Menarik juga, semenjak pilpres langsung boleh dibilang hampir semua partai jadi 
pemenang pemilu karena kemudian yg kalahpun ber-bondong2 jadi partai 
pemerintah, hanya sedikit partai bertahan jadi oposisi. Hal yg tidak 
mengherankan karena dgn jadi partai pemerintah bisa dikasih jatah kursi 
dikabinet ataupun dirut ataupun komisaris BUMN, dus artinya kekuasaan dan duit. 

 Seandainya saja anda mempunyai kekuasaan utk men-design ulang sistem orde 
reformasi ini, apa yg akan anda lakukan?
 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

 Yang harus direvisi itu partai-partainya.
 Hukum, desak, tekan mereka untuk mereparasi otak & moralnya.  

 

 --- jonathangoeij@... wrote:

 Menurut anda, seandainya UU Pilkada ataupun UU Pilpres itu direvisi, point2 
apa yg harus direvisi?
 
--- ajegilelu@... wrote :

 Bagus, berarti sekarang Anda sudah tahu siapa yang membuat undang-undang
 untuk kepentingan sesama bajingan itu.
 

 Selanjutnya saya ulang lagi pertanyaan mendasarnya: siapa yang memberi
 legitimasi kepada orang-orang partai (melalui pemilu) untuk berkuasa di 

 lembaga-lembaga negara sekaligus membuat undang-undang ini undang-undang itu
 yang tidak berpihak pada kepentingan Rakyat?
 

Sudah nggak jamannya lagi mempersoalkan partai Islam, partai nasionalis, 
 partai komunis dll karena semua jenis partai itu sekarang berideologi keuangan,
 bukan kebangsaan, kenegaraan, atau kemanusiaan. Anda nggak perlu heran 

 melihat polah partai-partai sekarang. Lebih baik simpan keheranan Anda sampai
 melihat masih ada saja yang menggebu membela, mendukung, dan memilih / 

 menjadikan partai-partai sontoloyo itu penguasa. Rakyat dibuat gontok-gontokan 

 sementara mereka duduk semeja haha-hihi sambil korupsi.
 

 Modalnya partai-partai sekarang ya cuma mental parasit.

 

 --- jonathangoeij@... wrote:

 

 Persyaratan jumlah KTP dan verifikasi faktual itu ada didalam UU Pilkada 2016. 
Saya lihat UU itu disetujui semua fraksi yg ada di DPR, kelihatannya disini 
semua fraksi berusaha mempersulit kehadiran calon independen. Dan karena 
fraksi2 itu merupakan kepanjangan tangan partai2 bisa juga dikatakan partai2 yg 
ada saling berkolaborasi menjegal calon perseorangan.
 

 Yang amat sangat mengherankan disini adalah semua partai politik berlandaskan 
Pancasila dan UUD 45, juga semua ormas, tetapi toh ada juga partai2 dan ormas2 
yg dgn enaknya mem-fatwa-kan keharusan memilih pemimpin yang beragama Islam, 
bahkan sedemikian masifnya, bukankah hal ini justru melanggar konstitusi itu 
sendiri?
 

 --- ajegilelu@... wrote:

 

 Ya, ceritanya akan terus memanjang tapi nggak kemana-mana,

 cuma muter-muter di tempat, selama para pendukung partai & paslon

 mau saja dibohongi pake janji-janji kampanye.

 

 Calon perseorangan samasekali tidak diperlukan selama partai-partai
 bekerja untuk kepentingan Rakyat. Selama partai-partai masih
 bermental garong, alternatif apa pun cuma menambah persoakan baru.

 Paling tepat ya partai-partai itulah yang harus dihukum karena menjadikan
 para pendukungnya sebagai alas kakinya untuk merampok negara.
 Kembalikan partai-partai ke kedudukannya semula sebagai penyambung

 sekaligus pelaksana kepentingan Rakyat. Hukum, desak, tekan partai-partai
 untuk membenahi mental bekerjanya agar membuat undang-undang yang

 berpihak kepada Rakyat.
 

 Lihat saja, Ahok batal jadi calon perseorangan kan lantaran dikerjai PDIP
 yang menggunakan jejaring mafianya di Kemendagri & KPU untuk merobah
 persyaratan jumlah KTP pendukung. Jadi ya cuma sesama bajinganlah yang
 mendukung keculasan seperti itu dan menyediakan suara dukungannya
 dijadikan alas kaki si Mega.
 

 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 Ceritanya agak panjang tetapi tentunya anda lebih tahu, awalnya dari UU 
Pilkada Tidak Langsung yg dikeluarkan DPR lama hasil pembahasan bersama 
Mendagri Gamawan Fauzi yg kemudian menuai protes keras itu, Presiden SBY 
kemudian mengeluarkan PERPPU Pilkada Langsung utk mengganti UU Pilkada Tidak 
Langsung. PERPPU itu dgn sedikit perubahan kemudian dijadikan UU Pilkada 2015 
yg hampir memakan korban Risma Walikota Surabaya yg di "calon-tunggal"kan, DPR 
kemudian merevisi lagi jadi UU Pilkada 2016 kali ini calon independen 
dipersulit sedemikian rupa.
 

 --- ajegilelu@,,, wrote:
 

 Nah, siapa yang membuat undang-undang untuk
 kepentingan para bajingan seperti itu?
 

 Kaum penjajah juga bekerja dengan melindungi diri 

 secara hukum melalui perundang-undangan.
 

 Siapa yang memberi legitimasi kepada partai untuk 

 membuat undang-undang?

 --- jonathangoeij@... wrote:
 


 Saya lihat persoalan yang ada terletak pada UU Pilkada 2016 yang notabene 
tidak memberi kesempatan pada masyarakat untuk mengajukan calon diluar partai 
politik yang ada, istilahnya calon perseorangan atau independen. Persyaratan 
surat dukungan ditambah KTP sedemikian banyak amat sukar dilakukan, selain itu 
sistem verifikasi faktual dengan metode sensus atau bertemu langsung tatap muka 
satu demi satu itu benar2 mendekati mustahil.
 

 Masalah lain adanya ketentuan kepala daerah lain harus mengundurkan diri kalau 
jadi calon, hal yg menjadi bantu sandungan besar mereka2 yg berprestasi dan 
sebenarnya mempunyai peluang yang besar.
 

 Dengan sistem yang ada sekarang ini akibatnya mereka2 yg maju jadi pesaing itu 
sebenarnya tidak kompeten tidak ada yg bisa dijual yg bisa kita lihat pada 
Pilkada DKI ini, yang dijual hanyalah bayang2 yg mboten2 yg lebih cenderung 
iming2 beli suara, sekedar utopis belaka. Celakanya karena menyadari ketidak 
kompetenan ini jadinya yang dijual malah SARA, benar2 hancur2an. Ciaklat!
 

 Seandainya saja calon independen itu tidak dipersukar sedemikian rupa, juga 
kepala daerah lain boleh mencalonkan diri tanpa harus kehilangan jabatannya 
yang sekarang, mungkin yg akan kita lihat Dolly dan Taman Bungkul vs. Kalijodo 
dengan skateparknya, universitas gratis vs. KJP, Kenjeran vs. Teluk Jakarta 
dlsb dlsb, apa saja yg telah dan akan dilakukan untuk mengatasi banjir, 
kemiskinan, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dll dll yg jauh lebih 
bermutu dibandingkan wacana penista agama. jenazah tidak disalatkan, isu2 
primitif itu.
 


 --- ajegilelu@... wrote :


 Ya, seperti yang saya bilang selama ini, sistem pemilihan umum yang 

 ada sekarang samasekali bukan untuk kepentingan Rakyat. 

 Pemilu terbukti cuma untuk kepentingan parpol dan orang-orang 

 yang mereka usung. Rakyat hanya dijadikan alas kaki orang-orang partai 

 untuk memasuki kawasan korup. Tambah konyol lagi, sejak pilgub 

 DKI 2012 Rakyat si alas kaki dipaksa berbenturan dalam sistem pemilu 

 ala kontes idol-idolan ini.
 

 Kurangajarnya, benturan sesama Rakyat ini diperluas ke skala nasional 


 mulai pilpres 2014, di mana para "alas kaki" dibuat ngotot membela 

 idola masing-masing sedangkan partai-partai asyik berhaha-hihi semeja 

 dan korupsi bareng. Nah, kali ini, melalui omongan Djarot, saya tunjukkan 

 secuil pertanda bagaimana partai menempatkan Rakyat hanya sebagai 

 alas kaki partai.
 


 Memang, Djarot terlihat mengutip omongan Ahok sampai "blabla" itu.
 Selebihnya, jelas dia bicara dengan memakai sebutan "kita". Waktu ditanya 

 siapa yang dia maksud dengan "kita", Djarot menjawab: "saya dan PDIP".
 


 Sekarang kita lihat kronologisnya. Pertama, persyaratan dari KPU untuk 

 calon perseorangan di DKI al. adalah pengumpulan KTP pendukung 

 sekurangnya 500 ribuan. Lalu, kita dengar pada bulan April 2016 Teman Ahok 

 berhasil kumpulkan lebih dari 500 ribu KTP (ada pesta syukurannya).
 

 Kedua, syarat KTP ini tiba-tiba dirobah. Ditambah menjadi satu juta KTP. 

 Tentu saja mengejutkan, walau tidak mengherankan. Apalagi perhatian 

 masyarakat saat itu sedang teralih ke berbagai peristiwa penting lain 
(semisal.. 

 pengunduran diri drummer Burgerkill, band kesukaan Jokowi, serta 

 mulai diputarnya film "My Stupid Boss" di bioskop, hahaa)... 


 

 Ketiga, tahu-tahu pada bulan Juni 2016 Teman Ahok syukuran lagi. 

 Katanya, 1 juta KTP terkumpul sudah.

 

 Dari kronologis tsb, omongan Djarot ini jelas menguak 
(Message over 64 KB, truncated)























Kirim email ke