[zamanku] [BUKU INCARAN] Kreatiflah dengan Alasan Kuat

2010-08-12 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Kreatiflah dengan Alasan Kuat
---Anwar Holid

Oh My Goodness, Buku Pintar Seorang Creative Junkies 
Penulis: Yoris Sebastian 
Penerbit: GPU, 2010
Ukuran: 14 x 21 cm  
Harga: Rp 68.000,-  
ISBN: 978-979-22-5526-3


Yoris Sebastian menggabungkan pengetahuan dan pengalaman kreatifnya dengan 
berbagai contoh bahwa kreativitas bisa berupa apa saja yang memungkinkan; baik 
berupa pengembangan dari hal yang sudah ada maupun berawal dari sesuatu yang 
dianggap mustahil karena aneh dan menentang arus---antara lain berupa penemuan, 
buah dari penelitian. Kita bisa belajar banyak tentang berpikir dan bertindak 
kreatif maupun menemukan ide-ide segar baik untuk bekerja dan menambah wawasan 
dari buku ini. 

Landasan isi buku ialah pengalaman kerja dan kehidupan penulisnya sebagai orang 
kreatif. Yoris menerima penghargaan tahunan International Young Creative 
Entrepreneur of the Year (2006) dari British Council. Dia menjadi berita karena 
merupakan General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat berusia 26 tahun 
(GM termuda kedua di Dunia). Di sini dia sukses menyelenggarakan acara yang 
secara umum diakui sebagai mahakaryanya, yaitu I Like Monday. Yoris menerima 
berbagai penghargaan terutama di bidang advertising dan entertainment. Kini dia 
adalah CEO OMG Consulting, yang kerap mampu memaksa mulut para klien menganga 
dan berkata 'oh my goodness' atas usulan-usulan mereka.

Buku ini mula-mula menerangkan kreativitas itu apa, seperti apa, bagaimana ia 
berperan dalam kehidupan maupun karir seseorang, cara menggali dan 
memanfaatkannya, mengasah maupun menambahnya, mengadopsi kreativitas pihak lain 
dan mengolah untuk kepentingan sendiri, lantas mengambil keputusan kreatif 
secara terkontrol tanpa lupa mempertimbangkan risiko. Dia banyak mengajukan 
contoh betapa kreativitas itu sangat luas dan mengejutkan, mulai dari pesulap 
hingga pebisnis sukses kelas nasional dan dunia.

Yoris menyebut dirinya sebagai 'creative junkie' (kecanduan oleh hal kreatif). 
Dia menerapkan kreativitas dalam banyak detail kehidupan, misal sengaja 
mengenakan arloji di tangan kanan, berlawanan dengan kebiasaan umum yang 
mengenakan di tangan kiri. Buku ini pun menanggung akibat salah satu keputusan 
kreatifnya, yaitu sengaja tanpa nomor halaman. Kalau tanpa nomor halaman, 
lantas kenapa buku ini sampai perlu dibagi tiga 'part' dalam sembilan 
'chapter'? Bukankah pembaca bakal kesulitan langsung menuju masing-masing 
topik? Ini memberi peluang bahwa pembaca bisa membaca buku dari mana saja tanpa 
perlu khawatir akan kehilangan keutuhan dan kepaduan akan pemikirannya.

Yoris merupakan contoh sempurna orang Indonesia yang gemar mencampuradukkan 
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris secara bersamaan baik lewat kosakata, 
istilah, maupun kalimat. Jangankan untuk ekspresi, dia sengaja menggunakan or 
untuk ganti atau. Isi buku ini pun sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, 
begitu juga babnya. Dia menggunakan 'chapter' alih-alih bab. Atau menulis 
begini: as easy as follow someone kreatif di twitter! Kenapa dia tidak sekalian 
menulis dengan ungkapan inggris? Oh my goodness, what a decision! Jadi jangan 
berharap banyak pada mode penyuntingan buku ini, terutama menyangkut 
copyediting. Buku ini sembarangan dan inkonsisten menggunakannya, misal 
penggunaan huruf kapital, italic, dan bold yang suka-suka. Dia menulis 
“Singapore” dan “tau” alih-alih “Singapura” dan “tahu.” Ada poin-poin yang 
ditulis italic, tapi di tempat lain normal. Di satu tempat nama majalah italic, 
di lain tempat tegak, sementara judul film
 dibiarkan tegak. Di halaman tertentu waffle ditulis tegak, di halaman lain 
italic---meski hanya penulis yang tahu apa itu artinya. Sementara sejumlah 
kosakata asing yang rasanya telah biasa kita dengar dan tahu artinya malah 
dicetak italic, seperti workshop, style, fresh, skill. Namun toh dia masih 
selip menulis Project Manhattan dan Dead Poet's Society, bukan Manhattan 
Project atau Dead Poets Society. Salah eja di halaman copyright buku ini 
pasti terjadi karena teledor dan tetap sulit diterima bila dinilai sebagai 
keputusan kreatif. 

Dengan tegas Yoris mengesankan bahwa kreativitas merupakan alat untuk mencapai 
keberhasilan. Kreatif idealnya berbanding lurus dengan kesuksesan dan 
kemakmuran. Semakin kreatif seseorang, akan semakin sukses dia. Anggapan ini 
jelas merupakan buah dari pandangan umum bahwa semua orang sekarang memang 
ingin tambah sukses dan makmur. Yoris mengingatkan jangan sampai kreatif 
semata-mata karena ingin beda. Kreatiflah dengan alasan kuat. Jangan sampai 
kita rugi hanya karena ingin disebut kreatif. Maka menurut Yoris kreatif yang 
gagal dijual itu sia-sia. Di sinilah pentingnya memperhatikan pemikiran dia 
mengenai thinking outside the box, execute inside the box---yakni agar orang 
tidak semata-mata aneh dan nyeleneh, tapi juga sungguh-sungguh mengantisipasi 
dan memperkirakan risiko seteliti mungkin dari kreativitasnya. Itu pentingnya 
memulai kreativitas dari hal kecil. Bila

[zamanku] [resensi] Bertaruh Nyawa untuk Menerbitkan Memoar

2010-08-06 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Bertaruh Nyawa untuk Menerbitkan Memoar
---Anwar Holid

The Ghost Writer (Sang Penulis Bayangan)
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Siska Yuanita
Penerbit: GPU, 2010  
Tebal: 320 halaman; format: 15 x 23 cm  
ISBN: 978-979-22-5562-1
Harga: Rp.50.000,- (Soft Cover)

The Ghost Writer perlahan-lahan tamat juga di sela-sela deadline kerja 
penulisan yang sempat bikin aku blank, karena harus menjelajahi subjek sulit. 
Tadinya aku pesimis bisa menamatkan novel ini karena perasaan bersalah lebih 
baik memburu target kerja dan berusaha keras terserap ke dalam tugas, tapi 
rupanya kadang-kadang aku tenggelam sebentar ke dalam novel ini. Novel ini aku 
baca dengan rasa gelisah karena kerja belum selesai, sementara deadline tambah 
dekat, dan seorang klien menghentikan kerja sama---entah untuk sampai kapan. 
Buku ini aku bawa-bawa ke Jakarta, sesekali aku baca di tengah angkot atau 
mobil dinas yang membawaku ke para narasumber yang mau diwawancarai, hendak aku 
serap pengalaman dan ilmunya.

Pada dasarnya The Ghost Writer bercerita tentang dua orang. Orang pertama itu 
ialah penulis bayangan (ghost writer) yang disewa untuk merevisi dan menulis 
ulang memoar mantan perdana menteri Inggris bernama Adam Lang. Orang kedua 
ialah Adam Lang sendiri. Ketika itu Adam Lang tengah diajukan ke Mahkamah 
Internasional oleh mantan menteri luarnya yang kini bekerja di PBB. Menteri 
luar negeri ini dulu dipecat Lang dari kabinetnya; dia seorang politisi senior, 
berpengaruh, dan integritasnya tampak terjaga. 

Lang dituntut atas kejahatan perang. Dia diduga memberi perintah penangkapan 
dan penginterogasian empat warga negara Inggris keturunan Pakistan atas desakan 
CIA, yang lantas dibawa paksa ke penjara Guantanamo. Lang juga diduga 
memerintahkan sebuah operasi rahasia yang dilaksanakan tanpa persetujuan 
parlemen. Meski dicintai warga negara Inggris dan politik luar negerinya 
berhasil, Lang tampak terlalu menjadi kolaborator Amerika Serikat dengan 
mendukung semua kebijakan perang melawan terorisme. Tuduhan kejahatan inilah 
yang membuatnya nyaris digelandang ke pengadilan internasional di Amsterdam. 
Beruntung dia tengah berada di Martha's Vineyard, sebuah pulau kecil di 
Massachusetts, Amerika Serikat, yang terkenal sebagai tempat liburan orang 
Amerika Serikat kala musim panas. Amerika Serikat tidak ikut mengakui 
pengadilan internasional. Jadi selama ada di sana, untuk sementara Lang aman. 
Sayangnya dia di sana kala musim dingin, di pulau terpencil pula; jadi
 suasananya benar-benar sepi, sebab hanya berisi segelintir penduduk setempat 
yang berprofesi sebagai nelayan, dan sehari-hari diterpa hujan deras dan badai. 
Istrinya terang-terangan bilang sebenarnya Adam Lang sudah bernasib seperti 
Napoleon Bonaparte yang diasingkan di pulau Elba. Sebenarnya, niat awal Lang 
ada di sana ialah menyelesaikan memoar politik pasca dirinya selesai menjadi 
perdana menteri. Memoar ini bukan saja bernilai jutaan dolar karena sudah 
terikat kontrak dengan penerbit raksasa, namun juga merupakan satu-satunya cara 
dirinya membela diri dan berpeluang menimbulkan pengakuan kontroversial. 
Sayangnya, sekretaris setianya, seorang staf politikus tiada tara, ghost writer 
pertama yang sudah menulis draft awal memoar itu, ditemukan tewas ketika hendak 
menyerahkan manuskrip ke penerbit. Maka disewalah ghost writer kedua, narator 
dalam novel ini.

Ghost writer kedua ini seorang oportunis. Dia satu almamater dengan Adam Lang, 
hanya beberapa tahun di bawahnya, apolitis, hidup melajang, dan tampak egois. 
Meski terbilang sukses berkarir sebagai ghost writer dan tahu posisinya dalam 
industri buku, dia berharap bisa meningkatkan karir karena selama ini kliennya 
rata-rata orang kelas dua, misalnya rockstar uzur dan karirnya sudah 
tenggelam tapi tetap merasa jadi mesiah, atau pemain sepak bola kasar yang 
merasa ucapan-ucapannya sekelas dengan Shakespeare. Mungkin dengan mendapat 
klien mantan perdana menteri, karirnya jadi melesat luar biasa.

Memang benar. Begitu sepakat mengerjakan proyek itu dan mendapat panjer (uang 
muka) besar, suatu hari dia dihajar orang asing yang hendak merebut manuskrip 
memoar sang mantan perdana menteri. Tapi halangan itu tak menyurutkan niatnya. 
Ketika benar-benar mulai mengerjakan proyek bersama Adam Lang, harapannya 
tampak semakin nyata. Sebagai pribadi, Adam Lang sangat mempesona. Dia seorang 
komunikator andal, pandai meyakinkan, sekaligus tegas dalam mengambil 
keputusan. Tapi dalam jalinan politik, kita sulit memastikan sebenarnya seperti 
apa pengaruh kebijakan-kebijakannya. Apa keputusannya membuat Inggris makin 
signifikan berperan di dunia internasional, kondisi ekonomi dan isu-isu 
keadilan bertambah baik atau terpuruk. Kita tahu bahwa sebagian dari politik 
ialah kompromi, baik dengan partai, kolaborator, bahkan dengan kekuatan musuh 
sekalipun. 

Sikap apolitis sang ghost writer pada satu sisi menyulitkannya bekerja dan 
menyelami ada apa sesungguhnya di dalam dan luar politik

[zamanku] (esai) Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi

2010-08-06 Terurut Topik Anwar Holid

Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi
---Anwar Holid

Film itu durasinya 13 menit. Ia membuatku tertegun, mengebor mata sampai 
bergetar, akhirnya memaksa butiran beningnya menetes. Ia menohok persis sesuatu 
yang rasanya kerap aku alami atau renungi, terutama saat dilanda depresi oleh 
nasib. Kemiskinan, juga rasa tiada berdaya karena gagal memenuhi kebutuhan 
hidup paling sederhana sekalipun, cuma kadar yang mereka alami lebih ekstrem. 

Tadinya, kawan yang memberi video ini bilang, Bisa enggak kamu bikin proposal 
dari film ini? Proposal? tanyaku. Aku hanya bisa bikin proposal penerbitan 
buku, bukan untuk mempersuasi perusahaan atau orang-orang kaya-dermawan untuk 
berbuat sesuatu atau bederma menolong sesama. Tapi aku bilang, Aku kenal 
satu-dua orang yang terbiasa mengurus bakti sosial atau hibah untuk masyarakat. 
Bisa juga mendekatkan orang yang mau melaksanakan CSR atau aktivitas seperti 
bisnis sosial. CSR dan bisnis sosial adalah jargon kapitalisme yang sangat 
sulit aku pahami, meskipun aku tahu kini banyak perusahaan mempraktikannya. 
Bahkan CSR telah menjadi standar di setiap company profile; sementara bisnis 
sosial sukses dijalankan oleh orang seperti Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, 
juga Ashoka Foundation. Sempat kerja sama dengan 1 - 2 BUMN membuat aku tahu 
bahwa mereka menyediakan dana CSR sangat besar. Aku bahkan pernah dengar ada 
BUMN yang bingung mau berbuat apa lagi
 saking begitu besar dana CSR yang mereka miliki. 

Film itu memperingatkan aku agar jangan berhati kerdil. Dulu kala mahasiswa aku 
pernah bekerja bakti bersama kawan-kawan dengan 1 - 2 hari tinggal bersama 
keluarga miskin di masyarakat desa pinggiran Bandung, di balik-balik perbukitan 
yang indah dan permai. Untuk mendapat ilmu, pernah juga aku hidup beberapa hari 
di pesantren yang jorok di kota lain. Sementara sekarang aku justru 
kadang-kadang nelangsa memperjuangkan nasib sendiri, berusaha memahami betapa 
hidup itu ada-ada saja kejadiannya. Seperti kemarin aku menerima sms kawan, 
bunyinya: 'mengapa ya uang selalu mempermainkan hidup kita? di kala banyak uang 
kita senang dan tenang, sebaliknya ketika enggak ada, kita sedih dan panik.' 
Aku jawab: 'aku juga bingung soal uang. kemarin kepikiran mau nulis status 
begini: mana yang lebih mengerikan: kehilangan uang atau kehilangan tuhan? tapi 
urung aku lakukan karena merasa malu.' Bukan berarti kepedulian sosialku jadi 
rendah atau hilang; sebaliknya, aku
 merasa status sosialku masih rapuh, maka lebih baik memperbaiki nasib sendiri. 
Sebagian orang mungkin tak perlu kita kasihani, sebab mereka berjuang keras 
untuk diri sendiri.

Nah, bagaimana kalau kita tidak tinggal 1-2 hari bersama orang miskin dan 
kekurangan, melainkan ikut bergumul dengan lumpur, di medan lokasi yang berat, 
transportasi dan aksesibilitas seadanya, sanitasi buruk, kekurangan gizi, 
tingkat pendidikan rendah, dan sebagian masyarakatnya tertinggal begitu jauh 
dari peradaban yang Anda miliki? Kalau mau, Anda bisa cabut dari sana, atau 
sesekali pelesir ke kota terdekat untuk mendapatkan udara segar.

Tersebutlah kecamatan Peundeuy, di kabupaten Garut, jaraknya kira-kira 150 km 
dari Bandung ke arah selatan. Di peta biasa provinsi Jawa Barat, kecamatan ini 
bahkan tidak tercantum. Namanya kalah oleh Pameungpeuk, yang terkenal karena 
punya pantai. Mungkin Pameungpeuk dan Peundeuy tidak sejalur, tapi dalam peta 
wilayah yang lebih detail, ia berada sebelum Pameungpeuk. Kecamatan ini berada 
di antara perbukitan dan sawah-sawah yang mungkin menawarkan pemandangan asri 
serta menakjubkan, rata-rata wilayahnya berada pada 100 - 1000 m di atas 
permukaan laut, dengan derajat kemiringan mayoritas di atas 40 persen. Tapi 
bagaimana kita percaya bahwa di tempat seperti itu kemiskinan dan 
ketertinggalan begitu nyata terwujud? Di sana masih ada jembatan gantung dari 
bambu, rumah-rumah berbilik bambu yang sudah bolong-bolong, hanya punya satu 
sekolah SMP dan SMU, dengan gedung semi permanen dan tembok sebagian besar 
sudah mengelupas. Tingkat drop out anak-anak SD di
 sini tinggi sekali, dan dilihat dari film itu, bangunan SD-nya amat 
mengenaskan. Kalau Bill Gates atau beberapa kawanku drop out dari universitas, 
mungkin masih bisa jadi cerita menarik; tapi apa yang bisa kita harapkan dari 
anak yang drop out SD? Mereka bakal jadi pengusaha kelereng? Tidak. Setelah 
putus sekolah, kebanyakan dari mereka kawin pada usia dini, merantau ke kota 
besar seperti Bandung dan Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh 
serabutan, maupun penjual asongan butong (seribu sekantong). Kondisi ini 
mengingatkan aku pada film Not One Less. Terdiri dari enam kelurahan dengan 
luas sekitar 5.679 ha, Peundeuy berada sekitar 65 km dari ibukota kabupaten 
Garut---yang terkenal oleh industri dodol dan kerajinan lainnya.

Sejumlah sarjana dari beberapa perguruan tinggi terkemuka Indonesia dan 
berbagai disiplin ilmu ternyata sudah berada di Peundeuy sekitar delapan tahun 
terakhir ini, hidup bersama masyarakat

[zamanku] [PUBLISITAS] Perjalanan yang Penuh Muatan

2010-08-06 Terurut Topik Anwar Holid
[PUBLISITAS] 

Perjalanan yang Penuh Muatan
---Anwar Holid

BANDUNG - Apa perjalanan bisa mengubah seseorang? Apa yang sebenarnya berubah 
dalam dirinya? Apa setiap perjalanan selalu menggetarkan? Rasa penasaran 
sejenis ini muncul dari para hadirin di acara publisitas buku Jingga (GPU, 
2010) karya Marina S. Kusumawardhani di Potluck Coffee Bar  Library, Bandung 
pada Kamis, 22 Juli 2010. Jingga merupakan buku keduanya setelah Keliling Eropa 
6 Bulan Hanya 1000 Dolar (GPU, 2008) yang sangat sukses, padahal sebenarnya 
perjalanan ke kedua negara kita itu dia lakukan lebih awal, yaitu ketika masih 
jadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung, antara tahun 2003 - 2004. Perjalanan 
ke India dan Thailand itu dia sebut sebagai perjalanan untuk mencari surga di 
bumi---tampaknya lebih menjadi renungan spiritual daripada sekadar pergi ke 
tempat eksotik yang dianggap memiliki daya tarik mistik.

Obrolan yang dihadiri puluhan backpacker, kawan sealma mater, juga teman-teman 
cybernya itu berlangsung sederhana, tanpa basa-basi. Ini merupakan diskusi 
kedua setelah launching di Kinokuniya, Jakarta, awal Juli lalu. Marina mengaku 
buku itu lahir dari upaya penemuan diri, pencarian makna, dan perpisahan. 
Dorongan lebih kuat lagi muncul setelah dua kawannya meninggal karena krisis 
eksistensial. Mengapa India dan Thailand? Jawaban sederhananya waktu itu dia 
terinspirasi oleh perjalanan band Kula Shaker ke India. Band dari Inggris ini 
pernah sempat melahirkan hit Govinda yang meleburkan unsur musik India dan 
alternative rock. Marina lebih dari sekadar histeria terhadap band ini, 
melainkan berusaha menemukan arti dari lirik-lirik mereka. 

Imajinasiku ketika pergi ke kedua negara itu ialah dominan jingga, katanya. 
Mulai dari pakaian para bhiksu, sinar matahari, suasana alamnya. Itulah yang 
menyatukan kedua negara tersebut. Tapi ternyata, di ujungnya perjalanan itu 
semua bergantung pada suasana batin pelakunya sendiri. Kata dia, Mau seindah 
apa pun, yang fisikal itu akhirnya memudar. Jadi ada sesuatu yang lebih dalam 
dari perjalanan, misalnya belajar soal adaptasi, keterbukaan, serta menelusuri 
jalan kebahagiaan. Dia mengisahkan ketika berada di Kashmir, sebuah wilayah 
konflik di bagian utara India yang berbatasan dengan Afghanistan dan Cina. 
Waktu itu di sana sedang kuat-kuatnya solidaritas agama, terutama Hindu dan 
Islam, padahal itulah salah satu sumber konflik. Dia merenung, kalau begitu apa 
arti agama? Kenapa pada tahap tertentu ia malah menjadi sumber kehancuran, 
apakah ia cuma topeng dan identitas yang bisa memisahkan golongan manusia? Atau 
ia menjadi jalan manusia untuk mencapai
 Tuhan? Marina berpendapat bahwa umat beragama itu pada dasarnya sedang 
berjalan menuju Tuhan. Cuma persoalannya, apa perjalanan itu sampai ke sana 
atau tidak, demikian tandasnya. Mungkin itu sebabnya Wimar Witoelar 
berkomentar bahwa Jingga menjadi santapan mental yang jauh lebih luas. Bagi 
Wimar, buku ini memberi kenikmatan membaca sekaligus menambah perlengkapan 
orang mengarungi kehidupan multibudaya---yang rentan hilang dalam masyarakat 
karena fanatisme golongan, daerah, suku, dan agama.

Yang membuat para backpacker bertanya-tanya dengan nada takjub ialah pengalaman 
Marina tentang budget dan menemukan muatan dari perjalanan tersebut. Karena 
tahu setiap perjalanan butuh biaya, sebagian backpacker mengaku sudah berusaha 
sangat hemat, tapi menurut mereka yang dilakukan Marina ternyata super-duper 
hemat. Apa dia mengorbankan kenyamanan atau kemewahan lebih dari 
segala-galanya? Menurut Marina, itu tergantung definisi masing-masing orang 
terhadap yang dijalani atau dinilainya. Dia bahkan baru kenal istilah 
backpacker ketika berada di Thailand dan sadar ternyata membentuk komunitas 
pertemanan yang amat besar di dunia ini.

Perjalanan itu semakin spontan, semakin terbuka pada banyak hal, akan semakin 
bagus dan seru, katanya. Marina juga berpendapat perjalanan ke suatu tempat 
itu jauh sangat bermakna dan nyaman bila kita kenal dengan orang setempat, 
apalagi bila membuahkan pertemanan yang langgeng. Sekadar jalan-jalan ke suatu 
kota dan berpotret-potret di sebuah landmark akan membuat capek dan 
membosankan. Perjalanan yang hebat idealnya melahirkan pengalaman dan 
pengetahuan bagi pelakunya. 

Berdasarkan nilai dan budayanya, Marina yakin bahwa orang Indonesia itu jauh 
lebih adaptif dan terbuka pada budaya dan orang luar. Kita cenderung melihat 
orang lain sebagai teman, berbeda dengan orang barat yang biasanya mula-mula 
membedakan orang dalam tiga kategori, yaitu orang asing (stranger), teman 
(friend), dan rekan kerja (colleague).[]

Silakan kenalan dengan Marina di Facebook:
http://www.facebook.com/jedimarina

Link detail buku:
http://www.gramedia.com/buku_detail.asp?id=KFAQ0535kat=3

_
Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor,  publisis. Buku barunya ialah 
Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com

[zamanku] [esai] Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving

2010-08-06 Terurut Topik Anwar Holid
Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving
---Anwar Holid

Seorang kawan yang tahu bahwa bukuku akan diterbitkan GPU suatu hari bertanya, 
'Degdegan enggak anak barunya mau lahir?'
'Enggak sih, cuma aku berharap banget jangan sampai melakukan kesalahan fatal 
di buku itu.'
'Memang kenapa?'
'Aku kan rewel sama editan buku-buku yang aku baca. Kalau bukuku sendiri banyak 
salah eja misalnya, tentu menyedihkan. Bisa malu sendiri aku. Apalagi ini buku 
tentang penulisan.'
'Ha ha ha... mengkritik memang mudah ya?'
'Enggak juga sih. Yang penting kan ada dasarnya. Cuma akan konyol kalau aku 
melakukan kesalahan serupa. Takut blunder.'
'Terus apa yang kamu lakukan?'
'Aku sudah bilang ke editor yang ngurus bukuku agar mengusahakan jangan sampai 
ada kesalahan. Supaya hati-hati. Aku juga begitu. Kami sudah ngobrol dan saling 
berusaha. Apalagi naskah ini juga sudah dibaca sama orang lain. Jadi ada 
pembanding.'
'Apa harapan kamu setelah buku itu terbit?'
'Aku berharap minimal tiga hal: (1) penjualan buku itu laris; (2) bermanfaat 
bagi banyak orang; (3) dikritik habis-habisan. Karena itu aku lagi usul ke 
bagian promosi GPU agar bisa mengadakan publisitas untuk buku itu. Syukur kalau 
bisa beberapa kali.'
'Semoga dikabulkan. Enggak semua orang bisa mendapatkannya.'
'Benar.'

Buku ini berjudul KEEP YOUR HAND MOVING, diterbitkan GPU pada akhir Juli 2010.

Waktu terakhir kali memeriksa cetak coba buku itu, muncul salah eja 
mengagetkan, misal ada tulisan 'berkecupan', padahal di naskah asli aku menulis 
'berkecukupan.' Bagaimana bisa muncul kesalahan seperti itu? 

Kawan lain bertanya, 'Apa ini buku tentang motivasi menulis?'

Sebenarnya ini bukan buku murni tentang cara menulis setahap demi setahap. Yang 
lebih aku tekankan pertama-tama ialah mempersuasi orang untuk menulis sebebas 
mungkin, abaikan dulu soal tetek-bengek bahasa. Aku ingin bilang 'ayo menulis 
secara bebas dan rasa senang, terus kita perbaiki perlahan-lahan lewat 
disiplin, biar luwes.' Baru nanti di ujung buku aku sebut pentingnya standar 
bahasa, EYD, menulis secara rapi, dan berusaha jangan sampai melakukan 
kesalahan elementer yang bisa menodai kredibilitas penulis. Menulis dengan baik 
dan  rapi itu menguatkan kepercayaan orang lain. Aku lebih suka bilang ini buku 
tentang berbagi soal penulisan.

Komentar dia, 'Siapa tahu kalau disebut sebagai buku panduan maka lebih jelas 
dan tegas.'

Sang editor menimpali: 'Ada fakta bahwa subjudul yang simpel dan komunikatif 
biasanya justru akan membuat sebuah buku lebih laku. Toh, judul utamanya sudah 
cukup stylish. Tak ada salahnya dengan kata panduan.'
 
Maka editor memilihkan subjudul 'Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya' 
untuk buku tersebut.

Keep Your Hand Moving intinya mengajak orang menulis sesuai maksud, ekspresif, 
dan rapi. Mula-mula buku ini berusaha membangkitkan saraf dan kebiasaan 
menulis, berani mewujudkan ide jadi tulisan yang utuh, enak dibaca, layak 
publikasi---baik untuk ditawarkan ke media massa atau penerbit maupun disebar 
ke publik lewat berbagai cara. Banyak orang suka menulis, tapi caranya kerap 
sembarangan, mengabaikan aturan umum, sementara mereka buta standar yang 
berlaku, padahal ingin tulisan itu dibaca massa. Maka sering terjadi 
miskomunikasi. Di sini pentingnya menguasai norma bahasa, karena ia 
menyetarakan cara berpikir. Dengan itulah penulis dan pembaca jadi 'nyambung.'

Penulis juga perlu mampu menilai, menganalisis, dan mengedit karya sendiri, 
melenturkan tulisan atau menggayakan cara bertutur agar lebih hebat dan 
bertenaga. Ujungnya menyemangati untuk mau belajar dari karya orang lain, 
pantang menyerah, dan terus menciptakan karya terbaik.

Materi naskah buku ini awalnya berasal dari dua workshop penulisan yang di sana 
aku jadi gurunya, ditambah tulisan ketika aku diundang jadi instruktur atau 
bahan diskusi di workshop lain. Setelah aku coba utuhkan isinya, proposal 
bukunya aku ajukan ke GPU. Aku memohon endorsement kepada delapan orang untuk 
buku ini; lima di antaranya bersedia memberi, yaitu Hernowo, Ignatius Haryanto, 
Arvan Pradiansyah, Adenita, dan Akmal Nasery Basral. 

Semoga Keep Your Hand Moving bisa menjadi bacaan berharga bagi mereka yang 
bermaksud ingin mengungkapkan gagasan, melampiaskan perasaan, dan sama-sama 
berusaha meningkatkan kualitas tulisan. Beberapa bulan lalu ada kawan lamaku 
kirim email begini: 'Aku ingin belajar nulis, euy. Harus bagaimana ya?' Buku 
ini semoga bisa menjawab pertanyaan sejenis itu.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141


  


[zamanku] Esai: Tulisan untuk Mengenali Diri Sendiri

2010-07-09 Terurut Topik Anwar Holid
Esai: Tulisan untuk Mengenali Diri Sendiri
---Anwar Holid

Esai itu mirip rok mini: cukup panjang untuk menutupi subjek, cukup pendek biar 
kelihatan menarik.
---Anonim

Esai ialah pendapat pribadi atas hal tertentu atau menyampaikan gagasan 
mengenai sesuatu. Kalau begitu, apa bedanya dengan opini? Pada dasarnya, 
keduanya sama saja, sebab opini juga berarti pandangan pribadi mengenai 
sesuatu. Mereka hanya beda sedikit saja. Misal topik tentang rokok. Dengan 
pendekatan atau teknik tertentu, tulisan tersebut bisa menjadi esai atau opini. 
Kalau kita mengeksplorasi rokok dari kenikmatan mengonsumsinya, kapan pertama 
kali berkenalan dengannya, apa yang terjadi pada dirinya selama merokok, betapa 
rokok mengingatkan seseorang akan ayahnya yang tega membeli rokok untuk diri 
sendiri daripada memberi uang untuk istri atau jajan anaknya---kemungkinan 
besar tulisan itu akan jadi esai. Sebaliknya, kalau kita menulis tentang dampak 
merokok pada kesehatan, betapa industri rokok menyumbang besar bagi ekonomi 
negara, bisa menyerap tenaga kerja besar-besaran---bisa jadi akan melahirkan 
opini.

essay: A short written composition in prose that discusses a subject or 
proposes an argument without claiming to be complete or thorough exposition. 
The essay is more relaxed than the formal academic dissertation. 
---The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms

Ada esai yang ditulis secara formal dan informal. Esai formal, sebagaimana 
sering kita baca dalam opini, jurnal ilmiah, atau makalah (paper), 
pendekatannya resmi, termasuk waktu memaparkan masalah, menarik kesimpulan, 
juga gaya bahasa dan penyampaiannya. Meski sama-sama mengutip buku, pendapat 
orang, atau menceritakan suatu peristiwa, esai informal dan formal mudah 
dibedakan. Seperti apa?

(1) Bahasa esai imajinatif. Ia bersifat lentur, mengalir, enak dinikmati, 
membuat kita terpikat untuk menuntaskan, menikmati pemaparan penulis. Bahasa 
imajinatif bisa muncul berkat pilihan kata yang tepat dan kaya, ungkapannya 
segar, maupun pernyataan yang mampu membuat pikiran orang mengembara. 

Istilah mengalir dipengaruhi oleh kepaduan (koherensi) antarparagraf, karena 
ia memuluskan pembacaan, tidak loncat-loncat---lebih buruk lagi bila membuat 
pembaca merasa tersandung-sandung atau terperangkap. Inkoherensi antarparagraf 
berpotensi membingungkan karena pembaca butuh jangkar untuk mengaitkan 
informasi agar menjadi satu pemahaman utuh. Memang mungkin saja komposisi 
sebuah tulisan kompleks; namun selama keterkaitannya terjaga, tulisan itu tetap 
berpeluang enak dinikmati. 

essay: Short nonfiction prose piece: a short analytical, descriptive, or 
interpretive piece of literary or journalistic prose dealing with a particular 
topic, especially from a personal and unsystematic viewpoint.
---Encarta® World English Dictionary

(2) Esai menonjolkan pendapat pribadi. Semua definisi mengaitkan esai dengan 
pandangan pribadi. Ciri ini kerap membuat esai dipandang sebelah mata, yaitu 
khawatir bahwa pandangan pribadi yang subjektif itu pasti berat sebelah dan 
ujung-ujungnya dicap tidak ilmiah. Padahal pendapat pribadi mengutamakan 
kedalaman keterlibatan orang terhadap subjek yang dijelajahinya, sejauh mana ia 
mau menggali persoalan sampai ke intinya. Karena sungguh-sungguh terlibat, 
harapannya orang bisa berpendapat secara jernih, jujur. Di sinilah nilai 
penting esai: ia merupakan upaya seseorang menemukan kebenaran. Kebenaran yang 
mana? Minimal kebenaran bagi penulisnya dan subjek yang hendak dia paparkan.

Esai menunjukkan bahwa pendapat pribadi juga sah untuk menerangkan sesuatu. 
Pendapat penulis, orang yang dikutip, juga subjek tulisan bisa menjadi pijakan 
pendapat, karena integritas dan keunggulan seseorang bisa 
dipertanggungjawabkan. Orang punya pertimbangan rasional untuk mengajukan 
pendapat. Sayang sebagian orang suka kurang percaya diri untuk mengajukan 
pendapat (anggapan) sendiri, akibatnya ia lebih suka mengutip pendapat orang 
lain yang dianggap lebih otoritatif atau valid untuk menopang pendapatnya.

Dari segi isi, esai lebih merupakan upaya untuk memahami persoalan atau 
fenomena daripada menerangkan. Orang boleh jujur menyatakan pikiran terdalam, 
penolakan, kebingungan, bahkan paling liar sekalipun, juga meraba-raba suatu 
fenomena akan bermuara ke mana. Esai memberi ruang renung yang spekulatif. Di 
buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden merenungi 
makna sastra Indonesia setelah membaca dan menginterpretasi sejumlah karya 
sastrawan Indonesia. A. Sudiarja dalam Bayang-Bayang (2003) merenungi manfaat 
filsafat bagi kebajikan manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

essay: A moderately brief prose discussion of a restricted topic. 
---A Handbook to Literature

Esai itu fleksibel. Kita bisa menulis hal sepele seperti fanatisme pada pulpen 
tertentu hingga masalah berat bagaimana nasib budaya baca di tengah gempuran 
budaya tonton. Esais bisa membahas panjang-lebar subjek tertentu---misal 
mengenai kesakitan

[zamanku] [BUKU INCARAN] Raksasa Bedah Saraf dari Klaten

2010-06-18 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Raksasa Bedah Saraf dari Klaten
---Anwar Holid

Tinta Emas di Kanvas Dunia
Penulis: Pitan Daslani 
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9

Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS 
Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang 
spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, 
lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: Ibu, kondisi suami sangat 
gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do 
nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam 
beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti 
apa, saya tidak tahu. 

Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya 
dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya menurun.

Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan 
melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan 
kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi 
pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani 
pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran 
demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi 
menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis 
keluarga. 

Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), 
setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: Bapak mengalami 
perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana 
dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for 
sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh. 

Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan 
keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan 
pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan 
kemampuan maksimal.

Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human 
error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. 
Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan 
komitmen profesi kami, demikian katanya pada seorang wartawan.

Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan 
Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh 
puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat 
betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap 
bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, 
Kepala Bedah Saraf di Neurological  Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika 
Serikat berkomentar, Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama 
sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di 
Indonesia.

Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses 
melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran 
Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah 
organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel 
vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. 
Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, 
istilahnya mengalami brain-dead. 

Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang 
pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini 
tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang 
otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 
20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala 
halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia 
sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya 
berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu 
melakukannya.

Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi 
sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah 
dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli. 

Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan 
kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of 
neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita 
terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum 
punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia 
bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu 
pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak 
Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta 
sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar

[zamanku] [RESENSI] Malcolm Gladwell yang Penasaran

2010-05-30 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Malcolm Gladwell yang Penasaran
---Anwar Holid

What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: GPU, 2010
Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm  
ISBN: 978-979-22-5249-1 
Harga: Rp.80.000,-  

Keingintahuan mengenai apa yang ada di balik pekerjaan harian orang lain 
adalah salah satu dorongan paling mendasar pada manusia, dan dorongan itulah 
yang menyebabkan buku yang sekarang Anda pegang ini ditulis, demikian kata 
Malcolm Gladwell di pengantar What the Dog Saw (GPU, 2010, 461 hal.) Dia terus 
memelihara dan mengembangkan rasa ingin tahu terhadap sembilan belas macam 
kepenasaran dengan matang. Rata-rata menghasilkan esai yang sangat panjang 
untuk ukuran artikel bernada investigatif demi mengorek suatu subjek, kemudian 
menuliskannya dengan sangat lincah dan menggigit. Semua pembaca buku Gladwell 
sudah tahu betapa kuat ciri khas tulisannya, dan betapa tulisan itu membuat 
ketagihan. 

Petualangan Gladwell demi menelusuri suatu fenomena di dalam What the Dog Saw 
bisa dibaca dari mana saja. Kita akan segera tahu betapa rasa penasaran manusia 
itu memang meluap-luap, tak terbendung bahkan oleh teka-teki atau misteri 
paling gelap sekalipun. Buku ini menyajikan lebih banyak lagi menu tentang 
betapa manusia dan drama kehidupannya bisa melahirkan peristiwa yang kerap 
terlalu sulit untuk saling diprediksi. Manusia bergerak lebih cepat dari 
prasangka ataupun prakiraan orang lain; mereka suka membuat kecele orang yang 
mencoba menangkap gelagatnya. Betul manusia bisa menganalisis, menebak, dan 
memprediksi, tapi hasrat dan antisipasi lebih cepat lagi bergerak menanggapi 
analisis.

Rasa penasaran ada yang sederhana dan rumit. Kalau perempuan ingin mengecat 
rambut dengan warna tertentu, bisa jadi itu teka-teki sederhana; sementara 
kalau kita ingin tahu bagaimana polisi dan detasemen khusus menentukan target 
operasi terorisme, mungkin itu misteri yang hebat dan mendebarkan. Tapi sama 
saja: keduanya butuh jawaban, dan orang seperti Gladwell dengan segala cara 
berusaha menjelaskannya. Upayanya jelas telah sukses membuat jutaan orang suka, 
meski tidak semua. Sebagian orang menilai Gladwell terlalu simplisistik 
(menggampangkan) dan mengabaikan faktor penting lain dalam berbagai fenomena 
yang rumit; dan itu membuat mereka menilai tulisannya sebagai pseudosains. Tapi 
yang jelas kehebatannya meyakinkan orang banyak sulit ditandingi. Wajar bila 
media massa seperti Time, Newsweek, juga GQ menobatkan Gladwell sebagai penulis 
yang dewasa ini paling mempengaruhi cara orang berpikir.

Gladwell memilah What the Dog Saw dalam tiga bagian. Urutan paling menariknya 
justru dari belakang. Di bagian ketiga dia membahas tentang kepribadian, sifat, 
dan kecerdasan manusia. Dia membicarakan kenapa sebagian orang sudah genius 
sejak muda, namun sebagian lain justru baru panas setelah berusia matang? Apa 
beda kesuksesan teori relativitas dan keberhasilan perusahaan semacam 
Microsoft? Bagaimana polisi mengembangkan teori kejahatan dan menangkap 
tersangka terorisme padahal ciri penjahat sangat kabur dan mudah sekali 
berubah? Kenapa seseorang bisa panik dan akhirnya kalap? Dan kisah-kisah yang 
lebih menyangkut indra, emosi, dan pikiran daripada sesuatu yang fisikal.

Di bagian kedua dia mengembangkan teori, prediksi, dan diagnosis. Misal seperti 
ini: kenapa perusahaan yang sangat terbuka, dikelola dengan baik, diisi 
orang-orang cerdas kelas satu, berkembang pesat, punya kapital luar biasa, 
sahamnya diminati investor, punya semua kriteria unggul, memenuhi standar 
kehebatan macam-macam, toh akhirnya bangkrut dan gagal diselamatkan? Kenapa 
badan intelijen yang punya analisis tiada terperi tetap gagal menemukan Osama 
bin Laden? Semuanya paradoks rumit yang bisa melahirkan kisah penelusuran 
menarik.

Di bagian pertama dia menulis tentang genius minor, yaitu orang hebat yang 
perannya dianggap sepele, seperti pawang anjing, produsen pewarna rambut, atau 
raja saus tomat. Padahal kerja dan temuan mereka hebat juga. Gladwell membuat 
mereka jadi setara dengan penemu penting kelas dunia. Bayangkanlah bila orang 
Indonesia tak kenal sambal, bagaimana rasanya. Tapi kenapa kita tidak tergerak 
untuk menelusuri, siapa yang pertama-tama membuat ramuannya?

Meski begitu, isi ketiga bagian buku ini masih terasa inkonsisten. Sebab di 
bagian pertama kita bisa menemukan tulisan tentang Nassim Nicholas Thaleb yang 
terkenal berkat The Black Swan, yaitu teori probabilitas untuk menerangkan 
falsifikasi. Dia jelas bukan tipe genius minor. Sementara di bagian kedua dan 
ketiga kita bisa menemukan topik agak ringan, seperti contek-mencontek karya 
yang bercampur dengan ilham atau hasil riset dan bagaimana seekor anjing 
menentukan ada kejahatan di depan matanya.

Keunggulan Gladwell tampaknya berporos pada dua hal: (1) cara berpikirnya unik 
dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan; (2) cara

[zamanku] [BUKU INCARAN] Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia

2010-04-03 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia
---Anwar Holid


The Ninth (GPU, 2010, 296 hal.) berkisah tentang seorang anak kesembilan dari 
sebelas bersaudara. Dia berumur sembilan tahun, kira-kira kelas 4 SD. Dia bukan 
anak bungsu, melainkan punya dua adik, anak ketiga terakhir. Seorang saudaranya 
sudah meninggal waktu kecil, satu saudara sulungnya sudah menikah, tinggal di 
kota lain, di Debrecen. Di novel ini angka sembilan terasa mencolok, sengaja 
dipilih, mungkin punya mitos tertentu. Pilihan judul The Ninth tampak 
menekankan sesuatu. Apalagi novel ini terdiri dari sembilan bab.

Keluarga si anak ini miskin. Rumah sementara mereka sempit dan umpel-umpelan, 
tidur seranjang bertiga. Untuk menunjang ekonomi, keluarganya bisnis 
kecil-kecilan benda-benda religius Katolik seperti rosario dan salib, dijual ke 
gereja di sekitar kota mereka tinggal di Hongaria, dipasarkan oleh ayahnya. 
Mereka tinggal di kota kecil tanpa nama, kemungkinan di sekitar Debrecen, 
karena seluruh anak itu lahir di sana. Kalau tidak, mereka tinggal di dekat 
perbatasan Romania, sekitar tahun 1960-an, ketika negeri itu di bawah rezim 
komunis. Ayahnya pekerja keras, rewel, kaku. Ibunya bekerja paro waktu di 
pabrik pulpen, religius, tadinya ingin jadi pianis, mencintai sastra, dekat 
dengan pengurus gereja, bahkan mengarahkan anak-anaknya untuk beraktivitas di 
sana, misal dengan menjadi anak altar, penyanyi gereja, dan pembantu pastor 
bila ada orang meninggal. 

Karena terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi, anak-anak dalam keluarga ini 
terabaikan. Sampai-sampai secara ironik anak kesembilan ini bilang bahwa 
kebanyakan saudaranya punya kelainan, entah cacat fisik atau kesulitan belajar. 
Kecelakaan terakhir yang dia saksikan ialah jemari seorang saudaranya putus 
karena terjepit oleh hentakan ranjang lipat. Meski begitu mereka suka gotong 
royong dan sama-sama kerja keras waktu mengerjakan kerajinan, termasuk 
kakak-kakaknya harus ikut membangun rumah idaman yang akan mereka tinggali 
kelak. 

Untuk mencari kesenangan di tengah kegaduhan keluarga, anak ini suka kelayapan 
sehabis pulang sekolah, baik ke stasiun tempat ayahnya pernah bekerja, juga ke 
rumah orang dan toko-toko yang ada di sana sekadar untuk melihat-lihat barang 
yang gagal dia dapat atau membaui aroma roti dan daging panggang di sebuah toko 
kue. Di sekolah, dia juga mengalami penindasan (bullying), mulai dari berupa 
celaan sampai secara fisik oleh kakak kelasnya. Saat kelayapan itu dia 
menemukan banyak hal. Dia tahu ada ayah teman sekelasnya tiap hari mabuk sampai 
harus dibopong ke luar dari bar oleh anak-anaknya. Dia suka mengintip rumah 
lain karena tampak sangat berbeda dengan rumahnya yang sumpek dan selalu ribut. 
Untuk mendapat uang saku, dia menjadi anak altar. Dia tambah senang bila ada 
orang meninggal, karena itu berarti uangnya bisa tambah banyak, membuat dirinya 
bisa jajan berbagai makanan di toko-toko dekat stasiun. 

Suara anak kecil dalam The Ninth muncul dengan intensitas tinggi. Anak ini juga 
pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi 
kebutuhan keluarga, seorang kawannya menyembunyikan foto perempuan telanjang, 
dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya 
kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa 
pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak 
doa bersama sebelum tidur. Dosa itu membuatnya trauma, sangat bersalah, dan 
takut---tergambar dengan hebat di bab delapan dan sembilan---karena ia lakukan 
pada guru yang dia cintai. Guru inilah yang pernah memberinya tugas 
mengarang---dan secara implisit karya ini mungkin bisa dianggap sebagai 
perwujudan dari rasa bersalah ketika mengerjakan tugas tersebut.

Ferenc Barnás menyajikan novelnya sebagai luapan emosi terpendam jiwa manusia. 
Ingatan anak kecil ini luar biasa. Dia lebih dari sekadar jujur menceritakan 
rahasia paling kelam, mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin 
menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dan sesekali 
membalas dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang 
meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya. 
Dia teliti membongkar kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan tekanan dan 
persoalan. Dia juga berusaha meraba-raba persoalan samar, mulai dari bahasa 
tubuh ibunya, keunikan saudara kandung, sampai perilaku keras ayahnya terhadap 
aparat negara yang dianggapnya mau korupsi.
__
Detail Produk:
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás 
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
__

Soal relevansi dengan Indonesia, Katalin B. Nagy yang memprakarsai penerbitan 
The Ninth berkomentar, Rasanya hubungan budaya di antara Indonesia dan 
Hongaria belum seerat

[zamanku] Mengomentari Editan The Ninth

2010-04-03 Terurut Topik Anwar Holid
Mengomentari Editan The Ninth
---Anwar Holid

Beberapa hari sebelum acara publisitas The Ninth (Anak Kesembilan) karya Ferenc 
Barnás (GPU, 2010, 296 hal.) di Rumah Buku/Kineruku, Bandung, saya menerima 
email dari Andika, seorang peresensi. Dia bertanya, Seberapa puas kamu dengan 
The Ninth edisi bahasa Indonesia? Adakah kesulitan dalam penyuntingannya?

Saya jawab: Secara pribadi, saya sangat puas dengan proses penerbitan buku ini. 
Vira (penerjemah) mengerjakan buku ini dengan baik dan luwes. Mbak Katalin B. 
Nagy menyelaraskan terjemahan itu pada edisi asli berbahasa Hongaria, meski 
Vira menerjemahkan dari edisi Inggris karya Paul Olchváry. Jadi menurut saya 
proses editingnya ketat, sungguh-sungguh, dan mestinya memang begitu bila 
hendak menerbitkan buku dengan baik. 

Kepuasan ini nanti bisa dikonfrontasikan dengan komentar awal Ari Jogaiswara, 
dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran yang mengomentari The 
Ninth. Ari bilang fungsi Vira mirip Transtool. Saya cukup terkejut dengan 
pernyataan itu, menyimpan dalam hati, tapi belum bisa mengonfirmasi lebih jauh. 
 Mbak Katalin sendiri menyatakan betapa Ari menyampaikan pendapat yang berbeda 
sekali soal terjemahan itu waktu dia dan Ferenc bertemu di Rumah Buku.

Selama proses editing, saya, mbak Katalin, dan mbak Anastasia (pihak GPU) cukup 
intens berdiskusi, mulai dari soal diksi, struktur penulisan, sampai pilihan 
terhadap kemasan buku. Pekerjaan utama saya ialah berusaha membuat kalimat agar 
lebih efektif dan mudah dipahami. Misal mengurangi kata 'yang' karena 
penggunaannya terlalu ekstensif, juga penggunaan 'tidak' untuk menyatakan 
negasi. Contoh:

tak berperasaan -- keterlaluan

Sebagian besar penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi saya ubah. Yang saya 
biarkan ialah untuk menegaskan atau bila padanan lebih kuatnya terlalu sulit 
saya temukan.

Karena berpihak pada kemudahan pembacaan (readability), saya sempat mengganti 
beberapa diksi yang tampak cukup asing dan sulit, meski kalau digunakan 
berpeluang mengayakan kosakata buat pembaca. 

Contoh diksi pilihan mbak Katalin, 'hoskut.' Kata ini terdengar sulit dan 
asing; saya agak yakin pembaca harus buka kamus untuk memastikan artinya. Saya 
tanya istri, apa dia tahu 'hoskut' (baju yang dipakai perempuan), ternyata 
tidak. Saya usul agar diganti dengan 'daster' atau 'jubah.' Akhirnya kami 
sepakat memilih 'jubah', dengan komentar mbak Katalin sebagai berikut: 'Jubah' 
dalam (seluruh) teks dipakai untuk menyebut pakaian pastor, maka mudah-mudahan 
jelas bahwa yang dipakai Mama adalah 'jubah' lain. Sebenarnya pakaian Mama 
berbentuk seperti mantel tanpa lengan. Pokoknya pakaian wanita yang biasa 
dipakai di dalam rumah. (Di internet saya temukan hoskut n: a loose hoskut bagi 
perempuan [syn: pakaian rumah untuk wanita], gaun tidur atas). Tetapi jelas, 
kalau istilah ini tak dipakai dalam bahasa sehari-hari, sebaiknya dibatalkan.

Awalnya saya juga sengaja cukup sering memecah paragraf terlalu panjang dan 
mengubah struktur penuturan yang menurut saya sulit dipahami. Tujuannya 
betul-betul untuk memudahkan pembaca. 

Perubahan drastik misalnya saya lakukan di bagian akhir bab sembilan, yaitu di 
bagian percakapan waktu anak ke sembilan diinterogasi. Saya membuat percakapan 
itu ke bawah (jadi paragraf baru), padahal teks aslinya terus bersambung tanpa 
paragraf. Pertimbangannya, selain demi memudahkan pembacaan, saya kira tindakan 
itu akan bisa menguatkan situasi. Sebaliknya, mbak Katalin ingin mempertahankan 
teks sebagaimana aslinya. Setelah mendapat masukan dari mbak Anas, kami memecah 
bagian itu hanya jadi tiga paragraf---jadi bentuk aslinya hanya berubah 
sedikit, namun keinginan memudahkan pembaca juga tercapai. Pada akhirnya 
struktur edisi Indonesia lebih setia pada edisi Hongaria. 

Salah satu kesulitan yang saya hadapi waktu menyunting naskah ini justru di 
detail. Misal soal istilah bangunan dan soal rasa bahasa. Bisa jadi ini 
karena jam terbang penyuntingan saya masih sedikit.

Ejaan juga begitu. Di buku ini kami memilih Moskow dengan pertimbangan GPU, 
Tempo, dan Kompas lebih memilih itu daripada Moskva ataupun Moscow (b. 
Hongaria: Moszkva). Menurut kami, pilihan itu lebih banyak disepakati umum.

Walhasil, pembaca bebas menanggapi dan menerima upaya penerbitan The Ninth dari 
segala aspek, terlebih-lebih dari sisi penyuntingan. Secara keseluruhan saya 
ingin sekali lagi menegaskan betapa edisi Indonesia ini berutang banyak pada 
kerja keras mbak Katalin. Kita pantas memberikan kredit kepadanya. Saya sendiri 
sering merasa rewel (bawel) terhadap buku yang jelek penyuntingannya. Sekarang 
giliran saya menerima kritik, apa buku yang ikut saya kerjakan ini memuaskan 
atau mengecewakan.[]3/19/2010

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com


  


[zamanku] [BUKU INCARAN] Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku?

2010-02-16 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku?
---Anwar Holid


Sekitar Agustus 2007 Anwar Holid mendapat surat dari Katalin Nagy bahwa dia 
ingin mengakrabkan sastra Hongaria ke pembaca Indonesia. Dia mencari penerjemah 
untuk mengerjakan proyek The Ninth (A kilencedik) karya Ferenc Barnás, 
sekaligus mencari penerbit untuk novel tersebut. Ferenc telah memenangi dua 
anugerah sastra paling terkemuka di tanah airnya: Sándor Márai Prize (2001) dan 
Tibor Déry Prize (2006). Edisi Inggris A kilencedik memenangi grant 
penerjemahan PEN America, terbit dalam seri Writings from an Unbound Europe. 
Katalin berkomitmen besar terhadap proyek tersebut. Dia menanggung biaya 
penerjemahan dan siap membeli sekitar seratus kopi begitu novel itu terbit 
dalam bahasa Indonesia, sementara Ferenc menggratiskan hak terjemahannya.

Waktu itu Anwar sedang kerja di penerbit J_, jadi dia usul agar penerbit itu 
menerima tawaran tersebut. Tawaran ini menurutnya cukup menggiurkan, meski 
bukannya tanpa beban. Dia menilai penerbit bisa mendapat prestise maupun 
publisitas dengan menerbitkan novel dari bangsa yang jauh. Hongaria---negeri 
seperti apakah itu, selain konon terkenal berkat Kubus Rubik, Ferenc Puskas, 
dan para pemenang Hadiah Nobel? Katalin ingin cetakan pertama novel itu minimal 
antara 3000 - 5000 kopi. Itu cukup berat bagi penerbit J_, apalagi bagian 
pemasaran ragu bisa menjualnya dengan mudah. Jadi mereka menolak.  

Anwar punya 4-5 kenalan editor di beberapa penerbit lain. Dia menyurati yang 
kira-kira tertarik proyek tersebut, menceritakan maksud dan kondisinya, 
berharap bisa mudah mendapat penerbit. Sementara itu Katalin mengontak 
penerjemah agar mengerjakan bab pertama dari edisi Inggris terjemahan Paul 
Olchváry. Terpilihlah Saphira Zoelfikar. Tidak langsung menerjemahkan dari 
bahasa Magyar? Susah mendapat penerjemah Indonesia yang bisa bahasa mayoritas 
di Hongaria itu.

Ternyata keinginan Katalin dan upaya Anwar agak sulit segera terwujud. Beberapa 
editor mengabaikan surat itu. Ada editor di penerbit tua menyatakan berminat. 
Ia mengusahakan menerbitkan novel itu. Beberapa waktu kemudian dia bilang bahwa 
manajemen mau memproduksi novel itu dengan syarat ada yang menanggung biaya 
produksi---jadi harus ada pendonor tambahan lagi. Ini sulit buat Katalin, 
karena di luar pilihannya. Mau berkomitmen itu bukannya berarti bahwa 
penerbit ikut menanggung biaya produksi, sebab mereka juga yang akan menikmati 
keuntungan---bila buku itu nanti ternyata cukup mudah dijual ke pembaca target, 
tak sesulit prakiraan awal. Secara implisit kawan ini berhenti berjanji 
mengusahakan penerbitan di perusahaannya.

Setahun berlalu dan harapan menerbitkan novel itu masih kabur. Pada kesempatan 
lain, Anwar menulis surat lagi ke editor lain---kali ini termasuk ke kenalan 
jauh yang kadang-kadang terasa spekulatif. Kawan-kawannya yang kerja di bagian 
pemasaran atau distribusi pun dia kontak, dengan harapan bisa meneruskan ke 
editor akuisisi atau para pengambil keputusan. Dia pikir mungkin ada yang salah 
dengan usaha pertama dulu, hingga proposal ini kurang menggerakkan. Di saat 
bersamaan, proyek penerjemahan Saphira terus berjalan. Meski belum mendapat 
kepastian penerbit, komitmen Katalin rupanya mulai benar-benar terwujud. Dia 
sejak awal secara menyeluruh memeriksa terjemahan itu, meski lebih suka 
menyebut dirinya sebagai penyelaras pada naskah asli alih-alih sebagai 
editor.

Usaha kedua ini segera berhasil. Anastasia Mustika, editor GPU, langsung 
menyanggupi menerbitkan The Ninth, sambil bertanya, Bagaimana proses 
selanjutnya? Proses selanjutnya merupakan detil usaha penerbitan yang lebih 
merepotkan, banyak urusannya, dan melibatkan orang lain lagi. Siapa akan 
mendesain covernya? Bagaimana pembayarannya? Bagaimana publisitasnya? Dan 
seterusnya. Detail ini menambah deretan orang yang terlibat dalam penerbitan 
sebuah judul buku jadi makin panjang, dan menguak bahwa biaya penerbitan harus 
dijabarkan lebih pasti. Pilihan pertama desainer covernya ialah Ariani 
Darmawan, seorang desainer-sutradara, pemilik Rumah Buku. Dia membuat lima 
alternatif cover, salah satunya menggunakan foto karya Paulo Costa, orang 
Brasil. Cover ini jadi favorit orang yang terlibat di awal proses penerbitan. 
Ariani mengontak Paulo menanyakan izin dan copyright foto tersebut, yang di 
luar dugaan malah dia berikan gratis untuk cover The Ninth. Ini kejutan
 menyenangkan!

ENDORSEMENT

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk 
eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil 
memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday


Begitu penyuntingan selesai, muncul rencana publisitas. Makin besar lingkaran 
orang terlibat untuk mengenalkan novel ini ke publik Indonesia. Siapa mau 
mengurus? GPU mengajukan Ade Trimarga. Sementara di Jogja Katalin berhubungan 
dengan Marie Le Sourd (Direktur LIP

[zamanku] Indeks yang Ngaco

2010-01-17 Terurut Topik Anwar Holid
Indeks yang Ngaco
---Anwar Holid

Sudah lama aku mengidam-idamkan buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill 
Kovach  Tom Rosenstiel (Pantau, 2006, 297 hal.) Selama ini aku hanya suka 
menyempatkan buka-buka buku itu kalau sedang berkunjung ke toko buku Ultimus. 
Aku tertarik buku itu setelah Farid Gaban meresensinya di milis 
jurnali...@yahoogroup.com. Lagian, sebagai orang yang antusias belajar tentang 
penulisan, aku ingin memiliki rujukan buku penulisan lebih banyak lagi. Baru 
kemarin setelah dapat rezeki dan berkunjung lagi ke toko buku itu, aku 
memutuskan membelinya. Tiga tahun lebih sudah berlalu!

Sembilan Elemen Jurnalisme adalah buku bagus. Sejumlah resensi acak terhadap 
buku itu di Internet membuktikannya. Di Indonesia tampaknya buku itu 
diperkenalkan secara konsisten oleh Andreas Harsono. Andreas meresensi edisi 
Inggris buku itu secara komprehensif di blognya. Kita akan membicarakan edisi 
Indonesia buku tersebut, persisnya bagian indeks. Jadi bahasan ini berusaha 
mengesampingkan penilaian terhadap kualitas penyuntingan isi buku 
tersebut---meskipun tetap saja ada salah eja, cara penulisan dan tanda baca, 
atau diksi yang agak aneh. Salah eja mencolok misal terjadi pada nama Kuce, 
Henry (hal. 289) yang mestinya ditulis Luce, Henry---pendiri majalah Time. 
Lebih fatal lagi mengingat Kuce, Henry masuk entri huruf L! Juga Lech Walessa 
(hal. 9), padahal di halaman 11 dan indeks dieja sebagai Lech Walesa; sebuah 
kota dieja sebagai Gdanks, padahal mestinya Gdansk.

Karena ingin tahu detail buku itu, aku segera memperhatikan sepuluh halaman 
indeksnya (hal. 283-293). Entah kenapa ingatanku mengarah ke The New Yorker; 
ternyata kata kunci tersebut muncul, disebut ada di halaman 71. Aku langsung 
menuju ke halaman itu, mencari-cari... dan tidak ketemu. Mungkin di halaman 
selanjutnya batinku. Ternyata tetap tidak ada, dan di halaman 72 itu aku malah 
menemukan nama Henry Luce. Aku langsung balik ke halaman indeks, menuju entri 
huruf L, mencari Luce... dan ternyata malah tidak tercantum. Yang ada ialah 
Kuce, Henry, di situ disebut ada di halaman 61, 62, 63.

Wah, gimana indeks buku ini? batinku kalut, langsung merasa ada yang salah 
dengan indeksnya.

Jadi aku putuskan menelisiknya lebih teliti. 

Indeks pertama buku ini ialah ABC News, 30-31, 32, 102, 170, 171. Aku cek, 
ternyata di halaman 30 ABC News tidak ada. Baru ada di halaman 31. Namun di 
halaman 32 kembali tidak ada, begitu juga di halaman 102 dan 170. Baru ada lagi 
di halaman 172. ABC News sebenarnya juga muncul di sepanjang halaman 194-197, 
tapi justru tidak dicantumkan di indeks. Ini kebetulan atau sengaja? 

Indeks buku ini ngaco. Halaman yang ditunjuknya hampir semua salah. Ia secara 
acak meleset lebih dari sepuluh halaman. Misal Henry Luce, yang ada di halaman 
72, ditulis 61. Michael Mann di halaman 87 ditulis 72. The New Yorker, yang 
disebut ada di halaman 71 dan 119, setelah dicari-cari baru ada di halaman 86 
dan 96.

Bagaimana penerbit dan penyunting buku ini menyusun halaman indeks sampai 
sepuluh halaman itu praktis sia-sia karena malah bikin frustrasi? Di 
penerbitan, indeks biasanya dikerjakan oleh asisten editor atau juru indeks 
atas perintah editor, yang sekalian menentukan subjek dan jangkauan indeksnya. 
Halaman indeks relatif, disesuaikan kebutuhan buku. Tugas juru indeks 
sebenarnya sederhana, yaitu memilih kata kunci yang dinilai penting dan relevan 
dengan isi buku dan mencantumkan di halaman berapa kata itu muncul. Hukumnya: 
kata dan halaman itu harus akurat. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, kata 
kuncinya relataif memadai, cuma halamannya kacau. Padahal syarat indeks itu 
harus bisa menunjukkan kata kunci dengan cepat dan tepat. Kamus Encarta 
mendefinisikan indeks sebagai daftar rujukan alfabetik di buku: suatu daftar 
alfabetik, biasanya ada di akhir buku, berisi nama orang, tempat, atau topik 
beserta nomor halaman tempat hal tersebut tertera di sana.
 Secara harfiah (dari index, b. Latin) kata itu berarti jari telunjuk.

Sungguh merepotkan kalau indeks yang ada ternyata salah. 

Aku langsung tanya ke Acia, kawam mantan layouter yang kini jadi programer: 
Apa yang membuat halaman di indeks salah (inakurat)? Aku menemukan ada buku 
halaman indeksnya hampir semua salah.

Jawabnya kena: Setelah dilayout ulang sesudah proof reading, indeksnya enggak 
diperiksa lagi (di-update).

Jelas sudah. Penyunting dan penerbit buku ini tak memeriksa ulang penyusunan 
indeksnya. Mereka mengira semua baik-baik saja setelah penyuntingan beres, 
padahal mestinya mengawal pracetak hingga isi buku benar-benar tanpa kesalahan. 
Kesalahan serius halaman indeks pada Sembilan Elemen Jurnalisme membuat 
anggapan baikku pada buku ini langsung runtuh. Kasus pada buku ini menunjukkan 
betapa kesalahan penerbitan bisa terjadi pada siapa saja, dan begitu terjadi, 
ternyata mudah menemukannya. Sedihnya, ini terjadi pada buku tentang penulisan, 
yang salah satunya mengajarkan disiplin verifikasi.[]

Anwar Holid bekerja sebagai

[zamanku] Buku yang Membuat Saya Malas Membacanya

2010-01-11 Terurut Topik Anwar Holid
Buku yang Membuat Saya Malas Membacanya
---Anwar Holid

Haji Backpacker, Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji
Penulis: Aguk Irawan
Penerbit: Edelweiss
Tebal: 200 halaman  
ISBN: 978-602-8672-03-0


Haji Backpacker karya Aguk Irawan (Edelweiss, 200 hal.) merupakan contoh buku 
yang membuat saya malas membacanya. Tentu bukan karena isinya, melainkan karena 
editing dan penulisannya yang buruk. Isi sebuah buku sangat relatif dan 
subjeknya bisa tentang apa pun, karena ada banyak faktor yang bisa membuatnya 
menarik buat dibaca. Sementara editing dan persoalan penulisan itu jelas, 
karena ada standar dan aturan tertentu. Salah satunya kita ingin membaca 
tulisan yang efektif, enak dibaca, menggunakan EYD dengan baik. Tidak usah 
sangat ketat dan kaku, cukup masuk akal saja, biar membuat pembacaan jadi lebih 
mudah dan nyaman. Apalah artinya EYD selain sekadar kesepakatan berbahasa untuk 
memudahkan kita berkomunikasi?

Mari kita perhatikan kalimat pertama buku ini: Kenapa kamu membawa, gula 
batu? Tanya seseorang yang duduk bersebelahan di sebuah perjalanan kereta.

Seorang yang terlatih membaca tulisan bahasa Indonesia bisa langsung menunjuk 
kenapa tulisan itu buruk. Salah menggunakan dan menempatkan koma, teledor 
menggunakan huruf kapital. Sangat elementer. Saya kembali gagal menahan diri 
untuk membiarkan betapa kesalahan semacam ini terjadi lagi dalam buku-buku 
terbitan kita. Kenapa penerbit tergesa-gesa menawarkan produk semacam ini tanpa 
pengawasan memadai? Bagaimana mungkin penulis yang biodatanya ditulis sepanjang 
empat halaman di buku itu bisa menulis seperti itu? Bagaimana mungkin 
penyunting membiarkan hal seperti itu lolos dari pengawasannya? Itu baru di 
kalimat pembuka! 

Bila kesalahan di kalimat pertama sudah begitu mencolok, bisa kita bayangkan ke 
dalam-dalamnya. Maka saya memutuskan untuk bolak-balik saja membacanya, sekadar 
ingin tahu buku ini berisi tentang apa. Saya lebih ingin menyoroti keanehan 
penulisan dan buruknya penyuntingan buku ini, biar jadi pelajaran buat kita 
semua---pembaca yang ingin mendapatkan buku bermutu yang disiapkan dengan 
sungguh-sungguh. 

Kejanggalan penggunaan huruf kapital maupun tanda baca bertebaran di buku ini, 
ditambah lagi salah ejaan, inkonsistensi format italic, dan cara penulisan. 
Contoh, di baris ke lima di bawah kalimat pertama tertulis negeri piramida, 
sementara di halaman 7 tertulis Negeri Piramida; mau menggunakan jemaah 
atau jamaah; hotel Hilton atau Hotel Hilton dan sejenisnya, aku atau 
saya, atau lebih teledor lagi: menulis Allah Saw. (hal. 53). 

Keteledoran dan penyuntingan berlepotan seperti itu sulit ditoleransi. Cukup 
sekian saya mengkritik, biar saya tak semakin tampak nyinyir dan bawel, 
seakan-akan jadi polisi EYD dan paling tahu soal penyuntingan. Seperti saya 
akui sejak jauh hari, saya juga bukan editor teladan yang bebas dari kesalahan 
seperti itu---tapi boleh taruhan, kesalahan saya tak sebanyak itu dalam sebuah 
buku. Buat saya, penyuntingan dalam buku ini mengerikan. Kalau kita pikirkan 
lebih lanjut bahwa buku ini diterbitkan penerbit yang berafiliasi dengan Islam, 
makin malulah kita membayangkannya. Subjek buku ini tentang rukun Islam, tapi 
kualitas kontrolnya hancur-hancuran. Dalam hati saya berdoa untuk diri sendiri, 
semoga kinerja saya sebagai editor tambah bagus dan awas. Rasanya saya punya 
iktikad untuk membuat buku jadi lebih baik.

Sisanya, saya hanya berani menduga-duga. Kenapa penerbit tetap melempar buku 
ini ke pasar meski penyuntingannya buruk? Kenapa tampak tergesa-gesa, 
seakan-akan mengabaikan keinginan pembaca atas produk berkualitas? Apa 
penerbitan buku ini begitu terdesak oleh kekuatan luar biasa sampai mustahil 
ditunda demi perbaikan pracetaknya? 

Beberapa bulan lalu saya mengkritik kejanggalan editing buku lain sampai sang 
editor menganggap saya berniat mendiskreditkan kinerja dan namanya, bahkan 
menuduh saya jahat terhadapnya, kini saya dikirimi buku dengan kasus yang 
tampaknya lebih parah. Tapi kalau dibiarkan rasanya saya membohongi diri 
sendiri, bahwa kita ingin menerbitkan buku yang baik, memiliki keterbacaan 
tinggi, luwes menggunakan norma bahasa---bukan asal-asalan. 

Semoga kita belajar dari kasus penerbitan buku ini. Jangan lagi kita 
menyia-nyiakan kertas, tinta, biaya produksi untuk buku dengan kualitas editing 
rendahan. Nanti malas kita membacanya.[]

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @  
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.

Link terkait:
http://www.ptiman.com
http://www.ptiman.com/katalog/edelweiss/125-haji-backpacker.html


  


[zamanku] 10 BUKU INDONESIA 2009 LAYAK PERHATIAN

2009-12-28 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

10 BUKU INDONESIA 2009 LAYAK PERHATIAN 
---Anwar Holid

Pada awal Desember 2009 www.jakartabeat.net menawari saya untuk menulis daftar 
buku karya penulis Indonesia yang paling menarik atau mengesankan terbitan 
2009. Media biasa membuat tulisan ringan akhir tahun. Memang subyektif, kan 
just for fun. Demikian suratnya.

Buku layak perhatian ini menurut saya sepadan dengan notable; sementara 
bila saya gunakan terbaik tampaknya terlalu pretensius. Buku yang terpilih 
genrenya lumayan lengkap. Ada nonfiksi, autobiografi, puisi, fiksi, humor, 
sejarah, esai. Saya menyusun judul berdasarkan urutan alfabet.

1/ 9 dari Nadira (Leila S. Chudori; KPG, 270 hal.)
Buku ini hadir setelah penulisnya absen menerbitkan buku lebih dari dua 
dasawarsa lalu, persisnya setelah Malam Terakhir (1988) mendapat respons 
positif dari berbagai kalangan karena kepekatan ceritanya dengan sosial-politik 
dan gaya berceritanya yang amat kuat dan bisa jadi tanpa tedeng aling-aling 
terhadap berbagai kemunafikan. 

9 dari Nadira cukup berbeda dari Malam Terakhir, ia lebih merupakan cerita 
cukup panjang saling terkait yang berpusar pada tokoh utama perempuan bernama  
Nadira. Hidup normal Nadira sendiri terganggu oleh kisah dalam diari 
peninggalan ibunya yang mati bunuh diri, masa  kecilnya yang bandel, luka 
terlalu dalam dengan kakak sulung perempuannya, hubungannya dengan ayahnya yang 
 mengalami post power syndrome, kakak lelakinya yang bujang lapuk, karirnya 
sebagai wartawati, wawancaranya dengan seorang psikopat pelaku pembunuhan 
berantai, rekan kerja yang mencintainya tapi dia abaikan,  perkawinannya yang 
bermasalah. Meski realis, Leila masih bisa mengelaborasi mitos, agama, beban 
psikologi,  trauma, kekecewaan, dan misteri batin manusia jadi jalinan kisah 
yang memikat.

2/ Akar Berpilin (Gus tf; GPU, 70 hal.)
Kumpulan 38 sajak yang imajinatif dan kaya nuansa, kebanyakan menelisik sifat 
manusia dan bertanya siapa sebenarnya makhluk bernyawa penuh gejolak yang 
terbalut daging dan tulang ini. Memang buku ini tak akan  memuaskan dalam 
sekali baca, namun ia akan tetap menarik untuk dibolak-balik. Puisi Gus tf 
menantang untuk kita baca berulang-ulang karena mengandung permainan bahasa dan 
makna yang lumayan sulit dan bersayap, tapi tidak sampai membuat puisi itu 
jatuh jadi gelap. Ungkapan-ungkapannya eksploratif.

3/ Jangan Main-Main dengan Tuhan (Bambang Joko Susilo; Republika, 156 hal.)
Lebih terkenal sebagai penulis cerita kanak-kanak dan remaja, Bambang Joko 
Susilo juga tetap berusaha memperlihatkan kinerjanya di dunia sastra dewasa. 
Tema kumpulan cerpen ini fokus pada tema maut dan peristiwa  kematian, hampir 
semua menggunakan sudut pandang orang pertama, sebagian besar setting terjadi 
di tempat yang terkesan sebagai pinggiran kota, sehingga mengesankan 
cerpen-cerpen di dalamnya secara longgar memiliki keterkaitan. 

Kisah dalam cerpen Bambang Joko Susilo bersahaja, memprihatinkan, sekaligus 
mampu memaksa pembaca mengakui  kejujuran dan pandangannya yang tanpa kompromi 
terhadap berbagai kemunafikan. Biasanya si protagonis jujur, teguh memegang 
prinsip dan moralitas, membuat ekspresi dan emosi karakter terungkap dengan 
baik---meskipun ada juga cerpen dengan tokoh frustrasi yang akhirnya kalap 
padahal sebelumnya mati-matian menahan diri terhadap gempuran yang mengikis 
mentalnya.

4/ Membongkar Manipulasi Sejarah (Asvi Warman Adam, Penerbit Kompas, 257 hal.)
Buku sejarah yang renyah, kaya informasi, dan mengoreksi banyak salah anggapan 
terhadap berbagai peristiwa  sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Setengah 
dari isi buku ini menelusuri perhatian utama Asvi pada kontroversi  pendapat 
mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang memang mengubah perjalanan 
bangsa Indonesia.  Asvi dengan tegas menolak istilah G30S/PKI (versi 
pemerintah Orde Baru) atau Gestapu (versi pers militer) karena menilai bahwa 
dalang dari peristiwa tersebut berbeda-beda, masih terasa sebagai konspirasi, 
dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan secara definitif.

Asvi sering menimbang berbagai simpang-siur terhadap suatu peristiwa sejarah 
dengan secara jeli dan tegas. Misal,  dia kukuh mengingatkan bahwa Susilo 
Bambang Yudhoyono ialah presiden Indonesia ke-8, bukan ke-6 sebagaimana  
keyakinan pers dan anggapan masyarakat umum selama ini. Kenapa kekeliruan 
anggapan itu sulit diubah? Dia juga mendukung berbagai alternatif temuan baru 
dan kemungkinan bahwa peristiwa sejarah bisa berlangsung di luar  dugaan pihak 
resmi, dan mengusahakan agar tesis maupun fakta itu terus dikaji kebenarannya, 
bukan malah ditutup-tutupi. Selama ini pendapat bahwa para Wali Songo ada 
kemungkinan berasal dari Cina dihalang-halangi, Asvi mencoba mengangkatnya 
berdasarkan berbagai arsip lama yang selama ini terabaikan.

5/ Menuju Jurnalisme Berkualitas (Ignatius Haryanto, ed.; KPG, 424 hal.)
Buku ini merupakan kumpulan karya finalis dan pemenang Mochtar Lubis Award 
2008, terdiri dari lima kategori, yaitu

[zamanku] [BUKU INCARAN] Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati

2009-12-06 Terurut Topik Anwar Holid
Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati
--Anwar Holid

Miracle of the Brain
Penulis: Tingka Adiati
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 207 halaman  
Ukuran: 13.5 x 20 cm  
ISBN: 978-979-22-4809-8
Harga: Rp.30.000,-


JIKA KITA mengalami kebetulan luar biasa, berarti Tuhan sedang mengedip kepada 
kita. Kedipan itu ialah pesan cinta yang berbunyi: Nak, Aku memikirkanmu. Kamu 
baik-baik saja. Bertahanlah. Demikian tulis Squire Rushnell dalam When God 
Winks. Kira-kira seperti itulah pengalaman Tingka Adiati, seorang ibu rumah 
tangga sekaligus jurnalis. 

Pada Minggu, 13 Januari 2008 menjelang dini hari dia menerima telepon bahwa 
suaminya jatuh ketika sedang bekerja di kantor. Suaminya ialah Bambang Wahyu 
Wahono, seorang wartawan di sebuah harian. Di tengah keheningan dan keseriusan 
menjelang deadline, rekan wartawan yang sama-sama masih ada di sana tiba-tiba 
mendengar suara berdebum orang jatuh, dan tak bangun-bangun. Ketika didekati, 
Bambang tampak muntah-muntah serta kondisinya sudah sangat serius. 

Setelah masuk rumah sakit, Tingka tahu suaminya mengalami perdarahan dan 
menerima vonis bahwa dia terkena stroke. Sakit ini membuat sang suami koma 
selama sembilan hari, badan bagian kirinya lumpuh total, gagal bicara, dan 
ingatannya hilang. Setelah bangkit dari koma, suaminya kembali hanya untuk 
diurus sebagai pasien selama lebih  dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa 
dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya 
akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa 
dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap 
berkorban nyawa bagi kekasihnya. 

Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning 
point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi 
lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan 
kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi 
baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam 
menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri 
dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian 
terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien 
stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup 
dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan 
dramatik. 

Sebelumnya, keluarga Tingka ada dalam kondisi ideal. Karir suaminya berjalan 
normal, sementara dia aktif sebagai wanita karir. Rumah tangganya pantas 
disebut sempurna: harmonis, kesejahteraan sosial  terjamin, anak-anak yang 
manis. Tapi takdir mendadak menggelincirkan mereka dalam kondisi kritis. Dia 
harus menerima fakta bahwa hidup bisa begitu tega memperlakukan manusia.

Alih-alih frustrasi, Tingka bersama anak-anaknya dengan tabah dan berani 
memasuki babak baru kehidupan keluarganya. Dia ikut aktif merawat, memilih dan 
mengerjakan berbagai terapi yang tepat, terus menyemangati suami dari kondisi 
koma sampai akhirnya bisa bicara lagi dan pulih sekitar enam puluh 
persen--kemajuan yang sangat pesat dan luar biasa bagi pasien stroke parah. 
Buah dari ketelatenan inilah yang dimaksud dengan miracle of the brain.

Perjuangan tersebut menjadi ungkapan jujur seorang manusia biasa tatkala 
menghadapi kondisi luar biasa. Emosinya tumpah amat lugas dan apa adanya. 
Tingka bukan tipe perempuan melankolik. Mereka juga ber-loe-gue dalam 
mengekspresikan rasa sayang. Ketika sudah cukup pulih, suaminya berkata, Loe 
baik banget, Ting. Bagaimana gue balasnya? Jawab Tingka, Semua ini gue 
lakukan karena gue cinta loe. Gue enggak minta balasan apa-apa selain loe 
semangat terus supaya sembuh dan pulih. Gue dan  anak-anak kangen banget sama 
loe yang dulu. Loe mau kan semangat terus? 

Begitu pula saat dia frustrasi karena serba salah menebak-nebak maksud suaminya 
ketika kondisinya memburuk. Bang, loe kenapa sih? Gue enggak ngerti loe maunya 
apa, soalnya loe kan enggak bisa bilang. Gue cuma menebak nih. Gue minta maaf 
ya kalau tebakan gue salah terus sehingga loe bete.

Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia 
dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan 
kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. 
Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali 
pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, 
sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy, seorang 
kolumnis, amat salut kepada Tingka. Katanya, Tingka telah menjadi manusia 
ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga 
anak tanpa berkeluh  kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, 
manusia biasa.

Ketegaran Tingka dalam buku ini memang seolah-olah terasa begitu ilahiah. 
Betapa tidak, Bambang menghembuskan napas terakhirnya persis dalam pelukan 
istrinya

[zamanku] Pengajar Iya, Penulis Juga

2009-12-04 Terurut Topik Anwar Holid
Pengajar Iya, Penulis Juga


BNI-Kompas Gramedia Goes to Campus di Universitas Bengkulu mengundang Frans 
Parera dan Anwar Holid untuk mengisi sesi penulisan buku untuk para dosen 
universitas itu pada Rabu, 2 Desember 2009.

BENGKULU - Kalau ada ilmu tentang menulis kreatif yang benar-benar efektif, 
saya pasti bersemangat jadi orang pertama yang mempraktikkannya, biar karya 
saya juga cepat bertambah banyak, kata Anwar di hadapan sekitar empat puluhan 
dosen yang hadir. 

Roy Peter Clark bilang, 'Penulisan itu kemampuan yang bisa Anda pelajari.' 
Saya menyimpulkan pada dasarnya menulis itu merupakan kerja personal yang butuh 
pendekatan tertentu, namun tetap bisa dipelajari. Artinya, penulis harus 
menemukan sendiri cara terbaiknya ketika berkarya. Seorang penulis bisa saja 
hidup di tengah kerumunan komunitas, mendapat masukan,  dukungan, atau kritik 
dari kawan dan koleganya, tapi begitu mulai duduk menulis, dia harus 
melakukannya sendirian. Dalam kasus tertentu menulis memang merupakan kerja 
sama dua orang atau lebih maupun orang lain mengetikkan dikte seseorang, sesuai 
isi kepala atau cerita dirinya.

Biasanya menulis mengenal dua cara: pertama, menulis 'otomatis' (menulis bebas, 
free writing). Penulis melakukannya secara langsung, mengandalkan intuisi, 
mengalir begitu saja, asumsinya segala ide (gagasan) sudah terbayang dalam 
kepala. Dengan menulis otomatis, penulis diharapkan lebih bisa ekspresif 
menumpahkan atau melampiaskan perasaan. Penulis fiksi tidak hanya kerap 
menggunakan cara ini, penulis nonfiksi pun---ketika menggarap biografi, 
melakukan investigasi, atau mengisahkan ekspedisi---suka meminjam teknik ini. 
Penulis seolah-olah telah punya bayangan akan bercerita apa, dan itulah yang 
dia kejar dan terus dia tuangkan ke dalam kertas atau komputer. 

Kedua, menulis dengan menyusun outline (garis besar) atau storyline lebih dulu; 
biasanya para jurnalis menggunakan teknik ini. Mula-mula penulis menentukan 
poin per poin subjek yang ingin dijelajahi, dan sambil berusaha menuntaskan 
paragraf demi paragraf, mereka mengolah data (bahan, informasi, wawancara, 
temuan lapangan) yang sebelumnya dikumpulkan. Dari sana juga dia menentukan 
alur tulisan, termasuk sudut pandang maupun keberpihakan (kecenderungan) 
penulis. Setelah jadi, kemudian mengolah sekali lagi agar menjadi artikel yang 
mantap dan memuaskan. Bagi penulis, outline bermanfaat untuk membimbing 
penulisan agar tetap dalam jalur benang merah yang padu; bagi sebagian orang, 
cara ini memudahkan, karena segala kebutuhan menulis sudah tersedia. 

Di dalam Writing Tools (2006) Roy Peter Clark menyarankan agar penulis memecah 
proyek penulisan yang besar dan menyita energi jadi bagian-bagian kecil agar 
lebih mudah diselesaikan. Di awal penulisan draft, tulislah sebebas mungkin, 
kendurkan kritik terhadap diri sendiri, jelajahi segala kemungkinan terhadap 
subjek yang ingin dikejar. Jauh lebih penting disiplin menyelesaikan draft dulu 
daripada mengejar kesempurnaan  teks. Memoles dan mengedit tulisan merupakan 
urusan belakangan setelah seluruh isi kepala tercurahkan sederas-derasnya. Baru 
setelah merasa puas dan tuntas, periksalah hasilnya---kalau bisa bersama orang 
lain, lebih khusus lagi dengan editor.

Agar target penulisan lebih segera tercapai, amat penting untuk menulis sedikit 
demi sedikit secara rutin setiap hari. Konsistenlah dengan kebiasaan itu. Misal 
Anda hanya bisa menulis selama satu jam setiap hari setelah shalat subuh, 
lakukanlah. Kasarnya: bila Anda bisa menulis satu halaman bersih setiap hari, 
pada hari ke-365 minimal Anda punya sebuah draft naskah yang sudah cukup untuk 
dibaca ulang atau ditilik-tilik lagi kemungkinan penerbitannya.

BILA sudah siap menawarkan naskah pada penerbit, carilah penerbit yang 
kira-kira cocok untuk naskah Anda. Bila Anda menulis buku ajar (textbook), 
penerbit perguruan tinggi lebih cocok buat Anda. Perguruan tinggi di Indonesia 
sudah banyak yang memiliki unit penerbit. Kalau naskah Anda lebih pantas 
dikonsumsi publik luas, jangan sungkan menawarkannya pada penerbit umum atau 
penerbit dengan kecenderungan khusus.

Frans Parera sangat menekankan pentingnya perkembangan penerbit universitas 
(university press). Dia memprovokasi para pengajar agar menjadi penulis 
saintifik (scientific writer). Universitas Bengkulu sendiri telah memiliki unit 
penerbit, yaitu UNIB Press, aktif sejak 2008, dan telah menerbitkan sejumlah 
judul. Sebagian pengajar pernah menerbitkan buku, menulis naskah buku ajar, 
tembus di jurnal ilmiah internasional, juga menjadi blogger. Namun masih ada 
yang rancu membedakan penerbit dan percetakan, sampai bertanya, Kalau saya mau 
menerbitkan buku, berapa biaya yang harus saya keluarkan?

Berhubunganlah baik-baik dengan editor, saran Anwar. Editor itu mewakili 
penerbit, bertugas menilai kelayakan naskah, memberi masukan baik terhadap isi 
naskah maupun bahasa, termasuk apa naskah itu punya peluang pasar atau tidak. 
Editor yang baik pasti sangat

[zamanku] [BUKU INCARAN] Menara Penopang Asa

2009-11-22 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Menara Penopang Asa
--Anwar Holid

Negeri 5 Menara 
Penulis: A. Fuadi 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: xiii + 416 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6

- Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di 
hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala.
- Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung
- Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu?
- Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu 
enggak pantas direkomendasikan.
- Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya 
enggak ada saja.
- Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin 
meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau 
fiksi islam kontemporer.
- Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara?
- Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan 
mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus 
semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini.
- Wah, Laskar Pelangi banget dong!
- Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai.
- Terus kelemahannya apa?
- Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya 
biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel 
itu sejak masih berupa draft.
- Apa maksud kamu dengan kekurangan passion?
- Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia 
kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara 
bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan 
pada salah satu tokohnya.
- Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama.
- Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk 
mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. 
Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh 
drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah 
anggapnya sendiri.
- Memang novel ini cerita soal apa?
- Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. 
Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari 
mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi 
insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU 
negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, 
dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya 
dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti 
apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka.
- Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya?
- Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku 
sedikit ketus.

Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel 
ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan 
tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel 
tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan 
tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya dalam banget. Untuk drama, 
pertanyaan utama mereka ialah ceritanya apa? Mungkin aku salah ketemu orang.

Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu 
rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau 
keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung 
sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak 
pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai 
novel motivasional-pendidikan yang inspiratif.

Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap sastra 
pesantren untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah 
satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen 
Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini 
membetot lagi genre fiksi Islam ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara 
ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini 
wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat 
itu ada dalam adagium Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh-sungguh, akan 
berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski 
begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang 
membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati 
siapapun. 

Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan 
novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan fiksi Islam yang tampak 
konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap 
positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren 
sebagai tempat unggul, menghalau citra

[zamanku] Berbagi Ilmu Penulisan

2009-11-18 Terurut Topik Anwar Holid
Berbagi Ilmu Penulisan
---Anwar Holid

Writing is a journey to the unknown.
--Charlie Kaufman

Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah 
yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir 
pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film 
tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter 
atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur 
kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan 
diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.

Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh 
dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para 
peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan 
pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, 
entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu 
selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan 
kebiasaan baca juga.

Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah 
itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, 
menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi 
begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu 
workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian 
ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip 
dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia 
semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan 
merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan 
retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan 
pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, 
justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru. 

Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa 
menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada 
sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa 
menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya 
merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu 
menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak 
literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum 
menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja 
diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis 
tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu 
menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa 
sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan terpaksa kalau bukan 
memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini
 benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, 
tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari menulis model ini ialah 
ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau 
ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu 
langsung mengikat puisi itu dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan 
Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid 
samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas 
mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi 
sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya 
merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi 
buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau 
ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.

Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari 
kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari 
keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang 
bisa dipelajari. Kamu hanya butuh alat, bukan aturan, demikian tegas Roy 
Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh 
unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan 
tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu 
dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri 
Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND 
THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus 
dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta 
menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat 
pernyataan. 

Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi 
kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya

[zamanku] [BUKU INCARAN] Sebundel Karya Jurnalistik Bermutu

2009-11-01 Terurut Topik Anwar Holid
. Warisan intelektual dan karyanya banyak. Semoga Mochtar Lubis Award 
terus berkembang dan di masa depan mampu menambah kategori, termasuk merambah 
ke karya sastra, penerbitan, dan musik.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


  


[zamanku] [BUKU INCARAN] Katakanlah Sejujurnya

2009-10-09 Terurut Topik Anwar Holid
[BUKU INCARAN]

Katakanlah Sejujurnya
---Anwar Holid

Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka  Truedee, 2009
Tebal: 444 hal.
ISBN: 978-979-1227-78-0
Harga: Rp.69,000,-


Semua orang tahu pepatah usang ini: honesty is the best policy. Kejujuran itu 
tindakan terbaik. Perlu berapa lama untuk menunggu seseorang jujur? Butuh 
berapa halaman untuk mengungkapkannya? Dalam kasus Dee: empat tahun, 444 
halaman. Persisnya 434 halaman bila kita mengabaikan endorsement, awalan, dan 
akhiran novel Perahu Kertas (Bentang  Truedee, 2009, Rp.69,000,-). Halaman 
setebal itu dia bentangkan besar-besaran untuk mengisahkan betapa berharga 
kejujuran, meskipun awalnya semua orang tampak bermasalah dengan kejujuran. 
Alasannya sederhana: takut menyakitkan.

Tapi takut menyakitkan ini akibatnya benar-benar fatal dan membuat semua 
orang menderita, kehilangan momen berharga, menambah-nambah masalah, dan 
menyiksa pembaca sampai harus membuka halaman terakhir, sebenarnya ada apa 
dengan kisah cinta dua orang bernama Kugy dan Keenan. Mungkin di situlah Dee 
mempertaruhkan keterampilannya bercerita: dia menaruh sehamparan misteri dan 
rintangan sebelum sepasang kekasih ini menyerah dan mengakui kejujuran 
masing-masing.

Misteri dan rintangan terbesar dari kedua orang itu justru keinginan untuk 
menyenangkan orang-orang terdekat yang berhubungan secara emosional dengan 
mereka, orang yang secara alamiah tumbuh bersama mereka. Karena berhasil 
menyembunyikan kata hati dan mampu membungkusnya secara melegakan, secara 
permukaan hubungan itu baik-baik, meski pada dasarnya mereka sesak. Apa 
manusia-manusia kota ini memiliki problem komunikasi atau malah amat sukses 
mengembangkannya jadi semacam etiket pergaulan dalam kehidupan? Mungkin kadar 
EQ (Emotional Quotient) mereka rendah, jadi kesulitan melampiaskan perasaan dan 
maksud dengan jelas. Semua jadi tampak bersayap. Soalnya kalau tidak, Dee 
sebenarnya bisa lebih cepat menamatkan novelnya, mungkin lebih dari separo 
jumlahnya. 

Dalam beberapa sisi, drama menunggu kejujuran antara Kugy dan Keenan ini terasa 
ngayayay---istilah Sunda untuk bertele-tele. Tapi untung, Perahu Kertas 
merupakan page-turner, novel dengan alur cerita memikat, dan karena itu hanya 
butuh waktu sebentar untuk menamatkannya. Bisa jadi karena itu, seorang editor 
dari Jogja bilang, Biarpun tebal, novel Dee ini mantap. Formulanya bikin 
pembaca terpana. Pengakuan para pembaca awal novel ini merupakan bukti bahwa 
Dee memang seorang penutur kisah hebat dan ia mampu menciptakan plot memikat. 
Kita boleh bertaruh apa para pemberi endorsement itu jujur dengan pernyataannya 
atau berusaha membungkus ungkapan dengan pujian.

Indah Darmastuti, seorang penulis dari Solo berkomentar: Novel itu sangat 
menghibur aku. Aku suka kosakata yang cair khas Dee. Lucu dan plot yang 
mendebarkan. Dan ending sesuai harapanku. Kisah cinta rata-rata memang mudah 
ditebak. Tinggal bagaimana penutur menceritakannya, karena kunci buku yang 
sukses ada pada susunan kerangka cerita yang menarik. Meski subjek sebuah 
cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini, 
seorang tukang cerita mesti mencari cara terbaik agar memenangi penikmatnya. 

Perahu Kertas merupakan kisah sejenis itu. Bertindak sebagai dalang atau Tuhan 
serba tahu (omniscient narrator), Dee mengombang-ambingkan perasaan Kugy di 
balik lipatan perahu kertas yang dia luncurkan dari selokan atau anak sungai 
yang dia temui. Di situlah kejujurannya tertera dan mengalir. Sementara Keenan 
menenggelamkan diri pada lukisan, melampiaskan emosi tertahan pada seseorang 
yang dia anggap pasangan jiwanya. Mereka berputar-putar dulu menjadi sesuatu 
yang bukan diri mereka demi kelak menjadi diri masing-masing lagi. Saling 
menghancurkan dahulu sebelum akhirnya menyusun ulang agar utuh kembali? Seperti 
ungkapan Goenawan Mohamad, sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya 
abadi. 

Dee membuat drama Kugy dan Keenan terlalu lama. Maka pertama-tama Kugy harus 
mengecewakan pacarnya, lantas sahabat terbaiknya, juga pria pemberi cincin 
permata lapis lazuli. Sementara Keenan harus jadian dulu dengan Wanda yang 
penuh pamrih, Luhde yang inosens, berkonflik dengan ayahnya sampai dia stroke, 
dan sebentar melemparkannya pada kehinaan dan kemiskinan. Tapi orang-orang di 
sekitar merekan pun bermasalah serupa. Agaknya di novel ini kejujuran jadi 
semacam penyakit endemik. Mereka menyangka serangkaian pilihan itu bisa 
membebaskan perasaan. Ternyata tidak. Mereka betul-betul kesulitan menunggu 
momen kapan hati dan impian bersama itu bertemu. Keduanya terus mencari dalih, 
berusaha menutup-nutupi kejujuran. Misal dengan bersikap defensif, cemburu, 
kabur dari masalah, atau marah. Masing-masing mengenakan topeng untuk 
menyembunyikan kejujuran. Sebab kuncinya terselip pada ungkapan ini: Carilah 
orang yang enggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau
 memberikan segala-galanya (hal. 427).

Dari satu sisi, Perahu Kertas merupakan tipikal novel chicklit

[zamanku] Upaya Editor Menghindari Frustrasi

2009-10-09 Terurut Topik Anwar Holid

Upaya Editor Menghindari Frustrasi
---Anwar Holid


Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, 
terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah 
naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa 
diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim 
itu dan percaya omongan penerbit. 

Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku 
merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah 
meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan 
naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau 
petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu 
mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau 
menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa 
frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan 
mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat 
ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan 
melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila 
faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, 
melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu
 kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya.

Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari 
penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. 
Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri 
dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya 
pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat 
panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk 
hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas 
gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku 
terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa 
beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak 
itu penting sekali dalam sebuah buku. 

Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: Pidatonya merupakan yang 
tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan. Maaf, ini 
apa maksudnya?

Kalimat panjangnya antara lain begini: Al-Quran menjasadkan di depan mata kita 
suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk 
mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari 
tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya 
sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu 
unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi.

Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan 
teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka 
dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat 
keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi 
nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir.

Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian 
oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari 
untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan 
pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh 
dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan 
pertandingan sepakbola di televisi.

Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien. 

Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu 
yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa 
kalimat itu sudah jernih?

Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah 
dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan 
melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum 
akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. 
Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi 
halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan 
serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus 
dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, 
menyulitkan makna.

Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa 
pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat 
berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan 
ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. 
Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran 
pertama

[zamanku] Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca

2009-07-20 Terurut Topik Anwar Holid

Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca 
---Anwar Holid


Band Efek Rumah Kaca (ERK) manggung tanpa disertai publisitas di Rumah Buku, 
Bandung. Main secara akustik, membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, 
diselingi kejutan menyanyikan beberapa cover version, dalam konser yang 
berlangsung intim dan dirancang bagus.

BANDUNG - Masih dalam suasana agak murung karena kemarin Shanti panas demam dan 
kondisi finansial masih melarat, aku sekeluarga datang ke Rumah Buku untuk 
nonton band Efek Rumah Kaca pada Sabtu, 6 Juni 2009. Seminggu lalu tersiar 
kabar dari mulut ke mulut bahwa band indie yang lagi hip ini akan manggung di 
tempat yang asri ini. Tapi jangan bilang-bilang orang lain ya, soalnya mereka 
ingin bikin kejutan kayak konser rahasia, gitu, kata orang waktu aku terakhir 
ke sana untuk pinjam buku The Book of Disquiet (Fernando Pessoa).

Tubuh Shanti sudah normal sejak pagi tadi, dan keceriaannya juga pulih. Itu 
membuat kami berani membawanya. Rumah Buku sudah lebih ramai dari biasanya 
waktu kami datang. Teras belakang mereka sedang disetting menjadi ruang 
keluarga untuk persiapan main Efek Rumah Kaca. Fenfen dan Ilalang 
kangen-kangenan dengan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Rani dan Budi 
dari Rumah Buku menyambut dengan ramah dan lucu-lucuan. Dalam suasana seperti 
itu, kesenangan menghampiri dan aku merasa mudah penuh terisi oleh kelegaan.

Maaf ya, mulai mainnya jadi jam setengah lima. Soalnya kita ingin dapat 
suasana sore yang bagus, entah kata Rani atau Budi yang bilang waktu jam sudah 
menunjukkan pukul 15.30, jadwal mereka manggung. Wah, makin malam kami pulang, 
makin kuatir kami pada kondisi Shanti. Orang demam bisa balik panas lagi kalau 
belum-belum pulih. Bandung hari itu panas, meski sempat turun gerimis sebentar. 
Menjelang konser cuaca cerah sekali.

Yang datang ternyata cukup banyak juga ya. Tadinya kami khawatir nggak akan 
ada yang datang karena sok-sok bikin konser diam-diam, gitu, kata Cholil 
menyapa penonton yang pada duduk memenuhi taman beralaskan koran dan berbekal 
losion antinyamuk. Konser tanpa pemberitahuan ini mengingatkan aku pada Heima, 
film karya grup Sigur Ros tentang mudik mereka di Islandia setelah sekitar 
setahunan tur keliling dunia. Film kebanyakan berisi scene alam terbuka dan 
suasana lingkungan yang dramatik.

Aku baru pertama kali ini lihat Efek Rumah Kaca. Sound gaya unplugged mereka 
menurutku keren. Cholil memainkan gitar akustik yang setting suaranya 
mengeluarkan bunyi begitu kuat dan penuh, hingga melodi-melodi yang tinggi dan 
nyaring dari album mereka tersalin dengan sempurna. Adrian main bass dengan 
kalem, mengiringi sebagai backing vokal. Akbar menurutku tampak sangat santai 
dan paling enak dilihat. Gerakan tubuhnya di tengah set drum terlihat ritmik, 
sambil tangan dan kakinya bekerja. Hentakan drumnya asyik; tidak terdengar 
sebagai pukulan drum nada pop, tetapi malah seperti dalam band jazz atau 
progresif rock. 

Pilihan nada mereka mengingatkan aku pada grup seperti Pink Floyd dan Coldplay. 
Secara musikalitas, gaya akustik ini terdengar mirip dengan pilihan Damien 
Rice. Gitar dan bass dibuat seakan-akan bergema, iringan pukulan drum atraktik, 
jadi meskipun mereka trio, musiknya penuh. Tak ada ruang kosong yang terdengar 
karena mereka sedikitan. Lagu-lagu mereka yang kurang akrab bagi telinga yang 
tiap hari mendengar nada pop juga menguatkan mitos pada grup ini. 

Efek Rumah Kaca bilang bahwa mereka grup pop, tapi pilihan nada, aksi, juga 
pernyataan mereka justru bertentangan sebagai band pop yang haus publisitas 
atau menciptakan lagu yang mudah didengar. Mungkin mereka mau memudahkan. 
Mereka tidak menyiratkan sebagai band pop. Langkah mereka tidak populer; aku 
pernah lihat foto mereka bertiga mengenakan t-shirt bertuliskan: Pasar Bisa 
Diciptakan. Menurutku mereka grup alternatif atau postrock. Banyak orang bilang 
grup ini politis, seperti terbukti dari beberapa lagunya. Mereka juga justru 
mengkritik budaya pop dan konsumerisme. Mau mengubah dari dalam? 

Mungkin itu yang membuat lagu-lagu mereka agak susah dihafal. Aku beberapa 
bulan ini dengar album ke dua mereka, Kamar Gelap, dengan hanya mudah ingat 
Mosi Tidak Percaya (lagu yang sangat politis), Kenakalan Remaja di Era 
Informatika (singel dari album ini), dan Laki-laki Pemalu. Dari album pertama, 
yang teringat mudah ialah Cinta Melulu, Terus Belanja Sampai Mati, dan tentu 
saja lagu yang membuat mereka bisa memikat banyak orang: Di Udara---sebuah lagu 
yang konon tentang Munir, karena memang didedikasikan buat dia.

Sore itu Efek Rumah Kaca main dua sesi. Sesi pertama berlangsung sampai 
menjelang magrib. Aku ikut berdendang tapi terkadang lupa judulnya. Sesi kedua 
Cholil main dengan mengenakan sweater, mungkin kedinginan oleh hawa yang mulai 
dingin. Dia mula-mula menyanyikan dua cover sendirian, lantas memanggil Adrian 
dan Akbar untuk memainkan Hallelujah dari versi Jeff Buckley. Ini mungkin 
kejutan buat para pengunjung. Adrian juga nyanyi Laki-laki

[zamanku] [TRIVIA] Mata Staedtler 0.3

2009-07-19 Terurut Topik Anwar Holid

[TRIVIA]

Mata Staedtler 0.3
--
--Anwar Holid

Pada Rabu, 29 April 2009, di buku jurnalku hari ini aku menulis begini:

Aku menulis ini dengan rapido Staedtler 0.3 seri Marsmatic. Matanya aku beli 
barusan dari Baca-Baca Bookmart, Sabuga. Kalau nggak salah aku terakhir kali 
pakai Staedtler pada 2007, waktu Deden tak sengaja menjatuhkan rapidoku dan 
membuat jarumnya patah. Sejak itulah rapido legendarisku pensiun. Setelah itu 
aku minta pada Bagas Rotring 0.2-nya yang kelihatan tersia-siakan dan nganggur. 
Dia beri rapido itu, dan aku membersihkannya. Itulah yang aku pakai selama ini 
untuk mencatat dan menulis banyak hal.

Sebenarnya aku lebih suka 0.2, tapi karena tulisanku sudah kecil, justru 0.3 
menolong membuat tulisanku jadi lebih terlihat dan terbaca. Aku ingat punya 
Staedtler 0.3 itu sejak SMA, beli di Cihapit, dan aku pakai terus-menerus, 
untuk menulis diari, surat, draft, jurnal, corat-coret, dan sebagainya, sampai 
akhirnya patah. Alangkah lama kesetiaanku pada sebuah alat tulisan.

Dibanding-banding, aku lebih suka Rotring daripada Staedtler. Bentuk Rotring 
lebih ramping dan ringan, sementara Staedtler gempal dan berat. Kelebihan 
Staedtler ia lebih mudah ditutup-buka, terutama bila akan dibersihkan--dan 
harganya lebih murah dari Rotring. 

Aku pertama kali suka rapido waktu lihat saudaraku yang sudah mahasiswa 
menggunakannya untuk mengerjakan tugas dan hitung-hitungan rumus kimia dan 
biologi atau catatan lain. Tulisannya jadi kelihatan rapi dan enak dilihat. Ini 
tentu efek dari jarum dan tintanya yang amat tajam. Tinta cina Rotring atau 
Staedtler memang sangat hitam dan tak luntur. Sejak itu aku suka 
mencoba-cobanya, lama-lama ingin punya. Harga rapido memang relatif lebih mahal 
dari pulpen biasa, meski jelas ada banyak alat tulis yang jauh lebih mahal dari 
rapido. Baru ketika di SMA aku punya kesempatan beli rapido second setelah 
nabung beberapa lama dari menyisakan uang jajan. Gara-gara pakai rapido, ada 
saja orang yang nyangka bahwa aku anak arsitektur. Memang sulit melepaskan 
prasangka umum.

Mata Staedtler 0.3 yang aku beli ini benar-benar mengejutkan: harganya Rp.10 
ribu! Jelas karena ini barang lama, meski aku yakin bukan second, karena 
kelihatan masih mengkilap. Yang baru, terakhir aku cek di toko ATK di Balubur, 
harganya Rp.50 ribu-an. Begitu lihat, aku langsung sulit menahan diri untuk tak 
membelinya. Seakan-akan tak percaya menyaksikan mata rapido dijual semurah itu.

Ceritanya mulai hari ini Baca-Baca Bookmart bikin garage sale bersamaan dengan 
pembukaan Kompas-Gramedia Fair 09 di Sabuga. Di antara majalah dan buku bekas, 
sepatu, rajutan, kaset, kriya, botol minuman keras, topi, cd, vcd, bahkan pupuk 
cair, aku lihat tumpukan mata rapido Staedtler berbagai ukuran, semua dengan 
harga Rp.10 ribu. Langsung aku ingat badan rapido 0.3 yang aku simpan di kardus 
setelah cedera parah itu. Aku simpan siapa tahu bisa beli matanya suatu ketika.

Ternyata inilah harinya. Hari ketika aku rutin mengantar Ilalang main jembe di 
Jendela Ide, Sabuga. Biasanya, aku nunggu Ilalang main sambil lihat-lihat  
baca-baca di Baca-Baca Bookmart, pinjam buku dari perpustakaannya, ngopi, atau 
ngobrol berbagai hal dengan para penunggunya, tukar-menukar album musik dan 
mp3. Sekarang, tiap kali ke sana yang paling sering aku temui ialah Ajo, Oleh 
(Soleh), Nanang, dan seorang anak punk yang aku lupa namanya. Kalau nggak salah 
dia sering dipanggil Bule karena kulitnya putih, hampir selalu memakai jaket 
belel penuh dengan pin berisi banyak pesan. Dulu Andry  Frino sering aku 
temui, tapi mereka sekarang sudah punya kesibukan lain sendiri, atau datang ke 
Sabuga ketika aku tak datang ke sana. Sebagai gantinya, kadang-kadang aku 
ketemu Wiku Baskoro dari Dipan Senja/Lawang Buku. Musik Sigur Ros mengiringi 
garage sale kecil-kecilan ini.

Sudah lihat-lihat ke dalam mas? tanya Wiku. Maksud dia lihat Kompas-Gramedia 
Fair.
Sudah, kayaknya pesertanya lebih banyak dari tahun kemarin ya? Standnya juga 
lebih rapi.
Nggak belanja?
Enggak euy. Keuanganku lagi kacau. Mana kemarin Fenfen kehilangan dompet waktu 
pulang dari Serang.
Gitu? Hilang di mana?
Di angkot, di Pasirkoja.
Kali keselip-selip di kursi?
Nggak tahulah.

Waktu ambil satu mata itu, aku bilang ke Ajo, Kalau nggak berfungsi, ini aku 
kembaliin ya?
Siplah, kata dia santai.
Dapat dari mana nih barang-barangnya? aku penasaran.
Dari teman. Dia nitip.
Kok bisa punya banyak begitu?
Nggak tahu tuh.

Dilihat langsung sih mata rapido itu kelihatannya masih baru. Begitu pulang, 
setelah ikut beres-beres rumah, aku langsung ambil badan lamanya, dan pasang. 
Ternyata benar. Jarumnya masih oke punya. Walhasil aku akan segera habiskan 
tinta di Rotring 0.2, biar bisa diistirahatkan dulu. Rotring ini kelihatan 
sudah tua. Badan bagian atasnya sudah belah-belah. Untung aku perkuat dengan 
lem super. Begitu setelah, Staedtler 0.3 ini bisa kembali diaktifkan untuk 
menulis segala sesuatu.

KEEP YOUR HAND MOVING![]

Anwar Holid kurang

[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell

2009-05-16 Terurut Topik Anwar Holid

[HALAMAN GANJIL]

Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell
--Anwar Holid

Jujur Saja ialah nama rubrik di halaman terakhir Femina, majalah perempuan kota 
asli Indonesia. Saya baru sadar rubrik ini menarik setelah lama-lama setiap 
kali buka Femina, ternyata sering sekali tergelitik dan senyam-senyum oleh 
pertanyaan dan jawaban yang mereka lontarkan khusus kepada perempuan. Rubrik 
itu tampaknya menguji seberapa jujur mereka terhadap sesuatu.

Pertanyaan di rubrik itu masih biasa saja, termasuk umum, belum menyangkut 
hal-hal yang sangat sensitif. Jadi jawabannya pun sebenarnya masih yang bisa 
kita bayangkan. Di salah satu edisinya, Femina bertanya: 
Buku yang menginspirasi saya? Jawaban semua orang beda. Salah satunya: Laskar 
Pelangi (Andrea Hirata). Buku itu memberi semangat pada saya yang bersekolah 
di kota kecil untuk tak perlu merasa rendah diri jika dibandingkan lulusan kota 
besar, kata seorang gadis di Mojokerto. 

Di edisi lain pertanyaannya mungkin bisa bikin malu: Angka merah waktu SMU? 
Atau waktu sedang heboh (Film) Ayat-Ayat Cinta, pertanyaannya ialah:  Ayat-Ayat 
Cinta, Suka Atau Tidak? Alternatifnya memang cuma dua. Salah satunya: Tidak, 
kata seorang istri di Jakarta. Kata dia, Mana ada wanita berpendidikan tinggi 
dan berpikiran modern yang rela diduakan? Itu sih maunya pria agar ada di atas 
angin. Yang suka bilang begini: Banget, banget! Saya sampai nonton dua kali. 
Disuruh nonton sekali lagi, jawabannya: Dengan senang hati! Jangan bayangkan 
yang jawab gadis berjilbab, yang jawab itu seorang gadis ayu berlesung pipi 
dari Bogor.

Rubrik itu membuat saya mengira-ngira, dalam hal apa saja kita jujur. Terhadap 
semua hal? Dulu, waktu mahasiswa, sedang asyik-asyiknya boys talk di kamar kost 
teman, seorang kawan mendadak melontarkan pertanyaan: Berapa kali kamu 
masturbasi dalam seminggu? JELEGER! Pertanyaan itu membuat saya mental. 
Rasanya saya ingin mati. Itu rahasia besar saya. Tapi bagaimana lagi? Toh 
mereka kawan-kawan akrab saya. Berterus-terang juga kayaknya baik-baik saja. 
Tapi ternyata saya masih takut jujur. Buktinya, jawaban saya justru mengelak, 
Nggak tentu. Kalau lagi terdesak saja. Bagaimana kalau setiap hari saya 
terdesak oleh tekanan seksual, sementara saya sulit menyalurkan gejolak lewat 
cara lain? Jelas, saya gagal jujur bahkan kepada teman-teman akrab. Mungkin 
saya khawatir reputasi saya hancur di mata mereka.

Suatu hari saya ditanya seorang teman non-Muslim: Apa kamu pernah makan babi? 
Jawabannya: tidak. Bahkan sepotong kecil pun? Kayaknya iya. Di Lampung, waktu 
kecil, teman akrab saya waktu SD ialah orang Hindu. Rumahnya persis di samping 
saya. Mereka punya ternak babi. Tapi kalau mereka memberi berkat/sedekah 
makanan, mereka memberi ayam dan makanan yang dihalalkan Islam.

Teman saya meneruskan: Apa kamu pernah minum alkohol? Jawabannya: pernah. 
Mungkin dulu waktu SMP, waktu kumpul-kumpul malam minggu dengan teman-teman. 
Tapi setelah itu nggak pernah lagi. Saya bisa dibilang murni seorang 
teetotaler, orang yang benar-benar bersih dari alkohol. 

Pernah merokok? Pernah. Tapi mungkin jumlah total yang pernah saya isap tak 
lebih dari 12 batang. Untuk beberapa hal, saya memang tidak melakukan apa pun. 
Saya tidak berzina, tidak merokok, tidak poligami, tidak korupsi, tidak pernah 
minum obat terlarang, tidak mengonsumsi narkoba. Untuk ini, saya jujur.

Pernah ngeganja? Pernah, dulu waktu mahasiswa, beberapa kali. Menurut saya 
harum asap ganja itu menggoda sekali.

Pernah mencuri? Pernah. Pencurian paling gila yang pernah saya lakukan ialah 
mengutil kaset album Superunknown (Soundgarden) di Aquarius Dago. Waktu itu 
saya sudah kuliah. Padahal waktu itu saya bawa uang, dan niatnya memang 
benar-benar mau beli album itu. Entah kejahatan apa yang mendesak pikiran saya 
waktu itu, tiba-tiba setelah perang batin dan dilanda ketakutan, pada satu 
kesempatan, saya memasukkan kaset itu ke saku pinggir celana. Yah, Tuhan masih 
melindungi saya dengan tidak langsung membuka aib itu di depan penjaga toko. 
Entah apa jadinya kalau saya kepergok penjaga toko. Boleh jadi saya bukan Anwar 
yang sekarang. Saya merasa berdosa sekali dan kapok. Album itu pun kini sudah 
saya jual dengan harga murah, tak sebanding dengan risiko yang saya hadapi. 
Gila, saya bisa senekat itu. Sulit membayangkan bahwa saya pernah bisa 
melakukan kehinaan seperti itu.

Apa kejujuran seperti itu akan membuat saya lebih baik? 

Dalam hal apa kita berani jujur? Untuk hal-hal remeh yang tidak berbahaya? 
Untuk perbuatan yang kira-kira bisa meningkatkan citra diri? Apa jujur itu 
sejenis uji nyali? Kejujuran memang menakutkan. Coba tuding diri sendiri dan 
ajukan pertanyaan paling berani, pertanyaan yang membuat kita tersudut harus 
jujur. Beranikah kita jujur pada diri sendiri? 

Coba uji kejujuran sendiri: Apa kamu menyimpan film atau gambar porno di 
komputer? Di Femina, gara-gara itu seorang istri memutuskan pulang ke orangtua 
setelah memergoki suaminya menyimpan banyak gambar porno

[zamanku] Andrea Hirata: Menulis itu Elegan

2009-04-11 Terurut Topik Anwar Holid

Andrea Hirata: Menulis itu Elegan
--
---Anwar Holid


Pada Selasa, 7 April 2009, hampir dua ribu guru dari sekolah-sekolah di Jakarta 
Pusat berkumpul di Aula Senayan City untuk mengikuti talkshow Kemuliaan 

Mengajar (Nobility of Teaching) yang menghadirkan penulis Andrea Hirata dan 
Arvan Pradiansyah, ditemani host Soraya Haque. 

JAKARTA - Sejak mulai menulis tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata boleh 
dibilang menjadi salah satu penulis paling hip di Indonesia saat ini; sementara 

Arvan Pradiansyah makin memantapkan diri sebagai penulis motivasi dan 
kepemimpinan setelah menerbitkan The 7 Laws of Happiness.

Penerbit Mizan menyelenggarakan acara itu bekerja sama dengan pemerintah kota 
Jakarta Pusat, Telkom Divre II, Sampoerna Foundation, ditambah pihak 

Senayan City yang menyediakan fasilitas aula begitu lega bagi guru-guru yang 
datang sejak pagi dan terlihat antusias mengikuti acara, meski di awal 
pembukaan 

terasa agak banyak basa-basi, membuat acara inti jadi sedikit terlambat. 
Kondisi ini tampak memaksa Soraya Haque berinisiatif mengubah set acara. Dia 

langsung menarik kedua pembicara untuk fokus membicarakan apa itu kemuliaan 
mengajar, mengaitkannya dengan Mukjizat Menulis (Miracle of Writing). 

Andrea dan Arvan pada dasarnya menekankan betapa mulia berprofesi sebagai guru. 
Sebagai mantan murid sekolah, keduanya telah merasakan kemuliaan 

para guru dan menerima teladan yang mustahil terlupakan. Buktinya, karya Andrea 
dipersembahkan bagi gurunya, sementara Arvan selalu mencari opsi untuk 

tetap bisa menjadi dosen di almamaternya, FISIP UI, bila kerja di suatu 
perusahaan, dan itu berjalan lebih dari 13 tahun.

Laskar Pelangi menguak guru sekolah dasar bernama ibu Muslimah yang selalu 
berhasil memenuhi kehausan ilmu sepuluh muridnya, dan ini ditunjang oleh 

kepala sekolah yang begitu rela berkorban, Harfan
Effendy Noor. Drama pendidikan di sekolah sederhana di pulau terpencil itulah 
yang hingga kini menyihir ratusan ribu--bahkan konon jutaan--pembaca 

Indonesia, dan tampaknya tetap menimbulkan rasa penasaran kecuali ditanyakan 
langsung kepada saksi mata terdekatnya: Andrea Hirata.

Menjadi guru di zaman sekarang harus powerful, kreatif, bisa berpikir di luar 
yang lazim. Itu baru bisa tercapai bila setiap guru punya kecintaan pada 
profesi, 

punya karakter. Pendidikan itu mestinya merupakan perayaan, ilmu itu 
tantangan, kata Andrea mengomentari idealisasi tentang pengajaran. Andrea 

menyayangkan bahwa sejak dulu terjadi pemarjinalan terhadap profesi guru, ini 
terbukti dari perlakuan kurang adil terhadap guru maupun prioritas anggaran 

pendidikan.

Untuk menekankan kemuliaan pengajaran Andrea menyatakan, Guru yang mulia itu 
seperti sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. 

Pengajaran yang berhasil berbekas pada murid yang mencintai guru, terinspirasi 
oleh teladan yang dia berikan. Pada suatu kesempatan, Andrea pernah berujar, 

Yang penting buat saya ialah bagaimana cara agar sekarang dunia pendidikan 
kembali melihat warisan yang ditinggalkan guru-guru seperti ibu Muslimah dan 

pak Harfan.

Bagi Andrea sendiri, Laskar Pelangi merupakan kisah tentang guru yang ditangkap 
oleh seorang muridnya, merekam warisan pendidikan dari satu jenjang ke 

jenjang berikutnya. Energi itu terus berlangsung sampai pada buku keempat, 
Maryamah Karpov, ketika Ikal--protagonis tetralogi itu--berhadapan dengan 

guru-guru asing di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, yang berkarakter lain 
sekali dibandingkan guru lamanya di kampung.

Sesi tanya jawab menjelaskan seberapa penasaran sebenarnya publik kepada 
Andrea. Rasanya lebih seperti jumpa fans, bahkan sejumlah guru menyatakan 

seakan-akan mimpi sampai bisa bertemu dengan penulis yang buku-bukunya telah 
memberi semangat kepada profesi mereka, membuat dunia pendidikan 

menjadi begitu penting, harus diperhatikan, dan mendapat prioritas. Pertanyaan 
yang muncul mulai dari hal sepele, masa-masa sekolahnya, berbagi pengalaman 

menulis, hingga bagaimana cara menjemput hikmah?

Yang saya harapkan dari tulisan-tulisan saya ialah ia memberi inspirasi, bukan 
semata menjual, kata Andrea pernah pada suatu kesempatan. Antusiasme 

publik jelas membuktikan itu. Buku dan kepenulisan telah mengantarkan Andrea ke 
status yang sulit dibayangkan sebelumnya. Bila dulu di awal Laskar Pelangi 

terbit sebagian orang menyebutkan dia beruntung, kini semua yang telah dia 
tulis, lihat, nilai, dan rasakan menjadi mukjizat yang menyemangati dan 

mengilhami banyak orang.

Tentang kemampuan menulisnya, dengan gaya khas dan merendah, Andrea menyatakan 
bisa jadi dia bisa menulis karena dirinya orang Melayu. Orang 

Melayu itu dalam keadaan marah masih bisa berpantun atau menyatakan metafora, 
kata dia disambut tawa peserta. Tapi lebih dari itu, awalnya ialah dia 

termotivasi. Ketika melihat beliau jalan kehujanan hanya berpayung daun pisang 
menuju sekolah kecil kami, dalam hati saya berjanji akan menulis

[zamanku] Rumah Buku, The Coolest Library in Town

2009-04-07 Terurut Topik Anwar Holid


Rumah Buku, The Coolest Library in Town
--Anwar Holid


Pada Jumat, 3 April 2009 Ariani Darmawan (Rani) mengirim pesan lewat Facebook, 
yang langsung dihantarkan oleh kantor pos Yahoo! Mail: 

Subject: Merayakan 6 tahun Rumah Buku / Kineruku: Teman-teman 
Menghias Rumah Buku

Sekali lagi, teman-teman terdekat Rumah Buku,
Kami mengundang kamyu2 untuk datang ke perayaan ultah kami ke-6, 
Sabtu jam 3 sore. Ditunggu.. tiada kesan tanpa kehadiran kalian 
semua...


Rabu sebelumnya, 1 April, aku mampir ke Rumah Buku karena ada perlu dengan Budi 
Warsito, seorang script writer yang kerja juga di Kineruku, lini produk Rumah 
Buku yang fokus mengerjakan perfilman. Sayang dia nggak datang-datang. 
Beruntung aku ketemu Rani, yang pagi-pagi itu sudah sibuk di sana, dan 
menyapaku, Eh, Sabtu ini Ruku ulang tahun loh. Dateng ya nanti bareng Fenfen 
dan anak-anak... Setelah itu aku dia kasih seporsi mi ayam. Lantas aku 
lihat-lihat cd baru di sana, yang entah kenapa banyak berupa album Cocteau 
Twins.

Selalu ada yang menarik di Rumah Buku. Baik itu cd, film, aktivitas, kopi, dan 
tentu saja buku-bukunya. Enam tahun lalu aku datang ke sini beberapa bulan 
setelah mereka buka, betul-betul terobsesi ingin melihat Ulysses dan Finnegan's 
Wake (James Joyce)--dua novel yang sampai hari ini hanya berani aku lihat-lihat 
dan pegang-pegang, atau coba baca halaman pertamanya, kemudian aku taruh lagi. 
Setelah itu, aku rasanya selalu tertarik untuk ke sana lagi, setiap ada 
kesempatan, sesering mungkin. Bahkan pernah dalam satu kesempatan, waktu 
mengerjakan profil Shirin Ebadi untuk buku tipis terbitan Mizan, aku begadang 
dan tidur di Rumah Buku. Bersama teman-teman, kami juga bikin Textour, yang 
namanya dilontarkan oleh Rani juga, meski kini inaktif.

Setelah enam tahun, Rumah Buku paling banyak diisi oleh aktivitas Kineruku. 
Wajar, karena Rani seorang sutradara dan dosen film. Di antara filmnya yang 
menurutku sangat menarik ialah Anak Naga Beranak Naga dan Sugiharti Halim, dua 
buah film pendek tentang identitas etnis Cina Indonesia yang disampaikan dengan 
kuat sekali. Film pertama bersubjek musik gambang kromong, kedua lebih ke 
hubungan personal. 
Menurutku, pada dasarnya yang aktif di Kineruku bertipe seniman, dengan rentang 
di ranah seni lukis, fotografi, desain, dan penulisan. Rani, misalnya, dia juga 
seorang editor. Dia mengedit terjemahan Marguerite Duras dan Italo Calvino, dua 
dari sekian banyak penulis favoritnya, yang koleksi karyanya boleh dibilang 
lengkap tersedia di Rumah Buku.

Koleksi Rumah Buku memang luar biasa dan terpilih, dan itu jadi magnet luar 
biasa bagi pangsa di dunia sastra, kritik, film, desain, seni, arsitektur, 
komunikasi, media, sejarah dan pemikiran. Buku unik, baik yang didesain 
menakjubkan dengan teknologi tertentu, sangat langka, klasik dan legendaris, 
dinilai sangat berpengaruh, ada di sini. Begitu juga koleksi film dan musiknya. 
Miles Davis, Pat Metheny, Keith Jarrett, Youssou N'Dour, SimakDialog, King 
Crimson, Feist, Arcade Fire, Jack Johnson, Tibor Szemzo, Ravi Shankar, 
bertaburan. Pantas karena itu beberapa bulan lalu Rolling Stone Indonesia 
menyebut Rumah Buku sebagai the coolest library in town. 

Di acara Teman-teman Menghias Rumah Buku ini ada found object 
personal-bersejarah bagi Rani dan Rumah Buku, lukisan yang dikerjakan amat 
halus karya Judith, fotografi oleh Meicy, woodcut, juga desain arsitektural 
atas seekor babi.

Rumah Buku merupakan salah satu tempat terbaik di Bandung. Aku selalu ingin 
lama-lama di sini, untuk menulis, mengedit, menyelesaikan proyek, bertemu 
dengan kawan. Mungkin karena ia cukup dekat dengan rumahku. Aku juga kerap 
mendapat kebaikan dari Rani bersama para pegiat lainnya. Bahkan voucher 
pinjaman hadiah Rani belum aku habiskan jatahnya.

Dulu, rasanya kita sering banget ke sini ya, kata Fenfen waktu kami jalan ke 
sana. Memang. Di ulang tahun ke enam itu kami bertemu teman-teman yang merasa 
terikat dengan tempat ini--para pembaca, penulis, sutradara, peneliti, kurator, 
kritikus, dosen, seniman, pedagang, penyanyi, arsitek. Merekalah yang menghiasi 
dan meramaikan Rumah Buku, meminjam koleksinya, mengambil manfaat. Meskipun ada 
juga pengunjung jahat, karena mereka mencuri fasilitas atau koleksi Rumah Buku, 
termasuk mencuri milik pengunjung lain. 

Selamat ulang tahun Rumah Buku, semoga terus jaya. Keep up the good work![]

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

ANWAR HOLID, anggota Rumah Buku no. A030. Bekerja sebagai editor, penulis, dan 
publisis.
KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com

Kontak:
RUMAH BUKU  KINERUKU
Jl. Hegarmanah 52 Bandung 40141
Ph/F: 022.2039615
Email: kiner...@yahoo.com



  


[zamanku] [BUKU INCARAN] Pergolakan Spiritual Empat Orang Mualaf

2009-04-07 Terurut Topik Anwar Holid

Pergolakan Spiritual Empat Orang Mualaf
--Anwar Holid

SEEKING TRUTH FINDING ISLAM: Kisah Empat Mualaf yang Menjadi Duta Islam di Barat
Penulis: Anwar Holid
Penerbit:  Mizania, 2009
Halaman:  184 
Harga: Rp.29.000.00 
ISBN: 978-602-8236-30-0
Kategori: Biografi
 

Setiap tahun, sekitar 25.000 orang menjadi Muslim di Amerika Serikat. Pasca 11 
September, jumlah orang yang bersyahadat 4 kali lipat. Demikian dari New York 
Times.
 
Jalan hidup manusia sulit ditebak. Dari awal yang amat jauh dari agama, orang 
bisa menjadi perindu Tuhan dan mencari jalan untuk menghampiri-Nya. Kisah hidup 
para mualaf--yakni orang yang masuk Islam--memberi kita banyak pelajaran 
tentang hal ini. 
 
Buku ini menyajikan empat mualaf di Dunia Barat yang mampu menjadi duta Islam 
melalui pengabdian kepada masyarakat dan teladan tentang sikap hidup Muslim 
sejati. Dengan demikian, mereka juga berjihad memerangi prasangka terhadap 
Muslim dan agama Islam yang marak di Dunia Barat pada masa sekarang. 

Keempat mualaf itu adalah: 
* Yusuf Islam (Cat Stevens): mantan superstar rock dunia yang mengundurkan diri 
dari dunia musik untuk mempelajari Islam, dan kini aktif berdakwah melalui 
kegiatan pendidikan dan sosial. 

* Ingrid Mattson: cendekiawati pemimpin ISNA (Islamic Society of North 
America)--organisasi Muslim terbesar di Amerika--yang sempat menjadi ateis 
sebelum akhirnya terpesona oleh Al-Quran. 
 
* Keith Ellison: Aktivis HAM dan Muslim pertama yang menjadi anggota Kongres 
AS. 
 
* Hamza Yusuf Hanson: ulama asli kelahiran AS yang mendalami khazanah ilmu-ilmu 
Islam klasik dan kini giat mengampanyekan Islam damai ke publik Barat. 
 
***

Seeking Truth Finding Islam merupakan buku kedua saya. Sebagaimana Barack 
Hussein Obama (2008), buku ini lahir atas prakarsa Ahmad Baiquni (aka Ibeq), 
editor penerbit Mizan. Waktu awal-awal menyusun, kami sempat mendiskusikan 
banyak nama yang akan dijadikan profil, menimbang bagaimana kiprah mereka, 
mengira-ngira citra dan pandangan publik terhadap mereka, dengan harapan bisa 
menyaring sekitar 6-10 orang. 

Berbagai pertimbangan, terutama soal akses informasi dan peran mereka, akhirnya 
memaksa saya hanya bisa menulis empat orang tersebut. Sebenarnya minimal ada 
dua orang lagi yang sangat ingin saya tulis perjalanan religiositasnya, yaitu 
Frithjof Schuon dan Charles le Gai Eaton. Tapi saya kehabisan energi dan 
pikiran, terus menghentikan niat itu. Lagi pula, siapa yang bakal tertarik 
kepada Schuon dan Gai Eaton, selain sesama orang spooky? 

Untuk menaikkan daya tawar isi buku, saya berusaha maksimal memunculkan drama 
perjalanan hidup keempat orang ini, terutama sekali pertarungan spiritual dan 
pergolakan batin sebelum memeluk Islam. Sebagai tambahan saya menulis esai 
cukup panjang tentang berbagai aspek convert ke dalam Islam. 

Saya juga sempat menghubungi Ingrid Mattson via email tentang niat menulis 
profil beliau. Yang menjawab ternyata asistennya. Kami sempat email-emailan 
beberapa kali. Intinya, beliau bersedia bila harus diwawancarai via email. Tapi 
niat itu pun gagal terlaksana, sebab sang asisten memberi informasi cukup, 
sementara di Internet kisah perjalanan keyakinan spiritual Ingrid tersedia 
cukup banyak.

Dari sisi penulisan, sekali lagi saya mendapat pengalaman berharga tentang 
hubungan antara penulis dan penyunting (editor). Karena melampiaskan keyakinan 
dan pikiran tentang agama, pada draft awal yang saya berikan, ternyata saya 
kerap memunculkan sinisme terhadap agama, sampai menurut Ibeq, bahasa saya 
cenderung kasar dan malah berpotensi bisa menjelek-jelekkan agama. Ini 
mengkhawatirkan.

Bagaimana orang bakal tertarik kepada Islam atau agama lain kalau kamu 
menulisnya seperti ini? kata dia waktu kami membicarakan draft pertama. Saya 
tertawa. 

Misi buku ini memang berusaha menunjukkan bahwa agama bisa menjadi alternatif 
jalan kebaikan di tengah kekacauan dunia. Sementara istilah convert ternyata 
tidak selalu identik dengan pindah ke agama lain, tetapi bisa juga berarti 
menjalani intensitas yang lebih besar terhadap religiositas daripada semula.

Pelajaran dari sana ialah editor yang jeli dan memiliki sense bahasa kuat bisa 
diandalkan sebagai kawan untuk menghasilkan karya yang cukup bertanggung jawab. 
Editor bisa jadi indra pertama mewakili publik pembaca sekaligus kepentingan 
penerbit. Sebagai wakil penerbit, dia akan memperhatikan kesantunan, kejernihan 
isi, cara berargumen, dan menuturkan yang baik dan kena.

Untuk kepentingan promosi buku ini, pada Senin, 30 Maret lalu saya mampir ke 
Masjid Laotze, Bandung menjajaki kemungkinan mengadakan diskusi atau bedah buku 
bertopik tentang mualaf. Sambutan mereka ramah. Sementara jauh-jauh hari 
sebelumnya, saya sudah berharap hal serupa pada bagian promosi Mizan. Mereka 
malah usul agar acara seperti itu kalau bisa menghadirkan tokoh mualaf 
terkemuka dan bisa membicarakan dialog antaragama secara adil, proporsional, 
dan terbuka. 

Membicarakan agama memang sensitif. Jangankan antaragama serumpun

[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?

2009-04-07 Terurut Topik Anwar Holid

[HALAMAN GANJIL]

Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?
--Anwar Holid


Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting dalam 
perkawinan? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung tertawa 
mendengar jawaban itu. 
Memang, menurut kamu apa? balas dia.
Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah.

Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam bayanganku 
waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara itu menayangkan 
seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya. Mangsa itu dia 
cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia persembahkan pada anak-anak dan 
pasangannya. Setelah itu dia memperhatikan mereka berebut makanan yang dia 
bawa. Terdengar narasi: Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia 
pulang dengan selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang 
dia bawa daripada kehadiran dirinya sendiri. 

Terdengar ironik? 

Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah 
penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi 
sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan itu ialah 
cinta, kasih sayang. Ha ha, dalam rumah tangga kasih sayang menurutku sudah 
jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus selesai sejak jauh-jauh 
hari sebelum pasangan menikah dan membangun rumah tangga. Tanpa itu, rumah 
tangga dan perkawinan berarti sia-sia. 

Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada orang yang 
bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta? Nggak. Orang hanya 
bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok merasa agak yakin bahwa 
cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh jadi memang begitu, sebenarnya, 
terutama orang yang terbutakan oleh cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri 
atau perpisahan sepasang kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai 
keributan, termasuk sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang 
terlalu sulit dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada 
di mana cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi 
terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan 
pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk 
menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal, jengkel, 
atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia 
menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia 
menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak segera 
menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran dan menuduh dia 
tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi perkawinan di media massa. Dari 
sana kita belajar bahwa persoalan perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat 
sederhana (misalnya kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) 
maupun hal yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh, 
berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam 
perkawinan bobot masalah sederhana dan berat ternyata sama saja. Masalah 
adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak akibatnya bisa 
fatal.

Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan yang 
kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau tak punya 
nafkah? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi mungkin sedikit 
lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi kekayaan yang terus 
tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan tak perlu kerja. Tapi 
dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya mengeluh, sebab kerjanya hanya 
menghabiskan harta orangtua dan terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan 
tanpa mata pencaharian itu merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang 
gadis dalam keadaan nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis 
Anda dipinang pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda 
kepada pemuda itu? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka 
meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia.

Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi 
weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku sendiri 
pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend husband/wife sudah 
dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah pasangan yang hanya ketemu 
sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Jelas karena 
tidak mengalami, rasanya aku sulit berempati kepada pasangan yang hanya ketemu 
sebulan, tiga bulan, atau setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan 
menikah? Bukankah mereka menikah untuk bersatu, berdekat-dekatan? Wajarkah 
pasangan mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan 
penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya absurd. Tapi 
sekali lagi, bayangkanlah

[zamanku] [BUKU INCARAN] Buku Islam yang Bagaimana?

2009-03-06 Terurut Topik Anwar Holid

Buku Islam yang Bagaimana?
--Anwar Holid


Islamic Book Fair (IBF) Maret 2009 padat sesak oleh pengunjung. Meski 
diselenggarakan sederhana dan ada kekurangan, pengunjung tetap antusias dan 
panitia tetap konsisten dengan nilai yang dibawa.

JAKARTA - Berkat keramahan teman-teman dari Penerbit Mizan, aku berkesempatan 
mengunjungi Islamic Book Fair (IBF) pada Minggu, 1 Maret 2009. Kami ke sana 
terutama untuk menyiapkan dan meliput talkshow The 7 Laws of Happiness for 
Muslim Family yang menghadirkan Arvan Pradiansyah dan Asma Nadia. Tiba di sana 
kira-kira pukul 14.00-an, jadi aku punya waktu mengelilingi istana olahraga 
yang disulap jadi ruang pamer dan jualan itu.

Jelas karena hari Minggu, pengunjung membludak banget. Rasanya bahkan lebih 
padat waktu terakhir aku datang ke sini, yaitu atas undangan Kompas, di acara 
Kompas-Gramedia Fair tahun 2007, persisnya di Pertemuan Peresensi 
Pustakaloka-Kompas pada Jumat, 4 Mei 2007. 

Tapi aku sendiri kurang nyaman di tempat yang terlalu padat. Kesannya seperti 
pasar kaget di Gasibu tiap Minggu. Ramai sih, tapi pengorbanannya banyak. Kita 
nggak bisa lihat-lihat buku dengan nyaman atau memperhatikan sesuatu dengan 
baik.

Gue pikir hanya mobil dan motor saja yang bisa macet, nggak tahunya orang juga 
bisa macet, begitu terdengar seseorang persis di depanku. Semua bagian di 
tempat itu penuh. Aku berkeliling, mengingat penerbit yang sengaja ingin aku 
datangi atau melihat hal menarik. Ternyata di bagian sayap kiri gedung itu 
bocor, jadi mengganggu pemandangan banget. Untung mengucur ke jalan/lorong, 
bukan ke stand--jadi tempat itu dihindari pengunjung.

Aku sudah lama berpendapat mestinya pameran dan bursa itu diadakan di tempat 
lebih nyaman, misalnya di JHCC atau di Sabuga kalau di Bandung. Tapi berbagai 
faktor dan kemampuan menghalangi mimpi seperti itu.

Penerbit Serambi agaknya tampil khusus karena mereka menggunakan momen ini 
untuk peringatan ulang tahun ke-10. Mereka menghias stand agak lain, jadi cukup 
mencolok. Salamadani mengeluarkan sejumlah buku baru yang cover-covernya 
memenangi lomba cover favorit di IBF kali ini. Mizan mengelilingi standnya 
dengan produk unggulan mereka. Mendisplay stand begitu rupa sampai yang 
terlihat hanyalah digital print cover berukuran besar, termasuk di antaranya 
tentu saja Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Beberapa penerbit yang kurang 
berafiliasi langsung dengan istilah penerbit Islam juga muncul, katakanlah 
kelompok Gagas Media, Erlangga, juga Panebar Swadaya. Ufuk Press dan Rajut 
Publishing sekilas aku anggap merupakan dua penerbit baru yang inovatif dan 
produknya mampu menarik perhatian. Mereka jelas menggeliat dan terus tumbuh.

Seeking Truth Finding Islam (Mizania, 2009), buku keduaku, juga sudah bersaing 
dengan ratusan buku lain di stand Mizan di blok buku baru, mencari perhatian 
agar dibuka dan dibeli. Subjek buku itu ialah tentang mualaf (convert ke Islam) 
dan kisah empat orang mualaf yang dianggap sebagai duta Islam di Barat. Mereka 
ialah Ingrid Mattson, Keith Ellison, Yusuf Islam, dan Hamza Yusuf. Aku sudah 
minta pada editor Mizan agar membicarakan topik seperti ini misalnya di masjid 
Laotze, Bandung.

Istilah Islamic Book Fair dan penerbit Islam buat aku sendiri terasa 
bermasalah, sebab ini menunjukkan kaum Islam yang sengaja memisahkan diri dari 
kebhinekaan Indonesia, meskipun jargon itu juga kurang konsisten dilaksanakan, 
selain terutama untuk kepentingan dagang. Tapi aku punya teman seorang editor 
Katolik yang bilang baik-baik saja dengan istilah dan acara itu, sekalian 
berharap suatu hari ada pameran lain buku yang segmented---minus misalnya 
pameran adult book.

Bila Mizan sudah punya banyak imprint yang menerbitkan buku non-Islam, Serambi 
terkenal karena The Da Vinci Code, Erlangga memanfaatkan ceruk pasar Islam, GPU 
punya sejumlah produk khas yang didedikasikan buat kaum Muslim, atau penerbit 
Islam memanfaatkan isu-isu untuk menyerang keyakinan agama lain... apa lagi 
keistimewaan IBF ini dibandingkan pameran buku dan penerbit umum? 

Di satu sisi sempit, terutama dari sudut keimanan, istilah Islam itu memang 
membedakan dari pihak lain, dan itulah yang digunakan untuk menjual segala 
produk di dalamnya, mulai dari kerudung, aksesoris shalat, ensiklopedia, vcd 
dakwah dan provokasi, seruan berjihad di Palestina, dan juga bank syariah. Maka 
di IBF ini aku melihat perempuan bercadar berseliweran, jauh lebih banyak 
dibanding pameran-pameran lain. Aku juga lihat kayaknya ada beberapa kelompok 
orang beramai-ramai pakai jaket PKS masuk ke sana, soalnya aku mudah melihat 
mereka ada di mana-mana.

Tapi Fanfan dari Promosi Mizan menolak prasangkaku. Dilihat segi tampilan, 
visi, dan peserta, IBF cukup konsisten kok, tegasnya ketika kami ngobrol di 
belakang panggung. Panggung Utama misalnya, dari tahun ke tahun di set di 
tengah-tengah Istora sebagai pusat acara. Ini beda dengan Jakarta Book Fair 
yang lebih banyak mengadakan acara di lantai 2 atau malah di luar Istora dan

[zamanku] Model Komprehensif tentang Kebahagiaan

2009-03-01 Terurut Topik Anwar Holid


Model Komprehensif tentang Kebahagiaan
--Anwar Holid

The 7 Laws of Happiness - Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Kaifa, September 2008
Halaman: 428 
ISBN: 978-979-1284-20-2
Harga: Rp 72.500,- 


KITA kerap mendengar orang berkata, Semoga hidupmu bahagia atau dengan nada 
emosional mengucapkan, Saya rela miskin, asal bahagia. Sesungguhnya, bahagia 
seperti apa yang dia maksud? Apa bahagia itu identik dengan senang? Bagaimana 
bila dibandingkan dengan perasaan sejenis, misalnya beruntung, sukses, mujur, 
dan puas? 

Bahagia itu rentang waktunya panjang, sementara senang itu berjangka pendek, 
demikian pernyataan awal Arvan Pradiansyah dalam The 7 Laws of Happiness. Buku 
ini berusaha secara meyakinkan dan mudah dipahami membahas salah satu aspek 
terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kebahagiaan. Sebagai seorang ahli 
sumber daya manusia dan pembicara publik, Arvan  telah menghasilkan empat buku 
bertema manajemen kepemimpinan (leadership) dan manajemen kehidupan (life 
management.) The 7 Laws of Happiness termasuk kategori manajemen kehidupan, 
terutama karena ia secara persuasif mengajak agar pembaca menemukan dan 
membukakan jalan hidup yang bahagia.

Arvan menggunakan pendekatan neurosains dan Psikologi Positif untuk membukakan 
wawasan tentang  meraih kebahagiaan. Neurosains ialah studi saintifik terhadap 
sistem saraf, terutama sekali sistem jaringan otak. Sebagian ahli otak 
mengatakan bahwa pusat manusia ada pada akal, yaitu proses berpikir yang 
terjadi di dalam otak. Arvan yakin bahwa kunci kepribadian dan watak manusia 
berada pada otaknya (hal. 41.)

Psikologi Positif lahir dari kegalauan Martin E. P. Seligman ketika menjadi 
presiden American Psychological Association (APA) pada 1998. Dia secara 
komprehensif menuliskan landasan teori dan praktik cabang  psikologi ini dalam 
bukunya yang sangat berpengaruh dan terkemuka, Authentic Happiness. Beberapa 
koleganya merasakan kecenderungan serupa, dan akhirnya saling mendukung dan 
mengisi gagasan  tersebut hingga menjadi disiplin yang padu. Psikologi ini 
lebih berusaha menekankan pada kesehatan  mental. Aliran ini merupakan generasi 
baru Psikologi Humanistik yang berhasil membangun dukungan bukti empirik, 
menyediakan landasan sainstifik kuat bagi studi tentang kebahagiaan manusia dan 
fungsi optimal manusia, menambah sisi positif dari psikologi yang terlalu 
dikuasai sisi negatif manusia.

Sesuai hasil penelitian neurosains, Arvan berpendapat bahwa kunci bahagia 
manusia itu ada dalam pikirannya. Kekuatan terbesar manusia ada dalam memilih 
pikiran, ungkapnya. Dengan pikiran, orang bisa memilih keputusan apa pun untuk 
hidupnya. Arvan merancang buku ini secara komprehensif agar pembaca bisa cukup 
terlatih untuk memulai mengambil keputusan demi kebahagiaan hidupnya. 
Pendekatan  penulisannya juga termasuk menarik. Sambil berargumen mengungkapkan 
bagaimana prinsip-prinsip  kebahagiaan bisa berlangsung dalam kehidupan 
manusia, dia menjabarkan pemikiran dengan bahasa mudah dipahami, ditambah 
petikan kisah (kebanyakan kisah nyata), dan sejumlah praktik tes psikologi. Lay 
out buku  ini, baik dari pilihan font, desain, dan ilustrasi membuat kenyamanan 
membaca jadi makin maksimal.

Salah satu prasangka umum terhadap bahagia yang dipatahkan Arvan ialah anggapan 
bahwa orang bisa bahagia meskipun ia tak punya apa-apa, seakan-akan bahagia 
tidak butuh materi apa pun. Anggapan ini terdengar bagus, tapi sangat tidak 
realistis, tulis Arvan. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia tanpa memiliki apa 
pun padahal kita ini masih merupakan makhluk fisik juga? (hal. 32), demikian 
ungkap Arvan retorik. Dia menyatakan, meski ada faktor yang dapat mempengaruhi 
kebahagiaan, penentunya tetap  pikiran. Secara faktual, orang sehat dengan 
pikiran damai akan lebih bahagian daripada orang sakit dengan  pikiran damai. 
Pikiran itu mirip kebun, bila dipupuk dengan baik, hasilnya tentu kebaikan. 

Untuk memupuk dan melatih pikiran agar terbiasa melahirkan kebahagiaan, Arvan 
mengajukan tujuh syarat. Tiga syarat pertama ialah Intrapersonal Relation, 
merupakan syarat bahagia untuk diri sendiri, terdiri dari  sabar, syukur, dan 
sederhana (kemampuan menangkap esensi). Tiga syarat kedua ialah Interpersonal 
Relation, merupakan kebahagiaan terkait dengan orang lain, terdiri dari kasih, 
memberi, dan memaafkan.  Puncaknya ialah Spiritual Relation, berupa kemampuan 
berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan (pasrah.) Arvan memberi 
contoh dan inspirasi nyata betapa meraih kebahagiaan puncak itu tidaklah hadir 
sekonyong-konyong, tetapi dengan disiplin, perjuangan, dan pelatihan berat.

SELINTAS The 7 Laws of Happiness tampak sama dengan tipikal buku self-help dan 
motivasi (pengembangan diri)  yang  kerap dituduh menyederhanakan masalah 
serius dengan pendekatan instan, sejenis cara jawaban gampang bagi masalah 
kehidupan yang terlalu sukar. Pengkritik self-help mengindikasikan bahwa buku 
seperti itu sejenis pseudosains

[zamanku] The 7 Laws of Happiness for Muslim Family

2009-03-01 Terurut Topik Anwar Holid


The 7 Laws of Happiness for Muslim Family
=
Oleh Anwar Holid

All happy families resemble one another, each unhappy family is unhappy in its 
own way. Demikian kalimat pertama Tolstoy dalam buku Anna Karenina: Semua 
keluarga bahagia itu mirip satu sama lain, tiap keluarga yang sengsara 
menderita dengan caranya masing-masing. Punya keluarga bahagia itu bukan saja 
penting dan fundamental, melainkan juga hak dan idaman setiap orang. Keluarga 
merupakan unit persaudaraan terkecil yang bisa menentukan perilaku, adat, dan 
moral setiap orang. Ia menjadi tempat interaksi intim antara suami-istri, 
orangtua-anak, saudara kandung-saudara tiri, saudara dekat-saudara jauh.

Lepas bahwa secara alamiah orang ingin membangun keluarga bahagia, selalu saja 
ada sandungan yang kerap gagal dihadapi baik oleh pasangan paling mesra dan 
setia sekalipun. Perceraian kadangkala harus terjadi, pertengkaran meledak, 
sakit hati sulit diobati, anak terlantar, suami meninggalkan istri, istri 
selingkuh, anak hidup dalam tekanan, anak kabur, orang tua merasa diabaikan, 
pasangan merasa kurang dukungan, kebutuhan hidup mengejar-ngejar tiada ampun, 
suami merasa kecapaian mencari nafkah, bantuan istri dianggap kurang. Masalah 
keluarga ialah masalah kehidupan yang senantiasa perlu dinegosiasikan setiap 
waktu.

Adakah rahasia menciptakan keluarga bahagia?

Arvan Pradiansyah, penulis The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.) akan mencoba 
berbagi dan sama-sama mencari formula, adakah syarat di dalam keluarga bahagia. 
Kali ini pembicara publik dan ahli SDM ini akan ditemani Asma Nadia, salah satu 
tokoh Forum Lingkar Pena, yang juga telah menghasilkan banyak buku. Mereka akan 
membahasnya dalam talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family pada 
Islamic Book Fair Maret 2009 ini.

Hari, Tanggal: Ahad, 1 Maret 2009
Waktu: 16.00 - 18.00 BBWI
Tempat : Istora Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Panggung Utama Islamic Book 
Fair.

Bagi Arvan acara ini seakan-akan merupakan konsekuensi dari rangkaian roadshow 
atas bukunya. Tapi boleh jadi talkshow kali ini menawarkan hal istimewa atau 
pendalaman khusus atas suatu kasus dalam bukunya. Kebahagiaan itu milik semua, 
meskipun kadang-kadang kita kehilangan hal itu.

Saya berharap buku ini dapat menjadi sebuah tools yang sederhana namun cukup 
powerful untuk mempermudah hidup kita (guna meraih kebahagiaan), kata Arvan 
pada suatu kesempatan.

The 7 Laws of Happiness sudah berhasil menggugah sejumlah kalangan untuk 
menerapkannya, termasuk kalangan guru, pekerja, juga pada lingkungan 
universitas. 

Keesokan harinya, pada Senin 2 Maret 2009 Arvan bersama Kaifa akan meneruskan 
kampanye meraih kebahagiaan di Kantor Divre II TELKOM, Jakarta pukul 10.10 - 
12.00 BBWI.

Tertarik membahas bersama? Silakan hadir.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141 

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Situs terkait: 
http://www.mizan.com
http://www.ilm.co.id
http://www.arvanpradiansyah.com

Hubungi Arvan Pradiansyah via http://www.facebook.com


  


[zamanku] [Maryamah Karpov] NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA

2009-02-28 Terurut Topik Anwar Holid

[Maryamah Karpov]

NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA

Oleh Anwar Holid

Kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi menyempilkan istilah yang mengundang tanda 
tanya: cultural literary nonfiction. Seperti apakah itu?


DESEMBER 2008 lalu, ketika masih membawa-bawa Maryamah Karpov (Bentang, 504 
hal.) ke mana pun pergi ingin segera menamatkannya, saya malah bertemu dengan 
orang yang malah belum selesai membaca Laskar Pelangi. Dia menenteng buku 
pertama tetralogi itu sambil menunggui anaknya yang latihan main perkusi bareng 
anak saya. Beberapa minggu sebelumnya, kami sempat membicarakan kehebohan 
cerita-cerita berlatar pendidikan di pulau terpencil itu.

Ini baru sempat baca, katanya. Kebetulan istri saya kemarin beli waktu jalan 
ke toko buku.

Saya lihat dia sudah lebih dari setengah membuka novel itu. Padahal saya 
beserta ratusan ribu pembaca lain sudah menamatkannya beberapa hari atau minggu 
setelah novel itu terbit pada 2005. Apa ada beda signifikan bila seseorang baru 
sempat membaca karya yang terbit beberapa tahun lalu? Mungkin tidak. Saya 
sendiri, karena sebuah keperluan, baru-baru ini membaca lagi Laskar Pelangi, 
dan dampaknya menurut saya berbeda ketika waktu dulu menamatkan untuk pertama 
kali. Ketika membaca dua atau tiga kali, kita jadi lebih dewasa, ada refleksi 
dan rujukan yang lebih kaya dari sebelumnya. Tapi, ada juga fakta yang harus 
saya sebut, bahwa sebagian orang ternyata tetap gagal membaca novel itu. Entah 
kenapa; mungkin butuh bahasan lebih lanjut.

Setelah melewatkan Sang Pemimpi dan Edensor, saya langsung loncat ke Maryamah 
Karpov. Beruntung, sebagian orang memberi tahu isi dan mengungkapkan kesan 
mereka terhadap volume kedua dan ketiga tersebut. Pukul rata, kebanyakan orang 
lebih terkesan pada Sang Pemimpi daripada Edensor. Bagi saya sendiri, Edensor 
cukup menyita perhatian karena masuk nominasi KLA 2007. Setidaknya ini 
membuktikan bahwa para juri memperhitungkan kekuatan sastra novel 
tersebut---sebab kalangan tertentu meragukan aspek tersebut bisa muncul di sana.

Ketika bicara tentang daya tarik tetralogi itu secara keseluruhan, tampaknya 
semua orang sependapat bahwa keunggulan kisah itu ialah pada keutuhan aspek 
fiksinya. Tetralogi itu lucu, romantis, dibumbui petualangan dan kisah 
fantastik, menjadikannya sangat inspirasional bagi pembaca fanatik, terasa 
dekat dengan kondisi pendidikan di Indoesia sehari-hari. Keutuhan aspek 
tersebut membuat tetralogi itu jadi seimbang. Dengan porsi masing-masing, semua 
muncul satu demi satu, silih berganti, sampai tanpa terasa ia menarik imajinasi 
pembaca ke sebuah kisah dan kejadian yang lengkap, mulai dari drama yang 
mengharu-biru, lantas disusul dengan humor, ironi, tragicomedy, juga 
pengharapan, optimisme, dan tentu saja petualangan-petualangan fantastik. 
Seorang fanatik Laskar Pelangi manapun bisa cerita kehebatan tetralogi itu 
lebih detail dan bersemangat daripada saya.

Struktur Laskar Pelangi dan Maryamah Karpov agak mirip sekaligus melingkar, 
yaitu kembali ke awal. Bila di buku pertama Laskar Pelangi terbentuk, di buku 
keempat Laskar Pelangi reuni. Di masa kecil, jagoan Laskar Pelangi yang paling 
disegani ialah Lintang dan Mahar; setelah dewasa kedua orang itu kembali muncul 
sebagai penyelamat Ikal. Pandu Ganesa, seorang fanatik karya-karya Karl May 
dengan menarik menilai karakter Lintang dan Mahar sebagai representasi otak 
kiri dan kanan--yang diharapkan supaya seimbang. Ini dielaborasi dengan 
gegap-gempita oleh si penulis. Bedanya, bila di Laskar Pelangi Tuk Bayan Tula 
mengadali Mahar, kini sebaliknya. Mahar ganti mengerjai Tuk yang gagap 
teknologi. Petualangan di hutan dan laut kembali terjadi, dengan intensitas 
lebih serius.

Bila dulu sepuluh anak bermain, berkelana, melakukan banyak kegiatan, 
menjelajah wilayah-wilayah berbahaya, merambah hutan dan nekat menjadi 
penyelamat, kini setelah dewasa yang benar-benar mengemuka hanya bertiga. Ini 
konsekuensi logis dari perjalanan waktu dan peristiwa, sebab orang dewasa punya 
agenda dan prioritas masing-masing. Perjalanan menguatkan karakter sekaligus 
mengeraskan trauma seseorang. 

Sengaja Mengundang Kontroversi?

Kenangan merupakan salah satu subjek paling penting dalam tetralogi ini. Namun, 
kali ini Ikal bukan mengenang masa kecilnya, melainkan ketika dia dewasa. Dia 
mengulang kenangan bersama ayah, mengenang A Ling yang susah-payah ia coba 
gapai dengan berbagai cara namun masih gagal, termasuk kenangan-kenangan 
bersama Laskar Pelangi sebelum akhirnya masing-masing menjalani nasibnya. Misal 
Mahar. Di buku pertama, sebelas tahun setelah mereka berpisah kala SMP, Mahar 
masih menjadi pendakwah Islam di kawasan terpencil di sekitar pulau Belitong. 
Tapi kini Mahar sudah sepenuhnya jadi dukun dan mengaktifkan lagi Societeit de 
Limpai, sebuah organisasi paranormal. Bila dulu Societeit menyewa perahu untuk 
mengarungi samudera, kini Ikal bikin sendiri!

Apa perubahan-perubahan itu mengurangi daya tarik novel

[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Sederhana Seperti Apa?

2009-02-17 Terurut Topik Anwar Holid

[HALAMAN GANJIL]

Sederhana Seperti Apa?
--
--Anwar Holid


Sederhana itu tricky.
--Budi Warsito



Ada dua buku yang secara khusus membicarakan sederhana. Pertama ialah The 7 
Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) dan Simplify Your Working Life (Fergus 
O'Connell). Kedua orang itu menggunakan sederhana sebagai hukum, bahkan 
merupakan ajaran moral yang sepatutnya dipatuhi, karena dari sanalah hakikat 
masalah bisa dilihat. Ibaratnya, sederhana adalah atom, inti sesuatu--minus 
penemuan bahwa atom pun ternyata masih punya unsur lagi. 

Arvan Pradiansyah dengan tegas menyatakan bahwa sederhana ialah kemampuan 
menemukan inti masalah; sementara Fergus O'Connell--terutama dalam konteks 
kerja dan karir--menekankan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan untuk 
bekerja cerdas ialah orang harus menemukan cara kerja paling sederhana. Menurut 
Tujuh Hukum Bahagia Arvan, sederhana merupakan poin ketiga rahasia mencapai 
hidup bahagia. Penulis lain, Jack Foster dalam buku Ideaship juga mengamini 
pendirian seperti itu, baik dalam konteks karir maupun kepuasan pribadi.

Di dunia seni, ada aliran kubisme dan abstrak ekspresionisme yang sangat 
menjunjung luhur-luhur makna sederhana. Bagi penganutnya, alam ini bisa 
diabstraksi menjadi garis, bujur sangkar, lingkaran, segi tiga, dan 
bentuk-bentuk dasar lain, sehingga itulah yang mereka geluti. Bila kita 
perhatikan dari lukisan Pablo Picasso atau Piet Mondrian, bentuk-bentuk dasar 
itu begitu dominan, meski setelah jadi, di tangan mereka lukisan itu menjadi 
sesuatu yang kompleks, harmonis, sekaligus kabur dan penuh luapan perasaan.

Di dunia arsitektur (Ludwig Mies van der Rohe) dan sastra (Robert Browning) 
sama-sama punya adagium yang membuat mereka begitu terkemuka, yaitu: Less is 
more (sedikit itu lebih bagus.) Di ranah ekonomi juga begitu; E. F. Schumacher 
(1911 - 1977), pemikir ekonomi Inggris kelahiran Jerman, sangat sering dikutip 
pemikir ekonomi Indonesia karena menulis buku dengan judul sangat provokatif: 
Small is Beautiful (kecil itu indah.)

Di dunia gerakan, filsafat, apalagi agama, begitu banyak orang yang mati-matian 
menekankan pentingnya sederhana. Perhatikan gerakan sederhana dan damai yang 
dilakukan Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mandela, Aung San Suu Kyi, juga Lech 
Walesa. Jangan lupa juga dengan tokoh bersahaja yang datang lebih dulu: Henry 
David Thoreau, Isa Al-Masih, Francis Assisi, dan lain-lain. Orang Muslim 
biasanya suka mengagung-agungkan kesederhanaan pahlawan mereka--antara lain 
Muhammd Saw, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomeini, dan sekarang Ahmed 
Dinejad--sebagai orang yang betul-betul sederhana.

Sekarang, anggaplah kita beriktikad kuat mau melakukan hal serupa karena kita 
sudah lama terpesona oleh kesederhanaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama-tama, mungkin kita langsung berpendapat bahwa sederhana berbeda dengan 
miskin. Baiklah, saya setuju. Semua orang yang paling kaya pun konon bisa 
sederhana--katakanlah seperti Warren Buffett. Boleh jadi pendapat kita tentang 
sederhana sebenarnya menunjukkan bahwa kita keberatan dengan hidup sederhana 
versi Isa Al-masih dan Gandhi. Kita ingin sederhana versi Buffett atau Bill 
Gates. Kita ingin sederhana yang kaya, bukan sederhana yang kere. Kita ingin 
meneladani sederhana yang mungkin lebih tepat dan kontekstual dengan dunia kini 
yang berkembang karena kapitalisme dan diikuti budaya konsumerisme.

Jadi, silakan definisikan sederhana Anda masing-masing, biar nanti kita bisa 
melanjutkan diskusi.

Saya sendiri masih sulit mendefinisikan dengan persis sederhana yang ideal. 
Meski saya beriktikad sederhana, toh saya gagal berhenti mengumpulkan banyak 
barang yang boleh jadi tak saya butuhkan. Saya punya masih puluhan kaset, CD, 
bahkan ribuan buku, belasan potong baju dan celana. Dari sisi itu saja, saya 
jelas tidak sederhana, alias berlebihan. Untuk apa saya punya puluhan kaset, 
bila sebenarnya saya tidak menyetel kaset itu tiap saat? Untuk apa saya punya 
belasan potong baju dan celana, padahal kita bisa cukup punya 2 potong baju dan 
celana? Yaitu satu dipakai dan satunya lagi jadi cadangan? Kenapa harus punya 
cadangan belasan potong?

Dalam beberapa hal barangkali saya boleh dibilang sederhana. Misalnya, saya 
punya satu istri. Itu masih cukup. Kacamata saya juga cuma satu. HP saya satu, 
begitu juga dengan rumah, televisi, rapido, earphone, dan kulkas. Dulu saya 
punya cd player dan walkman; tapi sekarang sudah dijual. Dulu saya hanya punya 
satu flash disk; tapi akhirnya dihadiahi 2 flash disk oleh dua institusi, kini 
saya jadi punya tiga. 

Karena tidak punya mobil, motor dan ipod; bolehkah saya mengklaim diri saya 
sederhana? Mungkin Anda langsung protes, eits, tunggu dulu.

Ternyata dengan contoh saya saja, sungguh sulit menyatakan dan melakoni hidup 
sederhana. Bila saya bersikeras mengatakan hidup sederhana dengan makan di 
warteg murahan, mungkin orang-orang akan tertawa sinis. Itu bukan sederhana, 
itu pelit dan cari penyakit

[zamanku] [Maryamah Karpov] Semangat Mewujudkan Mimpi dan Harapan

2009-02-16 Terurut Topik Anwar Holid

Semangat Mewujudkan Mimpi dan Harapan
-
--Anwar Holid

Maryamah Karpov
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang, 2009
Halaman: 504 hal.
ISBN: 978-979-1227-45-2


Mimpi dan harapan hanya berbeda sedikit saja. Bahkan pada satu titik, keduanya 
bertemu. Salah satu arti mimpi ialah sesuatu yang diharapkan, diidam-idamkan, 
atau begitu ambisius dinginkan oleh seseorang, biasanya sesuatu yang sulit 
dicapai atau dilepaskan dari keadaan sekarang. Ada satu peribahasa Filipina 
mengenai harapan, bunyinya seperti ini: keberanian merupakan buah dari harapan. 

Bahkan sebagian orang beranggapan hanya orang beranilah yang biasanya bisa 
mewujudkan harapan. Atau kalaupun gagal mendapatkan mimpi dan harapan itu, dia 
telah mencoba dengan gagah, ksatria, dan habis-habisan. Bila demikian, 
orang-orang pun tetap respek pada dirinya. Mereka berhenti melihat kegagalan 
orang bersangkutan, malah menoleh pada keberanian dan keteguhan dirinya. Itulah 
buah harapan, buah dari keyakinan orang dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. 

Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.), pamungkas tetralogi Laskar Pelangi karya 
Andrea Hirata, memiliki subjudul Mimpi-mimpi Lintang. Sejumlah pembaca 
Maryamah Karpov, terutama yang begitu fanatik pada tiga novel sebelumnya, 
menilai subjudul tersebut sebenarnya lebih pantas menjadi judul utama dan 
justru dengan sangat tepat mewakili semangat novel bungsu itu. Sebab dengan 
mimpi dan harapan itulah Ikal beserta sejumlah tokoh lain dalam novel ini 
mengarungi kehidupan, mempertaruhkan keyakinan, berusaha mewujudkannya, satu 
demi satu. Wajar bila ada seseorang berkomentar, Semangat, keberanian bermimpi 
dan mewujudkan mimpi paling gila sekalipun merupakan inti novel ini.

Memang ada banyak harapan dan mimpi dalam Maryamah Karpov. Harapan paling hebat 
yang muncul di awal-awal novel ini ialah harapan Ketua Karmun untuk memajukan 
masyarakat dan kampungnya. Caranya sederhana saja: dengan menerima seorang 
dokter gigi berpraktik di sana. Namun ternyata harapan itu tak semudah 
dugaannya. Masyarakat, terutama karena masih terhalang oleh berbagai anggapan 
sempit dan pandangan keliru, menolak usaha itu. Bahkan Ikal, yang kemudian 
diharap-harapkan jadi contoh karena nota bene sangat terdidik, karena trauma 
dan alasan tertentu, sulit memberi contoh betapa penting perubahan itu bagi 
kampungnya di masa depan. Ketua Karmun membujuk dengan berbagai cara untuk 
mewujudkan harapannya, tapi berkali-kali dia gagal.

Harapan--yang juga merupakan tema utama Laskar Pelangi--dulu pernah diucapkan 
Andrea Hirata dalam wawancara dengan harian Pikiran Rakyat, sektiar 3 tahun 
lalu. Dia bilang, Agar orang jangan mudah berputus asa. Belajarlah dengan 
betul. Itu sebenarnya pesan utama saya. Klasik sebenarnya, tapi dengan 
bercontoh dari Laskar Pelangi, kesulitan apa pun terutama dalam masalah 
pendidikan, bisa diatasi. Buktinya, anggota Laskar Pelangi bisa survive. 
Pokoknya don't give up.

Maka di ujung tetralogi ini, Andrea melanjutkan berbagai harapan; harapan Ikal 
bertemu A Ling, harapan Ketua Karmun meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, 
harapan Kalimut mengubah nasib dengan mau berisiko menyeberangi lautan menuju 
Singapura. Harapan dan drama yang dibawa dalam petualangan bersama Mimpi-mimpi 
Lintang.

***

Harapan menghidupkan energi orang-orang, membuat mereka terus aktif, mencari 
banyak alternatif, pantang menyerah, mengalahkan berbagai energi negatif yang 
mencoba meruntuhkan moral. Meski mereka juga gelap atas apa yang bakal terjadi 
di masa depan, mereka enggan mundur, malah terus mencari peluang. Barangkali, 
dalam kasus ini, optimisme Ketua Karmun sungguh pantas di kedepankan. Dengan 
berbagai cara dia gagal membujuk Tancap bin Seliman agar beribat ke dokter gigi 
Budi Ardiaz, namun senantiasa gagal. Namun, di puncak kegagalan upaya yang juga 
persis di puncak rasa sakit gigi Tancap bin Seliman, Ketua Karmun akhirnya 
malah menunjukkan belas kasihan demi menolong rakyatnya yang kesakitan.

Mimpi dan harapan itulah yang menjaga sejumlah tokoh dalam Maryamah Karpov 
berhasil mengatasi kesulitan. Meski bagi Ikal sendiri kisah itu berakhir pilu, 
toh dia sebelumnya sempat mengalami masa-masa madu. Mungkin inilah kekuatan 
sebuah novel yang ditingkahi dengan kejadian-kejadian hiperbolik, ironik, 
fantastik, dan humor. Pembaca dibuai oleh mimpi-mimpi yang awalnya 
menghanyutkan, lantas diseret oleh peristiwa dramatik, musykil, namun ujungnya 
ternyata menghempaskan harapan pembaca itu sendiri. Barangkali, itulah kekhasan 
sebuah novel yang disebut-sebut sejumlah orang istimewa berkat cara 
berceritanya luar biasa.

Mimpi seperti apa yang malah membuat pemimpinya bersemangat dan bisa terus 
berharap? Itulah mimpi yang membuat pelakunya hidup. Kata sebuah pepatah, jika 
ingin mimpimu jadi kenyataan, jangan sampai kamu tidur. Kenapa? Karena dengan 
begitu orang tersebut akan berusaha dan mencari cara agar mimpinya terwujud, 
sebab untuk mewujudkan itu perlu dorongan, strategi

[zamanku] Kekuatan Tradisi Sastra Indonesia di Jawa Barat

2009-02-07 Terurut Topik Anwar Holid
Kekuatan Tradisi Sastra Indonesia di Jawa Barat
--Oleh Anwar Holid

Majelis Sastra Bandung mengadakan diskusi untuk menggali akar tradisi dan 
tonggak-tonggak sastra Indonesia yang terjadi di Jawa Barat.

BANDUNG - Aku melangkah cepat-cepat begitu turun dari angkot di jalan Aceh, 
soalnya titik-titik hujan sebesar biji jagung sudah mulai berjatuhan, kuatir 
sampai di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) dalam keadaan basah kuyup. Untunglah 
aku menang, dan sampai di pintu gedung itu bertemu dengan Matdon (Rais 'Am Kyai 
Majelis sastra Bandung), sekalian salaman dengan Wawan Juanda dari Republik 
Entertainment. Di gedung itu sudah berdatangan sejumlah orang, terutama 
anak-anak ASAS dari UPI.

Habis dari mana nih, pakai batik segala? kata seseorang. Aku memang 
mengenakan batik biru; sebuah baju aneh untuk datang ke acara sastra. Dengan 
baju ini, dulu banyak orang mengira aku adalah seorang PNS. Habis dari 
kondangan, jawabku tertawa. Aku disarankan mengenakan batik oleh penata 
kostum, yang aku turuti dengan senang hati karena itu membuat aku lebih rapi. 
Kadang-kadang, aku ingin sesekali malah pakai dasi dan lebih rapi lagi, seperti 
pernah aku lakukan dulu waktu kerja di M_. Tapi sekarang aku tak punya dasi. 
Entah ke mana dasi milikku dulu.

Waktu memutuskan akan datang ke acara di hari Minggu, 25 januari 2009 ini, aku 
bingung dengan tema diskusi: menengok tradisi sastra di Jawa Barat. Tema ini 
penuh jebakan. Dalam kepalaku ada dua pertanyaan: tradisi sastra yang mana? 
Sastra Indonesia atau sastra Sunda. Apalagi yang bicara adalah Soni Farid 
Maulana dan Hawe Setiawan. Yang pertama terkenal sebagai penyair kawakan, yang 
kedua dikenal sebagai kritikus dan pegiat budaya Sunda. Benar juga, ketika 
memulai bicara, Hawe mengungkapkan kekhawatiran serupa. Untunglah, rupanya 
Majelis Sastra Bandung ingin membicarakan tradisi sastra Indonesia di Jawa 
Barat. 

Soni Farid Maulana membicarakan dinamika Bandung sebagai pusat puisi, penyair, 
dan gerakan puisi. Cakupan pembicaraannya nyaris khusus mencuplik tentang 
Bandung. Salah satu yang dia ungkap ialah fakta betapa sejumlah sastrawan yang 
tumbuh di Bandung akhirnya hijrah ke berbagai kota---terutama Jakarta--ketika 
ada tawaran atau kesempatan yang lebih menarik ada di sana. 

Sementara Hawe Setiawan melihat tradisi dari sudut pandang yang jauh lebih luas 
dan menyeluruh. Menurut Hawe, ada empat hal yang harus diperhatikan bila kita 
mau bicara soal tradisi, yaitu:
1/ Lokasi penulis, terutama dalam hal geografis; tradisi sastra di Jawa Barat 
tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan di kota-kota lain, baik itu Tasik, 
Cirebon, Garut, dan semua wilayah Jawa Barat.

2/ Genre; sastra ialah mencakup semua turunannya, bukan hanya puisi; ada prosa 
dan drama di sana.

3/ Bahasa; bukan hanya bahasa Indonesia yang aktif digunakan oleh penduduk Jawa 
Barat, melainkan juga bahasa ibunya, yaitu Sunda. Bahkan ada sebagian orang 
Sunda keturunan Cina yang menulis dalam bahasa Mandarin, aktif berkarya di 
media internasional,  dan mendapat reputasi mengagumkan di sana. Hawe 
menyatakan, sejumlah sastrawan Jawa Barat menulis secara bilingual, tapi ada 
juga yang memilih bahasa Sunda. Atau ketika muda menulis dalam bahasa 
Indonesia, dan ketika memasuki masa tua menulis dalam bahasa Sunda. Tradisi ini 
telah berlangsung cukup lama.

4/ Tradisi itu sendiri, bahwa tradisi merupakan proses, semangat kolektif, 
memiliki sejarah yang panjang, didukung oleh politik, industri, dan media.

Hawe menautkan kekuatan tradisi itu dengan Bandung sebagai kota yang industri 
kreatifnya sudah maju. Dia menyebut soal DIY (do it yourself), kerajinan, 
industri fashion  clothing, musik, makanan, seni, dan kreatif lain. Tapi 
sastra, seperti apa? Yang paling menonjol dalam amatan keduanya ialah tradisi 
kreatif dalam komunitas, gerakan, dan perayaan yang sudah tumbuh, sementara 
industri belum.

Lontaran pembicaraan ini membuatku bertanya: dengan persoalan bahasa dan 
potensi kreativitasnya, kenapa sastrawan Bandung gagal menjadikan sastra 
sebagai penopang hidupnya, kenapa para sastrawan gagal hidup layak dari 
kegiatan sastranya? Kenapa industri sastra tidak tumbuh di Bandung, agar para 
sastrawan bisa mendapat bagian keuntungan finansial yang pantas dari 
aktivitasnya. Kalau para seniman lain bisa hidup dari kegiatannya, kenapa 
sastrawan tidak?

Hawe dan Soni sepakat bahwa persoalan finansial dan ekonomi, kaya-miskin, 
bukanlah bagian dari proses kreatif sastra. Aku juga sepakat soal ini, tapi itu 
membuatku miris. Mendadak aku ingat pernyataan Saut Situmorang: bahwa sastrawan 
yang hebat ialah sastrawan yang hanya peduli pada kualitas pencapaian 
sastranya, tak peduli tubuhnya hancur oleh apa pun.

Diskusi berlangsung dalam guyuran hujan, dalam ruangan pengadilan dahulu Bung 
Karno dan kawan-kawan digugat oleh pemerintah kolonial Belanda. Penyelenggara 
acara ini, Majelis Sastra Bandung, didirikan oleh Matdon dan kawan-kawan di 
GIM, melontarkan slogan ruang sastra yang sebenarnya

[zamanku] Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia

2009-02-07 Terurut Topik Anwar Holid
Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia
--Oleh Anwar Holid

Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang 
tahun apresiasi-sas...@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan 
gugatan terhadap media cetak.

JAKARTA - Acara ultah grup milis apresiasi-sas...@yahoogroups.com di PDS HB 
Jassin berlangsung meriah, akrab, banyak kejutan, menyenangkan, dan berbobot. 
Acara bertema Sastra Milik Siapa? itu berlangsung singkat-singkat, tapi 
berkesan. Yang paling mengesankan--dan berlangsung paling lama--boleh jadi 
diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra, bersama para pembicara yang 
telah lama bergelut dengan media tersebut, ialah Enda Nasution, Saut 
Situmorang, Nuruddin Asyhadie, ditambah Hudan Hidayat, dimoderatori Agus Noor.

Diskusi puncak itu penuh dengan gugatan, terutama dari Hudan dan Saut. Enda 
memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan kekuatan 
yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya 
ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link 
yang memungkinkan setiap hal bertaut. Celetukan Agus Noor menarik dan sering 
bikin ketawa, membuat diskusi hidup dan setia pada jalur. Sementara uraian 
Nuruddin Asyhadie terlalu serius untuk forum yang sudah cair oleh acara 
sebelumnya; dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun 
sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak. Uraiannya mirip 
dengan tulisan Eka Kurniawan beberapa bulan lalu, mengusung jargon code is 
poetry.

Ajakan Saut Situmorang untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra 
Internet memang bersemangat dan berapi-api. Dia bilang, kalau mau menguatkan 
sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, 
jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai 
sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama 
kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik 
menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik 
itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs 
jaringan sosial seperti milis dan Facebook.

Gugatan Hudan Hidayat serius dan bikin telinga pendengar panas. Berkali-kali 
dia bilang, Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia. Termasuk di 
antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya. Hudan dan Saut secara terbuka 
menyatakan kecaman terhadap Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan 
Kesenian Jakarta. Pernyataan keras seperti ini memang butuh klarifikasi atau 
forum lebih khusus lagi. Bila aku perhatikan dari Internet, pertentangan mereka 
berlangsung terbuka, terutama terkait persoalan politik sastra. Penyair senior 
Suparwan G. Parikesit meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontrovesial.

Mungkin perlu ada acara semacam Pengadilan Sastra untuk polemik yang justru 
berpotensi kontraproduktif (buruk) terhadap perkembangan sastra Indonesia 
secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, publik sastra butuh orang berani, 
revolusioner, dan kuat seperti Saut. Aku dengar dia dijuluki the lone wolf 
sastra Indonesia atas sikap dan pendiriannya. Dalam beberapa hal, antara lain 
keberanian, kehadiran Saut memang bikin rusuh, menggemparkan. Hudan 
menyemangati peserta agar lebih tangguh berkarya, lebih kuat, biar mampu 
merebut masa depan sastra Indonesia. Dia menilai bahwa koran masih penting 
(terutama karena ada faktor kekuatan finansial di sana), tapi jelas 
memperlihatkan pemihakan kepada sastra Internet. Memang banyak yang mendukung 
sastra Internet, tapi ranah ini juga masih memiliki persoalan genting, misalnya 
tentang mutu/isi yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki, juga ada kesan 
bahwa Internet malah menghadirkan fenomena kesekilasan yang
 melunturkan kedalaman dan perenungan.

Media massa cetak jelas masih memiliki keunggulan, namun sastra Internet juga 
punya faktor menentukan, misalnya interaktivitas, yang justru mampu melibatkan 
publik secara lebih intens. Apa persoalan terbesar sastra Internet ialah bahwa 
media ini masih gagal memenuhi kebutuhan finansial para sastrawan dan 
pegiatnya? Acara seperti ini melontarkan lagi pikiranku pada diskusi tradisi 
sastra Indonesia di Jawa Barat. Namun fakta menunjukkan bahwa media kini bukan 
merupakan persoalan. Makin banyak penulis mampu menulis baik di Internet dan 
media cetak. Persoalan kini lebih pada ekspresi, aktualitas, dan kedekatan pada 
media. 

Beranggotakan beberapa ribu orang, milis 
apresiasi-sas...@yahoogroups.com--dikenal dengan sebutan apsas--termasuk 
komunitas sastra Indonesia terbesar di Internet. Milis ini dimoderatori delapan 
orang, yang rata-rata tinggal di luar negeri. Salah satu moderatornya ialah 
Sigit Susanto, penulis dua jilid buku Menyusuri Lorng-Lorong Dunia, yang 
tinggal di Swiss. Sejumlah anggota milis ini telah menerbitkan buku, baik 
sendiri maupun bersama.[]

Oleh Anwar Holid, bekerja sebagai

[zamanku] Kamu Berani, Tapi Agak Kelelahan

2009-01-15 Terurut Topik Anwar Holid
[HALAMAN GANJIL]

Kamu Berani, Tapi Agak Kelelahan

--Anwar Holid



I have never let my schooling interfere with my education.
--Mark Twain

Kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran.
--Arvan Pradiansyah



Sudah lebih dari setahun ini saya menjadi  tentara bayaran untuk berbagai 
klien yang bisa menggunakan keahlian saya. Istilah keren untuk tentara 
bayaran ini antara lain tenaga outsource, pekerja freelance, atau 
ronin---mengambil istilah usang zaman lama Jepang. Klien--yang sebenarnya boss 
saya--memberi order dan order itu harus diselesaikan. Persis menjadi Leon dalam 
film The Professional. Sejujurnya saya sudah menatah moto Profesional, 
Disiplin, Tepat Waktu dalam diri dan pikiran saya; tapi silakan cek kepada 
para pelanggan saya, kalau mau, seberapa baik saya bekerja seperti itu. Untung 
tidak ada biaya atas segala wanprestasi saya itu, kecuali kredibilitas saya 
boleh jadi jadi berkarat di mata mereka. Bahkan ada kala saya mengembalikan 
order karena bingung cara menyelesaikannya, sebab akhirnya di sela-sela 
berbagai pekerjaan, saya tak punya waktu lagi untuk mengerjakan order itu. 
Order itu hanya teronggok di sudut kamar kerja saya; padahal waktu
 menerima saya merasa punya waktu untuk mengerjakannya. Akhirnya saya minta 
maaf karena gagal menyelesaikan hal itu.

Ternyata menjadi tentara bayaran cukup sulit dan membutuhkan kesabaran 
tertentu. Saya sering bilang kepada teman yang berkomentar enaknya jadi tenaga 
outsourse, Ah, tantangan dan harapannya sama kok. Cuma kalau jadi karyawan 
tantangannya dengan perusahaan, sementara kalau kerja freelance tantangannya 
dengan keluarga dan persoalan pribadi. Ternyata kompromi dengan diri sendiri 
dan keluarga merupakan negosiasi panjang yang terus-menerus labil, dan boleh 
jadi karena itu, banyak orang putus asa bekerja freelance, dan balik kerja 
dalam perusahaan. Satu-dua orang mengira saya jadi boss atau jenderal karena 
seakan-akan menentukan sendiri masa depan saya; padahal harus saya bilang, para 
klienlah bos saya sekarang. Bedanya kalau dulu waktu kerja di perusahaan bos 
saya satu, sekarang bos saya banyak. 

Ini bukan untuk pertama kalinya saya kerja sendiri secara freelance; tapi 
rasanya kali ini merupakan rekor dalam hidup saya bisa bertahan tak balik 
ngantor, bahkan berniat lebih baik lagi bekerja sendiri. Dengan berbagai 
pertimbangan, kadang-kadang ada niat untuk mencari kantor baru, antara lain 
iming-iming gaji tetap, suasana produktif, bonus, fasilitas, dan sebagainya. 
Saya bahkan pernah dua kali melamar ke dua lembaga, tapi anehnya ditolak semua. 
Boleh jadi CV yang saya buat gagal membuat mereka takjub dan yakin. 

Salah satu hal menyebalkan ketika kita jadi freelance ialah bahwa kita tak akan 
pernah dapat THR atau bonus perusahaan. Kadang-kadang saya nyaris putus asa 
karena itu. Semua risiko dan keberhasilan dinikmati oleh pekerja yang 
bersangkutan. Jadi tahun 2008 ini untuk pertama kalinya saya tak mendapat THR 
dari perusahaan, selain sejumlah kebaikan sedekah dari teman, saudara, dan 
orangtua. Rasanya malah sungguh aneh.

Menjadi tenaga outsource kerap dituduh berarti memiliki komitmen jangka pendek 
terhadap pekerjaan. Boleh jadi begitu. Tapi apa saya benar-benar berkomitmen 
pendek terhadap banyak hal? Bila dilihat dari para pelanggan---yang ternyata 
dari perusahaan maupun orang yang sama lagi---saya agak yakin bahwa saya punya 
komitmen jangka lama terhadap pekerjaan dan klien, dan semoga keyakinan saya 
cukup beralasan, bahwa kinerja saya cukup memuaskan, jika bukan karena mereka 
kasihan pada saya. Salah satu hal paling memuaskan dengan bekerja freelance 
ialah kita bisa memilih mana pekerjaan yang betul-betul kita inginkan dan mana 
yang bisa ditolak. Kebebasannya penuh. Saya juga bisa bekerja dengan pihak yang 
saya kagumi, saya anggap terbaik dan membanggakan. Nanti kita bisa menilai, 
apakah pekerja kantoran yang harus juga mau mengerjakan hal yang mereka benci, 
karena terpaksa diterima, merupakan sebuah kekurangan atau malah latihan 
kesabaran.

/*/

Bekerja sendiri kerap membuat saya bertanya, apa yang sebenarnya saya pelajari 
selama ini. Apakah saya cukup baik merencanakan sejumlah hal, bertekad lebih 
baik, atau sekadar hidup dari proyek ke proyek, tanpa berusaha mengambil 
pelajaran tertentu dari sana. Perkara mengambil pelajaran ini menurut saya agak 
berat, karena setiap orang pasti punya pendapat, prioritas, dan skala sendiri, 
yang menentukan apakah hidupnya terasa bermakna atau sia-sia. Boleh jadi itu 
sekadar masalah sudut pandang; tapi siapa tahu ada nilai universal yang bisa 
dibagi di antara kita. Sebagian pekerja pergi tiap hari ke kantor sebagai 
rutinitas membosankan, tanpa gairah, atau sekadar memenuhi absensi biar di 
akhir atau awal bulan dapat gaji tetap. Tetapi sejumlah pekerja freelance pun, 
misalnya seniman, penulis, juga kadang-kadang merasa bosan dengan hidup mereka 
dan merasa lebih baik mati saja. Jadi soal mendapat makna

[zamanku] Meraih Kebahagiaan dengan Pikiran

2009-01-15 Terurut Topik Anwar Holid
Meraih Kebahagiaan dengan Pikiran
--Oleh Anwar Holid


Kebahagiaan itu seperti kupu-kupu. Semakin kita kejar, semakin dia berusaha 
terbang menghindar, kata Arvan Pradiansyah di tengah para penyimak yang 
memenuhi Function Hall Gramedia Matraman, pada Sabtu, 3 Januari 2009 lalu. 
Ketika memasuki toko buku itu, karya terbarunya The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 
423 h.), didisplay secara khusus baik di bagian buku baru dan buku laris. 
Sementara poster covernya mencolok dalam neon box di beberapa pilar. 

Memasuki tahun 2009, penerbit Kaifa mengadakan talkshow mengajak masyarakat 
untuk melakukan resolusi tahun baru untuk hidup yang lebih bahagia, dengan 
Arvan Pradiansyah sebagai pembicara. Biasanya resolusi lebih ditujukan untuk 
meraih sukses maupun memenuhi target yang lebih besar lagi, kenapa kali ini 
malah untuk mendapatkan bahagia? Apa bahagia merupakan sesuatu yang amat sulit 
diraih hingga perlu resolusi untuk itu?

Sebagai pembicara publik berpengalaman dan telah menyinggung subjek tersebut 
sejak lama dalam buku-buku terdahulunya, Arvan membicarakan tentang kebahagiaan 
dengan lancar. Bila dulu dalam buku-bukunya tema kebahagiaan merupakan salah 
satu bagian dari pembicaraan mengenai life management (manajemen kehidupan), 
kini tema tersebut menjadi fokus utama. The 7 Laws of Happiness termasuk utuh 
membicarakan tentang kebahagiaan beserta faktor yang mempengaruhinya, dengan 
pendekatan yang lebih mudah dibaca misalnya bila dibandingkan dengan The 
Authentic Happiness (Martin E. P. Seligman), yang jauh lebih serius dan 
teoretis.

Kalau punya pikiran yang tenang, berpikir dan berkontemplasi dengan baik, 
biasanya kebahagiaan lebih mudah kita dapatkan, kata Managing Director 
Institute for Leadership  Life Management (ILM) yang telah menerbitkan empat 
buku ini, masing-masing disertai penerimaan pasar yang memuaskan. ILM merupakan 
lembaga yang bergerak di bidang pelatihan dan konsultasi sumber daya manusia. 

Talkshow kemarin berlangsung akrab dan interaktif, bahkan Arvan sempat 
mengadakan simulasi bersama para peserta. Meski pendengar boleh langsung 
menanggapi bila mau berkomentar, dia berhasil mengusung semua poin dalam 
bukunya. Secara garis besar rahasia hidup yang bahagia itu tergambar pada 
cover, berupa rumah dengan tiga pilar intrapersonal (hubungan seseorang dengan 
dirinya sendiri), tiga unsur interpersonal (hubungan seseorang orang lain), dan 
sebuah unsur spiritual, berbentuk rasa berserah diri dan percaya seratus persen 
kepada Tuhan.

Seperti disangka sebelumnya, kebahagiaan memang mudah dibicarakan, namun sulit 
dicapai, apalagi bila seseorang tengah kalut, dirundung malang, atau merasa 
hidup dan perbuatannya sia-sia. Di sinilah pendapat Arvan secara prinsip 
berbeda dengan pendapat umum. Dia yakin bahwa inti kebahagiaan ialah 
keberhasilan seseorang dalam memilih pikiran agar hidupnya bahagia. 

Pikiran memang abstrak, tapi memiliki alat yang lebih jelas, yaitu otak,  
kata dia kepada peserta yang bingung membedakan apakah kebahagiaan itu berada 
di dalam hati, pikiran, atau jiwa. Kebahagiaan itu bisa dikontrol, tegasnya. 
Begitu juga bila dikontraskan dengan penderitaan. Kebahagiaan itu seiring 
kedewasaan menerima penderitaan. Meski begitu kebahagiaan juga punya hukum 
yang tetap, misalnya ia punya syarat minimal. Sering karena perspektif yang 
terlalu sempit, orang jadi terlalu sukar meraih kebahagiaan. 

The 7 Laws of Happiness tampak cukup sukses meraih pembaca, terlihat dari 
antusiasme mereka mengikuti acara sampai akhir, silih berganti mengajukan 
komentar kritis, dan disambut dengan tangkas oleh Arvan. Dalam waktu dekat 
Kaifa akan mengadakan acara serupa di Bandung dan Surabaya.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.mizan.com
http://www.ilm.co.id
http://www.arvanpradiansyah.com (under construction)

Kontak dengan Arvan Pradiansyah di Facebook.com


  


[zamanku] Sedikit Bantu-bantu Ultimus Pindahan

2008-12-16 Terurut Topik Anwar Holid
Sedikit Bantu-bantu Ultimus Pindahan

--Anwar Holid


Ultimus, toko buku independen yang banyak berkontribusi pada gerakan literasi 
di Bandung, pindah ke lokasi baru, di jalan Jakarta, persis di depan rumah 
tahanan Kebon Waru. Pada Minggu itu (14/12) saya ikut sedikit bantu-bantu 
bareng mereka.


BANDUNG - Meskipun cukup terlambat datang, ternyata saya masih sempat 
bantu-bantu pindahan toko buku Ultimus dari daerah Lengkong Besar ke jalan 
Jakarta, Bandung. Waktu datang, saya lihat Bilven, sang manajer toko buku dan 
penerbitan ini, tengah terlelap kecapean sehabis kerja keras seharian. Di 
antara para pendirinya, kini hanya Bilven yang benar-benar total menangani 
semua operasional perusahaan. Hakim, pendiri lain, meski masih rutin ke Ultimus 
minimal sebulan sekali, saya dengar kini berkarir di perusahaan telekomunikasi 
seluler. Sang Denai, seorang penulis  editor yang juga kerja di sana bilang 
bahwa packing sudah dilakukan beberapa hari lalu. 

Begitu tiba di sana, telah berkumpul puluhan anak muda lain yang juga sibuk 
membereskan ini-itu. Mereka sigap bergerak ke sana-sini, mengerahkan tenaga. 
Kaos mereka basah kuyup. Meski begitu, mereka mengerjakannya dengan santai, 
tertawa-tawa, dan heureuy. Jelas mereka tampak capek, tapi tetap semangat.

Yang perempuan tengah sibuk menyiapkan makan siang. Mereka menggoreng, memasak, 
memotong, mengiris-iris bahan makanan. Seorang anak lelaki dengan banyak tato 
di tubuhnya juga penuh semangat menanak nasi menggunakan rice cooker. Di depan, 
sekelompok anak muda sibuk menumpuk segala barang ke depan, agar memudahkan 
disiapkan begitu pick up dan truk pengangkut datang. Waktu saya datang, pick up 
dan truk itu sudah dua kali bolak-balik mengangkut semua isi toko buku.

Karena masih ngontrak, kepindahan niscaya terjadi pada toko buku yang aktif 
sejak lima tahun terakhir ini. Dalam empat tahun terakhir ini mereka buka di 
jalan Lengkong Besar, menempati bangunan yang cukup luas, sehingga berbagai 
acara dengan leluasa terselenggara di sana, mulai dari diskusi, peluncuran 
buku, berbagai workshop, pemutaran film, tak lupa konser musik, teater, juga 
festival penyair. 

Ultimus merupakan ruang publik yang cukup penting bagi sebagian anak muda 
Bandung. Sejumlah komunitas dan subkultur kerap menjadikan Ultimus sebagai 
ruang pertemuan, antara lain kelompok mahasiswa, penulis, underground, punk 
rock, dan kelompok alternatif lain. Waktu pindahan ini mencerminkan betul 
kepedulian mereka pada Ultimus. Mereka dengan semangat bantu-bantu mengangkat, 
menurunkan, dan membereskan barang yang harus dibawa. Solidaritas mereka patut 
diacungi jempol. Gotong royong itu sungguh mempercepat dan memudahkan proses 
perpindahan. Semua orang berpartisipasi, mengambil peran yang bisa mereka 
sumbangkan. Bahkan kawan mereka yang telah kerja di Jakarta menyempatkan dulu 
untuk ikut sibuk.

Saya sendiri menganggap Ultimus merupakan salah satu nama besar yang ada di 
dalam hati. Saya kenal para pegiatnya sejak mereka siap berdiri. Meskipun orang 
luar, saya cukup intens berinteraksi dengan mereka. Saya bukan saja kerap 
menerima kebaikan dan keramahan mereka, atau juga menyeruput kopi Aroma di 
sana, melainkan juga mendapat wawasan, militansi, dan semangat di dunia 
literasi. Dari toko buku, mereka berkembang jadi penerbit, menyediakan 
fasilitas internet, dan perpustakaan. Saya mengamati perkembangan mereka, 
meminta pendapat, berharap bahwa bisnis mereka baik-baik dan terus berkembang. 
Mereka telah mengalami suka dan duka dalam dinamika kota Bandung.

Sejumlah orang menanggap Ultimus merupakan rumah kesayangan mereka. Salah 
satunya dirasakan oleh Wida (Widzar Al-Ghifary), penyair yang kerap menggunakan 
nama Sireum Hideung, Saya telah menjadikan Ultimus sebagai rumah kedua. Saya 
tak pernah benar-benar meninggalkan Ultimus. Sejak lima tahun yang lalu, saya 
diam-diam menitipkan nama saya pada salah satu ruang kosong, mungkin di 
sela-sela buku, di rak-rak yang agak longgar, atau bahkan sekadar menitipkan 
gumam yang samar. Kesan serupa dirasakan Desiyanti Wirabrata, Buatku Ultimus 
sudah seperti rumah seorang kerabat dekat. Ultimus selalu jadi tempat pulang... 
Pulang ke kelapangan hati kawan-kawan.

Setelah ujian banyaknya toko buku independen Bandung yang rontok 3-4 tahun 
lalu, Ultimus merupakan salah satu dari sedikit yang bertahan. Sejauh 
pengamatan saya, selain Ultimus, toko buku setipe yang masih bertahan dengan 
baik ialah Rumah Buku, Omuniuum, dan Tobucil--dengan dinamika dan positioning 
masing-masing. Rumah Buku misalnya, baru-baru ini mendapat julukan the coolest 
library in town dari Rolling Stone Indonesia.

Lokasi baru Ultimus kini lebih kecil. Saya sedikit sangsi bagaimana mereka akan 
mengadakan berbagai program dan agenda yang sudah dijadwalkan. Alternatifnya 
ialah harus ekspansi ke tempat lain, seperti dulu waktu pertama kali berdiri. 
Mereka menggunakan banyak tempat lain yang tersedia di Bandung. Saya sempat 
tanya

[zamanku] [Maryamah Karpov] Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan

2008-12-16 Terurut Topik Anwar Holid
Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan
---
--Oleh Anwar Holid


Ada yang senang, terhibur, ikut terharu dan sedih, kocak, terbawa tegang, 
setelah baca Maryamah Karpov; tapi juga ada yang merasa janggal, 
bertanya-tanya, dan kecewa. Akankah ada spekulasi baru terhadap Laskar Pelangi?

BANDUNG - Ternyata saya tak segesit banyak pembaca lain dalam menamatkan 
Maryamah Karpov. Memegang novel itu sejak akhir November, sampai sekarang saya 
baru membuka Mozaik 55 dari total 73. Ada saja halangan saya untuk segera 
menamatkannya. Entah sudah waktunya harus menyelesaikan makalah, segera menulis 
kolom, baca artikel, rencana baru, kalah oleh godaan ingin membalas posting 
teman, berkejaran dengan jadwal dan prioritas lain, atau energi dan waktu 
tersita oleh urusan keluarga, pribadi, dan teman-teman. Namun sekarang, saya 
berharap dalam sehari ini benar-benar bisa tuntas memuaskan kepenasaran 
terhadap petualangan cerita Ikal tersebut. 

Ada saja kejadian yang bikin senyum saya mengembang selama pegang-pegang novel 
setebal 504 halaman itu. Di antaranya, waktu antri di bank, seorang anak SD, 
bersama ibunya, sampai meneleng-nelengkan wajahnya mengintip apa yang tengah 
saya baca. Begitu mata kami berpapasan, saya tanya, Tahu Laskar Pelangi? Dia 
mengangguk. Sudah baca? Dia tersenyum. Lihat filmnya juga? Bibirnya 
mengembang. Lantas dia menepuk-nepuk tangan ibunya. Mah, mah, itu lanjutan 
Laskar Pelangi, katanya. Ibunya lantas ikut memperhatikan buku yang ada di 
tangan saya. Dia mengangguk tanda memberi salam. Mau lihat? saya menyodorkan 
buku ke anak itu. Dia ragu-ragu menerimanya. Ini jilid terakhirnya, kata 
saya. Kapan terbitnya? sela si ibu, sambil buru-buru menambahkan, dia sudah 
lama menunggu sejak tamat buku ketiganya. Hebat, puji saya. Ini baru terbit 
akhir November tadi. Saya baru setengahnya baca.

Saya tenteng-tenteng novel itu setiap kali pergi, biar siap membacanya kapan 
saja, termasuk di dalam angkot. Pernah begitu duduk saya siap menarik novel 
bersampul violinis wanita itu, di ujung sudut angkot telah duduk dengan manis 
seorang gadis tengah tenggelam menekuri Maryamah Karpov. Daya perkirakan dia 
masih sampai puluhan halaman, tangan kirinya baru memegang sedikit bagian buku. 
Dia tak peduli dengan penumpang lain yang tengah ribut membicarakan seorang 
dosen yang menurut mereka genit karena suka berusaha merayu. Si gadis pembaca 
Maryamah itu terus terpekur membuka satu per satu halaman perlahan-lahan, saya 
memperhatikan dia dari kaca spion. Ternyata perjalanan dia jauh, sepanjang 
waktu itu wajahnya hanya menatap buku, dan tangannya membuka halaman. Sampai 
akhirnya saya turun duluan. Saya takjub betapa ada buku yang begitu bisa memaku 
pembaca. Itulah ciri page-turner--buku mengasyikkan, dengan plot yang sulit 
ditinggalkan.

Di lain waktu, dengan kawan seorang penulis dan editor, kami membicarakan 
berbagai aspek dalam Laskar Pelangi, intrinsik dan ekstrinsik, termasuk 
berbagai berita yang berseliweran di sekitar Andrea Hirata. Lepas dari berbagai 
kritik yang mengepung novel itu, dan kritik itu pun saya amini, posisi saya 
ialah menyelamati keberhasilan karya tersebut, baik dari sisi kekhasan cara 
bercerita, tema, dan kesuksesan memenangi selera massa. Bila ada ratusan ribu 
pembaca berbondong-bondong melahap karya itu, tentu ada sesuatu yang bisa 
diambil dari sana, baik rasa bahagia, sedih, haru, humor, dan setia kawan. 

Sambil terus mencicil, saya memperhatikan sejumlah komentar pembaca yang telah 
menamatkannya. Sebagian merasa puas, terhibur, memuji, bertanya-tanya, dan ada 
juga yang kecewa---benar-benar kecewa (menggunakan gaya ungkap khas Andrea 
Hirata.) Bagaimana merespons beragam reaksi pembaca setelah baca Maryamah 
Karpov karya Andrea Hirata kali ini? Tentu kurang elok bila kita terus-terusan 
mengedepankan euforia pembaca terhadap suatu karya tanpa mengindahkan respons 
negatif terhadapnya. Pembaca punya hak terhadap buku yang dia baca, bahkan 
mereka bisa dengan jujur bebas mengungkapkan komentar itu dengan berbagai cara. 
Pembaca merupakan massa anonim, mereka bisa berkomentar apa saja terhadap karya 
yang mereka baca.

Beragam respons ini mengingatkan saya pada Adenita, penulis 9 Matahari, yang 
karyanya juga dikomentari beragam oleh sejumlah orang. Beragam apresiasi itu 
mirip ruang yang punya banyak sudut. Sah-sah saja menilai buku ini dari sudut 
pandang masing-masing, karena ini memang hak pembaca.

Salah satu reaksi paling menuntut dari pembaca ialah kenapa novel tersebut 
berjudul Maryamah Karpov. Pilihan itu mengingatkan saya pada sejumlah judul 
album atau lagu musisi Barat yang kerap lain sama sekali dengan isi album, 
bukan pula merupakan petikan lirik dan tak mewadahi isi keseluruhan cerita. 
Karena pilihan judul itu terasa begitu misterius, sebagian pembaca 
mengira-ngira kemungkinan akan ada rencana di masa depan terhadap Maryamah 
Karpov. Penyair Nirwan Dewanto melakukan hal serupa terhadap buku puisinya, 
Jantung Lebah Ratu, yang

[zamanku] Maryamah Karpov, Pamungkas Tetralogi Laskar Pelangi

2008-11-30 Terurut Topik Anwar Holid
Maryamah Karpov, Pamungkas Tetralogi Laskar Pelangi 
---
--Oleh Anwar Holid


Bentang Pustaka meluncurkan Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi 
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dalam suasana amat meriah.

JAKARTA - Andrea Hirata memang fenomenal ya? kata Aendra H. Medita 
keras-keras di dekat telinga saya, berusaha mengalahkan riuh suara ratusan 
orang yang memadati halaman dalam MP Bookpoint. Kok kamu ada di sini? tanya 
saya. Memang nggak boleh? tawa dia. Rupanya dia juga akan bertemu dengan Iman 
Soleh, aktor monolog yang malam itu didaulat membawakan puisi legendaris Jante 
Arkidam secara dramatik dan menukil mozaik dari novel terbaru Andrea Hirata.

Tadi siang saya melihat novel itu sedang dipasang besar-besaran di satu ruang 
MP Bookpoint. Baru datang tadi pagi mas, ujar seorang karyawan sambil 
beres-beres. Ruang itu langsung penuh hanya oleh Maryamah Karpov ditambah tiga 
novel Andrea yang lain. Buku lain disingkirkan. Hari itu, Jumat, 28/11/08, 
adalah hari tetralogi Laskar Pelangi. 

Meski hari pertama perjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, saya dengar 
dari Gangsar Sukrisno, CEO Bentang Pustaka, bahwa di toko buku Gramedia 
Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP 
Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. 
Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Bentang menyediakan 100 ribu 
kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan 
pertama di Indonesia.

Saya bertemu dengan Andrea Hirata di kantor Bentang, hanya beberapa rumah dari 
MP Bookpoint. Dia sudah tiba di Jakarta sehari sebelumnya, sekalian nonton 
konser jazz dengan keponakan-keponakannya, ditemani EO dan kuasa hukumnya. Saya 
baru saja menerima satu kopi novel itu dari Gangsar, dengan ucapan, Kamu harus 
resensi buku ini ya. Di meja itu sudah menumpuk lebih dari 100 kopi Maryamah 
Karpov untuk ditandatangani. Itu buku pesanan. Tangan Andrea terus sibuk 
menulis nama satu per satu. Beberapa saat kemudian wartawan Koran Tempo 
mewawancarai. Wawancara ini cukup intens karena belum ada media lain yang 
datang. Andrea menyatakan tekad untuk sementara berhenti dari dunia perbukuan. 
Untuk sementara, tetralogi ini cukup, katanya. Dia ingin menyepi dan 
merenungi lagi perjalanan karirnya sebagai penulis, pertemuan mengesankan 
dengan John Berendt, keinginan menggali lebih serius genre yang disebut pihak 
Bentang sebagai cultural literary nonfiction. Juga
 upaya menghasilkan buku sekelas karya Truman Capote atau Amin Maalouf.

Dalam batas tertentu, menulis butuh perenungan. Saya punya kapasitas nggak 
sih? Saya mau menulis dengan benar. Apabila nggak mutu, jangan menulis, 
ucapnya tegas. Sang wartawan berkali-kali berusaha meyakinkan apa benar Andrea 
mau mundur dari dunia yang telah memberikan hal mengejutkan pada dirinya.

Tetralogi Laskar Pelangi adalah hip. Anak berusia 7 tahun hingga orang berumur 
70 tahun membaca novel-novel itu. Ada anak SD yang terobsesi ingin bertemu 
dengan Andrea setelah membaca ketiga novelnya kala terbaring sakit. Maryamah 
Karpov, buku ke-4 seri itu, sudah ditunggu sejak dua tahun lalu, baru resmi 
diumumkan penerbitannya pada September lalu, ketika Mizan mengadakan ulang 
tahun ke-25, persis menjelang premiere film Laskar Pelangi. Andrea sendiri 
terus-terus menjadi pemberitaan, termasuk muncul kontroversi pernikahannya pada 
awal November ini. 

Andrea mengaku berdarah-darah menyelesaikan novel ke-4 ini. Meski bila digabung 
waktu penulisannya hanya sekitar satu bulan, jeda di antaranya cukup lama. 
Dalam beberapa hal, intensitas penulisan Maryamah Karpov mirip Laskar 
Pelangi, kata dia. Saya juga ingin novel ini mendapat tanggapan seperti 
pembaca menanggapi Laskar Pelangi. Saya seperti menulis Laskar Pelangi jilid 
dua. 

Malam itu, Andrea mendapatkan yang diharapkannya. Ratusan orang hadir di MP 
Bookpoint sampai membuat tempat itu sesak buat bergerak sedikitpun. Mereka 
menunggu sejak sore, berjubel di setiap pojok. Mereka riang menyambut ajakan 
menyanyi Bunga Seroja dan Englishman in New York. Mereka terkesima oleh 
penampilan Iman Soleh yang lucu, teatrikal dan menggelegar. Mereka terus 
bersorak-sorai sampai akhirnya Andrea Hirata datang dalam kawalan polisi. 
Apalagi Giring Nidji dan sejumlah pendukung film Laskar Pelangi ternyata mau 
beramai-ramai menyanyikan theme song itu. Massa, terutama wartawan, tambah 
heboh begitu ada pernyataan pers tentang status perkawinannya. Sebagian 
bertanya dengan teriakan. Untung dia segera diselamatkan oleh acara tanda 
tangan, yang berlangsung sangat padat. Baru kira-kira pukul 10 malam acara itu 
selesai. Saya melihat display Maryamah Karpov sudah lenyap di ruangan MP 
Bookpoint, hanya tersisa yang ada di dinding-dinding kacanya. 

Putut Widjanarko, VP Operations Mizan Publika yang saya tahu rakus membaca, 
sulit menyembuyikan pujian pada Maryamah Karpov. Dia telah melahap buku itu 
sejak awal

[zamanku] Empat Buku Tari Irawati

2008-11-23 Terurut Topik Anwar Holid
Empat Buku Tari Irawati
---Anwar Holid


Salah satu keuntungan paling langka menjadi editor ialah ia berkesempatan 
mendapat manfaat dari teks yang disianginya. Ia bisa berjumpa dengan khazanah 
ilmu yang kadang-kadang awalnya begitu asing dan terasa jauh, sampai akhirnya 
dekat dan akrab, karena mendapat ilmu itu langsung dari ahlinya. Boleh jadi 
itulah kesempatan istimewa editor dibandingkan profesi lain: ia berkesempatan 
menelisik berbagai khazanah ilmu sambil mengurus teks tersebut agar lebih hidup 
dan mempesona. 

Ranah baru yang saya gumuli baru-baru ini ialah tari klasik Sunda, karena saya 
menyunting naskah biografi seorang tokoh tari Sunda, Irawati Durban Ardjo. Dari 
mana mengukur bahwa dia benar-benar seorang tokoh? Keseriusan, konsistensi, 
loyalitas pengabdian, kiprah, sumbangsih, termasuk reputasi, merupakan alasan 
kuat yang membuat sejumlah orang sepakat menyatakan bahwa beliau memang tokoh 
tari Sunda. Lebih istimewa lagi, Irawati telah menulis empat buku tentang 
dasar-dasar gerakan, sejarah, perkembangan, dan bunga rampai jenis tari di Jawa 
Barat.

Kira-kira pada paro terakhir 2007, seorang teman memberi tahu bahwa Irawati 
butuh editor untuk naskah biografinya yang ditulis oleh Ahda Imran dan Miftahul 
Malik---waktu itu penulisannya belum selesai. Teman saya ingin juga jadi editor 
naskah itu, tapi kesibukan dan jarak membuat dia menawari agar saya mengambil 
peluang tersebut. Melamarlah saya, dan akhirnya diterima. Sejak itu 
perlahan-lahan saya mengetahui reputasi beliau, bukan hanya sebagai penari, 
melainkan juga pegiat tari Sunda yang lengkap. Di kalangan pecinta seni, 
Irawati terkemuka lantaran menjadi penari Istana Negara sejak 1959 (zaman 
Presiden Soekarno) hingga terakhir tampil pada 2006 saat Presiden Amerika 
Serikat George Bush, Jr. berkunjung ke Indonesia, dijamu di Istana Bogor, meski 
kehadirannya ditentang besar-besaran oleh sebagian kalangan. 

Ketika kelas 1 SD, suatu hari Ira memperhatikan kakaknya yang diajari menari 
oleh kakak ipar untuk persiapan pesta kenaikan kelas. Setelah sebentar 
memperhatikan, segera ia mampu menirukan gerakan mereka. Bakat tari itu diasah 
dan ditumbuhkan di BKI (Badan Kesenian Indonesia). Meski mula-mula dilarang 
ibunya karena waktu itu citra perempuan penari Sunda ialah ronggeng penghibur 
para menak, kemampuan dan kegigihan Ira mendapat perhatian dan dukungan yang 
begitu besar dari dua guru utamanya, yaitu Tb. Oemay Martakusuma, Rd. Tjetje 
Somantri. 

Disiplin BKI mengantarkannya berkali-kali menjadi duta kesenian Indonesia sejak 
remaja, memperkenalkan tari dan kesenian Indonesia. Sejak itu Ira tahu bahwa 
dirinya menyatu dengan tari Sunda, meski dia pun banyak menguasai tari jenis 
lain. Kenyataannya, biar memiliki sejumlah kemampuan dan ketertarikan, misalnya 
sebagai desainer interior dan melukis---ia sarjana dari Jurusan Seni Rupa 
ITB---Ira kembali lagi dan lagi ke tari Sunda, seni yang sejak kecil 
membesarkannya, memungkinkan ia meraih banyak pengalaman berharga. Seiring 
kedewasaan, Ira pun terlibat dalam segala urusan tari. Selain menari, dia 
menjadi pelatih, memproduksi, mendirikan sanggar, merancang kostum, sampai 
mencari sponsor pertunjukan. 

Sebagai ahli tari, ia meneliti dan mendokumentasi khazanah literaturnya yang 
langka. Muaranya ialah ketika ia menjadi pengajar di Kori, hingga lembaga ini 
kini menjadi STSI, sampai ia pensiun.

Menulis buku tari Sunda awalnya pun demi pengabdian dan keperluan pengajaran. 
Selama menyusun dan mengumpulkan data, betapa nelangsa ia mendapati fakta bahwa 
dokumentasi tentang riwayat guru-gurunya, BKI dan Rinenggasari (lembaga yang 
paling awal membentuk etos dirinya sebagai penari), dan yang paling vital 
catatan koreografi, tak tersisa satu pun di bekas sekretariat. Semua arsip 
lenyap. Terpaksa Ira menuliskan lagi, melacaknya baik dari ingatannya dan para 
senior. Yang paling sulit ialah mencatat lagi tari kurang populer yang jarang 
dipentaskan. Ingatan dan penafsiran Ira memainkan peran penting untuk 
merekonstruksi kembali. 

Tangan Ira tak hanya meliuk di antara selendang dan bergerak sesuai musik. 
Tangan itu pun cekatan menghasilkan buku. Telah empat buku ia lahirkan, yaitu 
Tari Sunda 1880-1990, Melacak Jejak Tb. Oemay Martakusuma dan Rd. Tjetje 
Somantri (1998, rev. 2007); Buku Kawit, Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, 
dilengkapi VCD dan kaset tari (2004); Tari Sunda 1940-1965, Rd. Tjetje Somantri 
dan Kiprah BKI (2008); dan Album Semarak Tari di Tatar Sunda (2008). 

Buku terakhirnya, berisi khazanah tari Jawa Barat, penuh ilustrasi dan warna, 
dirancang kronologik dari awal abad ke-20 hingga tahun 2000-an. Ira sedang 
mengupayakan buku itu terbit sesuai gagasan dan visinya. Karena berwarna dan 
penuh detail desain grafis, ongkos produksinya jelas mahal. Saya sedang 
mencari sponsor untuk buku ini. Kalau tidak ya diterbitkan sendiri, tegasnya. 
Sebuah penerbit besar pernah ia dekati, tapi gagal, karena menurut Ira opsinya 
terlalu berat, yaitu ia harus menanggung

[zamanku] Buku yang Menolong Pembaca Menemukan Lentera Jiwa

2008-11-09 Terurut Topik Anwar Holid
Buku yang Menolong Pembaca Menemukan Lentera Jiwa 
-
---Oleh Anwar Holid


Talkshow The 7 Laws of Happiness di Tiga Radio dan JakTv.


JAKARTA - Setelah terbit pada akhir September lalu dan dibicarakan di beberapa 
event, The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) karya Arvan Pradiansyah mulai 
mendapat respons dari berbagai pihak, terutama media massa, lembaga dan 
perusahaan. Arvan mengaku pihaknya sedang menjadwalkan kemungkinan mengadakan 
talkshow di beberapa toko buku besar di Jakarta, seperti Gramedia Matraman, 
Pondok Indah, dan Mal Taman Anggrek. Pada Jumat, 24 Oktober 2008 lalu buku 
tersebut didiskusikan di MP Book Point, dan menurut rencana akan disiarkan 
JakTv pada Minggu, 16 November 2008, pukul 09.00.

Pengalaman saya dengan tiga buku sebelumnya menunjukkan bahwa talkshow di toko 
buku itu bisa membuat toko memesan buku dalam jumlah cukup banyak dan 
mendisplay di tempat strategis, kata Arvan. The 7 Laws of Happiness merupakan 
buku keempat Arvan, namun merupakan buku pertama yang diterbitkan Kaifa, 
imprint Kelompok Mizan. Kaifa memang mengkhususkan pada buku manajemen, bisnis, 
self-help, dan motivasi. Tiga buku dia sebelumnya, yaitu You Are Leader!, Life 
is Beautiful, dan Cherish Every Moment semua merupakan rangkaian bestseller. 
Selain terpilih sebagai Buku Nonfiksi Terbaik 2008 versi Koran Tempo, Cherish 
Every Moment kini bisa diakses lewat Amazon.com, yang kriteria terpilihnya 
cukup berat.

Menggunakan cara ungkap lugas disertai daya persuasi yang sudah khas, secara 
panjang lebar 
Arvan membahas kebahagiaan, membantu orang cara membantu dan melatih orang 
memilih pikiran serta tindakan yang membuat hidup bahagia. Andy F. Noya, host 
acara Kick Andy, mengomentari buku itu: Orang yang berbahagia adalah mereka 
yang sudah menemukan lentera jiwa mereka. The 7 Laws of Happiness menuntun Anda 
menemukan lentera itu.

Sebagai ahli sumber daya manusia dan akrab dengan dunia media, Arvan juga 
dikenal sebagai pembicara publik. Dia menjadi host acara Lite is Beautiful di 
radio Lite FM; para pendengarnya kerap menyebut Arvan sebagai Personal 
Inspirator. Untuk buku terbarunya, pada November ini tiga radio akan 
menyiarkan talkshow bukunya, yaitu:

* Selasa, 11 November 2008, pukul 07.00 - 08.00 di RADIO BAHANA
* Minggu, 16 November 2008, pukul 15.00 - 16.00 di PRO RESENSI, RRI PRO 2 FM
* Selasa, 25 November 2008, pukul 19.00 - 20.00 di SMART FM

Hernadi Tanzil, pembaca yang telah menamatkan buku tersebut, menyatakan, The 7 
Laws of Happiness merupakan pelatihan pikiran sistematis dan metode untuk 
menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif, dan memfokuskan 
perhatian pada pikiran positif tersebut. Buku ini melatih menyaring dan memilih 
pikiran positif, membuang pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan 
menggantinya dengan pikiran yang sehat dan bergizi.

Bila dua buku pertama Arvan bertema umum mengenai kepemimpinan (leadership), 
dua buku terakhirnya lebih banyak membicarakan life management (manajemen 
kehidupan.)[] 10/11/08

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid


Informasi lebih banyak di:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com



  


[zamanku] PANDUAN MERAIH KEBAHAGIAAN (Resensi The 7 Laws of Happiness)

2008-11-02 Terurut Topik Anwar Holid
PANDUAN MERAIH KEBAHAGIAAN
--
---Rini Nurul Badariah


The 7 Laws of Happiness, Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 428 halaman 
Genre: non fiksi, psikologi, motivasi


Menikmati proses sebenarnya adalah esensi dan hakikat kehidupan itu sendiri 
(hal.169)

Kebahagiaan adalah tujuan hidup, namun formatnya teramat relatif. Ada yang 
meletakkan kebahagiaan pada masa depan (sehingga saat sekarang menjadi penuh 
keluh-kesah), pada kedudukan dan jabatan, pada kemilau harta benda, serta 
berbagai unsur yang bersifat materiil lainnya. Betapa beragam penafsiran 
manusia terhadap apa yang disebut berbahagia.

Arvan Pradiansyah mengangkat ke permukaan aneka persoalan yang kerap mengukir 
keseharian kita sehingga sulit menggenggam kebahagiaan. Tujuh prinsip dasar 
yang dikemukakannya untuk mewujudkan hal itu adalah Patience (Sabar), 
Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), 
Forgiving (Memaafkan), dan Surrender (Pasrah). Intinya kebahagiaan baru dapat 
direguk jika kita berrelasi dengan individu lain dan tentunya Yang Maha Tinggi, 
bukan berfokus pada diri sendiri dari waktu ke waktu.

Ketebalan halamannya yang acap kali ‘mengerikan’ bagi kebanyakan pembaca buku 
di masyarakat kita ditepiskan dengan berbagai pernik seperti kutipan-kutipan, 
ilustrasi yang menyegarkan penglihatan, dan pemilihan font yang ukurannya 
bersahabat dengan mata. Kadang-kadang penulis bertutur seperti tengah berdialog 
langsung dengan pembaca, menggiring pembaca untuk bermonolog batin dan 
menjenguk jauh ke dalam batinnya sendiri. Karena urusan kebahagiaan adalah 
perkara yang terus dipertanyakan dan dikejar, padahal sebenarnya kita telah 
mengetahui caranya namun kerap keliru menerapkan.

Arvan Pradiansyah juga menyajikan sejumlah teknik dan contoh, untuk mendukung 
penjelasannya. Semua aspek diuraikan serinci mungkin, misalnya menyangkut 
kesabaran. Menurut penulis, sabar bukan berarti mengurut dada. Sabar menuntut 
kita untuk melakukan satu hal pada satu waktu. Di samping itu, sabar adalah 
kata kerja aktif dan merupakan perjalanan awal.

Buku ini dapat dikonsumsi oleh siapa saja, untuk mengungkap hal-hal sederhana 
guna meraih kehidupan yang bahagia. Seperti kata Confucius di hal. 235, Hidup 
ini betul-betul sederhana, tetapi kita senantiasa membuatnya rumit.


Rini Nurul Badariah, penulis, blogger di http://rinurbad.multiply.com

Resensi ini pertama kali dipublikasi Batam Pos, Minggu, 26 Oktober 2008.



Anwar Holid, penulis  penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


  


[zamanku] Kunci kebahagiaan itu ada dalam pikiran, Kata Arvan Pradiansyah

2008-10-26 Terurut Topik Anwar Holid
Kunci kebahagiaan itu ada dalam pikiran, Kata Arvan Pradiansyah
-

Di buku terbarunya, Arvan Pradiansyah membicarakan prinsip meraih kebahagiaan.


JAKARTA - Buku tentang cara meraih kesuksesan sudah banyak, tapi buku tentang 
mencapai kebahagiaan masih sedikit; padahal banyak orang yang sukses ternyata 
tidak bahagia, demikian kata Arvan Pradiansyah di awal talkshow The 7 Laws of 
Happiness yang diadakan di MP Book Point, Jumat, 24 Oktober 2008. Talkshow 
dipandu oleh Mutia Shahab dan acara tersebut akan ditayangkan Jak TV. 

The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) sudah berada di rak-rak toko buku sejak 
awal Oktober. 
Pada 27 September 2008 lalu, buku tersebut pertama kali didiskusikan lewat 
teleconference di Islamic Center, Kompleks Graha Hijau 2 dan Masjid Villa 
Cendana. Sejak terbit, sejumlah orang telah mengomentari buku keempat Arvan 
tersebut, di antaranya ialah Hernowo, penulis Mengikat Makna yang terkemuka 
sebagai ahli kepenulisan dan editor senior. Hernowo menyatakan: Buku terbaru 
Arvan ini memiliki ragam-bahasa-tulis yang indah-menenteramkan. Kita akan 
setuju dengan apa yang dikatakannya: Jadi, kunci kemenangan sebenarnya ada di 
dalam pikiran kita dan sangat bergantung pada pikiran yang kita pilih. 
Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa diliputi rasa 
bahagia. 

Di Facebook, situs jaringan sosial, Sari Meutia menulis: Saya baru mulai 
membaca buku The 7 Laws of Happiness, dan saya mulai dari bab Gratefulness dan 
Patience karena saya rasa bersyukur dan sabar ini sesuatu yang mudah kita 
ucapkan, tapi sulit sekali dilaksanakan. Terima kasih atas pencerahan yang saya 
dapatkan dari buku bapak. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca 
karena urutan penulisannya, pemuatan kutipan yang sangat mencerahkan, dan 
fontnya yang menyenangkan untuk dibaca, bahkan untuk orang-orang berusia 
lanjut. Sementara itu Mirza Dewi Yanti berkomentar: Saya sudah baca buku The 7 
Laws of Happiness. Saya beruntung membacanya karena isi di buku ini adalah 
rangkuman dari kepingan-kepingan temuan saya dari beberapa pendapat orang-orang 
yang saya hormati. 
 
Arvan Pradiansyah dikenal sebagai fasilitator pengembangan SDM, pembicara 
publik, host talk show, dan kolumnis. Dia menggunakan latar belakang 
keahliannya di bidang SDM untuk menghasilkan kolom dan buku-buku inspirasional, 
dengan rentang subjek mulai dari kepemimpinan, manajeman, profesionalisme, 
sampai manajemen kehidupan. Tiga buku pertamanya terserap pasar dengan baik dan 
semua sudah cetak ulang, bahkan Cherish Every Moment (2007) kini bisa diakses 
melalui Amazon.com. Di kalangan pendengarnya, Arvan kerap dijuluki sebagai 
Your personal inspirator.

Di talkshow tersebut Arvan menyatakan bahwa dia berniat menebarkan tujuh 
vitamin kehidupan yang bahagia ke dalam pikiran pembaca. Kunci kebahagiaan ada 
dalam pikiran. Pikiran orang yang bahagia akan menghasilkan kebaikan. Dia 
menyarankan agar orang lebih banyak mengonsumsi makanan positif masuk dalam 
pikiran, karena studi membuktikan kebanyakan orang justru sakit psikis (jiwa) 
karena pikirannya terganggu. Orang yang berpikir positif cenderung mampu 
melakukan hal-hal yang terbaik dalam kehidupannya.

Pendapat ini sejalan dengan studi psikologi positif yang dikembangkan Martin 
E.P. Seligman, terutama dalam buku Authentic Happiness (2002). Pada akhir tahun 
itu pula Arvan menyatakan bahwa ide tentang The 7 Laws of Happiness sudah 
muncul. Dia mengembangkan konsep itu pada 2004; namun kesibukan yang begitu 
padat, termasuk kehilangan data naskah di hard disk, membuat buku ini baru 
selesai pada pertengahan 2008.

Fondasi kebahagiaan itu sabar, tegas dia, sambil mengoreksi bahwa sabar di 
sini bukan mengelus dada, melainkan terus mencari jalan lain agar berhasil 
menyatukan pikiran, badan, dan jiwa dalam satu tindakan. Setelah sabar, ada 
enam lagi hukum kebahagiaan, yang puncaknya ialah surrender, yakni berserah 
diri (pasrah) kepada Tuhan.

Begitu talkshow selesai, Arvan dikerubungi para pendengar yang ingin lebih 
lanjut membicarakan pemikirannya. Sebagian pengunjung membeli The 7 Laws of 
Happiness dan meminta tanda tangannya. Buku ini untuk kado saudara saya yang 
akan menikah, kata seorang perempuan yang sekaligus membeli dua kopi buku 
tersebut.[]


Oleh Anwar Holid

Copyright © 2008 BUKU INCARAN

Situs terkait:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 



  


[zamanku] Wawancara JakTV tentang The 7 Laws of Happiness

2008-10-24 Terurut Topik Anwar Holid
Wawancara JakTV tentang The 7 Laws of Happiness
---


JAKARTA - Setelah shooting talkshow The 7 Laws of Happiness karya Arvan 
Pradiansyah (Kaifa, 2008) di MP Book Point pada Jumat, 24 Oktober selesai, para 
peserta merubungi sang narasumber. Mereka melanjutkan pembicaraan berbagai hal 
terkait isi buku barunya itu, karena acara tanya jawab dengan peserta hanya 
berlangsung singkat. Arvan menanggapi obrolan itu dengan antusias. Sementara 
itu Budhyastuti, editor buku tersebut, saya lihat diwawancarai kru JakTV. 
Selintas, saya dengar mereka membicarakan produk-produk Kaifa. 

Saya sendiri juga lebih perhatian pada obrolan para peserta dengan Arvan. 
Tiba-tiba, setelah wawancara dengan Budhyastuti selesai, seorang kru tv 
bertanya, Mas Anwar Holid ya? Iya, jawab saya. Boleh wawancara sebentar 
tentang diskusi barusan mas? Boleh, boleh, kata saya sambil tersenyum agak 
terkejut. Di sini ya? kata kru tersebut, mengarahkan saya beranjak di samping 
sofa tempat Arvan barusan ngobrol dengan Mutia Shahab, sang pembawa acara.

Setelah siap-siap sebentar, saya ditanyai oleh reporter. Kira-kira isinya 
seperti ini, karena saya hanya mengandalkan ingatan.

* Sudah baca The 7 Laws of Happiness mas?
Sudah. Saya sudah baca-baca buku itu.

* Apa komentar Anda terhadap buku itu? Apa isi bukunya menarik?
Ya, menarik. Seperti mas Arvan bilang tadi waktu diskusi, buku itu berusaha 
menyebarkan ajakan agar orang bersikap positif agar bisa menjalani hidup dengan 
bahagia.

* Buku mas Arvan yang pertama kali Anda baca judulnya apa? Sudah berapa yang 
Anda baca?
Saya pertama kali baca buku mas Arvan yang berjudul Cherish Every Moment. Tapi 
setelah itu semua buku karya dia sudah saya baca.

* Apa beda The 7 Laws of Happiness dengan buku-buku dia sebelumnya?
Tiga buku pertama mas Arvan merupakan kumpulan tulisan yang diolah menjadi 
gagasan-gagasan dengan benang merah tertentu, bisa dibaca dari mana saja. 
Sementara The 7 Laws of Happiness merupakan buku dengan gagasan tertentu yang 
dibangun utuh dari awal hingga akhir. Jadi bacanya harus runut. Buku pertama 
dia isinya berkisar tentang motivasi pengembangan diri di bidang manajemen, 
perusahaan, dan sikap profesionalisme, sementara bukunya setelah itu lebih 
tentang psikologi memandang hidup lebih positif dan baik.

* Apa yang mas Anwar rasakan setelah membaca buku-buku mas Arvan?
Saya bisa memandang hidup dengan lebih lega dan ikut berusaha bersikap positif 
seperti yang beliau sebarkan di buku-bukunya.

* Apa harapan mas dari baca The 7 Laws of Happiness?
Ya ingin bisa hidup lebih bahagia, dong, ha ha ha. (Saya berkata sambil 
tertawa.)

* OK, mas. Wawancara selesai. Terima kasih, kata reporter.

Setelah itu saya gabung lagi dengan para peserta diskusi, yang kebanyakan 
bergabung dalam Mom's Club Pelangi Bunda, sebuah komunitas yang mengadakan 
aktivitas pertemuan di MP Book Point.

Dalam hati saya ingin tahu, kapan ya acara talkshow ini akan ditayangkan 
JakTV?[]

Oleh Anwar Holid

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com
http://www.facebook.com/profile.php?id=1353502016ref=ts


Anwar Holid, penulis  penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


  


[zamanku] PELAJARAN DARI PERISTIWA KENABIAN

2008-10-23 Terurut Topik Anwar Holid
 
utama dalam sistem keyakinannya. Di sisi lain, ada pengakuan dan penegasan 
bahwa Muhammad memang hadir di dunia ini untuk semua umat manusia. Boleh jadi 
ini merupakan isyarat agar kaum Muslim menyilakan kaum non-Muslim menelaah 
kehidupan Muhammad dengan berbagai cara studi dan kepentingannya. Muhammad 
merupakan sosok dan sejarah yang terbuka; beliau boleh ditilik lewat berbagai 
cara, sebagaimana umat Muslim senantiasa memuliakan dan menjaga kesuciannya. 

Tariq Ramadan memperlihatkan etos tersebut; di satu sisi dia menggali berbagai 
sumber klasik, termasuk hadis dan Al-Quran, lantas menggunakan khazanah 
tersebut untuk perenungan dan komentar dari sudut spiritual, filosofis, sosial, 
legal, politis, dan kultural yang terinspirasi dari peristiwa faktual yang 
dialami nabi, umat, dan masyarakat sezamannya.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com

KONTAK: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Awalnya kolom ini dipublikasi REPUBLIKA, Minggu, 19 Oktober 2008, rubrik 
Selisik.

Situs terkait: 
http://www.serambi.co.id
http://www.republika.co.id


Anwar Holid, penulis  penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


  


[zamanku] The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) Menurut Hernowo

2008-10-20 Terurut Topik Anwar Holid
The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) Menurut Hernowo
---


Untuk mencapai kebahagiaan, memilih tindakan saja tidaklah cukup. Agar bisa 
bahagia, yang harus kita lakukan adalah memilih pikiran. 

Pikiran kita adalah segala-galanya. Buddha mengatakan, Seluruh diri kita 
adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan. Oleh karena itu, semua yang 
akan terjadi pada diri kita adalah hasil dari yang sedang kita pikirkan saat 
ini.

Bukankah tujuan hidup kita adalah mencapai kebahagiaan? Bukankah banyak orang 
yang telah mencapai puncak-puncak kesuksesan, tetapi tetap saja tidak merasa 
bahagia?

Kita tidak bisa mengontrol perasaan kita secara langsung, tetapi kita dapat 
mengelola perasaan kita dengan jalan MEMILIH PIKIRAN yang akan kita konsumsi.

Pilihan pikiran akan menentukan perasaan kita.

-*-

Kalimat-kalimat bernas di atas berasal dari Arvan Pradiansyah, penulis sukses 
buku-buku yang berjudul indah: You Are a Leader! (2003), Life is Beautiful 
(2004), dan Cherish Every Moment (2007). Saya mengutip kalimat di atas dari 
buku keempat, buku terbarunya, yang baru saja muncul di pasaran: The 7 Laws of 
Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia.

...buku keempat saya ini merupakan masterpice pertama saya, tulis Arvan di 
Prakata. Lho, mengapa? Karena baru dalam buku inilah saya mengungkapkan sebuah 
konsep yang utuh dan terpadu, sebuah model kebahagiaan, jawabnya.

Jika kita sempat membaca buku terbaru Arvan ini yang, menurut saya, memiliki 
ragam-bahasa-tulis yang indah-menenteramkan, kita akan setuju dengan apa yang 
dikatakannya: Jadi, kunci kemenangan sebenarnya ada di dalam pikiran kita dan 
sangat bergantung pada pikiran yang kita pilih. Apabila kita memilih pikiran 
yang negatif, seluruh diri kita akan menjadi negatif. Sebaliknya, jika memilih 
pikiran positif, kita akan senantiasa diliputi rasa bahagia.

Betapa menentukannya pikiran kita terhadap kehidupan kita ya? Sudahkah kita 
melatih pikiran kita untuk memilih sesuatu yang bersifat positif? Kalau 
jawabannya sudah, ada satu pertanyaan susulan yang sangat penting untuk segera 
kita jawab: Seberapa sering kita melatih pikiran kita itu untuk memilih hal-hal 
positif? Karena, menurut  Arvan, bukan you are what you think yang menentukan 
diri kita seperti apa, tetapi apakah kita sering mengulang-ulang pikiran 
positif kita?

Semoga ada manfaatnya.[]

Hernowo 
(Penulis bestseller Mengikat Makna)


__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


[zamanku] Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto

2008-10-03 Terurut Topik Anwar Holid
Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto
---
Oleh: Anwar Holid


Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi)
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: GPU, 2008
Tebal: 94 hal.
ISBN: 978-979-22-3666-8



Seorang kawan menghadiahi Jantung Lebah Ratu, buku puisi karya Nirwan Dewanto 
(ND). Tentu saya senang. Dulu, persis saat buku itu terbit kira-kira pada bulan 
Mei, saya sangat antusias kapan kira-kira bisa baca, bahkan kalau bisa 
memilikinya. Rumah Buku, perpustakaan favorit saya, sebenarnya segera 
mengoleksi himpunan puisi tersebut, tapi entah kenapa saya tak sempat juga 
meminjamnya. Ternyata buku itu sedang dipinjam anggota lain ketika saya ingin 
membacanya. Seorang teman sealma mater ND yang saya tahu langsung beli buku itu 
saya tanya, seperti apa sih puisi-puisi dia? Dia menjawab samar, Yah, 
begitulah. Khas Nirwan, agak-agak susah dipahami dan berbau filsafat. 
Sementara waktu kawan yang menghadiahi buku itu saya tanya kenapa memberikan 
buku itu, dia menjawab tanpa pretensi, Hm... susah ya. Mungkin puisinya bukan 
selera saya. Kurang nikmat bacanya.

Nirwan Dewanto merupakan penulis dengan reputasi terkemuka di Indonesia. Dia 
menulis esai budaya dengan beragam subjek, termasuk kritik buku, menjadi salah 
satu eksponen posmodern paling awal di Indonesia, ikut mendirikan jurnal Kalam 
(yang merayakan posmodern secara besar-besaran), bergabung dengan Teater Utan 
Kayu (TUK), dan sudah menulis puisi sejak lama. Boleh dibantah, peristiwa yang 
membuat namanya melambung ialah ketika dia jadi salah satu pembicara kunci di 
Kongres Kebudayaan 1991; dia membawakan makalah berjudul Kebudayaan Indonesia: 
Pandangan 1991. Esai ini pula yang jadi andalan pada buku pertamanya, Senjakala 
Kebudayaan (Bentang, 1996)---sebuah buku yang kini sudah turun dari rak toko 
umum dan hanya bisa ditemui kembali di perpustakaan seperti Rumah Buku. 

Namun harus disebut pula reputasi dia kadang-kadang membuat orang lain jengkel 
atau penasaran. Sebagai kritikus sastra, pilihannya kadang-kadang digugat, yang 
paling terkenal boleh jadi Siapa Takut, Nirwan Dewanto? oleh Richard Oh dan 
Yth Tuan Nirwan oleh Damhuri Muhammad---isinya kira-kira debat seputar kritik 
dan standardisasi penilaian karya sastra. Saya sendiri menganggap reputasi ND 
di Indonesia mirip dengan Michiko Kakutani di AS---kritikus buku The New York 
Times. Michiko dijuluki kritikus yang paling ditakuti sedunia. Keberanian 
Michiko memuji atau mengecam buku membuat posisinya sering ekstrem. Sebagian 
penulis jengkel sekali pada Kakutani. Saya juga tahu satu-dua penyair jengkel 
sekali pada ND dan bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan olok-olok dalam 
puisi ciptaan mereka. 

Saya lebih bisa mencerap beberapa esai ND daripada puisinya. Meski begitu, saya 
selalu kelelahan bila baca tulisan dia di Kalam, misalnya, meski kecenderungan 
itu hilang bila saya baca kolom atau resensinya. Saya merasa standar dia 
terhadap sastra atau buku tinggi sekali, dan itu mungkin membuat posisinya jadi 
terasa adi luhung. Lagi pula, tampaknya, puisinya pun lebih jarang dipublikasi 
media massa daripada esainya; dan bila kebetulan bertemu puisinya, saya lebih 
banyak bingung daripada bisa asyik menikmatinya. Bagi saya, dalam selintas 
baca, puisinya sulit dipahami dan kurang nikmat dibaca. Ini lain sekali bila 
saya bertemu dengan puisi Joko Pinurbo, misalnya. Kadang-kadang, sebagian puisi 
Joko Pinurbo mengambang dan sulit dipahami karena makna dan kosakatanya ambigu; 
tapi saya masih bisa merasakan samar-samar nuansa keindahan di sana. Dalam 
puisi ND yang sukar, saya bahkan langsung merasa gagal meraba sebenarnya apa 
yang dia ungkapkan.

Di dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993), Saini K.M. sudah memuji bakat 
dan kemampuan Nirwan Dewanto. Waktu kuliah di ITB, Nirwan Dewanto merupakan 
salah satu penyair muda yang puisinya mendapat perhatian Saini K.M. di 
Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat. Kata Saini: Nirwan Dewanto, dalam bentuk 
kesamar-samaran, memperlihatkan kemungkinan yang dapat diharapkan di masa 
depan. Dia tidak saja peka terhadap kehidupan batinnya, melainkan juga terhadap 
dunia (lahiriah) di luar dirinya. Sajaknya menyajikan renungan yang cenderung 
falsafi. Puisi Nirwan Dewanto yang dimaksud Saini berjudul Agustus.

-*-

Jadi, kegirangan saya menerima buku puisi yang didesain dengan elok dan 
mencolok ini segera berubah jadi semacam bencana dan kejengkelan karena setelah 
membolak-balik ke sana-kemari, saya tak jua menemukan puisi yang enak atau bisa 
dipahami. Saya nyaris putus asa dan merutuk, karena tak kunjung ngerti, maksud 
dia menulis puisi itu apa? Hampir tak ada nikmat-nikmatnya. Jauh lebih nikmat 
bila saya baca puisi amatir kawan-kawan lama. Memang satu-dua puisinya ada yang 
cukup saya pahami atau cukup bisa saya rasakan keindahannya; tapi secara 
keseluruhan, bukunya merupakan himpunan puisi yang sukar.

Begitu baca puisi pembuka, Perenang Buta, saya seperti ditubruk oleh moncong 
pesawat terbang. Blas