Kontradiktif, Kebijakan Pemerintah soal Hak Asasi Manusia 10 Desember 2016 Koran Sulindo – Kebijakan pemerintahanPresiden Joko Widodo soal hak asasi manusia dinilai mengandung banyakkontradiksi.
“Selama dua tahun memimpin,janji-janji dalam Nawacita terkait dengan hak asasi manusia belum satu pundijalankan Jokowi. Ada banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terkaitdengan hak asasi manusia,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, melalui rilismedia. Menurut Hendardi pernyataan Presiden Jokowi dalamforum internasional Bali Democracy Forum yang membanggakan kemampuan Indonesiamengelola kemajemukan berbanding terbalik dengan kenyataan. “Fakta lapangan menunjukkan halyang sebaliknya. Pemerintah masih abai dalam memajukan perlindungan kebebasanberagama dan berkeyakinan,” katanya. Setara Institute menilaipemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan,penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan serta diintegrasikan dalamproses pembangunan negara. Sedangkan janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu jugadinilai tidak pernah memperoleh perhatian Jokowi, padahal eksplisit disebutkandalam Nawacita. Bahkan, ketika berbagai elemen mendorong penuntasan kasus 1965,misalnya, Jokowi justru membiarkan kampanye negatif tentang kebangkitan PartaiKomunis Indonesia (PKI). Menurut Hendardi, pemerintah giat melakukanderegulasi pada bidang ekonomi, namun abai memastikan pengawasan pada produklegislasi yang berpotensi merampas HAM warga negara. Delegitimasi Lembaga HAM Herdardi juga menilailembaga di bidang HAM saat ini mengalami delegitimasi dari publik. Komnas HAM, misalnya, dinilaigagal menjalankan Paris Principles karena terindikasi gagal mengelolaakuntabilitas keuangan. Selain juga dianggap terjebak pada agenda rutinseremonial tanpa memberikan dampak yang nyata pada perlindungan HAM. Komisi Perlindungan AnakIndonesia justru dianggap semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektifdan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia. Menurut Hendardi, populisme yang dipupuk melalui liputanmedia menjadi orientasi kerja KPAI, meski menimbulkan efek psikologis yangburuk pada korban. Hendardi menilai hanyaKomnas Perempuan masih tetap instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuanhak-hak perempuan meskipun dengan segala keterbatasan mandatnya. Komnas Perempuan dinilai fokuspada sejumlah terobosan dan intervensi legislasi, yang kondusif bagipenghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Tak Berdaya Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang danKorban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama orangtua korban pelanggaran HAM mempertanyakan janjiJokowi menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Kepala Divisi PemantauanImpunitas KontraS, Feri Kusuma,mengatakan banyak agendaimpunitas baik secara terang-teranganataupun malu-malu yang dibela Jokowi. Jokowi juga dinilai melakukan tindakanyang bertentangan dengan agenda penyelesaian pelanggaran HAM. Presiden Jokowi dinilai kehilangan otoritas dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat denganmembiarkan para pembantunya seperti Menkopolhukam, Jaksa Agung, dan MenteriPertahanan mengambil tindakan sepihak, dengan mempromosikan musyawarah danrekonsiliasi untuk memutus pertanggungjawaban negara. “Jokowi menunjukkan ketidakberdayaan terhadap aktor-aktordan institusi kekerasan serta pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunyadengan memilih Wiranto menjadi Menkopolhukam dan terpilihnya Hartomo menjadiBadan Intelijen Strategis (BAIS),” kata kata Feri, saat konferensi pers di kantor KontraS,Jakarta, Kamis (8/12). Menurut KontraS, Jokowimemiliki akses kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan sejumlah mantan aktivispro demokrasi yang hari ini memiliki akses di Istana Kepresidenan. Polemik Hukuman Mati Sementara itu polemikhukuman mati menjadi isu terbesar Hak Asasi Manusia yang disorot media massasepanjang 2016. Hasil analisis Indonesia Indicator (I2), pemberitaan polemikhukuman mati mencapai 20 persen dari ekspose isu HAM di media atau sekitar5.152 pemberitaan. Dominasi isu ini masih belum bergeser sejak 2015. “Hukuman mati disorotsebagai persoalan HAM mengingat hukuman mati langsung menyentuh pada jantunghak paling mendasar dari manusia yaitu hak hidup,” kata Direktur KomunikasiIndonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang, pada acara “Paparan HAMDalam Sorot Media”, di Jakarta, Sabtu (10/12). I2 adalah perusahaan dibidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis dengan menggunakansoftware AI (Artificial Intelligence). I2 mencatat sepanjang 2016pemberitaan mengenai isu HAM di media mencapai 26.333 berita. Menguatnya ekspos hukumanmati mencapai puncaknya pada momentum kasus Freddy Budiman. Berbagai pihak pendukung HAMmendorong pemerintah mengkaji ulang penerapan sistem hukuman mati hinggamenyuarakan moratorium. Sedangkan kasus terorismedan separatisme menjadi isu HAM kedua yang paling mendominasi ruang pemberitaanmedia, yakni mencapai 17 persen atau 4.448 berita. “Kasus terorisme danseparatisme juga secara aktif dikaitkan oleh media dengan kasus pelanggaranHAM,” katanya. Isu HAM masa silam juga menjadi sorotan media pada 2016.Kedua kasus itu adalah pembunuhan aktivis Munir dan kasus korban 1965. Kasus pembunuhan Munir mendapat ekspose di media sebesar12 persen (3.604 berita). Sedangkan kasus korban 1965 sebanyak 11 persen (3.022berita). Kedua kasus lama ini masih konsisten diangkat media karena dianggapbelum menemui titik penyelesaian,” kata Rustika. Kasus Munir masih menarikperhatian media bukan hanya dalam hal tuntutan menyelesaikan kasus, namun jugadiramaikan dengan hilangnya dokumen TPF yang menyajikan saling lempar argumenantara elite pemerintahan SBY dan Jokowi. Secara umum kemunculanbeberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang 2016, beriringan dengan kembalimencuatnya beberapa kasus HAM yang terjadi di masa lalu. Menurut I2, pemerintahterlihat proaktif dalam menanggapi berbagai wacana dan isu HAM di ruang publik. Hal ini disimpulkan darisebanyak 20 figur tertinggi yang memberikan pernyataan berasal dari pemerintah,ketimbang aktivis pegiat HAM. “Tiga sosok tertinggi dalammemberikan pernyataan tentang HAM adalah Yasonna Laoly (24.945 pernyataan),Presiden Joko Widodo (11.182 pernyataan) dan Luhut Panjaitan (9.469pernyataan),” kata Rustika. Sementara dalam halpernyataan tokoh-tokoh aktivis pegiat HAM, Haris Azhar (5.415 pernyataan),Hendardi (4.404 pernyataan), dan Al Araf (1.022 pernyataan) menjadi tiga figurteratas mewacanakan topik HAM. Dari sisi kelembagaan,Komnas HAM paling banyak diberitakan (9.719 berita), diikuti Kontras (2.927berita), YLBHI (969 berita), dan Setara Institute (947 berita). Beberapa lembaga HAMinternasional juga mengisi ruang berita media nasional, di antaranya AmnestyInternasional (1.206), Human Rights Watch (683 berita) dan Human Rights WorkingGroup, atau HRWG (23 berita). Amnesty Internasional, menyoroti masalah UUDTerorisme dan fenomena pekerja anak di perkebunan sawit di Sumatera danKalimantan. [DAS]