Pak Sunu,
 
Nomor 1-2 telah diatur dalam Petunjuk Umum Operasi Migas yang dikeluarkan oleh 
Divisi Operasi Lapangan BPMIGAS mengacu kepada petunjuk2 dan regulasi2 dari 
Migas. Penyusunan materi ini juga sudah melibatkan kasus Lusi untuk bahan 
pertimbangan.
 
Nomor 3 wewenang Ditjen Migas, beberapa WK baru post-Lusi di onshore Jawa Timur 
saya lihat masih cukup diminati, artinya kasus Lusi tak terlalu berdampak 
kepada para investor itu.
 
Nomor 4, apa yang dimaksud Pak Sunu dengan kompensasi regional itu (ini 
regional geology atau regional autonomy alias autonomi daerah). Kalau autonomi 
daerah, setahu saya tak ada aturannya bahwa daerah kena imbas menanggung 
bencana bila di daerahnya ada bencana seperti Lusi. Bila yang dimaksud adalah 
analisis regional geology, jelas ada. Setiap prospek yang terlihat di jalur 
elisional, di area banyak diapirism, di area yang banyak fault-nya; kita harus 
punya analisis tambahan geohazard, apakah reaktivasi tektonik akan terjadi atau 
tidak.
 
salam,
Awang


--- Pada Sen, 15/3/10, Sunu Praptono <sunu.prapt...@gmail.com> menulis:


Dari: Sunu Praptono <sunu.prapt...@gmail.com>
Judul: Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Senin, 15 Maret, 2010, 12:45 PM


Bro Awang,

Uneg-uneg mengenai Lusi tidak hanya berkutat di penyebab lusi dan siapa yang
tanggungjawab. Tapi juga masa depan eksplorasi migas di area Jawa Timur

Seperti Anda tahu, sekarang mungkin Exxon Gunting lagi spend duit sekian
juta dollar untuk seismik dan akan disusul pemboran sumur komitmen. PSC lain
juga rame-rame masuk mengeksplorasi wilayah ini.

Dari uraian Anda, nampaknya eksposure ke risiko drilling dikarenakan geologi
yang tectonically aktif bisa dibilang nambah satu faktor lagi. Selain kita
harus hati-hati dengan watak litologi dan fluida setempat, nampaknya kita
harus berhadapan dengan kemungkinan pergerakan tektonik saat kita ngebor,
yang mana barangkali kita hanya bisa pasrah saja. Bayangkan: lagi enak-enak
ngebor atau testing atau POOH, tau-tau batuan di sepanjang kolom lubang bor
bergerak akibat tektonik, yang menyebabkan macam-macam kemungkinan: mulai
dari loss, blowout, atau pipa kejepit.

1. Bagaimana dengan arahan dari BPMIGAS sendiri untuk masa depan eksplorasi
di daerah semacam Lusi ?
2. Samakah prosedur pemasangan casing dengan sumur-sumur di daerah "normal"
? Soalnya ada yang mengatakan bahwa di area seperti itu, pemasangan casing
justru akan memperparah situasi bila terjadi shear failure, dibanding dengan
tanpa casing.
3. Apa masih tetap akan ditawar-tawarkan ke peminat blok ?
4. Adakah kemungkinan diterapkannya kompensasi "regional" bagi kegiatan
eksplorasi di wilayah sejenis Lusi?


Salam,


Sunu.



2010/3/15 Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com>

> Minarwan :
> 1.       Bengkoknya rel KA tersebut pernah kita diskusikan di milis ini
> hampir empat tahun lalu pada tahun kejadian LUSI (2006). Saat itu ada dua
> pendapat bahwa pembengkokan itu disebabkan reaktivasi Sesar Watukosek atau
> collapse struktur tanah (amblesan) di sekitar Lusi. Untuk ini harus ada uji
> kronologi kapan foto dibuat dan kapan berita diturunkan. Bisa saja ada
> kemungkinan bahwa berita terlambat diturunkan di koran, meskipun kejadiannya
> sudah lama.  Satu kemungkinan yang lain lagi adalah bisa saja rel KA
> tersebut baru terbengkokan pada September 2006 oleh reaktivasi kemudian
> Sesar Watukosek. Apa yang dimaksud dengan reaktivasi kemudian adalah sesar
> ini beberapa kali direaktivasi. Apa dasar dugaan ini, yaitu flow rate
> semburan Lusi mengalami pulsasi mengikuti regional earthquakes dengan
> epicentrums yang terjadi dalam radius 300 km dari Lusi. Untuk mengeceknya,
> silakan plot semua episentrum gempa M >3.7 dari tangga; 27 Mei 2006-21 Nov
> 2006 dan
>  kontraskan dengan flow rate Lusi dalam m3/hari, maka akan terjadi
> linearity di antara mereka. Besar flow rate Lusi mengikuti earthquakes swarm
> yang terjadi di sekeliling Jawa Timur dengan episentrum dalam jarak 300 km
> dari titik lokasi Lusi. Flow rate yang pusating itu juga mencerminkan
> dynamic fluid stress change di bawahnya yang lalu terhubung ke reaktivasi
> Sesar Watukosek; jadi pembengkokan rel KA itu tak mesti terjadi pada 27 Mei
> 2006 atau September, bisa saja di antara Mei dan September; sebab sesar yang
> sudah sekali tereaktivasi pada awalnya dan mengalami dynamic fluid stress
> change dengan manifestasi semburan fluida Lusi, akan mudah tereaktivasi
> lagi. Sekarang pun arah amblesan Lusi membuat bentuk lonjong dengan arah
> sumbu panjang BD-TL, mengindikasikan bahwa Sesar Watukosek di bawahnya masih
> rentan tereaktivasi oleh perubahan fluida yang melaluinya. Fluida ini
> mempunyai tekanan yang bisa menggerakkan bidang yang lemah seperti sesar.
> 2.       Bagaimana kita mengetahui bahwa saat itu sudah ada penambahan
> magma di Semeru ? Kalau di Merapi  ya, sebab gempa-gempa volkanik pada badan
> gunungapi telah dirasakan sebelum gempa Yogya yang mengindikasi bahwa
> terjadi penambahan tekanan dari dapur magmanya. Referensi Sparks et al.
> (1977) saya pikir tak valid dalam kasus ini, terlalu lama untuk kasus
> reaktivasi Semeru, apakah publikasi tahun 1977 bisa menafsirkan pengisian
> magma Semeru pada 2006 ? Komposisi magma Merapi dan Semeru yang saya kutip
> dari Kusumadinata (1979) menunjukkan magma Semeru relatif sedikit lebih basa
> dibandingkan Merapi. Komposisi ini, harus diingat, berdasarkan pengukuran
> continous selama 30 tahun, juga berdasarkan pemetaan geologi permukaan di
> lereng dan kaki Semeru yang juga menemukan komposisi lebih basa.
> 3.       Mori dan Kano (2009) telah menghitung (berdasarkan data analogi
> dengan gempa di Jepang, lihat lebih detail di bawah)  bahwa dynamic stress
> change di Lusi 0.005-0.010 MPa, dan itu sudah di atas threshold yang
> ditetapkan Fisher (2008) sebesar 0.001 MPa, mengapa kita menggunakan
> threshold dari  Walter et al (2007) dan Stein (1999), threshold tersebut
> untuk magmatic volcano eruption; sedangkan yang dari Fisher (2008) khusus
> untuk mud volcano eruption. Lagipula, menurut hemat saya hitungan dari Mori
> dan Kano (2009) itu lebih kecil dari yang sebenarnya karena tak memasukkan
> kesamaan focal mechanism gempa dan directivity-nya. Yang namanya pemicu tak
> perlu besar dari awal sebab efeknya bisa seperti snowball effect.
> 4.       Paper saya baik di IAGI (2007) maupun di IPA (Satyana and Asnidar,
> 2008) tak membahas secara spesifik kondisi kritis Lusi sebagai elisional
> critical venting system sebab paper di IAGI menggunakan pendekatan sejarah
> yang menunjukkan bahwa kasus seperti Lusi dulu pun pernah terjadi saat
> periode Jenggala-Majapahit di situ. Paper di IPA menunjukkan semua diapir
> dan mud volcano di Jawa, jadi tak khusus ke Lusi. Critical atau tidaknya
> sebuah calon mud volcano, tentu akan butuh penelitian yang seksama. Saya
> saat ini tengah mengevaluasi untuk memodifikasi stages diapir/mud volcano
> dari empat menjadi lima (lihat penjelasan tambahan di bawah). Dengan kasus
> Lusi ini, justru kita belajar –mencari semua bentuk diapir di bawah
> permukaan, memetakan semua sesar yang di dekatnya atau melaluinya, dan
> mengevaluasi critical point-nya. Critical condition yang Minarwan daftarkan
> itu adalah ideal, tetapi apa kita bisa mengukurnya ? Bukan sesuatu yang
> gampang
>  sebab memerlukan suatu high resolution seismic data, pengukuran tiltmeter
> dan GPS di atas tanah tempat diapir terkubur, gas detector untuk menangkap
> methan, dsb. Untuk info saja, kualitas data seismik di Kendeng Deep tak
> terlalu baik sebab di atasnya banyak volcanic cover dan thrust sheets
> Kendeng yang sangat tebal.
> 5.       Telah terjadi reaktivasi Watukosek Fault harus dicurigai dari :
> lima lokasi semburan awal sebelum Lusi yang membentuk liniasi BD-TL,
> turunnya muka air sumur2 penduduk di Kampung2 Pulungan, Kalanganyar dan
> Gununganyar yang jaraknya 50 km dari Lusi dan terletak di sepanjang
> Watukosek Fault, keluarnya minor seeps (lumpur dan gas) pada saat yang
> bersamaan di mudvolcano tua Pulungan, Kalanganyar, Gununganyar; menurunya
> 10-20 % flowrate sumur Carat yang juga terletak di jalur sesar tersebut, dan
> rontokan baru di gawir sesar Watukosek. Lihat di bawah untuk keterangan
> lebih lanjut. Semua kejadian itu serentak terjadi sesudah gempa Yogya.
> Bengkokan rel KA saya tak tahu pasti, tetapi terjadi di antara Mei-September
> 2006 (reaktivasi ulang sangat mungkin terjadi). Belokan Sungai Porong saya
> pikir belokan lama yang justru menandakan ada sesar di bawahnya, sehingga
> zone lemah ini diterobos air permukaan.
> 6.       Parameter induced earthquake (dalam frekuensi, seismic amplitude,
> dan dynamic stress change) di area Lusi karena gempa Yogyakarta berdasarkan
> hitungan atas data analogi gempa bermagnitude sama di Jepang yang terukur di
> record station berjarak sekitar 250 km dari episentrum. Perhatikan bahwa itu
> bukan analogi yang sempurna sebab focal mechanism antara gempa Yogya dan
> gempa Jepang itu berlainan, juga rupture directivity-nya berlainan. Hal ini
> akan menyebabkan bahwa parameter ground earth shaking di Sidoarjo yang
> diturunkan dari analogi gempa di Jepang itu tak mesti sama seperti yang
> dihitung Mori dan Kano (2009) yaitu maximum velocity amplitude 0.25 cm/sec
> dan dynamic stress change 0.005-0.010 MPa untuk kisaran frekuensi 0.3-0.5
> Hz. Menurut hemat saya, parameter-parameter induced earthquake di Lusi itu
> akan lebih besar daripada yang diperhitungkan Mori dan Kano (2009) sebab
> focal mechanism gempa Yogya strike-slip fault dengan rupture
>  directivity SW-NE sejajar dengan semua sesar mendatar besar yang punya
> rigt stepping fault set (lihat terminologi relay pattern ini di Harding,
> 1985 dan Biddle, 1985) dari Sesar Opak tempat episentrum gempa Yogya ke
> Sesar Watukosek tempat Lusi. Mengapa akan punya parameter2 gempa yang lebih
> besar ? Sebab, propagasi energi gempa akan lebih mereaktivasi sesar-sesar
> yang sejenis dibandingkan antara hiposentrum dan lokasi distant induced
> earthquake-nya secara struktur geologi tak berhubungan.  Perhatikan bahwa
> distribusi episentrum aftershocks gempa Yogya berjalan pula dalam arah right
> stepping terhadap episentrum mainshock, ini mengartikan bahwa rupture
> directivity gempa ini SW-NE pula. Sungguhpun demikian,hitungan parameter
> gempa Lusi Mori dan Kano (2009) itu masih di dalam kisaran gempa yang dapat
> menyebabkan perubahan local fluid pressure seperti yang dihitung oleh Fisher
> (2008) dengan kisaran dynamic stress change 0.001-0.1 MPa. Saya pikir,
> metode
>  cross plot Fisher (2008) ini lebih ilmiah sebab menghitung stress change
> distant seismic secara individual dibandingkan crossplot Manga dan Brodsky
> (2006) yang hanya merupakan crossplot statistic antara jarak
> episentrum-distant induced eruption/earthquake dan magnitude gempanya.
> 7.       Perhatikan bahwa dalam 15 tahun belakangan ini para ahli gempa
> telah banyak mempublikasikan (contoh : Hill et al, 1993, Miyazawa dan Mori,
> 2006; Hill dan Prejean, 2007; Fisher et al 2007) bahwa stress change sebesar
> 0.001-0.1 MPa dapat menimbulkan gempa yang berasal dari distant earthquake
> di tempat lain. Stress change di Lusi diperhitungkan sebesar 0.005-0.01 Mpa,
> jelas ini di dalam kisaran tersebut. Khususnya, disebutkan Mori dan Kano
> (2009) bahwa pengaruh seperti itu kebanyakan terjadi di area hidrotermal.
> Lusi terjadi di area yang termalnya tinggi sebab Lusi terjadi di dekat
> lokasi gunungapi aktif Arjuno, Welirang, Anjasmoro. Ini juga dibuktikan
> dengan temperatur air Lusi yang mencapai sekitar  80-100 C.
> 8.       Mori dan Kano (2009) tidak membahas aspek subsurface Lusi yang
> bila kita lihat data seismiknya jelas merupakan critical venting system
> berupa diapir stage -3 (mud volcano eruption : stage-4). Maka pertanyaan
> mereka apakah dynamic stress change yang terjadi di Lusi bisa memicu mud
> volcano eruption, dapat segera dijawab apabila mereka mengetahui bahwa ada
> naturally prepared system di bawah Lusi sehingga goncangan dari bawah yang
> kecil pun bisa memicu erupsi. Sebuah critical venting system akan punya
> threshold yang lain yang tak akan masuk kepada crossplot Manga dan Brodsky
> (2005) sebab crossplot tersebut dibangun atas old mud
> volcano/eruption/liquefaction, sementara Lusi adalah crital venting system
> yang ready to erupt bila ada perturbation of the critical elisional venting
> system. Threshold magnitude antara yang old mud volcanoes dengan yang
> critical venting system ready to erupt akan berlainan.
> 9.       Mori dan Kano (2009) hanya memasukkan perubahan flow rate di sumur
>  Carat (4 km BD Lusi) sebesar 10-20 % yang disimpulkannya akibat gempa Yogya
> sebab perubahan itu diketahui setelah continuous record flow rate Carat
> sebelum dan sesudah gempa Yogya terjadi . Pada kenyataannya perubahan fluida
> itu terjadi pada sepanjang 50 km ke arah timurlaut dari Lusi yaitu perubahan
> muka air di sumur-sumur penduduk di Kampung Pulungan, Gununganyar,
> Kalanganyar; disertai seeps yang tiba-tiba terjadi di gununglumpur tua
> Pulungan, Gunungayar, Kalanganyar. Mori dan Kano (2009) pun tidak memasukkan
> lima semburan awal yang terjadi di sekitar Lusi yang semuanya terletak di
> splay Watukosek Fault. Jelas semua fenomena perubahan fluida yang terjadi
> serentak sepanjang 55 km dari sumur Carat di BD Lusi, loss di sumur
> Banjarpanji-1, di semburan2 awal Lusi dan adik2nya, di sumur2 penduduk
> sampai natural seeps pada jarak 50 km NE Lusi di Gununganyar yang semuanya
>  berlokasi di Sesar Watukosek, dan semuanya terjadi setelah gempa Yogya,
> sangat mengindikasikan bahwa telah terjadi reaktivasi Sesar Watukosek. Apa
> yang menyebakan reaktivasi sesar tersebut ? Apakah mungkin UGBO sumur
> Banjarpanji-1 menyebabkan reaktivasi sesar sampai sepanjang 50 km ? Apakah
> UGBO dapat menyebabkan semua perubahan fluida yang membentuk kelurusan BD-TL
> dalam jarak sepanjang 55 km ? Untuk info teman-teman saja, stress change
> gempa Yogya masih terukur setelah 34 detik pasca gempa Yogya pada jarak 286
> km di area perairan Pangkah sebelah utara muara Bengawan Solo dan tercatat
> pada seismic record akuisisi seismic menggunakan kapal Orient Explorer. Nah,
> apakah ini akibat UGBO sumur Banjarpanji-1 ?
> 10.   Analisis sequence temporal yang dilakukan Mori dan Kano (2009) untuk
> partial loss dan total loss circulation di sumur Banjarpanji-1 dan turunnya
> flowrate sumur Carat relative terhadap tempo gempa Yogya bukanlah suatu
> kebetulan (coincidence) tetapi punya hubungan sebab-akibat. Pendapat ini
> akan kita peroleh bila kita melihat efek dynamic stress change bukan hanya
> di area Carat dan Banjarpanji, tetapi ke semua jarak  sepanjang 55 km dari
> Carat sampai Gununganyar, di area ini banyak sekali perubahan dynamic fluid
> stress change mengikuti gempa. Bila ini sebuah kebetulan, berarti kebetulan
> yang sangat kebetulan ?
> 11.   Pertanyaan Mori dan Kano (2009) mengapa gempa-gempa lain sebelum
> gempa Yogya tak menimbulkan Lusi, baru setelah ada pengeboran BJP-1 dan
> gempa Yogya lalu ada Lusi, adalah pertanyaan klasik yang ditanyakan tanpa
> mengecek gempa-gempa yang mana yang sebelum Yogya itu, coba didetailkan dulu
> dan nanti kita analis sama-sama. Sebab dari setiap gempa itu harus dicek
> dulu bagaimana magnitude-nya, focal mechanism-nya, rupture directivity-nya,
> relay fault set-nya antara lokasi episentrum dengan lokasi Lusi, dominant
> directivity propagasi energinya, dll. Pertanyaan Mori dan Kano (2009) apakah
> bila tidak ada sumur BJP-1 Lusi tetap meletus hanya dengan gempa Yogya juga
> merupakan pertanyaan klasik, sama dengan bila saya bertanya, apakah kalau
> tidak ada gempa Yogya, hanya ada sumur BJP-1,Lusi akan tetap meletus seperti
> sekarang ? Kedua pertanyaan ini adalah pertanyaan “kalau” , yang menurut
> hemat saya tidak cukup ilmiah dalam konteks ini untuk ditanyakan
>  maupun dijawab sebab kita tidak berkalau-kalau, melainkan sedang berusaha
> tiga kejadian yang terjadi secara bersamaan : gempa Yogya, pengeboran BJP-1
> dan erupsi Lusi.
> 12.   Mori dan Kano (2009) membedakan antara cause dan trigger Lusi, ini
> tepat sebab cause Lusi sudah tertanam sejak lama di subsurface-nya
> (elisional critical venting system), sementara trigger –nya hanyalah
> perturbation on cause tersebut. Dan, semua data baik data pengeboran sumur
> BJP-1 yang dianalisis dan diargumentasi Pak Bambang Istadi, Pak Sawolo dkk.
> maupun data regional sekeliling Lusi seperti yang telah saya sebutkan di
> atas tidak menunjukkan suatu UGBO di sumur BJP-1 yang dapat memicu Lusi mud
> volcano eruption. Paper Mori dan Kano (2009) yang saya tambahi dengan
> analisis-analisis saya di atas makin meyakinkan saya bahwa reaktivasi Sesar
> Watukosek yang dipicu gempa Yogya adalah trigger utama Lusi eruption.
> Trigger utama ? Berarti, ada trigger lainnya ? Itu mungkin saja,  saya tak
> pernah menutup kemungkinan trigger lain, tetapi kalau pun ada, tak akan
> merupakan trigger yang penting.
> 13.   Saya tak pernah menyebutkan bahwa gempa Yogya adalah penyebab Lusi,
> beberapa teman telah salah duga tentang hal ini; penyebab Lusi adalah
> sistemnya yang merupakan elisional critical venting system, sementara
> reaktivasi Sesar Watukosek yang dipicu gempa Yogya adalah trigger utama yang
> membuat naturally prepared system tersebut bererupsi karena telah terjadi
> dynamic fluid stress change yang signifikan atasnya.
> 14.   UGBO yang diduga terjadi di BJP-1 lalu menimbulkan Lusi mud volcano
> eruption seperti dianut oleh beberapa penulis (Davies et al., 2006, Davies
> et al., 2008; Tingay et al., 2008) dan beberapa teman di milis ini sangat
> patut dipertanyakan baik dari (1) segi keabsahan analisis drilling (seperti
> diargumentasi oleh Sawolo et al, 2009, 2010; Nawangsidi, 2007 dan beberapa
> teman yang aktif di milis ini -lihat argumentasi2 Pak Bambang Istadi) dan
> (2) data geologi regional sekeliling Lusi (lihat butir-butir diskusi saya di
> atas). Analisis drilling dan data geologi regional tidak menunjukkan UGBO
> (bila ada) signifikan memicu erupsi Lusi. Bila UGBO di BJP-1 tidak ada, maka
> tak perlu lagi melibatkan BJP-1 sebagai pemicu Lusi. .
> 15.   Secara umum, diketahui bahwa kejadian mud volcanoes berhubungan
> dengan sesar-sesar di active tectonic setting (Brown, 1980; Kopf, 2002,
> 2008; Bonini, 2007). Lusi memenuhi kondisi ini, ia terletak di Sesar
> Watukosek di wilayah tektonik yang aktif (beberapa jalur antiklin di wilayah
> Sidoarjo bahkan bergerak dalam satu malam sampai ke permukaan yang
> menyebabkan sebuah aliran sungai berubah alurnya –lihat bencana Banyu Pindah
> di Serat Pararaton yang terjadi pada zaman Airlangga memerintah Kahuripan
> –Satyana dan Asnidar, 2008).
> 16.   Natural process fracture propagation dan fluidisasi dapat
> diakselerasi oleh aktivitas seismic. Goncangan gempa dapat membentuk
> fracture yang akan menjadi free pathways untuk deeper fluids naik ke
> permukaan. Banyak sekali publikasi yang mendokumentasikan bahwa aktivitas
> seismic menggiatkan atau memicu aktivitas geyser, methane emission, magmatic
> volcanoes dan mud volcanoes (Chigira dan Tanaka, 1997; Guliev dan
> Feizullayev, 1997; Linde dan Sacks, 1998; Delisle et al, 2002; Hieke, 2004;
> Nakamukae et al, 2004; Manga dan Brodsky, 2006; Ellouz-Zimmermann et al,
> 2007; Lemarchand dan Grasso, 2007; Mau et al, 2007; Mellors et al, 2007;
> Walter dan Amelung, 2007; Judd dan Hovland, 2007; Mazzini et al., 2008;
> Eggert dan Walter, 2009; Manga, 2009; Mazzini et al, 2009).
>
> Demikian, semoga membantu memberikan penjelasan.
> Salam,
> Awang
>
>
> --- Pada Ming, 14/3/10, MINARWAN <minarw...@gmail.com> menulis:
>
>
> Dari: MINARWAN <minarw...@gmail.com>
> Judul: Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI
> Kepada: iagi-net@iagi.or.id
> Tanggal: Minggu, 14 Maret, 2010, 11:11 PM
>
>
> Saat sedang memikirkan rel kereta api yang bengkok (salah satu bukti
> reaktivasi Sesar Watukosek), secara iseng-iseng, saya mencari berita
> mengenai kejadian ini dan mendapatkan tautan berikut:
> http://www.suaramerdeka.com/harian/0609/28/nas01.htm
>
> Foto yang terpampang di situs di atas menurut hemat saya adalah foto
> yang hampir sama dengan foto yang dipasang di Mazzini et al (2007) -
> EPSL 261, 375-388. Saya lihat tanggalnya, tanggal 27. Gempa Jogja yang
> konon telah mereaktivasi sesar Watukosek juga terjadi pada tanggal
> yang sama. Tapi lho, beritanya itu dimuat pada bulan September,
> sedangkan gempanya kan bulan Mei?
>
> Jadi, ada selang waktu 4 bulan, di mana tidak ada yang sadar bahwa rel
> kereta itu telah bengkok, tidak ada laporan gangguan dan kereta api
> jurusan Surabaya-Malang-Blitar lewat seperti biasa setiap hari mungkin
> beberapa kali, sampai akhirnya lengkungan rel menjadi parah karena
> pergerakan tanah yang membuat rel bengkok. Bagaimana ini Pak Masinis
> selama 4 bulan kok tidak melihat posisi relnya sudah berubah?
>
> Berlanjut ke komposisi magma Merapi dan Semeru, yang membuat kedua
> gunung api ini merespon gempa Jogja secara bersamaan walaupun jaraknya
> berbeda dari pusat gempa, saya sudah memberikan 3 referensi, di mana
> mereka menggunakan XRF untuk menganalisis kandungan SiO2, yang
> menyimpulkan Semeru dan Merapi adalah sama-sama gunung api andesit
> basaltik. Komentar saya mengenai topik ini saya rasa sudah cukup,
> selebihnya saya serahkan kepada para volcanologist yang lebih tahu
> daripada saya untuk berkomentar.
>
> Sampai sejauh ini, saat kita mendiskusikan kaitan gempa dan aktivitas
> gunung api, kita selalu tidak mengikutsertakan faktor tambahan magma
> baru ke dapur magma (Sparks et al, 1977 di dalam Manga dan Brodsky,
> 2006). Padahal, Merapi dan Semeru telah aktif sebelum gempa Jogja
> terjadi, dengan kata lain, tekanan di dapur magma sudah meningkat
> sehingga ada yang harus dikeluarkan lewat lubang kepundan. Dengan
> menggunakan analogi proses yang sama antara gunung api dan gunung
> lumpur (walaupun yang satu adalah magma sedangkan yang lain adalah
> lumpur), kita bisa mempertanyakan, ada tambahan tekanan apa dan dari
> mana di sekitar sumur BPJ/BJP-1 yang membuat LULA/LUSI meledak? Hanya
> passing seismic wave sajakah?
>
> Mori dan Kano (2009) menunjukkan bahwa passing seismic wave dari gempa
> Jogja yang sampai ke Sidoarjo paling-paling cuma sekitar 7 kPa, lebih
> kecil daripada critical threshold 10 kPA yang digunakan oleh Walter et
> al (2007) - mengikuti Stein (1999) - untuk menunjukkan transient
> pressure minimum yang dapat mentrigger letusan gunung berapi. Semua
> fakta mengenai naik turunnya muka air tanah, rekaman passing seismic
> wave di Ujung Pangkah dan seterusnya adalah fakta yang baik. Bahwa
> kondisi fluida lokal di Sidoarjo terpengaruh oleh passing seismic wave
> menurut Mori dan Kano (2009) adalah fakta yang sahih. Yang menjadi
> pertanyaan adalah bagaimana goncangan gempa ini sampai membuat ledakan
> yang begitu hebat?
>
> Mari kita analogikan dengan menggoyang air dalam panci yang sedang
> mendidih di atas kompor. Dalam kondisi tidak ada tambahan panas dari
> kompor, goyangan yang pelan tentu tidak akan membuat air menggelegak
> dan tumpah, tapi jika kemudian panas dari kompor kita tambahkan secara
> signifikan, gelembung air yang mendidih menjadi lebih besar, air
> panasnya akan tumpah dari panci.
>
> Jika memang ada faktor kondisi kritis yang bermain, sebenarnya apa
> sebenarnya faktor kondisi kritis ini? Untuk kasus Merapi dan Semeru,
> mungkin faktor kondisi kritisnya sudah jelas, mereka sedang aktif pada
> saat gempa terjadi, kemudian setelah gempa aktivitasnya meningkat
> (walaupun responnya masih terlihat aneh padahal jaraknya berbeda dari
> pusat gempa, biarlah kita lupakan saja). Saya bisa mengajukan faktor
> kondisi kritis ini berupa tambahan magma baru yang menekan dapur magma
> kedua gunung api itu. Tapi untuk LULA/LUSI? Apakah mereka?
>
> Saya sudah membaca makalah tentang 4 tahapan pembentukan gunung lumpur
> yang dipublikasikan di IPA 2008 (Satyana dan Asnidar, 2008). Awalnya,
> saya berharap dapat menjawab pertanyaan yang saya ajukan di atas
> (tentang observasi untuk mengenali sebuah gunung lumpur siap
> meledak/berada dalam kondisi kritis) setelah membaca makalah Pak
> Awang. Namun rasanya saya tidak menemukan jawaban itu (mohon Pak Awang
> berkenan menunjukkan kepada saya pembahasan mengenai topik ini di
> makalah tersebut, siapa tahu saya membaca terlalu cepat dan justru
> melewatkan bagian ini). Atau mungkin pembahasan ini ada di makalah Pak
> Awang di PIT IAGI 2007 yah (saya tidak punya akses ke prosiding PIT
> IAGI, ada yang berkenan membantu?).
>
> Kembali ke Satyana dan Asnidar (2008) yang mengutip Waluyo (2007),
> saya lihat tidak ada perbedaan antara Stage 2 dan Stage 3 evolusi mud
> diapir menjadi mud volcano, selain di Stage 3, erupsi telah terjadi
> (erupting mud volcano phase). Kalau saya tidak salah menangkap tulisan
> Pak Awang, justru yang ingin kita observasi adalah "sesaat" sebelum
> "syn-eruption", apa tanda mud diapir yang siap meledak dan menjadi mud
> volcano?
>
> Yang saya harapkan adalah misalnya (tanda-tanda sebuah mud diapir
> dalam kondisi kritis - sebelum gempa terjadi):
> 1. Puncak mud diapir sudah menggelembung membuat topografi di
> permukaan yang berbeda dengan kondisi di sekitarnya
> 2. Bukan hanya nomor 1, tapi sudah mulai tercium bocoran CH4 di
> sekitar "bukit" yang terbentuk oleh desakan mud diapir dari bawah
> 3. Sering ada suara-suara dari bawah yang menandakan ada gerakan tanah
> akibat tekanan yang sudah tertumpuk
> 4. Jika dilihat dari penampang seismik, kemiringan lereng melebihi
> sekian dan sekian derajat
>
> Dengan mengenali tanda-tanda itu sebelum erupsi pertama mud volcano
> berlangsung, mudah-mudahan kita bisa tahu bahwa lokasi mud diapir yang
> ada di desa A atau B atau C sedang berada dalam kondisi kritis,
> sehingga kita perlu mempersiapkan diri.
>
> Kembali ke LULA/LUSI dan trigger kecil (reaktivasi sesar Watukosek)
> serta trigger utamanya (gempa Jogja), selain rel yang bengkok (dan
> baru diketahui 4 bulan setelah gempa??) dan sungai Porong yang
> berkelok mengikuti zona lemah sesar itu, apakah kita memiliki
> observasi lain yang mendukung kesimpulan ini?
>
> Untuk sementara demikian dulu.
>
> Salam
> mnw
>
> --
> - when one teaches, two learn -
> http://www.geotutor.tk
> http://www.linkedin.com/in/minarwan
>
>
> --------------------------------------------------------------------------------
> PP-IAGI 2008-2011:
> ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
> sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
> * 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
>
> --------------------------------------------------------------------------------
> Ayo siapkan diri....!!!!!
> Hadirilah PIT ke-39 IAGI, Senggigi, Lombok NTB, 29 November - 2 Desember
> 2010
>
> -----------------------------------------------------------------------------
> To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
> To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
> Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
> No. Rek: 123 0085005314
> Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
> Bank BCA KCP. Manara Mulia
> No. Rekening: 255-1088580
> A/n: Shinta Damayanti
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net 
> <http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/%0AIAGI-net>Archive 2:
> http://groups.yahoo.com/group/iagi
> ---------------------------------------------------------------------
> DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted
> on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall
> IAGI or its members be liable for any, including but not limited to direct
> or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss
> of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any
> information posted on IAGI mailing list.
> ---------------------------------------------------------------------
>
>
>
>
>       Pemerintahan yang jujur & bersih? Mungkin nggak ya? Temukan
> jawabannya di Yahoo! Answers! http://id.answers.yahoo.com



      Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger. Tambahkan mereka dari 
email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke