famili istri yang tinggal di Cepu tak ada 
yang muncul. Saya anak keempat dari sepuluh bersaudara. Keponakan-keponakan 
banyak sekali. Tetangga banyak yang datang, karena mereka tahu Bapak saya orang 
pergerakan.Bung punya paspor Indonesia, istri juga, ada rencana kembali ke 
Indonesia?
Waktu saya datang, terasa berada di suatu tempat yang asing samasekali. Wilayah 
yang samasekali baru. Apakah saya bisa hidup di sini? kata saya di dalam hati. 
Istri saya sendiri tidak ingin pulang. Pulang tak punya mata pencaharian. Mau 
jadi apa? Umur sudah segini. Kenyataan riil yang tidak mudah untuk 
dihadapi.Sudah punya mantu? Berapa cucu?
Salah seorang dari anak saya, yang tertua, sudah punya istri, belum punya anak. 
Anak saya itu arsitek. Yang kedua belajar teknik informatika dan akan 
menyelesaikan pendidikannya. Dia dibiayai oleh pemerintah Jerman untuk praktek 
di Indonesia. Dia ingin bekerja di ITB. Setelah sertahun di sana, dia akan 
kembali ke Berlin dan masa pendidikannya di Indonesia itu akan diperhitungkan 
dalam pencapaian gelar kesarjanaannya di sini. Sekarang dia sudah di ITB. 
Biarlah dia mengalami hidup di Indonesia itu seperti apa. Anak saya yang 
pertama, untuk menyelesaikan master of art-nya juga tinggal di Indonesia selama 
setahun. Di Universitas Parahyangan Bandung. Kenal dengan gadis Indonesia terus 
menikah. Istrinya juga arsitek. Nah, adiknya mau mengikuti jalan kakaknya 
itu.Sejak kapan Bung jadi pengemudi ttaksi?
Tak lama setelah sampai di Berlin.Bisa hidup dengan nyupir taksi?
Hidup! Nyatanya hidup.Sudah pensiun?
Umur 65 pensiun. Sekarang saya 76.Dan uang pensiun itu mencukupi?
Cukup.Kalau tak cukup apakah pemerintah Jerman membantu?
Dibantu. Tapi saya belum meminta.Dari perjalanan hidup yang panjang berliku, 
pelajaran apa yang bisa dipetik?
Kenyataan obyektif menunjukkan bahwa manusia itu materialistis. Saya sudah 
melalui berbagai pertentangan dan hidup itu memang penuh pertentangan. Saya 
tidak menyesal jadi begini. Mungkin, kalau ada kehidupan kedua saya mau jadi 
manusia yang lain… hahaha. Limapuluh tahun tidak di tanah air. Saya hidup di 
Indonesia hanya 20 tahun. Saya di sini tidak sendirian, banyak teman yang 
seperti saya. Saya hidup di sini dengan disemangati pikiran bahwa kawan-kawan 
saya di Indonesia hidup jauh lebih sulit. Tanpa semangat itu mungkin saya tak 
berani untuk terus mempertahankan hidup. Saya bisa membayangkan kehidupan kawan 
di Indonesia jauh lebih berat. Saya melihat foto-foto mereka yang sedang 
ditangkap, digiring, dipukuli, dibuang …
Saya tidak dibesarkan dan tidak dididik dalam suasana perjuangan. Saya bukan 
aktivis. Ibu saya itu pedagang kain, dan sebagai anak saya terbiasa harus 
membantu beliau ke pasar. Tapi, di sini saya lihat yang dari Pemuda Rakyat dan 
yang dari organisasi ini-itu, mereka itu tidak punya inisiatif. Saya lebih 
aktif. Karena mereka kelihatannya sudah terbiasa bekerja setelah dapat 
perintah. Saya kalau kalah di satu bidang, saya akan mencari kemenangan di 
bidang lain. Sementara mereka, kalau sudah kalah ya selesai.
Waktu itu keadaan sulit. Kontak tak ada. Saya buka toko. Sebab dengan toko ‘kan 
banyak yang datang. Bisa komunikasi. Bisa ketemu orang Indonesia, bisa ngomog. 
Waktu itu saya buka toko jual bahan makanan. Terasi, gereh (ikan asin), saya 
datangkan dari Belanda, saya jual di sini. Dengan begitu saya punya hubungan. 
Kalau tidak punya hubungan dengan manusia, dengan kawan, saya mati! Mereka, 
teman-teman lain, yang tergabung dalam rupa-rupa organisasi di Indonesia dulu, 
kerja. Sudah. Kemudian mati. Mereka yang dapat uang tunjangan sosial sebenarnya 
‘kan bisa memanfaatkannya untuk perjuangan hidup. Berjuang, kalah. Kok gak 
berjuang lagi.
Saya tidak dididik oleh orangtua saya sebagai pejuang, tapi kalah tetap 
berjuang untuk hidup. Saya buka restoran “Bengawan Solo.” Ada konflik dengan 
kedutaan yang menganjurkan agar orang Indonesia jangan makan di “Bengawan 
Solo.” Waktu itu Suharto berkuasa. Jadi tidak hanya restoran Indonesia di Paris 
yang mengalami hal seperti itu. Di restoran itu saya dapat banyak kontak, 
sehingga situasi di Indonesia tetap sampai kepada saya. Dengan begitu saya 
dapat majalah dan bacaan lain dari Indonesia. Mandeg dalam berpikir sebenarnya 
‘kan nggak ada. Yang ada adalah yang dimadeg-mandegkan.Sampai pada satu titik, 
pernah menyesal?
Saya hidup dan saya tak pernah menyesali hidup saya.SukaTunjukkan lebih banyak 
tanggapanKomentariMartin Aleida - Penderitaan di Indonesia Menyemangati... | 
Facebook
  
|  
|    |  
Martin Aleida - Penderitaan di Indonesia Menyemangati... | Facebook
 Penderitaan di Indonesia Menyemangati Hidup Saya oleh Martin Aleida Dalam usia 
76 tahun dia masih bisa bertaha...  |  |

  |

 
   



   

   
  • [GELORA45] kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]
    • Trs: [GELORA45] Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke