[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/30/05, Pakcik [EMAIL PROTECTED] wrote: saya contohkan dengan kasus Roy Suryo. wait a minute, kalau bicara Roy Suryo sensitif, jadi saya claim dulu bahwa ini gak ada hubungan dengan kasus Roy Suryo, hanya contoh tentang perbedaan aja. begini, kalau teman2 yang bersebrangan dengan Roy Suryo tidak tahan duduk satu meja selama 5 menit dengan Roy Suryo, artinya kita gak siap berbeda, let's forget about democracy. kalau ada jaminan dia tidak menggunakan logical fallacy yang bisa dilihat daftarnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Logical_fallacy dan juga dilihat contohnya di http://72.14.203.104/search?q=cache:7cOvog4ywvIJ:groups.or.id/pipermail/genetika/2004-March/001649.html, mau seharian pun rasanya bisa. contoh ekstrimnya, apakah ada orang yang mau duduk dalam radius 1 meter dekat orang yang kalau bicara pakai megaphone dengan volume sekeras mungkin? apakah ini contoh yang sahih untuk mencontohkan apa itu demokrasi? -- I solemnly swear that I'm up to no good http://data.startrek.or.id http://kiozk.com
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On Sun, Jan 01, 2006 at 10:45:22AM +0700, Dipo Prasetyo wrote: Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk menghargai hasil karya orang lain. Saya jarang menemukan orang-orang yang mampu menghargai hasil karya orang lain di lingkungan saya. menghargai hasil karya orang lain itu bisa lepas dari ada/tidak ada paten, bentuk lisensi dll. soal paten itu sendiri, seperti yang bisa dilihat dari contoh-contoh yang sudah disampaikan oleh Carlos Patriawan, sudah menjadi semacam komoditi bisnis bagi korporasi besar (saya kurang tahu apakah ini sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan paten :-) Salam, P.Y. Adi Prasaja -- Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On Sat, Dec 31, 2005 at 06:22:39AM +0700, Budi Rahardjo wrote: Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? paten itu sendiri sifatnya tidak harus vis-a-vis dengan lisensi (opensource berkaitan dengan lisensi). boleh dibilang merupakan dua hal yang berbeda. lepas dari model lisensi yang dipergunakan, paten tetap bisa dilanggar. misalnya dulu daniel phillips bermaksud membuat filesistem tux2 (non-journaling fs yang dapat difsck dengan cepat) dengan lisensi GPL, project tsb. terpaksa dihentikan dengan ancaman tuntutan pelanggaran paten oleh netapp (cara yang digunakan oleh daniel menurut netapp telah dipatenkan dan digunakan pada waffle fs). meskipun tux2 tidak direlease dengan lisensi GPL, tetap saja paten dilanggar (paten itu root of all evil :-) kenapa IBM rajin mensubmit paten dan sekaligus mendukung opensource? ya karena ada misi 'bisnis' dibalik itu semua lah, lagi pula paten dan lisensi bukan dua hal yang bisa/perlu dipertentangkan. Ini bisa dilihat dari mengapa IBM Public License bisa spt itu. makanya, untuk soal lisensi ini, lebih baik GPL dari pada sekedar ngomong soal opensource(tm) yang mirip hutan belantara dan gak jelas (menurut saya). Salam, P.Y. Adi Prasaja -- Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
adi wrote: On Sun, Jan 01, 2006 at 10:45:22AM +0700, Dipo Prasetyo wrote: Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk menghargai hasil karya orang lain. Saya jarang menemukan orang-orang yang mampu menghargai hasil karya orang lain di lingkungan saya. soal paten itu sendiri, seperti yang bisa dilihat dari contoh-contoh yang sudah disampaikan oleh Carlos Patriawan, sudah menjadi semacam komoditi bisnis bagi korporasi besar Koreksi kecil: sebagian korporasi besar,nanti dikira semuanya begitu ... he he he :) Kemaren waktu saya nulis ini,saya cuman nulis berdasar data dan apa yang saya lihat dan dengar saja lho,tapi ternyata ketemu ada artikel di Forbes yang **exactly** mewakili problem yang saya lihat: ---beg In corporate America, this type of shakedown is repeated weekly. The patent as stimulant to invention has long since given way to the patent as blunt instrument for establishing an innovation stranglehold. Sometimes the antagonist is a large corporation, short on revenue-generating products but long on royalty-generating patents**. On other occasions, an **opportunistic** entrepreneur who only produces patent applications uses the system's overly broad and undisciplined patent grant to shake down a potential competitor. end Saya boleh tambahkan: sebenarnya yg jadi grassroot permasalahan,adalah sifat ABUSIVE sebagian perusahaan besar pada penggunaan paten. Ini informasi *underground* fresh from silicon valley (yg mungkin sulit ditemukan dalam artikel): Karena buruknya dan abusivenya penggunaan paten ini saat ini, DE-FACTO sebagian perusahaan hitek inovatif hanya submit paten yang mempunyai potensi jika patent tersebut tidak disubmit,persh tersebut kemungkinan akan di sue oleh perusahaan lain jika patent tersebut menjadi bagian dari sebuah produk. (saya kurang tahu apakah ini sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan paten :-) Nah ini pertanyaan bagus dan very very political question indeed :-) Jadi gini,harus pakai angka nih (nah kalau pake angka jangan mesem2 ya untuk sebagain anggota milis lain .. he he he). Ini contoh pengandaian: Persh A: big corporation: marketcap 800million,revenue perquarter 60million Persh B: mediumsize hitek innovative: marketcap 100million,rev. perquarter 15million Tarohlah misalnya persh A dan persh sama2 mikirin bagaimana caranya bikin 'microwave untuk potato chips'.Tapi kita bikin dua pendekatan,Persh A karena duitnya banyak dia RD internal saja dan submit patent sementara Persh B karena persh medium size ya mereka mau develop produk berdasarkan RD (tanpa submit patent). Roughly cost yg mereka perbuat: 1. Persh A: ongkos untuk bikin patent: paling banter hanya 400,000 USD sekaligus kasih duit ke engineer agar rajin2 bikin patent dan agar legal departmenya rajin( rajin cari next hit list maksudnya ... he he h he he ) 2. Persh B: ongkos untuk produksi barang dan marketing: tarohlah ogkosnya 10 million dollar perquarter,sudah termasuk produksi/manufacturing. Tarohlah profit margin 50%,jadi untung yang diraup setelah BEP adalah 5 million USD/quarter (ini over-simplikasi lho). Kita bikin saja skenario 1 tahun kemudian dimana Persh B berhasil jualan microwave ini dan mendapatkan keuntungan 20 million pertahunnya (5 million x 4). Tiba2 Persh A ini kaget,wah ternyata keduluan nich,Persh A langsung deh ngesue persh B,di court begini: Pak Hakim dan Pak Jaksa,persh B ini ternyata mencuri paten saya,oleh karena ini saya minta sue mereka dengan denda 60 million dollar !! .Angka 60 million ini biasanya angka 'tinggal jebret' saja dari persh besar. Tentu saja,Persh B ini jadi mendadak stress,lha di sue 60 million padahal income dari produk terebut hanya 20 million. Akhirnya gimana,mereka settled out ouf court,kata persh B,ya udah deh,kalo ente masih mau jualan produk itu,ente settle aja ama ane... harganya 40 million,gimane ? Tentu saja,persh A yang kecil ini mengiyakan tawaran big corporation.Jadi setelah settled seperti ini,persh A boleh dibilang merugi dulu(walau pernah booking profit sebesar 20 million) untuk boleh menjual produknya lagi. !!! Apa yang bisa dilihat dari cerita ini: Setelah waktu satu tahun, dengan kemampuan uang dan liciknya persh A,dia bisa giling kompetitor persh B melalui patent. Persh A ini gak perlu develop produk,cukup bikin patent sebanyak banyaknya (dan gaji lawyer ev***l setinggi-tingginya) dan tetap dapat duit dalam jumlah besar dengan nge-sue persh lain melalui paten yg dimiliknya. Makanya di Forbes ada kalimat berikut: short on revenue-generating products but long on royalty-generating patents** Buat kita di Indonesia,jadi paham cara praktik permainan politik kotornya bagaimana :) Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Budi Rahardjo wrote: On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena patent submission yg tinggi. :) Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini. Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? HAHAHAHA. sorry ngakak karena ini buka inti permasalahan :) Persis,persh hitek banyak paten tapi gak produksi devais/produk dan gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-)) ada banyak bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya rendah dan LEADING di market. Tapi begitu mereka berhasil jualan (dan ada paten yg mirip2 dengan yg pernah disubmit sama you-know-who) mereka disue. Coba deh diperhatikan dan dibagi lagi,3000 paten itu dibidang apa saja,apa semuanya ada di core bisnisnya mereka ?? contohnya,kalo I** tidak produksi router,koq mereka bikin paten networking ya ... he he he :-)) kalo persh jamu produksi paten cara bikin bakso,apakah klop ? Ini politik. Artinya,emang ada persh yang sengaja bikin paten tapi gak mendevelop produk atas produk paten itu...NAH INI THE TRUE EV**l ! Real engineer doesnt like patent Pak,unless the management asked them to create one :)) Carlos Disclaimer: ini tentunya pendapat pribadi :))
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Pakcik wrote: On 12/31/05, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini. Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? Tentang opensource. Microsoft berhasil bikin hardware jadi komoditi, sampai2 IBM nyerah, menjual PC bisnisnya ke china. Trus strateginya berubah. sekarang revenue IBM lebih dari 50 persen dari consulting dan service. Gimana biar bisnis consulting dan servicenya jalan? dia mau bikin software jadi komoditi. caranya dengan mendukung opensource. yep,ini dijadikan alat,dan masalah ini tidak hanya terjadi pada I*M Di sektor networking,banyak misalnya yang 10 tahun incomenya berasal dari produksi networking devais,tapi sekarang berubah ke consulting dan integration service. Somehow everybody wanna be like Infosys :) yang menarik tentang isu komoditi ini, di US dan negara maju lainnya, gak bisa dibikin tenaga kerja jadi komoditi. Itu yang terjadi di negara seperti china, india, indonesia, dll. negara2 ini berhasil bikin manusia jadi komoditi. hehehe. Bahkan banyak yang di bayar di bawah UMR. kekuatan di china sebenarnya lebih pada produksi/manufacturing/hardware sementara India pada software tentang patent gak tau. hayo kenapa? :) saya sudah jawab secara implisit nah cara praktek ev**l nya sudah ketauan kan :) Carlos -- Pakcik Under Construction
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Uups sorry Packcik,ini mungkin salah saya dalam menguraikan kalimat.Saya sepakat dengan beda pendapat ala 'demokrasi' yg pakcik ungkapkan. Dalam semangat tsb juga saya ingin menyampaikan R/D di persh hitek di .I'd harus menghasilkan output berupa produk yg bisa diukur dengan income,menyerap sdm dan tidak perlalu tergantung atau fokus pada paten. Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Muhamad Carlos Patriawan wrote: Budi Rahardjo wrote: On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena patent submission yg tinggi. :) Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini. Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? HAHAHAHA. sorry ngakak karena ini buka inti permasalahan :) Persis,persh hitek banyak paten tapi gak produksi devais/produk dan gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-)) ada banyak bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya rendah dan LEADING di market. Ini saya tambahkan kenapa banyaknya patent itu probably equal with evil and doesn't really equal with engineering output,lihat keyword hit list dibawah: Dalam kasus IBM vs Sun,lihat strategy yang digunakan ***sebagian*** big corporation dalam 'mengancam' persh hitek lain yang lebih kecil (tapi lebih inovatif) http://www.forbes.com/asap/2002/0624/044.html ... An awkward silence ensued. The blue suits did not even confer among themselves. They just sat there, stonelike. Finally, the chief suit responded. OK, he said, maybe you don't infringe these seven patents. But we have 10,000 U.S. patents. Do you really want us to go back to Armonk [IBM headquarters in New York] and find seven patents you do infringe? Or do you want to make this easy and just pay us $20 million? After a modest bit of negotiation, Sun cut IBM a check, and the blue suits went to the next company on their hit list. In corporate America, this type of shakedown is repeated weekly. The patent as stimulant to invention has long since given way to the patent as blunt instrument for establishing an innovation stranglehold. Sometimes the antagonist is a large corporation, short on revenue-generating products but long on royalty-generating patents. On other occasions, an opportunistic entrepreneur who only produces patent applications uses the system's overly broad and undisciplined patent grant to shake down a potential competitor. .. Nah, praktek seperti ini yang merusak Pak.Jadi jangan berbangga hati dulu dengan banyaknya patent submission.Banggalah jika menjadi leading di market tapi jangan bangga dengan mengancam persh lain melalui patent. Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Numpang komentar dikit On 1/1/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam kasus IBM vs Sun,lihat strategy yang digunakan ***sebagian***big corporation dalam 'mengancam' persh hitek lain yang lebih kecil (tapi lebih inovatif)Nah, praktek seperti ini yang merusak Pak.Jadi jangan berbangga hatidulu dengan banyaknya patent submission.Banggalah jika menjadi leadingdi market tapi jangan bangga dengan mengancam persh lain melalui patent. Bicara ttg paten, gw kurang ahli. Setau saya deh, berguna sekali untuk menghargai hasil karya orang lain.Saya jarang menemukan orang-orang yang mampu menghargai hasil karya orang laindi lingkungan saya. Padahal hal ini masih bicara lokal yang sering kita temui tentang individu personal, bukan menyangkut institusi apalagi korporat besar. Kebanyakan yang saya temukan adalah proses tambal sulam yang mempergunakan teknologi kuno tapi dapat dimanfaatkan lebih sebagaimana kemampuan teknologi itu sebenarnya. Proses ini menjadi leading di market lokal, dan didalamnya terjadi penggandaan hingga banyak tanpa dokumentasi legal, pengkopian menjadi imitasi yg sangat mirip,atau perekayasaan alur teknologi yang semakin diperpanjang. Aneh? Inefisiensi ato fiktif belaka Muhamad Carlos Patriawan wrote: persh hitekbanyak paten tapi gak produksi devais/produk dan gak berhasil jualan,contohnya ya yang diatas :-)) ada banyak bangeet Pak contoh persh hitek/ startup yang patennya submissionya rendah,inovasinya tinggi,gak mencontek patent ,patent submissionya rendah dan LEADING di market. Wah kalo bicara contoh adil kayaknya sulit juga yak, tp bolah lahaku bicara idealis. Memang idealisnya resourcenya itu ga terbatas, sementara patennya jalan terus. Produksi pada manufaktur memenuhi kebutuhan jasa konsumen.Market produkberbagisegmen di setiapinfratruktur konsumen.Semua produsen leading merata di semua sektor. Trus siklus ekonomisnya gmn hayoo?? Kalo bicara fakta, resource termasuk devais/produk serba terbatas, sementara penduduk di negara majusudah kurang menggemari sektor2 produksi karena lebih memfokus penguasaan market global. Negara2 kategori berkembang diincar sebagai pendukung resouce murah. Lah di sini letak cacat dari sistem paten di era globalisasi, bisa saja rentang masa usang (expired patent) bakal diperpendek ato semakin banyak kerjasama dalam kepemilikan dan pembagian hasil patent. Tentunya tetap saja yg memiliki posisi bargainglobal dimiliki oleh instansi besar dan sudah maju. Budi Rahardjo wrote: Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini. Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? Setiap orang bebas memilih, menggunakanpaten atauopen source. Tohmengingat rd akan berkembang pesat karena informasi semakin terbuka dan cepat berbagi, selama kode etikyang anti monopoli tetep dipegang teguh. Toh semuanya ada rulenya, tergantung kita menjadi role apa? Kalo bicara strategik pasti jangka panjang, kl masih bicara engineering paling2 jangka menengah, dan cm bicara teknis balik haluan toh cm bicara jangka pendek yang trend sesaat(lg musiman neh). Mudah2an aku ga jd poli-tikus yg cuma jago jual iler trus kebingungan abis jadi anggota parle-nte mo kerja apa...cmiiw
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Pakcik wrote: On 12/30/05, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote: atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will disagree with me. seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan. Pak Cik, saya masih anak kemarin sore. Kemampuan teknis saya masih script kiddies. Saya baru punya 2 ponakan. Jadi cuma 2 ponakan saya yang resmi berhak memanggil saya Om. Panggil saya Zaki saja ya. Saya lebih nyaman dengan itu ;) Saya cerita pengalaman saya saja soal kesiapan menerima keyakinan yang berbeda dengan orang lain. 2 minggu yang lalu, saya terpaksa marah-marah besar di salah satu milis komunitas yang saya ikuti. Marah karena ada perbedaan prinsip yang sudah melewati batas toleransi saya. Bayangkan: saya menulis tiga email dengan panjang 3 halaman untuk masing-masing email! Setiap kata-kata yang saya tulis saya perhatikan betul-betul. Dan saya sebutkan alasan-alasan saya mengapa saya harus bertindak seperti itu. Saya sebenarnya malas marah. Marah itu capek dan menghabiskan energi. Tapi bagaimana lagi, saya harus berani berpendapat dan siap menerima perbedaan pendapat. Beragam tanggapan pun datang. Ada yang bilang saya gila, saya sakit, malah ada ke tanya latar belakang saya: Zak, lo lagi ada apa sih? Diputusin cewek? Kehabisan duit bulanan? Ada lagi yang one-liner tanpa argumentasi jelas, ada yang masih memberikan balasan dengan alasan objektif, dan ada juga yang berani bilang angkat topi untuk saya. Semua saya terima. Dan saya jadikan feedback buat saya. Untung kala itu sudah beres satu tugas UAS, jadi tidak terlalu menganggu kuliah :D demokrasi sering di artikan orang hanya hanya kebebasan berpendapat. tapi yang paling susah dan penting itu sebenarnya kemampuan kita menerima perbedaan. menurut saya ini yang terjadi dengan Indonesia sekarang. Kita gak siap menerima perbedaan pendapat, keyakinan yang berbeda. Saya pribadi, lebih menghargai orang yang berani berpendapat dengan alasan yang kuat. Dan di tempat saya aktif berkegiatan dulu, budaya ini kami biasakan. Beda pendapat tidak masalah yang penting punya alasan di balik pendapat itu. Baru nanti alasan itu diadu, siapa yang lebih kuat. Kalau ada yang kalah, harus mengakui yang menang. Kalau masing-masing merasa menang tidak perlu kerjasama, tapi sama-sama kerja. Membuktikan siapa yang terbaik. -- Pakcik Under Construction Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info *masih script-kiddies*
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/30/05, enda nasution [EMAIL PROTECTED] wrote: Spesifik soal Roy Suryo ada beberapa kemungkinan lain ketimbang belum mampu untuk bisa berbeda pendapat [hehehe]. Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua pihak setara, minimal dari segi kemampuan untuk melakukan diskusi yang beradab. Kedua, harus ada saling kepercayaan, minimal pada institusi penyelenggara duduk semeja ini untuk berlaku adil dan seimbang dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain, kecuali untuk tujuan-tujuan yang sudah disepakati bersama. Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah untuk duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om roy bisa claim bahwa kita ga berani dll. Tapi ya masing-masing pilihan pasti ada konsekwensinya. kok jadi mirip2 tuntuntan GAM. hehe :p Anyway, kembali ke topik awal. :) ayo kembali ke topik awal. :)-- PakcikUnder Construction
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On Fri, Dec 30, 2005 at 12:38:02PM +0900, Pakcik wrote: Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang penting,melainkan reasoning dibelakangnya. saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju. :) Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus sehingga bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung. Siapa yang bisa bikin reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli. Unfortunately, di dunia demokrasi gak ada pakar. semua setara. Dan jangan lupa, reasoning bisa dipelintir sedemikian rupa. Itu pake ilmu yang namanya retorika :-) Kalau saya pedagang komputer, kemudian ada isu impor komputer bekas, maka dengan pertimbangan bahwa dagangan saya nggak laku, maka saya bisa berargumentasi habis-habisan dengan reasoning lingkungan, sampah teknologi dan lain-lain. Kalau saya importir yang dapat kontrak import komputer bekas, dan sudah ada pasar, maka dengan pertimbangan bahwa saya akan untung besar, maka saya bisa berargumentasi komputer bekas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkecil barrier entry dan lain-lain. Jadi, silakan disimpulkan sendiri tentang reasoning (istilah kerennya: ngelesologi atau ilmu ngeles) -- fade2blac
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Kalau saya importir yang dapat kontrak import komputer bekas, dan sudah ada pasar, maka dengan pertimbangan bahwa saya akan untung besar, maka saya bisa berargumentasi komputer bekas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkecil barrier entry dan lain-lain. Betul, makanya , selalu ikut sertakan orang NON-PARTISAN ( orang yang tidak memperoleh keuntungan/profits ketika objektif yang di-diskusikan) **dan** orang yang pernah punya pengalaman dengan hal itu sebelumnya(contoh untuk diatas,orang bukan pedagang komputer di tempat/negara lain yang punya pengalaman dengan import komputer bekas. Jadi bisa banyak segi yang bisa dipertimbangkan. Jadi, silakan disimpulkan sendiri tentang reasoning (istilah kerennya: ngelesologi atau ilmu ngeles) Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jika belum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akar kesalahan :)) Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On Fri, Dec 30, 2005 at 03:41:01PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jika belum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akar kesalahan :)) ups .. http://google.com/search?q=logical+fallacy :-) (yang ngeles itu yang membelokkan diskusi soal paten menjadi soal RD dan menjadikan research menjadi menara gading (hi..hi..). btw, anda (lebih) benar dengan menyebut riset dan pengembangan (menghasilkan sesuatu) ada dalam 1 bagian dan dikerjakan bersamaan, lah wong namanya saja 'R' 'D'. kayak musashi saja, yang lebih mementingkan kantong dari pada isi. Salam, P.Y. Adi Prasaja -- Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Ah om adi paling bisa :) Ya silahkan bicara paten lagi,sory kalo threadnya kebelok. Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena patent submission yg tinggi. :) Tapi sebaiknya tidak disebutkan di milis :-)) Btw ini berdasar diskusi dengan paten officer lho,jadi pendapat expert beneran. Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Balik lagi,RD di pers hitek tanpa paten sebagai output sangat memungkinkan.Saya bisa tunjuk pers mana yg output engineeringnta tinggi dengan paten submission yg rendah dan dilain pihak,persh mana yg engring outputnya rendah tapi bagian patentnya sibuk terus karena patent submission yg tinggi. :) Tinggal baca saja Newsweek edisi 2006 ini. Paten IBM dalam 1 tahun: 3000 paten. Artinya sekitar 10 paten setiap harinya. Mengapa mereka balik haluan dan mendukung open source? (Ini contoh paten jalan terus, open source jalan juga.) Hayo... kenapa? -- budi, yg tidak suka paten ...
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/31/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Beda dong om,nanti tiap apa2 dibilang ngeles :-) yang 'ngeles' itu jikabelum apa apa langsung menuduh demokrasi atau patent sebagai akarkesalahan :)) walah, tulisan om Carlos itu termasuk 'ngeles' apa termasuk 'reasoning' yah? hehehe sepertinya rada2 gak nyambung, nih. siapa yg menuduh demokrasi jd akar permasalahan? justru demokrasi itu bagus utk program2nya om Carlos kecuali ekspektasinya, lempar wacana ke milis, trus mengharapkan semua menundukkan kepala, setuju 100 persen. -- PakcikUnder Construction
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Pakcik wrote: tentang patent gak tau. hayo kenapa? :) -- Pakcik Under Construction Haduh, Pak Budi dan Pak Cik malah saling bertanya hayo kenapa. Saya yang masih anak kemarin sore jadi tambah bingung deh. Apa saya saja yang manja minta disuapin terus ya? Hayo Zaki kenapa manja? :D Nanti dilanjutin lagi hayo kenapa-nya sama saya boleh? Hayo gimana cara-nya ngaplikasiinnya ke Indonesia? Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Budi Rahardjo wrote: http://rahard.wordpress.com/2005/12/25/akademisi-vs-industriawan/ Akademisi, yang biasanya diwakili oleh dosen, cenderung untuk berpikiran negatif. Ada ketakutan-ketakutan. Mereka sering berpendapat bahwa seharusnya kita meneliti (mengembangkan ilmu) yang low tech saja. Padahal, di kelas mereka mengajarkan ilmu yang bisa digunakan di high-tech. Apakah ini disebabkan rasa bersalah mereka karena telah dididik dengan ilmu yang tidak bisa (dalam kacamata mereka) diimplementasikan di Indonesia, sehingga mereka merasa harus berpihak ke sisi lain? Kalau dari kacamata mahasiswa amatiran seperti saya ini Pak Budi, saya berpikir menggunakan pola dari makro ke mikro. Saya tahu tujuan akhirnya apa, dan baru kemudian jika saya suka, detailnya akan saya mengikuti. Misal sebagai contoh: dapat pelajaran Medan 1 dengan empat persamaan Maxwell, wah saya benar-benar tidak mengerti Matematika se-dahsyat itu akan digunakan untuk apa? Khususnya apabila saya bekerja di Indonesia. Atau mata saya yang biarpun sudah pakai kacamata ini belum juga terbuka lebar? Apakah apabila saya memahami dengan benar-benar persamaan Maxwell dalam kuliah Medan 1 (katakanlah dengan dapat A walaupun kenyataannya dapat D biarpun sudah diulang 2x), saya bisa mengaplikasikannya di Indonesia? Karena saya tidak tahu ilmu yang saya pelajari di kuliah dapat saya aplikasikan dimana, kesukaan saya kemudian lari ke dunia sosial. Saya jadi lebih suka baca buku sejarah, biografi, filsafat, agama, seni, dan desain. Eh tiba-tiba kuliah sudah sampai di akhir tahun dan saya tersadar saya masih harus lulus kuliah hidup-hidup lewat Sabuga bukan lewat Annex :D. Wawasan saya kembali terbuka setelah kenal dengan Bang Carlos yang kerja di SV. Di sisi lain, industriawan umumnya berpikiran lebih positif. Saya melihat betapa seorang Iskandar Alisyahbana yang dengan terampil memotori perkembangan teknologi satelit di jaman dahulu (70-an?) dan kemudian melirik ke bioteknologi. Atau, seorang Mochtar Riady yang saat ini sedang gemar dengan nanotechnology. Mereka lebih progresif dan agresif. Saya beruntung bisa sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka. Antusiasme mereka bukan pura-pura. It's real. They are really excited in new things. Yang membuat saya bersedih melihat keadaan ini adalah kedua bapak ini dapat dikatakan sudah tua, akan tetapi semangat dan optimisme mereka melebihi anak muda! Saya malu! Tentu saja ada akademisi yang memiliki pemikiran jauh, semangat yang besar, optimisme yang besar, dan kemauan kerja yang besar. Contoh yang saya lihat ada di dalam seorang Samaun Samadikun. Beliau telah menghasilkan SDM-SDM yang memiliki karakter yang sama; optimis dan bersemangat. Tapi, jumlah orang seperti Samaun Samadikun di Indonesia tidak banyak. Saya melihat figur-figur seperti Pak Iskandar dan Pak Samaun (saya pernah sebentar berdiskusi dengan kedua orang ini. Kalau Mochtar Riady saya baru baca resensi buku-nya saja, belum pernah ketemu langsung) memiliki mata elang: mampu melihat tinggi, berwawasan luas. Pak Iskandar dan Pak Samaun mampu melihat apa yang dibutuhkan 10-20 tahun yang akan datang. Atau mungkin sampai 50 tahun yang akan datang. Sayangnya, balik lagi ke Buruk Rupa Manusia Indonesia-nya Muctar Lubis, budaya di Indonesia kita tidak suka melihat orang lain maju. Orang-orang yang bermata elang ini pun termasuk yang disirikin. Menurut teman saya anak Fisika ITB yang menang lomba penelitian LIPI kategori sosial, umumnya dalam suatu masyarakat orang-orang dengan mata elang ini dapat dikategorikan sebagai kaum minoritas kreatif. Minoritas kreatif artinya orang-orang yang bermata elang ini biasanya cuma sedikit saja jumlahnya dalam masyarakat. Atau bisa kita lihat dari sudut pandang budaya sharing yang kurang di Indonesia? Atau budaya yang sharing yang kurang ini juga diakibatkan ketakutan orang-orang bermata elang disirikin orang lain? Jadilah orang-orang pintar Indonesia lebih memilih untuk tinggal di LN: hidup nyaman, dihargai, dan tentu tidak disirikin orang lain. Soalnya ketika pulang ke .id bakal capek berantem dulu untuk bisa tetap berdiri teguh di keyakinannya. Jadi agent of change di Indonesia benar-benar butuh energi ekstra. Bisa juga karena capek disirikin orang, orang-orang bermata elang ini malas untuk sharing pandangannya. Mereka jalan saja sendiri diatas keyakinannya. Tidak salah memang, walau sebenarnya lebih baik kalau jalannya paralel. Antara eksekusi sebagai bukti mereka mampu mewujudkan ide-ide mata elang tersebut dengan perlahan pelan-pelan membuat opinion-shaping bahwa Indonesia pun mampu untuk bersaing di tingkat dunia! Ada satu lagi faktor yang menurut saya berpengaruh: fanatisme berlebihan akan bidang ilmunya masing-masing. Hal ini akan membuat gap antar bidang ilmu semakin besar. Gap antara orang-orang teknologi, orang-orang sosial, orang-orang politik, orang-orang sains, orang-orang ekonomi, orang-orang agama, filsafat, dll. Padahal kita harus maju bersama-sama kalau memang ingin mau maju.
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will disagree with me. seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan. Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang penting,melainkan reasoning dibelakangnya. Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dan tampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak setuju) harus commit dengan kebijakan itu. Contohnya, kalo di DPR kita,memang bebas berpendapat,tapi mereka asal beda berpendapat tanpa alasan yang jelas karena kawan diskusinya yang berseberangan pendapat --beda partai dan beda haluan ... he he he :-)) Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/30/05, Pakcik [EMAIL PROTECTED] wrote: On 12/30/05, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote: Atau bisa kita lihat dari sudut pandang budaya sharing yang kurang diIndonesia? Atau budaya yang sharing yang kurang ini juga diakibatkan ketakutan orang-orang bermata elang disirikin orang lain? Jadilahorang-orang pintar Indonesia lebih memilih untuk tinggal di LN: hidupnyaman, dihargai, dan tentu tidak disirikin orang lain. Soalnya ketika pulang ke .id bakal capek berantem dulu untuk bisa tetap berdiri teguh di keyakinannya. Jadi agent of change di Indonesia benar-benar butuhenergi ekstra.Bisa juga karena capek disirikin orang, orang-orang bermata elang inimalas untuk sharing pandangannya. Mereka jalan saja sendiri diatas keyakinannya. atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will disagree with me. seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan. demokrasi sering di artikan orang hanya hanya kebebasan berpendapat. tapi yang paling susah dan penting itu sebenarnya kemampuan kita menerima perbedaan. menurut saya ini yang terjadi dengan Indonesia sekarang. Kita gak siap menerima perbedaan pendapat, keyakinan yang berbeda. saya contohkan dengan kasus Roy Suryo. wait a minute, kalau bicara Roy Suryo sensitif, jadi saya claim dulu bahwa ini gak ada hubungan dengan kasus Roy Suryo, hanya contoh tentang perbedaan aja. begini, kalau teman2 yang bersebrangan dengan Roy Suryo tidak tahan duduk satu meja selama 5 menit dengan Roy Suryo, artinya kita gak siap berbeda, let's forget about democracy. Spesifik soal Roy Suryo ada beberapa kemungkinan lain ketimbang belum mampu untuk bisa berbeda pendapat [hehehe]. Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua pihak setara, minimal dari segi kemampuan untuk melakukan diskusi yang beradab. Kedua, harus ada saling kepercayaan, minimal pada institusi penyelenggara duduk semeja ini untuk berlaku adil dan seimbang dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain, kecuali untuk tujuan-tujuan yang sudah disepakati bersama. Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah untuk duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om roy bisa claim bahwa kita ga berani dll. Tapi ya masing-masing pilihan pasti ada konsekwensinya. Anyway, kembali ke topik awal. :) --enda Visit my blog. Click herehttp://enda.goblogmedia.com
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On Fri, Dec 30, 2005 at 09:45:25AM +0700, enda nasution wrote: Perbedaan pendapat dan praktek duduk satu meja mengasumsikan semua pihak setara ups .. tidak. anyway jangan pernah berasumsi :-) Kedua, harus ada saling kepercayaan wah .. ini meminta terlalu banyak ... Ketiadaan dua elemen diatas saya kira yang membuat temen-temen ogah untuk duduk satu meja dengan om roy. Dan tentu aja konsekwensinya om roy bisa claim bahwa kita ga berani dll. dianggap ndak berani? emang gateway protocol (EGP :-). well..well..well.. time will tell. Salam, P.Y. Adi Prasaja -- Ini signature saya. Pasang iklan anda di sini ... tarif menantang :-)
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
On 12/30/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.X will disagree with me.seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan. Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yangpenting,melainkan reasoning dibelakangnya. saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju. :) Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus sehingga bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung. Siapa yang bisa bikin reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli. Unfortunately, di dunia demokrasi gak ada pakar. semua setara. Jadi siapa yang benar di dunia demokrasi? mayoritas, crowd. Jadi kalau saya bilang X dengan reasoning gak karuan, tapi ternyata semua orang mendukung, berarti X lah yang benar. http://en.wikipedia.org/wiki/The_Wisdom_of_Crowds ada penelitian tentang who wants to be a millionare, gak tau benar apa nggak. ternyata yang paling sering benar itu adalah ask audiences di banding 50-50 dan ask friend/expert. Tapi gak tau ini berlaku di Indonesia yang katanya tingkat pendidikannya rendah. hehehe ayo para pakar, salah sendiri milih demokrasi. :) Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dantampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak setuju) harus commit dengan kebijakan itu. Setuju. unfortunately diskusi tidak sama dengan voting (memilih). Di DPR ada voting, harus menyepakati sesuatu, harus bikin policy. Sementara di tempat lain seperti milis ini gak harus memutuskan sesuatu kan. kita diskusi, bikin wacana. -- PakcikUnder Construction
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Pakcik wrote: On 12/30/05, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: atau mungkin gak karna kita gak siap menerima keyakinan yang berbeda, om Zaki? di diskusi orang2 barat, saya sering dengar begini, I think mr.Xwill disagree with me. seolah2 menunjukkan kesiapannya untuk berbeda pandangan. Dalam dunia modern,seringkali bukan setuju atau tidak setujunya yang penting,melainkan reasoning dibelakangnya. saya agak2 setuju tapi pada akhirnya gak setuju. :) Kalau reasoning nya bagus, dan tingkat pendidikan warganya bagus sehingga bisa terima reasoning itu, otomatis di dukung. Siapa yang bisa bikin reasoning yang bagus? expert, pakar, ahli. Unfortunately, di dunia demokrasi gak ada pakar. semua setara. Jadi siapa yang benar di dunia demokrasi? mayoritas, crowd. Jadi kalau saya bilang X dengan reasoning gak karuan, tapi ternyata semua orang mendukung, berarti X lah yang benar. aha,point yang bagus betul,makanya dalam dunia demokrasi,hanya pemilihan pemimpin saja yang melibatkan seluruh rakyat. Sedangkan untuk hal2 yang sifatnya strategis,itu diserahkan kepada expert,dirjen,sekjen,menteri,polisi,alim ulama dan para cendekiawan :) http://en.wikipedia.org/wiki/The_Wisdom_of_Crowds ada penelitian tentang who wants to be a millionare, gak tau benar apa nggak. ternyata yang paling sering benar itu adalah ask audiences di banding 50-50 dan ask friend/expert. Tapi gak tau ini berlaku di Indonesia yang katanya tingkat pendidikannya rendah. hehehe ayo para pakar, salah sendiri milih demokrasi. :) bukan 'demokrasi'nya tapi 'euphoria democrasinya' yang dimanfaatkan sebagian orang yang salah. banyak org beranggapakan kalo demokrasi=kebebasan melakukan apa saja termasuk kebebasan pers/media nah skrg pers/media memanfaatkan kebebasan tsb dengan mempertontonkan tayangan tidak senonoh atau pembodohan massal seperti tayangan hantu,nah reasoning si pers/media wah ini ratingnya tinggi pak...masyrakat suka,para kaum cendekia dan tokoh agama terkejut,koq begini ya ? nah disinilah peran kaum cendekia/expert memberikan arah kepada majoritas/masyrakat (yang salah). Setelah itu, jika reasoningnya sudah didiskusikan sedemikian rupa dan tampak pilihan mana yang paling reasonable,everybody (termasuk yang gak setuju) harus commit dengan kebijakan itu. Setuju. unfortunately diskusi tidak sama dengan voting (memilih). Di DPR ada voting, harus menyepakati sesuatu, harus bikin policy. Sementara di tempat lain seperti milis ini gak harus memutuskan sesuatu kan. kita diskusi, bikin wacana. oooh milis toch :-) hahahaha lets shoot it PakCik kalau ada yang gak cocok asalkan pakai reasoning yang kuat :)) tapi begitu ketemu satu titik temu kita diskusi di higher level,jadi gak ngomongin hal yg sama lagi. Carlos
[teknologia] Re: Akademisi vs Industriawan
Pada tanggal 12/25/05, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] menulis: http://rahard.wordpress.com/2005/12/25/akademisi-vs-industriawan/Ada yang aneh dari hasil pengamatan saya (amatiran tentunya) terhadap pandangan akademisi dan industriawan tentang pengembangan sesuatu yangberbau teknologi tinggi (high tech; biotech, nanotech, dan *techlainnya).Akademisi, yang biasanya diwakili oleh dosen, cenderung untuk berpikiran negatif. Ada ketakutan-ketakutan. Mereka sering berpendapatbahwa seharusnya kita meneliti (mengembangkan ilmu) yang low techsaja. Padahal, di kelas mereka mengajarkan ilmu yang bisa digunakan di high-tech. Apakah ini disebabkan rasa bersalah mereka karena telahdididik dengan ilmu yang tidak bisa (dalam kacamata mereka)diimplementasikan di Indonesia, sehingga mereka merasa harus berpihakke sisi lain? Pernah menanyakan pertanyaan begini pada beberapa dosen di kampus. Seingat saya saat itu saya tanya tentang publikasi beberapa hasil riset di kampus, yang ada diantaranya merupakan lanjutan dari Tugas Akhir senior-senior, dan saya anggap pantas untuk diajukan. Tapi banyak yang mengelak dan mengatakan: sepertinya kita tidak akan mampu untuk mempublikasikan dan nanti ada yang tertarik buat mengembangkan. Dan yang berbicara demikian itu yang sudah ambil S3 sampai ke Amerika loh, Pak. Saya kaget juga, namun coba maklum bahwa untuk pengembangan-pengembangan semacam itu terkadang ada ketakutan bahwa ini tidak akan didukung karena belum pasti beruntung. Di sisi lain, industriawan umumnya berpikiran lebih positif. Sayamelihat betapa seorang Iskandar Alisyahbana yang dengan terampil memotori perkembangan teknologi satelit di jaman dahulu (70-an?) dankemudian melirik ke bioteknologi. Atau, seorang Mochtar Riady yangsaat ini sedang gemar dengan nanotechnology. Mereka lebih progresifdan agresif. Saya beruntung bisa sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka. Antusiasme mereka bukan pura-pura. It's real. They are really excitedin new things. Yang membuat saya bersedih melihat keadaan ini adalahkedua bapak ini dapat dikatakan sudah tua, akan tetapi semangat danoptimisme mereka melebihi anak muda! Saya malu! Tentu saja ada akademisi yang memiliki pemikiran jauh, semangat yangbesar, optimisme yang besar, dan kemauan kerja yang besar. Contoh yangsaya lihat ada di dalam seorang Samaun Samadikun. Beliau telahmenghasilkan SDM-SDM yang memiliki karakter yang sama; optimis dan bersemangat. Tapi, jumlah orang seperti Samaun Samadikun diIndonesia tidak banyak. Ada kemungkinan lain, yaitu kacamata yang saya gunakan untuk melihatternyata menipu penglihatan saya sehingga pengamatan saya salah besar. Sangat dimungkinkan! Maklum, baru menggunakan kacamata. Hahaha mungkin... mungkin saja, Pak... -- heart-shaped-boxdarussalam-banda acehhttp://tintamerah.blogspot.comY!M:alexaceh