[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2006-01-02 Terurut Topik Ryo Saeba

On 12/30/05, Pakcik [EMAIL PROTECTED] wrote:

  saya contohkan dengan kasus Roy Suryo. wait a minute, kalau bicara Roy
 Suryo sensitif, jadi saya claim dulu bahwa ini gak ada hubungan dengan kasus
 Roy Suryo, hanya contoh tentang perbedaan aja.

  begini, kalau teman2 yang bersebrangan dengan Roy Suryo tidak tahan duduk
 satu meja selama 5 menit dengan Roy Suryo, artinya kita gak siap berbeda,
 let's forget about democracy.

kalau ada jaminan dia tidak menggunakan logical fallacy yang bisa
dilihat daftarnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Logical_fallacy dan
juga dilihat contohnya di
http://72.14.203.104/search?q=cache:7cOvog4ywvIJ:groups.or.id/pipermail/genetika/2004-March/001649.html,
mau seharian pun rasanya bisa.

contoh ekstrimnya, apakah ada orang yang mau duduk dalam radius 1
meter dekat orang yang kalau bicara pakai megaphone dengan volume
sekeras mungkin? apakah ini contoh yang sahih untuk mencontohkan apa
itu demokrasi?

--
I solemnly swear that I'm up to no good
http://data.startrek.or.id
http://kiozk.com


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2006-01-01 Terurut Topik adi

On Sun, Jan 01, 2006 at 10:45:22AM +0700, Dipo Prasetyo wrote:
 Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk
 menghargai hasil karya orang lain. Saya jarang menemukan orang-orang yang
 mampu menghargai hasil karya orang lain di lingkungan saya.

menghargai hasil karya orang lain itu bisa lepas dari ada/tidak ada
paten, bentuk lisensi dll.

soal paten itu sendiri, seperti yang bisa dilihat dari contoh-contoh
yang sudah disampaikan oleh Carlos Patriawan, sudah menjadi semacam
komoditi bisnis bagi korporasi besar (saya kurang tahu apakah ini
sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan paten :-)

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

-- 
Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2006-01-01 Terurut Topik adi

On Sat, Dec 31, 2005 at 06:22:39AM +0700, Budi Rahardjo wrote:
 Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.
 Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.
 Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
 (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)
 Hayo... kenapa?

paten itu sendiri sifatnya tidak harus vis-a-vis dengan lisensi
(opensource berkaitan dengan lisensi). boleh dibilang merupakan dua hal
yang berbeda.

lepas dari model lisensi yang dipergunakan, paten tetap bisa dilanggar.
misalnya dulu daniel phillips bermaksud membuat filesistem tux2
(non-journaling fs yang dapat difsck dengan cepat) dengan lisensi GPL,
project tsb. terpaksa dihentikan dengan ancaman tuntutan pelanggaran
paten oleh netapp (cara yang digunakan oleh daniel menurut netapp telah
dipatenkan dan digunakan pada waffle fs). meskipun tux2 tidak direlease
dengan lisensi GPL, tetap saja paten dilanggar (paten itu root of all
evil :-)

kenapa IBM rajin mensubmit paten dan sekaligus mendukung opensource? ya
karena ada misi 'bisnis' dibalik itu semua lah, lagi pula paten dan
lisensi bukan dua hal yang bisa/perlu dipertentangkan. Ini bisa dilihat
dari mengapa IBM Public License bisa spt itu.

makanya, untuk soal lisensi ini, lebih baik GPL dari pada sekedar
ngomong soal opensource(tm) yang mirip hutan belantara dan gak jelas
(menurut saya).

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

-- 
Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2006-01-01 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

adi wrote:
 On Sun, Jan 01, 2006 at 10:45:22AM +0700, Dipo Prasetyo wrote:
  Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk
  menghargai hasil karya orang lain. Saya jarang menemukan orang-orang yang
  mampu menghargai hasil karya orang lain di lingkungan saya.


 soal paten itu sendiri, seperti yang bisa dilihat dari contoh-contoh
 yang sudah disampaikan oleh Carlos Patriawan, sudah menjadi semacam
 komoditi bisnis bagi korporasi besar

Koreksi kecil: sebagian korporasi besar,nanti dikira semuanya begitu
... he he he :)

Kemaren waktu saya nulis ini,saya cuman nulis berdasar data dan apa
yang saya lihat dan dengar saja lho,tapi ternyata ketemu ada artikel di
Forbes yang **exactly** mewakili problem yang saya lihat:

---beg
In corporate America, this type of shakedown is repeated weekly. The
patent as stimulant to invention has long since given way to the patent
as blunt instrument for establishing an innovation stranglehold.
Sometimes the antagonist is a large corporation, short on
revenue-generating products but long on royalty-generating
patents**. On
other occasions, an **opportunistic** entrepreneur who only
produces
patent applications uses the system's overly broad and undisciplined
patent grant to shake down a potential competitor.
end

Saya boleh tambahkan:
sebenarnya yg jadi grassroot permasalahan,adalah sifat ABUSIVE sebagian
perusahaan besar pada penggunaan paten.

Ini informasi *underground* fresh from silicon valley (yg mungkin sulit
ditemukan dalam artikel): Karena buruknya dan abusivenya penggunaan
paten ini saat ini, DE-FACTO sebagian perusahaan hitek inovatif  hanya
submit paten yang mempunyai potensi jika patent tersebut tidak
disubmit,persh tersebut kemungkinan akan di sue oleh perusahaan lain
jika patent tersebut menjadi bagian dari sebuah produk.


 (saya kurang tahu apakah ini
 sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan paten :-)

Nah ini pertanyaan bagus  dan very very political question indeed :-)

Jadi gini,harus pakai angka nih (nah kalau pake angka jangan mesem2 ya
untuk sebagain anggota milis lain .. he he he).

Ini contoh pengandaian:

Persh A: big corporation: marketcap 800million,revenue perquarter
60million
Persh B: mediumsize hitek innovative: marketcap 100million,rev.
perquarter 15million

Tarohlah misalnya persh A dan persh sama2 mikirin bagaimana caranya
bikin 'microwave untuk potato chips'.Tapi kita bikin dua
pendekatan,Persh A karena duitnya banyak dia RD internal saja dan
submit patent sementara Persh B karena persh medium size ya mereka mau
develop produk berdasarkan RD (tanpa submit patent).

Roughly cost yg mereka perbuat:
1. Persh A: ongkos untuk bikin patent: paling banter hanya 400,000 USD
sekaligus kasih duit ke engineer agar rajin2 bikin patent dan  agar
legal departmenya rajin( rajin cari next hit list maksudnya ... he he h
he he )
2. Persh B: ongkos untuk produksi barang dan marketing: tarohlah
ogkosnya 10 million dollar perquarter,sudah  termasuk
produksi/manufacturing. Tarohlah profit margin 50%,jadi untung yang
diraup setelah BEP adalah 5 million USD/quarter (ini over-simplikasi
lho).

Kita bikin saja skenario 1 tahun kemudian dimana Persh B berhasil
jualan microwave ini dan mendapatkan keuntungan 20 million pertahunnya
(5 million x 4).

Tiba2 Persh A ini kaget,wah ternyata keduluan nich,Persh A langsung deh
ngesue persh B,di court begini:

Pak Hakim dan Pak Jaksa,persh B ini ternyata mencuri paten saya,oleh
karena ini saya minta sue mereka dengan denda 60 million dollar !!
.Angka 60 million ini biasanya angka 'tinggal jebret' saja dari persh
besar.

Tentu saja,Persh B ini jadi mendadak stress,lha di sue 60 million
padahal income dari produk terebut hanya 20 million.

Akhirnya gimana,mereka settled out ouf court,kata persh B,ya udah
deh,kalo ente masih mau jualan produk itu,ente settle aja ama ane...
harganya 40 million,gimane ?

Tentu saja,persh A yang kecil ini mengiyakan tawaran big
corporation.Jadi setelah settled seperti ini,persh A boleh dibilang
merugi dulu(walau pernah booking profit sebesar 20 million) untuk boleh
menjual produknya lagi.

!!! Apa yang bisa dilihat dari cerita ini:

Setelah waktu satu tahun, dengan kemampuan uang dan liciknya persh
A,dia bisa giling kompetitor persh B melalui patent.

Persh A ini gak perlu develop produk,cukup bikin patent sebanyak
banyaknya (dan gaji lawyer ev***l setinggi-tingginya) dan tetap dapat
duit dalam jumlah besar dengan nge-sue persh lain melalui paten yg
dimiliknya.

Makanya di Forbes ada kalimat berikut:
short on revenue-generating products but long on
royalty-generating
patents**

Buat kita di Indonesia,jadi paham cara praktik permainan politik
kotornya bagaimana :)


Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-31 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan


Budi Rahardjo wrote:
 On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:

  Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat
  memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi
  dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg
  engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena
  patent submission yg tinggi. :)

 Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini.

 Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.
 Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.
 Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
 (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)
 Hayo... kenapa?



HAHAHAHA. sorry ngakak karena ini buka inti permasalahan :)

Persis,persh hitek  banyak paten tapi gak produksi devais/produk dan
gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-))  ada banyak
bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya
rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya
rendah dan LEADING di market.

Tapi begitu mereka berhasil jualan (dan ada paten yg mirip2 dengan yg
pernah disubmit sama you-know-who) mereka disue.

Coba deh diperhatikan dan dibagi lagi,3000 paten itu dibidang apa
saja,apa semuanya ada di core bisnisnya mereka ?? contohnya,kalo I**
tidak produksi router,koq mereka bikin paten networking ya ... he he he
:-)) kalo persh jamu produksi paten cara bikin bakso,apakah klop ? Ini
politik.

Artinya,emang ada persh yang sengaja bikin paten tapi gak mendevelop
produk atas produk paten itu...NAH INI THE TRUE EV**l !

Real engineer doesnt like patent Pak,unless the management asked them
to create one :))

Carlos

Disclaimer: ini tentunya pendapat pribadi :))



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-31 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

Pakcik wrote:
 On 12/31/05, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
 
  Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini.
 
  Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.
  Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.
  Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
  (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)
  Hayo... kenapa?
 

 Tentang opensource.
 Microsoft berhasil bikin hardware jadi komoditi, sampai2 IBM nyerah, menjual
 PC bisnisnya ke china. Trus strateginya berubah. sekarang revenue IBM lebih
 dari 50 persen dari consulting dan service. Gimana biar bisnis consulting
 dan servicenya jalan? dia mau bikin software jadi komoditi. caranya  dengan
 mendukung opensource.

yep,ini dijadikan alat,dan masalah ini tidak hanya terjadi pada I*M

Di sektor networking,banyak misalnya yang 10 tahun incomenya berasal
dari produksi networking devais,tapi sekarang berubah ke consulting dan
integration service.
Somehow everybody wanna be like Infosys :)


 yang menarik tentang isu komoditi ini, di US dan negara maju lainnya, gak
 bisa dibikin tenaga kerja jadi komoditi. Itu yang terjadi di negara seperti
 china, india, indonesia, dll. negara2 ini berhasil bikin manusia jadi
 komoditi. hehehe. Bahkan banyak yang di bayar di bawah UMR.

kekuatan di china sebenarnya lebih pada produksi/manufacturing/hardware
sementara India pada software

 tentang patent gak tau. hayo kenapa? :)

saya sudah jawab secara implisit nah cara praktek ev**l nya sudah
ketauan kan :)


Carlos
 
 --
 Pakcik
 Under Construction



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-31 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

Uups sorry Packcik,ini mungkin salah saya dalam menguraikan
kalimat.Saya sepakat dengan beda pendapat ala 'demokrasi' yg pakcik
ungkapkan.

Dalam semangat tsb juga saya ingin menyampaikan R/D di persh hitek di
.I'd harus menghasilkan output berupa produk yg bisa diukur dengan
income,menyerap sdm dan tidak perlalu tergantung atau fokus pada paten.


Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-31 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

Muhamad Carlos Patriawan wrote:
 Budi Rahardjo wrote:
  On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
   Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat
   memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi
   dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg
   engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena
   patent submission yg tinggi. :)
 
  Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini.
 
  Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.
  Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.
  Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
  (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)
  Hayo... kenapa?
 


 HAHAHAHA. sorry ngakak karena ini buka inti permasalahan :)

 Persis,persh hitek  banyak paten tapi gak produksi devais/produk dan
 gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-))  ada banyak
 bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya
 rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya
 rendah dan LEADING di market.


Ini saya tambahkan kenapa banyaknya patent itu probably equal with evil
and doesn't really equal with engineering output,lihat keyword hit
list dibawah:

Dalam kasus IBM vs Sun,lihat strategy yang digunakan ***sebagian***
big corporation dalam 'mengancam' persh hitek lain yang lebih kecil
(tapi lebih inovatif)

http://www.forbes.com/asap/2002/0624/044.html
...

An awkward silence ensued. The blue suits did not even confer among
themselves. They just sat there, stonelike. Finally, the chief suit
responded. OK, he said, maybe you don't infringe these seven
patents. But we have 10,000 U.S. patents. Do you really want us to go
back to Armonk [IBM headquarters in New York] and find seven patents
you do infringe? Or do you want to make this easy and just pay us $20
million?

After a modest bit of negotiation, Sun cut IBM a check, and the blue
suits went to the next company on their hit list.

In corporate America, this type of shakedown is repeated weekly. The
patent as stimulant to invention has long since given way to the patent
as blunt instrument for establishing an innovation stranglehold.
Sometimes the antagonist is a large corporation, short on
revenue-generating products but long on royalty-generating patents. On
other occasions, an opportunistic entrepreneur who only produces
patent applications uses the system's overly broad and undisciplined
patent grant to shake down a potential competitor.

..


Nah, praktek seperti ini yang merusak Pak.Jadi jangan berbangga hati
dulu dengan banyaknya patent submission.Banggalah jika menjadi leading
di market tapi jangan bangga dengan mengancam persh lain melalui
patent.


Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-31 Terurut Topik Dipo Prasetyo
Numpang komentar dikit
On 1/1/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Dalam kasus IBM vs Sun,lihat strategy yang digunakan ***sebagian***big corporation dalam 'mengancam' persh hitek lain yang lebih kecil
(tapi lebih inovatif)Nah, praktek seperti ini yang merusak Pak.Jadi jangan berbangga hatidulu dengan banyaknya patent submission.Banggalah jika menjadi leadingdi market tapi jangan bangga dengan mengancam persh lain melalui
patent.

Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk menghargai hasil karya orang lain.Saya jarang menemukan orang-orang yang mampu menghargai hasil karya orang laindi lingkungan saya. Padahal hal ini masih bicara lokal yang sering kita temui tentang individu personal, bukan menyangkut institusi apalagi korporat besar. Kebanyakan yang saya temukan adalah proses tambal sulam yang mempergunakan teknologi kuno tapi dapat dimanfaatkan lebih sebagaimana kemampuan teknologi itu sebenarnya. Proses ini menjadi leading di market lokal, dan didalamnya terjadi penggandaan hingga banyak tanpa dokumentasi legal, pengkopian menjadi imitasi yg sangat mirip,atau perekayasaan alur teknologi yang semakin diperpanjang. Aneh? Inefisiensi ato fiktif belaka

Muhamad Carlos Patriawan wrote: persh hitekbanyak paten tapi gak produksi devais/produk dan gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-))  ada banyak bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya
 rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya rendah dan LEADING di market.
Wah kalo bicara contoh adil kayaknya sulit juga yak, tp bolah lahaku bicara idealis. Memang idealisnya resourcenya itu ga terbatas, sementara patennya jalan terus. Produksi pada manufaktur memenuhi kebutuhan jasa konsumen.Market produkberbagisegmen di setiapinfratruktur 
konsumen.Semua produsen leading merata di semua sektor. Trus siklus ekonomisnya gmn hayoo?? Kalo bicara fakta, resource termasuk devais/produk serba terbatas, sementara penduduk di negara majusudah kurang menggemari sektor2 produksi karena lebih memfokus penguasaan market global. Negara2 kategori berkembang diincar sebagai pendukung resouce murah. Lah di sini letak cacat dari sistem paten di era globalisasi, bisa saja rentang masa usang (expired patent) bakal diperpendek ato semakin banyak kerjasama dalam kepemilikan dan pembagian hasil patent. Tentunya tetap saja yg memiliki posisi bargainglobal dimiliki oleh instansi besar dan sudah maju.


 Budi Rahardjo wrote:  Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini.  Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.  Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.  Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
  (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)  Hayo... kenapa?
Setiap orang bebas memilih, menggunakanpaten atauopen source. Tohmengingat rd akan berkembang pesat karena informasi semakin terbuka dan cepat berbagi, selama kode etikyang anti monopoli tetep dipegang teguh. Toh semuanya ada rulenya, tergantung kita menjadi role apa? Kalo bicara strategik pasti jangka panjang, kl masih bicara engineering paling2 jangka menengah, dan cm bicara teknis balik haluan toh cm bicara jangka pendek yang trend sesaat(lg musiman neh). Mudah2an aku ga jd poli-tikus yg cuma jago jual iler trus kebingungan abis jadi anggota parle-nte mo kerja apa...cmiiw




[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Zaki Akhmad

Pakcik wrote:
 On 12/30/05, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote:

 atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om
 Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will
 disagree with me.  seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan.

Pak Cik, saya masih anak kemarin sore. Kemampuan teknis saya masih
script kiddies. Saya baru punya 2 ponakan. Jadi cuma 2 ponakan saya
yang resmi berhak memanggil saya Om. Panggil saya Zaki saja ya. Saya
lebih nyaman dengan itu ;)

Saya cerita pengalaman saya saja soal kesiapan menerima keyakinan yang
berbeda dengan orang lain. 2 minggu yang lalu, saya terpaksa
marah-marah besar di salah satu milis komunitas yang saya ikuti. Marah
karena ada perbedaan prinsip yang sudah melewati batas toleransi saya.

Bayangkan: saya menulis tiga email dengan panjang 3 halaman untuk
masing-masing email! Setiap kata-kata yang saya tulis saya perhatikan
betul-betul. Dan saya sebutkan alasan-alasan saya mengapa saya harus
bertindak seperti itu. Saya sebenarnya malas marah. Marah itu capek dan
menghabiskan energi. Tapi bagaimana lagi, saya harus berani berpendapat
dan siap menerima perbedaan pendapat.

Beragam tanggapan pun datang. Ada yang bilang saya gila, saya sakit,
malah ada ke tanya latar belakang saya: Zak, lo lagi ada apa sih?
Diputusin cewek? Kehabisan duit bulanan? Ada lagi yang one-liner tanpa
argumentasi jelas, ada yang masih memberikan balasan dengan alasan
objektif, dan ada juga yang berani bilang angkat topi untuk saya.
Semua saya terima. Dan saya jadikan feedback buat saya.

Untung kala itu sudah beres satu tugas UAS, jadi tidak terlalu
menganggu kuliah :D

 demokrasi sering di artikan orang hanya hanya kebebasan berpendapat. tapi
 yang paling susah dan penting itu sebenarnya kemampuan kita menerima
 perbedaan. menurut saya ini yang terjadi dengan Indonesia sekarang. Kita gak
 siap menerima perbedaan pendapat, keyakinan yang berbeda.

Saya pribadi, lebih menghargai orang yang berani berpendapat dengan
alasan yang kuat. Dan di tempat saya aktif berkegiatan dulu, budaya ini
kami biasakan. Beda pendapat tidak masalah yang penting punya alasan di
balik pendapat itu. Baru nanti alasan itu diadu, siapa yang lebih kuat.
Kalau ada yang kalah, harus mengakui yang menang. Kalau masing-masing
merasa menang tidak perlu kerjasama, tapi sama-sama kerja. Membuktikan
siapa yang terbaik.

 --
 Pakcik
 Under Construction

Zaki Akhmad
http://www.zakiakhmad.info
*masih script-kiddies*



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Pakcik
On 12/30/05, enda nasution [EMAIL PROTECTED] wrote:

Spesifik soal Roy Suryo ada beberapa kemungkinan lain ketimbang belum mampu untuk bisa berbeda pendapat [hehehe]. 

Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua
pihak setara, minimal dari segi kemampuan untuk melakukan diskusi yang
beradab.

Kedua, harus ada saling kepercayaan, minimal pada institusi
penyelenggara duduk semeja ini untuk berlaku adil dan seimbang dan
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain, kecuali untuk tujuan-tujuan
yang sudah disepakati bersama.

Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah
untuk duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om
roy bisa claim bahwa kita ga berani dll.

Tapi ya masing-masing pilihan pasti ada konsekwensinya.

kok jadi mirip2 tuntuntan GAM. hehe :p

Anyway, kembali ke topik awal. :)


ayo kembali ke topik awal. :)-- PakcikUnder Construction


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik fade2blac

On Fri, Dec 30, 2005 at 12:38:02PM +0900, Pakcik wrote:
 
  Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang
  penting,melainkan reasoning dibelakangnya.
 
 
 saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju.  :)
 
 Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus sehingga
 bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung.   Siapa yang bisa bikin
 reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli. Unfortunately, di dunia demokrasi
 gak ada pakar. semua setara.
 

Dan jangan lupa, reasoning bisa dipelintir sedemikian rupa. Itu pake ilmu yang 
namanya retorika :-)

Kalau saya pedagang komputer, kemudian ada isu impor komputer bekas, maka 
dengan pertimbangan bahwa dagangan saya nggak laku, maka saya bisa 
berargumentasi habis-habisan dengan reasoning lingkungan, sampah teknologi dan 
lain-lain.

Kalau saya importir yang dapat kontrak import komputer bekas, dan sudah ada 
pasar, maka dengan pertimbangan bahwa saya akan untung besar, maka saya bisa 
berargumentasi komputer bekas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkecil 
barrier entry dan lain-lain.

Jadi, silakan disimpulkan sendiri tentang reasoning (istilah kerennya: 
ngelesologi atau ilmu ngeles) 

--
fade2blac 


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan


 Kalau saya importir yang dapat kontrak import komputer bekas, dan sudah ada 
 pasar, maka dengan pertimbangan bahwa saya akan untung besar, maka saya bisa 
 berargumentasi komputer bekas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, 
 memperkecil barrier entry dan lain-lain.


Betul, makanya , selalu ikut sertakan orang NON-PARTISAN ( orang yang
tidak memperoleh keuntungan/profits ketika objektif yang di-diskusikan)

 **dan**

orang yang pernah punya pengalaman dengan hal itu sebelumnya(contoh
untuk diatas,orang bukan pedagang komputer di tempat/negara lain yang
punya pengalaman dengan import komputer bekas.

Jadi bisa banyak segi yang bisa dipertimbangkan.

 Jadi, silakan disimpulkan sendiri tentang reasoning (istilah kerennya: 
 ngelesologi atau ilmu ngeles)


Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jika
belum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akar
kesalahan :)) 

Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik adi

On Fri, Dec 30, 2005 at 03:41:01PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
 Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jika
 belum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akar
 kesalahan :)) 

ups .. http://google.com/search?q=logical+fallacy :-)

(yang ngeles itu yang membelokkan diskusi soal paten menjadi soal RD
dan menjadikan research menjadi menara gading (hi..hi..).

btw, anda (lebih) benar dengan menyebut riset dan pengembangan
(menghasilkan sesuatu) ada dalam 1 bagian dan dikerjakan bersamaan, lah
wong namanya saja 'R'  'D'.

kayak musashi saja, yang lebih mementingkan kantong dari pada isi.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

-- 
Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

Ah om adi paling bisa :)

Ya silahkan bicara paten lagi,sory kalo threadnya kebelok.

Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat
memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi
dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg
engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena
patent submission yg tinggi. :)

Tapi sebaiknya tidak disebutkan di milis :-))

Btw ini berdasar diskusi dengan paten officer lho,jadi pendapat expert
beneran.


Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Budi Rahardjo

On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat
 memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi
 dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg
 engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena
 patent submission yg tinggi. :)

Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini.

Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten.
Artinya sekitar 10 paten setiap harinya.
Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source?
(Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.)
Hayo... kenapa?


-- budi, yg tidak suka paten ...


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Pakcik
On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jikabelum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akarkesalahan :))
walah, tulisan om Carlos itu termasuk 'ngeles' apa termasuk 'reasoning' yah? hehehe

sepertinya rada2 gak nyambung, nih. siapa yg menuduh demokrasi jd
akar permasalahan? justru demokrasi itu bagus utk program2nya om Carlos
kecuali ekspektasinya, lempar wacana ke milis, trus mengharapkan semua
menundukkan kepala, setuju 100 persen. 
-- PakcikUnder Construction


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-30 Terurut Topik Zaki Akhmad


Pakcik wrote:

 tentang patent gak tau. hayo kenapa? :)

 --
 Pakcik
 Under Construction

Haduh, Pak Budi dan Pak Cik malah saling bertanya hayo kenapa. Saya
yang masih anak kemarin sore jadi tambah bingung deh. Apa saya saja
yang manja minta disuapin terus ya? Hayo Zaki kenapa manja? :D

Nanti dilanjutin lagi hayo kenapa-nya sama saya boleh? Hayo gimana
cara-nya ngaplikasiinnya ke Indonesia?

Zaki Akhmad
http://www.zakiakhmad.info



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik Zaki Akhmad

Budi Rahardjo wrote:
 http://rahard.wordpress.com/2005/12/25/akademisi-vs-industriawan/

 Akademisi, yang biasanya diwakili oleh dosen, cenderung untuk
 berpikiran negatif. Ada ketakutan-ketakutan. Mereka sering berpendapat
 bahwa seharusnya kita meneliti (mengembangkan ilmu) yang low tech
 saja. Padahal, di kelas mereka mengajarkan ilmu yang bisa digunakan di
 high-tech. Apakah ini disebabkan rasa bersalah mereka karena telah
 dididik dengan ilmu yang tidak bisa (dalam kacamata mereka)
 diimplementasikan di Indonesia, sehingga mereka merasa harus berpihak
 ke sisi lain?

Kalau dari kacamata mahasiswa amatiran seperti saya ini Pak Budi, saya
berpikir menggunakan pola dari makro ke mikro. Saya tahu tujuan
akhirnya apa, dan baru kemudian jika saya suka, detailnya akan saya
mengikuti. Misal sebagai contoh:  dapat pelajaran Medan 1 dengan empat
persamaan Maxwell, wah saya benar-benar tidak mengerti Matematika
se-dahsyat itu akan digunakan untuk apa? Khususnya apabila saya bekerja
di Indonesia. Atau mata saya yang biarpun sudah pakai kacamata ini
belum juga terbuka lebar? Apakah apabila saya memahami dengan
benar-benar persamaan Maxwell dalam kuliah Medan 1 (katakanlah dengan
dapat A walaupun kenyataannya dapat D biarpun sudah diulang 2x), saya
bisa mengaplikasikannya di Indonesia?

Karena saya tidak tahu ilmu yang saya pelajari di kuliah dapat saya
aplikasikan dimana, kesukaan saya kemudian lari ke dunia sosial. Saya
jadi lebih suka baca buku sejarah, biografi, filsafat, agama, seni, dan
desain. Eh tiba-tiba kuliah sudah sampai di akhir tahun dan saya
tersadar saya masih harus lulus kuliah hidup-hidup lewat Sabuga bukan
lewat Annex :D. Wawasan saya kembali terbuka setelah kenal dengan Bang
Carlos yang kerja di SV.

 Di sisi lain, industriawan umumnya berpikiran lebih positif. Saya
 melihat betapa seorang Iskandar Alisyahbana yang dengan terampil
 memotori perkembangan teknologi satelit di jaman dahulu (70-an?) dan
 kemudian melirik ke bioteknologi. Atau, seorang Mochtar Riady yang
 saat ini sedang gemar dengan nanotechnology. Mereka lebih progresif
 dan agresif. Saya beruntung bisa sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka.
 Antusiasme mereka bukan pura-pura. It's real. They are really excited
 in new things. Yang membuat saya bersedih melihat keadaan ini adalah
 kedua bapak ini dapat dikatakan sudah tua, akan tetapi semangat dan
 optimisme mereka melebihi anak muda! Saya malu!

 Tentu saja ada akademisi yang memiliki pemikiran jauh, semangat yang
 besar, optimisme yang besar, dan kemauan kerja yang besar. Contoh yang
 saya lihat ada di dalam seorang Samaun Samadikun. Beliau telah
 menghasilkan SDM-SDM yang memiliki karakter yang sama; optimis dan
 bersemangat. Tapi, jumlah orang seperti Samaun Samadikun di
 Indonesia tidak banyak.

Saya melihat figur-figur seperti Pak Iskandar dan Pak Samaun (saya
pernah sebentar berdiskusi dengan kedua orang ini. Kalau Mochtar Riady
saya baru baca resensi buku-nya saja, belum pernah ketemu langsung)
memiliki mata elang: mampu melihat tinggi, berwawasan luas. Pak
Iskandar dan Pak Samaun mampu melihat apa yang dibutuhkan 10-20 tahun
yang akan datang. Atau mungkin sampai 50 tahun yang akan datang.

Sayangnya, balik lagi ke Buruk Rupa Manusia Indonesia-nya Muctar Lubis,
budaya di Indonesia kita tidak suka melihat orang lain maju.
Orang-orang yang bermata elang ini pun termasuk yang disirikin.

Menurut teman saya anak Fisika ITB yang menang lomba penelitian LIPI
kategori sosial, umumnya dalam suatu masyarakat orang-orang dengan mata
elang ini dapat dikategorikan sebagai kaum minoritas kreatif. Minoritas
kreatif artinya orang-orang yang bermata elang ini biasanya cuma
sedikit saja jumlahnya dalam masyarakat.

Atau bisa kita lihat dari sudut pandang budaya sharing yang kurang di
Indonesia? Atau budaya yang sharing yang kurang ini juga diakibatkan
ketakutan orang-orang bermata elang disirikin orang lain? Jadilah
orang-orang pintar Indonesia lebih memilih untuk tinggal di LN: hidup
nyaman, dihargai, dan tentu tidak disirikin orang lain. Soalnya ketika
pulang ke .id bakal capek berantem dulu untuk bisa tetap berdiri teguh
di keyakinannya. Jadi agent of change di Indonesia benar-benar butuh
energi ekstra.

Bisa juga karena capek disirikin orang, orang-orang bermata elang ini
malas untuk sharing pandangannya. Mereka jalan saja sendiri diatas
keyakinannya. Tidak salah memang, walau sebenarnya lebih baik kalau
jalannya paralel. Antara eksekusi sebagai bukti mereka mampu mewujudkan
ide-ide mata elang tersebut dengan perlahan pelan-pelan membuat
opinion-shaping bahwa Indonesia pun mampu untuk bersaing di tingkat
dunia!

Ada satu lagi faktor yang menurut saya berpengaruh: fanatisme
berlebihan akan bidang ilmunya masing-masing. Hal ini akan membuat gap
antar bidang ilmu semakin besar. Gap antara orang-orang teknologi,
orang-orang sosial, orang-orang politik, orang-orang sains, orang-orang
ekonomi, orang-orang agama, filsafat, dll. Padahal kita harus maju
bersama-sama kalau memang ingin mau maju. 

[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan


 atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om
 Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will
 disagree with me.  seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan.


Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang
penting,melainkan reasoning dibelakangnya.

Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dan
tampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak
setuju) harus commit dengan kebijakan itu.

Contohnya, kalo di DPR kita,memang bebas berpendapat,tapi mereka asal
beda berpendapat tanpa alasan yang jelas karena kawan diskusinya yang
berseberangan pendapat --beda partai dan beda haluan ... he he he :-))


Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik enda nasution
On 12/30/05, Pakcik [EMAIL PROTECTED] wrote:
On 12/30/05, Zaki Akhmad 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
Atau bisa kita lihat dari sudut pandang budaya sharing yang kurang diIndonesia? Atau budaya yang sharing yang kurang ini juga diakibatkan
ketakutan orang-orang bermata elang disirikin orang lain? Jadilahorang-orang pintar Indonesia lebih memilih untuk tinggal di LN: hidupnyaman, dihargai, dan tentu tidak disirikin orang lain. Soalnya ketika
pulang ke .id bakal capek berantem dulu untuk bisa tetap berdiri teguh
di keyakinannya. Jadi agent of change di Indonesia benar-benar butuhenergi ekstra.Bisa juga karena capek disirikin orang, orang-orang bermata elang inimalas untuk sharing pandangannya. Mereka jalan saja sendiri diatas
keyakinannya. atau
mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om
Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X
will disagree with me. seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk
berbeda pandangan. 

demokrasi sering di artikan orang hanya hanya kebebasan berpendapat.
tapi yang paling susah dan penting itu sebenarnya kemampuan kita
menerima perbedaan. menurut saya ini yang terjadi dengan Indonesia
sekarang. Kita gak siap menerima perbedaan pendapat, keyakinan yang
berbeda.

saya contohkan dengan kasus Roy Suryo. wait a minute, kalau bicara Roy
Suryo sensitif, jadi saya claim dulu bahwa ini gak ada hubungan dengan
kasus Roy Suryo, hanya contoh tentang perbedaan aja. 

begini, kalau teman2 yang bersebrangan dengan Roy Suryo tidak tahan
duduk satu meja selama 5 menit dengan Roy Suryo, artinya kita gak siap
berbeda, let's forget about democracy.

Spesifik soal Roy Suryo ada beberapa kemungkinan lain ketimbang belum mampu untuk bisa berbeda pendapat [hehehe]. 

Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua
pihak setara, minimal dari segi kemampuan untuk melakukan diskusi yang
beradab.

Kedua, harus ada saling kepercayaan, minimal pada institusi
penyelenggara duduk semeja ini untuk berlaku adil dan seimbang dan
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain, kecuali untuk tujuan-tujuan
yang sudah disepakati bersama.

Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah
untuk duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om
roy bisa claim bahwa kita ga berani dll.

Tapi ya masing-masing pilihan pasti ada konsekwensinya.

Anyway, kembali ke topik awal. :)

--enda Visit my blog. Click herehttp://enda.goblogmedia.com


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik adi

On Fri, Dec 30, 2005 at 09:45:25AM +0700, enda nasution wrote:
 Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua pihak
 setara

ups .. tidak. anyway jangan pernah berasumsi :-)

 Kedua, harus ada saling kepercayaan

wah .. ini meminta terlalu banyak ...

 Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah untuk
 duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om roy bisa
 claim bahwa kita ga berani dll.

dianggap ndak berani? emang gateway protocol (EGP :-).
well..well..well.. time will tell.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

-- 
Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik Pakcik
On 12/30/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will disagree with me.seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan.
Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yangpenting,melainkan reasoning dibelakangnya. 

saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju. :)

Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus
sehingga bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung.
Siapa yang bisa bikin reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli.
Unfortunately, di dunia demokrasi gak ada pakar. semua setara. 

Jadi siapa yang benar di dunia demokrasi? mayoritas, crowd.
Jadi kalau saya bilang X dengan reasoning gak karuan, tapi ternyata
semua orang mendukung, berarti X lah yang benar. 

http://en.wikipedia.org/wiki/The_Wisdom_of_Crowds

ada penelitian tentang who wants to be a millionare, gak tau benar apa
nggak. ternyata yang paling sering benar itu adalah ask audiences di
banding 50-50 dan ask friend/expert. Tapi gak tau ini berlaku di
Indonesia yang katanya tingkat pendidikannya rendah.

hehehe ayo para pakar, salah sendiri milih demokrasi. :)

Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dantampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak
setuju) harus commit dengan kebijakan itu.
Setuju. unfortunately diskusi tidak sama dengan voting (memilih). Di
DPR ada voting, harus menyepakati sesuatu, harus bikin policy.
Sementara di tempat lain seperti milis ini gak harus memutuskan sesuatu
kan. kita diskusi, bikin wacana. 
-- PakcikUnder Construction


[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-29 Terurut Topik Muhamad Carlos Patriawan

Pakcik wrote:
 On 12/30/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
 
  
   atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om
   Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think 
   mr.Xwill
   disagree with me.  seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda
  pandangan.
  
 
  Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang
  penting,melainkan reasoning dibelakangnya.
 

 saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju.  :)

 Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus sehingga
 bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung.   Siapa yang bisa bikin
 reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli. Unfortunately, di dunia demokrasi
 gak ada pakar. semua setara.

 Jadi siapa yang benar di dunia demokrasi? mayoritas, crowd.  Jadi kalau
 saya bilang X dengan reasoning gak karuan, tapi ternyata semua orang
 mendukung, berarti X lah yang benar.

aha,point yang bagus  betul,makanya dalam dunia demokrasi,hanya
pemilihan pemimpin saja yang melibatkan seluruh rakyat.

Sedangkan untuk hal2 yang sifatnya strategis,itu diserahkan kepada
expert,dirjen,sekjen,menteri,polisi,alim ulama dan para cendekiawan :)



 http://en.wikipedia.org/wiki/The_Wisdom_of_Crowds

 ada penelitian tentang who wants to be a millionare, gak tau benar apa
 nggak. ternyata yang paling sering benar itu adalah ask audiences di banding
 50-50 dan ask friend/expert. Tapi gak tau ini berlaku di Indonesia yang
 katanya tingkat pendidikannya rendah.

 hehehe ayo para pakar, salah sendiri milih demokrasi. :)

bukan 'demokrasi'nya tapi 'euphoria democrasinya' yang dimanfaatkan
sebagian orang yang salah.

banyak org beranggapakan kalo demokrasi=kebebasan melakukan apa saja
termasuk kebebasan pers/media

nah skrg pers/media memanfaatkan kebebasan tsb dengan mempertontonkan
tayangan tidak senonoh atau pembodohan massal seperti tayangan
hantu,nah reasoning si pers/media wah ini ratingnya tinggi
pak...masyrakat suka,para kaum cendekia dan tokoh agama terkejut,koq
begini ya ? nah disinilah peran kaum cendekia/expert memberikan arah
kepada majoritas/masyrakat (yang salah).

 Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dan
  tampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak
  setuju) harus commit dengan kebijakan itu.
 

 Setuju. unfortunately diskusi tidak sama dengan voting (memilih). Di DPR ada
 voting, harus menyepakati sesuatu, harus bikin policy. Sementara di tempat
 lain seperti milis ini gak harus memutuskan sesuatu kan. kita diskusi, bikin
 wacana.

oooh milis toch :-) hahahaha lets shoot it PakCik kalau ada yang gak
cocok asalkan pakai reasoning yang kuat :)) tapi begitu ketemu satu
titik temu kita diskusi di higher level,jadi gak ngomongin hal yg sama
lagi.

Carlos



[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan

2005-12-25 Terurut Topik alex
Pada tanggal 12/25/05, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] menulis:
http://rahard.wordpress.com/2005/12/25/akademisi-vs-industriawan/Ada yang aneh dari hasil pengamatan saya (amatiran tentunya) terhadap
pandangan akademisi dan industriawan tentang pengembangan sesuatu yangberbau teknologi tinggi (high tech; biotech, nanotech, dan *techlainnya).Akademisi, yang biasanya diwakili oleh dosen, cenderung untuk
berpikiran negatif. Ada ketakutan-ketakutan. Mereka sering berpendapatbahwa seharusnya kita meneliti (mengembangkan ilmu) yang low techsaja. Padahal, di kelas mereka mengajarkan ilmu yang bisa digunakan di
high-tech. Apakah ini disebabkan rasa bersalah mereka karena telahdididik dengan ilmu yang tidak bisa (dalam kacamata mereka)diimplementasikan di Indonesia, sehingga mereka merasa harus berpihakke sisi lain?


Pernah menanyakan pertanyaan begini pada beberapa dosen di kampus.
Seingat saya saat itu saya tanya tentang publikasi beberapa hasil riset
di kampus, yang ada diantaranya merupakan lanjutan dari Tugas Akhir
senior-senior, dan saya anggap pantas untuk diajukan. Tapi banyak yang
mengelak dan mengatakan: sepertinya kita tidak akan mampu untuk
mempublikasikan dan nanti ada yang tertarik buat mengembangkan.

Dan yang berbicara demikian itu yang sudah ambil S3 sampai ke Amerika
loh, Pak. Saya kaget juga, namun coba maklum bahwa untuk
pengembangan-pengembangan semacam itu terkadang ada ketakutan bahwa
ini tidak akan didukung karena belum pasti beruntung.
Di sisi lain, industriawan umumnya berpikiran lebih positif. Sayamelihat betapa seorang Iskandar Alisyahbana yang dengan terampil
memotori perkembangan teknologi satelit di jaman dahulu (70-an?) dankemudian melirik ke bioteknologi. Atau, seorang Mochtar Riady yangsaat ini sedang gemar dengan nanotechnology. Mereka lebih progresifdan agresif. Saya beruntung bisa sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka.
Antusiasme mereka bukan pura-pura. It's real. They are really excitedin new things. Yang membuat saya bersedih melihat keadaan ini adalahkedua bapak ini dapat dikatakan sudah tua, akan tetapi semangat danoptimisme mereka melebihi anak muda! Saya malu!
Tentu saja ada akademisi yang memiliki pemikiran jauh, semangat yangbesar, optimisme yang besar, dan kemauan kerja yang besar. Contoh yangsaya lihat ada di dalam seorang Samaun Samadikun. Beliau telahmenghasilkan SDM-SDM yang memiliki karakter yang sama; optimis dan
bersemangat. Tapi, jumlah orang seperti Samaun Samadikun diIndonesia tidak banyak.
Ada kemungkinan lain, yaitu kacamata yang saya gunakan untuk melihatternyata menipu penglihatan saya sehingga pengamatan saya salah besar.
Sangat dimungkinkan! Maklum, baru menggunakan kacamata.

Hahaha mungkin... mungkin saja, Pak...

-- heart-shaped-boxdarussalam-banda acehhttp://tintamerah.blogspot.comY!M:alexaceh