Mrb, Kuningan – Memperingati hari ketiadaan pangan Front Perjuangan Rakyat Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan (FPR-CIAYUMAJAKUNING) menyoroti program ketahanan pangan Jokowi yang tidak mampu menjawab persoalan petani. Pernyataan tersebut disampaikan dalam kegiatan Kemah Tani dalam rangka peringatan Hari Ketiadaan Pangan 16 Oktober 2016.“Program swasembada pangan pemerintah bekerjasama dengan TNI AD melalui program SERGAP (serap gabah petani) justru memaksa kaum tani menjual hasil panen ke Bulog dengan harga dibawah harga pasar” ungkap kordinator FPR-CIAYUMAJAKUNING Kang Auf. Harga yang ditentukan pemerintah melalui INPRES no.05 th.2015 ini di bawah harga pasar, yaitu Rp 3.700 untuk Gabah Kering Panen (GKP) dan Rp 4.600 untuk Gabah Kering Giling (GKG), sedangkan dipasaran harga kering panen sudah mencapai Rp 4.800. FPR CIAYUMAJAKUNING : Program Ketahanan Pangan Jokowi Tidak Menjawab Persoalan Petani
Selain program Sergap, Kementrian Pertanian dan TNI AD juga menjalankan program percepatan tanam untuk petani padi. FPR dalam siaran persnya menyatakan percepatan tanam berdampak pada masif nya serangan hama pada tanaman padi. Di kuningan, awal musim tahun 2016 kaum tani mengalami kerugian mencapai 83 M akibat mengikuti program percepatan tanam.Lebih lanjut Kang Auf menyampaikan bahwa persoalan utama kaum tani di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan antara lain; pertama, adanya monopoli dan perampasan tanah. Monopoli tanah oleh Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) seluas 15.853,17 Ha. membuat petani dilarang mengambil hasil kebun yang telah ditanam. Sedangkan di Indramayu dan Majalengka tanah tanah dimonopoli oleh Perhutani dengan luas lebih dari 4.000 Ha. Proyek Infrastruktur seperti PLTU Sumuradem Indramayu dan bandara Kertajati di Majalengka juga ditenggarai merampas tanah pertanian produktif milik rakyat.Kedua, Monopoli sarana produksi pertanian seperti benih, bibit dan pupuk oleh perusahaan besar asing ataupun dalam negeri akibat dari monopoli ini, harga Pupuk dan obat-obatan pertanian mengalami kenaikan. Selain itu, dengan adanya kebijakan sertifikasi benih, petani padi dilarang untuk mengembangkan benih padi nya sendiri, sehingga mereka harus membeli bibit dengan harga mahal. Ketiga, tingginya harga sewa tanah. Mayoritas kaum tani di wilayah CIAYUMAJAKUNING, adalah buruh tani dan tani miskin, yang hanya memiliki tanah sekitar 0,25 Ha. Sehingga mereka harus menyewa tanah ke tuan tanah ataupun tanah aset desa dengan sistem lelang. Spekulasi harga sewa yang dilakukan oleh tengkulak besar dalam sistem lelang sawa mengakibatkan harga sewa tanah semakin mahal.Keempat, murahnya upah buruh tani. Upah yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar Rp. 46.572, sedangkan dilapangan upah yang harus diterima oleh buruh tani sebesar Rp 45.000. upah ini mengalami penurunan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2015 bulan Juni, yaitu sebesar Rp 66.000.Dalam acara Kemah Tani tersebut FPR juga menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk membubarkan Perhutani, TNGC dan menutup PLTU di Indramayu dan Cirebon sebagai perampas tanah petani. Selain itu FPR juga menuntut di cabutnya inpres no. 05 tahun 2015 dan perpres no. 3 tahun 2016 yang menyebabkan rendahnya harga gabah petani.