Saya tahu bahwa posting copy-paste di sini dilarang, tapi saya merasa perlu 
mem-fwd berita lama ini. Tahun 2001 Atmel pernah menyatakan berminat pada 
Bandung sebagai lokasi design center. Pertanyaannya: apakah terjadi dan kedua 
apakah tidak terjadi dan mengapa:-(

Salam,
Nano
                        
[itb] bandung lautan IT :-)                     Ihsan Hariadi
                        Thu, 08 Mar 2001 11:27:50 -0800
                
        
    menyampaikan liputan tentang perkembangan usaha pewujudan BHTV
    (Bandung Hitech Valley) oleh majalah "Warta Ekonomi" baru-baru
    ini.
                                                      wassalam,
                                                       -ihsan-
    -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=

    Warta Ekonomi - New Economy
                     

                        ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
                        Menuju Bandung Lautan TI
                        ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

         ***************************************************
         keberadaan sejumlah lembaga pendidikan,  perusahaan
         multinasional, perusahaan lokal yang tumbuh  pesat,
         dan ketertarikan pemodal ventura serta faktor  pen-
         dukung lainnya yang ada di bandung makin memuluskan
         kota kembang ini menuju kawasan  Silicon Valley-nya
         Indonesia.
         ***************************************************
                                 

    Sekilas tampak seperti sebuah diskusi  biasa.  Pesertanya  tampil
    dengan  santai,  bahkan  banyak  yang  memakai T-shirt dan sandal
    jepit. Ruangan dan suguhannya  pun  tidak  terlalu  mewah.  Namun
    jangan  dikira  diskusi  ini  tak  serius.  Mereka  bahkan sedang
    berupaya   menelurkan   ide   besar.   Diskusi    bulanan    yang
    diselenggarakan oleh para pelaku, pemerhati dan peminat teknologi
    informasi (TI) itu bertujuan mewujudkan Bandung High Tech  Valley
    (BHTV),  konsep  masa  depan  yang  kalau  berhasil  akan  banyak
    mengubah wajah kota Bandung.

    Senin, 19 Februari 2001, Warta  Ekonomi  berkesempatan  hadir  di
    sana,  di  Jalan  R.E. Martadinata 165, Bandung. Diskusi kali ini
    rupanya agak istimewa karena ada seorang tamu yang cukup  berarti
    dalam  perwujudan  BHTV  dan  berbicara pada diskusi itu. Namanya
    Daniel Tjoa, alumnus ITB tahun 1964 yang saat ini bekerja sebagai
    product  line  manager  USB Products Atmel Corporation di Silicon
    Valley, AS. Atmel adalah perusahaan terbesar keempat untuk bidang
    mikrocip  di  Silicon  Valley setelah Intel, LG (Lucky GoldStar),
    dan National. Kehadiran Daniel yang sudah hampir 30 tahun tinggal
    di  Silicon  Valley  ini  bukan  hanya  karena  dia  punya ikatan
    emosional dengan ITB dan Bandung, melainkan jauh lebih dari  itu.
    Dia sedang menjajaki pengembangan usaha bidang integrated circuit
    (IC) design center.

    "Alasan emosional karena saya dari ITB, memang menjadi salah satu
    faktor. Namun lebih dari itu, Atmel ingin mengembangkan usahanya.
    Di Bandung potensi untuk itu cukup baik," ujar Daniel Tjoa kepada
    Warta  Ekonomi.  Bagi Daniel, yang boleh dibilang menjabat posisi
    penting di Atmel, pengembangan  usaha  yang  dicari  tidak  hanya
    dilakukan  di  Bandung,  tetapi di belahan mana pun di dunia ini.
    Menurut Daniel, pihaknya  sudah  menjajaki  beberapa  kawasan  di
    sejumlah  negara,  termasuk Perancis, Pakistan, Vietnam, Tiongkok
    dan sejumlah negara lainnya.

    Bagi komunitas TI Bandung sendiri, kehadiran orang seperti Daniel
    sangat  diharapkan.  "Setidaknya  ini  bisa  merangsang  industri
    bertaraf internasional lainnya datang ke sini," ujar Armien  Z.R.
    Langi,  pengamat  TI  yang  juga  salah satu "perayu" Daniel Tjoa
    untuk mengembangkan industrinya di Bandung. "Target  kami  adalah
    Bandung  bisa  masuk  dalam  radar  Silicon Valley sehingga makin
    banyak yang akan melebarkan  sayap  usahanya  ke  Bandung,"  kata
    Armien.

    Sementara itu, di mata Samaun Samadikun, guru besar IC  Device  &
    Technology  Laboratory ITB, munculnya perusahaan Atmel di Bandung
    akan memberikan kontribusi yang  cukup  berarti  bagi  perusahaan
    software lokal. "Kita bisa memberi kontribusi dalam bidang sumber
    daya manusia," ujarnya.  Samaun  lebih  lanjut  menuturkan  bahwa
    sumber  daya  manusia  TI  di  Indonesia  saat  ini  lebih banyak
    mengembangkan  keilmuannya  di  luar  negeri.   Kalaupun   mereka
    bertahan  di  sini, banyak yang bekerja bukan di bidangnya karena
    tempat  mengaplikasikan  ilmunya  belum   ada.   "Dengan   adanya
    perusahaan  multinasional  sekelas  Atmel,  ada  kesempatan  bagi
    sumber daya manusia kita untuk berkreasi di dunia TI," tutur pria
    yang dalam waktu dekat akan menikmati masa pensiunnya ini.

    Dengan investasi sekitar US$500.000  sampai  US$1  juta,  sekitar
    Juni tahun ini Atmel sudah siap berkiprah di Indonesia. "Sekarang
    lagi mengurus aspek legal dan hal lain yang  mendukung  pendirian
    Atmel," kata pria berusia 60 tahun ini.

    Apa yang akan dilakukan oleh Atmel  ternyata  juga  akan  diikuti
    oleh  Marvell  Technology,  sebuah perusahaan dari Silicon Valley
    yang  juga  bergerak  di  bidang   digital   signal   processing.
    Perusahaan  yang  dibangun dan dikembangkan oleh orang Indonesia,
    yakni keluarga Sutarja  ini,  sedang  didekati  oleh  Menperindag
    Luhut Binsar Panjaitan.

    Menurut sebuah sumber Warta Ekonomi, antusiasme pihak Marvell pun
    tampaknya  cukup  positif. Bahkan tidak hanya itu, menurut sumber
    tersebut, awal Maret ini Luhut akan ke Seattle, AS  untuk  merayu
    Bill  Gates  agar mau ke Indonesia melihat perkembangan TI. "Dari
    sini  diharapkan  Bill  Gates  mau  mengembangkan   usahanya   di
    Indonesia, tak terkecuali melihat potensi BHTV," ujar Samaun.

    Keseriusan pihak  Deperindag  terhadap  pengembangan  BHTV  bukan
    tanpa sebab. Kajian konsultan McKinsey & Co pada 1996 menunjukkan
    bahwa tahun  2010  Indonesia  harus  menghasilkan  ekspor  bidang
    elektronik  sebesar  US$20  miliar supaya termasuk dalam golongan
    negara maju. Untuk  ini  harus  ada  upaya  serius,  antara  lain
    mengembangkan  industri TI. Dipilihnya Bandung sebagai salah satu
    pusatnya karena potensinya yang cukup bagus. Jangan  heran  kalau
    Luhut mengancam akan memecat bawahannya yang menghambat bisnis di
    BHTV. "Pecat saja  dia  kalau  Deperindag  menghambat  bisnis  di
    BHTV," ujarnya seperti dituturkan sumber di atas.

    Kalau  memang  Atmel  dan  Marvell   Technology   positif   dalam
    mengembangkan  usahanya  di  Bandung,  setidaknya  sudah ada tiga
    perusahaan  multinasional  melakukan   aktivitas   bisnisnya   di
    Bandung. Satunya lagi adalah Omedata, sebuah perusahaan perangkat
    keras yang sudah sekian lama bergerak di kota kembang  ini.  Dari
    sini  tampaknya  usaha mewujudkan Bandung sebagai pusat high tech
    lebih terbuka lebar.

    Empat Kriteria
    --------------
    Seperti diungkap oleh majalah Wired edisi Juli 2000, majalah yang
    banyak  dijadikan  acuan  oleh  simpatisan new economy, ada empat
    faktor kesuksesan sebuah pusat  high  tech.  Pertama,  keberadaan
    universitas  dan  fasilitas  penelitian  yang bisa menjadi tempat
    melatih  kemampuan  para  pekerjanya  dan   untuk   mengembangkan
    teknologi   baru.  Kedua,  keberadaan  perusahaan  multinasional.
    Ketiga, populasi entrepreneur. Keempat, keberadaan modal ventura.

    Jika merujuk pada kriteria itu, Bandung tampaknya  termasuk  yang
    bisa   memenuhi   syarat.   Untuk   kriteria  pertama,  misalnya,
    keberadaan ITB di kota itu  tidak  diragukan  lagi  dalam  kancah
    dunia  pendidikan,  baik  di  lingkungan  Asia  (masuk  50  besar
    universitas terkemuka  Asia  versi  Asiaweek)  maupun  Indonesia,
    lebih-lebih  lingkungan  Bandung.  Begitu  juga dengan keberadaan
    Sekolah Tinggi Teknologi (STT)  Telkom,  Universitas  Padjadjaran
    (Unpad),  dan  beberapa universitas lainnya. Fenomena ini menjadi
    salah satu ketertarikan Atmel dan beberapa perusahaan lainnya, di
    samping kondisi geografis, iklim dan budaya kota Bandung.

    Untuk kriteria kedua pun Bandung bisa dianggap tidak ketinggalan.
    Kehadiran para pelaku bisnis di Silicon Valley menjadi salah satu
    tolok ukur yang bisa menguatkan analisis di  atas.  Adapun  untuk
    kriteria  ketiga,  Bandung  belakangan  ini  telah  menjadi pusat
    perhatian pula. Setidaknya ada 41 perusahaan  software  house  di
    Bandung  yang  sudah  didata  oleh  Divisi  Riset  dan  Teknologi
    Informasi (RisTi) PT Telkom (lihat tabel).

    Perusahaan-perusahaan ini  diharapkan  menjadi  benih  yang  akan
    membesarkan  Bandung menjadi Silicon Valley. "Pertumbuhan Silicon
    Valley sendiri berawal dari berkembangnya perusahaan-  perusahaan
    kecil sehingga menjadi sesuatu yang besar dan makin besar seperti
    saat ini,"  ujar  Daniel  Tjoa  mendeskripsikan  sejarah  Silicon
    Valley.

    Terlepas   dari   niat   membangun   usaha   itu   untuk   sumber
    kesejahteraannya  atau  untuk  diakuisisi  perusahaan besar--atau
    bahkan untuk  dilempar  ke  bursa  (IPO)--yang  jelas  keberadaan
    perusahaan-perusahaan  ini  cukup  memberi arti bagi pengembangan
    BHTV. Kalau merujuk pada pengalaman  di  negara  lain,  tampaknya
    akuisisi merupakan cara yang relatif menguntungkan. Ini pula yang
    terjadi  pada  perusahaan  di  Norwegia  yang  gagal   memasarkan
    prosesor  AVR.  Namun,  setelah  diakuisisi  Atmel  dengan  nilai
    US$10-20 juta, menjadi cukup sukses terutama bagi Atmel sendiri.

    Dalam  pada  itu,  untuk  kriteria  keempat,  keberadaan  pemodal
    ventura  di  Bandung  juga  tidak boleh diremehkan. Di sana sudah
    lama berkiprah Sarana Jabar Ventura (SJV), PT Permodalan Nasional
    Madani  Venture  Capital  (PNMVC)  dan PT AITI Investment. Mereka
    sudah melirik beberapa perusahaan untuk disuntik dana. Ini  makin
    menguatkan analisis di atas. "Kami sudah bermitra dengan beberapa
    perusahaan yang bergerak di bidang  TI  seperti  PT  Optima  yang
    bergerak  di  bidang software, PT Elga Yasa Media sebuah provider
    internet yang dikenal  dengan  L-Net  dan  Pointer,  sebuah  jasa
    pendidikan  dan  layanan  internet,"  ujar  Yani Rodyat, direktur
    utama SJV, kepada Warta Ekonomi suatu saat.

    Meskipun  demikian,  ada  nada  sedikit  pesimistis   dari   Budi
    Rahardjo,  pengamat  TI  yang  juga salah seorang penggagas BHTV.
    Menurut dia, dengan skala empat maka untuk kriteria pertama nilai
    Bandung  memang  bisa  mencapai  4.  Namun  untuk kriteria kedua,
    ketiga, dan keempat baru mencapai  nilai  1.  "Jadi,  total  skor
    untuk  Bandung  adalah  7,  sedangkan  Silicon  Valley  16, Kista
    Science Park di Swedia 15 dan Kuala Lumpur 8," ujar Budi.

    Faktor Pendukung
    ----------------
    Terlepas dari pendapat pesimistis dari Budi Rahardjo,  empat  hal
    di  atas  tampaknya  akan  makin lengkap jika pemerintah dan BUMN
    dilibatkan. Untuk  Bandung,  keberadaan  institusi  RisTI  memang
    tidak bisa dilepaskan begitu saja. Melalui ProBIS (Proyek Bandung
    Industri  Software),  RisTI  berusaha  menumbuhkan  kota  Bandung
    sebagai  pusat  industri  software  yang  bertaraf internasional.
    Melalui kerja  sama  dengan  partner  lokal  dan  global,  ProBIS
    menawarkan solusi bagi kebutuhan pengembangan software.

    "Kami adalah fasilitator  dengan  menyediakan  laboratorium  yang
    memang  kami  sediakan  khusus  untuk  komunitas  software  house
    Bandung," ujar Setyo Budi Agung, manajer  proyek  ProBIS,  kepada
    Warta  Ekonomi.  Bentuk  kontribusi  ini  tergantung pada kondisi
    perusahaan yang akan dijadikan mitra. "Kita melakukan  pendekatan
    win-win  solution.  Umumnya  mereka  adalah perusahaan yang start
    up," kata Agung yang mengambil  gelar  master  di  University  of
    Pittsburg, AS.

    Namun,  ambisi  Bandung  menjadi  Silicon  Valley-nya   Indonesia
    sehingga  mengubah  semboyan  Bandung  Lautan Api menjadi Bandung
    Lautan TI tampaknya tidak semulus  jalan  tol.  Segudang  masalah
    tidak   bisa   begitu   saja   didiamkan.  Kondisi  infrastruktur
    telekomunikasi yang masih terbatas,  pelayanan  aparat  setempat,
    khususnya  dalam  pengurusan administrasi masih jauh dari harapan
    pelaku bisnis di Bandung.

    Bagi Armien setidaknya ada tiga hal yang  masih  menjadi  kendala
    pengembangan  TI di Bandung. Pertama, belum dikenalnya Bandung di
    dunia luar. Kedua, infrastruktur  yang  masih  perlu  diperbaiki.
    Ketiga,  ketersediaan  kebutuhan  komponen  di  dalam negeri yang
    masih kurang  sehingga  masih  harus  mendatangkannya  dari  luar
    negeri. Meskipun demikian, mereka tidak mau terpaku pada kendala.
    "Yang penting  bukan  menganalisis  hambatan-hambatan  yang  ada,
    tetapi  bagaimana  semangat  untuk  menumbuhkan  Bandung  sebagai
    kawasan industri TI," ujar Armien.

    -= Salim shahab dan Ade Rachmawati Devi =-
       (reporter Warta Ekonomi)

Kirim email ke