wah, mbak mia membawa soalan baru.

1. anak yg kedua ortunya bekerja cenderung egois.
2. anak pertama cenderung egois
3. istri bekerja mendapat respek dari suami
4. ibu bekerja membuat anak melihat sosok ibu lebih utuh

nomer satu udah gak dipermasalahkan lagi yah. atau mbak mia mau
mengeksplorasi ke fenomena juvenile delinguence ?  saya cenderung melihat
stereotip anak jakarta dan daerah seperti makasar, lebih kasar dan cenderung
suka memakai kekerasan untuk menjalani konflik kesehariannya.  fpi, menurut
saya, juga berakar dari budaya anak anak jakarta yang ketika kecil suka
bullying teman temannya. ketika dewasa mereka gak punya pekerjaan mapan,
mereka menggunakan experience mereka di masa kecil, dimana bullying bisa
dipakai buat cari makan.

anak pertama cenderung egois. di sisi lain lebih mandiri, dan tahu apa yang
diinginkan.  dia akan belajar berbagi, melalui jalur pertemanan maupun
ketika sudah punya saudara. itupun dengan saudara/adiknya nggak boleh
dibanding bandingkan apalagi diminta mengalah.  saya anak pertama, dan saya
justru tidak mau mengalah, kalau orang tua bilang, mengalah donk sama
adiknya.  tidak.  saya baru bisa merelakan kesempatan diberikan pada adik,
jika saya pikir, jika tidak diberikan padanya, justru bisa membahayakan adik
saya.  perasaan untukmelindungi tribe atau klan lebih besar dibandingkan
keinginan untuk menguasai hanya pada diri sendiri.

3. setuju, istri bekerja mendapat respek dari suami.  makanya sebenarnya
saya kepengen istri bekerja.  atau minimal punya aktivitas yang memberikan
nilai respek. seperti waktu kami tinggal di bekasi, istri sangat aktif di
masyarakat. jadi tulang punggung aktivitas pendidikan anak dini usia dan
posyandu.  sekarang ketika tinggal di sby, tidak ada aktivitas semacam ini
yang bisa dikembangkan.  jadi bingung deh.  saya bingung, dia juga bingung,
hehehe :p  akhirnya jadi aktivis farmville :p

balik ke sisi ekonomi.  kendari keluarga muda semacam kami yg usia sekitar
30an, rata rata harus pisah keluarga (tinggal berjauhan). istri di jawa,
suami di jakarta, atau bahkan luar pulau.  tapi respek itu dinyatakan secara
real economics.  misal gaji suami buat makan, cicilan rumah dan sekolah
anak, tapi cicilan mobil dari gaji istri.  bentuknya jelas dan sangat
terukur.  kalau salah satu tidak punya penghasilan ekonomi, respek terukur
jelas sulit didapatkan.

4. dari sisi anak, untuk menghargai sosok ibu secara utuh ini mungkin baru
bisa dilakukan pada usia smp atau sma kali yah.  ketika sudah bisa
membandingkan dengan teman temannya. ortu saya dari struktur yang, bapak
kerja, ibu di rumah, begitu juga dari istri, bapak bekerja, ibu di rumah.

dalam perjalanan waktu, ada saat saat ketika sosok ibu mencari pengakuan
atas diri mereka.  ibu saya misalnya dengan membuat bisnis, sementara ibu
mertua dengan menjadi tki.  tapi ketika bisnis ibu gagal, karena nggak punya
konsistensi berbisnis dan ditipu orang, atau ibu mertua yang akhirnya
dicegah oleh bapak mertua untuk menjadi tki (dijemput dari penampungan),
memang sosoknya jadi kurang utuh.  tidak utuh sebagai orang yang tegar, bisa
menghidupi diri sendiri atau keluarga dari hasil kerjanya.

implikasi sosialnya ....   errrrr .... belum berani mengeksplore.  hehehe
....  tapi pemeo semacam, akal wanita hanya setengah dari laki laki,
mestinya berawal dari apresiasi kejadian semacam ini.  jadi stereotip
negatif deh akhirnya.






2010/8/6 <al...@yahoo.com>

>
>
> Kondisi anak bullying tumbuh karena kita menumbuhkanya. Kalo kita
> membiarkan misalnya budaya fpi tumbuh terus, misal lain, budaya jepang yg
> nggak sensitif gender - kondisi anak bullying tetep marak. Bullying di
> amerika misalnya suatu fenomena "asli" kronis, tapi selalu ada usaha
> memeranginya.
>


>   Mungkin saja ada beberapa variabel yang membuat anak egois
> temperamental. To be sure, anak pertama cenderung "egois", setuju kah?
>


>   Yang jelas, ibu bekerja/berbisnis membuat suami lebih " respek" dan anak
> memandang perempuan sebagai sosok lebih utuh.
> Jangan salah paham, kalo saya bilang "respek" spektrumnya luas positif,
> bukan serta merta yang isterinya di rumah lantas suaminya "kasar"
>


>   Salam
> Mia
>


>    -----Original Message-----
> From: Ari <masar...@gmail.com <masarcon%40gmail.com>>
> Sender: wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>
> Date: Fri, 6 Aug 2010 08:02:26
> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>>
> Reply-To: wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>
> Subject: Re: Menyusui dan donatur ASI Re: Bls: [wanita-muslimah] Re: Mati
> ketawa ala fatwa
>
> anak saya asi sampai 2.5 tahunan nih. asi eksklusifnya juga over, di atas 6
>
> bulan, soalnya makannya agak susah. (8 bulan atau 9 bulan yah waktu itu).
> anak juga karakternya nggak bisa ditinggal dengan orang lain. beruntung
> kami saat itu, karena si ibu merelakan diri tidak bekerja demi si anak.
> merasa lebih beruntung lagi waktu membandingkan anak anak yang ditinggalkan
>
> ibunya untuk bekerja, karakternya terlihat lebih egois dan temperamental.
>
>
> cuman saya sambil berpikir sih. di jaman yang keras dan hidup penuh
> tantangan begini, yang lebih survive adalah anak anak yang berani bullying
> orang lain, berani egois untuk mendapatkan keinginannya kalau perlu dengan
> kekerasan. on the expense of others. (ingat sama abah dan kemauan kerasnya
> supaya memenangkan kompetisi pendapat dan memenangkan dirinya dalam
> berfatwa
> ria. ingat juga sama fpi yang dengan egois dan kemauan kerasnya bisa
> bargain apa yang mereka inginkan).
>
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke