[zamanku] [BUKU INCARAN] Kreatiflah dengan Alasan Kuat
[BUKU INCARAN] Kreatiflah dengan Alasan Kuat ---Anwar Holid Oh My Goodness, Buku Pintar Seorang Creative Junkies Penulis: Yoris Sebastian Penerbit: GPU, 2010 Ukuran: 14 x 21 cm Harga: Rp 68.000,- ISBN: 978-979-22-5526-3 Yoris Sebastian menggabungkan pengetahuan dan pengalaman kreatifnya dengan berbagai contoh bahwa kreativitas bisa berupa apa saja yang memungkinkan; baik berupa pengembangan dari hal yang sudah ada maupun berawal dari sesuatu yang dianggap mustahil karena aneh dan menentang arus---antara lain berupa penemuan, buah dari penelitian. Kita bisa belajar banyak tentang berpikir dan bertindak kreatif maupun menemukan ide-ide segar baik untuk bekerja dan menambah wawasan dari buku ini. Landasan isi buku ialah pengalaman kerja dan kehidupan penulisnya sebagai orang kreatif. Yoris menerima penghargaan tahunan International Young Creative Entrepreneur of the Year (2006) dari British Council. Dia menjadi berita karena merupakan General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat berusia 26 tahun (GM termuda kedua di Dunia). Di sini dia sukses menyelenggarakan acara yang secara umum diakui sebagai mahakaryanya, yaitu I Like Monday. Yoris menerima berbagai penghargaan terutama di bidang advertising dan entertainment. Kini dia adalah CEO OMG Consulting, yang kerap mampu memaksa mulut para klien menganga dan berkata 'oh my goodness' atas usulan-usulan mereka. Buku ini mula-mula menerangkan kreativitas itu apa, seperti apa, bagaimana ia berperan dalam kehidupan maupun karir seseorang, cara menggali dan memanfaatkannya, mengasah maupun menambahnya, mengadopsi kreativitas pihak lain dan mengolah untuk kepentingan sendiri, lantas mengambil keputusan kreatif secara terkontrol tanpa lupa mempertimbangkan risiko. Dia banyak mengajukan contoh betapa kreativitas itu sangat luas dan mengejutkan, mulai dari pesulap hingga pebisnis sukses kelas nasional dan dunia. Yoris menyebut dirinya sebagai 'creative junkie' (kecanduan oleh hal kreatif). Dia menerapkan kreativitas dalam banyak detail kehidupan, misal sengaja mengenakan arloji di tangan kanan, berlawanan dengan kebiasaan umum yang mengenakan di tangan kiri. Buku ini pun menanggung akibat salah satu keputusan kreatifnya, yaitu sengaja tanpa nomor halaman. Kalau tanpa nomor halaman, lantas kenapa buku ini sampai perlu dibagi tiga 'part' dalam sembilan 'chapter'? Bukankah pembaca bakal kesulitan langsung menuju masing-masing topik? Ini memberi peluang bahwa pembaca bisa membaca buku dari mana saja tanpa perlu khawatir akan kehilangan keutuhan dan kepaduan akan pemikirannya. Yoris merupakan contoh sempurna orang Indonesia yang gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris secara bersamaan baik lewat kosakata, istilah, maupun kalimat. Jangankan untuk ekspresi, dia sengaja menggunakan or untuk ganti atau. Isi buku ini pun sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, begitu juga babnya. Dia menggunakan 'chapter' alih-alih bab. Atau menulis begini: as easy as follow someone kreatif di twitter! Kenapa dia tidak sekalian menulis dengan ungkapan inggris? Oh my goodness, what a decision! Jadi jangan berharap banyak pada mode penyuntingan buku ini, terutama menyangkut copyediting. Buku ini sembarangan dan inkonsisten menggunakannya, misal penggunaan huruf kapital, italic, dan bold yang suka-suka. Dia menulis “Singapore” dan “tau” alih-alih “Singapura” dan “tahu.” Ada poin-poin yang ditulis italic, tapi di tempat lain normal. Di satu tempat nama majalah italic, di lain tempat tegak, sementara judul film dibiarkan tegak. Di halaman tertentu waffle ditulis tegak, di halaman lain italic---meski hanya penulis yang tahu apa itu artinya. Sementara sejumlah kosakata asing yang rasanya telah biasa kita dengar dan tahu artinya malah dicetak italic, seperti workshop, style, fresh, skill. Namun toh dia masih selip menulis Project Manhattan dan Dead Poet's Society, bukan Manhattan Project atau Dead Poets Society. Salah eja di halaman copyright buku ini pasti terjadi karena teledor dan tetap sulit diterima bila dinilai sebagai keputusan kreatif. Dengan tegas Yoris mengesankan bahwa kreativitas merupakan alat untuk mencapai keberhasilan. Kreatif idealnya berbanding lurus dengan kesuksesan dan kemakmuran. Semakin kreatif seseorang, akan semakin sukses dia. Anggapan ini jelas merupakan buah dari pandangan umum bahwa semua orang sekarang memang ingin tambah sukses dan makmur. Yoris mengingatkan jangan sampai kreatif semata-mata karena ingin beda. Kreatiflah dengan alasan kuat. Jangan sampai kita rugi hanya karena ingin disebut kreatif. Maka menurut Yoris kreatif yang gagal dijual itu sia-sia. Di sinilah pentingnya memperhatikan pemikiran dia mengenai thinking outside the box, execute inside the box---yakni agar orang tidak semata-mata aneh dan nyeleneh, tapi juga sungguh-sungguh mengantisipasi dan memperkirakan risiko seteliti mungkin dari kreativitasnya. Itu pentingnya memulai kreativitas dari hal kecil. Bila
[zamanku] [resensi] Bertaruh Nyawa untuk Menerbitkan Memoar
[BUKU INCARAN] Bertaruh Nyawa untuk Menerbitkan Memoar ---Anwar Holid The Ghost Writer (Sang Penulis Bayangan) Penulis: Robert Harris Penerjemah: Siska Yuanita Penerbit: GPU, 2010 Tebal: 320 halaman; format: 15 x 23 cm ISBN: 978-979-22-5562-1 Harga: Rp.50.000,- (Soft Cover) The Ghost Writer perlahan-lahan tamat juga di sela-sela deadline kerja penulisan yang sempat bikin aku blank, karena harus menjelajahi subjek sulit. Tadinya aku pesimis bisa menamatkan novel ini karena perasaan bersalah lebih baik memburu target kerja dan berusaha keras terserap ke dalam tugas, tapi rupanya kadang-kadang aku tenggelam sebentar ke dalam novel ini. Novel ini aku baca dengan rasa gelisah karena kerja belum selesai, sementara deadline tambah dekat, dan seorang klien menghentikan kerja sama---entah untuk sampai kapan. Buku ini aku bawa-bawa ke Jakarta, sesekali aku baca di tengah angkot atau mobil dinas yang membawaku ke para narasumber yang mau diwawancarai, hendak aku serap pengalaman dan ilmunya. Pada dasarnya The Ghost Writer bercerita tentang dua orang. Orang pertama itu ialah penulis bayangan (ghost writer) yang disewa untuk merevisi dan menulis ulang memoar mantan perdana menteri Inggris bernama Adam Lang. Orang kedua ialah Adam Lang sendiri. Ketika itu Adam Lang tengah diajukan ke Mahkamah Internasional oleh mantan menteri luarnya yang kini bekerja di PBB. Menteri luar negeri ini dulu dipecat Lang dari kabinetnya; dia seorang politisi senior, berpengaruh, dan integritasnya tampak terjaga. Lang dituntut atas kejahatan perang. Dia diduga memberi perintah penangkapan dan penginterogasian empat warga negara Inggris keturunan Pakistan atas desakan CIA, yang lantas dibawa paksa ke penjara Guantanamo. Lang juga diduga memerintahkan sebuah operasi rahasia yang dilaksanakan tanpa persetujuan parlemen. Meski dicintai warga negara Inggris dan politik luar negerinya berhasil, Lang tampak terlalu menjadi kolaborator Amerika Serikat dengan mendukung semua kebijakan perang melawan terorisme. Tuduhan kejahatan inilah yang membuatnya nyaris digelandang ke pengadilan internasional di Amsterdam. Beruntung dia tengah berada di Martha's Vineyard, sebuah pulau kecil di Massachusetts, Amerika Serikat, yang terkenal sebagai tempat liburan orang Amerika Serikat kala musim panas. Amerika Serikat tidak ikut mengakui pengadilan internasional. Jadi selama ada di sana, untuk sementara Lang aman. Sayangnya dia di sana kala musim dingin, di pulau terpencil pula; jadi suasananya benar-benar sepi, sebab hanya berisi segelintir penduduk setempat yang berprofesi sebagai nelayan, dan sehari-hari diterpa hujan deras dan badai. Istrinya terang-terangan bilang sebenarnya Adam Lang sudah bernasib seperti Napoleon Bonaparte yang diasingkan di pulau Elba. Sebenarnya, niat awal Lang ada di sana ialah menyelesaikan memoar politik pasca dirinya selesai menjadi perdana menteri. Memoar ini bukan saja bernilai jutaan dolar karena sudah terikat kontrak dengan penerbit raksasa, namun juga merupakan satu-satunya cara dirinya membela diri dan berpeluang menimbulkan pengakuan kontroversial. Sayangnya, sekretaris setianya, seorang staf politikus tiada tara, ghost writer pertama yang sudah menulis draft awal memoar itu, ditemukan tewas ketika hendak menyerahkan manuskrip ke penerbit. Maka disewalah ghost writer kedua, narator dalam novel ini. Ghost writer kedua ini seorang oportunis. Dia satu almamater dengan Adam Lang, hanya beberapa tahun di bawahnya, apolitis, hidup melajang, dan tampak egois. Meski terbilang sukses berkarir sebagai ghost writer dan tahu posisinya dalam industri buku, dia berharap bisa meningkatkan karir karena selama ini kliennya rata-rata orang kelas dua, misalnya rockstar uzur dan karirnya sudah tenggelam tapi tetap merasa jadi mesiah, atau pemain sepak bola kasar yang merasa ucapan-ucapannya sekelas dengan Shakespeare. Mungkin dengan mendapat klien mantan perdana menteri, karirnya jadi melesat luar biasa. Memang benar. Begitu sepakat mengerjakan proyek itu dan mendapat panjer (uang muka) besar, suatu hari dia dihajar orang asing yang hendak merebut manuskrip memoar sang mantan perdana menteri. Tapi halangan itu tak menyurutkan niatnya. Ketika benar-benar mulai mengerjakan proyek bersama Adam Lang, harapannya tampak semakin nyata. Sebagai pribadi, Adam Lang sangat mempesona. Dia seorang komunikator andal, pandai meyakinkan, sekaligus tegas dalam mengambil keputusan. Tapi dalam jalinan politik, kita sulit memastikan sebenarnya seperti apa pengaruh kebijakan-kebijakannya. Apa keputusannya membuat Inggris makin signifikan berperan di dunia internasional, kondisi ekonomi dan isu-isu keadilan bertambah baik atau terpuruk. Kita tahu bahwa sebagian dari politik ialah kompromi, baik dengan partai, kolaborator, bahkan dengan kekuatan musuh sekalipun. Sikap apolitis sang ghost writer pada satu sisi menyulitkannya bekerja dan menyelami ada apa sesungguhnya di dalam dan luar politik
[zamanku] (esai) Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi
Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi ---Anwar Holid Film itu durasinya 13 menit. Ia membuatku tertegun, mengebor mata sampai bergetar, akhirnya memaksa butiran beningnya menetes. Ia menohok persis sesuatu yang rasanya kerap aku alami atau renungi, terutama saat dilanda depresi oleh nasib. Kemiskinan, juga rasa tiada berdaya karena gagal memenuhi kebutuhan hidup paling sederhana sekalipun, cuma kadar yang mereka alami lebih ekstrem. Tadinya, kawan yang memberi video ini bilang, Bisa enggak kamu bikin proposal dari film ini? Proposal? tanyaku. Aku hanya bisa bikin proposal penerbitan buku, bukan untuk mempersuasi perusahaan atau orang-orang kaya-dermawan untuk berbuat sesuatu atau bederma menolong sesama. Tapi aku bilang, Aku kenal satu-dua orang yang terbiasa mengurus bakti sosial atau hibah untuk masyarakat. Bisa juga mendekatkan orang yang mau melaksanakan CSR atau aktivitas seperti bisnis sosial. CSR dan bisnis sosial adalah jargon kapitalisme yang sangat sulit aku pahami, meskipun aku tahu kini banyak perusahaan mempraktikannya. Bahkan CSR telah menjadi standar di setiap company profile; sementara bisnis sosial sukses dijalankan oleh orang seperti Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, juga Ashoka Foundation. Sempat kerja sama dengan 1 - 2 BUMN membuat aku tahu bahwa mereka menyediakan dana CSR sangat besar. Aku bahkan pernah dengar ada BUMN yang bingung mau berbuat apa lagi saking begitu besar dana CSR yang mereka miliki. Film itu memperingatkan aku agar jangan berhati kerdil. Dulu kala mahasiswa aku pernah bekerja bakti bersama kawan-kawan dengan 1 - 2 hari tinggal bersama keluarga miskin di masyarakat desa pinggiran Bandung, di balik-balik perbukitan yang indah dan permai. Untuk mendapat ilmu, pernah juga aku hidup beberapa hari di pesantren yang jorok di kota lain. Sementara sekarang aku justru kadang-kadang nelangsa memperjuangkan nasib sendiri, berusaha memahami betapa hidup itu ada-ada saja kejadiannya. Seperti kemarin aku menerima sms kawan, bunyinya: 'mengapa ya uang selalu mempermainkan hidup kita? di kala banyak uang kita senang dan tenang, sebaliknya ketika enggak ada, kita sedih dan panik.' Aku jawab: 'aku juga bingung soal uang. kemarin kepikiran mau nulis status begini: mana yang lebih mengerikan: kehilangan uang atau kehilangan tuhan? tapi urung aku lakukan karena merasa malu.' Bukan berarti kepedulian sosialku jadi rendah atau hilang; sebaliknya, aku merasa status sosialku masih rapuh, maka lebih baik memperbaiki nasib sendiri. Sebagian orang mungkin tak perlu kita kasihani, sebab mereka berjuang keras untuk diri sendiri. Nah, bagaimana kalau kita tidak tinggal 1-2 hari bersama orang miskin dan kekurangan, melainkan ikut bergumul dengan lumpur, di medan lokasi yang berat, transportasi dan aksesibilitas seadanya, sanitasi buruk, kekurangan gizi, tingkat pendidikan rendah, dan sebagian masyarakatnya tertinggal begitu jauh dari peradaban yang Anda miliki? Kalau mau, Anda bisa cabut dari sana, atau sesekali pelesir ke kota terdekat untuk mendapatkan udara segar. Tersebutlah kecamatan Peundeuy, di kabupaten Garut, jaraknya kira-kira 150 km dari Bandung ke arah selatan. Di peta biasa provinsi Jawa Barat, kecamatan ini bahkan tidak tercantum. Namanya kalah oleh Pameungpeuk, yang terkenal karena punya pantai. Mungkin Pameungpeuk dan Peundeuy tidak sejalur, tapi dalam peta wilayah yang lebih detail, ia berada sebelum Pameungpeuk. Kecamatan ini berada di antara perbukitan dan sawah-sawah yang mungkin menawarkan pemandangan asri serta menakjubkan, rata-rata wilayahnya berada pada 100 - 1000 m di atas permukaan laut, dengan derajat kemiringan mayoritas di atas 40 persen. Tapi bagaimana kita percaya bahwa di tempat seperti itu kemiskinan dan ketertinggalan begitu nyata terwujud? Di sana masih ada jembatan gantung dari bambu, rumah-rumah berbilik bambu yang sudah bolong-bolong, hanya punya satu sekolah SMP dan SMU, dengan gedung semi permanen dan tembok sebagian besar sudah mengelupas. Tingkat drop out anak-anak SD di sini tinggi sekali, dan dilihat dari film itu, bangunan SD-nya amat mengenaskan. Kalau Bill Gates atau beberapa kawanku drop out dari universitas, mungkin masih bisa jadi cerita menarik; tapi apa yang bisa kita harapkan dari anak yang drop out SD? Mereka bakal jadi pengusaha kelereng? Tidak. Setelah putus sekolah, kebanyakan dari mereka kawin pada usia dini, merantau ke kota besar seperti Bandung dan Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh serabutan, maupun penjual asongan butong (seribu sekantong). Kondisi ini mengingatkan aku pada film Not One Less. Terdiri dari enam kelurahan dengan luas sekitar 5.679 ha, Peundeuy berada sekitar 65 km dari ibukota kabupaten Garut---yang terkenal oleh industri dodol dan kerajinan lainnya. Sejumlah sarjana dari beberapa perguruan tinggi terkemuka Indonesia dan berbagai disiplin ilmu ternyata sudah berada di Peundeuy sekitar delapan tahun terakhir ini, hidup bersama masyarakat
[zamanku] [PUBLISITAS] Perjalanan yang Penuh Muatan
[PUBLISITAS] Perjalanan yang Penuh Muatan ---Anwar Holid BANDUNG - Apa perjalanan bisa mengubah seseorang? Apa yang sebenarnya berubah dalam dirinya? Apa setiap perjalanan selalu menggetarkan? Rasa penasaran sejenis ini muncul dari para hadirin di acara publisitas buku Jingga (GPU, 2010) karya Marina S. Kusumawardhani di Potluck Coffee Bar Library, Bandung pada Kamis, 22 Juli 2010. Jingga merupakan buku keduanya setelah Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar (GPU, 2008) yang sangat sukses, padahal sebenarnya perjalanan ke kedua negara kita itu dia lakukan lebih awal, yaitu ketika masih jadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung, antara tahun 2003 - 2004. Perjalanan ke India dan Thailand itu dia sebut sebagai perjalanan untuk mencari surga di bumi---tampaknya lebih menjadi renungan spiritual daripada sekadar pergi ke tempat eksotik yang dianggap memiliki daya tarik mistik. Obrolan yang dihadiri puluhan backpacker, kawan sealma mater, juga teman-teman cybernya itu berlangsung sederhana, tanpa basa-basi. Ini merupakan diskusi kedua setelah launching di Kinokuniya, Jakarta, awal Juli lalu. Marina mengaku buku itu lahir dari upaya penemuan diri, pencarian makna, dan perpisahan. Dorongan lebih kuat lagi muncul setelah dua kawannya meninggal karena krisis eksistensial. Mengapa India dan Thailand? Jawaban sederhananya waktu itu dia terinspirasi oleh perjalanan band Kula Shaker ke India. Band dari Inggris ini pernah sempat melahirkan hit Govinda yang meleburkan unsur musik India dan alternative rock. Marina lebih dari sekadar histeria terhadap band ini, melainkan berusaha menemukan arti dari lirik-lirik mereka. Imajinasiku ketika pergi ke kedua negara itu ialah dominan jingga, katanya. Mulai dari pakaian para bhiksu, sinar matahari, suasana alamnya. Itulah yang menyatukan kedua negara tersebut. Tapi ternyata, di ujungnya perjalanan itu semua bergantung pada suasana batin pelakunya sendiri. Kata dia, Mau seindah apa pun, yang fisikal itu akhirnya memudar. Jadi ada sesuatu yang lebih dalam dari perjalanan, misalnya belajar soal adaptasi, keterbukaan, serta menelusuri jalan kebahagiaan. Dia mengisahkan ketika berada di Kashmir, sebuah wilayah konflik di bagian utara India yang berbatasan dengan Afghanistan dan Cina. Waktu itu di sana sedang kuat-kuatnya solidaritas agama, terutama Hindu dan Islam, padahal itulah salah satu sumber konflik. Dia merenung, kalau begitu apa arti agama? Kenapa pada tahap tertentu ia malah menjadi sumber kehancuran, apakah ia cuma topeng dan identitas yang bisa memisahkan golongan manusia? Atau ia menjadi jalan manusia untuk mencapai Tuhan? Marina berpendapat bahwa umat beragama itu pada dasarnya sedang berjalan menuju Tuhan. Cuma persoalannya, apa perjalanan itu sampai ke sana atau tidak, demikian tandasnya. Mungkin itu sebabnya Wimar Witoelar berkomentar bahwa Jingga menjadi santapan mental yang jauh lebih luas. Bagi Wimar, buku ini memberi kenikmatan membaca sekaligus menambah perlengkapan orang mengarungi kehidupan multibudaya---yang rentan hilang dalam masyarakat karena fanatisme golongan, daerah, suku, dan agama. Yang membuat para backpacker bertanya-tanya dengan nada takjub ialah pengalaman Marina tentang budget dan menemukan muatan dari perjalanan tersebut. Karena tahu setiap perjalanan butuh biaya, sebagian backpacker mengaku sudah berusaha sangat hemat, tapi menurut mereka yang dilakukan Marina ternyata super-duper hemat. Apa dia mengorbankan kenyamanan atau kemewahan lebih dari segala-galanya? Menurut Marina, itu tergantung definisi masing-masing orang terhadap yang dijalani atau dinilainya. Dia bahkan baru kenal istilah backpacker ketika berada di Thailand dan sadar ternyata membentuk komunitas pertemanan yang amat besar di dunia ini. Perjalanan itu semakin spontan, semakin terbuka pada banyak hal, akan semakin bagus dan seru, katanya. Marina juga berpendapat perjalanan ke suatu tempat itu jauh sangat bermakna dan nyaman bila kita kenal dengan orang setempat, apalagi bila membuahkan pertemanan yang langgeng. Sekadar jalan-jalan ke suatu kota dan berpotret-potret di sebuah landmark akan membuat capek dan membosankan. Perjalanan yang hebat idealnya melahirkan pengalaman dan pengetahuan bagi pelakunya. Berdasarkan nilai dan budayanya, Marina yakin bahwa orang Indonesia itu jauh lebih adaptif dan terbuka pada budaya dan orang luar. Kita cenderung melihat orang lain sebagai teman, berbeda dengan orang barat yang biasanya mula-mula membedakan orang dalam tiga kategori, yaitu orang asing (stranger), teman (friend), dan rekan kerja (colleague).[] Silakan kenalan dengan Marina di Facebook: http://www.facebook.com/jedimarina Link detail buku: http://www.gramedia.com/buku_detail.asp?id=KFAQ0535kat=3 _ Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor, publisis. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. KONTAK: war...@yahoo.com
[zamanku] [esai] Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving
Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving ---Anwar Holid Seorang kawan yang tahu bahwa bukuku akan diterbitkan GPU suatu hari bertanya, 'Degdegan enggak anak barunya mau lahir?' 'Enggak sih, cuma aku berharap banget jangan sampai melakukan kesalahan fatal di buku itu.' 'Memang kenapa?' 'Aku kan rewel sama editan buku-buku yang aku baca. Kalau bukuku sendiri banyak salah eja misalnya, tentu menyedihkan. Bisa malu sendiri aku. Apalagi ini buku tentang penulisan.' 'Ha ha ha... mengkritik memang mudah ya?' 'Enggak juga sih. Yang penting kan ada dasarnya. Cuma akan konyol kalau aku melakukan kesalahan serupa. Takut blunder.' 'Terus apa yang kamu lakukan?' 'Aku sudah bilang ke editor yang ngurus bukuku agar mengusahakan jangan sampai ada kesalahan. Supaya hati-hati. Aku juga begitu. Kami sudah ngobrol dan saling berusaha. Apalagi naskah ini juga sudah dibaca sama orang lain. Jadi ada pembanding.' 'Apa harapan kamu setelah buku itu terbit?' 'Aku berharap minimal tiga hal: (1) penjualan buku itu laris; (2) bermanfaat bagi banyak orang; (3) dikritik habis-habisan. Karena itu aku lagi usul ke bagian promosi GPU agar bisa mengadakan publisitas untuk buku itu. Syukur kalau bisa beberapa kali.' 'Semoga dikabulkan. Enggak semua orang bisa mendapatkannya.' 'Benar.' Buku ini berjudul KEEP YOUR HAND MOVING, diterbitkan GPU pada akhir Juli 2010. Waktu terakhir kali memeriksa cetak coba buku itu, muncul salah eja mengagetkan, misal ada tulisan 'berkecupan', padahal di naskah asli aku menulis 'berkecukupan.' Bagaimana bisa muncul kesalahan seperti itu? Kawan lain bertanya, 'Apa ini buku tentang motivasi menulis?' Sebenarnya ini bukan buku murni tentang cara menulis setahap demi setahap. Yang lebih aku tekankan pertama-tama ialah mempersuasi orang untuk menulis sebebas mungkin, abaikan dulu soal tetek-bengek bahasa. Aku ingin bilang 'ayo menulis secara bebas dan rasa senang, terus kita perbaiki perlahan-lahan lewat disiplin, biar luwes.' Baru nanti di ujung buku aku sebut pentingnya standar bahasa, EYD, menulis secara rapi, dan berusaha jangan sampai melakukan kesalahan elementer yang bisa menodai kredibilitas penulis. Menulis dengan baik dan rapi itu menguatkan kepercayaan orang lain. Aku lebih suka bilang ini buku tentang berbagi soal penulisan. Komentar dia, 'Siapa tahu kalau disebut sebagai buku panduan maka lebih jelas dan tegas.' Sang editor menimpali: 'Ada fakta bahwa subjudul yang simpel dan komunikatif biasanya justru akan membuat sebuah buku lebih laku. Toh, judul utamanya sudah cukup stylish. Tak ada salahnya dengan kata panduan.' Maka editor memilihkan subjudul 'Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya' untuk buku tersebut. Keep Your Hand Moving intinya mengajak orang menulis sesuai maksud, ekspresif, dan rapi. Mula-mula buku ini berusaha membangkitkan saraf dan kebiasaan menulis, berani mewujudkan ide jadi tulisan yang utuh, enak dibaca, layak publikasi---baik untuk ditawarkan ke media massa atau penerbit maupun disebar ke publik lewat berbagai cara. Banyak orang suka menulis, tapi caranya kerap sembarangan, mengabaikan aturan umum, sementara mereka buta standar yang berlaku, padahal ingin tulisan itu dibaca massa. Maka sering terjadi miskomunikasi. Di sini pentingnya menguasai norma bahasa, karena ia menyetarakan cara berpikir. Dengan itulah penulis dan pembaca jadi 'nyambung.' Penulis juga perlu mampu menilai, menganalisis, dan mengedit karya sendiri, melenturkan tulisan atau menggayakan cara bertutur agar lebih hebat dan bertenaga. Ujungnya menyemangati untuk mau belajar dari karya orang lain, pantang menyerah, dan terus menciptakan karya terbaik. Materi naskah buku ini awalnya berasal dari dua workshop penulisan yang di sana aku jadi gurunya, ditambah tulisan ketika aku diundang jadi instruktur atau bahan diskusi di workshop lain. Setelah aku coba utuhkan isinya, proposal bukunya aku ajukan ke GPU. Aku memohon endorsement kepada delapan orang untuk buku ini; lima di antaranya bersedia memberi, yaitu Hernowo, Ignatius Haryanto, Arvan Pradiansyah, Adenita, dan Akmal Nasery Basral. Semoga Keep Your Hand Moving bisa menjadi bacaan berharga bagi mereka yang bermaksud ingin mengungkapkan gagasan, melampiaskan perasaan, dan sama-sama berusaha meningkatkan kualitas tulisan. Beberapa bulan lalu ada kawan lamaku kirim email begini: 'Aku ingin belajar nulis, euy. Harus bagaimana ya?' Buku ini semoga bisa menjawab pertanyaan sejenis itu.[] Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
[zamanku] Esai: Tulisan untuk Mengenali Diri Sendiri
Esai: Tulisan untuk Mengenali Diri Sendiri ---Anwar Holid Esai itu mirip rok mini: cukup panjang untuk menutupi subjek, cukup pendek biar kelihatan menarik. ---Anonim Esai ialah pendapat pribadi atas hal tertentu atau menyampaikan gagasan mengenai sesuatu. Kalau begitu, apa bedanya dengan opini? Pada dasarnya, keduanya sama saja, sebab opini juga berarti pandangan pribadi mengenai sesuatu. Mereka hanya beda sedikit saja. Misal topik tentang rokok. Dengan pendekatan atau teknik tertentu, tulisan tersebut bisa menjadi esai atau opini. Kalau kita mengeksplorasi rokok dari kenikmatan mengonsumsinya, kapan pertama kali berkenalan dengannya, apa yang terjadi pada dirinya selama merokok, betapa rokok mengingatkan seseorang akan ayahnya yang tega membeli rokok untuk diri sendiri daripada memberi uang untuk istri atau jajan anaknya---kemungkinan besar tulisan itu akan jadi esai. Sebaliknya, kalau kita menulis tentang dampak merokok pada kesehatan, betapa industri rokok menyumbang besar bagi ekonomi negara, bisa menyerap tenaga kerja besar-besaran---bisa jadi akan melahirkan opini. essay: A short written composition in prose that discusses a subject or proposes an argument without claiming to be complete or thorough exposition. The essay is more relaxed than the formal academic dissertation. ---The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms Ada esai yang ditulis secara formal dan informal. Esai formal, sebagaimana sering kita baca dalam opini, jurnal ilmiah, atau makalah (paper), pendekatannya resmi, termasuk waktu memaparkan masalah, menarik kesimpulan, juga gaya bahasa dan penyampaiannya. Meski sama-sama mengutip buku, pendapat orang, atau menceritakan suatu peristiwa, esai informal dan formal mudah dibedakan. Seperti apa? (1) Bahasa esai imajinatif. Ia bersifat lentur, mengalir, enak dinikmati, membuat kita terpikat untuk menuntaskan, menikmati pemaparan penulis. Bahasa imajinatif bisa muncul berkat pilihan kata yang tepat dan kaya, ungkapannya segar, maupun pernyataan yang mampu membuat pikiran orang mengembara. Istilah mengalir dipengaruhi oleh kepaduan (koherensi) antarparagraf, karena ia memuluskan pembacaan, tidak loncat-loncat---lebih buruk lagi bila membuat pembaca merasa tersandung-sandung atau terperangkap. Inkoherensi antarparagraf berpotensi membingungkan karena pembaca butuh jangkar untuk mengaitkan informasi agar menjadi satu pemahaman utuh. Memang mungkin saja komposisi sebuah tulisan kompleks; namun selama keterkaitannya terjaga, tulisan itu tetap berpeluang enak dinikmati. essay: Short nonfiction prose piece: a short analytical, descriptive, or interpretive piece of literary or journalistic prose dealing with a particular topic, especially from a personal and unsystematic viewpoint. ---Encarta® World English Dictionary (2) Esai menonjolkan pendapat pribadi. Semua definisi mengaitkan esai dengan pandangan pribadi. Ciri ini kerap membuat esai dipandang sebelah mata, yaitu khawatir bahwa pandangan pribadi yang subjektif itu pasti berat sebelah dan ujung-ujungnya dicap tidak ilmiah. Padahal pendapat pribadi mengutamakan kedalaman keterlibatan orang terhadap subjek yang dijelajahinya, sejauh mana ia mau menggali persoalan sampai ke intinya. Karena sungguh-sungguh terlibat, harapannya orang bisa berpendapat secara jernih, jujur. Di sinilah nilai penting esai: ia merupakan upaya seseorang menemukan kebenaran. Kebenaran yang mana? Minimal kebenaran bagi penulisnya dan subjek yang hendak dia paparkan. Esai menunjukkan bahwa pendapat pribadi juga sah untuk menerangkan sesuatu. Pendapat penulis, orang yang dikutip, juga subjek tulisan bisa menjadi pijakan pendapat, karena integritas dan keunggulan seseorang bisa dipertanggungjawabkan. Orang punya pertimbangan rasional untuk mengajukan pendapat. Sayang sebagian orang suka kurang percaya diri untuk mengajukan pendapat (anggapan) sendiri, akibatnya ia lebih suka mengutip pendapat orang lain yang dianggap lebih otoritatif atau valid untuk menopang pendapatnya. Dari segi isi, esai lebih merupakan upaya untuk memahami persoalan atau fenomena daripada menerangkan. Orang boleh jujur menyatakan pikiran terdalam, penolakan, kebingungan, bahkan paling liar sekalipun, juga meraba-raba suatu fenomena akan bermuara ke mana. Esai memberi ruang renung yang spekulatif. Di buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden merenungi makna sastra Indonesia setelah membaca dan menginterpretasi sejumlah karya sastrawan Indonesia. A. Sudiarja dalam Bayang-Bayang (2003) merenungi manfaat filsafat bagi kebajikan manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari. essay: A moderately brief prose discussion of a restricted topic. ---A Handbook to Literature Esai itu fleksibel. Kita bisa menulis hal sepele seperti fanatisme pada pulpen tertentu hingga masalah berat bagaimana nasib budaya baca di tengah gempuran budaya tonton. Esais bisa membahas panjang-lebar subjek tertentu---misal mengenai kesakitan
[zamanku] [BUKU INCARAN] Raksasa Bedah Saraf dari Klaten
[BUKU INCARAN] Raksasa Bedah Saraf dari Klaten ---Anwar Holid Tinta Emas di Kanvas Dunia Penulis: Pitan Daslani Penerbit: Kompas, 2010 Tebal: 226 + xxi ISBN: 978-979-709-466-9 Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: Ibu, kondisi suami sangat gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti apa, saya tidak tahu. Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya menurun. Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis keluarga. Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: Bapak mengalami perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh. Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan kemampuan maksimal. Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan komitmen profesi kami, demikian katanya pada seorang wartawan. Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, Kepala Bedah Saraf di Neurological Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika Serikat berkomentar, Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di Indonesia. Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, istilahnya mengalami brain-dead. Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu melakukannya. Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli. Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar
[zamanku] [RESENSI] Malcolm Gladwell yang Penasaran
[BUKU INCARAN] Malcolm Gladwell yang Penasaran ---Anwar Holid What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures Penulis: Malcolm Gladwell Penerjemah: Zia Anshor Penerbit: GPU, 2010 Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm ISBN: 978-979-22-5249-1 Harga: Rp.80.000,- Keingintahuan mengenai apa yang ada di balik pekerjaan harian orang lain adalah salah satu dorongan paling mendasar pada manusia, dan dorongan itulah yang menyebabkan buku yang sekarang Anda pegang ini ditulis, demikian kata Malcolm Gladwell di pengantar What the Dog Saw (GPU, 2010, 461 hal.) Dia terus memelihara dan mengembangkan rasa ingin tahu terhadap sembilan belas macam kepenasaran dengan matang. Rata-rata menghasilkan esai yang sangat panjang untuk ukuran artikel bernada investigatif demi mengorek suatu subjek, kemudian menuliskannya dengan sangat lincah dan menggigit. Semua pembaca buku Gladwell sudah tahu betapa kuat ciri khas tulisannya, dan betapa tulisan itu membuat ketagihan. Petualangan Gladwell demi menelusuri suatu fenomena di dalam What the Dog Saw bisa dibaca dari mana saja. Kita akan segera tahu betapa rasa penasaran manusia itu memang meluap-luap, tak terbendung bahkan oleh teka-teki atau misteri paling gelap sekalipun. Buku ini menyajikan lebih banyak lagi menu tentang betapa manusia dan drama kehidupannya bisa melahirkan peristiwa yang kerap terlalu sulit untuk saling diprediksi. Manusia bergerak lebih cepat dari prasangka ataupun prakiraan orang lain; mereka suka membuat kecele orang yang mencoba menangkap gelagatnya. Betul manusia bisa menganalisis, menebak, dan memprediksi, tapi hasrat dan antisipasi lebih cepat lagi bergerak menanggapi analisis. Rasa penasaran ada yang sederhana dan rumit. Kalau perempuan ingin mengecat rambut dengan warna tertentu, bisa jadi itu teka-teki sederhana; sementara kalau kita ingin tahu bagaimana polisi dan detasemen khusus menentukan target operasi terorisme, mungkin itu misteri yang hebat dan mendebarkan. Tapi sama saja: keduanya butuh jawaban, dan orang seperti Gladwell dengan segala cara berusaha menjelaskannya. Upayanya jelas telah sukses membuat jutaan orang suka, meski tidak semua. Sebagian orang menilai Gladwell terlalu simplisistik (menggampangkan) dan mengabaikan faktor penting lain dalam berbagai fenomena yang rumit; dan itu membuat mereka menilai tulisannya sebagai pseudosains. Tapi yang jelas kehebatannya meyakinkan orang banyak sulit ditandingi. Wajar bila media massa seperti Time, Newsweek, juga GQ menobatkan Gladwell sebagai penulis yang dewasa ini paling mempengaruhi cara orang berpikir. Gladwell memilah What the Dog Saw dalam tiga bagian. Urutan paling menariknya justru dari belakang. Di bagian ketiga dia membahas tentang kepribadian, sifat, dan kecerdasan manusia. Dia membicarakan kenapa sebagian orang sudah genius sejak muda, namun sebagian lain justru baru panas setelah berusia matang? Apa beda kesuksesan teori relativitas dan keberhasilan perusahaan semacam Microsoft? Bagaimana polisi mengembangkan teori kejahatan dan menangkap tersangka terorisme padahal ciri penjahat sangat kabur dan mudah sekali berubah? Kenapa seseorang bisa panik dan akhirnya kalap? Dan kisah-kisah yang lebih menyangkut indra, emosi, dan pikiran daripada sesuatu yang fisikal. Di bagian kedua dia mengembangkan teori, prediksi, dan diagnosis. Misal seperti ini: kenapa perusahaan yang sangat terbuka, dikelola dengan baik, diisi orang-orang cerdas kelas satu, berkembang pesat, punya kapital luar biasa, sahamnya diminati investor, punya semua kriteria unggul, memenuhi standar kehebatan macam-macam, toh akhirnya bangkrut dan gagal diselamatkan? Kenapa badan intelijen yang punya analisis tiada terperi tetap gagal menemukan Osama bin Laden? Semuanya paradoks rumit yang bisa melahirkan kisah penelusuran menarik. Di bagian pertama dia menulis tentang genius minor, yaitu orang hebat yang perannya dianggap sepele, seperti pawang anjing, produsen pewarna rambut, atau raja saus tomat. Padahal kerja dan temuan mereka hebat juga. Gladwell membuat mereka jadi setara dengan penemu penting kelas dunia. Bayangkanlah bila orang Indonesia tak kenal sambal, bagaimana rasanya. Tapi kenapa kita tidak tergerak untuk menelusuri, siapa yang pertama-tama membuat ramuannya? Meski begitu, isi ketiga bagian buku ini masih terasa inkonsisten. Sebab di bagian pertama kita bisa menemukan tulisan tentang Nassim Nicholas Thaleb yang terkenal berkat The Black Swan, yaitu teori probabilitas untuk menerangkan falsifikasi. Dia jelas bukan tipe genius minor. Sementara di bagian kedua dan ketiga kita bisa menemukan topik agak ringan, seperti contek-mencontek karya yang bercampur dengan ilham atau hasil riset dan bagaimana seekor anjing menentukan ada kejahatan di depan matanya. Keunggulan Gladwell tampaknya berporos pada dua hal: (1) cara berpikirnya unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan; (2) cara
[zamanku] [BUKU INCARAN] Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia
[BUKU INCARAN] Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia ---Anwar Holid The Ninth (GPU, 2010, 296 hal.) berkisah tentang seorang anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Dia berumur sembilan tahun, kira-kira kelas 4 SD. Dia bukan anak bungsu, melainkan punya dua adik, anak ketiga terakhir. Seorang saudaranya sudah meninggal waktu kecil, satu saudara sulungnya sudah menikah, tinggal di kota lain, di Debrecen. Di novel ini angka sembilan terasa mencolok, sengaja dipilih, mungkin punya mitos tertentu. Pilihan judul The Ninth tampak menekankan sesuatu. Apalagi novel ini terdiri dari sembilan bab. Keluarga si anak ini miskin. Rumah sementara mereka sempit dan umpel-umpelan, tidur seranjang bertiga. Untuk menunjang ekonomi, keluarganya bisnis kecil-kecilan benda-benda religius Katolik seperti rosario dan salib, dijual ke gereja di sekitar kota mereka tinggal di Hongaria, dipasarkan oleh ayahnya. Mereka tinggal di kota kecil tanpa nama, kemungkinan di sekitar Debrecen, karena seluruh anak itu lahir di sana. Kalau tidak, mereka tinggal di dekat perbatasan Romania, sekitar tahun 1960-an, ketika negeri itu di bawah rezim komunis. Ayahnya pekerja keras, rewel, kaku. Ibunya bekerja paro waktu di pabrik pulpen, religius, tadinya ingin jadi pianis, mencintai sastra, dekat dengan pengurus gereja, bahkan mengarahkan anak-anaknya untuk beraktivitas di sana, misal dengan menjadi anak altar, penyanyi gereja, dan pembantu pastor bila ada orang meninggal. Karena terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi, anak-anak dalam keluarga ini terabaikan. Sampai-sampai secara ironik anak kesembilan ini bilang bahwa kebanyakan saudaranya punya kelainan, entah cacat fisik atau kesulitan belajar. Kecelakaan terakhir yang dia saksikan ialah jemari seorang saudaranya putus karena terjepit oleh hentakan ranjang lipat. Meski begitu mereka suka gotong royong dan sama-sama kerja keras waktu mengerjakan kerajinan, termasuk kakak-kakaknya harus ikut membangun rumah idaman yang akan mereka tinggali kelak. Untuk mencari kesenangan di tengah kegaduhan keluarga, anak ini suka kelayapan sehabis pulang sekolah, baik ke stasiun tempat ayahnya pernah bekerja, juga ke rumah orang dan toko-toko yang ada di sana sekadar untuk melihat-lihat barang yang gagal dia dapat atau membaui aroma roti dan daging panggang di sebuah toko kue. Di sekolah, dia juga mengalami penindasan (bullying), mulai dari berupa celaan sampai secara fisik oleh kakak kelasnya. Saat kelayapan itu dia menemukan banyak hal. Dia tahu ada ayah teman sekelasnya tiap hari mabuk sampai harus dibopong ke luar dari bar oleh anak-anaknya. Dia suka mengintip rumah lain karena tampak sangat berbeda dengan rumahnya yang sumpek dan selalu ribut. Untuk mendapat uang saku, dia menjadi anak altar. Dia tambah senang bila ada orang meninggal, karena itu berarti uangnya bisa tambah banyak, membuat dirinya bisa jajan berbagai makanan di toko-toko dekat stasiun. Suara anak kecil dalam The Ninth muncul dengan intensitas tinggi. Anak ini juga pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi kebutuhan keluarga, seorang kawannya menyembunyikan foto perempuan telanjang, dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak doa bersama sebelum tidur. Dosa itu membuatnya trauma, sangat bersalah, dan takut---tergambar dengan hebat di bab delapan dan sembilan---karena ia lakukan pada guru yang dia cintai. Guru inilah yang pernah memberinya tugas mengarang---dan secara implisit karya ini mungkin bisa dianggap sebagai perwujudan dari rasa bersalah ketika mengerjakan tugas tersebut. Ferenc Barnás menyajikan novelnya sebagai luapan emosi terpendam jiwa manusia. Ingatan anak kecil ini luar biasa. Dia lebih dari sekadar jujur menceritakan rahasia paling kelam, mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dan sesekali membalas dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya. Dia teliti membongkar kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan tekanan dan persoalan. Dia juga berusaha meraba-raba persoalan samar, mulai dari bahasa tubuh ibunya, keunikan saudara kandung, sampai perilaku keras ayahnya terhadap aparat negara yang dianggapnya mau korupsi. __ Detail Produk: Judul: The Ninth (Anak Kesembilan) Penulis: Ferenc Barnás Penerjemah: Saphira Zoelfikar Penerbit: GPU, Februari 2010 Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover ISBN 978-979-22-5459-4 __ Soal relevansi dengan Indonesia, Katalin B. Nagy yang memprakarsai penerbitan The Ninth berkomentar, Rasanya hubungan budaya di antara Indonesia dan Hongaria belum seerat
[zamanku] Mengomentari Editan The Ninth
Mengomentari Editan The Ninth ---Anwar Holid Beberapa hari sebelum acara publisitas The Ninth (Anak Kesembilan) karya Ferenc Barnás (GPU, 2010, 296 hal.) di Rumah Buku/Kineruku, Bandung, saya menerima email dari Andika, seorang peresensi. Dia bertanya, Seberapa puas kamu dengan The Ninth edisi bahasa Indonesia? Adakah kesulitan dalam penyuntingannya? Saya jawab: Secara pribadi, saya sangat puas dengan proses penerbitan buku ini. Vira (penerjemah) mengerjakan buku ini dengan baik dan luwes. Mbak Katalin B. Nagy menyelaraskan terjemahan itu pada edisi asli berbahasa Hongaria, meski Vira menerjemahkan dari edisi Inggris karya Paul Olchváry. Jadi menurut saya proses editingnya ketat, sungguh-sungguh, dan mestinya memang begitu bila hendak menerbitkan buku dengan baik. Kepuasan ini nanti bisa dikonfrontasikan dengan komentar awal Ari Jogaiswara, dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran yang mengomentari The Ninth. Ari bilang fungsi Vira mirip Transtool. Saya cukup terkejut dengan pernyataan itu, menyimpan dalam hati, tapi belum bisa mengonfirmasi lebih jauh. Mbak Katalin sendiri menyatakan betapa Ari menyampaikan pendapat yang berbeda sekali soal terjemahan itu waktu dia dan Ferenc bertemu di Rumah Buku. Selama proses editing, saya, mbak Katalin, dan mbak Anastasia (pihak GPU) cukup intens berdiskusi, mulai dari soal diksi, struktur penulisan, sampai pilihan terhadap kemasan buku. Pekerjaan utama saya ialah berusaha membuat kalimat agar lebih efektif dan mudah dipahami. Misal mengurangi kata 'yang' karena penggunaannya terlalu ekstensif, juga penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi. Contoh: tak berperasaan -- keterlaluan Sebagian besar penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi saya ubah. Yang saya biarkan ialah untuk menegaskan atau bila padanan lebih kuatnya terlalu sulit saya temukan. Karena berpihak pada kemudahan pembacaan (readability), saya sempat mengganti beberapa diksi yang tampak cukup asing dan sulit, meski kalau digunakan berpeluang mengayakan kosakata buat pembaca. Contoh diksi pilihan mbak Katalin, 'hoskut.' Kata ini terdengar sulit dan asing; saya agak yakin pembaca harus buka kamus untuk memastikan artinya. Saya tanya istri, apa dia tahu 'hoskut' (baju yang dipakai perempuan), ternyata tidak. Saya usul agar diganti dengan 'daster' atau 'jubah.' Akhirnya kami sepakat memilih 'jubah', dengan komentar mbak Katalin sebagai berikut: 'Jubah' dalam (seluruh) teks dipakai untuk menyebut pakaian pastor, maka mudah-mudahan jelas bahwa yang dipakai Mama adalah 'jubah' lain. Sebenarnya pakaian Mama berbentuk seperti mantel tanpa lengan. Pokoknya pakaian wanita yang biasa dipakai di dalam rumah. (Di internet saya temukan hoskut n: a loose hoskut bagi perempuan [syn: pakaian rumah untuk wanita], gaun tidur atas). Tetapi jelas, kalau istilah ini tak dipakai dalam bahasa sehari-hari, sebaiknya dibatalkan. Awalnya saya juga sengaja cukup sering memecah paragraf terlalu panjang dan mengubah struktur penuturan yang menurut saya sulit dipahami. Tujuannya betul-betul untuk memudahkan pembaca. Perubahan drastik misalnya saya lakukan di bagian akhir bab sembilan, yaitu di bagian percakapan waktu anak ke sembilan diinterogasi. Saya membuat percakapan itu ke bawah (jadi paragraf baru), padahal teks aslinya terus bersambung tanpa paragraf. Pertimbangannya, selain demi memudahkan pembacaan, saya kira tindakan itu akan bisa menguatkan situasi. Sebaliknya, mbak Katalin ingin mempertahankan teks sebagaimana aslinya. Setelah mendapat masukan dari mbak Anas, kami memecah bagian itu hanya jadi tiga paragraf---jadi bentuk aslinya hanya berubah sedikit, namun keinginan memudahkan pembaca juga tercapai. Pada akhirnya struktur edisi Indonesia lebih setia pada edisi Hongaria. Salah satu kesulitan yang saya hadapi waktu menyunting naskah ini justru di detail. Misal soal istilah bangunan dan soal rasa bahasa. Bisa jadi ini karena jam terbang penyuntingan saya masih sedikit. Ejaan juga begitu. Di buku ini kami memilih Moskow dengan pertimbangan GPU, Tempo, dan Kompas lebih memilih itu daripada Moskva ataupun Moscow (b. Hongaria: Moszkva). Menurut kami, pilihan itu lebih banyak disepakati umum. Walhasil, pembaca bebas menanggapi dan menerima upaya penerbitan The Ninth dari segala aspek, terlebih-lebih dari sisi penyuntingan. Secara keseluruhan saya ingin sekali lagi menegaskan betapa edisi Indonesia ini berutang banyak pada kerja keras mbak Katalin. Kita pantas memberikan kredit kepadanya. Saya sendiri sering merasa rewel (bawel) terhadap buku yang jelek penyuntingannya. Sekarang giliran saya menerima kritik, apa buku yang ikut saya kerjakan ini memuaskan atau mengecewakan.[]3/19/2010 Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141. Link terkait: http://www.gramedia.com http://www.ferencbarnas.com
[zamanku] [BUKU INCARAN] Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku?
[BUKU INCARAN] Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku? ---Anwar Holid Sekitar Agustus 2007 Anwar Holid mendapat surat dari Katalin Nagy bahwa dia ingin mengakrabkan sastra Hongaria ke pembaca Indonesia. Dia mencari penerjemah untuk mengerjakan proyek The Ninth (A kilencedik) karya Ferenc Barnás, sekaligus mencari penerbit untuk novel tersebut. Ferenc telah memenangi dua anugerah sastra paling terkemuka di tanah airnya: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). Edisi Inggris A kilencedik memenangi grant penerjemahan PEN America, terbit dalam seri Writings from an Unbound Europe. Katalin berkomitmen besar terhadap proyek tersebut. Dia menanggung biaya penerjemahan dan siap membeli sekitar seratus kopi begitu novel itu terbit dalam bahasa Indonesia, sementara Ferenc menggratiskan hak terjemahannya. Waktu itu Anwar sedang kerja di penerbit J_, jadi dia usul agar penerbit itu menerima tawaran tersebut. Tawaran ini menurutnya cukup menggiurkan, meski bukannya tanpa beban. Dia menilai penerbit bisa mendapat prestise maupun publisitas dengan menerbitkan novel dari bangsa yang jauh. Hongaria---negeri seperti apakah itu, selain konon terkenal berkat Kubus Rubik, Ferenc Puskas, dan para pemenang Hadiah Nobel? Katalin ingin cetakan pertama novel itu minimal antara 3000 - 5000 kopi. Itu cukup berat bagi penerbit J_, apalagi bagian pemasaran ragu bisa menjualnya dengan mudah. Jadi mereka menolak. Anwar punya 4-5 kenalan editor di beberapa penerbit lain. Dia menyurati yang kira-kira tertarik proyek tersebut, menceritakan maksud dan kondisinya, berharap bisa mudah mendapat penerbit. Sementara itu Katalin mengontak penerjemah agar mengerjakan bab pertama dari edisi Inggris terjemahan Paul Olchváry. Terpilihlah Saphira Zoelfikar. Tidak langsung menerjemahkan dari bahasa Magyar? Susah mendapat penerjemah Indonesia yang bisa bahasa mayoritas di Hongaria itu. Ternyata keinginan Katalin dan upaya Anwar agak sulit segera terwujud. Beberapa editor mengabaikan surat itu. Ada editor di penerbit tua menyatakan berminat. Ia mengusahakan menerbitkan novel itu. Beberapa waktu kemudian dia bilang bahwa manajemen mau memproduksi novel itu dengan syarat ada yang menanggung biaya produksi---jadi harus ada pendonor tambahan lagi. Ini sulit buat Katalin, karena di luar pilihannya. Mau berkomitmen itu bukannya berarti bahwa penerbit ikut menanggung biaya produksi, sebab mereka juga yang akan menikmati keuntungan---bila buku itu nanti ternyata cukup mudah dijual ke pembaca target, tak sesulit prakiraan awal. Secara implisit kawan ini berhenti berjanji mengusahakan penerbitan di perusahaannya. Setahun berlalu dan harapan menerbitkan novel itu masih kabur. Pada kesempatan lain, Anwar menulis surat lagi ke editor lain---kali ini termasuk ke kenalan jauh yang kadang-kadang terasa spekulatif. Kawan-kawannya yang kerja di bagian pemasaran atau distribusi pun dia kontak, dengan harapan bisa meneruskan ke editor akuisisi atau para pengambil keputusan. Dia pikir mungkin ada yang salah dengan usaha pertama dulu, hingga proposal ini kurang menggerakkan. Di saat bersamaan, proyek penerjemahan Saphira terus berjalan. Meski belum mendapat kepastian penerbit, komitmen Katalin rupanya mulai benar-benar terwujud. Dia sejak awal secara menyeluruh memeriksa terjemahan itu, meski lebih suka menyebut dirinya sebagai penyelaras pada naskah asli alih-alih sebagai editor. Usaha kedua ini segera berhasil. Anastasia Mustika, editor GPU, langsung menyanggupi menerbitkan The Ninth, sambil bertanya, Bagaimana proses selanjutnya? Proses selanjutnya merupakan detil usaha penerbitan yang lebih merepotkan, banyak urusannya, dan melibatkan orang lain lagi. Siapa akan mendesain covernya? Bagaimana pembayarannya? Bagaimana publisitasnya? Dan seterusnya. Detail ini menambah deretan orang yang terlibat dalam penerbitan sebuah judul buku jadi makin panjang, dan menguak bahwa biaya penerbitan harus dijabarkan lebih pasti. Pilihan pertama desainer covernya ialah Ariani Darmawan, seorang desainer-sutradara, pemilik Rumah Buku. Dia membuat lima alternatif cover, salah satunya menggunakan foto karya Paulo Costa, orang Brasil. Cover ini jadi favorit orang yang terlibat di awal proses penerbitan. Ariani mengontak Paulo menanyakan izin dan copyright foto tersebut, yang di luar dugaan malah dia berikan gratis untuk cover The Ninth. Ini kejutan menyenangkan! ENDORSEMENT The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik. ---Josh Maday Begitu penyuntingan selesai, muncul rencana publisitas. Makin besar lingkaran orang terlibat untuk mengenalkan novel ini ke publik Indonesia. Siapa mau mengurus? GPU mengajukan Ade Trimarga. Sementara di Jogja Katalin berhubungan dengan Marie Le Sourd (Direktur LIP
[zamanku] Indeks yang Ngaco
Indeks yang Ngaco ---Anwar Holid Sudah lama aku mengidam-idamkan buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach Tom Rosenstiel (Pantau, 2006, 297 hal.) Selama ini aku hanya suka menyempatkan buka-buka buku itu kalau sedang berkunjung ke toko buku Ultimus. Aku tertarik buku itu setelah Farid Gaban meresensinya di milis jurnali...@yahoogroup.com. Lagian, sebagai orang yang antusias belajar tentang penulisan, aku ingin memiliki rujukan buku penulisan lebih banyak lagi. Baru kemarin setelah dapat rezeki dan berkunjung lagi ke toko buku itu, aku memutuskan membelinya. Tiga tahun lebih sudah berlalu! Sembilan Elemen Jurnalisme adalah buku bagus. Sejumlah resensi acak terhadap buku itu di Internet membuktikannya. Di Indonesia tampaknya buku itu diperkenalkan secara konsisten oleh Andreas Harsono. Andreas meresensi edisi Inggris buku itu secara komprehensif di blognya. Kita akan membicarakan edisi Indonesia buku tersebut, persisnya bagian indeks. Jadi bahasan ini berusaha mengesampingkan penilaian terhadap kualitas penyuntingan isi buku tersebut---meskipun tetap saja ada salah eja, cara penulisan dan tanda baca, atau diksi yang agak aneh. Salah eja mencolok misal terjadi pada nama Kuce, Henry (hal. 289) yang mestinya ditulis Luce, Henry---pendiri majalah Time. Lebih fatal lagi mengingat Kuce, Henry masuk entri huruf L! Juga Lech Walessa (hal. 9), padahal di halaman 11 dan indeks dieja sebagai Lech Walesa; sebuah kota dieja sebagai Gdanks, padahal mestinya Gdansk. Karena ingin tahu detail buku itu, aku segera memperhatikan sepuluh halaman indeksnya (hal. 283-293). Entah kenapa ingatanku mengarah ke The New Yorker; ternyata kata kunci tersebut muncul, disebut ada di halaman 71. Aku langsung menuju ke halaman itu, mencari-cari... dan tidak ketemu. Mungkin di halaman selanjutnya batinku. Ternyata tetap tidak ada, dan di halaman 72 itu aku malah menemukan nama Henry Luce. Aku langsung balik ke halaman indeks, menuju entri huruf L, mencari Luce... dan ternyata malah tidak tercantum. Yang ada ialah Kuce, Henry, di situ disebut ada di halaman 61, 62, 63. Wah, gimana indeks buku ini? batinku kalut, langsung merasa ada yang salah dengan indeksnya. Jadi aku putuskan menelisiknya lebih teliti. Indeks pertama buku ini ialah ABC News, 30-31, 32, 102, 170, 171. Aku cek, ternyata di halaman 30 ABC News tidak ada. Baru ada di halaman 31. Namun di halaman 32 kembali tidak ada, begitu juga di halaman 102 dan 170. Baru ada lagi di halaman 172. ABC News sebenarnya juga muncul di sepanjang halaman 194-197, tapi justru tidak dicantumkan di indeks. Ini kebetulan atau sengaja? Indeks buku ini ngaco. Halaman yang ditunjuknya hampir semua salah. Ia secara acak meleset lebih dari sepuluh halaman. Misal Henry Luce, yang ada di halaman 72, ditulis 61. Michael Mann di halaman 87 ditulis 72. The New Yorker, yang disebut ada di halaman 71 dan 119, setelah dicari-cari baru ada di halaman 86 dan 96. Bagaimana penerbit dan penyunting buku ini menyusun halaman indeks sampai sepuluh halaman itu praktis sia-sia karena malah bikin frustrasi? Di penerbitan, indeks biasanya dikerjakan oleh asisten editor atau juru indeks atas perintah editor, yang sekalian menentukan subjek dan jangkauan indeksnya. Halaman indeks relatif, disesuaikan kebutuhan buku. Tugas juru indeks sebenarnya sederhana, yaitu memilih kata kunci yang dinilai penting dan relevan dengan isi buku dan mencantumkan di halaman berapa kata itu muncul. Hukumnya: kata dan halaman itu harus akurat. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, kata kuncinya relataif memadai, cuma halamannya kacau. Padahal syarat indeks itu harus bisa menunjukkan kata kunci dengan cepat dan tepat. Kamus Encarta mendefinisikan indeks sebagai daftar rujukan alfabetik di buku: suatu daftar alfabetik, biasanya ada di akhir buku, berisi nama orang, tempat, atau topik beserta nomor halaman tempat hal tersebut tertera di sana. Secara harfiah (dari index, b. Latin) kata itu berarti jari telunjuk. Sungguh merepotkan kalau indeks yang ada ternyata salah. Aku langsung tanya ke Acia, kawam mantan layouter yang kini jadi programer: Apa yang membuat halaman di indeks salah (inakurat)? Aku menemukan ada buku halaman indeksnya hampir semua salah. Jawabnya kena: Setelah dilayout ulang sesudah proof reading, indeksnya enggak diperiksa lagi (di-update). Jelas sudah. Penyunting dan penerbit buku ini tak memeriksa ulang penyusunan indeksnya. Mereka mengira semua baik-baik saja setelah penyuntingan beres, padahal mestinya mengawal pracetak hingga isi buku benar-benar tanpa kesalahan. Kesalahan serius halaman indeks pada Sembilan Elemen Jurnalisme membuat anggapan baikku pada buku ini langsung runtuh. Kasus pada buku ini menunjukkan betapa kesalahan penerbitan bisa terjadi pada siapa saja, dan begitu terjadi, ternyata mudah menemukannya. Sedihnya, ini terjadi pada buku tentang penulisan, yang salah satunya mengajarkan disiplin verifikasi.[] Anwar Holid bekerja sebagai
[zamanku] Buku yang Membuat Saya Malas Membacanya
Buku yang Membuat Saya Malas Membacanya ---Anwar Holid Haji Backpacker, Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji Penulis: Aguk Irawan Penerbit: Edelweiss Tebal: 200 halaman ISBN: 978-602-8672-03-0 Haji Backpacker karya Aguk Irawan (Edelweiss, 200 hal.) merupakan contoh buku yang membuat saya malas membacanya. Tentu bukan karena isinya, melainkan karena editing dan penulisannya yang buruk. Isi sebuah buku sangat relatif dan subjeknya bisa tentang apa pun, karena ada banyak faktor yang bisa membuatnya menarik buat dibaca. Sementara editing dan persoalan penulisan itu jelas, karena ada standar dan aturan tertentu. Salah satunya kita ingin membaca tulisan yang efektif, enak dibaca, menggunakan EYD dengan baik. Tidak usah sangat ketat dan kaku, cukup masuk akal saja, biar membuat pembacaan jadi lebih mudah dan nyaman. Apalah artinya EYD selain sekadar kesepakatan berbahasa untuk memudahkan kita berkomunikasi? Mari kita perhatikan kalimat pertama buku ini: Kenapa kamu membawa, gula batu? Tanya seseorang yang duduk bersebelahan di sebuah perjalanan kereta. Seorang yang terlatih membaca tulisan bahasa Indonesia bisa langsung menunjuk kenapa tulisan itu buruk. Salah menggunakan dan menempatkan koma, teledor menggunakan huruf kapital. Sangat elementer. Saya kembali gagal menahan diri untuk membiarkan betapa kesalahan semacam ini terjadi lagi dalam buku-buku terbitan kita. Kenapa penerbit tergesa-gesa menawarkan produk semacam ini tanpa pengawasan memadai? Bagaimana mungkin penulis yang biodatanya ditulis sepanjang empat halaman di buku itu bisa menulis seperti itu? Bagaimana mungkin penyunting membiarkan hal seperti itu lolos dari pengawasannya? Itu baru di kalimat pembuka! Bila kesalahan di kalimat pertama sudah begitu mencolok, bisa kita bayangkan ke dalam-dalamnya. Maka saya memutuskan untuk bolak-balik saja membacanya, sekadar ingin tahu buku ini berisi tentang apa. Saya lebih ingin menyoroti keanehan penulisan dan buruknya penyuntingan buku ini, biar jadi pelajaran buat kita semua---pembaca yang ingin mendapatkan buku bermutu yang disiapkan dengan sungguh-sungguh. Kejanggalan penggunaan huruf kapital maupun tanda baca bertebaran di buku ini, ditambah lagi salah ejaan, inkonsistensi format italic, dan cara penulisan. Contoh, di baris ke lima di bawah kalimat pertama tertulis negeri piramida, sementara di halaman 7 tertulis Negeri Piramida; mau menggunakan jemaah atau jamaah; hotel Hilton atau Hotel Hilton dan sejenisnya, aku atau saya, atau lebih teledor lagi: menulis Allah Saw. (hal. 53). Keteledoran dan penyuntingan berlepotan seperti itu sulit ditoleransi. Cukup sekian saya mengkritik, biar saya tak semakin tampak nyinyir dan bawel, seakan-akan jadi polisi EYD dan paling tahu soal penyuntingan. Seperti saya akui sejak jauh hari, saya juga bukan editor teladan yang bebas dari kesalahan seperti itu---tapi boleh taruhan, kesalahan saya tak sebanyak itu dalam sebuah buku. Buat saya, penyuntingan dalam buku ini mengerikan. Kalau kita pikirkan lebih lanjut bahwa buku ini diterbitkan penerbit yang berafiliasi dengan Islam, makin malulah kita membayangkannya. Subjek buku ini tentang rukun Islam, tapi kualitas kontrolnya hancur-hancuran. Dalam hati saya berdoa untuk diri sendiri, semoga kinerja saya sebagai editor tambah bagus dan awas. Rasanya saya punya iktikad untuk membuat buku jadi lebih baik. Sisanya, saya hanya berani menduga-duga. Kenapa penerbit tetap melempar buku ini ke pasar meski penyuntingannya buruk? Kenapa tampak tergesa-gesa, seakan-akan mengabaikan keinginan pembaca atas produk berkualitas? Apa penerbitan buku ini begitu terdesak oleh kekuatan luar biasa sampai mustahil ditunda demi perbaikan pracetaknya? Beberapa bulan lalu saya mengkritik kejanggalan editing buku lain sampai sang editor menganggap saya berniat mendiskreditkan kinerja dan namanya, bahkan menuduh saya jahat terhadapnya, kini saya dikirimi buku dengan kasus yang tampaknya lebih parah. Tapi kalau dibiarkan rasanya saya membohongi diri sendiri, bahwa kita ingin menerbitkan buku yang baik, memiliki keterbacaan tinggi, luwes menggunakan norma bahasa---bukan asal-asalan. Semoga kita belajar dari kasus penerbitan buku ini. Jangan lagi kita menyia-nyiakan kertas, tinta, biaya produksi untuk buku dengan kualitas editing rendahan. Nanti malas kita membacanya.[] Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141. Link terkait: http://www.ptiman.com http://www.ptiman.com/katalog/edelweiss/125-haji-backpacker.html
[zamanku] 10 BUKU INDONESIA 2009 LAYAK PERHATIAN
[BUKU INCARAN] 10 BUKU INDONESIA 2009 LAYAK PERHATIAN ---Anwar Holid Pada awal Desember 2009 www.jakartabeat.net menawari saya untuk menulis daftar buku karya penulis Indonesia yang paling menarik atau mengesankan terbitan 2009. Media biasa membuat tulisan ringan akhir tahun. Memang subyektif, kan just for fun. Demikian suratnya. Buku layak perhatian ini menurut saya sepadan dengan notable; sementara bila saya gunakan terbaik tampaknya terlalu pretensius. Buku yang terpilih genrenya lumayan lengkap. Ada nonfiksi, autobiografi, puisi, fiksi, humor, sejarah, esai. Saya menyusun judul berdasarkan urutan alfabet. 1/ 9 dari Nadira (Leila S. Chudori; KPG, 270 hal.) Buku ini hadir setelah penulisnya absen menerbitkan buku lebih dari dua dasawarsa lalu, persisnya setelah Malam Terakhir (1988) mendapat respons positif dari berbagai kalangan karena kepekatan ceritanya dengan sosial-politik dan gaya berceritanya yang amat kuat dan bisa jadi tanpa tedeng aling-aling terhadap berbagai kemunafikan. 9 dari Nadira cukup berbeda dari Malam Terakhir, ia lebih merupakan cerita cukup panjang saling terkait yang berpusar pada tokoh utama perempuan bernama Nadira. Hidup normal Nadira sendiri terganggu oleh kisah dalam diari peninggalan ibunya yang mati bunuh diri, masa kecilnya yang bandel, luka terlalu dalam dengan kakak sulung perempuannya, hubungannya dengan ayahnya yang mengalami post power syndrome, kakak lelakinya yang bujang lapuk, karirnya sebagai wartawati, wawancaranya dengan seorang psikopat pelaku pembunuhan berantai, rekan kerja yang mencintainya tapi dia abaikan, perkawinannya yang bermasalah. Meski realis, Leila masih bisa mengelaborasi mitos, agama, beban psikologi, trauma, kekecewaan, dan misteri batin manusia jadi jalinan kisah yang memikat. 2/ Akar Berpilin (Gus tf; GPU, 70 hal.) Kumpulan 38 sajak yang imajinatif dan kaya nuansa, kebanyakan menelisik sifat manusia dan bertanya siapa sebenarnya makhluk bernyawa penuh gejolak yang terbalut daging dan tulang ini. Memang buku ini tak akan memuaskan dalam sekali baca, namun ia akan tetap menarik untuk dibolak-balik. Puisi Gus tf menantang untuk kita baca berulang-ulang karena mengandung permainan bahasa dan makna yang lumayan sulit dan bersayap, tapi tidak sampai membuat puisi itu jatuh jadi gelap. Ungkapan-ungkapannya eksploratif. 3/ Jangan Main-Main dengan Tuhan (Bambang Joko Susilo; Republika, 156 hal.) Lebih terkenal sebagai penulis cerita kanak-kanak dan remaja, Bambang Joko Susilo juga tetap berusaha memperlihatkan kinerjanya di dunia sastra dewasa. Tema kumpulan cerpen ini fokus pada tema maut dan peristiwa kematian, hampir semua menggunakan sudut pandang orang pertama, sebagian besar setting terjadi di tempat yang terkesan sebagai pinggiran kota, sehingga mengesankan cerpen-cerpen di dalamnya secara longgar memiliki keterkaitan. Kisah dalam cerpen Bambang Joko Susilo bersahaja, memprihatinkan, sekaligus mampu memaksa pembaca mengakui kejujuran dan pandangannya yang tanpa kompromi terhadap berbagai kemunafikan. Biasanya si protagonis jujur, teguh memegang prinsip dan moralitas, membuat ekspresi dan emosi karakter terungkap dengan baik---meskipun ada juga cerpen dengan tokoh frustrasi yang akhirnya kalap padahal sebelumnya mati-matian menahan diri terhadap gempuran yang mengikis mentalnya. 4/ Membongkar Manipulasi Sejarah (Asvi Warman Adam, Penerbit Kompas, 257 hal.) Buku sejarah yang renyah, kaya informasi, dan mengoreksi banyak salah anggapan terhadap berbagai peristiwa sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Setengah dari isi buku ini menelusuri perhatian utama Asvi pada kontroversi pendapat mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang memang mengubah perjalanan bangsa Indonesia. Asvi dengan tegas menolak istilah G30S/PKI (versi pemerintah Orde Baru) atau Gestapu (versi pers militer) karena menilai bahwa dalang dari peristiwa tersebut berbeda-beda, masih terasa sebagai konspirasi, dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan secara definitif. Asvi sering menimbang berbagai simpang-siur terhadap suatu peristiwa sejarah dengan secara jeli dan tegas. Misal, dia kukuh mengingatkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono ialah presiden Indonesia ke-8, bukan ke-6 sebagaimana keyakinan pers dan anggapan masyarakat umum selama ini. Kenapa kekeliruan anggapan itu sulit diubah? Dia juga mendukung berbagai alternatif temuan baru dan kemungkinan bahwa peristiwa sejarah bisa berlangsung di luar dugaan pihak resmi, dan mengusahakan agar tesis maupun fakta itu terus dikaji kebenarannya, bukan malah ditutup-tutupi. Selama ini pendapat bahwa para Wali Songo ada kemungkinan berasal dari Cina dihalang-halangi, Asvi mencoba mengangkatnya berdasarkan berbagai arsip lama yang selama ini terabaikan. 5/ Menuju Jurnalisme Berkualitas (Ignatius Haryanto, ed.; KPG, 424 hal.) Buku ini merupakan kumpulan karya finalis dan pemenang Mochtar Lubis Award 2008, terdiri dari lima kategori, yaitu
[zamanku] [BUKU INCARAN] Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati
Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati --Anwar Holid Miracle of the Brain Penulis: Tingka Adiati Penerbit: GPU, 2009 Tebal: 207 halaman Ukuran: 13.5 x 20 cm ISBN: 978-979-22-4809-8 Harga: Rp.30.000,- JIKA KITA mengalami kebetulan luar biasa, berarti Tuhan sedang mengedip kepada kita. Kedipan itu ialah pesan cinta yang berbunyi: Nak, Aku memikirkanmu. Kamu baik-baik saja. Bertahanlah. Demikian tulis Squire Rushnell dalam When God Winks. Kira-kira seperti itulah pengalaman Tingka Adiati, seorang ibu rumah tangga sekaligus jurnalis. Pada Minggu, 13 Januari 2008 menjelang dini hari dia menerima telepon bahwa suaminya jatuh ketika sedang bekerja di kantor. Suaminya ialah Bambang Wahyu Wahono, seorang wartawan di sebuah harian. Di tengah keheningan dan keseriusan menjelang deadline, rekan wartawan yang sama-sama masih ada di sana tiba-tiba mendengar suara berdebum orang jatuh, dan tak bangun-bangun. Ketika didekati, Bambang tampak muntah-muntah serta kondisinya sudah sangat serius. Setelah masuk rumah sakit, Tingka tahu suaminya mengalami perdarahan dan menerima vonis bahwa dia terkena stroke. Sakit ini membuat sang suami koma selama sembilan hari, badan bagian kirinya lumpuh total, gagal bicara, dan ingatannya hilang. Setelah bangkit dari koma, suaminya kembali hanya untuk diurus sebagai pasien selama lebih dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap berkorban nyawa bagi kekasihnya. Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan dramatik. Sebelumnya, keluarga Tingka ada dalam kondisi ideal. Karir suaminya berjalan normal, sementara dia aktif sebagai wanita karir. Rumah tangganya pantas disebut sempurna: harmonis, kesejahteraan sosial terjamin, anak-anak yang manis. Tapi takdir mendadak menggelincirkan mereka dalam kondisi kritis. Dia harus menerima fakta bahwa hidup bisa begitu tega memperlakukan manusia. Alih-alih frustrasi, Tingka bersama anak-anaknya dengan tabah dan berani memasuki babak baru kehidupan keluarganya. Dia ikut aktif merawat, memilih dan mengerjakan berbagai terapi yang tepat, terus menyemangati suami dari kondisi koma sampai akhirnya bisa bicara lagi dan pulih sekitar enam puluh persen--kemajuan yang sangat pesat dan luar biasa bagi pasien stroke parah. Buah dari ketelatenan inilah yang dimaksud dengan miracle of the brain. Perjuangan tersebut menjadi ungkapan jujur seorang manusia biasa tatkala menghadapi kondisi luar biasa. Emosinya tumpah amat lugas dan apa adanya. Tingka bukan tipe perempuan melankolik. Mereka juga ber-loe-gue dalam mengekspresikan rasa sayang. Ketika sudah cukup pulih, suaminya berkata, Loe baik banget, Ting. Bagaimana gue balasnya? Jawab Tingka, Semua ini gue lakukan karena gue cinta loe. Gue enggak minta balasan apa-apa selain loe semangat terus supaya sembuh dan pulih. Gue dan anak-anak kangen banget sama loe yang dulu. Loe mau kan semangat terus? Begitu pula saat dia frustrasi karena serba salah menebak-nebak maksud suaminya ketika kondisinya memburuk. Bang, loe kenapa sih? Gue enggak ngerti loe maunya apa, soalnya loe kan enggak bisa bilang. Gue cuma menebak nih. Gue minta maaf ya kalau tebakan gue salah terus sehingga loe bete. Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy, seorang kolumnis, amat salut kepada Tingka. Katanya, Tingka telah menjadi manusia ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga anak tanpa berkeluh kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, manusia biasa. Ketegaran Tingka dalam buku ini memang seolah-olah terasa begitu ilahiah. Betapa tidak, Bambang menghembuskan napas terakhirnya persis dalam pelukan istrinya
[zamanku] Pengajar Iya, Penulis Juga
Pengajar Iya, Penulis Juga BNI-Kompas Gramedia Goes to Campus di Universitas Bengkulu mengundang Frans Parera dan Anwar Holid untuk mengisi sesi penulisan buku untuk para dosen universitas itu pada Rabu, 2 Desember 2009. BENGKULU - Kalau ada ilmu tentang menulis kreatif yang benar-benar efektif, saya pasti bersemangat jadi orang pertama yang mempraktikkannya, biar karya saya juga cepat bertambah banyak, kata Anwar di hadapan sekitar empat puluhan dosen yang hadir. Roy Peter Clark bilang, 'Penulisan itu kemampuan yang bisa Anda pelajari.' Saya menyimpulkan pada dasarnya menulis itu merupakan kerja personal yang butuh pendekatan tertentu, namun tetap bisa dipelajari. Artinya, penulis harus menemukan sendiri cara terbaiknya ketika berkarya. Seorang penulis bisa saja hidup di tengah kerumunan komunitas, mendapat masukan, dukungan, atau kritik dari kawan dan koleganya, tapi begitu mulai duduk menulis, dia harus melakukannya sendirian. Dalam kasus tertentu menulis memang merupakan kerja sama dua orang atau lebih maupun orang lain mengetikkan dikte seseorang, sesuai isi kepala atau cerita dirinya. Biasanya menulis mengenal dua cara: pertama, menulis 'otomatis' (menulis bebas, free writing). Penulis melakukannya secara langsung, mengandalkan intuisi, mengalir begitu saja, asumsinya segala ide (gagasan) sudah terbayang dalam kepala. Dengan menulis otomatis, penulis diharapkan lebih bisa ekspresif menumpahkan atau melampiaskan perasaan. Penulis fiksi tidak hanya kerap menggunakan cara ini, penulis nonfiksi pun---ketika menggarap biografi, melakukan investigasi, atau mengisahkan ekspedisi---suka meminjam teknik ini. Penulis seolah-olah telah punya bayangan akan bercerita apa, dan itulah yang dia kejar dan terus dia tuangkan ke dalam kertas atau komputer. Kedua, menulis dengan menyusun outline (garis besar) atau storyline lebih dulu; biasanya para jurnalis menggunakan teknik ini. Mula-mula penulis menentukan poin per poin subjek yang ingin dijelajahi, dan sambil berusaha menuntaskan paragraf demi paragraf, mereka mengolah data (bahan, informasi, wawancara, temuan lapangan) yang sebelumnya dikumpulkan. Dari sana juga dia menentukan alur tulisan, termasuk sudut pandang maupun keberpihakan (kecenderungan) penulis. Setelah jadi, kemudian mengolah sekali lagi agar menjadi artikel yang mantap dan memuaskan. Bagi penulis, outline bermanfaat untuk membimbing penulisan agar tetap dalam jalur benang merah yang padu; bagi sebagian orang, cara ini memudahkan, karena segala kebutuhan menulis sudah tersedia. Di dalam Writing Tools (2006) Roy Peter Clark menyarankan agar penulis memecah proyek penulisan yang besar dan menyita energi jadi bagian-bagian kecil agar lebih mudah diselesaikan. Di awal penulisan draft, tulislah sebebas mungkin, kendurkan kritik terhadap diri sendiri, jelajahi segala kemungkinan terhadap subjek yang ingin dikejar. Jauh lebih penting disiplin menyelesaikan draft dulu daripada mengejar kesempurnaan teks. Memoles dan mengedit tulisan merupakan urusan belakangan setelah seluruh isi kepala tercurahkan sederas-derasnya. Baru setelah merasa puas dan tuntas, periksalah hasilnya---kalau bisa bersama orang lain, lebih khusus lagi dengan editor. Agar target penulisan lebih segera tercapai, amat penting untuk menulis sedikit demi sedikit secara rutin setiap hari. Konsistenlah dengan kebiasaan itu. Misal Anda hanya bisa menulis selama satu jam setiap hari setelah shalat subuh, lakukanlah. Kasarnya: bila Anda bisa menulis satu halaman bersih setiap hari, pada hari ke-365 minimal Anda punya sebuah draft naskah yang sudah cukup untuk dibaca ulang atau ditilik-tilik lagi kemungkinan penerbitannya. BILA sudah siap menawarkan naskah pada penerbit, carilah penerbit yang kira-kira cocok untuk naskah Anda. Bila Anda menulis buku ajar (textbook), penerbit perguruan tinggi lebih cocok buat Anda. Perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang memiliki unit penerbit. Kalau naskah Anda lebih pantas dikonsumsi publik luas, jangan sungkan menawarkannya pada penerbit umum atau penerbit dengan kecenderungan khusus. Frans Parera sangat menekankan pentingnya perkembangan penerbit universitas (university press). Dia memprovokasi para pengajar agar menjadi penulis saintifik (scientific writer). Universitas Bengkulu sendiri telah memiliki unit penerbit, yaitu UNIB Press, aktif sejak 2008, dan telah menerbitkan sejumlah judul. Sebagian pengajar pernah menerbitkan buku, menulis naskah buku ajar, tembus di jurnal ilmiah internasional, juga menjadi blogger. Namun masih ada yang rancu membedakan penerbit dan percetakan, sampai bertanya, Kalau saya mau menerbitkan buku, berapa biaya yang harus saya keluarkan? Berhubunganlah baik-baik dengan editor, saran Anwar. Editor itu mewakili penerbit, bertugas menilai kelayakan naskah, memberi masukan baik terhadap isi naskah maupun bahasa, termasuk apa naskah itu punya peluang pasar atau tidak. Editor yang baik pasti sangat
[zamanku] [BUKU INCARAN] Menara Penopang Asa
[BUKU INCARAN] Menara Penopang Asa --Anwar Holid Negeri 5 Menara Penulis: A. Fuadi Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009 Tebal: xiii + 416 halaman ISBN: 978-979-22-4861-6 - Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala. - Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung - Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu? - Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu enggak pantas direkomendasikan. - Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya enggak ada saja. - Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau fiksi islam kontemporer. - Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara? - Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini. - Wah, Laskar Pelangi banget dong! - Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai. - Terus kelemahannya apa? - Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel itu sejak masih berupa draft. - Apa maksud kamu dengan kekurangan passion? - Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan pada salah satu tokohnya. - Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama. - Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah anggapnya sendiri. - Memang novel ini cerita soal apa? - Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka. - Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya? - Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku sedikit ketus. Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya dalam banget. Untuk drama, pertanyaan utama mereka ialah ceritanya apa? Mungkin aku salah ketemu orang. Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai novel motivasional-pendidikan yang inspiratif. Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap sastra pesantren untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini membetot lagi genre fiksi Islam ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat itu ada dalam adagium Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati siapapun. Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan fiksi Islam yang tampak konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren sebagai tempat unggul, menghalau citra
[zamanku] Berbagi Ilmu Penulisan
Berbagi Ilmu Penulisan ---Anwar Holid Writing is a journey to the unknown. --Charlie Kaufman Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai. Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga. Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru. Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan terpaksa kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari menulis model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung mengikat puisi itu dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan. Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. Kamu hanya butuh alat, bukan aturan, demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan. Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya
[zamanku] [BUKU INCARAN] Sebundel Karya Jurnalistik Bermutu
. Warisan intelektual dan karyanya banyak. Semoga Mochtar Lubis Award terus berkembang dan di masa depan mampu menambah kategori, termasuk merambah ke karya sastra, penerbitan, dan musik.[] Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku. Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana: http://www.goethe.de/forum-buku http://www.rukukineruku.com http://ultimusbandung.info http://www.visikata.com http://www.gramedia.com http://halamanganjil.blogspot.com Come away with me and I will write you ---© Norah Jones
[zamanku] [BUKU INCARAN] Katakanlah Sejujurnya
[BUKU INCARAN] Katakanlah Sejujurnya ---Anwar Holid Perahu Kertas Penulis: Dee Penerbit: Bentang Pustaka Truedee, 2009 Tebal: 444 hal. ISBN: 978-979-1227-78-0 Harga: Rp.69,000,- Semua orang tahu pepatah usang ini: honesty is the best policy. Kejujuran itu tindakan terbaik. Perlu berapa lama untuk menunggu seseorang jujur? Butuh berapa halaman untuk mengungkapkannya? Dalam kasus Dee: empat tahun, 444 halaman. Persisnya 434 halaman bila kita mengabaikan endorsement, awalan, dan akhiran novel Perahu Kertas (Bentang Truedee, 2009, Rp.69,000,-). Halaman setebal itu dia bentangkan besar-besaran untuk mengisahkan betapa berharga kejujuran, meskipun awalnya semua orang tampak bermasalah dengan kejujuran. Alasannya sederhana: takut menyakitkan. Tapi takut menyakitkan ini akibatnya benar-benar fatal dan membuat semua orang menderita, kehilangan momen berharga, menambah-nambah masalah, dan menyiksa pembaca sampai harus membuka halaman terakhir, sebenarnya ada apa dengan kisah cinta dua orang bernama Kugy dan Keenan. Mungkin di situlah Dee mempertaruhkan keterampilannya bercerita: dia menaruh sehamparan misteri dan rintangan sebelum sepasang kekasih ini menyerah dan mengakui kejujuran masing-masing. Misteri dan rintangan terbesar dari kedua orang itu justru keinginan untuk menyenangkan orang-orang terdekat yang berhubungan secara emosional dengan mereka, orang yang secara alamiah tumbuh bersama mereka. Karena berhasil menyembunyikan kata hati dan mampu membungkusnya secara melegakan, secara permukaan hubungan itu baik-baik, meski pada dasarnya mereka sesak. Apa manusia-manusia kota ini memiliki problem komunikasi atau malah amat sukses mengembangkannya jadi semacam etiket pergaulan dalam kehidupan? Mungkin kadar EQ (Emotional Quotient) mereka rendah, jadi kesulitan melampiaskan perasaan dan maksud dengan jelas. Semua jadi tampak bersayap. Soalnya kalau tidak, Dee sebenarnya bisa lebih cepat menamatkan novelnya, mungkin lebih dari separo jumlahnya. Dalam beberapa sisi, drama menunggu kejujuran antara Kugy dan Keenan ini terasa ngayayay---istilah Sunda untuk bertele-tele. Tapi untung, Perahu Kertas merupakan page-turner, novel dengan alur cerita memikat, dan karena itu hanya butuh waktu sebentar untuk menamatkannya. Bisa jadi karena itu, seorang editor dari Jogja bilang, Biarpun tebal, novel Dee ini mantap. Formulanya bikin pembaca terpana. Pengakuan para pembaca awal novel ini merupakan bukti bahwa Dee memang seorang penutur kisah hebat dan ia mampu menciptakan plot memikat. Kita boleh bertaruh apa para pemberi endorsement itu jujur dengan pernyataannya atau berusaha membungkus ungkapan dengan pujian. Indah Darmastuti, seorang penulis dari Solo berkomentar: Novel itu sangat menghibur aku. Aku suka kosakata yang cair khas Dee. Lucu dan plot yang mendebarkan. Dan ending sesuai harapanku. Kisah cinta rata-rata memang mudah ditebak. Tinggal bagaimana penutur menceritakannya, karena kunci buku yang sukses ada pada susunan kerangka cerita yang menarik. Meski subjek sebuah cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini, seorang tukang cerita mesti mencari cara terbaik agar memenangi penikmatnya. Perahu Kertas merupakan kisah sejenis itu. Bertindak sebagai dalang atau Tuhan serba tahu (omniscient narrator), Dee mengombang-ambingkan perasaan Kugy di balik lipatan perahu kertas yang dia luncurkan dari selokan atau anak sungai yang dia temui. Di situlah kejujurannya tertera dan mengalir. Sementara Keenan menenggelamkan diri pada lukisan, melampiaskan emosi tertahan pada seseorang yang dia anggap pasangan jiwanya. Mereka berputar-putar dulu menjadi sesuatu yang bukan diri mereka demi kelak menjadi diri masing-masing lagi. Saling menghancurkan dahulu sebelum akhirnya menyusun ulang agar utuh kembali? Seperti ungkapan Goenawan Mohamad, sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi. Dee membuat drama Kugy dan Keenan terlalu lama. Maka pertama-tama Kugy harus mengecewakan pacarnya, lantas sahabat terbaiknya, juga pria pemberi cincin permata lapis lazuli. Sementara Keenan harus jadian dulu dengan Wanda yang penuh pamrih, Luhde yang inosens, berkonflik dengan ayahnya sampai dia stroke, dan sebentar melemparkannya pada kehinaan dan kemiskinan. Tapi orang-orang di sekitar merekan pun bermasalah serupa. Agaknya di novel ini kejujuran jadi semacam penyakit endemik. Mereka menyangka serangkaian pilihan itu bisa membebaskan perasaan. Ternyata tidak. Mereka betul-betul kesulitan menunggu momen kapan hati dan impian bersama itu bertemu. Keduanya terus mencari dalih, berusaha menutup-nutupi kejujuran. Misal dengan bersikap defensif, cemburu, kabur dari masalah, atau marah. Masing-masing mengenakan topeng untuk menyembunyikan kejujuran. Sebab kuncinya terselip pada ungkapan ini: Carilah orang yang enggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-galanya (hal. 427). Dari satu sisi, Perahu Kertas merupakan tipikal novel chicklit
[zamanku] Upaya Editor Menghindari Frustrasi
Upaya Editor Menghindari Frustrasi ---Anwar Holid Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim itu dan percaya omongan penerbit. Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya. Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak itu penting sekali dalam sebuah buku. Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: Pidatonya merupakan yang tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan. Maaf, ini apa maksudnya? Kalimat panjangnya antara lain begini: Al-Quran menjasadkan di depan mata kita suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi. Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir. Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan pertandingan sepakbola di televisi. Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien. Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa kalimat itu sudah jernih? Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, menyulitkan makna. Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran pertama
[zamanku] Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca
Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca ---Anwar Holid Band Efek Rumah Kaca (ERK) manggung tanpa disertai publisitas di Rumah Buku, Bandung. Main secara akustik, membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, diselingi kejutan menyanyikan beberapa cover version, dalam konser yang berlangsung intim dan dirancang bagus. BANDUNG - Masih dalam suasana agak murung karena kemarin Shanti panas demam dan kondisi finansial masih melarat, aku sekeluarga datang ke Rumah Buku untuk nonton band Efek Rumah Kaca pada Sabtu, 6 Juni 2009. Seminggu lalu tersiar kabar dari mulut ke mulut bahwa band indie yang lagi hip ini akan manggung di tempat yang asri ini. Tapi jangan bilang-bilang orang lain ya, soalnya mereka ingin bikin kejutan kayak konser rahasia, gitu, kata orang waktu aku terakhir ke sana untuk pinjam buku The Book of Disquiet (Fernando Pessoa). Tubuh Shanti sudah normal sejak pagi tadi, dan keceriaannya juga pulih. Itu membuat kami berani membawanya. Rumah Buku sudah lebih ramai dari biasanya waktu kami datang. Teras belakang mereka sedang disetting menjadi ruang keluarga untuk persiapan main Efek Rumah Kaca. Fenfen dan Ilalang kangen-kangenan dengan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Rani dan Budi dari Rumah Buku menyambut dengan ramah dan lucu-lucuan. Dalam suasana seperti itu, kesenangan menghampiri dan aku merasa mudah penuh terisi oleh kelegaan. Maaf ya, mulai mainnya jadi jam setengah lima. Soalnya kita ingin dapat suasana sore yang bagus, entah kata Rani atau Budi yang bilang waktu jam sudah menunjukkan pukul 15.30, jadwal mereka manggung. Wah, makin malam kami pulang, makin kuatir kami pada kondisi Shanti. Orang demam bisa balik panas lagi kalau belum-belum pulih. Bandung hari itu panas, meski sempat turun gerimis sebentar. Menjelang konser cuaca cerah sekali. Yang datang ternyata cukup banyak juga ya. Tadinya kami khawatir nggak akan ada yang datang karena sok-sok bikin konser diam-diam, gitu, kata Cholil menyapa penonton yang pada duduk memenuhi taman beralaskan koran dan berbekal losion antinyamuk. Konser tanpa pemberitahuan ini mengingatkan aku pada Heima, film karya grup Sigur Ros tentang mudik mereka di Islandia setelah sekitar setahunan tur keliling dunia. Film kebanyakan berisi scene alam terbuka dan suasana lingkungan yang dramatik. Aku baru pertama kali ini lihat Efek Rumah Kaca. Sound gaya unplugged mereka menurutku keren. Cholil memainkan gitar akustik yang setting suaranya mengeluarkan bunyi begitu kuat dan penuh, hingga melodi-melodi yang tinggi dan nyaring dari album mereka tersalin dengan sempurna. Adrian main bass dengan kalem, mengiringi sebagai backing vokal. Akbar menurutku tampak sangat santai dan paling enak dilihat. Gerakan tubuhnya di tengah set drum terlihat ritmik, sambil tangan dan kakinya bekerja. Hentakan drumnya asyik; tidak terdengar sebagai pukulan drum nada pop, tetapi malah seperti dalam band jazz atau progresif rock. Pilihan nada mereka mengingatkan aku pada grup seperti Pink Floyd dan Coldplay. Secara musikalitas, gaya akustik ini terdengar mirip dengan pilihan Damien Rice. Gitar dan bass dibuat seakan-akan bergema, iringan pukulan drum atraktik, jadi meskipun mereka trio, musiknya penuh. Tak ada ruang kosong yang terdengar karena mereka sedikitan. Lagu-lagu mereka yang kurang akrab bagi telinga yang tiap hari mendengar nada pop juga menguatkan mitos pada grup ini. Efek Rumah Kaca bilang bahwa mereka grup pop, tapi pilihan nada, aksi, juga pernyataan mereka justru bertentangan sebagai band pop yang haus publisitas atau menciptakan lagu yang mudah didengar. Mungkin mereka mau memudahkan. Mereka tidak menyiratkan sebagai band pop. Langkah mereka tidak populer; aku pernah lihat foto mereka bertiga mengenakan t-shirt bertuliskan: Pasar Bisa Diciptakan. Menurutku mereka grup alternatif atau postrock. Banyak orang bilang grup ini politis, seperti terbukti dari beberapa lagunya. Mereka juga justru mengkritik budaya pop dan konsumerisme. Mau mengubah dari dalam? Mungkin itu yang membuat lagu-lagu mereka agak susah dihafal. Aku beberapa bulan ini dengar album ke dua mereka, Kamar Gelap, dengan hanya mudah ingat Mosi Tidak Percaya (lagu yang sangat politis), Kenakalan Remaja di Era Informatika (singel dari album ini), dan Laki-laki Pemalu. Dari album pertama, yang teringat mudah ialah Cinta Melulu, Terus Belanja Sampai Mati, dan tentu saja lagu yang membuat mereka bisa memikat banyak orang: Di Udara---sebuah lagu yang konon tentang Munir, karena memang didedikasikan buat dia. Sore itu Efek Rumah Kaca main dua sesi. Sesi pertama berlangsung sampai menjelang magrib. Aku ikut berdendang tapi terkadang lupa judulnya. Sesi kedua Cholil main dengan mengenakan sweater, mungkin kedinginan oleh hawa yang mulai dingin. Dia mula-mula menyanyikan dua cover sendirian, lantas memanggil Adrian dan Akbar untuk memainkan Hallelujah dari versi Jeff Buckley. Ini mungkin kejutan buat para pengunjung. Adrian juga nyanyi Laki-laki
[zamanku] [TRIVIA] Mata Staedtler 0.3
[TRIVIA] Mata Staedtler 0.3 -- --Anwar Holid Pada Rabu, 29 April 2009, di buku jurnalku hari ini aku menulis begini: Aku menulis ini dengan rapido Staedtler 0.3 seri Marsmatic. Matanya aku beli barusan dari Baca-Baca Bookmart, Sabuga. Kalau nggak salah aku terakhir kali pakai Staedtler pada 2007, waktu Deden tak sengaja menjatuhkan rapidoku dan membuat jarumnya patah. Sejak itulah rapido legendarisku pensiun. Setelah itu aku minta pada Bagas Rotring 0.2-nya yang kelihatan tersia-siakan dan nganggur. Dia beri rapido itu, dan aku membersihkannya. Itulah yang aku pakai selama ini untuk mencatat dan menulis banyak hal. Sebenarnya aku lebih suka 0.2, tapi karena tulisanku sudah kecil, justru 0.3 menolong membuat tulisanku jadi lebih terlihat dan terbaca. Aku ingat punya Staedtler 0.3 itu sejak SMA, beli di Cihapit, dan aku pakai terus-menerus, untuk menulis diari, surat, draft, jurnal, corat-coret, dan sebagainya, sampai akhirnya patah. Alangkah lama kesetiaanku pada sebuah alat tulisan. Dibanding-banding, aku lebih suka Rotring daripada Staedtler. Bentuk Rotring lebih ramping dan ringan, sementara Staedtler gempal dan berat. Kelebihan Staedtler ia lebih mudah ditutup-buka, terutama bila akan dibersihkan--dan harganya lebih murah dari Rotring. Aku pertama kali suka rapido waktu lihat saudaraku yang sudah mahasiswa menggunakannya untuk mengerjakan tugas dan hitung-hitungan rumus kimia dan biologi atau catatan lain. Tulisannya jadi kelihatan rapi dan enak dilihat. Ini tentu efek dari jarum dan tintanya yang amat tajam. Tinta cina Rotring atau Staedtler memang sangat hitam dan tak luntur. Sejak itu aku suka mencoba-cobanya, lama-lama ingin punya. Harga rapido memang relatif lebih mahal dari pulpen biasa, meski jelas ada banyak alat tulis yang jauh lebih mahal dari rapido. Baru ketika di SMA aku punya kesempatan beli rapido second setelah nabung beberapa lama dari menyisakan uang jajan. Gara-gara pakai rapido, ada saja orang yang nyangka bahwa aku anak arsitektur. Memang sulit melepaskan prasangka umum. Mata Staedtler 0.3 yang aku beli ini benar-benar mengejutkan: harganya Rp.10 ribu! Jelas karena ini barang lama, meski aku yakin bukan second, karena kelihatan masih mengkilap. Yang baru, terakhir aku cek di toko ATK di Balubur, harganya Rp.50 ribu-an. Begitu lihat, aku langsung sulit menahan diri untuk tak membelinya. Seakan-akan tak percaya menyaksikan mata rapido dijual semurah itu. Ceritanya mulai hari ini Baca-Baca Bookmart bikin garage sale bersamaan dengan pembukaan Kompas-Gramedia Fair 09 di Sabuga. Di antara majalah dan buku bekas, sepatu, rajutan, kaset, kriya, botol minuman keras, topi, cd, vcd, bahkan pupuk cair, aku lihat tumpukan mata rapido Staedtler berbagai ukuran, semua dengan harga Rp.10 ribu. Langsung aku ingat badan rapido 0.3 yang aku simpan di kardus setelah cedera parah itu. Aku simpan siapa tahu bisa beli matanya suatu ketika. Ternyata inilah harinya. Hari ketika aku rutin mengantar Ilalang main jembe di Jendela Ide, Sabuga. Biasanya, aku nunggu Ilalang main sambil lihat-lihat baca-baca di Baca-Baca Bookmart, pinjam buku dari perpustakaannya, ngopi, atau ngobrol berbagai hal dengan para penunggunya, tukar-menukar album musik dan mp3. Sekarang, tiap kali ke sana yang paling sering aku temui ialah Ajo, Oleh (Soleh), Nanang, dan seorang anak punk yang aku lupa namanya. Kalau nggak salah dia sering dipanggil Bule karena kulitnya putih, hampir selalu memakai jaket belel penuh dengan pin berisi banyak pesan. Dulu Andry Frino sering aku temui, tapi mereka sekarang sudah punya kesibukan lain sendiri, atau datang ke Sabuga ketika aku tak datang ke sana. Sebagai gantinya, kadang-kadang aku ketemu Wiku Baskoro dari Dipan Senja/Lawang Buku. Musik Sigur Ros mengiringi garage sale kecil-kecilan ini. Sudah lihat-lihat ke dalam mas? tanya Wiku. Maksud dia lihat Kompas-Gramedia Fair. Sudah, kayaknya pesertanya lebih banyak dari tahun kemarin ya? Standnya juga lebih rapi. Nggak belanja? Enggak euy. Keuanganku lagi kacau. Mana kemarin Fenfen kehilangan dompet waktu pulang dari Serang. Gitu? Hilang di mana? Di angkot, di Pasirkoja. Kali keselip-selip di kursi? Nggak tahulah. Waktu ambil satu mata itu, aku bilang ke Ajo, Kalau nggak berfungsi, ini aku kembaliin ya? Siplah, kata dia santai. Dapat dari mana nih barang-barangnya? aku penasaran. Dari teman. Dia nitip. Kok bisa punya banyak begitu? Nggak tahu tuh. Dilihat langsung sih mata rapido itu kelihatannya masih baru. Begitu pulang, setelah ikut beres-beres rumah, aku langsung ambil badan lamanya, dan pasang. Ternyata benar. Jarumnya masih oke punya. Walhasil aku akan segera habiskan tinta di Rotring 0.2, biar bisa diistirahatkan dulu. Rotring ini kelihatan sudah tua. Badan bagian atasnya sudah belah-belah. Untung aku perkuat dengan lem super. Begitu setelah, Staedtler 0.3 ini bisa kembali diaktifkan untuk menulis segala sesuatu. KEEP YOUR HAND MOVING![] Anwar Holid kurang
[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell
[HALAMAN GANJIL] Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell --Anwar Holid Jujur Saja ialah nama rubrik di halaman terakhir Femina, majalah perempuan kota asli Indonesia. Saya baru sadar rubrik ini menarik setelah lama-lama setiap kali buka Femina, ternyata sering sekali tergelitik dan senyam-senyum oleh pertanyaan dan jawaban yang mereka lontarkan khusus kepada perempuan. Rubrik itu tampaknya menguji seberapa jujur mereka terhadap sesuatu. Pertanyaan di rubrik itu masih biasa saja, termasuk umum, belum menyangkut hal-hal yang sangat sensitif. Jadi jawabannya pun sebenarnya masih yang bisa kita bayangkan. Di salah satu edisinya, Femina bertanya: Buku yang menginspirasi saya? Jawaban semua orang beda. Salah satunya: Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Buku itu memberi semangat pada saya yang bersekolah di kota kecil untuk tak perlu merasa rendah diri jika dibandingkan lulusan kota besar, kata seorang gadis di Mojokerto. Di edisi lain pertanyaannya mungkin bisa bikin malu: Angka merah waktu SMU? Atau waktu sedang heboh (Film) Ayat-Ayat Cinta, pertanyaannya ialah: Ayat-Ayat Cinta, Suka Atau Tidak? Alternatifnya memang cuma dua. Salah satunya: Tidak, kata seorang istri di Jakarta. Kata dia, Mana ada wanita berpendidikan tinggi dan berpikiran modern yang rela diduakan? Itu sih maunya pria agar ada di atas angin. Yang suka bilang begini: Banget, banget! Saya sampai nonton dua kali. Disuruh nonton sekali lagi, jawabannya: Dengan senang hati! Jangan bayangkan yang jawab gadis berjilbab, yang jawab itu seorang gadis ayu berlesung pipi dari Bogor. Rubrik itu membuat saya mengira-ngira, dalam hal apa saja kita jujur. Terhadap semua hal? Dulu, waktu mahasiswa, sedang asyik-asyiknya boys talk di kamar kost teman, seorang kawan mendadak melontarkan pertanyaan: Berapa kali kamu masturbasi dalam seminggu? JELEGER! Pertanyaan itu membuat saya mental. Rasanya saya ingin mati. Itu rahasia besar saya. Tapi bagaimana lagi? Toh mereka kawan-kawan akrab saya. Berterus-terang juga kayaknya baik-baik saja. Tapi ternyata saya masih takut jujur. Buktinya, jawaban saya justru mengelak, Nggak tentu. Kalau lagi terdesak saja. Bagaimana kalau setiap hari saya terdesak oleh tekanan seksual, sementara saya sulit menyalurkan gejolak lewat cara lain? Jelas, saya gagal jujur bahkan kepada teman-teman akrab. Mungkin saya khawatir reputasi saya hancur di mata mereka. Suatu hari saya ditanya seorang teman non-Muslim: Apa kamu pernah makan babi? Jawabannya: tidak. Bahkan sepotong kecil pun? Kayaknya iya. Di Lampung, waktu kecil, teman akrab saya waktu SD ialah orang Hindu. Rumahnya persis di samping saya. Mereka punya ternak babi. Tapi kalau mereka memberi berkat/sedekah makanan, mereka memberi ayam dan makanan yang dihalalkan Islam. Teman saya meneruskan: Apa kamu pernah minum alkohol? Jawabannya: pernah. Mungkin dulu waktu SMP, waktu kumpul-kumpul malam minggu dengan teman-teman. Tapi setelah itu nggak pernah lagi. Saya bisa dibilang murni seorang teetotaler, orang yang benar-benar bersih dari alkohol. Pernah merokok? Pernah. Tapi mungkin jumlah total yang pernah saya isap tak lebih dari 12 batang. Untuk beberapa hal, saya memang tidak melakukan apa pun. Saya tidak berzina, tidak merokok, tidak poligami, tidak korupsi, tidak pernah minum obat terlarang, tidak mengonsumsi narkoba. Untuk ini, saya jujur. Pernah ngeganja? Pernah, dulu waktu mahasiswa, beberapa kali. Menurut saya harum asap ganja itu menggoda sekali. Pernah mencuri? Pernah. Pencurian paling gila yang pernah saya lakukan ialah mengutil kaset album Superunknown (Soundgarden) di Aquarius Dago. Waktu itu saya sudah kuliah. Padahal waktu itu saya bawa uang, dan niatnya memang benar-benar mau beli album itu. Entah kejahatan apa yang mendesak pikiran saya waktu itu, tiba-tiba setelah perang batin dan dilanda ketakutan, pada satu kesempatan, saya memasukkan kaset itu ke saku pinggir celana. Yah, Tuhan masih melindungi saya dengan tidak langsung membuka aib itu di depan penjaga toko. Entah apa jadinya kalau saya kepergok penjaga toko. Boleh jadi saya bukan Anwar yang sekarang. Saya merasa berdosa sekali dan kapok. Album itu pun kini sudah saya jual dengan harga murah, tak sebanding dengan risiko yang saya hadapi. Gila, saya bisa senekat itu. Sulit membayangkan bahwa saya pernah bisa melakukan kehinaan seperti itu. Apa kejujuran seperti itu akan membuat saya lebih baik? Dalam hal apa kita berani jujur? Untuk hal-hal remeh yang tidak berbahaya? Untuk perbuatan yang kira-kira bisa meningkatkan citra diri? Apa jujur itu sejenis uji nyali? Kejujuran memang menakutkan. Coba tuding diri sendiri dan ajukan pertanyaan paling berani, pertanyaan yang membuat kita tersudut harus jujur. Beranikah kita jujur pada diri sendiri? Coba uji kejujuran sendiri: Apa kamu menyimpan film atau gambar porno di komputer? Di Femina, gara-gara itu seorang istri memutuskan pulang ke orangtua setelah memergoki suaminya menyimpan banyak gambar porno
[zamanku] Andrea Hirata: Menulis itu Elegan
Andrea Hirata: Menulis itu Elegan -- ---Anwar Holid Pada Selasa, 7 April 2009, hampir dua ribu guru dari sekolah-sekolah di Jakarta Pusat berkumpul di Aula Senayan City untuk mengikuti talkshow Kemuliaan Mengajar (Nobility of Teaching) yang menghadirkan penulis Andrea Hirata dan Arvan Pradiansyah, ditemani host Soraya Haque. JAKARTA - Sejak mulai menulis tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata boleh dibilang menjadi salah satu penulis paling hip di Indonesia saat ini; sementara Arvan Pradiansyah makin memantapkan diri sebagai penulis motivasi dan kepemimpinan setelah menerbitkan The 7 Laws of Happiness. Penerbit Mizan menyelenggarakan acara itu bekerja sama dengan pemerintah kota Jakarta Pusat, Telkom Divre II, Sampoerna Foundation, ditambah pihak Senayan City yang menyediakan fasilitas aula begitu lega bagi guru-guru yang datang sejak pagi dan terlihat antusias mengikuti acara, meski di awal pembukaan terasa agak banyak basa-basi, membuat acara inti jadi sedikit terlambat. Kondisi ini tampak memaksa Soraya Haque berinisiatif mengubah set acara. Dia langsung menarik kedua pembicara untuk fokus membicarakan apa itu kemuliaan mengajar, mengaitkannya dengan Mukjizat Menulis (Miracle of Writing). Andrea dan Arvan pada dasarnya menekankan betapa mulia berprofesi sebagai guru. Sebagai mantan murid sekolah, keduanya telah merasakan kemuliaan para guru dan menerima teladan yang mustahil terlupakan. Buktinya, karya Andrea dipersembahkan bagi gurunya, sementara Arvan selalu mencari opsi untuk tetap bisa menjadi dosen di almamaternya, FISIP UI, bila kerja di suatu perusahaan, dan itu berjalan lebih dari 13 tahun. Laskar Pelangi menguak guru sekolah dasar bernama ibu Muslimah yang selalu berhasil memenuhi kehausan ilmu sepuluh muridnya, dan ini ditunjang oleh kepala sekolah yang begitu rela berkorban, Harfan Effendy Noor. Drama pendidikan di sekolah sederhana di pulau terpencil itulah yang hingga kini menyihir ratusan ribu--bahkan konon jutaan--pembaca Indonesia, dan tampaknya tetap menimbulkan rasa penasaran kecuali ditanyakan langsung kepada saksi mata terdekatnya: Andrea Hirata. Menjadi guru di zaman sekarang harus powerful, kreatif, bisa berpikir di luar yang lazim. Itu baru bisa tercapai bila setiap guru punya kecintaan pada profesi, punya karakter. Pendidikan itu mestinya merupakan perayaan, ilmu itu tantangan, kata Andrea mengomentari idealisasi tentang pengajaran. Andrea menyayangkan bahwa sejak dulu terjadi pemarjinalan terhadap profesi guru, ini terbukti dari perlakuan kurang adil terhadap guru maupun prioritas anggaran pendidikan. Untuk menekankan kemuliaan pengajaran Andrea menyatakan, Guru yang mulia itu seperti sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Pengajaran yang berhasil berbekas pada murid yang mencintai guru, terinspirasi oleh teladan yang dia berikan. Pada suatu kesempatan, Andrea pernah berujar, Yang penting buat saya ialah bagaimana cara agar sekarang dunia pendidikan kembali melihat warisan yang ditinggalkan guru-guru seperti ibu Muslimah dan pak Harfan. Bagi Andrea sendiri, Laskar Pelangi merupakan kisah tentang guru yang ditangkap oleh seorang muridnya, merekam warisan pendidikan dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Energi itu terus berlangsung sampai pada buku keempat, Maryamah Karpov, ketika Ikal--protagonis tetralogi itu--berhadapan dengan guru-guru asing di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, yang berkarakter lain sekali dibandingkan guru lamanya di kampung. Sesi tanya jawab menjelaskan seberapa penasaran sebenarnya publik kepada Andrea. Rasanya lebih seperti jumpa fans, bahkan sejumlah guru menyatakan seakan-akan mimpi sampai bisa bertemu dengan penulis yang buku-bukunya telah memberi semangat kepada profesi mereka, membuat dunia pendidikan menjadi begitu penting, harus diperhatikan, dan mendapat prioritas. Pertanyaan yang muncul mulai dari hal sepele, masa-masa sekolahnya, berbagi pengalaman menulis, hingga bagaimana cara menjemput hikmah? Yang saya harapkan dari tulisan-tulisan saya ialah ia memberi inspirasi, bukan semata menjual, kata Andrea pernah pada suatu kesempatan. Antusiasme publik jelas membuktikan itu. Buku dan kepenulisan telah mengantarkan Andrea ke status yang sulit dibayangkan sebelumnya. Bila dulu di awal Laskar Pelangi terbit sebagian orang menyebutkan dia beruntung, kini semua yang telah dia tulis, lihat, nilai, dan rasakan menjadi mukjizat yang menyemangati dan mengilhami banyak orang. Tentang kemampuan menulisnya, dengan gaya khas dan merendah, Andrea menyatakan bisa jadi dia bisa menulis karena dirinya orang Melayu. Orang Melayu itu dalam keadaan marah masih bisa berpantun atau menyatakan metafora, kata dia disambut tawa peserta. Tapi lebih dari itu, awalnya ialah dia termotivasi. Ketika melihat beliau jalan kehujanan hanya berpayung daun pisang menuju sekolah kecil kami, dalam hati saya berjanji akan menulis
[zamanku] Rumah Buku, The Coolest Library in Town
Rumah Buku, The Coolest Library in Town --Anwar Holid Pada Jumat, 3 April 2009 Ariani Darmawan (Rani) mengirim pesan lewat Facebook, yang langsung dihantarkan oleh kantor pos Yahoo! Mail: Subject: Merayakan 6 tahun Rumah Buku / Kineruku: Teman-teman Menghias Rumah Buku Sekali lagi, teman-teman terdekat Rumah Buku, Kami mengundang kamyu2 untuk datang ke perayaan ultah kami ke-6, Sabtu jam 3 sore. Ditunggu.. tiada kesan tanpa kehadiran kalian semua... Rabu sebelumnya, 1 April, aku mampir ke Rumah Buku karena ada perlu dengan Budi Warsito, seorang script writer yang kerja juga di Kineruku, lini produk Rumah Buku yang fokus mengerjakan perfilman. Sayang dia nggak datang-datang. Beruntung aku ketemu Rani, yang pagi-pagi itu sudah sibuk di sana, dan menyapaku, Eh, Sabtu ini Ruku ulang tahun loh. Dateng ya nanti bareng Fenfen dan anak-anak... Setelah itu aku dia kasih seporsi mi ayam. Lantas aku lihat-lihat cd baru di sana, yang entah kenapa banyak berupa album Cocteau Twins. Selalu ada yang menarik di Rumah Buku. Baik itu cd, film, aktivitas, kopi, dan tentu saja buku-bukunya. Enam tahun lalu aku datang ke sini beberapa bulan setelah mereka buka, betul-betul terobsesi ingin melihat Ulysses dan Finnegan's Wake (James Joyce)--dua novel yang sampai hari ini hanya berani aku lihat-lihat dan pegang-pegang, atau coba baca halaman pertamanya, kemudian aku taruh lagi. Setelah itu, aku rasanya selalu tertarik untuk ke sana lagi, setiap ada kesempatan, sesering mungkin. Bahkan pernah dalam satu kesempatan, waktu mengerjakan profil Shirin Ebadi untuk buku tipis terbitan Mizan, aku begadang dan tidur di Rumah Buku. Bersama teman-teman, kami juga bikin Textour, yang namanya dilontarkan oleh Rani juga, meski kini inaktif. Setelah enam tahun, Rumah Buku paling banyak diisi oleh aktivitas Kineruku. Wajar, karena Rani seorang sutradara dan dosen film. Di antara filmnya yang menurutku sangat menarik ialah Anak Naga Beranak Naga dan Sugiharti Halim, dua buah film pendek tentang identitas etnis Cina Indonesia yang disampaikan dengan kuat sekali. Film pertama bersubjek musik gambang kromong, kedua lebih ke hubungan personal. Menurutku, pada dasarnya yang aktif di Kineruku bertipe seniman, dengan rentang di ranah seni lukis, fotografi, desain, dan penulisan. Rani, misalnya, dia juga seorang editor. Dia mengedit terjemahan Marguerite Duras dan Italo Calvino, dua dari sekian banyak penulis favoritnya, yang koleksi karyanya boleh dibilang lengkap tersedia di Rumah Buku. Koleksi Rumah Buku memang luar biasa dan terpilih, dan itu jadi magnet luar biasa bagi pangsa di dunia sastra, kritik, film, desain, seni, arsitektur, komunikasi, media, sejarah dan pemikiran. Buku unik, baik yang didesain menakjubkan dengan teknologi tertentu, sangat langka, klasik dan legendaris, dinilai sangat berpengaruh, ada di sini. Begitu juga koleksi film dan musiknya. Miles Davis, Pat Metheny, Keith Jarrett, Youssou N'Dour, SimakDialog, King Crimson, Feist, Arcade Fire, Jack Johnson, Tibor Szemzo, Ravi Shankar, bertaburan. Pantas karena itu beberapa bulan lalu Rolling Stone Indonesia menyebut Rumah Buku sebagai the coolest library in town. Di acara Teman-teman Menghias Rumah Buku ini ada found object personal-bersejarah bagi Rani dan Rumah Buku, lukisan yang dikerjakan amat halus karya Judith, fotografi oleh Meicy, woodcut, juga desain arsitektural atas seekor babi. Rumah Buku merupakan salah satu tempat terbaik di Bandung. Aku selalu ingin lama-lama di sini, untuk menulis, mengedit, menyelesaikan proyek, bertemu dengan kawan. Mungkin karena ia cukup dekat dengan rumahku. Aku juga kerap mendapat kebaikan dari Rani bersama para pegiat lainnya. Bahkan voucher pinjaman hadiah Rani belum aku habiskan jatahnya. Dulu, rasanya kita sering banget ke sini ya, kata Fenfen waktu kami jalan ke sana. Memang. Di ulang tahun ke enam itu kami bertemu teman-teman yang merasa terikat dengan tempat ini--para pembaca, penulis, sutradara, peneliti, kurator, kritikus, dosen, seniman, pedagang, penyanyi, arsitek. Merekalah yang menghiasi dan meramaikan Rumah Buku, meminjam koleksinya, mengambil manfaat. Meskipun ada juga pengunjung jahat, karena mereka mencuri fasilitas atau koleksi Rumah Buku, termasuk mencuri milik pengunjung lain. Selamat ulang tahun Rumah Buku, semoga terus jaya. Keep up the good work![] Copyright © 2008 oleh Anwar Holid ANWAR HOLID, anggota Rumah Buku no. A030. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid Situs terkait: http://www.rukukineruku.com Kontak: RUMAH BUKU KINERUKU Jl. Hegarmanah 52 Bandung 40141 Ph/F: 022.2039615 Email: kiner...@yahoo.com
[zamanku] [BUKU INCARAN] Pergolakan Spiritual Empat Orang Mualaf
Pergolakan Spiritual Empat Orang Mualaf --Anwar Holid SEEKING TRUTH FINDING ISLAM: Kisah Empat Mualaf yang Menjadi Duta Islam di Barat Penulis: Anwar Holid Penerbit: Mizania, 2009 Halaman: 184 Harga: Rp.29.000.00 ISBN: 978-602-8236-30-0 Kategori: Biografi Setiap tahun, sekitar 25.000 orang menjadi Muslim di Amerika Serikat. Pasca 11 September, jumlah orang yang bersyahadat 4 kali lipat. Demikian dari New York Times. Jalan hidup manusia sulit ditebak. Dari awal yang amat jauh dari agama, orang bisa menjadi perindu Tuhan dan mencari jalan untuk menghampiri-Nya. Kisah hidup para mualaf--yakni orang yang masuk Islam--memberi kita banyak pelajaran tentang hal ini. Buku ini menyajikan empat mualaf di Dunia Barat yang mampu menjadi duta Islam melalui pengabdian kepada masyarakat dan teladan tentang sikap hidup Muslim sejati. Dengan demikian, mereka juga berjihad memerangi prasangka terhadap Muslim dan agama Islam yang marak di Dunia Barat pada masa sekarang. Keempat mualaf itu adalah: * Yusuf Islam (Cat Stevens): mantan superstar rock dunia yang mengundurkan diri dari dunia musik untuk mempelajari Islam, dan kini aktif berdakwah melalui kegiatan pendidikan dan sosial. * Ingrid Mattson: cendekiawati pemimpin ISNA (Islamic Society of North America)--organisasi Muslim terbesar di Amerika--yang sempat menjadi ateis sebelum akhirnya terpesona oleh Al-Quran. * Keith Ellison: Aktivis HAM dan Muslim pertama yang menjadi anggota Kongres AS. * Hamza Yusuf Hanson: ulama asli kelahiran AS yang mendalami khazanah ilmu-ilmu Islam klasik dan kini giat mengampanyekan Islam damai ke publik Barat. *** Seeking Truth Finding Islam merupakan buku kedua saya. Sebagaimana Barack Hussein Obama (2008), buku ini lahir atas prakarsa Ahmad Baiquni (aka Ibeq), editor penerbit Mizan. Waktu awal-awal menyusun, kami sempat mendiskusikan banyak nama yang akan dijadikan profil, menimbang bagaimana kiprah mereka, mengira-ngira citra dan pandangan publik terhadap mereka, dengan harapan bisa menyaring sekitar 6-10 orang. Berbagai pertimbangan, terutama soal akses informasi dan peran mereka, akhirnya memaksa saya hanya bisa menulis empat orang tersebut. Sebenarnya minimal ada dua orang lagi yang sangat ingin saya tulis perjalanan religiositasnya, yaitu Frithjof Schuon dan Charles le Gai Eaton. Tapi saya kehabisan energi dan pikiran, terus menghentikan niat itu. Lagi pula, siapa yang bakal tertarik kepada Schuon dan Gai Eaton, selain sesama orang spooky? Untuk menaikkan daya tawar isi buku, saya berusaha maksimal memunculkan drama perjalanan hidup keempat orang ini, terutama sekali pertarungan spiritual dan pergolakan batin sebelum memeluk Islam. Sebagai tambahan saya menulis esai cukup panjang tentang berbagai aspek convert ke dalam Islam. Saya juga sempat menghubungi Ingrid Mattson via email tentang niat menulis profil beliau. Yang menjawab ternyata asistennya. Kami sempat email-emailan beberapa kali. Intinya, beliau bersedia bila harus diwawancarai via email. Tapi niat itu pun gagal terlaksana, sebab sang asisten memberi informasi cukup, sementara di Internet kisah perjalanan keyakinan spiritual Ingrid tersedia cukup banyak. Dari sisi penulisan, sekali lagi saya mendapat pengalaman berharga tentang hubungan antara penulis dan penyunting (editor). Karena melampiaskan keyakinan dan pikiran tentang agama, pada draft awal yang saya berikan, ternyata saya kerap memunculkan sinisme terhadap agama, sampai menurut Ibeq, bahasa saya cenderung kasar dan malah berpotensi bisa menjelek-jelekkan agama. Ini mengkhawatirkan. Bagaimana orang bakal tertarik kepada Islam atau agama lain kalau kamu menulisnya seperti ini? kata dia waktu kami membicarakan draft pertama. Saya tertawa. Misi buku ini memang berusaha menunjukkan bahwa agama bisa menjadi alternatif jalan kebaikan di tengah kekacauan dunia. Sementara istilah convert ternyata tidak selalu identik dengan pindah ke agama lain, tetapi bisa juga berarti menjalani intensitas yang lebih besar terhadap religiositas daripada semula. Pelajaran dari sana ialah editor yang jeli dan memiliki sense bahasa kuat bisa diandalkan sebagai kawan untuk menghasilkan karya yang cukup bertanggung jawab. Editor bisa jadi indra pertama mewakili publik pembaca sekaligus kepentingan penerbit. Sebagai wakil penerbit, dia akan memperhatikan kesantunan, kejernihan isi, cara berargumen, dan menuturkan yang baik dan kena. Untuk kepentingan promosi buku ini, pada Senin, 30 Maret lalu saya mampir ke Masjid Laotze, Bandung menjajaki kemungkinan mengadakan diskusi atau bedah buku bertopik tentang mualaf. Sambutan mereka ramah. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah berharap hal serupa pada bagian promosi Mizan. Mereka malah usul agar acara seperti itu kalau bisa menghadirkan tokoh mualaf terkemuka dan bisa membicarakan dialog antaragama secara adil, proporsional, dan terbuka. Membicarakan agama memang sensitif. Jangankan antaragama serumpun
[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?
[HALAMAN GANJIL] Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan? --Anwar Holid Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting dalam perkawinan? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung tertawa mendengar jawaban itu. Memang, menurut kamu apa? balas dia. Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah. Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam bayanganku waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara itu menayangkan seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya. Mangsa itu dia cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia persembahkan pada anak-anak dan pasangannya. Setelah itu dia memperhatikan mereka berebut makanan yang dia bawa. Terdengar narasi: Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia pulang dengan selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang dia bawa daripada kehadiran dirinya sendiri. Terdengar ironik? Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan itu ialah cinta, kasih sayang. Ha ha, dalam rumah tangga kasih sayang menurutku sudah jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus selesai sejak jauh-jauh hari sebelum pasangan menikah dan membangun rumah tangga. Tanpa itu, rumah tangga dan perkawinan berarti sia-sia. Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada orang yang bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta? Nggak. Orang hanya bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok merasa agak yakin bahwa cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh jadi memang begitu, sebenarnya, terutama orang yang terbutakan oleh cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri atau perpisahan sepasang kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai keributan, termasuk sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang terlalu sulit dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada di mana cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal, jengkel, atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan. Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak segera menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran dan menuduh dia tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi perkawinan di media massa. Dari sana kita belajar bahwa persoalan perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat sederhana (misalnya kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) maupun hal yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh, berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam perkawinan bobot masalah sederhana dan berat ternyata sama saja. Masalah adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak akibatnya bisa fatal. Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan yang kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau tak punya nafkah? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi mungkin sedikit lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi kekayaan yang terus tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan tak perlu kerja. Tapi dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya mengeluh, sebab kerjanya hanya menghabiskan harta orangtua dan terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan tanpa mata pencaharian itu merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang gadis dalam keadaan nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis Anda dipinang pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda kepada pemuda itu? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia. Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku sendiri pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend husband/wife sudah dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah pasangan yang hanya ketemu sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Jelas karena tidak mengalami, rasanya aku sulit berempati kepada pasangan yang hanya ketemu sebulan, tiga bulan, atau setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan menikah? Bukankah mereka menikah untuk bersatu, berdekat-dekatan? Wajarkah pasangan mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya absurd. Tapi sekali lagi, bayangkanlah
[zamanku] [BUKU INCARAN] Buku Islam yang Bagaimana?
Buku Islam yang Bagaimana? --Anwar Holid Islamic Book Fair (IBF) Maret 2009 padat sesak oleh pengunjung. Meski diselenggarakan sederhana dan ada kekurangan, pengunjung tetap antusias dan panitia tetap konsisten dengan nilai yang dibawa. JAKARTA - Berkat keramahan teman-teman dari Penerbit Mizan, aku berkesempatan mengunjungi Islamic Book Fair (IBF) pada Minggu, 1 Maret 2009. Kami ke sana terutama untuk menyiapkan dan meliput talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family yang menghadirkan Arvan Pradiansyah dan Asma Nadia. Tiba di sana kira-kira pukul 14.00-an, jadi aku punya waktu mengelilingi istana olahraga yang disulap jadi ruang pamer dan jualan itu. Jelas karena hari Minggu, pengunjung membludak banget. Rasanya bahkan lebih padat waktu terakhir aku datang ke sini, yaitu atas undangan Kompas, di acara Kompas-Gramedia Fair tahun 2007, persisnya di Pertemuan Peresensi Pustakaloka-Kompas pada Jumat, 4 Mei 2007. Tapi aku sendiri kurang nyaman di tempat yang terlalu padat. Kesannya seperti pasar kaget di Gasibu tiap Minggu. Ramai sih, tapi pengorbanannya banyak. Kita nggak bisa lihat-lihat buku dengan nyaman atau memperhatikan sesuatu dengan baik. Gue pikir hanya mobil dan motor saja yang bisa macet, nggak tahunya orang juga bisa macet, begitu terdengar seseorang persis di depanku. Semua bagian di tempat itu penuh. Aku berkeliling, mengingat penerbit yang sengaja ingin aku datangi atau melihat hal menarik. Ternyata di bagian sayap kiri gedung itu bocor, jadi mengganggu pemandangan banget. Untung mengucur ke jalan/lorong, bukan ke stand--jadi tempat itu dihindari pengunjung. Aku sudah lama berpendapat mestinya pameran dan bursa itu diadakan di tempat lebih nyaman, misalnya di JHCC atau di Sabuga kalau di Bandung. Tapi berbagai faktor dan kemampuan menghalangi mimpi seperti itu. Penerbit Serambi agaknya tampil khusus karena mereka menggunakan momen ini untuk peringatan ulang tahun ke-10. Mereka menghias stand agak lain, jadi cukup mencolok. Salamadani mengeluarkan sejumlah buku baru yang cover-covernya memenangi lomba cover favorit di IBF kali ini. Mizan mengelilingi standnya dengan produk unggulan mereka. Mendisplay stand begitu rupa sampai yang terlihat hanyalah digital print cover berukuran besar, termasuk di antaranya tentu saja Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Beberapa penerbit yang kurang berafiliasi langsung dengan istilah penerbit Islam juga muncul, katakanlah kelompok Gagas Media, Erlangga, juga Panebar Swadaya. Ufuk Press dan Rajut Publishing sekilas aku anggap merupakan dua penerbit baru yang inovatif dan produknya mampu menarik perhatian. Mereka jelas menggeliat dan terus tumbuh. Seeking Truth Finding Islam (Mizania, 2009), buku keduaku, juga sudah bersaing dengan ratusan buku lain di stand Mizan di blok buku baru, mencari perhatian agar dibuka dan dibeli. Subjek buku itu ialah tentang mualaf (convert ke Islam) dan kisah empat orang mualaf yang dianggap sebagai duta Islam di Barat. Mereka ialah Ingrid Mattson, Keith Ellison, Yusuf Islam, dan Hamza Yusuf. Aku sudah minta pada editor Mizan agar membicarakan topik seperti ini misalnya di masjid Laotze, Bandung. Istilah Islamic Book Fair dan penerbit Islam buat aku sendiri terasa bermasalah, sebab ini menunjukkan kaum Islam yang sengaja memisahkan diri dari kebhinekaan Indonesia, meskipun jargon itu juga kurang konsisten dilaksanakan, selain terutama untuk kepentingan dagang. Tapi aku punya teman seorang editor Katolik yang bilang baik-baik saja dengan istilah dan acara itu, sekalian berharap suatu hari ada pameran lain buku yang segmented---minus misalnya pameran adult book. Bila Mizan sudah punya banyak imprint yang menerbitkan buku non-Islam, Serambi terkenal karena The Da Vinci Code, Erlangga memanfaatkan ceruk pasar Islam, GPU punya sejumlah produk khas yang didedikasikan buat kaum Muslim, atau penerbit Islam memanfaatkan isu-isu untuk menyerang keyakinan agama lain... apa lagi keistimewaan IBF ini dibandingkan pameran buku dan penerbit umum? Di satu sisi sempit, terutama dari sudut keimanan, istilah Islam itu memang membedakan dari pihak lain, dan itulah yang digunakan untuk menjual segala produk di dalamnya, mulai dari kerudung, aksesoris shalat, ensiklopedia, vcd dakwah dan provokasi, seruan berjihad di Palestina, dan juga bank syariah. Maka di IBF ini aku melihat perempuan bercadar berseliweran, jauh lebih banyak dibanding pameran-pameran lain. Aku juga lihat kayaknya ada beberapa kelompok orang beramai-ramai pakai jaket PKS masuk ke sana, soalnya aku mudah melihat mereka ada di mana-mana. Tapi Fanfan dari Promosi Mizan menolak prasangkaku. Dilihat segi tampilan, visi, dan peserta, IBF cukup konsisten kok, tegasnya ketika kami ngobrol di belakang panggung. Panggung Utama misalnya, dari tahun ke tahun di set di tengah-tengah Istora sebagai pusat acara. Ini beda dengan Jakarta Book Fair yang lebih banyak mengadakan acara di lantai 2 atau malah di luar Istora dan
[zamanku] Model Komprehensif tentang Kebahagiaan
Model Komprehensif tentang Kebahagiaan --Anwar Holid The 7 Laws of Happiness - Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia Penulis: Arvan Pradiansyah Penerbit: Kaifa, September 2008 Halaman: 428 ISBN: 978-979-1284-20-2 Harga: Rp 72.500,- KITA kerap mendengar orang berkata, Semoga hidupmu bahagia atau dengan nada emosional mengucapkan, Saya rela miskin, asal bahagia. Sesungguhnya, bahagia seperti apa yang dia maksud? Apa bahagia itu identik dengan senang? Bagaimana bila dibandingkan dengan perasaan sejenis, misalnya beruntung, sukses, mujur, dan puas? Bahagia itu rentang waktunya panjang, sementara senang itu berjangka pendek, demikian pernyataan awal Arvan Pradiansyah dalam The 7 Laws of Happiness. Buku ini berusaha secara meyakinkan dan mudah dipahami membahas salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kebahagiaan. Sebagai seorang ahli sumber daya manusia dan pembicara publik, Arvan telah menghasilkan empat buku bertema manajemen kepemimpinan (leadership) dan manajemen kehidupan (life management.) The 7 Laws of Happiness termasuk kategori manajemen kehidupan, terutama karena ia secara persuasif mengajak agar pembaca menemukan dan membukakan jalan hidup yang bahagia. Arvan menggunakan pendekatan neurosains dan Psikologi Positif untuk membukakan wawasan tentang meraih kebahagiaan. Neurosains ialah studi saintifik terhadap sistem saraf, terutama sekali sistem jaringan otak. Sebagian ahli otak mengatakan bahwa pusat manusia ada pada akal, yaitu proses berpikir yang terjadi di dalam otak. Arvan yakin bahwa kunci kepribadian dan watak manusia berada pada otaknya (hal. 41.) Psikologi Positif lahir dari kegalauan Martin E. P. Seligman ketika menjadi presiden American Psychological Association (APA) pada 1998. Dia secara komprehensif menuliskan landasan teori dan praktik cabang psikologi ini dalam bukunya yang sangat berpengaruh dan terkemuka, Authentic Happiness. Beberapa koleganya merasakan kecenderungan serupa, dan akhirnya saling mendukung dan mengisi gagasan tersebut hingga menjadi disiplin yang padu. Psikologi ini lebih berusaha menekankan pada kesehatan mental. Aliran ini merupakan generasi baru Psikologi Humanistik yang berhasil membangun dukungan bukti empirik, menyediakan landasan sainstifik kuat bagi studi tentang kebahagiaan manusia dan fungsi optimal manusia, menambah sisi positif dari psikologi yang terlalu dikuasai sisi negatif manusia. Sesuai hasil penelitian neurosains, Arvan berpendapat bahwa kunci bahagia manusia itu ada dalam pikirannya. Kekuatan terbesar manusia ada dalam memilih pikiran, ungkapnya. Dengan pikiran, orang bisa memilih keputusan apa pun untuk hidupnya. Arvan merancang buku ini secara komprehensif agar pembaca bisa cukup terlatih untuk memulai mengambil keputusan demi kebahagiaan hidupnya. Pendekatan penulisannya juga termasuk menarik. Sambil berargumen mengungkapkan bagaimana prinsip-prinsip kebahagiaan bisa berlangsung dalam kehidupan manusia, dia menjabarkan pemikiran dengan bahasa mudah dipahami, ditambah petikan kisah (kebanyakan kisah nyata), dan sejumlah praktik tes psikologi. Lay out buku ini, baik dari pilihan font, desain, dan ilustrasi membuat kenyamanan membaca jadi makin maksimal. Salah satu prasangka umum terhadap bahagia yang dipatahkan Arvan ialah anggapan bahwa orang bisa bahagia meskipun ia tak punya apa-apa, seakan-akan bahagia tidak butuh materi apa pun. Anggapan ini terdengar bagus, tapi sangat tidak realistis, tulis Arvan. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia tanpa memiliki apa pun padahal kita ini masih merupakan makhluk fisik juga? (hal. 32), demikian ungkap Arvan retorik. Dia menyatakan, meski ada faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan, penentunya tetap pikiran. Secara faktual, orang sehat dengan pikiran damai akan lebih bahagian daripada orang sakit dengan pikiran damai. Pikiran itu mirip kebun, bila dipupuk dengan baik, hasilnya tentu kebaikan. Untuk memupuk dan melatih pikiran agar terbiasa melahirkan kebahagiaan, Arvan mengajukan tujuh syarat. Tiga syarat pertama ialah Intrapersonal Relation, merupakan syarat bahagia untuk diri sendiri, terdiri dari sabar, syukur, dan sederhana (kemampuan menangkap esensi). Tiga syarat kedua ialah Interpersonal Relation, merupakan kebahagiaan terkait dengan orang lain, terdiri dari kasih, memberi, dan memaafkan. Puncaknya ialah Spiritual Relation, berupa kemampuan berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan (pasrah.) Arvan memberi contoh dan inspirasi nyata betapa meraih kebahagiaan puncak itu tidaklah hadir sekonyong-konyong, tetapi dengan disiplin, perjuangan, dan pelatihan berat. SELINTAS The 7 Laws of Happiness tampak sama dengan tipikal buku self-help dan motivasi (pengembangan diri) yang kerap dituduh menyederhanakan masalah serius dengan pendekatan instan, sejenis cara jawaban gampang bagi masalah kehidupan yang terlalu sukar. Pengkritik self-help mengindikasikan bahwa buku seperti itu sejenis pseudosains
[zamanku] The 7 Laws of Happiness for Muslim Family
The 7 Laws of Happiness for Muslim Family = Oleh Anwar Holid All happy families resemble one another, each unhappy family is unhappy in its own way. Demikian kalimat pertama Tolstoy dalam buku Anna Karenina: Semua keluarga bahagia itu mirip satu sama lain, tiap keluarga yang sengsara menderita dengan caranya masing-masing. Punya keluarga bahagia itu bukan saja penting dan fundamental, melainkan juga hak dan idaman setiap orang. Keluarga merupakan unit persaudaraan terkecil yang bisa menentukan perilaku, adat, dan moral setiap orang. Ia menjadi tempat interaksi intim antara suami-istri, orangtua-anak, saudara kandung-saudara tiri, saudara dekat-saudara jauh. Lepas bahwa secara alamiah orang ingin membangun keluarga bahagia, selalu saja ada sandungan yang kerap gagal dihadapi baik oleh pasangan paling mesra dan setia sekalipun. Perceraian kadangkala harus terjadi, pertengkaran meledak, sakit hati sulit diobati, anak terlantar, suami meninggalkan istri, istri selingkuh, anak hidup dalam tekanan, anak kabur, orang tua merasa diabaikan, pasangan merasa kurang dukungan, kebutuhan hidup mengejar-ngejar tiada ampun, suami merasa kecapaian mencari nafkah, bantuan istri dianggap kurang. Masalah keluarga ialah masalah kehidupan yang senantiasa perlu dinegosiasikan setiap waktu. Adakah rahasia menciptakan keluarga bahagia? Arvan Pradiansyah, penulis The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.) akan mencoba berbagi dan sama-sama mencari formula, adakah syarat di dalam keluarga bahagia. Kali ini pembicara publik dan ahli SDM ini akan ditemani Asma Nadia, salah satu tokoh Forum Lingkar Pena, yang juga telah menghasilkan banyak buku. Mereka akan membahasnya dalam talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family pada Islamic Book Fair Maret 2009 ini. Hari, Tanggal: Ahad, 1 Maret 2009 Waktu: 16.00 - 18.00 BBWI Tempat : Istora Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Panggung Utama Islamic Book Fair. Bagi Arvan acara ini seakan-akan merupakan konsekuensi dari rangkaian roadshow atas bukunya. Tapi boleh jadi talkshow kali ini menawarkan hal istimewa atau pendalaman khusus atas suatu kasus dalam bukunya. Kebahagiaan itu milik semua, meskipun kadang-kadang kita kehilangan hal itu. Saya berharap buku ini dapat menjadi sebuah tools yang sederhana namun cukup powerful untuk mempermudah hidup kita (guna meraih kebahagiaan), kata Arvan pada suatu kesempatan. The 7 Laws of Happiness sudah berhasil menggugah sejumlah kalangan untuk menerapkannya, termasuk kalangan guru, pekerja, juga pada lingkungan universitas. Keesokan harinya, pada Senin 2 Maret 2009 Arvan bersama Kaifa akan meneruskan kampanye meraih kebahagiaan di Kantor Divre II TELKOM, Jakarta pukul 10.10 - 12.00 BBWI. Tertarik membahas bersama? Silakan hadir.[] Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Copyright © 2009 oleh Anwar Holid Situs terkait: http://www.mizan.com http://www.ilm.co.id http://www.arvanpradiansyah.com Hubungi Arvan Pradiansyah via http://www.facebook.com
[zamanku] [Maryamah Karpov] NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA
[Maryamah Karpov] NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA Oleh Anwar Holid Kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi menyempilkan istilah yang mengundang tanda tanya: cultural literary nonfiction. Seperti apakah itu? DESEMBER 2008 lalu, ketika masih membawa-bawa Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.) ke mana pun pergi ingin segera menamatkannya, saya malah bertemu dengan orang yang malah belum selesai membaca Laskar Pelangi. Dia menenteng buku pertama tetralogi itu sambil menunggui anaknya yang latihan main perkusi bareng anak saya. Beberapa minggu sebelumnya, kami sempat membicarakan kehebohan cerita-cerita berlatar pendidikan di pulau terpencil itu. Ini baru sempat baca, katanya. Kebetulan istri saya kemarin beli waktu jalan ke toko buku. Saya lihat dia sudah lebih dari setengah membuka novel itu. Padahal saya beserta ratusan ribu pembaca lain sudah menamatkannya beberapa hari atau minggu setelah novel itu terbit pada 2005. Apa ada beda signifikan bila seseorang baru sempat membaca karya yang terbit beberapa tahun lalu? Mungkin tidak. Saya sendiri, karena sebuah keperluan, baru-baru ini membaca lagi Laskar Pelangi, dan dampaknya menurut saya berbeda ketika waktu dulu menamatkan untuk pertama kali. Ketika membaca dua atau tiga kali, kita jadi lebih dewasa, ada refleksi dan rujukan yang lebih kaya dari sebelumnya. Tapi, ada juga fakta yang harus saya sebut, bahwa sebagian orang ternyata tetap gagal membaca novel itu. Entah kenapa; mungkin butuh bahasan lebih lanjut. Setelah melewatkan Sang Pemimpi dan Edensor, saya langsung loncat ke Maryamah Karpov. Beruntung, sebagian orang memberi tahu isi dan mengungkapkan kesan mereka terhadap volume kedua dan ketiga tersebut. Pukul rata, kebanyakan orang lebih terkesan pada Sang Pemimpi daripada Edensor. Bagi saya sendiri, Edensor cukup menyita perhatian karena masuk nominasi KLA 2007. Setidaknya ini membuktikan bahwa para juri memperhitungkan kekuatan sastra novel tersebut---sebab kalangan tertentu meragukan aspek tersebut bisa muncul di sana. Ketika bicara tentang daya tarik tetralogi itu secara keseluruhan, tampaknya semua orang sependapat bahwa keunggulan kisah itu ialah pada keutuhan aspek fiksinya. Tetralogi itu lucu, romantis, dibumbui petualangan dan kisah fantastik, menjadikannya sangat inspirasional bagi pembaca fanatik, terasa dekat dengan kondisi pendidikan di Indoesia sehari-hari. Keutuhan aspek tersebut membuat tetralogi itu jadi seimbang. Dengan porsi masing-masing, semua muncul satu demi satu, silih berganti, sampai tanpa terasa ia menarik imajinasi pembaca ke sebuah kisah dan kejadian yang lengkap, mulai dari drama yang mengharu-biru, lantas disusul dengan humor, ironi, tragicomedy, juga pengharapan, optimisme, dan tentu saja petualangan-petualangan fantastik. Seorang fanatik Laskar Pelangi manapun bisa cerita kehebatan tetralogi itu lebih detail dan bersemangat daripada saya. Struktur Laskar Pelangi dan Maryamah Karpov agak mirip sekaligus melingkar, yaitu kembali ke awal. Bila di buku pertama Laskar Pelangi terbentuk, di buku keempat Laskar Pelangi reuni. Di masa kecil, jagoan Laskar Pelangi yang paling disegani ialah Lintang dan Mahar; setelah dewasa kedua orang itu kembali muncul sebagai penyelamat Ikal. Pandu Ganesa, seorang fanatik karya-karya Karl May dengan menarik menilai karakter Lintang dan Mahar sebagai representasi otak kiri dan kanan--yang diharapkan supaya seimbang. Ini dielaborasi dengan gegap-gempita oleh si penulis. Bedanya, bila di Laskar Pelangi Tuk Bayan Tula mengadali Mahar, kini sebaliknya. Mahar ganti mengerjai Tuk yang gagap teknologi. Petualangan di hutan dan laut kembali terjadi, dengan intensitas lebih serius. Bila dulu sepuluh anak bermain, berkelana, melakukan banyak kegiatan, menjelajah wilayah-wilayah berbahaya, merambah hutan dan nekat menjadi penyelamat, kini setelah dewasa yang benar-benar mengemuka hanya bertiga. Ini konsekuensi logis dari perjalanan waktu dan peristiwa, sebab orang dewasa punya agenda dan prioritas masing-masing. Perjalanan menguatkan karakter sekaligus mengeraskan trauma seseorang. Sengaja Mengundang Kontroversi? Kenangan merupakan salah satu subjek paling penting dalam tetralogi ini. Namun, kali ini Ikal bukan mengenang masa kecilnya, melainkan ketika dia dewasa. Dia mengulang kenangan bersama ayah, mengenang A Ling yang susah-payah ia coba gapai dengan berbagai cara namun masih gagal, termasuk kenangan-kenangan bersama Laskar Pelangi sebelum akhirnya masing-masing menjalani nasibnya. Misal Mahar. Di buku pertama, sebelas tahun setelah mereka berpisah kala SMP, Mahar masih menjadi pendakwah Islam di kawasan terpencil di sekitar pulau Belitong. Tapi kini Mahar sudah sepenuhnya jadi dukun dan mengaktifkan lagi Societeit de Limpai, sebuah organisasi paranormal. Bila dulu Societeit menyewa perahu untuk mengarungi samudera, kini Ikal bikin sendiri! Apa perubahan-perubahan itu mengurangi daya tarik novel
[zamanku] [HALAMAN GANJIL] Sederhana Seperti Apa?
[HALAMAN GANJIL] Sederhana Seperti Apa? -- --Anwar Holid Sederhana itu tricky. --Budi Warsito Ada dua buku yang secara khusus membicarakan sederhana. Pertama ialah The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) dan Simplify Your Working Life (Fergus O'Connell). Kedua orang itu menggunakan sederhana sebagai hukum, bahkan merupakan ajaran moral yang sepatutnya dipatuhi, karena dari sanalah hakikat masalah bisa dilihat. Ibaratnya, sederhana adalah atom, inti sesuatu--minus penemuan bahwa atom pun ternyata masih punya unsur lagi. Arvan Pradiansyah dengan tegas menyatakan bahwa sederhana ialah kemampuan menemukan inti masalah; sementara Fergus O'Connell--terutama dalam konteks kerja dan karir--menekankan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan untuk bekerja cerdas ialah orang harus menemukan cara kerja paling sederhana. Menurut Tujuh Hukum Bahagia Arvan, sederhana merupakan poin ketiga rahasia mencapai hidup bahagia. Penulis lain, Jack Foster dalam buku Ideaship juga mengamini pendirian seperti itu, baik dalam konteks karir maupun kepuasan pribadi. Di dunia seni, ada aliran kubisme dan abstrak ekspresionisme yang sangat menjunjung luhur-luhur makna sederhana. Bagi penganutnya, alam ini bisa diabstraksi menjadi garis, bujur sangkar, lingkaran, segi tiga, dan bentuk-bentuk dasar lain, sehingga itulah yang mereka geluti. Bila kita perhatikan dari lukisan Pablo Picasso atau Piet Mondrian, bentuk-bentuk dasar itu begitu dominan, meski setelah jadi, di tangan mereka lukisan itu menjadi sesuatu yang kompleks, harmonis, sekaligus kabur dan penuh luapan perasaan. Di dunia arsitektur (Ludwig Mies van der Rohe) dan sastra (Robert Browning) sama-sama punya adagium yang membuat mereka begitu terkemuka, yaitu: Less is more (sedikit itu lebih bagus.) Di ranah ekonomi juga begitu; E. F. Schumacher (1911 - 1977), pemikir ekonomi Inggris kelahiran Jerman, sangat sering dikutip pemikir ekonomi Indonesia karena menulis buku dengan judul sangat provokatif: Small is Beautiful (kecil itu indah.) Di dunia gerakan, filsafat, apalagi agama, begitu banyak orang yang mati-matian menekankan pentingnya sederhana. Perhatikan gerakan sederhana dan damai yang dilakukan Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mandela, Aung San Suu Kyi, juga Lech Walesa. Jangan lupa juga dengan tokoh bersahaja yang datang lebih dulu: Henry David Thoreau, Isa Al-Masih, Francis Assisi, dan lain-lain. Orang Muslim biasanya suka mengagung-agungkan kesederhanaan pahlawan mereka--antara lain Muhammd Saw, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomeini, dan sekarang Ahmed Dinejad--sebagai orang yang betul-betul sederhana. Sekarang, anggaplah kita beriktikad kuat mau melakukan hal serupa karena kita sudah lama terpesona oleh kesederhanaan. Apa yang seharusnya kita lakukan? Pertama-tama, mungkin kita langsung berpendapat bahwa sederhana berbeda dengan miskin. Baiklah, saya setuju. Semua orang yang paling kaya pun konon bisa sederhana--katakanlah seperti Warren Buffett. Boleh jadi pendapat kita tentang sederhana sebenarnya menunjukkan bahwa kita keberatan dengan hidup sederhana versi Isa Al-masih dan Gandhi. Kita ingin sederhana versi Buffett atau Bill Gates. Kita ingin sederhana yang kaya, bukan sederhana yang kere. Kita ingin meneladani sederhana yang mungkin lebih tepat dan kontekstual dengan dunia kini yang berkembang karena kapitalisme dan diikuti budaya konsumerisme. Jadi, silakan definisikan sederhana Anda masing-masing, biar nanti kita bisa melanjutkan diskusi. Saya sendiri masih sulit mendefinisikan dengan persis sederhana yang ideal. Meski saya beriktikad sederhana, toh saya gagal berhenti mengumpulkan banyak barang yang boleh jadi tak saya butuhkan. Saya punya masih puluhan kaset, CD, bahkan ribuan buku, belasan potong baju dan celana. Dari sisi itu saja, saya jelas tidak sederhana, alias berlebihan. Untuk apa saya punya puluhan kaset, bila sebenarnya saya tidak menyetel kaset itu tiap saat? Untuk apa saya punya belasan potong baju dan celana, padahal kita bisa cukup punya 2 potong baju dan celana? Yaitu satu dipakai dan satunya lagi jadi cadangan? Kenapa harus punya cadangan belasan potong? Dalam beberapa hal barangkali saya boleh dibilang sederhana. Misalnya, saya punya satu istri. Itu masih cukup. Kacamata saya juga cuma satu. HP saya satu, begitu juga dengan rumah, televisi, rapido, earphone, dan kulkas. Dulu saya punya cd player dan walkman; tapi sekarang sudah dijual. Dulu saya hanya punya satu flash disk; tapi akhirnya dihadiahi 2 flash disk oleh dua institusi, kini saya jadi punya tiga. Karena tidak punya mobil, motor dan ipod; bolehkah saya mengklaim diri saya sederhana? Mungkin Anda langsung protes, eits, tunggu dulu. Ternyata dengan contoh saya saja, sungguh sulit menyatakan dan melakoni hidup sederhana. Bila saya bersikeras mengatakan hidup sederhana dengan makan di warteg murahan, mungkin orang-orang akan tertawa sinis. Itu bukan sederhana, itu pelit dan cari penyakit
[zamanku] [Maryamah Karpov] Semangat Mewujudkan Mimpi dan Harapan
Semangat Mewujudkan Mimpi dan Harapan - --Anwar Holid Maryamah Karpov Penulis: Andrea Hirata Penerbit: Bentang, 2009 Halaman: 504 hal. ISBN: 978-979-1227-45-2 Mimpi dan harapan hanya berbeda sedikit saja. Bahkan pada satu titik, keduanya bertemu. Salah satu arti mimpi ialah sesuatu yang diharapkan, diidam-idamkan, atau begitu ambisius dinginkan oleh seseorang, biasanya sesuatu yang sulit dicapai atau dilepaskan dari keadaan sekarang. Ada satu peribahasa Filipina mengenai harapan, bunyinya seperti ini: keberanian merupakan buah dari harapan. Bahkan sebagian orang beranggapan hanya orang beranilah yang biasanya bisa mewujudkan harapan. Atau kalaupun gagal mendapatkan mimpi dan harapan itu, dia telah mencoba dengan gagah, ksatria, dan habis-habisan. Bila demikian, orang-orang pun tetap respek pada dirinya. Mereka berhenti melihat kegagalan orang bersangkutan, malah menoleh pada keberanian dan keteguhan dirinya. Itulah buah harapan, buah dari keyakinan orang dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.), pamungkas tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, memiliki subjudul Mimpi-mimpi Lintang. Sejumlah pembaca Maryamah Karpov, terutama yang begitu fanatik pada tiga novel sebelumnya, menilai subjudul tersebut sebenarnya lebih pantas menjadi judul utama dan justru dengan sangat tepat mewakili semangat novel bungsu itu. Sebab dengan mimpi dan harapan itulah Ikal beserta sejumlah tokoh lain dalam novel ini mengarungi kehidupan, mempertaruhkan keyakinan, berusaha mewujudkannya, satu demi satu. Wajar bila ada seseorang berkomentar, Semangat, keberanian bermimpi dan mewujudkan mimpi paling gila sekalipun merupakan inti novel ini. Memang ada banyak harapan dan mimpi dalam Maryamah Karpov. Harapan paling hebat yang muncul di awal-awal novel ini ialah harapan Ketua Karmun untuk memajukan masyarakat dan kampungnya. Caranya sederhana saja: dengan menerima seorang dokter gigi berpraktik di sana. Namun ternyata harapan itu tak semudah dugaannya. Masyarakat, terutama karena masih terhalang oleh berbagai anggapan sempit dan pandangan keliru, menolak usaha itu. Bahkan Ikal, yang kemudian diharap-harapkan jadi contoh karena nota bene sangat terdidik, karena trauma dan alasan tertentu, sulit memberi contoh betapa penting perubahan itu bagi kampungnya di masa depan. Ketua Karmun membujuk dengan berbagai cara untuk mewujudkan harapannya, tapi berkali-kali dia gagal. Harapan--yang juga merupakan tema utama Laskar Pelangi--dulu pernah diucapkan Andrea Hirata dalam wawancara dengan harian Pikiran Rakyat, sektiar 3 tahun lalu. Dia bilang, Agar orang jangan mudah berputus asa. Belajarlah dengan betul. Itu sebenarnya pesan utama saya. Klasik sebenarnya, tapi dengan bercontoh dari Laskar Pelangi, kesulitan apa pun terutama dalam masalah pendidikan, bisa diatasi. Buktinya, anggota Laskar Pelangi bisa survive. Pokoknya don't give up. Maka di ujung tetralogi ini, Andrea melanjutkan berbagai harapan; harapan Ikal bertemu A Ling, harapan Ketua Karmun meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, harapan Kalimut mengubah nasib dengan mau berisiko menyeberangi lautan menuju Singapura. Harapan dan drama yang dibawa dalam petualangan bersama Mimpi-mimpi Lintang. *** Harapan menghidupkan energi orang-orang, membuat mereka terus aktif, mencari banyak alternatif, pantang menyerah, mengalahkan berbagai energi negatif yang mencoba meruntuhkan moral. Meski mereka juga gelap atas apa yang bakal terjadi di masa depan, mereka enggan mundur, malah terus mencari peluang. Barangkali, dalam kasus ini, optimisme Ketua Karmun sungguh pantas di kedepankan. Dengan berbagai cara dia gagal membujuk Tancap bin Seliman agar beribat ke dokter gigi Budi Ardiaz, namun senantiasa gagal. Namun, di puncak kegagalan upaya yang juga persis di puncak rasa sakit gigi Tancap bin Seliman, Ketua Karmun akhirnya malah menunjukkan belas kasihan demi menolong rakyatnya yang kesakitan. Mimpi dan harapan itulah yang menjaga sejumlah tokoh dalam Maryamah Karpov berhasil mengatasi kesulitan. Meski bagi Ikal sendiri kisah itu berakhir pilu, toh dia sebelumnya sempat mengalami masa-masa madu. Mungkin inilah kekuatan sebuah novel yang ditingkahi dengan kejadian-kejadian hiperbolik, ironik, fantastik, dan humor. Pembaca dibuai oleh mimpi-mimpi yang awalnya menghanyutkan, lantas diseret oleh peristiwa dramatik, musykil, namun ujungnya ternyata menghempaskan harapan pembaca itu sendiri. Barangkali, itulah kekhasan sebuah novel yang disebut-sebut sejumlah orang istimewa berkat cara berceritanya luar biasa. Mimpi seperti apa yang malah membuat pemimpinya bersemangat dan bisa terus berharap? Itulah mimpi yang membuat pelakunya hidup. Kata sebuah pepatah, jika ingin mimpimu jadi kenyataan, jangan sampai kamu tidur. Kenapa? Karena dengan begitu orang tersebut akan berusaha dan mencari cara agar mimpinya terwujud, sebab untuk mewujudkan itu perlu dorongan, strategi
[zamanku] Kekuatan Tradisi Sastra Indonesia di Jawa Barat
Kekuatan Tradisi Sastra Indonesia di Jawa Barat --Oleh Anwar Holid Majelis Sastra Bandung mengadakan diskusi untuk menggali akar tradisi dan tonggak-tonggak sastra Indonesia yang terjadi di Jawa Barat. BANDUNG - Aku melangkah cepat-cepat begitu turun dari angkot di jalan Aceh, soalnya titik-titik hujan sebesar biji jagung sudah mulai berjatuhan, kuatir sampai di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) dalam keadaan basah kuyup. Untunglah aku menang, dan sampai di pintu gedung itu bertemu dengan Matdon (Rais 'Am Kyai Majelis sastra Bandung), sekalian salaman dengan Wawan Juanda dari Republik Entertainment. Di gedung itu sudah berdatangan sejumlah orang, terutama anak-anak ASAS dari UPI. Habis dari mana nih, pakai batik segala? kata seseorang. Aku memang mengenakan batik biru; sebuah baju aneh untuk datang ke acara sastra. Dengan baju ini, dulu banyak orang mengira aku adalah seorang PNS. Habis dari kondangan, jawabku tertawa. Aku disarankan mengenakan batik oleh penata kostum, yang aku turuti dengan senang hati karena itu membuat aku lebih rapi. Kadang-kadang, aku ingin sesekali malah pakai dasi dan lebih rapi lagi, seperti pernah aku lakukan dulu waktu kerja di M_. Tapi sekarang aku tak punya dasi. Entah ke mana dasi milikku dulu. Waktu memutuskan akan datang ke acara di hari Minggu, 25 januari 2009 ini, aku bingung dengan tema diskusi: menengok tradisi sastra di Jawa Barat. Tema ini penuh jebakan. Dalam kepalaku ada dua pertanyaan: tradisi sastra yang mana? Sastra Indonesia atau sastra Sunda. Apalagi yang bicara adalah Soni Farid Maulana dan Hawe Setiawan. Yang pertama terkenal sebagai penyair kawakan, yang kedua dikenal sebagai kritikus dan pegiat budaya Sunda. Benar juga, ketika memulai bicara, Hawe mengungkapkan kekhawatiran serupa. Untunglah, rupanya Majelis Sastra Bandung ingin membicarakan tradisi sastra Indonesia di Jawa Barat. Soni Farid Maulana membicarakan dinamika Bandung sebagai pusat puisi, penyair, dan gerakan puisi. Cakupan pembicaraannya nyaris khusus mencuplik tentang Bandung. Salah satu yang dia ungkap ialah fakta betapa sejumlah sastrawan yang tumbuh di Bandung akhirnya hijrah ke berbagai kota---terutama Jakarta--ketika ada tawaran atau kesempatan yang lebih menarik ada di sana. Sementara Hawe Setiawan melihat tradisi dari sudut pandang yang jauh lebih luas dan menyeluruh. Menurut Hawe, ada empat hal yang harus diperhatikan bila kita mau bicara soal tradisi, yaitu: 1/ Lokasi penulis, terutama dalam hal geografis; tradisi sastra di Jawa Barat tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan di kota-kota lain, baik itu Tasik, Cirebon, Garut, dan semua wilayah Jawa Barat. 2/ Genre; sastra ialah mencakup semua turunannya, bukan hanya puisi; ada prosa dan drama di sana. 3/ Bahasa; bukan hanya bahasa Indonesia yang aktif digunakan oleh penduduk Jawa Barat, melainkan juga bahasa ibunya, yaitu Sunda. Bahkan ada sebagian orang Sunda keturunan Cina yang menulis dalam bahasa Mandarin, aktif berkarya di media internasional, dan mendapat reputasi mengagumkan di sana. Hawe menyatakan, sejumlah sastrawan Jawa Barat menulis secara bilingual, tapi ada juga yang memilih bahasa Sunda. Atau ketika muda menulis dalam bahasa Indonesia, dan ketika memasuki masa tua menulis dalam bahasa Sunda. Tradisi ini telah berlangsung cukup lama. 4/ Tradisi itu sendiri, bahwa tradisi merupakan proses, semangat kolektif, memiliki sejarah yang panjang, didukung oleh politik, industri, dan media. Hawe menautkan kekuatan tradisi itu dengan Bandung sebagai kota yang industri kreatifnya sudah maju. Dia menyebut soal DIY (do it yourself), kerajinan, industri fashion clothing, musik, makanan, seni, dan kreatif lain. Tapi sastra, seperti apa? Yang paling menonjol dalam amatan keduanya ialah tradisi kreatif dalam komunitas, gerakan, dan perayaan yang sudah tumbuh, sementara industri belum. Lontaran pembicaraan ini membuatku bertanya: dengan persoalan bahasa dan potensi kreativitasnya, kenapa sastrawan Bandung gagal menjadikan sastra sebagai penopang hidupnya, kenapa para sastrawan gagal hidup layak dari kegiatan sastranya? Kenapa industri sastra tidak tumbuh di Bandung, agar para sastrawan bisa mendapat bagian keuntungan finansial yang pantas dari aktivitasnya. Kalau para seniman lain bisa hidup dari kegiatannya, kenapa sastrawan tidak? Hawe dan Soni sepakat bahwa persoalan finansial dan ekonomi, kaya-miskin, bukanlah bagian dari proses kreatif sastra. Aku juga sepakat soal ini, tapi itu membuatku miris. Mendadak aku ingat pernyataan Saut Situmorang: bahwa sastrawan yang hebat ialah sastrawan yang hanya peduli pada kualitas pencapaian sastranya, tak peduli tubuhnya hancur oleh apa pun. Diskusi berlangsung dalam guyuran hujan, dalam ruangan pengadilan dahulu Bung Karno dan kawan-kawan digugat oleh pemerintah kolonial Belanda. Penyelenggara acara ini, Majelis Sastra Bandung, didirikan oleh Matdon dan kawan-kawan di GIM, melontarkan slogan ruang sastra yang sebenarnya
[zamanku] Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia
Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia --Oleh Anwar Holid Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang tahun apresiasi-sas...@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan gugatan terhadap media cetak. JAKARTA - Acara ultah grup milis apresiasi-sas...@yahoogroups.com di PDS HB Jassin berlangsung meriah, akrab, banyak kejutan, menyenangkan, dan berbobot. Acara bertema Sastra Milik Siapa? itu berlangsung singkat-singkat, tapi berkesan. Yang paling mengesankan--dan berlangsung paling lama--boleh jadi diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra, bersama para pembicara yang telah lama bergelut dengan media tersebut, ialah Enda Nasution, Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, ditambah Hudan Hidayat, dimoderatori Agus Noor. Diskusi puncak itu penuh dengan gugatan, terutama dari Hudan dan Saut. Enda memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link yang memungkinkan setiap hal bertaut. Celetukan Agus Noor menarik dan sering bikin ketawa, membuat diskusi hidup dan setia pada jalur. Sementara uraian Nuruddin Asyhadie terlalu serius untuk forum yang sudah cair oleh acara sebelumnya; dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak. Uraiannya mirip dengan tulisan Eka Kurniawan beberapa bulan lalu, mengusung jargon code is poetry. Ajakan Saut Situmorang untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra Internet memang bersemangat dan berapi-api. Dia bilang, kalau mau menguatkan sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs jaringan sosial seperti milis dan Facebook. Gugatan Hudan Hidayat serius dan bikin telinga pendengar panas. Berkali-kali dia bilang, Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia. Termasuk di antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya. Hudan dan Saut secara terbuka menyatakan kecaman terhadap Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan Kesenian Jakarta. Pernyataan keras seperti ini memang butuh klarifikasi atau forum lebih khusus lagi. Bila aku perhatikan dari Internet, pertentangan mereka berlangsung terbuka, terutama terkait persoalan politik sastra. Penyair senior Suparwan G. Parikesit meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontrovesial. Mungkin perlu ada acara semacam Pengadilan Sastra untuk polemik yang justru berpotensi kontraproduktif (buruk) terhadap perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, publik sastra butuh orang berani, revolusioner, dan kuat seperti Saut. Aku dengar dia dijuluki the lone wolf sastra Indonesia atas sikap dan pendiriannya. Dalam beberapa hal, antara lain keberanian, kehadiran Saut memang bikin rusuh, menggemparkan. Hudan menyemangati peserta agar lebih tangguh berkarya, lebih kuat, biar mampu merebut masa depan sastra Indonesia. Dia menilai bahwa koran masih penting (terutama karena ada faktor kekuatan finansial di sana), tapi jelas memperlihatkan pemihakan kepada sastra Internet. Memang banyak yang mendukung sastra Internet, tapi ranah ini juga masih memiliki persoalan genting, misalnya tentang mutu/isi yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki, juga ada kesan bahwa Internet malah menghadirkan fenomena kesekilasan yang melunturkan kedalaman dan perenungan. Media massa cetak jelas masih memiliki keunggulan, namun sastra Internet juga punya faktor menentukan, misalnya interaktivitas, yang justru mampu melibatkan publik secara lebih intens. Apa persoalan terbesar sastra Internet ialah bahwa media ini masih gagal memenuhi kebutuhan finansial para sastrawan dan pegiatnya? Acara seperti ini melontarkan lagi pikiranku pada diskusi tradisi sastra Indonesia di Jawa Barat. Namun fakta menunjukkan bahwa media kini bukan merupakan persoalan. Makin banyak penulis mampu menulis baik di Internet dan media cetak. Persoalan kini lebih pada ekspresi, aktualitas, dan kedekatan pada media. Beranggotakan beberapa ribu orang, milis apresiasi-sas...@yahoogroups.com--dikenal dengan sebutan apsas--termasuk komunitas sastra Indonesia terbesar di Internet. Milis ini dimoderatori delapan orang, yang rata-rata tinggal di luar negeri. Salah satu moderatornya ialah Sigit Susanto, penulis dua jilid buku Menyusuri Lorng-Lorong Dunia, yang tinggal di Swiss. Sejumlah anggota milis ini telah menerbitkan buku, baik sendiri maupun bersama.[] Oleh Anwar Holid, bekerja sebagai
[zamanku] Kamu Berani, Tapi Agak Kelelahan
[HALAMAN GANJIL] Kamu Berani, Tapi Agak Kelelahan --Anwar Holid I have never let my schooling interfere with my education. --Mark Twain Kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. --Arvan Pradiansyah Sudah lebih dari setahun ini saya menjadi tentara bayaran untuk berbagai klien yang bisa menggunakan keahlian saya. Istilah keren untuk tentara bayaran ini antara lain tenaga outsource, pekerja freelance, atau ronin---mengambil istilah usang zaman lama Jepang. Klien--yang sebenarnya boss saya--memberi order dan order itu harus diselesaikan. Persis menjadi Leon dalam film The Professional. Sejujurnya saya sudah menatah moto Profesional, Disiplin, Tepat Waktu dalam diri dan pikiran saya; tapi silakan cek kepada para pelanggan saya, kalau mau, seberapa baik saya bekerja seperti itu. Untung tidak ada biaya atas segala wanprestasi saya itu, kecuali kredibilitas saya boleh jadi jadi berkarat di mata mereka. Bahkan ada kala saya mengembalikan order karena bingung cara menyelesaikannya, sebab akhirnya di sela-sela berbagai pekerjaan, saya tak punya waktu lagi untuk mengerjakan order itu. Order itu hanya teronggok di sudut kamar kerja saya; padahal waktu menerima saya merasa punya waktu untuk mengerjakannya. Akhirnya saya minta maaf karena gagal menyelesaikan hal itu. Ternyata menjadi tentara bayaran cukup sulit dan membutuhkan kesabaran tertentu. Saya sering bilang kepada teman yang berkomentar enaknya jadi tenaga outsourse, Ah, tantangan dan harapannya sama kok. Cuma kalau jadi karyawan tantangannya dengan perusahaan, sementara kalau kerja freelance tantangannya dengan keluarga dan persoalan pribadi. Ternyata kompromi dengan diri sendiri dan keluarga merupakan negosiasi panjang yang terus-menerus labil, dan boleh jadi karena itu, banyak orang putus asa bekerja freelance, dan balik kerja dalam perusahaan. Satu-dua orang mengira saya jadi boss atau jenderal karena seakan-akan menentukan sendiri masa depan saya; padahal harus saya bilang, para klienlah bos saya sekarang. Bedanya kalau dulu waktu kerja di perusahaan bos saya satu, sekarang bos saya banyak. Ini bukan untuk pertama kalinya saya kerja sendiri secara freelance; tapi rasanya kali ini merupakan rekor dalam hidup saya bisa bertahan tak balik ngantor, bahkan berniat lebih baik lagi bekerja sendiri. Dengan berbagai pertimbangan, kadang-kadang ada niat untuk mencari kantor baru, antara lain iming-iming gaji tetap, suasana produktif, bonus, fasilitas, dan sebagainya. Saya bahkan pernah dua kali melamar ke dua lembaga, tapi anehnya ditolak semua. Boleh jadi CV yang saya buat gagal membuat mereka takjub dan yakin. Salah satu hal menyebalkan ketika kita jadi freelance ialah bahwa kita tak akan pernah dapat THR atau bonus perusahaan. Kadang-kadang saya nyaris putus asa karena itu. Semua risiko dan keberhasilan dinikmati oleh pekerja yang bersangkutan. Jadi tahun 2008 ini untuk pertama kalinya saya tak mendapat THR dari perusahaan, selain sejumlah kebaikan sedekah dari teman, saudara, dan orangtua. Rasanya malah sungguh aneh. Menjadi tenaga outsource kerap dituduh berarti memiliki komitmen jangka pendek terhadap pekerjaan. Boleh jadi begitu. Tapi apa saya benar-benar berkomitmen pendek terhadap banyak hal? Bila dilihat dari para pelanggan---yang ternyata dari perusahaan maupun orang yang sama lagi---saya agak yakin bahwa saya punya komitmen jangka lama terhadap pekerjaan dan klien, dan semoga keyakinan saya cukup beralasan, bahwa kinerja saya cukup memuaskan, jika bukan karena mereka kasihan pada saya. Salah satu hal paling memuaskan dengan bekerja freelance ialah kita bisa memilih mana pekerjaan yang betul-betul kita inginkan dan mana yang bisa ditolak. Kebebasannya penuh. Saya juga bisa bekerja dengan pihak yang saya kagumi, saya anggap terbaik dan membanggakan. Nanti kita bisa menilai, apakah pekerja kantoran yang harus juga mau mengerjakan hal yang mereka benci, karena terpaksa diterima, merupakan sebuah kekurangan atau malah latihan kesabaran. /*/ Bekerja sendiri kerap membuat saya bertanya, apa yang sebenarnya saya pelajari selama ini. Apakah saya cukup baik merencanakan sejumlah hal, bertekad lebih baik, atau sekadar hidup dari proyek ke proyek, tanpa berusaha mengambil pelajaran tertentu dari sana. Perkara mengambil pelajaran ini menurut saya agak berat, karena setiap orang pasti punya pendapat, prioritas, dan skala sendiri, yang menentukan apakah hidupnya terasa bermakna atau sia-sia. Boleh jadi itu sekadar masalah sudut pandang; tapi siapa tahu ada nilai universal yang bisa dibagi di antara kita. Sebagian pekerja pergi tiap hari ke kantor sebagai rutinitas membosankan, tanpa gairah, atau sekadar memenuhi absensi biar di akhir atau awal bulan dapat gaji tetap. Tetapi sejumlah pekerja freelance pun, misalnya seniman, penulis, juga kadang-kadang merasa bosan dengan hidup mereka dan merasa lebih baik mati saja. Jadi soal mendapat makna
[zamanku] Meraih Kebahagiaan dengan Pikiran
Meraih Kebahagiaan dengan Pikiran --Oleh Anwar Holid Kebahagiaan itu seperti kupu-kupu. Semakin kita kejar, semakin dia berusaha terbang menghindar, kata Arvan Pradiansyah di tengah para penyimak yang memenuhi Function Hall Gramedia Matraman, pada Sabtu, 3 Januari 2009 lalu. Ketika memasuki toko buku itu, karya terbarunya The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.), didisplay secara khusus baik di bagian buku baru dan buku laris. Sementara poster covernya mencolok dalam neon box di beberapa pilar. Memasuki tahun 2009, penerbit Kaifa mengadakan talkshow mengajak masyarakat untuk melakukan resolusi tahun baru untuk hidup yang lebih bahagia, dengan Arvan Pradiansyah sebagai pembicara. Biasanya resolusi lebih ditujukan untuk meraih sukses maupun memenuhi target yang lebih besar lagi, kenapa kali ini malah untuk mendapatkan bahagia? Apa bahagia merupakan sesuatu yang amat sulit diraih hingga perlu resolusi untuk itu? Sebagai pembicara publik berpengalaman dan telah menyinggung subjek tersebut sejak lama dalam buku-buku terdahulunya, Arvan membicarakan tentang kebahagiaan dengan lancar. Bila dulu dalam buku-bukunya tema kebahagiaan merupakan salah satu bagian dari pembicaraan mengenai life management (manajemen kehidupan), kini tema tersebut menjadi fokus utama. The 7 Laws of Happiness termasuk utuh membicarakan tentang kebahagiaan beserta faktor yang mempengaruhinya, dengan pendekatan yang lebih mudah dibaca misalnya bila dibandingkan dengan The Authentic Happiness (Martin E. P. Seligman), yang jauh lebih serius dan teoretis. Kalau punya pikiran yang tenang, berpikir dan berkontemplasi dengan baik, biasanya kebahagiaan lebih mudah kita dapatkan, kata Managing Director Institute for Leadership Life Management (ILM) yang telah menerbitkan empat buku ini, masing-masing disertai penerimaan pasar yang memuaskan. ILM merupakan lembaga yang bergerak di bidang pelatihan dan konsultasi sumber daya manusia. Talkshow kemarin berlangsung akrab dan interaktif, bahkan Arvan sempat mengadakan simulasi bersama para peserta. Meski pendengar boleh langsung menanggapi bila mau berkomentar, dia berhasil mengusung semua poin dalam bukunya. Secara garis besar rahasia hidup yang bahagia itu tergambar pada cover, berupa rumah dengan tiga pilar intrapersonal (hubungan seseorang dengan dirinya sendiri), tiga unsur interpersonal (hubungan seseorang orang lain), dan sebuah unsur spiritual, berbentuk rasa berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan. Seperti disangka sebelumnya, kebahagiaan memang mudah dibicarakan, namun sulit dicapai, apalagi bila seseorang tengah kalut, dirundung malang, atau merasa hidup dan perbuatannya sia-sia. Di sinilah pendapat Arvan secara prinsip berbeda dengan pendapat umum. Dia yakin bahwa inti kebahagiaan ialah keberhasilan seseorang dalam memilih pikiran agar hidupnya bahagia. Pikiran memang abstrak, tapi memiliki alat yang lebih jelas, yaitu otak, kata dia kepada peserta yang bingung membedakan apakah kebahagiaan itu berada di dalam hati, pikiran, atau jiwa. Kebahagiaan itu bisa dikontrol, tegasnya. Begitu juga bila dikontraskan dengan penderitaan. Kebahagiaan itu seiring kedewasaan menerima penderitaan. Meski begitu kebahagiaan juga punya hukum yang tetap, misalnya ia punya syarat minimal. Sering karena perspektif yang terlalu sempit, orang jadi terlalu sukar meraih kebahagiaan. The 7 Laws of Happiness tampak cukup sukses meraih pembaca, terlihat dari antusiasme mereka mengikuti acara sampai akhir, silih berganti mengajukan komentar kritis, dan disambut dengan tangkas oleh Arvan. Dalam waktu dekat Kaifa akan mengadakan acara serupa di Bandung dan Surabaya.[] Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid Situs terkait: http://www.mizan.com http://www.ilm.co.id http://www.arvanpradiansyah.com (under construction) Kontak dengan Arvan Pradiansyah di Facebook.com
[zamanku] Sedikit Bantu-bantu Ultimus Pindahan
Sedikit Bantu-bantu Ultimus Pindahan --Anwar Holid Ultimus, toko buku independen yang banyak berkontribusi pada gerakan literasi di Bandung, pindah ke lokasi baru, di jalan Jakarta, persis di depan rumah tahanan Kebon Waru. Pada Minggu itu (14/12) saya ikut sedikit bantu-bantu bareng mereka. BANDUNG - Meskipun cukup terlambat datang, ternyata saya masih sempat bantu-bantu pindahan toko buku Ultimus dari daerah Lengkong Besar ke jalan Jakarta, Bandung. Waktu datang, saya lihat Bilven, sang manajer toko buku dan penerbitan ini, tengah terlelap kecapean sehabis kerja keras seharian. Di antara para pendirinya, kini hanya Bilven yang benar-benar total menangani semua operasional perusahaan. Hakim, pendiri lain, meski masih rutin ke Ultimus minimal sebulan sekali, saya dengar kini berkarir di perusahaan telekomunikasi seluler. Sang Denai, seorang penulis editor yang juga kerja di sana bilang bahwa packing sudah dilakukan beberapa hari lalu. Begitu tiba di sana, telah berkumpul puluhan anak muda lain yang juga sibuk membereskan ini-itu. Mereka sigap bergerak ke sana-sini, mengerahkan tenaga. Kaos mereka basah kuyup. Meski begitu, mereka mengerjakannya dengan santai, tertawa-tawa, dan heureuy. Jelas mereka tampak capek, tapi tetap semangat. Yang perempuan tengah sibuk menyiapkan makan siang. Mereka menggoreng, memasak, memotong, mengiris-iris bahan makanan. Seorang anak lelaki dengan banyak tato di tubuhnya juga penuh semangat menanak nasi menggunakan rice cooker. Di depan, sekelompok anak muda sibuk menumpuk segala barang ke depan, agar memudahkan disiapkan begitu pick up dan truk pengangkut datang. Waktu saya datang, pick up dan truk itu sudah dua kali bolak-balik mengangkut semua isi toko buku. Karena masih ngontrak, kepindahan niscaya terjadi pada toko buku yang aktif sejak lima tahun terakhir ini. Dalam empat tahun terakhir ini mereka buka di jalan Lengkong Besar, menempati bangunan yang cukup luas, sehingga berbagai acara dengan leluasa terselenggara di sana, mulai dari diskusi, peluncuran buku, berbagai workshop, pemutaran film, tak lupa konser musik, teater, juga festival penyair. Ultimus merupakan ruang publik yang cukup penting bagi sebagian anak muda Bandung. Sejumlah komunitas dan subkultur kerap menjadikan Ultimus sebagai ruang pertemuan, antara lain kelompok mahasiswa, penulis, underground, punk rock, dan kelompok alternatif lain. Waktu pindahan ini mencerminkan betul kepedulian mereka pada Ultimus. Mereka dengan semangat bantu-bantu mengangkat, menurunkan, dan membereskan barang yang harus dibawa. Solidaritas mereka patut diacungi jempol. Gotong royong itu sungguh mempercepat dan memudahkan proses perpindahan. Semua orang berpartisipasi, mengambil peran yang bisa mereka sumbangkan. Bahkan kawan mereka yang telah kerja di Jakarta menyempatkan dulu untuk ikut sibuk. Saya sendiri menganggap Ultimus merupakan salah satu nama besar yang ada di dalam hati. Saya kenal para pegiatnya sejak mereka siap berdiri. Meskipun orang luar, saya cukup intens berinteraksi dengan mereka. Saya bukan saja kerap menerima kebaikan dan keramahan mereka, atau juga menyeruput kopi Aroma di sana, melainkan juga mendapat wawasan, militansi, dan semangat di dunia literasi. Dari toko buku, mereka berkembang jadi penerbit, menyediakan fasilitas internet, dan perpustakaan. Saya mengamati perkembangan mereka, meminta pendapat, berharap bahwa bisnis mereka baik-baik dan terus berkembang. Mereka telah mengalami suka dan duka dalam dinamika kota Bandung. Sejumlah orang menanggap Ultimus merupakan rumah kesayangan mereka. Salah satunya dirasakan oleh Wida (Widzar Al-Ghifary), penyair yang kerap menggunakan nama Sireum Hideung, Saya telah menjadikan Ultimus sebagai rumah kedua. Saya tak pernah benar-benar meninggalkan Ultimus. Sejak lima tahun yang lalu, saya diam-diam menitipkan nama saya pada salah satu ruang kosong, mungkin di sela-sela buku, di rak-rak yang agak longgar, atau bahkan sekadar menitipkan gumam yang samar. Kesan serupa dirasakan Desiyanti Wirabrata, Buatku Ultimus sudah seperti rumah seorang kerabat dekat. Ultimus selalu jadi tempat pulang... Pulang ke kelapangan hati kawan-kawan. Setelah ujian banyaknya toko buku independen Bandung yang rontok 3-4 tahun lalu, Ultimus merupakan salah satu dari sedikit yang bertahan. Sejauh pengamatan saya, selain Ultimus, toko buku setipe yang masih bertahan dengan baik ialah Rumah Buku, Omuniuum, dan Tobucil--dengan dinamika dan positioning masing-masing. Rumah Buku misalnya, baru-baru ini mendapat julukan the coolest library in town dari Rolling Stone Indonesia. Lokasi baru Ultimus kini lebih kecil. Saya sedikit sangsi bagaimana mereka akan mengadakan berbagai program dan agenda yang sudah dijadwalkan. Alternatifnya ialah harus ekspansi ke tempat lain, seperti dulu waktu pertama kali berdiri. Mereka menggunakan banyak tempat lain yang tersedia di Bandung. Saya sempat tanya
[zamanku] [Maryamah Karpov] Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan
Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan --- --Oleh Anwar Holid Ada yang senang, terhibur, ikut terharu dan sedih, kocak, terbawa tegang, setelah baca Maryamah Karpov; tapi juga ada yang merasa janggal, bertanya-tanya, dan kecewa. Akankah ada spekulasi baru terhadap Laskar Pelangi? BANDUNG - Ternyata saya tak segesit banyak pembaca lain dalam menamatkan Maryamah Karpov. Memegang novel itu sejak akhir November, sampai sekarang saya baru membuka Mozaik 55 dari total 73. Ada saja halangan saya untuk segera menamatkannya. Entah sudah waktunya harus menyelesaikan makalah, segera menulis kolom, baca artikel, rencana baru, kalah oleh godaan ingin membalas posting teman, berkejaran dengan jadwal dan prioritas lain, atau energi dan waktu tersita oleh urusan keluarga, pribadi, dan teman-teman. Namun sekarang, saya berharap dalam sehari ini benar-benar bisa tuntas memuaskan kepenasaran terhadap petualangan cerita Ikal tersebut. Ada saja kejadian yang bikin senyum saya mengembang selama pegang-pegang novel setebal 504 halaman itu. Di antaranya, waktu antri di bank, seorang anak SD, bersama ibunya, sampai meneleng-nelengkan wajahnya mengintip apa yang tengah saya baca. Begitu mata kami berpapasan, saya tanya, Tahu Laskar Pelangi? Dia mengangguk. Sudah baca? Dia tersenyum. Lihat filmnya juga? Bibirnya mengembang. Lantas dia menepuk-nepuk tangan ibunya. Mah, mah, itu lanjutan Laskar Pelangi, katanya. Ibunya lantas ikut memperhatikan buku yang ada di tangan saya. Dia mengangguk tanda memberi salam. Mau lihat? saya menyodorkan buku ke anak itu. Dia ragu-ragu menerimanya. Ini jilid terakhirnya, kata saya. Kapan terbitnya? sela si ibu, sambil buru-buru menambahkan, dia sudah lama menunggu sejak tamat buku ketiganya. Hebat, puji saya. Ini baru terbit akhir November tadi. Saya baru setengahnya baca. Saya tenteng-tenteng novel itu setiap kali pergi, biar siap membacanya kapan saja, termasuk di dalam angkot. Pernah begitu duduk saya siap menarik novel bersampul violinis wanita itu, di ujung sudut angkot telah duduk dengan manis seorang gadis tengah tenggelam menekuri Maryamah Karpov. Daya perkirakan dia masih sampai puluhan halaman, tangan kirinya baru memegang sedikit bagian buku. Dia tak peduli dengan penumpang lain yang tengah ribut membicarakan seorang dosen yang menurut mereka genit karena suka berusaha merayu. Si gadis pembaca Maryamah itu terus terpekur membuka satu per satu halaman perlahan-lahan, saya memperhatikan dia dari kaca spion. Ternyata perjalanan dia jauh, sepanjang waktu itu wajahnya hanya menatap buku, dan tangannya membuka halaman. Sampai akhirnya saya turun duluan. Saya takjub betapa ada buku yang begitu bisa memaku pembaca. Itulah ciri page-turner--buku mengasyikkan, dengan plot yang sulit ditinggalkan. Di lain waktu, dengan kawan seorang penulis dan editor, kami membicarakan berbagai aspek dalam Laskar Pelangi, intrinsik dan ekstrinsik, termasuk berbagai berita yang berseliweran di sekitar Andrea Hirata. Lepas dari berbagai kritik yang mengepung novel itu, dan kritik itu pun saya amini, posisi saya ialah menyelamati keberhasilan karya tersebut, baik dari sisi kekhasan cara bercerita, tema, dan kesuksesan memenangi selera massa. Bila ada ratusan ribu pembaca berbondong-bondong melahap karya itu, tentu ada sesuatu yang bisa diambil dari sana, baik rasa bahagia, sedih, haru, humor, dan setia kawan. Sambil terus mencicil, saya memperhatikan sejumlah komentar pembaca yang telah menamatkannya. Sebagian merasa puas, terhibur, memuji, bertanya-tanya, dan ada juga yang kecewa---benar-benar kecewa (menggunakan gaya ungkap khas Andrea Hirata.) Bagaimana merespons beragam reaksi pembaca setelah baca Maryamah Karpov karya Andrea Hirata kali ini? Tentu kurang elok bila kita terus-terusan mengedepankan euforia pembaca terhadap suatu karya tanpa mengindahkan respons negatif terhadapnya. Pembaca punya hak terhadap buku yang dia baca, bahkan mereka bisa dengan jujur bebas mengungkapkan komentar itu dengan berbagai cara. Pembaca merupakan massa anonim, mereka bisa berkomentar apa saja terhadap karya yang mereka baca. Beragam respons ini mengingatkan saya pada Adenita, penulis 9 Matahari, yang karyanya juga dikomentari beragam oleh sejumlah orang. Beragam apresiasi itu mirip ruang yang punya banyak sudut. Sah-sah saja menilai buku ini dari sudut pandang masing-masing, karena ini memang hak pembaca. Salah satu reaksi paling menuntut dari pembaca ialah kenapa novel tersebut berjudul Maryamah Karpov. Pilihan itu mengingatkan saya pada sejumlah judul album atau lagu musisi Barat yang kerap lain sama sekali dengan isi album, bukan pula merupakan petikan lirik dan tak mewadahi isi keseluruhan cerita. Karena pilihan judul itu terasa begitu misterius, sebagian pembaca mengira-ngira kemungkinan akan ada rencana di masa depan terhadap Maryamah Karpov. Penyair Nirwan Dewanto melakukan hal serupa terhadap buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, yang
[zamanku] Maryamah Karpov, Pamungkas Tetralogi Laskar Pelangi
Maryamah Karpov, Pamungkas Tetralogi Laskar Pelangi --- --Oleh Anwar Holid Bentang Pustaka meluncurkan Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dalam suasana amat meriah. JAKARTA - Andrea Hirata memang fenomenal ya? kata Aendra H. Medita keras-keras di dekat telinga saya, berusaha mengalahkan riuh suara ratusan orang yang memadati halaman dalam MP Bookpoint. Kok kamu ada di sini? tanya saya. Memang nggak boleh? tawa dia. Rupanya dia juga akan bertemu dengan Iman Soleh, aktor monolog yang malam itu didaulat membawakan puisi legendaris Jante Arkidam secara dramatik dan menukil mozaik dari novel terbaru Andrea Hirata. Tadi siang saya melihat novel itu sedang dipasang besar-besaran di satu ruang MP Bookpoint. Baru datang tadi pagi mas, ujar seorang karyawan sambil beres-beres. Ruang itu langsung penuh hanya oleh Maryamah Karpov ditambah tiga novel Andrea yang lain. Buku lain disingkirkan. Hari itu, Jumat, 28/11/08, adalah hari tetralogi Laskar Pelangi. Meski hari pertama perjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, saya dengar dari Gangsar Sukrisno, CEO Bentang Pustaka, bahwa di toko buku Gramedia Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Bentang menyediakan 100 ribu kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan pertama di Indonesia. Saya bertemu dengan Andrea Hirata di kantor Bentang, hanya beberapa rumah dari MP Bookpoint. Dia sudah tiba di Jakarta sehari sebelumnya, sekalian nonton konser jazz dengan keponakan-keponakannya, ditemani EO dan kuasa hukumnya. Saya baru saja menerima satu kopi novel itu dari Gangsar, dengan ucapan, Kamu harus resensi buku ini ya. Di meja itu sudah menumpuk lebih dari 100 kopi Maryamah Karpov untuk ditandatangani. Itu buku pesanan. Tangan Andrea terus sibuk menulis nama satu per satu. Beberapa saat kemudian wartawan Koran Tempo mewawancarai. Wawancara ini cukup intens karena belum ada media lain yang datang. Andrea menyatakan tekad untuk sementara berhenti dari dunia perbukuan. Untuk sementara, tetralogi ini cukup, katanya. Dia ingin menyepi dan merenungi lagi perjalanan karirnya sebagai penulis, pertemuan mengesankan dengan John Berendt, keinginan menggali lebih serius genre yang disebut pihak Bentang sebagai cultural literary nonfiction. Juga upaya menghasilkan buku sekelas karya Truman Capote atau Amin Maalouf. Dalam batas tertentu, menulis butuh perenungan. Saya punya kapasitas nggak sih? Saya mau menulis dengan benar. Apabila nggak mutu, jangan menulis, ucapnya tegas. Sang wartawan berkali-kali berusaha meyakinkan apa benar Andrea mau mundur dari dunia yang telah memberikan hal mengejutkan pada dirinya. Tetralogi Laskar Pelangi adalah hip. Anak berusia 7 tahun hingga orang berumur 70 tahun membaca novel-novel itu. Ada anak SD yang terobsesi ingin bertemu dengan Andrea setelah membaca ketiga novelnya kala terbaring sakit. Maryamah Karpov, buku ke-4 seri itu, sudah ditunggu sejak dua tahun lalu, baru resmi diumumkan penerbitannya pada September lalu, ketika Mizan mengadakan ulang tahun ke-25, persis menjelang premiere film Laskar Pelangi. Andrea sendiri terus-terus menjadi pemberitaan, termasuk muncul kontroversi pernikahannya pada awal November ini. Andrea mengaku berdarah-darah menyelesaikan novel ke-4 ini. Meski bila digabung waktu penulisannya hanya sekitar satu bulan, jeda di antaranya cukup lama. Dalam beberapa hal, intensitas penulisan Maryamah Karpov mirip Laskar Pelangi, kata dia. Saya juga ingin novel ini mendapat tanggapan seperti pembaca menanggapi Laskar Pelangi. Saya seperti menulis Laskar Pelangi jilid dua. Malam itu, Andrea mendapatkan yang diharapkannya. Ratusan orang hadir di MP Bookpoint sampai membuat tempat itu sesak buat bergerak sedikitpun. Mereka menunggu sejak sore, berjubel di setiap pojok. Mereka riang menyambut ajakan menyanyi Bunga Seroja dan Englishman in New York. Mereka terkesima oleh penampilan Iman Soleh yang lucu, teatrikal dan menggelegar. Mereka terus bersorak-sorai sampai akhirnya Andrea Hirata datang dalam kawalan polisi. Apalagi Giring Nidji dan sejumlah pendukung film Laskar Pelangi ternyata mau beramai-ramai menyanyikan theme song itu. Massa, terutama wartawan, tambah heboh begitu ada pernyataan pers tentang status perkawinannya. Sebagian bertanya dengan teriakan. Untung dia segera diselamatkan oleh acara tanda tangan, yang berlangsung sangat padat. Baru kira-kira pukul 10 malam acara itu selesai. Saya melihat display Maryamah Karpov sudah lenyap di ruangan MP Bookpoint, hanya tersisa yang ada di dinding-dinding kacanya. Putut Widjanarko, VP Operations Mizan Publika yang saya tahu rakus membaca, sulit menyembuyikan pujian pada Maryamah Karpov. Dia telah melahap buku itu sejak awal
[zamanku] Empat Buku Tari Irawati
Empat Buku Tari Irawati ---Anwar Holid Salah satu keuntungan paling langka menjadi editor ialah ia berkesempatan mendapat manfaat dari teks yang disianginya. Ia bisa berjumpa dengan khazanah ilmu yang kadang-kadang awalnya begitu asing dan terasa jauh, sampai akhirnya dekat dan akrab, karena mendapat ilmu itu langsung dari ahlinya. Boleh jadi itulah kesempatan istimewa editor dibandingkan profesi lain: ia berkesempatan menelisik berbagai khazanah ilmu sambil mengurus teks tersebut agar lebih hidup dan mempesona. Ranah baru yang saya gumuli baru-baru ini ialah tari klasik Sunda, karena saya menyunting naskah biografi seorang tokoh tari Sunda, Irawati Durban Ardjo. Dari mana mengukur bahwa dia benar-benar seorang tokoh? Keseriusan, konsistensi, loyalitas pengabdian, kiprah, sumbangsih, termasuk reputasi, merupakan alasan kuat yang membuat sejumlah orang sepakat menyatakan bahwa beliau memang tokoh tari Sunda. Lebih istimewa lagi, Irawati telah menulis empat buku tentang dasar-dasar gerakan, sejarah, perkembangan, dan bunga rampai jenis tari di Jawa Barat. Kira-kira pada paro terakhir 2007, seorang teman memberi tahu bahwa Irawati butuh editor untuk naskah biografinya yang ditulis oleh Ahda Imran dan Miftahul Malik---waktu itu penulisannya belum selesai. Teman saya ingin juga jadi editor naskah itu, tapi kesibukan dan jarak membuat dia menawari agar saya mengambil peluang tersebut. Melamarlah saya, dan akhirnya diterima. Sejak itu perlahan-lahan saya mengetahui reputasi beliau, bukan hanya sebagai penari, melainkan juga pegiat tari Sunda yang lengkap. Di kalangan pecinta seni, Irawati terkemuka lantaran menjadi penari Istana Negara sejak 1959 (zaman Presiden Soekarno) hingga terakhir tampil pada 2006 saat Presiden Amerika Serikat George Bush, Jr. berkunjung ke Indonesia, dijamu di Istana Bogor, meski kehadirannya ditentang besar-besaran oleh sebagian kalangan. Ketika kelas 1 SD, suatu hari Ira memperhatikan kakaknya yang diajari menari oleh kakak ipar untuk persiapan pesta kenaikan kelas. Setelah sebentar memperhatikan, segera ia mampu menirukan gerakan mereka. Bakat tari itu diasah dan ditumbuhkan di BKI (Badan Kesenian Indonesia). Meski mula-mula dilarang ibunya karena waktu itu citra perempuan penari Sunda ialah ronggeng penghibur para menak, kemampuan dan kegigihan Ira mendapat perhatian dan dukungan yang begitu besar dari dua guru utamanya, yaitu Tb. Oemay Martakusuma, Rd. Tjetje Somantri. Disiplin BKI mengantarkannya berkali-kali menjadi duta kesenian Indonesia sejak remaja, memperkenalkan tari dan kesenian Indonesia. Sejak itu Ira tahu bahwa dirinya menyatu dengan tari Sunda, meski dia pun banyak menguasai tari jenis lain. Kenyataannya, biar memiliki sejumlah kemampuan dan ketertarikan, misalnya sebagai desainer interior dan melukis---ia sarjana dari Jurusan Seni Rupa ITB---Ira kembali lagi dan lagi ke tari Sunda, seni yang sejak kecil membesarkannya, memungkinkan ia meraih banyak pengalaman berharga. Seiring kedewasaan, Ira pun terlibat dalam segala urusan tari. Selain menari, dia menjadi pelatih, memproduksi, mendirikan sanggar, merancang kostum, sampai mencari sponsor pertunjukan. Sebagai ahli tari, ia meneliti dan mendokumentasi khazanah literaturnya yang langka. Muaranya ialah ketika ia menjadi pengajar di Kori, hingga lembaga ini kini menjadi STSI, sampai ia pensiun. Menulis buku tari Sunda awalnya pun demi pengabdian dan keperluan pengajaran. Selama menyusun dan mengumpulkan data, betapa nelangsa ia mendapati fakta bahwa dokumentasi tentang riwayat guru-gurunya, BKI dan Rinenggasari (lembaga yang paling awal membentuk etos dirinya sebagai penari), dan yang paling vital catatan koreografi, tak tersisa satu pun di bekas sekretariat. Semua arsip lenyap. Terpaksa Ira menuliskan lagi, melacaknya baik dari ingatannya dan para senior. Yang paling sulit ialah mencatat lagi tari kurang populer yang jarang dipentaskan. Ingatan dan penafsiran Ira memainkan peran penting untuk merekonstruksi kembali. Tangan Ira tak hanya meliuk di antara selendang dan bergerak sesuai musik. Tangan itu pun cekatan menghasilkan buku. Telah empat buku ia lahirkan, yaitu Tari Sunda 1880-1990, Melacak Jejak Tb. Oemay Martakusuma dan Rd. Tjetje Somantri (1998, rev. 2007); Buku Kawit, Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, dilengkapi VCD dan kaset tari (2004); Tari Sunda 1940-1965, Rd. Tjetje Somantri dan Kiprah BKI (2008); dan Album Semarak Tari di Tatar Sunda (2008). Buku terakhirnya, berisi khazanah tari Jawa Barat, penuh ilustrasi dan warna, dirancang kronologik dari awal abad ke-20 hingga tahun 2000-an. Ira sedang mengupayakan buku itu terbit sesuai gagasan dan visinya. Karena berwarna dan penuh detail desain grafis, ongkos produksinya jelas mahal. Saya sedang mencari sponsor untuk buku ini. Kalau tidak ya diterbitkan sendiri, tegasnya. Sebuah penerbit besar pernah ia dekati, tapi gagal, karena menurut Ira opsinya terlalu berat, yaitu ia harus menanggung
[zamanku] Buku yang Menolong Pembaca Menemukan Lentera Jiwa
Buku yang Menolong Pembaca Menemukan Lentera Jiwa - ---Oleh Anwar Holid Talkshow The 7 Laws of Happiness di Tiga Radio dan JakTv. JAKARTA - Setelah terbit pada akhir September lalu dan dibicarakan di beberapa event, The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) karya Arvan Pradiansyah mulai mendapat respons dari berbagai pihak, terutama media massa, lembaga dan perusahaan. Arvan mengaku pihaknya sedang menjadwalkan kemungkinan mengadakan talkshow di beberapa toko buku besar di Jakarta, seperti Gramedia Matraman, Pondok Indah, dan Mal Taman Anggrek. Pada Jumat, 24 Oktober 2008 lalu buku tersebut didiskusikan di MP Book Point, dan menurut rencana akan disiarkan JakTv pada Minggu, 16 November 2008, pukul 09.00. Pengalaman saya dengan tiga buku sebelumnya menunjukkan bahwa talkshow di toko buku itu bisa membuat toko memesan buku dalam jumlah cukup banyak dan mendisplay di tempat strategis, kata Arvan. The 7 Laws of Happiness merupakan buku keempat Arvan, namun merupakan buku pertama yang diterbitkan Kaifa, imprint Kelompok Mizan. Kaifa memang mengkhususkan pada buku manajemen, bisnis, self-help, dan motivasi. Tiga buku dia sebelumnya, yaitu You Are Leader!, Life is Beautiful, dan Cherish Every Moment semua merupakan rangkaian bestseller. Selain terpilih sebagai Buku Nonfiksi Terbaik 2008 versi Koran Tempo, Cherish Every Moment kini bisa diakses lewat Amazon.com, yang kriteria terpilihnya cukup berat. Menggunakan cara ungkap lugas disertai daya persuasi yang sudah khas, secara panjang lebar Arvan membahas kebahagiaan, membantu orang cara membantu dan melatih orang memilih pikiran serta tindakan yang membuat hidup bahagia. Andy F. Noya, host acara Kick Andy, mengomentari buku itu: Orang yang berbahagia adalah mereka yang sudah menemukan lentera jiwa mereka. The 7 Laws of Happiness menuntun Anda menemukan lentera itu. Sebagai ahli sumber daya manusia dan akrab dengan dunia media, Arvan juga dikenal sebagai pembicara publik. Dia menjadi host acara Lite is Beautiful di radio Lite FM; para pendengarnya kerap menyebut Arvan sebagai Personal Inspirator. Untuk buku terbarunya, pada November ini tiga radio akan menyiarkan talkshow bukunya, yaitu: * Selasa, 11 November 2008, pukul 07.00 - 08.00 di RADIO BAHANA * Minggu, 16 November 2008, pukul 15.00 - 16.00 di PRO RESENSI, RRI PRO 2 FM * Selasa, 25 November 2008, pukul 19.00 - 20.00 di SMART FM Hernadi Tanzil, pembaca yang telah menamatkan buku tersebut, menyatakan, The 7 Laws of Happiness merupakan pelatihan pikiran sistematis dan metode untuk menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif, dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Buku ini melatih menyaring dan memilih pikiran positif, membuang pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran yang sehat dan bergizi. Bila dua buku pertama Arvan bertema umum mengenai kepemimpinan (leadership), dua buku terakhirnya lebih banyak membicarakan life management (manajemen kehidupan.)[] 10/11/08 Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid Informasi lebih banyak di: http://www.ilm.co.id http://www.mizan.com
[zamanku] PANDUAN MERAIH KEBAHAGIAAN (Resensi The 7 Laws of Happiness)
PANDUAN MERAIH KEBAHAGIAAN -- ---Rini Nurul Badariah The 7 Laws of Happiness, Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia Penulis: Arvan Pradiansyah Penerbit: Kaifa Jumlah halaman: 428 halaman Genre: non fiksi, psikologi, motivasi Menikmati proses sebenarnya adalah esensi dan hakikat kehidupan itu sendiri (hal.169) Kebahagiaan adalah tujuan hidup, namun formatnya teramat relatif. Ada yang meletakkan kebahagiaan pada masa depan (sehingga saat sekarang menjadi penuh keluh-kesah), pada kedudukan dan jabatan, pada kemilau harta benda, serta berbagai unsur yang bersifat materiil lainnya. Betapa beragam penafsiran manusia terhadap apa yang disebut berbahagia. Arvan Pradiansyah mengangkat ke permukaan aneka persoalan yang kerap mengukir keseharian kita sehingga sulit menggenggam kebahagiaan. Tujuh prinsip dasar yang dikemukakannya untuk mewujudkan hal itu adalah Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving (Memaafkan), dan Surrender (Pasrah). Intinya kebahagiaan baru dapat direguk jika kita berrelasi dengan individu lain dan tentunya Yang Maha Tinggi, bukan berfokus pada diri sendiri dari waktu ke waktu. Ketebalan halamannya yang acap kali ‘mengerikan’ bagi kebanyakan pembaca buku di masyarakat kita ditepiskan dengan berbagai pernik seperti kutipan-kutipan, ilustrasi yang menyegarkan penglihatan, dan pemilihan font yang ukurannya bersahabat dengan mata. Kadang-kadang penulis bertutur seperti tengah berdialog langsung dengan pembaca, menggiring pembaca untuk bermonolog batin dan menjenguk jauh ke dalam batinnya sendiri. Karena urusan kebahagiaan adalah perkara yang terus dipertanyakan dan dikejar, padahal sebenarnya kita telah mengetahui caranya namun kerap keliru menerapkan. Arvan Pradiansyah juga menyajikan sejumlah teknik dan contoh, untuk mendukung penjelasannya. Semua aspek diuraikan serinci mungkin, misalnya menyangkut kesabaran. Menurut penulis, sabar bukan berarti mengurut dada. Sabar menuntut kita untuk melakukan satu hal pada satu waktu. Di samping itu, sabar adalah kata kerja aktif dan merupakan perjalanan awal. Buku ini dapat dikonsumsi oleh siapa saja, untuk mengungkap hal-hal sederhana guna meraih kehidupan yang bahagia. Seperti kata Confucius di hal. 235, Hidup ini betul-betul sederhana, tetapi kita senantiasa membuatnya rumit. Rini Nurul Badariah, penulis, blogger di http://rinurbad.multiply.com Resensi ini pertama kali dipublikasi Batam Pos, Minggu, 26 Oktober 2008. Anwar Holid, penulis penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku. Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana: http://www.goethe.de/forum-buku http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319 http://www.rukukineruku.com http://ultimusbandung.info http://www.gramedia.com http://www.mizan.com http://halamanganjil.blogspot.com Come away with me and I will write you ---© Norah Jones
[zamanku] Kunci kebahagiaan itu ada dalam pikiran, Kata Arvan Pradiansyah
Kunci kebahagiaan itu ada dalam pikiran, Kata Arvan Pradiansyah - Di buku terbarunya, Arvan Pradiansyah membicarakan prinsip meraih kebahagiaan. JAKARTA - Buku tentang cara meraih kesuksesan sudah banyak, tapi buku tentang mencapai kebahagiaan masih sedikit; padahal banyak orang yang sukses ternyata tidak bahagia, demikian kata Arvan Pradiansyah di awal talkshow The 7 Laws of Happiness yang diadakan di MP Book Point, Jumat, 24 Oktober 2008. Talkshow dipandu oleh Mutia Shahab dan acara tersebut akan ditayangkan Jak TV. The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) sudah berada di rak-rak toko buku sejak awal Oktober. Pada 27 September 2008 lalu, buku tersebut pertama kali didiskusikan lewat teleconference di Islamic Center, Kompleks Graha Hijau 2 dan Masjid Villa Cendana. Sejak terbit, sejumlah orang telah mengomentari buku keempat Arvan tersebut, di antaranya ialah Hernowo, penulis Mengikat Makna yang terkemuka sebagai ahli kepenulisan dan editor senior. Hernowo menyatakan: Buku terbaru Arvan ini memiliki ragam-bahasa-tulis yang indah-menenteramkan. Kita akan setuju dengan apa yang dikatakannya: Jadi, kunci kemenangan sebenarnya ada di dalam pikiran kita dan sangat bergantung pada pikiran yang kita pilih. Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa diliputi rasa bahagia. Di Facebook, situs jaringan sosial, Sari Meutia menulis: Saya baru mulai membaca buku The 7 Laws of Happiness, dan saya mulai dari bab Gratefulness dan Patience karena saya rasa bersyukur dan sabar ini sesuatu yang mudah kita ucapkan, tapi sulit sekali dilaksanakan. Terima kasih atas pencerahan yang saya dapatkan dari buku bapak. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca karena urutan penulisannya, pemuatan kutipan yang sangat mencerahkan, dan fontnya yang menyenangkan untuk dibaca, bahkan untuk orang-orang berusia lanjut. Sementara itu Mirza Dewi Yanti berkomentar: Saya sudah baca buku The 7 Laws of Happiness. Saya beruntung membacanya karena isi di buku ini adalah rangkuman dari kepingan-kepingan temuan saya dari beberapa pendapat orang-orang yang saya hormati. Arvan Pradiansyah dikenal sebagai fasilitator pengembangan SDM, pembicara publik, host talk show, dan kolumnis. Dia menggunakan latar belakang keahliannya di bidang SDM untuk menghasilkan kolom dan buku-buku inspirasional, dengan rentang subjek mulai dari kepemimpinan, manajeman, profesionalisme, sampai manajemen kehidupan. Tiga buku pertamanya terserap pasar dengan baik dan semua sudah cetak ulang, bahkan Cherish Every Moment (2007) kini bisa diakses melalui Amazon.com. Di kalangan pendengarnya, Arvan kerap dijuluki sebagai Your personal inspirator. Di talkshow tersebut Arvan menyatakan bahwa dia berniat menebarkan tujuh vitamin kehidupan yang bahagia ke dalam pikiran pembaca. Kunci kebahagiaan ada dalam pikiran. Pikiran orang yang bahagia akan menghasilkan kebaikan. Dia menyarankan agar orang lebih banyak mengonsumsi makanan positif masuk dalam pikiran, karena studi membuktikan kebanyakan orang justru sakit psikis (jiwa) karena pikirannya terganggu. Orang yang berpikir positif cenderung mampu melakukan hal-hal yang terbaik dalam kehidupannya. Pendapat ini sejalan dengan studi psikologi positif yang dikembangkan Martin E.P. Seligman, terutama dalam buku Authentic Happiness (2002). Pada akhir tahun itu pula Arvan menyatakan bahwa ide tentang The 7 Laws of Happiness sudah muncul. Dia mengembangkan konsep itu pada 2004; namun kesibukan yang begitu padat, termasuk kehilangan data naskah di hard disk, membuat buku ini baru selesai pada pertengahan 2008. Fondasi kebahagiaan itu sabar, tegas dia, sambil mengoreksi bahwa sabar di sini bukan mengelus dada, melainkan terus mencari jalan lain agar berhasil menyatukan pikiran, badan, dan jiwa dalam satu tindakan. Setelah sabar, ada enam lagi hukum kebahagiaan, yang puncaknya ialah surrender, yakni berserah diri (pasrah) kepada Tuhan. Begitu talkshow selesai, Arvan dikerubungi para pendengar yang ingin lebih lanjut membicarakan pemikirannya. Sebagian pengunjung membeli The 7 Laws of Happiness dan meminta tanda tangannya. Buku ini untuk kado saudara saya yang akan menikah, kata seorang perempuan yang sekaligus membeli dua kopi buku tersebut.[] Oleh Anwar Holid Copyright © 2008 BUKU INCARAN Situs terkait: http://www.ilm.co.id http://www.mizan.com http://halamanganjil.blogspot.com
[zamanku] Wawancara JakTV tentang The 7 Laws of Happiness
Wawancara JakTV tentang The 7 Laws of Happiness --- JAKARTA - Setelah shooting talkshow The 7 Laws of Happiness karya Arvan Pradiansyah (Kaifa, 2008) di MP Book Point pada Jumat, 24 Oktober selesai, para peserta merubungi sang narasumber. Mereka melanjutkan pembicaraan berbagai hal terkait isi buku barunya itu, karena acara tanya jawab dengan peserta hanya berlangsung singkat. Arvan menanggapi obrolan itu dengan antusias. Sementara itu Budhyastuti, editor buku tersebut, saya lihat diwawancarai kru JakTV. Selintas, saya dengar mereka membicarakan produk-produk Kaifa. Saya sendiri juga lebih perhatian pada obrolan para peserta dengan Arvan. Tiba-tiba, setelah wawancara dengan Budhyastuti selesai, seorang kru tv bertanya, Mas Anwar Holid ya? Iya, jawab saya. Boleh wawancara sebentar tentang diskusi barusan mas? Boleh, boleh, kata saya sambil tersenyum agak terkejut. Di sini ya? kata kru tersebut, mengarahkan saya beranjak di samping sofa tempat Arvan barusan ngobrol dengan Mutia Shahab, sang pembawa acara. Setelah siap-siap sebentar, saya ditanyai oleh reporter. Kira-kira isinya seperti ini, karena saya hanya mengandalkan ingatan. * Sudah baca The 7 Laws of Happiness mas? Sudah. Saya sudah baca-baca buku itu. * Apa komentar Anda terhadap buku itu? Apa isi bukunya menarik? Ya, menarik. Seperti mas Arvan bilang tadi waktu diskusi, buku itu berusaha menyebarkan ajakan agar orang bersikap positif agar bisa menjalani hidup dengan bahagia. * Buku mas Arvan yang pertama kali Anda baca judulnya apa? Sudah berapa yang Anda baca? Saya pertama kali baca buku mas Arvan yang berjudul Cherish Every Moment. Tapi setelah itu semua buku karya dia sudah saya baca. * Apa beda The 7 Laws of Happiness dengan buku-buku dia sebelumnya? Tiga buku pertama mas Arvan merupakan kumpulan tulisan yang diolah menjadi gagasan-gagasan dengan benang merah tertentu, bisa dibaca dari mana saja. Sementara The 7 Laws of Happiness merupakan buku dengan gagasan tertentu yang dibangun utuh dari awal hingga akhir. Jadi bacanya harus runut. Buku pertama dia isinya berkisar tentang motivasi pengembangan diri di bidang manajemen, perusahaan, dan sikap profesionalisme, sementara bukunya setelah itu lebih tentang psikologi memandang hidup lebih positif dan baik. * Apa yang mas Anwar rasakan setelah membaca buku-buku mas Arvan? Saya bisa memandang hidup dengan lebih lega dan ikut berusaha bersikap positif seperti yang beliau sebarkan di buku-bukunya. * Apa harapan mas dari baca The 7 Laws of Happiness? Ya ingin bisa hidup lebih bahagia, dong, ha ha ha. (Saya berkata sambil tertawa.) * OK, mas. Wawancara selesai. Terima kasih, kata reporter. Setelah itu saya gabung lagi dengan para peserta diskusi, yang kebanyakan bergabung dalam Mom's Club Pelangi Bunda, sebuah komunitas yang mengadakan aktivitas pertemuan di MP Book Point. Dalam hati saya ingin tahu, kapan ya acara talkshow ini akan ditayangkan JakTV?[] Oleh Anwar Holid Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid Situs terkait: http://www.ilm.co.id http://www.mizan.com http://www.facebook.com/profile.php?id=1353502016ref=ts Anwar Holid, penulis penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku. Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana: http://www.goethe.de/forum-buku http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319 http://www.rukukineruku.com http://ultimusbandung.info http://www.gramedia.com http://www.mizan.com http://halamanganjil.blogspot.com Come away with me and I will write you ---© Norah Jones
[zamanku] PELAJARAN DARI PERISTIWA KENABIAN
utama dalam sistem keyakinannya. Di sisi lain, ada pengakuan dan penegasan bahwa Muhammad memang hadir di dunia ini untuk semua umat manusia. Boleh jadi ini merupakan isyarat agar kaum Muslim menyilakan kaum non-Muslim menelaah kehidupan Muhammad dengan berbagai cara studi dan kepentingannya. Muhammad merupakan sosok dan sejarah yang terbuka; beliau boleh ditilik lewat berbagai cara, sebagaimana umat Muslim senantiasa memuliakan dan menjaga kesuciannya. Tariq Ramadan memperlihatkan etos tersebut; di satu sisi dia menggali berbagai sumber klasik, termasuk hadis dan Al-Quran, lantas menggunakan khazanah tersebut untuk perenungan dan komentar dari sudut spiritual, filosofis, sosial, legal, politis, dan kultural yang terinspirasi dari peristiwa faktual yang dialami nabi, umat, dan masyarakat sezamannya.[] Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com KONTAK: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141 Awalnya kolom ini dipublikasi REPUBLIKA, Minggu, 19 Oktober 2008, rubrik Selisik. Situs terkait: http://www.serambi.co.id http://www.republika.co.id Anwar Holid, penulis penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku. Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana: http://www.goethe.de/forum-buku http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319 http://www.rukukineruku.com http://ultimusbandung.info http://www.gramedia.com http://www.mizan.com http://halamanganjil.blogspot.com Come away with me and I will write you ---© Norah Jones
[zamanku] The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) Menurut Hernowo
The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) Menurut Hernowo --- Untuk mencapai kebahagiaan, memilih tindakan saja tidaklah cukup. Agar bisa bahagia, yang harus kita lakukan adalah memilih pikiran. Pikiran kita adalah segala-galanya. Buddha mengatakan, Seluruh diri kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan. Oleh karena itu, semua yang akan terjadi pada diri kita adalah hasil dari yang sedang kita pikirkan saat ini. Bukankah tujuan hidup kita adalah mencapai kebahagiaan? Bukankah banyak orang yang telah mencapai puncak-puncak kesuksesan, tetapi tetap saja tidak merasa bahagia? Kita tidak bisa mengontrol perasaan kita secara langsung, tetapi kita dapat mengelola perasaan kita dengan jalan MEMILIH PIKIRAN yang akan kita konsumsi. Pilihan pikiran akan menentukan perasaan kita. -*- Kalimat-kalimat bernas di atas berasal dari Arvan Pradiansyah, penulis sukses buku-buku yang berjudul indah: You Are a Leader! (2003), Life is Beautiful (2004), dan Cherish Every Moment (2007). Saya mengutip kalimat di atas dari buku keempat, buku terbarunya, yang baru saja muncul di pasaran: The 7 Laws of Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia. ...buku keempat saya ini merupakan masterpice pertama saya, tulis Arvan di Prakata. Lho, mengapa? Karena baru dalam buku inilah saya mengungkapkan sebuah konsep yang utuh dan terpadu, sebuah model kebahagiaan, jawabnya. Jika kita sempat membaca buku terbaru Arvan ini yang, menurut saya, memiliki ragam-bahasa-tulis yang indah-menenteramkan, kita akan setuju dengan apa yang dikatakannya: Jadi, kunci kemenangan sebenarnya ada di dalam pikiran kita dan sangat bergantung pada pikiran yang kita pilih. Apabila kita memilih pikiran yang negatif, seluruh diri kita akan menjadi negatif. Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa diliputi rasa bahagia. Betapa menentukannya pikiran kita terhadap kehidupan kita ya? Sudahkah kita melatih pikiran kita untuk memilih sesuatu yang bersifat positif? Kalau jawabannya sudah, ada satu pertanyaan susulan yang sangat penting untuk segera kita jawab: Seberapa sering kita melatih pikiran kita itu untuk memilih hal-hal positif? Karena, menurut Arvan, bukan you are what you think yang menentukan diri kita seperti apa, tetapi apakah kita sering mengulang-ulang pikiran positif kita? Semoga ada manfaatnya.[] Hernowo (Penulis bestseller Mengikat Makna) __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com
[zamanku] Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto
Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto --- Oleh: Anwar Holid Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi) Penulis: Nirwan Dewanto Penerbit: GPU, 2008 Tebal: 94 hal. ISBN: 978-979-22-3666-8 Seorang kawan menghadiahi Jantung Lebah Ratu, buku puisi karya Nirwan Dewanto (ND). Tentu saya senang. Dulu, persis saat buku itu terbit kira-kira pada bulan Mei, saya sangat antusias kapan kira-kira bisa baca, bahkan kalau bisa memilikinya. Rumah Buku, perpustakaan favorit saya, sebenarnya segera mengoleksi himpunan puisi tersebut, tapi entah kenapa saya tak sempat juga meminjamnya. Ternyata buku itu sedang dipinjam anggota lain ketika saya ingin membacanya. Seorang teman sealma mater ND yang saya tahu langsung beli buku itu saya tanya, seperti apa sih puisi-puisi dia? Dia menjawab samar, Yah, begitulah. Khas Nirwan, agak-agak susah dipahami dan berbau filsafat. Sementara waktu kawan yang menghadiahi buku itu saya tanya kenapa memberikan buku itu, dia menjawab tanpa pretensi, Hm... susah ya. Mungkin puisinya bukan selera saya. Kurang nikmat bacanya. Nirwan Dewanto merupakan penulis dengan reputasi terkemuka di Indonesia. Dia menulis esai budaya dengan beragam subjek, termasuk kritik buku, menjadi salah satu eksponen posmodern paling awal di Indonesia, ikut mendirikan jurnal Kalam (yang merayakan posmodern secara besar-besaran), bergabung dengan Teater Utan Kayu (TUK), dan sudah menulis puisi sejak lama. Boleh dibantah, peristiwa yang membuat namanya melambung ialah ketika dia jadi salah satu pembicara kunci di Kongres Kebudayaan 1991; dia membawakan makalah berjudul Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991. Esai ini pula yang jadi andalan pada buku pertamanya, Senjakala Kebudayaan (Bentang, 1996)---sebuah buku yang kini sudah turun dari rak toko umum dan hanya bisa ditemui kembali di perpustakaan seperti Rumah Buku. Namun harus disebut pula reputasi dia kadang-kadang membuat orang lain jengkel atau penasaran. Sebagai kritikus sastra, pilihannya kadang-kadang digugat, yang paling terkenal boleh jadi Siapa Takut, Nirwan Dewanto? oleh Richard Oh dan Yth Tuan Nirwan oleh Damhuri Muhammad---isinya kira-kira debat seputar kritik dan standardisasi penilaian karya sastra. Saya sendiri menganggap reputasi ND di Indonesia mirip dengan Michiko Kakutani di AS---kritikus buku The New York Times. Michiko dijuluki kritikus yang paling ditakuti sedunia. Keberanian Michiko memuji atau mengecam buku membuat posisinya sering ekstrem. Sebagian penulis jengkel sekali pada Kakutani. Saya juga tahu satu-dua penyair jengkel sekali pada ND dan bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan olok-olok dalam puisi ciptaan mereka. Saya lebih bisa mencerap beberapa esai ND daripada puisinya. Meski begitu, saya selalu kelelahan bila baca tulisan dia di Kalam, misalnya, meski kecenderungan itu hilang bila saya baca kolom atau resensinya. Saya merasa standar dia terhadap sastra atau buku tinggi sekali, dan itu mungkin membuat posisinya jadi terasa adi luhung. Lagi pula, tampaknya, puisinya pun lebih jarang dipublikasi media massa daripada esainya; dan bila kebetulan bertemu puisinya, saya lebih banyak bingung daripada bisa asyik menikmatinya. Bagi saya, dalam selintas baca, puisinya sulit dipahami dan kurang nikmat dibaca. Ini lain sekali bila saya bertemu dengan puisi Joko Pinurbo, misalnya. Kadang-kadang, sebagian puisi Joko Pinurbo mengambang dan sulit dipahami karena makna dan kosakatanya ambigu; tapi saya masih bisa merasakan samar-samar nuansa keindahan di sana. Dalam puisi ND yang sukar, saya bahkan langsung merasa gagal meraba sebenarnya apa yang dia ungkapkan. Di dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993), Saini K.M. sudah memuji bakat dan kemampuan Nirwan Dewanto. Waktu kuliah di ITB, Nirwan Dewanto merupakan salah satu penyair muda yang puisinya mendapat perhatian Saini K.M. di Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat. Kata Saini: Nirwan Dewanto, dalam bentuk kesamar-samaran, memperlihatkan kemungkinan yang dapat diharapkan di masa depan. Dia tidak saja peka terhadap kehidupan batinnya, melainkan juga terhadap dunia (lahiriah) di luar dirinya. Sajaknya menyajikan renungan yang cenderung falsafi. Puisi Nirwan Dewanto yang dimaksud Saini berjudul Agustus. -*- Jadi, kegirangan saya menerima buku puisi yang didesain dengan elok dan mencolok ini segera berubah jadi semacam bencana dan kejengkelan karena setelah membolak-balik ke sana-kemari, saya tak jua menemukan puisi yang enak atau bisa dipahami. Saya nyaris putus asa dan merutuk, karena tak kunjung ngerti, maksud dia menulis puisi itu apa? Hampir tak ada nikmat-nikmatnya. Jauh lebih nikmat bila saya baca puisi amatir kawan-kawan lama. Memang satu-dua puisinya ada yang cukup saya pahami atau cukup bisa saya rasakan keindahannya; tapi secara keseluruhan, bukunya merupakan himpunan puisi yang sukar. Begitu baca puisi pembuka, Perenang Buta, saya seperti ditubruk oleh moncong pesawat terbang. Blas