[assunnah] Apa hukum Shalat Ied?

2013-10-13 Terurut Topik Abu Abdillah
APA HUKUM SHALAT IED ?






Oleh


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


http://almanhaj.or.id/content/1628/slash/0/apa-hukum-shalat-ied/






Pertanyaan



Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum shalat Ied ?






Jawaban


Yang saya pahami bahwa shalat ied adalah fardhu a'in, sehingga tidak
boleh bagi kaum laki-laki untuk meninggalkannya. Mereka harus
menghadirinya, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan para gadis pingitan
untuk ikut keluar menuju shalat ied. Bahkan beliau juga memerintahkan
orang yang haidh untuk datang juga meskipun mereka harus menjauh dari
tempat shalat. Hal ini menunjukkan pentingnya perkara tersebut. Pendapat
 yang saya sebutkan inilah yang rajih dan diambil oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah.






Tetapi sebagaimana shalat Jum'at jika tidak mengerjakannya, seseorang
tidak perlu mengqadhanya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan
kewajibannya. Ia tidak harus melakukan shalat apapun sebagai
penggantinya, karena shalat Jum'at jika ketinggalan mengerjakannya maka
penggantinya adalah shalat dhuhur. Karena ia adalah waktu dhuhur. Adapun
 jika ketinggalan shalat ied maka ia tidak usah diqadha.






Nasehat saya untuk saudaraku kaum muslimin hendaknya bertaqwa kepada
Allah, melaksanakan shalat ini yang berisi kebaikan dan do'a, dan
bertemunya manusia satu dengan yang lainnya, serta menumbuhkan rasa 

kasih sayag dan cinta. Sekiranya manusia diundang untuk menghadiri
permainan tentu anda akan melihat mereka bersegera untuk mendatanginya,
lalu bagaimana jika yang memanggil mereka adalah Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam untuk melakukan shalat ini yang dengannya mereka
mendapatkan pahala Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan janjinya
kepada mereka ?






Yang perlu diperhatikan bagi wanita yang pergi menuju shalat ied, mereka
 harus menjauhi tempat para lelaki, hendaknya mereka berada di bagian
belakang tempat shalat yang jauh dari lelaki, dan jangan keluar dalam
kondisi berhias ataupun bertabarruj (menampakkan auratnya), hal ini
sebagaimana terjadi pada zaman Rasul ketika beliau memerintahkan kaum
wanita untuk ikut keluar menuju tempat shalat, ada yang berkata :






Ya, Rasulullah, di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab. Beliau
menjawab : Hendaknya temannya meminjamkan jilbabnya padanya[1]






Jilbab yaitu baju panjang atau sejenis mantel. Hal ini menunjukkan
kewajiban wanita untuk memakai jilbab jika keluar rumah, karena ketika
Rasulullah ditanya tentang wanita yang tidak mempunyai jilbab beliau
tidak mengatakan hendaklah ia keluar dengan pakaian semampunya, tetapi
beliau mengatakan.






Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya






Dan bagi imam shalat ied jika berkhutbah di depan kaum lelaki hendaknya
juga mengkhususkan khutbah di depan kaum wanita jika mereka tidak
mendengar khutbah di depan kaum lelaki. Tetapi jika mereka bisa
mendengarkannya maka hal ini cukup. Hanya yang lebih utama dalam
penghujung khutbah menyinggung khusus hukum hukum wanita sebagai nasihat
 dan untuk mengingatkan mereka, sebagaimana yang diperbuat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau berkhutbah ied pada kaum
lelaki lalu beliau berjalan menuju kaum wanita, lalu menasehati dan
mengingatkan mereka






[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis
 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]


___


Footnote


[1]. Hadits Riwayat Bukhari, Kitab Haidh, bab wanita haidh menghadiri
shalat dua hari raya dan do'a kaum muslimin (324), Muslim, Kitab Shalat
iedain, bab kebolehan wanta keluar pada dua hari raya (890) 
  

[assunnah] Tata Cara Shalat Ied

2013-10-13 Terurut Topik Abu Abdillah
TATA CARA SHALAT IED



Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

http://almanhaj.or.id/content/1174/slash/0/tata-cara-shalat-ied/



Pertama :

Jumlah raka'at shalat Ied ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.



صَلاَةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ، وَصَلاَةُ الأَضْحَى رَكْعَتَانِ، 
وَصَلاَةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرِ عَلَى لِسَانِ 
مُحَمَّدِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم 



Artinya : Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua 
raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna 
tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam 
[Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu 
Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]



Kedua :

Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul 
ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat 
kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal 
(takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)



Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :



أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ يُكَبِّرُ 
فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى : فِي الأُولَى سَبْعً تَكْبِيرَانِ، وَفِي 
الثَانِيَةِ خَمْسًاسِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ



Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama 
sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku 
[1]



Berkata Imam Al-Baghawi : Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu 
dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu
 'alaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Ied sebanyak 
tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima 
kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). 
Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya [Ia
 menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam  
Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' 24/220,221]



Ketiga :

Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan 
mengucapkan takbir-takbir shalat Ied[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata
 : Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua
 tangannya ketika mengucapkan setiap takbir [Zadul Ma'ad 1/441]



Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam.



Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 348 : 
Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied diriwayatkan dari 
Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat 
dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di 
sini tidak shahih.



Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif 
(lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang



Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami : Siapa yang 
menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan
 tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk 
mengangkat tangan ketika bertakbir.



Keempat :

Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir 
tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi ada 
atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu [3] tentang hal ini. Ibnu 
Mas'ud berkata :



بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيْرَتَيْنِ حَمْدُ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَثَنَاءٌ عَلَى 
اللَّهِ



Artinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada 
Allah Azza wa Jalla



Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah : (Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari 
beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut.



Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua 
tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.



Kelima :

Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah 
itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain 
membaca surat Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca 
surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah[5]



Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah : Telah shahih dari beliau bacaan 
surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain itu[6]



Keenam :

(Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, 
tidak berbeda sedikitpun. [7]



Ketujuh :

Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Ied berjama'ah, maka 
hendaklah ia shalat dua raka'at.



Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam Shahihnya : Bab
 : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua 
raka'at [Shahih Bukhari 1/134, 135]



Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/550 berkata setelah 
menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di 
atas).



Dalam tarjumah ini ada dua hukum :

1. 

[assunnah] Hukum Shalat Ied?

2013-10-13 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM SHALAT IED


Oleh


Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


http://almanhaj.or.id/content/53/slash/0/hukum-sholat-ied/






Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :


Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap
individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[1] dan selainnya.
 Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan
salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.






Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini
sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi'ar Islam yang
 sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada
berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir
 di dalamnya.






Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu
kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]






Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam Sailul Jarar (1/315).[2]


Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus
mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu
kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya,
hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan
wanita haid.






Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan
menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh
wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[3]






Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban
yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah
untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi
orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan
Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya
shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam
hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita.






Kemudian beliau Rahimahullah berkata :


Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied
 dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya
(yakni hari Ied jatuh pada hari Jum'at -pen)[4]. Sesuatu yang tidak
wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh
telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus
melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau
meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah
beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk
melaksanakan shalat Ied[5]






Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal 344) setelah 
menyebutkan hadits Ummu Athiyah :


Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar

 (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal
 ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak
sekedar sunnah ..






[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii As Sunnah Al-Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan
bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura',
penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]


_


Foote Note


[1]. Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya


[2]. Shiddiq Hasan Khan dalam Al-Mau'idhah Al-Hasanah 42-43


[3]. Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan
oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim
 (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa'i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad
(5/84 dan 85).


[4]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id
dengan hai Jum'at- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
(1 hadits) Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari
raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah
tercukupi dari shalat Jum'at  [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan
Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat Al-Mughni (2/358) dan
Majmu Al-Fatawa (24/212).


[5]. Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat Nailul Authar (3/382-383) dan 
Ar-Raudlah An-Nadiyah (1/142).  

[assunnah] Hukum Yang Berkaitan Dengan Hewan Kurban

2013-10-11 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN



Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari

http://almanhaj.or.id/content/1281/slash/0/hukum-hukum-yang-berkaitan-dengan-hewan-kurban/


Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hewan kurban. Sepantasnyalah 
bagi seorang muslim untuk mengetahuinya agar ia berada di atas ilmu 
dalam melakukan ibadahnya, dan di atas keterangan yang nyata dari 
urusannya. Berikut ini aku sebutkan hukum-hukum tersebut secara ringkas.



1. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba 
jantan [1] yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau shallallahu 
'alaihi wa sallam mengabarkan.



َمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَلاَةَ فَلَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيءٍ، وَإِنَّمَا 
هُوَ لَحْمٌ قَدْ مَهُ لأَهْلِهِ



Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk 
kurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang 
diberikan untuk keluarganya [2]



2. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para 
sahabatnya agar mereka menyembelih jadza' dari domba, dan tsaniyya dari 
yang selain domba [3]



Mujasyi bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda.



إِنَّ الْجَدَعَ مِنَ الضَّأنِ يُوْفِي مِمَّا يُوْفِي مِنْهُ الثَنِيُّ مِنَ 
الْمَعْزِ



Artinya : Sesungguhnya jadza' dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya 
dari kambing [4]



3. Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah 
Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi
 wa sallam : (bahwa) beliau bersabda :



كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبَحٌ



Artinya : Setiap hari Tasyriq ada sembelihan [5]



Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah :

Ini adalah madzhabnya Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga Allah 
merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan pendapatnya lebih 
dari satu sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Atsram 
menyebutkannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum[6]



4. Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bagi orang yang 
ingin menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau 
sedikit, bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan
 Dzulhijjah. Telah pasti larangan yang demikian itu.[7]



Berkata An-Nawawi dalam Syarhu Muslim (13/138-39) :

Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan
 menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau memecahkannya, atau yang 
selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, 
mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu[8] atau 
selainnya. Sama saja apakah itu rmabut ketiak, kumis, rambut kemaluan, 
rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya.



Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (11/96) :

Kalau ia terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada 
Allah Ta'ala dan tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma, sama saja
 apakah ia melakukannya secara sengaja atau karena lupa.



Aku katakan :

Penuturan dari beliau rahimahullah mengisyaratkan haramnya perbuatan itu
 dan sama sekali dilarang (sekali kali tidak boleh melakukannya -ed) dan
 ini yang tampak jelas pada asal larangan nabi.



5. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memilih hewan kurban yang sehat,
 tidak cacat. Beliau melarang untuk berkurban dengan hewan yang 
terpotong telinganya atau patah tanduknya[9]. Beliau memerintahkan untuk
 memperhatikan kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan kurban, dan 
tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan
 muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa' ataupun 
kharqa' semua itu telah pasti larangannya. [10]



Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada riwayat 
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dibawakan Abu Ya'la (1792) 
dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Haitsami 
dalam  Majma'uz Zawaid (4/22).



6. Belaiu shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang 
tempat dilaksanakannya shalat. [11]



7. Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa satu 
kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh 
keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana yang dikatakan 
oleh Atha' bin Yasar [12] : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : 
Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi 
wa sallam ? Ia menjawab : Jika seorang pria berkurban dengan satu 
kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya 
dan memberi makan yang lain [13]



8. Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban, 
karena ada riwayat dari Anas bahwa ia berkata :



ضَحَّى النَّبِيُّ بِكَبْشيْنِ أَملَحَيْنِ أَقْرنَيْنِ، ذَبْحَهُمَا 
بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَا حِهِمَا



Artinya : Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih 
campur hitam dan bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya, 

[assunnah] Hukum Mengirim Kurban Ke Luar Negeri

2013-10-09 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI

Oleh

Ustadz Kholid Syamhudi Lc

http://almanhaj.or.id/content/2455/slash/0/hukum-mengirim-kurban-ke-luar-negeri/



Pengertian Mengirim Kurban Ke Luar Negeri

Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri 
langsung atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang 
sejenisnya, lalu yayasan itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan
 di negeri yang dituju untuk membelikan hewan kurban sekaligus 
menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di negeri 
yang dituju.



Hukumnya [1]

Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian 
mereka membolehkan sebagiannya tidak membolehkan [2]. Pendapat yang 
rajih, ialah pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah
 (perwakilan) dalam kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut.



1. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.



أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَصَدَّقَ 
بِجِلَالِ الْبُدْنِ الَّتِي نَحَرْتُ وَبِجُلُودِهَا



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk 
menyedekahi jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih” [Diriwayatkan 
Al-Bukhari No. 1.592]



2. Hadits Jabir bin Abdillah, belaiu berkata :



شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى 
بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ 
بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي 
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي 



“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul 
Adha di mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun
 dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah 
menyembelihnya dengan tanganntya langsung dan berkata : “Bismillah wa 
Allahu Akbar, hadza ‘anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah 
Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”, [3]



3. Hadits Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata.



أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا 
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ 
إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ 
بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ 
فِيهِ قَالَ سُفْيَانُ يَشْتَرِي لَهُ شَاةً كَأَنَّهَا أُضْحِيَّةٌ



“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar 
untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor 
dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar 
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam mendo’akannya dengan barokah : “Dia (Urwah ini), seandainya 
membeli debu tentu akan untung juga” Sufyan berkata : “Membeli seekor 
kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban” [4]



4. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.



أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ
 عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا 
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ 
نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا 



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk 
mengurus hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan 
jilalnya dan sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai
 upah) jagalnya (orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang
 memotongnya (jagalnya) sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : “Kami 
yang memberinya dari harta kami” [Muttafaq ‘Alaih]



Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah 
dalam kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang 
jauh. Wallahu a’lam.



5. Hadits ‘Amrah, beliau berkata :



أَنَّ ابْنَ زِيَادٍ كَتَبَ إِلَى عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ 
عَبَّاسٍ قَالَ مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى 
الْحَاجِّ حَتَّى يُنْحَرَ الْهَدْيُ وَقَدْ بَعَثْتُ بِهَدْيِي فَاكْتُبِي
 إِلَيَّ بِأَمْرِكِ قَالَتْ عَمْرَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ لَيْسَ كَمَا 
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ 
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا 
مَعَ أَبِي فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نُحِرَ الْهَدْيُ



“Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah 
bin Abbas berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya 
apa yang diharamkan bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya, 
dan saya telah mengirim hadyu saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah)
 untuk menulis untuk saya pendapat Anda tentang hal ini”. Amrah berkata :
 “Aisyah telah berkata, “Tidak seperti yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya
 telah melepas qalaid hadyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dengan tangan saya, 

[assunnah] Hukum Membawa Kurban Ke Lain Daerah

2013-10-09 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM MEMBAWA KURBAN KE LAIN DAERAH

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

http://almanhaj.or.id/content/2528/slash/0/hukum-membawa-kurban-ke-lain-daerah/



Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dengan hikmah dan rahmatnya telah 
mensyariatkan kepada hamba-Nya yang belum berhaji agar mendekatkan diri 
kepada-Nya dengan menyembelih binatang kurban untuk mereka dan keluarga 
mereka di negeri mereka sendiri. Hal itu juga untuk mengagungkan 
syiar-syiar Allah Azza wa Jalla yang berlangsung di Masjdil Haram, dan 
(juga) di negeri Islam yang lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ 
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ 
وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا



Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), 
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah 
direzkikan Allah kepada mereka, maka Rabb-mu ialah Rabb yang Maha Esa, 
karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. [al-Hajj/22:34]



Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا 
خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ
 جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ 
كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ لَنْ يَنَالَ 
اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ 
مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا 
هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ 



Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar 
Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah 
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan 
telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah 
sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada 
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah 
Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu 
bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat 
mencapai (keridhaan) Allah. Tetapi, ketakwaan kamulah yang dapat 
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya 
kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah 
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-Hajj/22:36-37]



Allah Azza wa Jalla juga berfirman:



فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ



Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108/2]



Allah Azza wa Jalla berfirman:



قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ 
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ 
الْمُسْلِمِينَ 



Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku 
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan 
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang 
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).[al-An`âm/6:162-163]



Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa udhiyah (binatang 
kurban) dan daging merupakan sesuatu yang berbeda. Beliau bersabda: “ 
Barang siapa shalat seperti kami dan mengerjakan kurban seperti kami, 
maka telah benar penyembelihannya. Dan barang siapa menyembelih sebelum 
shalat, maka itu adalah kambing yang diambil dagingnya (sembelihan 
biasa).” Seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam : “ Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih sebelum keluar 
mengerjakan shalat.” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menjawab: “ Itu adalah kambing untuk diambil dagingnya (bukan kurban).” 



Pada nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah di atas terdapat petunjuk yang jelas
 bahwa tujuan dari binatang kurban itu tidak hanya sekedar dimanfaatkan 
dagingnya saja. Jika tujuannya hanya mengambil manfaat dagingnya saja, 
niscaya anak-anak dan orang dewasa bisa mengerjakannya. Akan tetapi, 
tujuan yang paling utama adalah di balik semua itu, yaitu mengagungkan 
syiar-syiar Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan 
ibadah kurban dan menyebut nama Allah Azza wa Jalla ketika menyembelih 
Syiar ini tidak akan terjadi, kecuali apabila dilakukan di dalam negeri 
tertentu, sehingga bisa dilihat oleh orang dewasa maupun anak-anak. 
Dengan ini diketahui bahwa yang paling utama, paling sempurna, dan 
paling lurus bagi syiar-syiar Allah Azza wa Jalla adalah hendaknya kaum 
Muslimin berkurban di negeri mereka sendiri dan tidak membawa kurban 
mereka ke lain negeri. Karena membawa ke lain negeri menghilangkan 
maslahat-maslahat yang banyak dan menimbulkan banyak keburukan, di 
antaranya:



1. Hilangnya syiar-syiar Allah Azza wa Jalla di negeri itu. 
Masing-masing rumah kosong dari syiar, apalagi apabila diikuti oleh 
orang lain.



2. Hilangnya kesempatan menyembelih hewan kurban secara langsung oleh 
yang berkurban, dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Orang yang berkurban disunnahkan menyembelih binatang

Re: [assunnah] Istri kurban apakah terkena juga larangan memotong kuku

2013-10-06 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
 Larangan Mencukur Rambut dan Kuku bagi Shohibul Qurban, Apa Berlaku Juga Bagi 
Anggota Keluarga?

Seperti kita ketahui bahwa ketika masuk 1 Dzulhijjah hingga hewan qurban 
disembelih, shohibul qurban dilarang mencukur rambut dan memotong kuku. Nah ini 
yang berlaku pada shohibul qurban. Lantas bagaimana untuk anggota keluarganya? 
Apalagi jika satu kambing di atas namakan satu keluarga itu boleh, apakah 
mereka juga terkena larangan tersebut?

Jawabannya adalah larangan tersebut hanya berlaku pada shohibul udhiyah atau 
shohibul qurban, yaitu siapa pemilih hewan qurban tersebut.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -semoga Allah merahmati beliau- 
berkata, “Keluarga shohibul qurban tidak punya kewajiban apa-apa.  Keluarganya 
tidak dilarang dari mencukur rambut dan memotong kuku, demikian pendapat yang 
tepat dari pendapat yang ada. Larangan tadi hanya berlaku untuk orang yang 
berqurban secara khusus di mana ia adalah yang membeli qurban dengan hartanya.” 
(Fatawa Islamiyah, 2: 316).

Baca 3 artikel:

1- Larangan mencukur rambut dan kuku: 
http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2790-larangan-mencukur-rambut-dan-memotong-kuku-bagi-yang-ingin-berqurban.html

2- Hukum mencukur rambut bagi keluarga shohibul qurban: 
http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/4110-hukum-mencukur-rambut-bagi-keluarga-shohibul-qurban.html

3- Apakah panitia qurban dilarang mencukur rambut dan kuku:

http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/4100-apakah-panitia-qurban-dilarang-memotong-rambut-dan-kuku.html

Terus telusuri artikel-artikel Islam di Rumaysho.Com

 Ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal حفظه الله تعالى

 ┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈
-Original Message-
From: Taufan Soeripto anak_minya...@yahoo.com
Sender: assunnah@yahoogroups.com
Date: Thu, 3 Oct 2013 17:11:51 
To: assunnah@yahoogroups.com
Reply-To: assunnah@yahoogroups.com
Subject: [assunnah] Istri kurban apakah terkena juga larangan memotong kuku

  
 
 
 



Assalamualaikum..
 
Ustad pengasuh mailist Assunah..
Nasehatkan kepada kami, apakah istri-istri yg membeli dan berkuraban atas nama 
mereka sendiri (walaupun dana membeli qurban berasal dari suami), terkena 
larangan juga untuk memotong kuku-rambut..?
 
BarokAllohu fikum atas ilmu agamanya
 
abu zizan 
 

[assunnah] Mari Meneladani Rasulullah di Bulan Dzulhijjah

2013-10-06 Terurut Topik Abu Abdillah
MARI MENELADANI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DI BULAN DZULHIJJAH

http://almanhaj.or.id/content/3493/slash/0/meneladani-raslullh-shallallahu-alaihi-wa-sallam-di-bulan-dzulhijjah/



Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 



مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ 
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ 
الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ 
اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ 
ذَلِكَ بِشَىْءٍ.



Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh 
Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini. Para sahabat 
bertanya, Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
 sallam menjawab, Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang 
keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan 
sesuatupun. [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh 
ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]



Dalam riwayat yang lain, salah seorang istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam mengatakan:



كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي 
الْحِجَّةِ



Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa sembilan
 hari bulan Dzulhijjah [HR. Abu Daud dan Nasa’i. Hadits ini dinilai 
shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Daud, 
no. 2129 dan Shahih Sunan Nasa’I, no. 2236] [1] 



Hadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama 
bulan Dzulhijjah dan keutamaan amal shalih yang dilakukan pada masa-masa
 itu dibandingkan dengan hari-hari yang lain selama setahun. 



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang mana 
yang lebih utama antara sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah ataukah 
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ? Beliau rahimahullah menjawab, 
Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada 
siang hari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân, dan sepuluh malam 
terakhir bulan Ramadhan lebih utama daripada sepuluh malam pertama bulan
 Dzulhijjah. (Majmû Fatâwâ, 25/287)[2] Ibnul Qayyim rahimahullah juga 
setuju dengan perkataan guru beliau tersebut. 



Hadits ini seharus sudah cukup memberikan motivasi kepada kaum Muslimin 
untuk berlomba melakukan amal shalih pada waktu-waktu yang diisyaratkan 
oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Terlebih lagi 
diantara waktu yang disebutkan itu ada waktu yang teramat istimewa yang 
juga dijelaskan keutamaannya secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu 
‘alaihi wa sallam yaitu hari Arafah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda :



مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ 
النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ
 الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟



Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka
 lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu 
membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka 
inginkan? [HR. Muslim no. 1348]



Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang 
keutamaan berpuasa pada hari ini bagi kaum Muslimin yang sedang tidak 
melakukan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ 
الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ



Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun
 sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]



Alangkah naifnya, kalau hari-hari yang penuh keutamaan ini kita 
sia-siakan begitu saja. Sudah menjadi keharusan bagi setiap kaum 
Muslimin yang mengimani hari akhir untuk meneladani Rasûlullâh 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memanfaat waktu-waktu yang memiliki 
nilai lebih ini. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk 
diantara para hamba-Nya bisa memanfaatkan masa-masa ini dan semoga Allâh
 Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk para hamba-Nya yang dibebaskan 
dari api neraka.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

___

Footnote

[1]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassar, 1/254 

[2]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassar, 1/256





YA ALLAH, TERIMALAH AMAL IBADAH KAMI!



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ 
هَذِهِ اْلأَيَّامِ - يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ 
اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي
 سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ 
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ



Tidak ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh 

[assunnah] Keutamaan 10 Hari Pertama Dzulhijjah

2013-10-04 Terurut Topik Abu Abdillah
KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/3404/slash/0/keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/

Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 
anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: 

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، 
قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ 
يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ... 

“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama 
Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak 
juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan 
hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah 
hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul 
padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah 
yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun 
hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain 
yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan 
hari-hari Tasyriq.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan 
Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu 
shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. 
Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji 
atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]

Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:

1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan 
seorang hamba kepada Rabb-nya.

2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk 
amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي 
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ 

“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus 
dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]

3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman 
Allah:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al 
Hajj/22: 28]

4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari 
Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, 
Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan 
umatnya.

5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk 
bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk 
mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.

6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk 
memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, 
memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil 
maupun yang besar.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah 
seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, 
dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]

MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI 
YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)
Allah berfirman:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ 
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ 
ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang 
berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, 
maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan 
(keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi 
orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu 
akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ 
مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا 
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ 

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka 
menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah 
berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian 
daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang 
sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]

Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang 
hari-hari yang 

[assunnah] Hadits Shalat Arbain

2013-10-02 Terurut Topik Abu Abdillah
HADITS SHALAT ARBA'IN
Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.
http://almanhaj.or.id/content/3732/slash/0/hadits-shalat-arbain/


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan 
telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali 
di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut 
diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ 
لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa 
ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, 
selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan 
at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : 
‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik 
Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam 
riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang 
meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar 
dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar 
dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana 
penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali 
‘Abdurrahman bin Abir Rijal. 

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli 
hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya 
kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah 
lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang 
perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu 
Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3] 

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- 
dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan 
menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang 
mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya 
al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk 
menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam 
al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 
dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5] 

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan 
mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para 
perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh 
at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut 
tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith 
bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang 
lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , 
al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa 
semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab 
shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih 
mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah 
kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, 
dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah 
atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi 
majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang 
menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang 
menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang 
perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang 
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” 
[9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul 
Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu 
Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu 
anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat 
at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”dari Habib bin Abu Tsabit, dari 
Anas bin 

[assunnah] Tauhid Di Balik Talbiyah

2013-10-01 Terurut Topik Abu Abdillah
TAUHID DI BALIK TALBIYAH
Oleh
Syaikh Prof. Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr
http://almanhaj.or.id/content/2867/slash/0/tauhid-di-balik-talbiyah/

Pengantar
Ketika jama’ah haji atau jama’ah umrah mengumandangkan talbiyah, sebenarnya 
mereka sedang mengikrarkan pernyataan tauhid kepada Allah dan mengikrarkan 
pernyataan anti syirik.

Di bawah ini adalah sebuah risalah yang disadur dari buah karya Syaikh Prof. 
Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr, seorang guru besar jurusan Aqidah 
pada Univ. Islam Madinah di Kerajaan Saudi Arabia. Diambil dari kumpulan 
risalah beliau berjudul al-Jaami’ lil-Buhuts war-Rasaa`il, diterbitkan oleh 
Daar Kunuuz Isybiliya, Riyadh, cet. I – 1426 /2005 M, hlm. 252 – 255. Risalah 
ini berisi ikrar tentang tauhid dan peringatan dari syirik yang terdapat pada 
talbiyah yang dikmandangkan oleh seseorang ketika berhaji atau berumrah. 
Disadur dengan bebas oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin. Silahkan menyimak.

Sesungguhnya kalimat talbiyah berisi pernyataan tauhid kepada Allah k dan 
penentangan terhadap syirik.

Seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, bernama Jabir 
bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ketika menjelaskan sifat haji Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid, yaitu:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ 
الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ. رواه مسلم

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi 
panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. 
Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada 
sekutu bagi-Mu.[1] 

Maka Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu mensifati talbiyah Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam di atas sebagai talbiyah dengan tauhid. Sebab di dalamnya 
berisi pemurnian peribadatan hanya kepada Allah dan membuang kemusyrikan. Hal 
ini juga membuktika bahwa kalimat-kalimat talbiyah itu bukan semata lafal-lafal 
kosong, tetapi mengandung makna agung yang merupakan ruh dan asas agama, yaitu 
tauhidullah.

Oleh karena itu, setiap orang yang mengumandangkan kalimat-kalimat talbiyah di 
atas wajib menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia menjadi 
orang yang benar dalam bertalbiyah, kata-katanya cocok dengan kenyataannya, ia 
benar-benar berpegang pada ajaran tauhid dan menjaga hak-hak tauhid. Menjauhi 
segala hal yang dapat membatalkan tauhid, baik itu kemusyrikan maupun yang 
lainnya.

Maka ia menjadi orang yang tidak akan meminta kecuali kepada Allah, tidak akan 
ber-istighatsah (bersambat) kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal kecuali 
kepada Allah, tidak akan meminta bantuan serta pertolongan kecuali kepada 
Allah, dan tidak akan mengarahkan salah satu macam ibadahpun kecuali hanya 
kepada Allah saja. Sebab hanya di tangan Allah dan hanya menjadi kewenangan-Nya 
sajalah hak untuk memberi, menahan pemberian, melimpahkan anugerah, melimpahkan 
manfaat dan menimpakan madharat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ 
خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ 

Atau siapakah yang dapat mengabulkan (doanya) orang yang tengah didesak 
kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan siapakah yang dapat menghilangkan 
kesusahan dan dapat menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi? Apakah ada 
sesembahan lain yang berhak disembah di samping Allah? Amat sedikitlah kamu 
mengingat kepada-Nya. [an-Naml/27:62]. 

Ketika seorang muslim dalam talbiyahnya mengucapkan: Laa Syariika lahu (tiada 
sekutu bagi-Nya), maka ia wajib memahami hakikat syirik, wajib mengerti bahaya 
syirik dan wajib berhati-hati dengan sesungguh-sungguhnya agar tidak terjerumus 
ke dalam syirik atau ke dalam salah satu sebab atau salah satu jalan atau salah 
satu celah yang dapat mengantarkan menuju syirik. Sebab syirik merupakan dosa 
dan kemaksiatan paling besar.

Hukuman yang ditimpakan bagi perbuatan dosa syirik, baik hukuman di dunia 
maupun di akhirat, jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang diancamkan 
bagi dosa-dosa lainnya. 

Hukuman bagi perbuatan dosa syirik di dunia antara lain, bahwa orang-orang 
musyrik menjadi halal darah serta hartanya, para wanita serta anak-anak kaum 
musyrikin bisa menjadi tawanan perang. Sedangkan di akhirat, dosa syirik tidak 
akan diampunkan oleh Allah Azza wa Jalla kecuali dengan bertaubat daripadanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ 
لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni 
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. 
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang 
besar. [an-Nisâ`/4:48].

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ 

[assunnah] Shalat Arba'in di Masjid Nabawi

2013-10-01 Terurut Topik Abu Abdillah
MENYOROTI SHALAT ARBA'IN DI MASJID NAWABI
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA
http://almanhaj.or.id/content/3731/slash/0/menyoroti-shalat-arbain-di-masjid-nabawi/

MUQADIMAH
Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota madinah 
sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat 
berkunjunga ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan memiliki 
kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi 
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah untuk kemudian menghabiskan 
umur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyemai dakwah Islam di sana. 
Oleh karena itu, meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, namun 
para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. 
Di antara ibadah yang biasa dilakukan para jamaah haji selama di kota ini 
adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini mencoba menelisik beberapa 
segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam.

KEUTAMAAN SHALAT DI MASJID NABAWI.
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah Azza wa 
Jalla telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah Azza wa 
Jalla telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits 
berikut dengan tegas menjelaskan hal ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ 
فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda “satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di 
masjid lain, kecuali Masjidil Haram.” [HR. Al-Bukhari no.1190 dan Muslim no 505]

Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih 
baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari di tempat yang 
lain. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak 
sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih 
sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora 
semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.

APA ITU SHALAT ARBA'IN?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang dimaksud 
dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid 
Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama 
imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka tebebas 
dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara 
lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa 
menjalankan shalat arba’in.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu 
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ صَلَّ فِي مَسجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاَةً، لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌ، كُتِبَتْ 
لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ، وَبَرِىءَ مِنَ 
النِّفَاقِ

Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, 
dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas 
dari kemunafikan. [HR. Ahmad no.12.583 dan ath-thabrani dalam al-ausath no. 
5.444]

Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri 
rahimahullah, al-Haitsami rahimahullah dan Hammad al-Anshari rahimahullah [1] 
karena Ibnu Hibban rahimahullah memasukkan Nubaith bin Umar, salah seorang 
perawi hadits tersebut dalam kitab ats-Tsiqat. Padahal Nubaith ini tidak 
dikenal (majhul), dan para Ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban 
rahimahullah memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan 
orang-orang yang majhul ke dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).

Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di 
kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya 
diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan 
tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- 
kecuali hadits ini ?[2]

Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang 
melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini 
adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah 
Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi) [3]. Pembahasan lebih dalam mengenai 
takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa 
ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PRAKTEK SHALAT ARBA'IN
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas ada beberapa catatan yang perlu 
diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:

1. Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar 
pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi 
kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar 
iqamat 

[assunnah] Yang Dituntut Dari Orang Yang Berkurban

2013-09-30 Terurut Topik Abu Abdillah
YANG DITUNTUT DARI ORANG YANG BERKURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1722/slash/0/yang-dituntut-dari-orang-yang-berkurban-perkara-yang-perlu-diingat/

Jika seorang muslim ingin berkurban untuk diri dan keluarganya atau menyumbang 
kurban untuk orang yang hidup atau yang telah wafat dan masuk bulan Dzulhijjah, 
baik masuknya dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Dzulqa’dah tiga 
puluh hari, maka diharamkan baginya mengambil sebagian dari rambut, kuku dan 
kulitnya sampai ia menyembelih kurbannya.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma 
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ 
فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin 
berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun 
sampai ia menyembelih kurbannya.” [1] 

HIKMAH TIDAK MEMOTONG RAMBUT, KUKU DAN BULU KULIT
Para ulama menjelaskan sedikit hikmah larangan memotong rambut dan kuku serta 
bulu, Di antaranya:

1. Ada yang mengatakan bahwa ketika orang yang berkurban berserikat dengan 
muhrim (orang yang berihram haji) dalam sebagian amalan hajinya, yaitu 
mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, maka sesuailah 
sebagian hukumnya dalam larangan memotong rambut dan kuku.

2. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang yang 
berkurban tetap lengkap untuk dibebaskan dari api Neraka.

3. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya membiarkan rambut dan kuku sempurna agar 
diambilnya bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban disisi 
Allah dan kesempurnaan ibadah dengannya.

Tampaknya itu semua dan selainnya yang dimaksudkan sebagai hikmah. Wallaahu 
a’lam.

PERKARA YANG PERLU DIINGAT
1. Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal tigapuluh 
Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku mereka? Kita katakan, 
“Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada malam tiga puluh tersebut, maka 
mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak mengapa, sebab permasalahan ini 
berhubungan dengan masuknya bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah itu dapat 
ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. 
Namun siapa yang ingin berhati-hati pun dibolehkan.

2. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang muslim 
belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan kukunya, kemudian 
setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin menyembelih kurban, maka 
wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia berniat, dan tidak mengapa 
baginya perkara yang telah berlalu. Walillaahil Hamd.

3. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya haram, 
adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang rajih, hukumnya 
adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk pengharaman dan tidak ada 
yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya. Namun bila seorang muslim telah 
memotong rambut dan kukunya, maka tidak dikenakan fidyah, hanya saja wajib 
baginya bertaubat dan beristighfar dari pelanggaran larangan tersebut.

4. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut dan 
kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong rambut dan 
kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal itu adalah satu 
perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun, orang tersebut berdosa 
dengan sebab melanggar larangan tersebut. Sedangkan apa yang diduga oleh orang 
umum bahwa itu menyebabkan kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama 
sekali secara syari’at.

5. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan sedikit 
bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau kulitnya 
terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk menghilangkannya 
atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau rambutnya dibolehkan.

6. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang yang 
ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang kurban untuk 
orang hidup atau yang telah wafat. Sedangkan orang yang dimasukkan dalam pahala 
kurban seperti isteri dan anak, maka tidak terkena larangan ini, karena 
larangan ini khusus bagi yang ingin berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat 
bahwa larangan tersebut juga mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan 
orang yang berkurban dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam 
hukum. Namun yang rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam.

7. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan kuku 
serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang yang ingin 
berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak dilarang. Sedangkan 
dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang berkurban) telah diwakilkan orang 
lain 

[assunnah] Wajibkah Ibadah Kurban?

2013-09-30 Terurut Topik Abu Abdillah
WAJIBKAH MELAKSANAKAN IBADAH KURBAN?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://almanhaj.or.id/content/1844/slash/0/wajibkah-melaksanakan-ibadah-kurban/

Pertanyaan.
Apakah setiap kaum Muslimin itu harus berkurban ? Bolehkah lima orang bersekutu 
dalam mengurbankan satu binatang kurban ?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

الحمد لله رب العالمين وأصلي وأسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين

Udhhiyyah (hewan kurban) adalah hewan yang disembelih oleh seseorang dalam 
rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari raya Idul 'Adha dan tiga 
hari setelahnya. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling afdhal 
(terbaik). Karena Allah Azza wa Jalla menyebutkannya beriringan setelah 
perintah shalat dalam firman-Nya :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah 
shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108:1-2]

Allâh juga berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ 
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ 
الْمُسْلِمِينَ 

Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk 
Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang 
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri 
(kepada Allâh). [al-An'am/6:162-163]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berkurban dengan dua hewan, satu 
atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelurga dan yang satu lagi 
atas nama semua umat beliau yang beriman.[1] Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam memotivasi dan menyemangati umatnya agar melakukan ibadah ini.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah ibadah kurban itu wajib ataukah 
tidak ? menjadi dua pendapat.[2] Diantara para Ulama, ada yang mengatakan bahwa 
ibadah kurban ini hukumnya wajib bagi yang mampu, karena ada perintah (dari 
Allâh) untuk melakukannya dalam al-Qur'an. Yaitu dalam firman Allah Azza wa 
Jalla :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108:1-2]

Juga berdasarkan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada orang 
yang melakukannya sebelum shalat 'Id agar dia menyembelih hewan kurban lagi 
setelah shalat.[3] Juga berdasarkan riwayat :

مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa memiliki kemampuan tapi dia tidak melakukan ibadah kurban, maka 
janganlah dia mendekati masjid kami. [4]

Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah 
ini. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan 
keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan 
seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka itu boleh ada tujuh 
orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan. 
Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban dengan 
satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya banyak. 
Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam atau yang 
serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada yang bisa 
menghitungnya kecuali Allah Azza wa Jalla . 

Catatan :
Disini, saya merasa perlu mengingatkan satu hal yang sering dilakukan oleh umat 
dengan keyakinan bahwa ibadah kurban itu dilakukan khusus atas nama orang-orang 
yang sudah mati. Sampai-sampai jika mereka ditanya, Sudahkah kamu melakukan 
ibadah kurban atas nama dirimu ? maka dia akan menjawab, Apakah saya 
melaksanakan ibadah kurban ? padahal saya masih hidup ?! Dia mengingkarinya. 
Sepantasnya untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu disyari'atkan bagi kaum 
Muslimin yang masih hidup. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah khusus 
yang merupakan kewajiban orang yang masih hidup. Oleh karena itu tidak ada 
riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah kurban atas nama keluarga dekat 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah meninggal, tidak pula atas nama 
istri-istri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus. Beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban atas nama Khadijah 
Radhiyallahu anha , istri pertama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga 
tidak atas nama Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu anha, istri beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal tidak lama setelah beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam nikahi, juga tidak berkurban atas nama Hamzah bin 
Abdul Mutthalib, paman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang syahid dalam 
perang Uhud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkurban atas nama 
dirinya dan semua keluarganya. Ini mencakup keluarga yang masih hidup dan yang 
sudah meninggal. 

Ada perbedaan antara mengkhusukan atau berdiri sendiri (istiqlal) dengan 

[assunnah] Asal Pensyariatan Kurban

2013-09-29 Terurut Topik Abu Abdillah
ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1692/slash/0/definisi-asal-dan-hikmah-pensyariatan-kurban-serta-hukum-kurban/


AL-UDH-HIYAH (Kurban)
Kurban disyari’atkan pada hari raya Adh-ha dan hari-hari Tasyriq. Kurban adalah 
ibadah agung yang menampakkan sifat penghambaan yang ikhlas karena Allah, 
karena seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah 
binatang ternak secara syari’at.

Definisi dan Sebab Penamaannya
Al-Udh-hiyah Secara Bahasa
Al-udh-hiyah, didhamahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan serta tidak ditasydid 
huruf ya’-nya dan ditasydid. Bentuk jamaknya adalah adhaa-hi (أَضَاحِيْ ) dan 
adhaahiyy ( أَضَاحِيّ). Juga bisa dikatakan dhahiyah ( ضَحِيَة) dengan 
difathahkan huruf Dhadnya dan dikasrahkan, bentuk jama’nya adalah dhahaaya 
(ضَحَايَا). Juga boleh dikatakan adhhaah ( أَضْحَاة) dengan difathahkan huruf 
hamzahnya dan dikasrahkan dan bentuk jamaknya adalah adhhaa ( أَضْحًى) dengan 
ditanwinkan seperti arthaa ( أَرْطَى) jamak dari arthaah [1] ( أَرْطَاة). 

Al-udh-hiyah Scara Istilah 
Udh-hiyah adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban sampai 
akhir hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sebab Penamaannya
Ada yang mengatakan, kata ini diambil dari kata (الضَحْوَة ); dinamakan 
demikian karena dilakukan diawal waktu pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha dan 
dengan sebab ini hari tersebut dinamakan hari raya al-Adh-ha. [2]

Asal Pensyari’atannya
Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’

Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [Al-Kautsar : 2]

Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud 
dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan 
sejenisnya” [3]

Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang 
diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam.

كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَكَانَ يُسَمِّيْ 
وَيُكَبِّرُ.

“Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca 
basmalah dan bertakbir” [4]

Demikian juga hadits dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

خَطَبَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، 
فَقَالَ: لاَ يُضَحِّيَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَـقَالَ رَجُلٌ: 
عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، قَالَ: فَضَحِّ بِهَا 
وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya 
kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih 
sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia 
lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan 
disembelih dan tidk sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [5]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum 
muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang 
pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang 
menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah 
sepakat tentang pensyariatan kurban [6]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah 
mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk 
syi’ar-syi’ar agama [7].

HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah 
berikut.

1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihissalam yang diperintahkan agar 
menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan 
melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah 
memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah 
Yang Mahaagung, ketika berfirman.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ 
أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا 
تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا 
وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ 
الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ 
الْبَلَاءُ الْمُبِينُوَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama 
Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi 
bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai 
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan 
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah 
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran 
keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah 
mebenarkan mimpi itu’, 

[assunnah] Waktu Penyembelihan Kurban

2013-09-29 Terurut Topik Abu Abdillah
WAKTU PENYEMBELIHAN KURBAN


Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1699/slash/0/orang-orang-yang-disyariatkan-untuk-berkurban-dan-kapan-waktu-penyembelihan-kurban/

Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah ‘Id di hari raya kurban sampai 
terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. 
Sehingga hari penyembelihan adalah empat hari : satu hari di hari raya kurban 
setelah shalat ‘Id dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih kurbannya 
sebelum selesai shalat ‘Id atau setelah terbenamnya matahari tanggal 13 
Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Ada yang mengatakan bahwa waktu 
penyembelihan hanya dua hari setelah ‘Id saja, dan menurut pendapat ini hari 
penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yang rajih adalah pendapat yang 
pertama.

Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namum penyembelihan di 
siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari penyembelihan lebih utama 
dari hari setelahnya, karena mendahulukan sembelihan termasuk sikap bersegera 
melaksanakan ketaatan.

An-Nawawi Rahimahullah berkata : Adapun waktu berkurban, maka sepatutnya 
menyembelihnya setelah shalat bersama imam dan ketika itu sah secara ijma’. 
Ibnul Munzdiri Rahimahullah berkata, “Mereka telah berijma’ bahwa penyembelihan 
kurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari pagi hari raya kurban. 
‘Dan mereka berbeda pendapat pada penyembelihan setelahnya’ [1].

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Mereka sepakat bahwa kurban disyariatkan juga 
di malam hari sebagaimana disyariatkan di siang hari, kecuali satu riwayat dari 
Imam Malik dan juga Imam Ahmad [2].

KURBAN SAH UNTUK BERAPA ORANG ?
Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dari ahli baitnya (keluarganya) 
dan kaum muslimin yang ia kehendaki, baik masih hidup ataupun sudah wafat. 
Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menyembelih kurbannya, beliau berkata :

اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ و َمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ.

“Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarda Muhammad dan umat Muhammad” 

Sepertujuh untuk unta atau sapi mencukupi dari orang yang cukup untuk satu 
kambing. Seandainya seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi 
untuknya dan keluarganya, maka itu adalah sah, dan seandainya untuk tujuh orang 
brserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itupun 
sah.

ORANG YANG DISYARIATKAN BERKURBAN
Pada asalnya kurban itu disyariatkan untuk oang yang masih hidup, berdasarkan 
riwayat yang mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri 
dan keluarganya.

Adapun perbuatan sebagian orang yang mendahulukan kurban untuk mayit atas diri 
dan keluarganya sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tidak mempunyai 
dasar menurut apa yang kami ketahui. Namun, seandainya ia berkurban untuk diri 
dan keluarganya lalu memasukkan orang-orang yang telah meninggal dunia bersama 
mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah 
darinya, maka hal itu tidak mengapa dan ia mendapat pahala, insya Allah

Adapun kurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang merupakan wasiat 
(orang yang mati) kepadanya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum 
berkurban untuk dirinya sendiri, karena ia diperintahkan untuk melaksanakan 
wasiat tersebut

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia 
Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad 
Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
___
Footnote
[1]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110)
[2]. Fathul Baari (X/8)
  

[assunnah] Berserikat Dalam Kurban

2013-09-29 Terurut Topik Abu Abdillah
BERSERIKAT DALAM KURBAN




Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1703/slash/0/berserikat-dalam-kurban-dan-bershadaqah-dengan-nilainya/


Seekor kambing tidak bisa untuk dua orang atau lebih yang keduanya membeli dan 
menyembelih kurban tersebut, karena hal itu tidak terdapat dalam dalam 
Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana tidak bolehnya berserikat lebih dari tujuh 
orang dalam satu unta atau satu sapi, karena ibadah itu tauqifiyah (semata 
bersandar kepada wahyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang 
atau kurang dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tidak pada 
permasalahan pahalanya, karena tidak ada batasan jumlah berserikat dalam 
pahalanya, karena keutamaan Allah itu sangat luas sekali.


Disini wajib diingatkan akan kesalahan yang dianggap remah oleh sebagian orang 
yang memiliki tanggung jawab melaskanakan wasiat, dimana ia mengumpulkan 
wasiat-wasiat lebih dari satu kerabatnya dalam satu kurban untuk semua. Ini 
tidak bolehkan. Namun, jika yang berwasiat adalah seorang yang berwasiat dengan 
beberapa kurban lalu ia kumpulkan dalam satu kurban, maka hal itu tidak 
mengapa, isnya Allah.


BERSHADAQAH DENGAN NILAINYA
Penyembelihan kurban termasuk salah satu syi’ar agama Islam yang jelas, oleh 
karena itu menyembelih lebih utama dari bershadaqah senailainya, dengan dasar 
sebagai berikut.


1. Penyembelihan kurban adalah amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dan sahabat beliau dan orang-orang setelah mereka dari para Salaf umat ini.


2. Penyembelihan termasuk syai’ar Allah, seandainya manusia berpaling darinya 
kepada shadaqah senilai kurban tersebut, tentulah syi’ar penyembelihan kurban 
ini akan hilang.


3. Penyembelihan kurban adalah ibadah yang tampak sedangkan shadaqah dengan 
senilainya dimaukkan dalam ibadah yang tidak nampak.


4. Seandainya bershadaqah senilainya sama dengan bilai penyembelihan kurban 
atau lebih baik, tentullah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
menjelaskannya denan ucapan atau perbuatan, karena beliau tidak pernah 
meninggalkan satu kebaikan kecuali beliau telah menunjukkannya dan tidak pula 
satu kejelekan pun melainkan beliau telah memperingatkannya darinya.


5. Sudah dimaklumi bahwa shadaqah dengan nilai kurban tersebut lebih mudah dan 
lebih gampang dari menyembelihnya karena adanya kesulitan yang telah diketahui 
oleh orang yang meneman penyembelihan dan mendahuluinya pada banyak keadaan. 
Seandainya bershadaqah dengan harga kurban tersebut lebih utama atau sama, 
pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, sebab beliau 
adalah orang yang sangat menyayangi umatnya dan sangat pengasih terhadap 
mereka. Beliaua adalah orang yang selalu memilih perkara yang paling mudah dan 
ringan untuk umatnya. Dengan demikian, diketahui secara pasti bahwa 
penyembelihan adalah utama. Wallahu a’lam.


Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Al-Udhiyah (kurban), Aqiqah dan 
Al-Hadyu lebih utama dari shadaqah senilainya. Jika ia memiliki harta untuk 
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, maka hendaklah ia berkurban, dan 
memakan dari sebagian kurbannya lebih utama dari shadaqah dan Al-Hadyu di 
Makkah lebih baik dari bershadaqah senilainya. [Majmuu’ Al-Fataawaa (XXVI/304)]


Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Penyembelihan di tempatnya lebih utama 
dari shadaqah dengan senilainya”. Beliau melanjutkan perkataanya, “oleh 
karenanya, seandainya ia bershadaqah dengan nilai yang berlipat ganda sebagai 
ganti sembelihan haji Tammatu’ ( Dam Al-Mut’ah) dan sembelihan haji Qiran (Dam 
Al-Qiran), maka ia tidak dapat menggantikannya. Demikian juga kurban” [Ahkaamul 
Udh-hiyah Wa Zakaah, hal. 14]


[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia 
Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad 
Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
  

[assunnah] Menziarahi Kota Madinah

2013-09-27 Terurut Topik Abu Abdillah
MENZIARAHI KOTA MADINAH AL-MUNAWARAH*
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/995/slash/0/menziarahi-kota-madinah-al-munawwarah61482/


Keutamaan Kota Madinah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah 
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ سَمَّى الْمَدِينَةَ طَابَةَ.

“Sesungguhnya Allah Subahnahu wa Ta'ala menamakan Madinah dengan Thabah.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam bersabda:

إِنَّ الْمَدِيْنَةَ كَالْكِيْرِ، تُخْرِجُ الْخَبِيْثَ، لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ 
حَتَّى تَنْفِيَ الْمَدِيْنَةُ شِرَارَهَا، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ 
الْحَدِيْدِ.

“Sesungguhnya Madinah itu seperti alat peniup api yang mengeluarkan hal yang 
kotor. Tidak akan terjadi Kiamat itu sampai Madinah menghilangkan 
keburukan-keburukan yang ada di dalamnya sebagaimana alat peniup api 
mengilangkan kotoran besi.” [2]

Keutamaan Masjid Nabawi Dan Shalat Di Dalamnya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menyatakan bahwa hadits ini bersambung 
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، 
وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, 
masjidku ini, dan Masjidil Aqsa.” [3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هٰذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ 
الْمَسَاجِدِ، إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.

Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, 
kecuali Masjidil Haram.’” [4]

Dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ.

“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman Surga.” [5]

Adab-Adab Mengunjungi Masjid Nabawi Yang Mulia Dan Kuburan Rasulullah 
Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Mulia
Keutamaan yang khusus dimiliki oleh Masjid Nabawi yang mulia, Masjidil Haram 
dan Masjid Aqsha adalah kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk tiga 
masjid ini dan kelebihan shalat di dalamnya daripada shalat di tempat lain. 
Barangsiapa yang datang mengunjungi Masjid Nabawi hendaknya datang untuk 
mendapatkan pahala dan memenuhi panggilan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
yang menganjurkan untuk mengunjungi dan menziarahi Masjid Nabawi.

Tidak ada adab-adab yang dikhususkan untuk tiga masjid ini dari masjid-masjid 
yang lain, kecuali kerancuan yang bisa saja terjadi pada sebagian manusia, 
akhirnya mereka menetapkan adab-adab khusus untuk Masjid Nabawi. Kerancuan ini 
tidak akan pernah terjadi seandainya kubur Rasulullah yang mulia tidak di dalam 
masjid.

Agar urusan ini menjadi jelas bagi kaum muslimin apabila ia datang ke Madinah 
dan ingin mengunjungi Masjid Nabawi, kami akan membawakan adab-adab menziarahi 
masjid ini:

1. Apabila ia masuk hendaknya ia masuk dengan kaki kanan kemudian membaca:

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ 
رَحْمَتِكَ.

“Ya Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Muhammad. Ya 
Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku,” [6]

Atau membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ 
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang Mahamulia 
dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk.” [7]

2. Shalat Tahiyatul Masjid dua raka’at sebelum duduk.

3. Hendaknya menghindari shalat ke arah kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam yang mulia dan menghadap ke kuburan tersebut ketika berdo’a.

4. Kemudian menuju kuburan Nabi yang mulia untuk memberi salam kepada Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hendaknya ia menghindari meletakkan tangan di atas dada, menganggukkan 
(menundukkan) kepala, merendahkan diri yang tidak pantas dilakukan kecuali 
kepada Allah saja dan beristigatsah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Hendaknya ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan 
kalimat dan lafazh yang ia pakai untuk memberi salam kepada orang yang 
dikuburkan di Baqi’. Ada beberapa bacaan yang shahih dari Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya:

اَلسَّلاَمُ عَلَىٰ أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ 
وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِنَّا 
إِنْ شَاءَ اللهُ، بِكُمْ لَلاَحِقُونَ.

“Semoga kesejahteraan untukmu, wahai penduduk kampung (barzakh) dari 
orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah merahmati orang-orang yang 
terdahulu dan orang-orang yang terakhir di antara kita. Sesungguhnya kami 
-insya Allah- akan menyusul kalian.” [8]

Kemudian memberi salam kepada dua Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam ; Abu Bakar dan ‘Umar dengan salam yang sama.

5. Bukan adab yang baik mengangkat suara di masjid atau 

[assunnah] Rukun-Rukun Haji

2013-09-23 Terurut Topik Abu Abdillah
RUKUN-RUKUN HAJI
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/1071/slash/0/rukun-rukun-haji-hal-hal-yang-diwajibkan-dalam-haji/

Haji Adalah Salah Satu Ibadah dari Sekian Banyak Ibadah, Mempunyai Rukun, 
Hal-Hal yang Wajib dan Hal-Hal yang Sunnah

II. Rukun-Rukun Haji
1. Niat
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan 
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah: 5]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” [1]

2. Wukuf di ‘Arafah
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اَلْحَجُّ عَرَفَةُ.

“Haji adalah wukuf di ‘Arafah.” [2]

Juga berdasarkan hadits ath-Tha-i, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Muzdalifah ketika beliau keluar 
untuk shalat, aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku datang dari 
gunung kembar Thaya, tungganganku telah kubuat lemah, dan diriku juga telah 
lelah, demi Allah aku tidak meninggalkan satu gunung pun kecuali aku berhenti 
di sana, apakah aku mendapatkan haji?’ Beliau menjawab.

مَنْ شَهِدَ صَلاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ 
بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ وَقَضَى 
تَفَثَهُ.

“Barangsiapa yang mengikuti shalat kami (di Muzdalifah) lalu bermalam bersama 
kami hingga kami berangkat, dan sebelum itu dia benar-benar telah wukuf di 
‘Arafah pada malam atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan ia telah 
menghilangkan kotorannya.”[3]

3. Menginap di Muzdalifah sampai terbit fajar dan shalat Shubuh di sana
Berdasarkan sabda beliau kepada ‘Urwah pada hadits tadi, “Barangsiapa yang 
mengikuti shalat kami (di Muzdalifah), lalu bermalam bersama kami hingga kami 
berangkat, dan sebelum itu dia benar-benar telah wukuf di ‘Arafah pada malam 
atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan ia telah menghilangkan 
kotorannya.” [4]

4. Thawaf Ifadhah
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“...Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu 
(Baitullah).” [Al-Hajj: 29]

Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Shafiyah binti Huyay 
mengalami haidh setelah merampungkan thawaf Ifadhah.” Lalu ia berkata lagi, 
“Kemudian hal tersebut aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, beliau pun bersabda, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?” 
“Wahai Rasulullah, ia telah thawaf Ifadhah, ia telah thawaf mengelilingi Ka’bah 
lalu haidh setelah thawaf Ifadhah,” jawabku. Rasulullah Shallallahu alaihi wa 
sallam bersabda, “Kalau begitu kita berangkat.”” [5]

Sabda beliau, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?” Menunjukkan 
bahwa thawaf ini harus dikerjakan, thawaf ini dapat menghalangi kepergian orang 
yang belum melaksanakannya.

5. Sa’i antara Shafa dan Marwah
Berdasarkan sa’inya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sabda beliau:

اِسْعَوْا، إنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ.

“Kerjakanlah sa’i, sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.” [6]

III. Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Haji
1. Berihram dari miqat-miqat
Yaitu dengan melepas pakaian dan mengenakan pakaian ihram, kemudian niat dengan 
mengucapkan:

لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ.

“Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk menunaikan ibadah ‘umrah.”

Atau:

لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ حَحَّةً وَعُمْرَةً.

“Aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.”

2. Bermalam di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di sana. 
Beliau memberi keringanan bagi pengembala unta di Baitullah, mereka melontar 
pada hari Nahr (hari raya kurban), sehari setelahnya, lalu dua hari setelahnya 
dan pada hari mereka menyelesaikan ibadah haji (nafar).[7]” Rasulullah memberi 
keringanan kepada mereka, ini merupakan dalil akan wajibnya hal ini bagi yang 
lainnya.

3. Melempar jumrah secara tertib
Yaitu dengan melempar jumrah ‘Aqabah pada hari Nahr menggunakan tujuh kerikil, 
lalu melempar ketiga jumrah pada hari-hari tasyrik setelah matahari 
tergelincir, setiap jumrah dilempar dengan tujuh kerikil, dimulai dengan jumrah 
Ula kemudian jumrah Wustha dan diakhiri dengan jumrah ‘Aqabah.

4. Thawaf Wada’
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Telah diperintahkan kepada 
manusia agar mengakhiri ibadah hajinya dengan thawaf di Baitullah, namun diberi 
kelonggaran bagi wanita haidh.” [8]

5. Mencukur rambut atau memendekkannya
Mencukur dan memendekkan rambut disyari’atkan, baik dalam al-Qur-an, as-Sunnah 
maupun ijma’.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَّقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ 
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ 

[assunnah] Sunah-Sunah Haji

2013-09-22 Terurut Topik Abu Abdillah
SUNAH-SUNAH HAJI
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content//slash/0/sunah-sunah-haji/

Haji Adalah Salah Satu Ibadah dari Sekian Banyak Ibadah, Mempunyai Rukun, 
Hal-Hal yang Wajib dan Hal-Hal yang Sunnah

I. Sunah-Sunnah Haji

A. Sunah-Sunnah Ihram:
1. Mandi ketika ihram
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau melihat Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam mengganti pakaiannya untuk ihram lalu mandi.[1] 

2. Memakai minyak wangi di badan sebelum ihram
Berdasarkan hadits ‘Aisyah ia berkata, “Aku pernah memberi wewangian Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk ihramnya sebelum berihram dan untuk 
tahallulnya sebelum melakukan thawaf di Ka’bah.” [2]

3. Berihram dengan kain ihram (baik yang atas maupun yang bawah) yang berwarna 
putih
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam berangkat dari Madinah setelah beliau menyisir rambut dan memakai 
minyak, lalu beliau dan para Sahabat memakai rida’ dan izar (kain ihram yang 
atas dan yang bawah).

Adapun disunnahkannya yang berwarna putih berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, 
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِّ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ 
وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ.

“Pakailah pakaianmu yang putih, sesungguhnya pakaian yang putih adalah 
pakaianmu yang terbaik dan kafankanlah orang-orang yang wafat di antara kalian 
dengannya.” [3]

4. Shalat di lembah ‘Aqiq bagi orang yang melewatinya
Berdasarkan hadits ‘Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda di lembah ‘Aqiq:

أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي 
الْمُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

Tadi malam, telah datang kepadaku utusan Rabb-ku dan berkata, ‘Shalatlah di 
lembah yang diberkahi ini dan katakan (niatkan) umrah dalam haji.’”

5. Mengangkat suara ketika membaca talbiyah
Berdasarkan hadits as-Saib bin Khalladi, ia berkata bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوْا 
أَصْوَاتَهُمْ بِاْلإِهْلاَلِ أَوِ التَّلْبِيَةِ.

“Telah datang kepadaku Jibril dan memerintahkan kepadaku agar aku memerintahkan 
para Sahabatku supaya mereka mengeraskan suara mereka ketika membaca talbiyah.” 
[4]

Oleh karena itu, dulu para Sahabat Rasulullah berteriak. Ibnu Hazm rahimahullah 
berkata, “Dulu ketika Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram 
suara mereka telah parau sebelum mencapai Rauha.” [5]

6.Bertahmid, bertasbih dan bertakbir sebelum mulai ihram
Berdasarkan hadits Anas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
shalat Zhuhur empat raka’at di Madinah sedangkan kami bersama beliau, dan 
beliau shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at, beliau menginap di sana 
sampai pagi, lalu menaiki kendaraan hingga sampai di Baidha, kemudian beliau 
memuji Allah bertasbih dan bertakbir, lalu beliau berihram untuk haji dan 
umrah.” [6]

7. Berihram menghadap Kiblat
Berdasarkan hadits Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar selesai 
melaksanakan shalat Shubuh di Dzul Hulaifah, ia memerintahkan agar rombongan 
mulai berjalan. Maka rombongan pun berjalan, lalu ia naik ke kendaraan. Ketika 
rombongan telah sama rata, ia berdiri menghadap Kiblat dan bertalbiyah... Ia 
mengi-ra dengan pasti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
mengerjakan hal ini.” [7]

B. Sunnah-Sunnah Ketika Masuk Kota Makkah:
8, 9, 10. Menginap di Dzu Thuwa, mandi untuk memasuki kota Makkah dan masuk 
kota Makkah pada siang hari
Dari Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar telah dekat dengan kota 
Makkah, ia menghentikan talbiyah, kemudian beliau menginap di Dzu Thuwa, shalat 
Subuh di sana dan mandi. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam mengerjakan hal ini.” [8]

11. Memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘Ulya (jalan atas)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘ulya (jalan atas) dan 
keluar dari ats-Tsaniyah as-Sufla (jalan bawah).”[9]

12. Mendahulukan kaki kanan ketika masuk ke dalam masjid haram dan membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ 
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ 
وَسَلِّمْ، اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.

“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang Mahamulia 
dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk. Dengan Nama Allah dan 
semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Muhammad, Ya Allah, bukalah 
pintu-pintu rahmat-Mu untukku.” [10]

13. Mengangkat tangan ketika melihat Ka’bah
Apabila ia melihat Ka’bah, mengangkat tangan jika mau, karena hal ini benar 
shahih dari Ibnu ‘Abbas [11]. Kemudian berdo’a dengan do’a yang mudah dan 
apabila ia mau berdoa dengan do’anya Umar juga baik, sebab do’a ini 

[assunnah] Tanda-Tanda Haji Mabrur

2013-09-12 Terurut Topik Abu Abdillah
TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin
http://almanhaj.or.id/content/3370/slash/0/tanda-tanda-haji-mabrur/

PEMBUKA
Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah 
dan tujuan ini diistilahkan oleh para Ulama dengan maqâshid syarî'ah, yaitu 
berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di 
akhirat. 

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara 
yang terangkum dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(hadits qudsi): 

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيْ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، 
وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Allah berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh kenikmatan 
yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah 
terbetik di hati manusia. [1] 

Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: 

وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Haji yang mabrûr tidak lain pahalanya adalah surga. [2]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan 
menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa 
contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan Ulama dan 
keuntungan berdagang. 

Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga memberikan tanda-tanda diterimanya 
amal seseorang, sehingga Allah Azza wa Jalla bisa menyegerakan kebahagiaan di 
dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAI MABRUR
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrûr. Haji mabrûr 
bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa 
Jalla , dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah 
sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya 
diterima oleh Allah Azza wa Jalla . 

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab 
al-Hanbali mengatakan: Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa 
Jalla memberikan karunia kepada jama`ah haji yang tidak baik dikarenakan 
jama’ah haji yang baik.[3] 

TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Bagaimanakah mengetahui mabrûrnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang 
mabrûr dengan yang tidak mabrûr? Tentunya yang menilai mabrûr tidaknya haji 
seseorang adalah Allah Azza wa Jalla semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa 
haji seseorang adalah haji yang mabrûr atau tidak. Para Ulama menyebutkan ada 
tanda-tanda mabrûrnya haji, berdasarkan keterangan al-Qur`ân dan Hadits. Namun, 
itu tidak bisa memberikan kepastian mabrûr tidaknya haji seserang. 

Sebagian dari tanda-tanda ini barangkali berhubungan dengan pembahasan cara 
meraih haji mabrûr, karena cara kita menjalankan ibadah haji juga bisa 
dijadikan cermin dalam hal ini. 

Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah 
Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh 
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.[4] 

Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia 
pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama 
mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan 
bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. 

Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair[5] : 
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya. 

Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya 
dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka 
hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang 
seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan 
Syuraih al-Qâdhi: Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji 
banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang 
ikhlas karena Allah Azza wa Jalla .[6] 

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki 
setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk 
mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum 
kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan 
berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan 
dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat 
meyendiri, memberikan air minum untuk orang 

[assunnah] Ihram Dalam Haji Dan Umrah

2013-09-12 Terurut Topik Abu Abdillah
IHRAM DALAM HAJI DAN UMRAH
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
http://almanhaj.or.id/content/2866/slash/0/ihram-dalam-haji-dan-umrah/


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali 
hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka 
menyembah-Ku. [adz- Dzariyat/51 : 56].

Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat 
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. 
Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa 
dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, 
al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji 
merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum 
muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah 
dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan 
kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode 
yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan 
pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini.

Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang 
yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka 
pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar 
hal itu.

DEFINISI IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-haram yang bermakna 
terlarang atau tercegah. Hal itu dinamakan dengan ihram, karena seseorang yang 
dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah, maka ia dilarang berkata dan 
beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima', menikah, ucapan kotor, dan 
lain-sebagainya. Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu 
niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah), atau kedua-duanya secara 
bersamaan.[1]

Dengan demikian, menjadi jelas kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin yang 
mengatakan ihram adalah berpakaian dengan kain ihram. Karena ihram merupakan 
niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram 
merupakan satu keharusan bagi seseorang yang telah berihram.

TEMPAT BERIHRAM
Ihram, sebagai bagian penting ibadah haji dan umrah dilakukan dari miqât. 
Seorang yang akan berhaji dan umrah, ia harus mengetahui miqat sebagai tempat 
berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqât, berarti telah meninggalkan 
suatu kewajiban dalam haji, sehingga wajib atas mereka untuk menggantinya 
dengan dam (denda).

TATA CARA IHRAM
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik 
dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir 
Radhiyallahu 'anhu Beliau berkata:

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ 
بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ 
كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ (رواه 
مسلم)

Lalu kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di 
Dzul Hulaifah, Asma binti 'Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr. Maka ia 
(Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam (dan bertanya): 'Apa yang aku kerjakan?' Beliau Shallallahu 'alaihi 
wa sallam menjawab: 'Mandilah dan beristitsfarlah [2], dan berihramlah'. 
[Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Dawud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no. 
3074.]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak bertayammum, karena bersuci yang 
disunnahkan apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum. Allah l 
menyebutkan tayammum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا 
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ 
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ 
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ 
الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا 
صَعِيدًا طَيِّبًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka 
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan 
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka 
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat 
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, 
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…. [al-Mâ`idah/5 : 6].

Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya. Juga 
karena tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
untuk bertayammum apalagi jika mandi ihram tersebut untuk kebersihan dengan 
dalil perintah beliau kepada Asma` bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi 

[assunnah] Tata Cara Umrah

2013-09-10 Terurut Topik Abu Abdillah
TATA CARA UMRAH

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Ahmad Al-Ahmad
http://almanhaj.or.id/content/2252/slash/0/tata-cara-umrah/


Pertama: Ihram Dari Miqat. 
Mandilah lalu usapkanlah minyak wangi ke bagian tubuhmu, misalnya ke rambut dan 
jenggot. Jangan mengusapkan minyak wangi ke pakaian ihram. Jika pakaian ihram 
terkena minyak wangi maka cucilah. Hindarilah pakaian yang berjahit. Kenakan 
selendang dan kain putih, juga sandal. (Payung, kaca mata, cincin dan sabuk 
boleh dikenakan oleh orang yang sedang ihram). 

Adapun bagi wanita, maka ia mandi meskipun haid, lalu mengenakan pakaian yang 
ia kehendaki, tetapi harus memenuhi syarat hijab, sehingga tidak tampak sesuatu 
pun dari bagian tubuhnya. Juga tidak berhias dengan perhiasan dan tidak memakai 
minyak wangi serta tidak menyerupai laki-laki. 

Jika Anda tidak mampu berhenti di miqat seperti yang melakukan perjalanan 
dengan pesawat terbang maka mandilah sejak di rumah, lalu jika telah mendekati 
miqat mulailah ihram dan ucapkanlah: 

لَبَّيكَ عُمْرَةً Labbaika Umratan

Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah.

Jika Anda khawatir tidak bisa menyempurnakan ibadah haji karena sakit atau 
lainnya maka ucapkan: 

فإِ نْ حَبَسَنِِي حَا بِسٌ فَمَحَلّي حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ Fa in habasanii 
haabisun famahallii haitsu habastanii

Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana 
Engkau menahanku.

Lalu mulailah mengucapkan talbiyah hingga sampai ke Makkah. Talbiyah hukumnya 
sunnah mu'akkadah (ditekankan), baik untuk laki-laki maupun wanita. Bagi 
laki-laki disunnahkan untuk mengeraskan suara talbiyah, dan tidak bagi wanita. 
Talbiyah yang dimaksud adalah ucapan: 

لَبََّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ،لَبَّيْكَ لاَ شَريْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إنَّ 
الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ والْمُلكَ، لاَشَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika Laa Syariika laka labbaika, innal hamda 
wanni'mata laka wal mulka, laa syariika laka

Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu. Aku penuhi 
panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya 
segala pujian dan nikmat serta kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu.

Disunnahkan mandi sebelum masuk Makkah, jika hal itu memungkinkan. 

Peringatan: 
1. Sebagian orang mempercayai bahwa pakaian yang dikenakan wanita haruslah 
berwarna tertentu, misalnya hijau, hitam atau putih. Ini adalah tidak benar! 
Sungguh tidak ada ketentuan sedikit pun tentang warna pakaian yang harus 
dikenakan. 

2. Talbiyah yang dilakukan secara bersama-sama dengan satu suara -di mana hal 
ini dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah bid'ah. Perbuatan tersebut tidak 
ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah 
seorang sahabatnya. Yang benar adalah hendaknya setiap Haji mengucapkan 
talbiyah sendiri-sendiri.

3. Tidak diharuskan seorang yang sedang ihram, baik laki-laki maupun wanita 
mengenakan terus pakaian yang ia kenakan ketika ihram sepanjang ibadahnya, 
tetapi dibolehkan ia menggantinya kapan dia suka. 

4. Hendaknya setiap Haji benar-benar memperhatikan masalah menutup aurat, sebab 
sebagian laki-laki terkadang auratnya terbuka di depan orang lain, misalnya 
ketika duduk atau tidur, sedang dia tidak merasa.

5. Sebagian wanita mempercayai dibolehkannya membuka wajah di depan laki-laki 
selama masih dalam keadaan ihram. Ini adalah keliru! Ia wajib menutupi 
wajahnya. Di antara dalil masalah ini adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha: 

كََانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللَّه 
مُحْرِِِمَات، فَإِذَا حَاذَوْابِنَا أَسْدَلَتْ إحْدَانَا جِلبَا بَهََا عَلَى 
وجْهِهَا، فإِ ذَا جَا وَزُوْنَا كَشَفْنَاهُ

Dahulu ada kafilah yang melewati kami, sedang kami dalam keadaan ihram bersama 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka telah dekat dengan 
kami, salah seorang dari kami mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, dan ketika 
mereka telah lewat, kami membukanya kembali. [HR. Ahmad dan Abu Daud dengan 
sanad hasan].

Dan dari Asma' binti Abi Bakar radhiallahu anha, ia berkata:

كُنَّانُغَطِّيْ وُجُوْ هَنَا مِنَ الرِّجَالِ، وَكُنَّا نَمْتَشِطُ قَبْلَ ذَلِكَ 
فِي اْلإِحْرَام 

Kami menutupi wajah kami dari (penglihatan) laki-laki dan sebelumnya kami 
menyisir rambut ketika ihram. [Dikeluarkan Al-Hakim dan lainnya, atsar ini 
shahih].

Kedua: Jika Anda telah sampai di Masjidil Haram, dahulukanlah kaki kananmu dan 
ucapkan (do'a): 

،بسْمِ اللَّه، والصَّلاَةُ والسَّلاَمُ عَلَىرَسُوْاللِّه، اَللّهُمَّ َافْتَحْ 
لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِك أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ 
وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

Dengan nama Allah, semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada Rasulullah. Ya 
Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu'. 'Aku berlindung kepada Allah 
Yang Mahaagung dan dengan WajahNya Yang Mahamulia serta KekuasaanNya Yang 
Mahaazali dari setan yang terkutuk. 

Do'a ini juga diucapkan ketika memasuki masjid-masjid yang lain. 

Ketiga: Lalu mulailah melakukan thawaf 

[assunnah] Keutamaan Haji Dan Umrah

2013-09-08 Terurut Topik Abu Abdillah
KEUTAMAAN HAJI DAN UMRAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/1538/slash/0/keutamaan-haji-dan-umrah/

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ 
الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur 
tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ 
وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ 
وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan dosa dan 
kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran (karat) besi, emas 
dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur melainkan Surga.”[2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ 
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.

‘Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allah Azza wa Jalla tanpa berbuat 
keji dan kefasiqan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan 
oleh ibunya.’”[3]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
beliau bersabda:

اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ، وَفْدُ اللهِ، 
دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.

“Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang menunaikan haji dan umrah, 
adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru mereka, maka mereka memenuhi 
panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta kepada-Nya, maka Allah mengabulkan 
(pemintaan mereka).” [4]

Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali Dalam Seumur Hidup, 
Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu

Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى 
لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ 
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ 
إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat beribadah) manusia 
ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi 
petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di 
antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) men-jadi 
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu 
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa 
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak 
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami, beliau bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا، فَقَالَ 
رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً، 
ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، 
وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا 
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ 
أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا 
اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.

“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka tunaikanlah (ibadah haji 
tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” 
Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya tiga kali, kemudian 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Andaikata aku menjawab ya, 
niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya kalian tidak akan mampu 
(melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah aku sebagaimana aku 
membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian 
ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan Nabi mereka. Apabila aku 
memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian. Dan 
apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah.” [5]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi 
wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، 
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، 
وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

‘Islam dibangun atas lima pilar: (1) Persaksian bahwa tidak ada ilah yang 
berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah 
utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji ke 
Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.’” [6]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia 

[assunnah] Syariat Ibadah Haji

2013-09-08 Terurut Topik Abu Abdillah
SYARIAT IBADAH HAJI
Oleh
Syaikh Khalil Harras
http://almanhaj.or.id/content/3369/slash/0/syariat-ibadah-haji/

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ 
أُمُّهُ

Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan melakukan 
kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan ibunya. [HR 
al-Bukhâri no. 1424]

Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal 
berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka 
menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka 
telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung 
kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci. Karenanya, mereka 
memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan 
jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang 
terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari 
rukun-rukun Islam.

Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah 
mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, 
yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian 
menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar mendatanginya.

يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ 
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ 
مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai 
unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka 
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah 
Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang telah Allah Azza 
wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]

Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan 
syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl 
Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya 
kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di 
situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan 
Marwa.

Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya 
lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan 
mereka.

Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di sekitar 
Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk berhala dan 
menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya, dan dahulu mereka 
mengucapkan dalam talbiahnya; 

اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا 
مَلَكَ

“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, 
Engkau memiliki apa yang dia punya”

Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman 
melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka 
datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. 
Para wanita itu menutupi farjinya dengan sehelai kain, lalu mengatakan:

“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang 
terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu 
‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, sudah 
sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan 
pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari al-Qur’an adalah firman 
Allah Azza wa Jalla :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]

Hingga firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ 
وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang 
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh 
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” 
[al-Baqarah/2:197]

Juga firman-Nya yang lain :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ 
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ 
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm. 
Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan haji 
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup 
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), 
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta 
alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]

Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

[assunnah] Mengingat Maut

2013-09-05 Terurut Topik Abu Abdillah
MENGINGAT MAUT
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2982/slash/0/mengingat-maut/


Jika Anda pernah mendengar kisah mengenai orang-orang yang hidup kekal di dunia 
ini, sesungguhnya itu hanya dongeng yang batil. Sebagian orang beranggapan ada 
orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, seperti Khidhir Alaihissallam, 
Dzulqarnain atau lainnya. Keyakinan seperti ini tidak dikenal dalam Islam. 
Karena, tidak ada manusia yang hidup kekal di dunia ini.

Kematian, sesungguhnya merupakan hakikat yang menakutkan, akan menghampiri 
semua manusia. Tidak ada yang mampu menolaknya. Dan tidak ada seorangpun kawan 
yang mampu menahannya. 

Kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, orang tua maupun 
anak-anak, orang kaya maupun orang miskin, orang kuat maupun orang lemah. 
Semuanya menghadapi kematian dengan sikap yang sama, tidak ada kemampuan 
menghindarinya, tidak ada kekuatan, tidak ada pertolongan dari orang lain, 
tidak ada penolakan, dan tidak ada penundaan. Semua itu mengisyaratkan, bahwa 
kematian datang dari Pemilik kekuatan yang paling tinggi. Meski sedikit, tak 
seorang pun manusia memiliki wewenang atas kematian. 

Hanya di tangan Allah semata pemberian kehidupan. Dan hanya di tanganNya, 
mengambil kembali yang telah Dia berikan pada ajal yang telah digariskan. Allah 
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ 
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat 
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan 
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu 
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Ali Imran:185].

Maut merupakan ketetapan Allah. Seandainya ada seseorang yang selamat dari 
maut, niscaya manusia yang paling mulia pun akan selamat. Namun maut merupakan 
SunnahketetapanNya atas seluruh makhluk. Allah berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) akan mati dan 
sesungguhnya mereka akan mati (pula). [Az Zumar:30].

Tidak ada manusia yang kekal di dunia ini. 

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِّتَّ فَهُمُ 
الْخَالِدُونَ كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ 
وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ }

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu 
(Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang 
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan 
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu 
dikembalikan. [Al Anbiya:34-35].

MENGHINDAR DARI KEMATIAN?
Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu. Dia telah menetapkan kematian atas 
diri manusia. Sehingga bagaimanapun manusia berupaya menghindar darinya, 
kematian itu tetap akan mengejarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ 
مُشَيَّدَةٍ

Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di 
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An Nisa’:78]. 

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاَقِيكُمْ ثُمَّ 
تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ 
تَعْمَلُونَ 

Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka 
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan 
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan 
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Al Jumu’ah:8].

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu 
lari dari padanya. [Qaaf:19].

Kematian sebagai bukti nyata kekuasaan Allah, dan siapapun tidak ada yang dapat 
mengalahkanNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat 
dikalahkan [Al Waqi’ah:60].

Allah menantang kepada orang-orang yang menyangka bahwa mereka tidak dikuasai 
oleh Allah, dengan mengembalikan nyawa orang yang sekarat, jika memang mereka 
benar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَوْ لآ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ وَنَحْنُ 
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لاَّ تُبْصِرُونَ فَلَوْ لآ إِن كُنتُمْ غَيْرَ 
مَدِينِينَ تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. Padahal kamu ketika itu 
melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.Tapi kamu tidak melihat, 
maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah). Kamu tidak mengembalikan 
nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar. [Al 
Waqi’ah:83-87].


Re: [assunnah] Mohon untuk dikirim bacaan sholat fardhu dan artinya

2013-08-27 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
و عليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bisa dicopas dari sini http://sholat.wordpress.com/ insyaa Allah..

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
أبوعبدالله
-Original Message-
From: nar_aristy...@yahoo.com
Sender: assunnah@yahoogroups.com
Date: Sun, 25 Aug 2013 15:33:08 
To: assunnah@yahoogroups.com
Reply-To: assunnah@yahoogroups.com
Subject: [assunnah] Mohon untuk dikirim bacaan sholat fardhu dan artinya

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Pak ustadz, mohon bisa dikirimkan bacaan sholat fardhu,  dari awal sampai 
akhir, mohon ada tulisan arab dan latinnya dan artinya, sepertinya ada 
perbedaan sedikit dari yang umum, atas bantuannya ana ucapkan terima kasih.

شُكْرًا كَثِيْرً جَزَاك اللهُ خَيْرً 
Wassalam
Aristya Brahmana

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Re: [assunnah] Tanya : Antene tambahan radio rodja di mobil

2013-08-26 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh,

Barakallahufiikum ya Aba Shofia. Radio rodja dan radio-radio sunnah yang lain, 
insyaa Allah bisa didengarkan dgn streaming via internet. Antum bisa dengarkan 
di mobil dgn smartphone, tablet, dll, insyaa Allah..

Wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abu Abdillah

-Original Message-
From: Wawang Darmawan wawang131...@gmail.com
Sender: assunnah@yahoogroups.com
Date: Sun, 25 Aug 2013 11:46:53 
To: assunnahassunnah@yahoogroups.com
Reply-To: assunnah@yahoogroups.com
Subject: [assunnah] Tanya : Antene tambahan radio rodja di mobil

Assalamualaikum,

Lokasi ana di Lamongan Jawa Timur
Kalo untuk dengar radio rodja dapat didengar jika beli antene parabola.

Namun bagaimana jika kita mengendarai mobil ?

Apa ada alat khusus seperti antene tersebut

Jazakallohu atas infonya ?


Abu Shofia



Re: [assunnah] Menyuruh anak untuk Sholat

2013-08-18 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh,

http://artikelassunnah.blogspot.com/2012/02/bagaimana-caranya-memukul-anak-yang.html?m=1

Bagaimana caranya memukul anak yang meninggalkan shalat?

Pertanyaan:

Bagaimana caranya memukul anak yang meninggalkan shalat? 

Jawaban:

Alhamdulillah

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, 
dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa 
sallam bersabda,

 مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، 
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي 
الْمَضَاجِعِ  (وصححه الألباني في الإرواء، رقم 247)

Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh 
tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur 
mereka. (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357)

Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa 
melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh. 

As-Subki berkata, Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk 
melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih 
belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak 
mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul 
terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk 
mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya 
dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig. 

(Fatawa As-Subki, 1/379)

 Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat 
mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. 
Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi 
untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji 
dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta 
melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan. 

Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalah yaitu pukulan yang 
tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi 
menjadi patah. Pukulan di bagian punggung  atau pundak dan semacamnya. Hindari 
memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi 
shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepulu kali, 
tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman 
kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan 
anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. 

Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 
bersabda, Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam 
masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala. (HR. Bukhari, no. 6456, 
Muslim, no. 3222) 

Ibnu Qayim rahimahullah berkata, 

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari 
sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana 
kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah. 

Jika ada yang bertanya, Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang 
dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?

Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau 
anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu 
tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik 
dari hadits ini. (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23) 
Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi 
kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau 
selainnya. 

Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan 
anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata 
bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk 
kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan 
syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara 
syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul. 

Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata, 

 Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. 
Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera 
puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka 
saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong 
mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada 
waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana 
hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 

(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, 

Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan 
anak-anak kita melakukan shalat saat mereka 

[assunnah] Menyikapi Tragedi Suriah

2013-08-17 Terurut Topik Abu Abdillah
MENYIKAPI TRAGEDI SURIAH
Oleh
Syaikh Dr Musa Alu Nashr [1]
http://almanhaj.or.id/content/3254/slash/0/menyikapi-tragedi-suriah/

Radio Rodja [2] menerima banyak pertanyaan tentang kewajiban kaum Muslimin 
seputar penderitaan kaum Muslimin Ahlus Sunnah di Suriah, dimana mereka 
dizhalimi oleh para penguasa mereka : Anak-anak dan kaum wanita dibunuh, maka 
apa nasehat Syaikh kepada kami terkait peristiwa ini? Dan bagaimanakah kami 
harus menyikapi masalah ini? Barakallah fikum

Syaikh Musa Alu Nashr Hafizhahullah :

الحمد للّه والصلاة والسلام على رسول اللّه وعلى آله وصحبه و من والاه وبعد

Saya berterima kasih kepada ikhwah yang melontarkan pertanyaan seputar 
permasalahan ini. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin itu dalam 
keadaan baik ; mereka saling merasakan penderitaan yag dirasakan oleh sebagian 
lainnya ; Jarak yang jauh yang memisahkan negara-negara kaum Muslimin tidak 
menghalangi mereka untuk merasakan penderitaan yang dialami serta mendengarkan 
harapan saudara-saudara mereka. Ini menunjukkan kebenaran sabda Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَثَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ 
كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِا إِذَا اشْتكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ 
سَائِرُ الْجَسَدِ بِا لْحُمَّ وَالسَّهْرِ

Perumpamaan kaum Muslimin dalam hal saling cinta-mencitai, sayang-menyayangi, 
kasih-mengasihi diantara mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota 
tubuh mengeluh (kesakitan), maka seluruh badan akan merasakan demam dan tidak 
bisa tidur malam. [HR Muttafaqqun ‘alaih]

Beginilah seharusnya kaum Muslimin, dia merasakan apa yang dirasakan oleh 
saudaranya sesama Muslim dimanapun mereka berada. Dia ikut sedih ketika 
saudaranya bersedih dan ikut merasa gembira ketika saudaranya bergembira. Dan 
dia akan mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu, jika 
saudaranya itu tertimpa musibah.

Kewajiban kita terhadap saudara-saudara kaum Muslimin di Suriah adalah 
mendoakan mereka kepada Allah dan berdiri bersama mereka, membantu meringankan 
beban musibah berat yang menimpa mereka. Penyerangan yang dilakukan oleh Syi’ah 
Nushairiyah, atheis, kafir terhadap kaum Muslimin, khususnya Ahlus Sunnah. 
Penduduk Suriah saat ini, khususnya Ahlus Sunnah dihadapkan pada penyerangan 
terhadap ibadah mereka. Tindakan penguasa yang jahat ini berniat hendak 
menghilangkan dan memberangus Ahlus Sunnah dari negeri Suriah dengan menjalin 
kerja sama dengan Syi’ah Iran Al-Majusi yang kejam juga kelompok Hizbullah di 
Lebanon.

Maka kewajiban wahai kaum Muslimin yang ada di Indonesia atau di semua negara 
Islam untuk bersatu mengambil satu sikap dan berdiri dalam satu barisan, 
membantu saudara-saudara kita di Suriah dengan menyumbangkan harta, obat-obatan 
dan makanan dan semua yang mereka butuhkan. Juga mendorong penguasa di negara 
masing-masing untuk mengambil langkah tegas terkait tindakan Syi’ah Nushairiyah 
yang kejam ini yang melakukan pembantaian terhadap anak-anak, kaum wanita dan 
orang-orang tua. Bahkan sampai pada penodaan terhadap kebersihan dan kesucian 
mushaf-mushaf Al-Qur’an, penghancuran masjid-masjid dan pemerkosaan terhadap 
wanita yang menjaga kesucian mereka. Minimal, para imam masjid harus memimpin 
para jama’ahnya mendo’akan saudara-saudara kita dalam qunut nazilah saat 
melaksanakan shalat fardhu lima waktu.

Kaum muslimin wajib mendoakan saudara-saudara mereka di Suriah, dan memberikan 
bantuan sesuai kemampuannya, baik merupakan pakaian, obat-obatan atau harta. 
Dan masing-masing kita bisa membantu saudara kita sebagaimana sabda Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًاأومَظْلُوْمًا (قِيْلَ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا 
فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ : تَكُّفُهُ عَنِ الْظُّمِ)

Bantulah saudaramu, baik yang melakukan perbuatan zhalim, ataupun yang di 
zhalimi. [(Rasulullah) ditanya : “Kami membantunya jika dia terzhalimi, 
bagaimana kami membantunya saat dia melakukan perbuatan zhalim? Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menahan atau mencegahnya dari 
perbuatan zhalimnya-red]

Dan kami sudah menjelaskan di markaz Al-Albani sikap kami dalam fatwa yang 
sudah kami sampaikan, dan saudara-saudara bisa mendapatkannya di website 
www.almahajjah.net dan forum www.kulalsalafiyeen.com

Kami sudah jelaskan sikap dakwah Salafiyah yang penuh barakah terhadap 
peristiwa yang menyayat perasaan ini dan bagaimana seharusnya sikap kaum 
Muslimin secara umum dan kaum Salafi secara khusus terhadap tindakan dan 
berbagai aksi brutal ini. Kita wajib berusaha menghilangkan dan mengingkari 
perbuatan-perbuatan keji ini serta memasrahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla 
mendo’akan agar tindakan jahat ini segera dihilangkan dan dilenyapkan dan juga 
mendoakan kebaikan untuk saudara-saduara kita kaum Muslimin di Suriah.

Risalah ini saya sampaikan lewat mimbar Radio Rodja kepada semua kaum Muslimin 
yang bisa mendengar suara saya ini, baik di belahan bumi bagian barat ataupun 
timur, untuk menolong 

Re: [assunnah] Tanya belajat alqur'an metode asyafi'i

2013-08-16 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
http://archive.org/details/radiorodja_metodeasysyafii

http://pustakaimamsyafii.com/metode-asy-syafii-cara-praktis-baca-al-quran-edisi-iqra.html

Atau di toko-toko buku offline  online yg lain..

Wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abu Abdillah
-Original Message-
From: ujianoun...@gmail.com
Sender: assunnah@yahoogroups.com
Date: Fri, 16 Aug 2013 01:35:07 
To: assunnah@yahoogroups.com
Reply-To: assunnah@yahoogroups.com
Subject: [assunnah] Tanya belajat alqur'an metode asyafi'i

Adakah yg punya link download tentang caraa belajar alqur'an dengan metode 
asyafi'i, metode yg pernh di bahas di radio rodja ,ana pengen bangat tuhh,, 
atauu kalo beli bukunya kira2 dimana yaa ? جَزَاك اللهُ خَيْرًا 

Abdullah

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

[assunnah] Aliran Yang Kejam Di Suriah

2013-08-13 Terurut Topik Abu Abdillah
ALIRAN DI BALIK KEKEJAMAN YANG MENIMPA MUSLIMIN AHLUS SUNNAH DI SURIAH
http://almanhaj.or.id/content/3326/slash/0/aliran-di-balik-kekejaman-yang-menimpa-muslimin-ahlus-sunnah-di-suriah/


Kekejaman Penguasa Suriah terhadap kaum Muslimin Ahli Sunnah, -disengaja atau 
tidak- jarang diekspos oleh media massa. Padahal fakta menyebutkkan, telah 
terjadi kebengisan yang tak terperikan yang dipraktekkan secara terang-terangan 
oleh pasukan pemerintah dalam menghabisi rakyat sendiri; tua, muda dan 
anak-anak. Korban pun mencapai angka yang sangat besar, lebih dari 5000 jiwa 
tewas. Masjid-masjid Muslimin hancur berantakan oleh senjata berat pasukan 
pemerintah. Mushaf al-Qur`an pun tak luput dari penodaan tangan-tangan mereka, 
termasuk kehormatan wanita Muslimah. 

Penindasan dan kebiadaban yang disebut Syaikh Musa Alu Nashr (Majalah As-Sunnah 
01 Thn XVI) melebihi kekejaman dan kebrutalan bangsa Yahudi terhadap kaum 
Muslimin Palestina ini jelas membekaskan tanda tanya dan pertanyaan, mengapa 
mereka berani mempertontonkan aksi sangat mengerikan dan biadab terhadap kaum 
Muslimin di sana, berbeda halnya saat Libia, Mesir dan Tunisia bergejolak. 
Tanda tanya itu akan terjawab, sekaligus menjawab diamnya Negara Barat atas 
aksi brutal di sana, dengan mengetahui ideologi yang mendominasi kalangan 
pemerintah dan pasukannya, yaitu paham Syi'ah Nushairiyah. 

MUNCUL PADA ABAD KE-3
Nushairiyah merupakan salah satu dari aliran kebatinan, muncul pada abad ke-3 
Hijriyah, dan merupakan sempalan dari golongan Syiah Imam Dua belas. Kelompok 
ini dinisbatkan kepada pimpinan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair 
an-Numairi, Abu Syuaib, berasal dari Persia. Sebelumnya, ia berpaham Syi’ah 
Imam Dua belas. 

Dia telah mengklaim sebagai bâb , pintu penghubung manusia menuju imam ke dua 
belas (yang fiktif) yang mereka anggap sebagai Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. 
Akan tetapi, para tokoh Syi’ah lainnya tidak mengakui klaimnya itu. Ia pun lalu 
melepaskan diri dari Syi’ah dan membuat kelompok sendiri Nushairiyah, serta 
menjadi pimpinan sampai mati pada tahun 270 H.

Firqah (aliran) ini layaknya musuh-musuh Islam lainnya, selalu mengintai 
barisan kaum Muslimin dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengganggu 
kaum Muslimin dengan berbagai cara tanpa rasa belas kasihan. Bahkan mereka 
berkeyakinan, apa yang mereka lakukan akan mendapatkan pahala. Semakin besar 
gangguan yang mereka munculkan, akan semakin besar pula pahala yang akan mereka 
dapatkan. Fakta yang terjadi di Suriah belakangan ini menjadi bukti nyata 
terbaru. Mereka membantai banyak orang yang tidak bersalah, baik pria, wanita 
maupun anak-anak. Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat mereka juga telah 
membantu pasukan Tartar dan kaum Salibis untuk menyerang kaum Muslimin dengan 
cara yang sangat keji. Fakta ini sekaligus menjadi jawaban atas penindasan dan 
kebrutalan mereka terhadap kaum Muslimin. 

Para Ulama Ahlus Sunnah telah mencatat kekejaman Nushairiyah Batiniyah terhadap 
kaum Muslimin dalam masa yang berbeda-beda. Bagaimana mereka menjelma binatang 
liar yang ganas yang tidak punya rasa iba dan belas kasih sama sekali terhadap 
kaum Muslimin, tua, muda, perempuan maupun anak-anak. 

NAMA ALIRAN YANG PALING MEREKA SUKAI 
Kelompok ini dikenal dengan beberapa nama. Yang paling populer adalah 
Nushairiyah, penisbatan kepada penggagas pertama aliran ini. Akan tetapi, 
mereka kurang menyukai nama ini karena ingin menghilangkan kesan eksklusif dan 
menghindari permusuhan dari golongan lainnya. 

Mereka lebih menyukai nama ‘Alawiyyun dan berharap dikenal dengan nama ini, 
karena penisbatan kepada Ali tentu lebih baik dari penisbatan kepada Ibnu 
Nushair. Sebagaimana slogan yang diusung oleh komunitas Syiah lainnya, dengan 
nama ini mereka ingin disebut sebagai para penganut ‘Ali atau mencintai 
keluarga Nabi guna menarik simpati orang dan menutupi kerusakan yang ada pada 
aliran tersebut sekaligus. 

SEBAGIAN AQIDAH RAHASIA NUSHAIRIYAH
Para pengikut Nusairiyyah ini beranggapan, agama atau kelompok mereka merupakan 
suatu rahasia besar yang tidak boleh diketahui atau disebarkan selain dari 
kalangan mereka sendiri. Mereka menetapkan peraturan, orang yang berani 
menyebarkan sedikit saja tentang akidah mereka, maka hukumannya dibunuh dengan 
cara yang paling sadis. Hukuman ini pernah ditimpakan pada orang bernama 
Sulaiman al-Adhani, anak dari salah satu pimpinan Nushairiyah di wilayah Adhnah 
menulis buku menelanjangi Nushairiyah yang berjudul al-Bakûrah 
as-Sulaimâniyyah, yang kemudian dicetak oleh para misionaris di Beirut yang 
telah berhasil mengkristenkannya. Setelah berhasil ditangkap, ia pun dibunuh 
dengan cara dibakar hidup-hidup. 

Di antara yang tertulis dalam kitab tersebut, ialah:
Mereka meyakini ketuhanan Ali. Mereka menyakini Ali adalah imam dalam bentuk 
lahirnya dan Tuhan dalam batinnya, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. 
Ali belum meninggal dan tidak terbunuh, tidak makan ataupun minum. Bahkan 
mereka mengatakan, Ali 

[assunnah] Halal Bi Halal,

2013-08-09 Terurut Topik Abu Abdillah
MENYINGKAP KEABSAHAN HALAL BI HALAL
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA
http://almanhaj.or.id/content/3158/slash/0/menyingkap-keabsahan-halal-bi-halal/


PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti 
halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal 
dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. 
Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji 
Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? 
Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan 
apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga 
barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan 
“halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, 
para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa 
makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.

Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. 
Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal 
maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di 
sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu 
kebiasaan khas Indonesia” [1]

Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi 
berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk 
saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi 
halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul 
Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari 
setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I 
(lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk 
menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri 
diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara 
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan 
sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran 
Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah 
halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan 
halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk 
agama [3]

Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya 
di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa 
halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran 
Islam di tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal 
seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari 
tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna 
dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek 
ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan 
syariat.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan 
halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri 
yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari 
pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.

HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI)
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) 
sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara 
adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) 
sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah 
pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi 
(harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga 
memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.

وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، وَ 
مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا 
الْبِدَ عَةُ

Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di 
dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada 
bid’ah di dalamnya [5]

Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :

1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini 
berdasarkan wahyu.

عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى 
اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ رسول 
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا : كُنَّا 
نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ 
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ 

[assunnah] Maaf-Memaafkan Di Hari Raya

2013-08-07 Terurut Topik Abu Abdillah
MAAF-MEMAAFKAN DALAM RANGKA HARI RAYA DISYARIATKAN?
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
http://almanhaj.or.id/content/3159/slash/0/maaf-memaafkan-dalam-rangka-hari-raya-disyariatkan/

Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap 
kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat 
dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta 
berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ 
الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ 
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap 
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka 
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah 
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali 
Imran/3:159]

Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa 
kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ 
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di 
waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) 
memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat 
kebajikan. [Ali-Imran/3:134]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya 
keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam 
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allah menambah bagi 
seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan 
(di dunia dan akhirat)” [1]

Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia 
dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan 
orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan 
di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]

MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram 
dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam 
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak 
terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti 
mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul 
Adha.

Ini termasuk perbuatan bid’ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan 
keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan 
adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) 
dalam neraka” [4]

Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang 
sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat 
mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam 
keterangan diatas ?

Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika 
tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) 
yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya 
waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang 
sangat tercela dalam Islam.

Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam 
Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari 
Jum’at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk 
dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ 
تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ 
فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya 
(melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at di antara 
har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang bisa dilakukan oleh salah 
seorang darimu. [6]

Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama “bid’ah idhafiyyah”, yaitu 
perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum 
Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan 
atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla 
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7]

Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan 
Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua shalat ini : 
“Shalat 

[assunnah] Kemana Perginya Uang Umat Islam?

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
KEMANA PERGINYA UANG UMAT ISLAM?
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
http://almanhaj.or.id/content/3689/slash/0/kemana-perginya-uang-umat-islam/


PENDAHULUAN
Bulan suci ramadhan tak lama lagi akan tiba, dan nuansa religi ibadah dan 
perayaan hari raya Iedul Fitri mulai dirasakan umat Islam. Semangat ibadah dan 
kesucian hati yang selalu berkembang pada bulan suci ini pelan namun pasti 
mulai terasa di tengah-tengah masyarakat. Wajar bila, satu demi satu dari 
berbagai hal terkait dengan keduanya mulai semarak diperbincangkan.

Antusiasme umat Islam yang begitu besar terhadap kedatangan bulan suci Ramadhan 
dan hari raya Iedul Fitri sangat beralasan. Betapa tidak, bulan ini memiliki 
beribu-ribu keistimewaan dan mendatangkan berjuta-juta keberkahan.

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ 
الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، 
وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَانِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَنَادَى مُنَادٍ 
: يَابَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَابَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَاللَّهِ 
عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُل لَيْلة

“Bila malam pertama bulan Ramadhan telah tiba, maka seluruh setan dan jin 
gentayangan di belenggu. Seluruh pintu neraka ditutup, tidak satu pintupun yang 
masih terbuka. Sebaliknya, seluruh pintu surga dibuka, dan tidak satu pintupun 
yang tertutup. Lebih dari itu, ada penyeru yang berkata. ‘Wahai para pencari 
kebaikan bergegaslah dan wahai pencari kejelekan berhentilah!. Dan pada setiap 
malam Allah memerdekakan sebagian hambanya dari ancaman siksa neraka” [HR, 
at-Tirmidzi dan lainnya]

Sebagaimana perayaan Iedul Fitri walaupun Anda lakukan setiap tahun, namun 
tetap saja mampu mendatangkan kebahagian yang tidak pernah dapat ditebus dengan 
apapun. Karena itu Anda senantiasa menanti-nantikan kesempatan ini, dan rela 
berkorban dengan apapun demi merasakan keindahannya di tengah-tengah keluarga. 
Biaya yang mahal, jauhnya perjalanan dan lelahnya menghadapi kemacetan jalan, 
dalam sekejap semuanya sirna bila Anda berhasil merasakan kehangatan Iedul 
Fitri di tengah orang-orang yang Anda cintai.

Hari besar ini tidak pernah surut mengobarkan kerinduan dalam batin Anda kepada 
kampung halaman dan kedamaian bercengkrama dengan keluarga. Iedul Fitri begitu 
istimewa dalam hidup Anda, karena terbukti mampu mengantarkan Anda kepada 
kenangan hidup keluarga semasa Anda kecil, namun dalam suasana dan keadaan yang 
berbeda. Betapa tidak, setelah Anda berhasil mewujudkan sebagian cita-cita dan 
merasakan indahnya sukses dalam urusan dunia, kenangan masa indah semasa 
kanak-kanak kembali bangkit. Kondisi semacam ini tentu terasa istimewa, 
sehingga Anda rela berkorban dengan apapun untuk mendapatkannya.

PENGORBANAN DEMI KENANGAN INDAH IEDUL FITRI
Indahnya nuansa berlebaran di tengah-tengah-tengah handai taulan tercinta di 
kampung halaman, terlanjur menguasai perasaan Anda. Akibatnya Anda tidak pernah 
menyoal berapapun biaya yang harus anda tanggung dan seberat apapun perjuangan 
yang harus Anda lalui.

Kondisi ini bukan hanya terjadi pada diri Anda seorang, namun juga terjadi pada 
seluruh umat Islam, termasuk penulis. Walau demikian tidak sepantasnya 
keindahan perayaan Iedul Fitri menjadikan kita lalai dan lupa daratan.

Benar Islam merestui Anda untuk bersenang ria dan menikmati hasil jerih payah 
Anda selama satu tahun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِى جَارِيَتَانِ مِنْ 
جَوَارِى الأَنْصَارِ تَغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الأَنْصَارُ يَوْمَ 
بُعَاثٍ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُوبَكْرٍ أَبِمُزْمُورِ 
الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَذَلِكَ فِى يَوْمِ عَيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ ((يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا))

“Aisyah Radhiyallahu anhuma mengisahkan : Pada suatu hari raya, ayahku Abu 
Bakar Radhiyallahu anhu datang ke rumahku, sedangkan saat itu ada dua anak 
wanita kecil dari putri-putri kaum Anshar menyenandungkan slogan-slogan 
(yel-yel) kaum Anshar pada peperangan Bu’ats, namun keduanya bukanlah biduanita 
terlatih. Menyaksikan keduanya, ayahku Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung 
menghardik dan berkata, ‘Layakkah ada seruling-seruling setan di dalam rumah 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mendengar hardikan ayahku, Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, sejatinya setiap kaum 
pastilah memiliki hari perayaan, dan hari ini adalah hari perayaan kita” 
[Muttafaqun ‘alaih]

Walau demikian, bukan berarti Islam membenarkan anda melampui batas sehingga 
perayaan Iedul Fitri Anda lepas kontrol dan tanpa ukur.

Pada suatu hari saya membaca suatu berita bahwa untuk menyambut perayaan Iedul 
Fitri tahun 1432H, BI menyiapkan dana tunai sebesar Rp 61,36 triliun. Namun 
pada kenyataannya, prediksi BI ini tidak tepat, bahkan jauh dari kenyataan yang 
terjadi di lapangan. Dalam kurun waktu sekitar 4 minggu ini, 

[assunnah] Salah Memaknai Idul Fithri

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
SALAH MEMAKNAI IDUL FITHRI
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
http://almanhaj.or.id/content/2793/slash/0/salah-memaknai-idul-fithri/


Bagi kalangan tertentu, bulan Ramadhân yang penuh berkah ini merupakan bulan 
beban. Ibadah-ibadah di bulan Ramadhân terutama ibadah puasa dianggap sebagai 
penghambat kesempatan. Meskipun dia tetap menunaikan ibadah puasa, namun tidak 
dengan sepenuh hati.

Sementara kalangan yang lain menganggap, ibadah puasa di bulan Ramadhân 
merupakan rutinitas yang menjanjikan dan berakhir menyenangkan. Sebab sesudah 
Ramadhân ada hari raya, Idul Fithri. 

Para pedagang, sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhân tiba, mereka sudah bersiap 
melakukan stock barang sebagai persiapan dagang untuk meraup keuntungan 
melimpah di bulan suci ini. Bahkan banyak pedagang musiman yakni khusus bulan 
Ramadhân. Para karyawan, pegawai, pekerja, buruh dan lain-lain yang bekerja 
diluar kota pun punya harapan untuk cuti menjelang hari raya sampai dengan 
beberapa hari sesudah hari raya. 

Sedikit orang yang benar-benar memanfaatkan bulan Ramadhân sebagai kesempatan 
emas meraup pahala dan menghapus dosa dengan cara-cara yang benar sesuai 
tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Begitu pula tentang hari raya. Sudah terbentuk opini di kalangan banyak kaum 
Muslimin bahwa Idul Fithri adalah saat bersenang-senang, seakan baru lepas dari 
beban puasa selama satu bulan penuh. Sebagian lagi berdalih menikmati 
keuntungan melimpah dari hasil dagang selama Ramadhân. Sebagian yang lain 
mengemukakan alasan-alasan lain sesuai dengan aktifitasnya selama Ramadhân. 
Yang jelas, menurut anggapan sementara sebagian kaum Muslimin, Idul Fithri 
adalah hari bersenang-senang sampai puas, seakan tanpa batas. Oleh karena itu, 
banyak kaum Muslimin yang menyusun agenda-agenda kegiatan, tanpa memperdulikan 
aturan syari'at. Agenda-agenda berisi maksiat, foya-foya, hiburan dan tontonan 
di pantai-pantai, goa-goa, taman-taman dan berbagai tempat menarik lainnya, 
bahkan tempat-tempat yang sepi. Laki-laki dan perempuan serta muda-mudi yang 
bukan mahram, bukan pula suami isteri, bercampur aduk menjadi satu. Banyak di 
antara mereka yang berpasang-pasangan berdua-duaan, bergandeng tangan dan 
seterusnya untuk melampiaskan kegembiraan dan menikmati kesenangan yang penuh 
dosa. 

Tidak dipungkiri bahwa Idul Fithri adalah hari gembira bagi orang yang berpuasa 
pada bulan Ramadhân. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتاَنِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، 
وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ 

Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan : manakala berbuka puasa, 
ia bergembira dengan buka puasanya, dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia 
bergembira dengan (balasan) puasanya. [HR. Bukhari dan Muslim] [1]

Tetapi gembira yang dimaksudkan di sini adalah kegembiraan yang tidak keluar 
dari koridor syari'at. 

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan makna gembira dalam hadits di atas dengan 
menukil perkataan para ulama, Adapun kegembiraan orang yang berpuasa ketika 
berjumpa dengan Rabbnya, ialah karena ia melihat pahala puasanya dan karena ia 
teringat akan ni'mat taufîk yang dianugerahkan Allâh kepadanya hingga ia dapat 
berpuasa. Sedangkan kegembiraannya pada saat berbuka puasa adalah karena ia 
dapat dengan sempurna menyelesaikan ibadahnya, dapat dengan selamat terhindar 
dari hal-hal yang membatalkan puasanya dan memiliki harapan mendapat pahala 
dari Allâh. [2]

Di sisi lain al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah menukil pernyataan 
sebagian ulama tentang ma'na gembira tersebut sebagai berikut, Al-Qurthubi 
rahimahullah mengatakan, 'ma'nanya, gembira dengan sebab rasa lapar dan dahaga 
telah hilang, karena sudah diperbolehkan berbuka puasa. Ini adalah kegembiraan 
yang wajar dan mudah dipahami.

Sementara sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang berpuasa gembira 
dengan buka puasanya karena kegiatan puasa serta ibadahnya telah berhasil 
dengan baik. Ia merasa diringankan serta mendapat pertolongan dari Allâh Azza 
wa Jalla untuk menunaikan puasa pada masa yang akan datang. Selanjutnya 
al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah menyimpulkan, Aku katakan, 
'Membawa pengertian gembira di sini kepada pengertian yang lebih umum dari 
makna yang telah disebut di atas, tidak mengapa. Setiap orang yang berpuasa, 
(ketika berbuka) akan bergembira sesuai dengan keadaan masing-masing, sebab 
keadaan orang terkait ibadah puasa berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang 
kegembiraan mereka itu hukumnya mubah yaitu kegembiraan manusiawi yang wajar. 
Dan ada pula yang kegembiraan mereka itu disunnah, yaitu kegembiraan yang 
disebabkan oleh hal-hal yang sudah disebutkan diatas (seperti bergembira karena 
bisa menunaikan ibadah puasa mampu dengan baik atas pertolongan Allah-pent.). 
[3]

Gembira pada saat berbuka puasa, bisa juga berarti merasa gembira saat berbuka 
puasa di setiap matahari tenggelam. Bisa pula berarti gembira manakala berbuka 
puasa di 

[assunnah] Kemungkaran Pada Hari Raya

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BISA TERJADI PADA HARI RAYA
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/1178/slash/0/kemungkaran-kemungkaran-yang-bisa-terjadi-pada-hari-raya/

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan 
kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang 
membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan 
hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat 
kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa 
mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk 
menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi 
peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan 
mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].

Diantara Kemungkaran Itu Adalah :

1.Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan 
perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana 
ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk 
memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang 
kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, 
memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita 
rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam 
kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.

2. Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat 
darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan 
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

َلأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌ لَهُ مَنْ 
أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik 
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya [Hadits Shahih, 
Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 
oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab 
yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 
5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

3. Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian 
Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ تَشَبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka 
[3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ 
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ 
يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ يَعْنِي -الْفَقِيرَ- 
لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ 
الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِيْـنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka 
menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. 
Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan 
gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik 
untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami 
besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan 
sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari 
kiamat [4]

4. Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: 
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ

Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita. Maka berkata 
salah seorang pria Anshar : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang 
Al-Hamwu Beliau berkata : Al-Hamwu adalah maut [Hadits Riwayat Bukhari 5232, 
Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan Al-Hamwu
Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti 
ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : 
Al-Hamwu adalah maut maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan 
yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan 
kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain 
yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada 
kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang 
yang bukan kerabat. Dan bisa 

[assunnah] Tata Cara Shalat Ied

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
TATA CARA SHALAT IED
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/1174/slash/0/tata-cara-shalat-ied/

Pertama :
Jumlah raka'at shalat Ied ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.

صَلاَةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ، وَصَلاَةُ الأَضْحَى رَكْعَتَانِ، وَصَلاَةُ 
الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرِ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدِ صَلَّى 
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم 

Artinya : Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan 
shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar 
berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam [Dikeluarkan oleh 
Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 
dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]

Kedua :
Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, 
selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua 
bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan 
dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :

أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ يُكَبِّرُ فِي 
الْفِطْرِ وَالأَضْحَى : فِي الأُولَى سَبْعً تَكْبِيرَانِ، وَفِي الثَانِيَةِ 
خَمْسًاسِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir 
dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali 
dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku [1]

Berkata Imam Al-Baghawi : Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari 
kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa 
sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Ied sebanyak tujuh kali selain 
takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika 
berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu 
Bakar, Umar, Ali, dan selainnya [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat 
demikian, sebagaimana dalam  Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa 
Syaikhul Islam' 24/220,221]

Ketiga :
Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan 
takbir-takbir shalat Ied[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : Ibnu Umar 
-dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika 
mengucapkan setiap takbir [Zadul Ma'ad 1/441]

Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam.

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 348 : Mengangkat 
tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied diriwayatkan dari Umar dan putranya 
-Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. 
Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.

Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). 
Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang

Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami : Siapa yang menganggap 
bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika 
bertakbir.

Keempat :
Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang 
diucapkan di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud 
Radhiyallahu 'anhu [3] tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata :

بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيْرَتَيْنِ حَمْدُ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَثَنَاءٌ عَلَى 
اللَّهِ

Artinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada 
Allah Azza wa Jalla

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah : (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam 
sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu 
yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut.

Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan 
bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.

Kelima :
Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu 
membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat 
Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan 
surat Al-Ghasyiyah[5]

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah : Telah shahih dari beliau bacaan 
surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain itu[6]

Keenam :
(Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, 
tidak berbeda sedikitpun. [7]

Ketujuh :
Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Ied berjama'ah, maka 
hendaklah ia shalat dua raka'at.

Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam Shahihnya : Bab : 
Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at [Shahih 
Bukhari 1/134, 135]

Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/550 berkata setelah menyebutkan 
tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).

Dalam tarjumah ini ada dua hukum :
1. Disyariatkan menyusul shalat Ied jika luput mengerjakan secara berjamaah, 

[assunnah] Hukum Takbir Bersama-Sama Satu Suara

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM TAKBIR BERSAMA-SAMA DENGAN SATU SUARA
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta
http://almanhaj.or.id/content/2011/slash/0/hukum-takbir-bersama-sama-dengan-satu-suara/


Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Kami menginginkan dari 
anda penjelasan terntang hukum takbir pada hari-hari tasyriq dan ied Ramadhan 
dengan cara bersama-sama, seperti Imam membaca pada setiap shalat.

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَللَّهُ 
أَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكبَرُ وَللَّه الْحَمْدُ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Illallah Allahu Akbar, 
Allahu Akbar wa Lillahilhamdu

Lalu jama’ah mengulangi dengan satu suara yang tinggi dan lagu. Hal ini mereka 
mengulang-ulangi tiga kali tiap-tiap seusai shalat selama tiga hari. Perlua 
diketahui, bahwa amalan itu tersebar di sebagian kampong di berbagai penjuru 
provinsi.

Jawaban
Takbir di syariatkan pada malam Iedul fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh 
Dzulhijjah secara mutlaq (umum). Juga setelah setiap shalat dari fajar hari 
Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ

“Dan hendaklah kamu mecukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah 
atas petunjukNya yang diberikan kepadmu” [Al-Baqarah : 185]

Dan firman Allah

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebutt) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” 
[Al-Baqarah : 203]

Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa yang anda 
pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat fajar hari 
Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan landasan ijma 
(kesepakatan ulama)”.

Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu 
merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
bahwa beliau bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَرَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada 
landasannnya, maka hal itu tertolak”.

Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari 
kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu 
sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida 
(mengada-ada) terhadap agama ini.

Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat 
dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.

[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887]

Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Telah sah bagi kami 
bahwa, takbir pada hari-hari tasyriq merupakan sunnah. Maka, benarkah jika imam 
takbir lalu orang-orang mengikuti dari belakang ? Atau apakah setiap orang 
takbir sendiri-sendiri dengan suara pelan atau keras?

Jawaban
Setiap orang takbir sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya tidak ada 
hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang takbir 
bersama-sama, dan beliau telah bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada 
landasannnya, maka hal itu tertolak”.

Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat 
dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.

[Fatwa Lajnah Da’imah 8/310 No. 8340]

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Di sebagian tempat, pad hari 
ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir 
mengikutinya. Bagaimana hukum alaman ini ?

Jawaban
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah 
(ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.

[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah hukum takbir 
bersama-sama pada hari-hari ied ? Dan bagaimanakah ajaran sunnah dalam 
bertakbbir ?

Jawaban
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah 
masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan 
suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.

[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M, Penerbit Yayasan 
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – 
Solo 57183]   

[assunnah] Berpenampilan Indah Pada Hari Raya

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
BERPENAMPILAN INDAH PADA HARI RAYA
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/1170/slash/0/berpenampilan-indah-pada-hari-raya/

Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah 
dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan 
berkata :

يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ فَتَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ 
وَلِلْوُفُودِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ 
مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ 
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ فَأَقْبَلَ 
بِهَا عُمَرُ حَتَّى أَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا 
خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ ثُمَّ 
أَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ فَقَالَ تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا بَعْضَ 
حَاجَتِكَ

Artinya : Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan 
dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak 
mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang 
Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan 
kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini 
adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah 
mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu 
dengannya. [1]

Berkata Al-Allamah As-Sindi. : Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan 
(membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di 
antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, 
maka diketahui tetapnya kebiasaan ini. [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata. : Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah 
meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu 
Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul 
Adha.[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan : Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya 
(penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal 
memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari 
hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera. 
[Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan : Ini menunjukkan bahwa 
membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur.

Malik berkata : Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai 
wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya.

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/441) : Nabi memakai pakaiannya 
yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan 
Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu 
dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris 
yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan 
burdah berwarna merah[2], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka 
sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang 
beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris 
dari Yaman.


[Disalin dari buku Ahkamu Al' Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi 
Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul 
Hamid Al-Halabi Al-Atsari hal. 12-14, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah 
Ummu Ishaq Zulfa Husein]
___
Footnote
[1]. Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 
2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49
[2]. Lihat Silsilah As-Shahihah 1279 

[assunnah] Makna Idul Fithri/Adha

2013-08-06 Terurut Topik Abu Abdillah
MAKNA IDUL FITHRI/ADHA 
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
http://almanhaj.or.id/content/1149/slash/0/makna-idul-fihtriadlha/

Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan 1412H) 
atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib 
(penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya 
-menurut persangkaan mereka- ialah Kembali kepada Fitrah, Yakni : Kita 
kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa 
kita.

Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan 
lughoh/bahasa ataupun Syara'/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun 
umat tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya 
bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi 
kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya 
Allahu Ta'ala.

Kami berkata.

Pertama : Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz 
Fithru/ Ifthaar(فطر / افطار ) artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka 
puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya Hari Raya berbuka 
Puasa. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan 
kita berpuasa. Sedangkan Fitrah tulisannya sebagai berikut (فطرة ) dan bukan 
(فطر ).

Kedua : Adapun kesalahan mereka menurut Syara' telah datang hadits yang 
menerangkan bahwa Idul Fithri itu ialah Hari Raya Kita Kembali Berbuka 
Puasa.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ : أَنْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
قَالَ : اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ 
وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Artinya :Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi 
wa sallam telah bersabda. Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan 
(Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari 
raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih 
hewan.

[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 
2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan 
beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua 
sanadnya di kitab saya Riyadlul Jannah No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat 
Imam Tirmidzi]

Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ

Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) 
Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka.

Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :

اَلْفِطْرُ يَِوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha 
pada hari kamu menyembelih hewan.

Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:

وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْمَ

Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, 
sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan.

Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul 
Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah 
selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada 
pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'ed. 
Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari 
kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman 
dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.

Bukan artinya bukan kembali kepada fithrah, karena kalau demikian niscaya 
terjemahan hadits menjadi : Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci. 
Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang 
benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa.

Adapun makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah 
pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adlha, 
maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum 
muslimin (berjama'ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga 
berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini 
(1412H/1992M).

Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa 
sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :

اَلصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ

Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama'ah dan 
bersama-sama orang banyak.

Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di 
atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin! [1]


[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis 
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan 
ke III Th 1423/2002M]
___
Footnote
[1]. Ditulis akhir Ramadlan 1412H/awal April 1992   
  

[assunnah] Boleh Zakat Fithri Dengan Daging?

2013-08-05 Terurut Topik Abu Abdillah
ZAKAT FITHRI BERUPA UANG

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://almanhaj.or.id/content/1635/slash/0/dipaksa-mengeluarkan-zakat-fithri-dengan-uang-bolehkah-zakat-fithri-berupa-daging/

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri 
ditunaikan pada awal-awal Ramadhan dan berupa uang .?

Jawaban.
Mengeluarkan zakat fithri pada awal-awal Ramadhan masih diperselisihkan ulama. 
Tetapi menurut pendapat terkuat tidak boleh, sebab zakat fithri hanya bisa 
disebut sebagai zakat fithri bila dilakukan di akhir Ramadhan mengingat fithri 
(berbuka puasa) berada di ujung bulan. Rasul-pun memerintahkan agar zakat 
fithri ditunaikan sebelum orang pergi shalat Ied. Disamping itu, ternyata para 
shahabat melakukannya sehari atau dua hari sebelum hari raya. Begitu pula, 
mengeluarkan zakat fithri berupa uang masih diperselisihkan ulama.

Tetapi menurutku, zakat fithri harus berupa makanan berdasarkan pernyataan Ibnu 
Umar berikut :

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكاَةَ الْفِطْرِ 
صَاعًامِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, menetapkan zakat fithri sebesar satu 
sha' tamar (kurma) atau satu sha' sya'ir (gandum).

Abu Sa'id al-Khudry berkata :

كُنَّا نُخْرِجُها عَلَي عَهْدِ رَسُول اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وكان طعامُنَا التَمْرُ والشعير والزبيب والأَقِطُ 

Kami keluarkan zakat fithri pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, satu sha' makanan. Ketika itu makanan kami berupa kurma, gandum, buah 
zabi dan aqath (semacam mentega).

Dari kedua hadits diatas dapat dipetik keterangan bahwa zakat fithri hanya 
dapat dipenuhi dengan makanan, sebab makanan akan lebih nampak kelihatannya 
oleh seluruh anggota keluarga yang ada. Lain halnya jika berupa uang yang bisa 
disembunyikan oleh sipenerimanya sehingga tak terlihat syi'arnya bahkan akan 
berkurang nilainya.

Mengikuti cara yang ditetapkan agama (syara') adalah yang terbaik dan penuh 
berkah. Namun ada saja yang mengatakan bahwa zakat fithri berupa makanan kurang 
bermanfa'at bagi si fakir. Tetapi perlu diingat bahwa makanan apapun akan 
bermanfaat bagi yang benar-benar fakirnya


ZAKAT FITHRI BERUPA UANG TUNAI


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri dengan 
uang dan apa alasan hukumnya .?

Jawaban.
Zakat fihtri hanya boleh berupa makanan saja, tidak boleh dengan harganya 
(uang). Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan zakat fithri 
satu sha' berupa makanan, buah kurma atau gandum sebagaimana yang diterangkan 
dalam hadits Ibnu Umar dan hadits Sa'id al-Khudry dalam bahasan sebelumnya.

Karena itu, seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fithri berupa uang dirham, 
pakaian atau hamparan (tikar). Zakat fithri mesti ditunaikan sesuai dengan apa 
yang diterangkan Allah melalui sabda Rasul-Nya. Tidak bisa dijadikan dasar 
hukum adanya sikap sebagian orang yang menganggap baik zakat fithri dengan 
uang, sebab syara' tidak akan pernah tunduk kepada otak manusia. Syara' itu 
berasal dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jika zakat fithri telah ditetapkan melalui sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, berupa satu sha' makanan, maka kertentuan tersebut mesti kita patuhi. 
Jika ada seseorang yang menganggap baik sesuatu yang menyalahi syara', 
hendaknya ia menganggap bahwa putusan otaknya itulah yang jelek.


DIPAKSA MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya orang 
dipaksa mengeluarkan zakat fithri harus dengan uang dan apakah hal ini memenuhi 
kewajibannya .?

Jawaban.
Yang jelas menurut kami, hendaklah ia mengeluarkannya jangan sampai terlihat 
menentang pengurus setempat. Namun di samping itu, untuk menjaga keutuhan 
hubungan dengan Allah, hendaklah mengeluarkan fithri sesuai dengan perintah 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa satu sha' makanan, sebab tuntunan 
pengurus setempat tidak sejalan dengan perintah syara'.


BOLEHKAH ZAKAT FITHRI BERUPA DAGING


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang desa tidak 
punya makanan untuk zakat fithri, maka bolehkan mereka menyembelih binatang 
lalu dibagikan dagingnya kepada para fakir .?

Jawaban.
Hal seperti itu tidak boleh dilakukan, sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, telah menetapkan bahwa zakat fithri harus berupa satu sha' makanan. 
Biasanya daging itu ditimbang, sedang makanan di takar. Perhatikan hadits yang 
diterangkan oleh Ibnu Umar dan Said al-Khudry sebelumnya.

Dengan demikian, pendapat terkuat menyatakan bahwa zakat fithri tidak bisa 
dipenuhi dengan uang dirham, pakaian atau hamparan. Juga tidak bisa dijadikan 
dasar hukum adanya pendapat yang menyatakan bahwa zakat fithri bisa dipenuhi 
dengan uang. Sebab selama kita punya ketetapan pasti dari Rasul Shallallahu 
'alaihi wa sallam, maka sepeninggalnya, seseorang tidak diperkenankan 

[assunnah] Menambah Zakat Fithri Dengan Niat Sedekah

2013-08-05 Terurut Topik Abu Abdillah
ZAKAT TIDAK BOLEH DIANGKUT DARI TEMPAT ASAL WAJIBNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://almanhaj.or.id/content/1160/slash/0/zakat-tidak-boleh-diangkut-dari-tempat-asal-wajibnya-zakat-fithri-mengikuti-orang-dimana-berada/

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Suatu jama'ah telah mengangkat 
seorang wakil agar membeli gandum untuk dibagikan sebagai zakat fithri di 
Afganistan, bagaimana hukumnya ..?

Jawaban.
Yang mashur dari madzhab Hanabilah dalam masalah ini tidak boleh, sebab zakat 
fithri tidak boleh dipindahkan dari tempat asal diwajibkannya kecuali jika pada 
tempat tersebut tidak ada yang berhak menerimanya. Jika tidak ada yang berhak 
menerimanya, maka zakat tersebut hendaknya dibagikan kepada negeri yang 
terdekat. Penduduk setempat yang fakir itu lebih berhak menerima zakat. Jika 
dalam suatu negeri tidak ada orang fakir, maka zakat boleh disalurkan ke negeri 
lainnya. Begitupula menurut pendapat yang kuat, bolehnya menyalurkan zakat ke 
negeri lain tergantung kemaslahatan yang ada. Tetapi zakat fithri tidak sama 
dengan zakat harta dalam hal waktu. Zakat harta memiliki waktu yang sangat luas 
sedangkan zakat fithri sebaliknya hanya satu atau dua hari menjelang shalat Ied.

ZAKAT FITHRI MENGIKUTI ORANG DIMANA BERADA

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika seseorang berada di 
negeri Mekkah, bolehkah ia mengeluarkan zakat fithri di negerinya sendiri .?

Jawaban.
Zakat fithri itu mengikuti orangnya. Jika datang waktu zakat, dan kamu berada 
pada suatu negeri, hendaklah tunaikan zakat tersebut di negeri yang kamu 
berada. Umpanya, kamu berasal dari Medinah lalu ketika kamu berada di Mekkah 
tibalah waktu Ied, maka kamu wajib mengeluarkan zakat di Mekkah dan begitu pula 
sebaliknya. Jika kamu penduduk Mesir misalnya, atau Syam atau Irak, lalu hari 
Ied tiba ketika kamu berada di Mekkah, maka kamu wajib menunaikan zakat di 
Mekkah dan begitu pula sebaliknya.

MENERIMA ZAKAT FITHRI MELALUI WAKIL

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah seorang fakir yang 
ingin diberi zakat mewakilkan seseorang untuk menerimanya pada saat penyerahan 
..?

Jawaban.
Hal itu boleh. Yakni, orang yang mau berzakat fithri boleh berkata kepada si 
fakir : Kamu bisa mewakilkan kepada seseorang untuk menerima zakat fithri pada 
waktunya. Dan ketika tiba saatnya, aku akan serahkan zakat kepada wakilmu 
tersebut.


HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI PADA SEPULUH HARI TERAKHIR BULAN RAMADHAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

http://almanhaj.or.id/content/1171/slash/0/mengeluarkan-zakat-fithri-pada-sepuluh-hari-terakhir-menambah-zakat-fithri-dengan-niat-sedekah/


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya mengeluarkan 
zakat fithri pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ?

Jawaban.
Zakat fithri disandarkan pada fithri (makan) ; karena fithrilah yang menjadi 
sebabnya, apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab penghapusan ini maka 
dia dikuatkan dengannya namun tidak didahulukan daripadanya, karena waktu yang 
paling afdhal (paling utama) dalam mengeluarkan zakat fithri adalah pada hari 
Idul Fithri sebelum melakukan shalat Ied. Akan tetapi boleh dilakukan sebelum 
Ied satu atau dua hari, untuk melonggarkan orang yang memberi maupun yang 
menerima, adapun sebelum itu maka pendapat yang kuat dari para ulama menegaskan 
bahwa tidak diperbolehkan, dengan dasar ini zakat fithri memiliki dua waktu ; 
waktu yang diperbolehkan yakni sebelum Ied satu atau dua hari dan waktu utama 
yakni pada hari Ied sebelum shalat, penundaannya sampai sesudah shalat adalah 
haram hukumnya dan tidak bisa mencukupi kewajiban zakat fithri, berdasarkan 
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ 
أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Ied maka itulah zakat yang 
dikabulkan, sedangkan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat maka itu 
dihitung sebagai sedekah dari berbagai macam sedekah [Diriwayatkan oleh Abu 
Dawud : Kitab Zakat/Bab Zakat Fithri 1609, Ibnu Majah : Kitab Zakat/Bab 
Shadaqah Fithri 1827]

Kecuali apabila ada seorang lelaki yang tidak mengetahui kapan hari Iedul 
Fithri, misalnya dia berada di padang tak bertuan, dia tidak mengetahui kecuali 
saat waktu sudah terlambat, dan yang serupa dengan itu, maka tidak mengapa dia 
menunaikannya sesudah shalat Ied dan sudah mencukupi dari kewajiban zakat 
fithri.

MENAMBAH ZAKAT FITHRI DENGAN NIAT SEDEKAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkan menambah zakat fithri 
dengan niat sedekah ?

Jawaban.
Ya, diperbolehkan bagi seseorang untuk menambah zakat fithri dan berniat 
sedekah pada tambahannya itu. Dari dalil ini, apa yang dilakukan oleh sebagian 
orang sekarang ini yang berkewajiban sepuluh takar zakat fithri 

[assunnah] Doa Untuk Orang Yang Membayar Zakat

2013-08-04 Terurut Topik Abu Abdillah
DO’A UNTUK ORANG YANG MEMBAYAR ZAKAT
http://almanhaj.or.id/content/2438/slash/0/zakat-fithri-dan-doa-untuk-orang-yang-membayar-zakat/

 

Dianjurkan untuk mendo’akan orang yang membayar zakat, ketika mengambil zakat 
darinya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ 
عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan 
dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu 
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” [At-Taubah: 103]

HADITS NO. 23 (SHAHIH)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ 
بِصَدَقَةٍ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. وَإِنَّ أَبِي أَتَاهُ 
بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى.

“Jika sedekah (zakat) dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
beliau pun berdo’a (yang artinya), ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada 
mereka.’ Ayahku pernah membawa sedekah (zakat)nya, maka Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam berdo’a, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu 
Aufa.’” [1]

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selainnya.

HADITS NO. 24 (SHAHIH)
Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, beliau 
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a untuk 
seseorang yang memberikan unta yang bagus sebagai pembayaran zakat:

اَللّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِ، وَفِي إِبِلِهِ.

‘Ya Allah, berikanlah keberkahan untuk dirinya dan unta-untanya.’” [2]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Sunnah hukumnya bagi seorang Imam 
-ketika mengambil zakat- untuk berdo’a bagi orang yang membayar zakat, dengan 
mengucapkan:

آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

‘Semoga Allah memberikan ganjaran atas apa yang engkau berikan dan memberikan 
keberkahan atas apa yang engkau sisakan.’” [3]

[Disalin dari kitab Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah, Penulis Syaikh as-Sayyid 
Sabiq, Edisi Indonesia Panduan Zakat Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, 
Penerjemah, Beni Sarbeni, Edit Isi Adni Kurniawan, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu 
Katsir]

Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh :
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Shalaatil Imaam wa Du’aa-ihi li Shaahibish 
Shadaqah wa Qaulih: 

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ 
عَلَيْهِمْ 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan 
dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka.” (QS. At-Taubah: 103). 
(Fat-hul Baari III/423).

Muslim: Kitab az-Zakaah, bab ad-Du’aa’ li Man Ataa bi Shadaqah (II/756, no. 
176).
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Maa Yuqaal ‘inda Ikhraajiz Zakaah (I/572, no. 
1796).
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Shalaatil Imaam ‘ala Shaahibish Shadaqah (V/ 
31, no. 2459).
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Du’aa-il Mushaddiq li Ahlish Shadaqah (II/ 
246-247, no. 1590).
[2]. HR. An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab al-Jam’i bainal Mutafarriq wat Tafriiq 
ba-inal Mujtama’ (V/30, no. 2458).
[3]. Diriwayatkan oleh: Ibnu Majah secara ringkas: Kitab az-Zakaah, bab Man 
Ista-faada Maalan (no. 1792). Disebutkan dalam az-Zawaa-id, “Sanadnya dha’if 
karena lemahnya Haritsah bin Muhammad.” (I/ 571).
  

[assunnah] Perbedaan Zakat Dan Pajak

2013-08-04 Terurut Topik Abu Abdillah
PAJAK DALAM ISLAM

http://almanhaj.or.id/content/2437/slash/0/pajak-dalam-islam/

 

PERBEDAAN ANTARA ZAKAT DAN PAJAK
Oleh
Prof. DR Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1876/slash/0/perbedaan-antara-zakat-dan-pajak-bolehkah-pajak-menggantikan-zakat/


1. Zakat : Adalah hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang 
tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridhaan Allah, 
membersihkan diri, harta serta masyarakat.

Sedangkan Pajak : Adalah beban yang ditetapkan pemerintah, yang dikumpulkan 
sebagai keharusan dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum pada suatu 
segi. Dan pada segi lain, untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, 
kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan lainnya yang dicanangkan oleh 
negara.

2. Zakat, ditunaikan dengan maksud ibadah (taqarrub) kepada Allah. 

Sedangkan nilai (makna) demikian ini tidak terpenuhi pada Pajak. Karena Pajak 
hanya bersifat keharusan yang ditetapkan oleh negara.

3. Zakat, adalah kewajiban yang ditetapkan langsung kadar ukurannya oleh 
syari’at, tanpa memberi peluang bagi hawa nafsu dan keinginan pribadi manusia 
untuk ikut dalam menetapkannya.

Sedangkan Pajak, ditetapkan oleh pemerintah, yang kadarnya dapat ditambah kapan 
saja, manakala pemerintah menginginkannya sesuai kepentingan maslahat pribadi 
dan masyarakat.

4. Zakat, telah ditetapkan tempat penyalurannya oleh syari’at. Bahwa golongan 
yang berhak menerima zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah Subhanahu wa 
Ta’ala.

Adapun Pajak, hanya dikumpulkan dalam kas negara, dan dibelanjakan menurut 
kepentingan yang berbeda-beda.

5. Zakat, merupakan kewajiban yang sudah ditetapkan dan bersifat kekal selama 
di bumi ini ada agama Islam dan ada kaum muslimin.

Adapaun Pajak, maka tidak memiliki sifat tetap dan kekekalan, baik dari segi 
jenisnya, ukuran minimal wajibnya, kadarnya, maupun tempat pembelanjaannya.


BOLEHKAH PAJAK MENGGANTIKAN ZAKAT?

Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat 
Komite Fatwa tentang seorang muslim yang telah menentukan zakatnya, bolehkah ia 
menggunakan zakat itu untuk membayar pajak? Sah ataukah tidak /

Jawaban
Pajak harta yang dibayarkan si pemilik harta, tidak boleh dianggap zakat harta 
yang wajib dizakati. Akan tetapi, ia wajib mengeluarkan zakat yang diwajibkan, 
dan menyerahkannya kepada yang berhak secara syar’i, seperti yang telah 
dinashkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا 
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ 
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, 
orang-orang yang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk 
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan 
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai sesuatu ketetapan 
yang diwajibkan Allah, Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” 
[At-Taubah : 60]

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan 
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan 
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
  

[assunnah] Zakat Fithri Dibagikan Di Negeri Setempat

2013-08-04 Terurut Topik Abu Abdillah
MEMBAYARKAN ZAKAT FITHRI UNTUK SAUDARA PEREMPUAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/1633/slash/0/membayarkan-zakat-fithri-untuk-saudara-perempuan-dan-zakat-fithri-harus-dibagikan-di-negeri-setempat/


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang mahasiswa 
berkebangsaan Thailand dan saya belajar di salah satu universitas di Sudan. 
Kira-kira sebulan yang lalu datang berita yang menyedihkan dari negeri saya 
bahwa ayah saya meninggal dunia, sementara masih ada adik perempuan saya yang 
belum baligh. Wajibkah saya membayar zakat fithri untuk adik saya tersebut ? 
Perlu diketahui bahwa dia tidak mempunyai saudara yang bisa menanggung 
nafkahnya kecuali saya.

Jawaban
Jika ayah anda meninggal sebelum bulan Ramadhan berakhir, sementara tidak ada 
seorang kerabatpun yang membayar zakat fithri untuk adik perempuan anda, maka 
anda wajib membayar zakat tersebut jika anda mampu. Anda juga wajib mengirimkan 
nafkah untuk mencukupi kehidupannya sesuai dengan kemampuan anda, berdasarkan 
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ 
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا 
آتَاهَا

Hendaklah orang yang mempunyai kelebihan (rizki) menginfakkan sebagian rizki 
yang telah Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani seseorang kecuali 
sesuai dengan apa yang ada pada dirinya.[At-Thalaq : 7]

Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau 
Shallallahu alaihi wa sallam ditanya oleh seseorang.

مَنْ أَبَرًّ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ 
أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ 
ثُمَّ اْلأَقْرَبَ فَاْلأَقْرَبَ

Wahai Rasulullah, siapakah orang yang harus paling saya hormati (kepada siapa 
saya harus berbuat baik) ? 'Belaiu Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : 
Ibumu, Orang itu bertanya lagi : 'Kemudian setelah itu siapa lagi ?'. Beliau 
Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : Ibumu. Orang itu bertanya lagi : 
Kemudian setelah itu siapa lagi ? 'Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab 
: Ibumu. Kemudian setelah itu siapa lagi ? Beliau Shallallahu alaihi wa 
sallam menjawab : Bapakmu, kemudian yang lebih dekat kemudian yang lebih dekat 
[Hadits Riwayat Abu Dawud]

Disamping itu memberikan nafkah kepada adik anda termasuk perbuatan 
silaturrahim yang hukumnya wajib apabila tidak ada orang yang bisa memberikan 
nafkah kepadanya selain anda, sementara ayah anda tidak meninggalkan warisan 
yang cukup untuk biaya hidupnya.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala membimbing kalian berdua untuk 
mendapatkan kebaikan.

ZAKAT FITHRI HARUS DIBAGIKAN KEPADA FAKIR MISKIN DI NEGERI SETEMPAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Wajibkah zakat fithri 
diberikan kepada fakir miskin di negeri kita sendiri atau bolehkah diberikan 
pada orang lain ? Apabila kita sedang musafir 3 hari sebelum Ied bagaimana kita 
membeirkan zakat fithri tersebut ?

Jawaban
Menurut sunnah, memberikan zakat fithri adalah kepada fakir miskin di negeri 
kita sendiri pada pagi hari Iedul Fithri, sebelum shalat Ied. Dan dibolehkan 
juga memberikannya sehari atau dua hari sebelum shalat Ied atau diawali 
kira-kira hari ke 28 bulan Ramadhan.

Apabila seseorang pada hari-hari tersebut berada di negeri orang dia boleh 
mengeluarkan zakat fitrinya kepada fakir miskin di negeri tersebut, apabila 
negeri itu negeri muslim. Tapi apabila negeri tersebut negeri kafir, dia harus 
mencari fakir miskin yang muslim di negeri tersebut. Apabila dia masih ada di 
negerinya ketika sudah diperbolehkan mengeluarkan zakat fithri, maka (sebelum 
meninggalkan negerinya -pent) lebih baik dia memberikan zakat fithri kepada 
fakir miskin di negerinya. Karena maksud dikeluarkannya zakat fithri adalah 
memberikan keleluasaan (bantuan makanan) serta berbuat baik kepada fakir miskin 
setempat agar di hari tersebut mereka tidak usah minta-minta kepada sesama 
manusia.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, 
Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul 
Aziz, Penerbit At-Tibyan - Solo] 

[assunnah] Mudik Lebaran Dan Tradisi Yang Keliru

2013-08-03 Terurut Topik Abu Abdillah
MUDIK LEBARAN, DAN TRADISI YANG KELIRU
Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin
http://almanhaj.or.id/content/2830/slash/0/mudik-lebaran-dan-tradisi-yang-keliru/

Wahai, manusia. Hiasilah hubungan dengan kerabatmu untuk mencari ridha Allah. 
Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur dan rizki akan diraih dan derajat mulia 
akan tercapai di sisi Allah. Ketauhilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan 
famili merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. 

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ 
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah 
melakukan silaturrahmi.[1] 

Silaturrahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik terhadap orang-orang 
yang telah berbuat baik terhadap kita. Namun, silaturrahmi yang sebenarnya 
ialah menyambung hubungan dengan orang-orang yang telah memutuskan tali 
silaturahmi dengan kita.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda: 

لَيْسَ الْوَاصِلَ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ 
رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang 
membalas kebaikan, namun orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang 
menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi. [2] 

TRADISI MUDIK LEBARAN DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ada 
kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait dengan ibadah bulan Ramadhan. 
Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar 
pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, 
finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan 
gengsi bercampur pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus 
menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang. Pada hari 
lebaran, lembaga pegadaian menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati 
pengunjung yang ingin berhutang.

Padahal yang benar mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena tidak 
ada satu perintahpun baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, setelah menjalankan 
ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan 
maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan 
kondisi.

Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan 
momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang 
retak sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran maka 
demikian itu boleh-boleh saja namun bila sudah menjadi suatu yang lazim dan 
dipaksakan serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan 
ajaran Islam atau disebut dengan istilah tradisi Islami maka demikian itu bisa 
menjadi bidah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran Islam. Sebab 
seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syareat 
merupakan perkara bidah dan tertolak sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi 
wa sallam:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا 
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا 
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ 
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ 
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat 
walaupun dipimpin budak habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka 
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku 
dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah 
kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap 
perkara-perkara baru (bid’ah) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan 
setiap yang bid’ah adalah sesat. [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

SILATURAHMI YANG SESUAI DENGAN SUNNAH
Makna silaturahmi secara bahasa adalah dari lafadz rahmah yang berarti lembut 
dan kasih sayang. 

Abu Ishak berkata: Dikatakan paling dekat rahimnya adalah orang yang paling 
dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubungan kekerabatannya. [3]

Imam Al Allamah Ar Raghib Al Asfahani berkata bahwa Ar Rahim berasal dari 
rahmah yang berarti lembut yang memberi konsekwensi berbuat baik kepada orang 
yang disayangi.[4]

Oleh sebab itu salaturrahmi merupakan bentuk hubungan dekat antara bapak dan 
anaknya atau seseorang dengan kerabatnya dengan kasih saying yang dekat, 
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ 

Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling 
meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. [an Nisa’:1]

Silaturahmi dan berbuat baik kepada orang 

[assunnah] Hukum Meyerahkan Uang Senilai Zakat Fithri

2013-08-01 Terurut Topik Abu Abdillah
MEMBAYAR ZAKAT FITHRI, QURBAN DAN AQIQAH DENGAN UANG
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
http://almanhaj.or.id/content/2827/slash/0/membayar-zakat-fithri-qurban-dan-aqiqah-dengan-uang/


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum menyerahkan 
uang senilai zakat fithri, senilai binatang qurban dan aqiqah untuk membeli 
makanan atau kambing yang disembelih di negara lain dan dibagikan kepada 
orang-orang faqir disana?

Jawaban.

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسول الله نبينا محمد وعلى آله وصحبه وبعد‏:

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya 
bagimu, maka tinggalkanlah [1]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

‏مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا؛ فَهُوَ رَدٌّ‏

Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka 
amalan itu tertolak. [HR Imam al Bukhari]

Pada zaman ini, ada sebagian orang yang berusaha merubah ibadah dari ketentuan 
syar’i. Dalam hal ini, terdapat banyak contoh. Misalnya, zakat fithri. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar mengeluarkan zakat 
dari makanan di negara yang seorang muslim bermukim, pada akhir bulan Ramadhan. 
Zakat itu diserahkan kepada para fakir miskin di negeri itu [2]. Lalu ada orang 
yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang sebagai ganti dari makanan. Ada 
lagi yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang untuk membeli makanan di 
negeri lain yang jauh dari negeri pemberi zakat dan dibagikan disana. Ini 
termasuk bentuk merubah ibadah dari ketentuan syari’at. 

Zakat fithri memiliki waktu tertentu untuk mengeluarkannya, yaitu malam hari 
raya atau dua hari sebelumnya, menurut para ulama. Begitu juga (zakat fithri) 
memiliki ketentuan daerah untuk membayarkannya, yaitu di tempat seorang muslim 
menghabiskan bulan (pada Ramadhan) tersebut. Dalam (membagikan) zakat, juga 
terdapat kekhususan yang berhak menerimanya. Yaitu orang-orang miskin di negeri 
tersebut. Dan (zakat fithri) juga mempunyai ketentuan jenisnya, yaitu makanan 
pokok. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi kriteria-kriteria ini. Jika tidak, 
maka zakat itu termasuk ibadah yang benar dan juga tidak bisa melepaskan 
seseorang dari beban. 

Para imam yang empat telah sepakat tentang wajibnya mengeluarkan zakat fitrah 
di negera tempat si pemberinya berada, selama di negara itu ada orang yang 
berhak. Hai-ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Saudi juga sudah 
mengeluarkan ketetapan. Ketentuan ini seharusnya diperhatikan, dan jangan 
terpengaruh dengan seruan orang untuk melanggarnya. Karena seorang muslim 
seharusnya antusias untuk melepaskan dirinya dari beban dan berhati-hati demi 
agamanya. Demikian (juga dengan) seluruh ibadah, semuanya harus ditunaikan 
sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis, waktu dan pelaksanaannya. Tidak boleh 
merubah jenis ibadah yang telah disyari’atkan Allah Azza wa Jalla kepada jenis 
yang lain. 

Contoh lain, yaitu fidyah puasa yang berkaitan dengan orang yang sudah tua dan 
sakit parah, sehingga tidak bisa melaksanakan ibadah puasa. Allah Azza wa Jalla 
mewajibkan kepada mereka untuk memberikan makan satu orang fakir sebagai ganti 
puasa satu hari. Allah berfirman :

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ، فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak 
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. [3]

Begitu juga memberikan makanan dalam masalah kaffarah, seperti kafarah zihar 
(menyamakan punggung isteri dengan punggung ibu), kaffarah karena melakukan 
hubungan suami isteri saat siang bulan Ramadhan dan kaffarat sumpah. Begitu 
pulalah mengeluarkan makanan untuk zakat fithri. 

Semua jenis ibadah ini harus menyerahkan makanan, tidak cukup dengan cara 
mengeluarkan uang. Karena (membayar dengan uang) itu termasuk merubah ibadah 
dari jenis yang diwajibkan. Karena Allah Azza wa Jalla mengatakan dengan 
memberikan makanan. Oleh karena itu, wajib berpegang dengannya. Barangsiapa 
yang tidak berpegang dengannya, berarti dia telah merubah ibadah dari jenis 
yang diwajibkan.

Begitu juga dalam masalah al hadyu (denda dalam ibadah haji), kurban dan aqiqah 
kelahiran. Pada ibadah-ibadah ini, pelaksanaanya ialah harus dengan menyembelih 
jenis binatang ternak yang memenuhi syarat, tidak cukup dengan mengeluarkan 
uang atau menyerahkan shadaqah senilai harganya, karena menyembelih itu 
merupakan ibadah. Allah berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah.[4] 

Allah berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah 
untuk Allah, Rabb semesta alam.[5] 

Memakan daging sembelihan ini, juga menyedekahkannya adalah ibadah. Allah 
berfirman :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ 

[assunnah] Hukum Zakat Fithri Dengan Uang?

2013-08-01 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/2250/slash/0/hukum-mengeluarkan-zakat-fithri-dengan-uang/

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Hukum mengeluarkan zakat 
fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling 
penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak 
disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan 
Allah.

Konsekuensi syahadat لا إله إلا الله adalah tidak menyembah kecuali hanya 
kepada Allah saja, sedangkan konsekuensi syahadat محمد رسول الله adalah tidak 
menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut 
ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil 
atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada 
Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. 
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)  [An-Najm 
: 3-4]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak 
termasuk agama ini maka hal itu tertolak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri 
dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. 
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar 
Radhiallahu 'anhu, dia berkata :

فَرَضَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا 
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ حُرٍّ صَغِيرٍ أَوْ 
كَبِيرٍ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan 
satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun 
budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar

Dan Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu 
dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.

Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu 
'anhu, dia berkata.

قَالَ كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ 
أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
dengan satu sha makanan, atau satu sha' kurma atau gandum atau anggur kering 
dalam satu riwayat satu sha' keju

Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam zakat fithri. Dan 
sudah diketahui bersama bahwa pensyari'atan dan pengeluaran zakat ini 
ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar 
dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau 
seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal 
itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak 
boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu 
pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu telah 
dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu 'anhum. Kami belum pernah mengetahui 
ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal 
mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam 
melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal 
itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka 
lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar'i juga telah dinukil 
periwayatannya. Allah berfirman.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah [Al-Ahzab 
: 21]

Dan firman-Nya.

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ 
اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ 
جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ 
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara 
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan 
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah 
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; 
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar 
[At-Taubah : 100]

Dari 

[assunnah] Tafsir Al-Qadr : Tanda-Tanda Lailatul Qadr

2013-07-31 Terurut Topik Abu Abdillah
 dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin 
Rabbnya untuk mengatur segala urusan.

1. Melakukan I’tikaf.
Sebagaimana hadits Aisyah, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى 
تَوَفَّاهُ اللهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Sesungguhnya Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan 
Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau melakukan 
i’tikaf setelahnya [5]. [Hadits yang semisal dengannya ialah, hadits Abdullah 
bin Umar] [6].

Hadits lain dari Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ 
فِيْ غَيْرِهِ.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam 
terakhir, yang kesungguhannya tidak seperti pada waktu-waktu lainnya [7].

Ada juga hadits lainnya dari Aisyah, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْيَا لَيْلَهُ 
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh malam terakhir, 
(beliau) mengikat sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan 
istri-istrinya (untuk shalat malam) [8].

Ibnu Katsir berkata: Makna perkataan Aisyah “ شَدَّ مِئْزَرَهُ “, ialah 
menjauhi istri (tidak menggaulinya), dan ada kemungkinan bermakna kedua-duanya 
(mengikat sarungnya dan tidak menggauli istri) [9].

2. Memperbanyak Doa.
Ibnu Katsir berkata: Dan sangat dianjurkan (disunnahkan) memperbanyak doa pada 
setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan, dan terutama pada sepuluh malam 
terakhir, di malam-malam ganjilnya [10].

Doa yang dianjurkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
ٍ
Sesuai dengan hadits Aisyah berikut ini:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, مَا 
أَدْعُوْ؟ قَالَ: تَقُوْلِيْنَ: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ, تُحِبُّ الْعَفْوَ 
فَاعْفُ عَنِّيْ.

Aku (Aisyah) bertanya: “Wahai, Rasulullah. Seandainya aku bertepatan dengan 
malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Katakan: Ya, 
Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf. Maka, maafkan 
aku [11].

3. Menghidupkan Malam Lailatul Qadr Dengan Melakukan Shalat Atau Ibadah Lainnya.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, beliau berkata:

عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ 
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً 
وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa 
yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), 
niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang 
menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari 
Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [12].

Demikian tafsir surat Al Qadr, yang secara khusus membawa pesan mulia. Yaitu 
menghidupkan suatu malam yang penuh berkah. Akhirnya, penulis mengajak kepada 
segenap pembaca yang mudah-mudahan senantiasa dimuliakan Allah, agar selalu 
bertaqwa kepadaNya, kapanpun dan di manapun kita berada. Marilah kita selalu 
berdoa dan meminta kepadaNya, memohon taufiqNya agar kita diberi kemudahan 
dalam ketaatan kepadaNya, diberi kesempatan untuk dapat menuai pahala dariNya 
dengan berpuasa dan qiyamul lail dan melakukan ibadah-ibadah lainnya di bulan 
Ramadhan ini, sehingga kita keluar dari bulan yang penuh berkah ini dengan 
penuh keimanan, takut, berharap dan cinta hanya kepadaNya semata. Dan 
mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing dan memberikan kita kekuatan untuk 
tetap tsabat dan istiqamah di atas jalanNya yang lurus, jalan orang-orang yang 
diridhai dan diberikan kenikmatan olehNya sampai kita bertemu denganNya nanti. 
Amin.

Wallahu Ta’ala a’lam.

وصلّى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين,.

Maraji’ dan Mashadir
1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Malik Fahd.
2. Shahih Al Bukhari, Imam Bukhari, tahqiq Musthafa Dib Al Bugha, Dar Ibni 
Katsir, Al Yamamah, Beirut, cet III th 1407 H/1987 M
3. Shahih Muslim, Imam Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya At 
Turats, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
4. Sunan Abu Daud, Imam Abu Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al 
Fikr, tanpa cetakan dan tahun
5. Jami At Tirmidzi, Imam At Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir 
dkk, Dar Ihya At Turats, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
6. As Sunan Al Kubra, Imam An Nasai, tahqiq DR. Abdul Ghaffar Sulaiman Al 
Bundari dan Sayyid Kisrawi Hasan, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, cet I th 
1411 H/1991M
7. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah, tahqiq Muhammad 
Fuad Abdul Baqi, Dar Al Fikr, Beirut, tanpa cetakan dan tahun
8. Musnad Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani 
(164-241), Mu’assasah Qurthubah, Mesir
9. Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad

[assunnah] Lailatul Qadar, Malam Seribu Bulan

2013-07-30 Terurut Topik Abu Abdillah
LAILATUL QADAR, MALAM SERIBU BULAN
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
http://almanhaj.or.id/content/3317/slash/0/lailatul-qadar-malam-seribu-bulan/


Sebab Penamaan Malam Mulia Ini Dengan Nama Lailatul Qadr
Para ulama رحمهم الله berselisih pendapat me-ngenai persoalan ini, sebagai 
berikut:

Pertama, sesungguhnya pada malam lailatul Qadar ini, Allah menetapkan 
(at-taqdiir) semua rizki, ajal kematian dan semua peristiwa untuk setahun ke 
depan, dan para Malaikat mencatat semua hal itu.

Kedua, pendapat kedua menyatakan bahwa kemulian (al-Qadr), kehormatan dan 
suasana malam ini disebabkan oleh diturunkannya (permulaan) al-Qur-an, atau 
pada malam ini para Malaikat turun atau turunnya keberkahan, rahmat dan 
maghfirah pada malam kemuliaan ini.

Ketiga, pendapat berikutnya, bahwa orang yang menghidupkan malam ini akan 
mendapatkan al-Qadr (kemuliaan) yang besar, yang belum pernah dia miliki 
sebelumnya. Malam ini akan menambah kemuliaannya di sisi Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. 

Dan masih terdapat pendapat lainnya. [1]

Keberkahan Lailatul Qadar Dan Keutamaannya
Lailatul Qadar ini merupakan malam yang paling utama. Malam ini dimuliakan oleh 
Allah daripada malam-malam lainnya. Maka, ia merupakan malam yang penuh 
keberkahan sebagaimana yang difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” 
[Ad-Du-khaan: 3]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allah mensifati malam ini dengan 
keberkahan, karena Dia menurunkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai berkah, 
kebaikan dan pahala pada malam yang mulia ini.” [2] 

Maka, lailatul Qadr yang penuh barakah ini mengandung berbagai keutamaan yang 
agung dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Di antaranya sebagai berikut: 

Pertama : Pada malam mulia ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. 
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan persoalan ini lewat firman-Nya:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan: 4]

Makna kata yufraqu adalah yufashshal (dijelaskan, dirinci). Dan makna kata 
hakiim adalah al-muhkam (yang tepat, teliti dan sempurna).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa dicatat dari Ummul Kitab pada 
lailatul Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke depan berupa kebaikan, 
keburukan, rizki, ajal hingga keberangkatan menuju ibadah Haji. [3]

Kedua : Amal-amal yang dikerjakan pada malam mulia ini akan dilipatgandakan dan 
pengampunan dosa-dosa orang yang menghidupkan lailatul Qadr ini. Allah 
Tabaaraka wa Ta’aalaa berfirman dalam surat al-Qadr:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر ِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ 
شَهْرٍ 

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik 
dari seri-bu bulan.” [Al-Qadr: 2-3]

Para mufassir (ahli Tafsir) menyatakan, “Maknanya adalah amal shalih (yang 
dilakukan pada) lailatul Qadr lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan 
(yang dilakukan) di luar lailatul Qadr. Dan ini merupakan karunia yang agung, 
rahmat dari Allah pada hamba-hamba-Nya, serta barakah yang besar lagi nyata 
yang dimiliki oleh malam yang mulia ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh 
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : 

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا 
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang mendirikan lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala 
(dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [4]

Kata qaama (mendirikan) pada hadits di atas dapat diwujudkan dalam bentuk 
shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al-Qur-an dan berbagai bentuk kebaikan 
lainnya.

Ketiga : Turunnya al-Qur-an pada lailatul Qadr. 
Di antara keutamaan dan keberkahan lailatul Qadr, bahwa al-Qur-an al-Karim 
-yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan bagi kebahagiaan mereka di 
dunia dan akhirat- telah diturunkan pada malam ini.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ 

“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur-an) yang men-jelaskan. Sesungguhnya Kami 
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...” [Ad-Dukhaan: 1-3]

Dan Dia berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” 
[Al-Qadr: 1]

Disebutkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah turunnya al-Qur-an secara 
sekaligus (dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama (Baitul ‘Izzah-pent) pada 
lailatul Qadr, selanjutnya diturunkan secara bertahap kepada Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa maksud ayat di 
atas adalah permulaan turunnya al-Qur-an terjadi pada lailatul Qadr. [5] 
Wallaahu a’lam.

Keempat : Keberkahan lain dari lailatul Qadr ini, yaitu turunnya para Malaikat 
pada malam yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Qadr:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ 

[assunnah] Malam Lailatul Qadar

2013-07-30 Terurut Topik Abu Abdillah
MALAM LAILATUL QADAR
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
http://almanhaj.or.id/content/1142/slash/0/malam-lailatul-qadar/

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an 
Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan 
kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang 
mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula 
menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka 
berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap 
pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah 
yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui 
bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ 
الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ 
الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ 
هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ 

Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah 
engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik 
dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan 
izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu 
hingga terbit fajar [Al-Qadar : 1-5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ 
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا ۚ إِنَّا كُنَّا 
مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan 
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala 
urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. 
Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui [Ad-Dukhan : 3-6]

2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa malam tersebut 
terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]

Imam Syafi'i berkata : Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada 
beliau : Apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab : Carilah di 
malam tersebut [2] 

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam 
terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia 
berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari 
terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ 
الْعَشْرِ

Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan 
Ramadhan [3] 

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari 
tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الْتَمِسُوْ مَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُ كُمْ أَوْ 
عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput 
tujuh hari sisanya [4] 

Ini menafsirkan sabdanya.

أَرَى رُؤْيَا كُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّ 
هَا فيْ السَّبْعِ الأَوَاخِِرِ

Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah 
pada tujuh hari terakhir [5] 

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para 
sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang 
sahabat berdebat, beliau bersabda : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada 
kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak 
bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di 
malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima) [6] 

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada 
sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari 
terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, 
maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak 
hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh 
hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, 
tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling 
bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil 
sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu 
mencari pada 

[assunnah] Ancaman Meninggalkan Zakat

2013-07-29 Terurut Topik Abu Abdillah
ANCAMAN MENINGGALKAN ZAKAT

Oleh
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2653/slash/0/ancaman-meninggalkan-zakat/


Zakat merupakan kewajiban agama yang sangat terkenal, termasuk salah satu rukun 
Islam yang lima. Oleh karena itu, zakat termasuk dharuriyat (perkara-perkara 
pasti) dalam agama Islam. Maka barangsiapa mengingkari kewajiban zakat, ia 
menjadi kafir dan keluar dari agama Islam. Kecuali jika orang tersebut baru 
masuk Islam, sehingga kebodohannya terhadap hukum-hukum Islam terma’afkan. Atau 
orang itu tinggal di daerah yang jauh dari ulama’.

Allah mengancam keras terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat dengan 
firmanNya:

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَآءَاتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ 
خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرُُّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ 
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَللهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَاللهُ بِمَا 
تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan 
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. 
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan 
itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan 
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui 
apa yang kamu kerjakan [Ali Imran:180].

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: 
Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia 
mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan 
membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan) 
dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari 
kiamat, Dia berfirman,“Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di 
leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran 
ayat 180]
. 
Tentang makna ayat “harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher 
mereka, kelak pada hari kiamat” di atas dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. 
Antara lain sebagaimana di bawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ 
مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ 
يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي 
بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا ( لَا 
يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ ) الْآيَةَ 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak 
menunaikan zakatnya, pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi 
seekor ular jantan aqra’ (yang kulit kepalanya rontok karena dikepalanya 
terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan 
(di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang [1] dengan kedua sudut 
mulutnya, lalu ular itu berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu’. 
Kemudian beliau n membaca,’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil 
menyangka … Al ayat’.” [HR Bukhari no. 1403]

Pada hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا صَاحِبِ كَنْزٍ لَا يَفْعَلُ فِيهِ حَقَّهُ إِلَّا جَاءَ كَنْزُهُ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتْبَعُهُ فَاتِحًا فَاهُ فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ 
مِنْهُ فَيُنَادِيهِ خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ 
فَإِذَا رَأَى أَنْ لَا بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيهِ فَيَقْضَمُهَا 
قَضْمَ الْفَحْلِ 

Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya, kecuali 
harta simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ 
yang akan mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, 
pemilik harta simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya,“Ambillah 
harta simpananmu yang telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka 
ketika pemilik harta itu melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia 
memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya 
sebagaimana binatang jantan memakan makanannya. [HR Muslim no. 988]

Demikianlah akhir perjalanan harta simpanan yang tidak ditunaikan zakatnya. 
Pemiliknya menyangka, bahwa hartanya akan mengekalkannya atau bermanfaat 
baginya. Namun ternyata akan menjadi sarana untuk menyiksanya.

Demikian juga Allah memberitakan siksaan yang akan ditimpakan pada hari kiamat 
kepada orang yang tidak berzakat. FirmanNya,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ 
اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ، يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ 
جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا 
كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada 
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan 

[assunnah] Nasihat : Keberatan Mengeluarkan Zakat

2013-07-29 Terurut Topik Abu Abdillah
NASIHAT KEPADA ORANG YANG KEBERATAN MENGELUARKAN ZAKAT


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/2427/slash/0/nasihat-kepada-orang-yang-keberatan-mengeluarkan-zakat-zakat-dibagikan-sendiri/


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana nasihat anda kepada 
orang yang bakhil dalam mengeluarkan zakat? Mudah-mudahan hatinya terbuka 
sehingga kembali kepada al-haq?

Jawaban
Nasihatku kepada orang yang bakhil dalam mengeluarkan zakat, hendaklah dia 
bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hendaklah dia ingat bahwa Allah 
Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan sesuatu kepadanya untuk menguji 
dirinya dengan itu. Yang diberi harta, diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala 
dengan harta itu. Jika ia mensyukuri nikmat ini dan menunaikan haknya, maka ia 
akan beruntung. Jika ia bakhil dalam zakat, (berarti) ia tidak menunaikan hak 
dari nikmat ini, maka ia akan rugi dan akan merasakan adzab, serta balasan dari 
perbuatannya itu di dalam kuburnya dan pada hari Kiamat –Nas’alullahal ‘afiyah 
(kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya).

Harta itu akan hilang dan masalahnya sangat berbahaya. Akibatnya sangat buruk 
bagi orang yang bakhil dan tidak menunaikan zakatnya. Harta itu akan ditinggal 
untuk orang-orang sesudahnya, sementara ia akan dihisab dan menanggung dosanya. 
Maka wajib bagi setiap kaum muslimin yang memiliki harta agar betakwa kepada 
Allah dan mengingat saat berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaklah 
ia ingat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada semua pelaku sesuai dengan 
perbuatannya, dan mengingat bahwa harta ini merupakan ujian.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ 
عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi 
Allah-lah pahala yang besar” [At-Taghabun : 15]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang 
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” [Al-Anbiya : 35]

Jadi, harta itu merupakan ujian. Jika engkau bersyukur kepada Allah Subhanahu 
wa Ta’ala, engkau menunaikan yang menjadi hak harta, engkau mempergunakan 
sebagaimana mestinya, maka engkau mendapatkan keberuntungan yang sebenarnya, 
dan jadilah harta itu benar-benar menjadi nikmat bagimu.

Teman terbaik bagi seorang mukmin adalah harta ini. Dengannya, ia bisa 
menyambung silaturrahmi. Dengannya, ia bisa menunaikan apa yang menjadi 
tanggungannya , bisa ikut andil dalam jalan-jalan kebaikan dan memberikan 
manfaat, serta membantu kebaikan dan memberikan manfaat, serta membantu kaum 
ekonomi lemah. Maka harta itu di tangannya (merupakan) kenikmatan yang besar. 
Jika ia bakhil dengan harta itu, maka merupakan bencana besar bagi dirinya, dan 
akibatnya sangat besar.

Kami memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala 
keburukan, untuk kami dan seluruh kaum muslimin.

[Majmu Fatawa wa Maqalatu Mutanawwi’ah 14/237-238]

PAJAK BUKAN ZAKAT


Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta.

Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Banyak orang yang tidak 
mengeluarkan zakat dengan alasan negara telah menarik pajak sebagai ganti 
zakat. Apakah ini cukup, apalagi negara tidak mengumpulkan zakat dari warganya? 
Jika pajak ini tidak cukup, apakah harus mengeluarkan zakat sendiri, ataukah 
bagaimana ?

Jawab
Beban pajak yang diharuskan negara kepada rakyatnya tidak menggugurkan 
kewajiban zakat dari orang yang memiliki harta yang sudah mencapai nishab dan 
sudah setahun (dia memiliki harta itu). Orang ini wajib mengeluarkan zakat dan 
membagikan kepada orang-orang yang berhak menurut syariat Islam, yaitu yang 
disebutkan oleh Allah Suhhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا 
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ 
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang 
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk 
(memerdekakan) budak, orang yang berhutang , untuk jalan Allah dan orang-orang 
yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, 
Dan Allah Mahamengatahui lagi Mahabijaksana” [At-Taubah : 60]

[Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta 9/285]

ZAKAT DIBAGIKAN SENDIRI
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kepada siapakah zakat uang 
diserahkan? Apakah orang yang mengeluarkan zakat boleh menyerahknnya sendiri 
kepada orang fakir dan miskin? Ataukah dia menyerahkannya kepada penguasa 
semisal baitul mal?

Jawaban
Bagi orang yang berzakat, disunnahkan membagikan sendiri zakatnya kepada orang 
fakir dan orang lain 

[assunnah] Zakat Fithri

2013-07-28 Terurut Topik Abu Abdillah
ZAKAT FITHRI
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
http://almanhaj.or.id/content/1155/slash/0/zakat-fithri/

1. Hukumnya
Zakat Fithri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar 
Radhiyallahu 'anhuma.

أَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ 
مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّا سِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (pada bulan 
Ramadhan kepada manusia) [1] 

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [2]

Sebagian Ahul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh hadits Qais 
bin Sa'ad bin Ubadah, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkan (kewajiban) zakat 
dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan 
tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat 
fithri).

Al-Hafidz Rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya 3/368 : 
Bahwa pada sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal [3] dan kalaupun 
dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (dihapusnya) hadits 
Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya 
suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain.

Imam Al-Kahthabiy Rahimahullah berkata dalam Ma'alimus Sunnan 2/214 : Ini 
tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan 
tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhnya hukum sebelumnya, 
kedudukan zakat harta (sebagaimana) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan 
dengan riqab (orang-perorang)

2. Siapa Yang Wajib Zakat ?
Zakat fithri atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang 
yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar 
Radhiyallahu 'anhuma.

فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ 
صَاعًا مِنْ تَمْرِ أَوْ صَاعًأ مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ 
وَالذَّكَرِ وَالأُنْشَ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu 
gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, 
kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin [4] 

Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir 
karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

لَيْسَ فِيْ الْعَبْدِ صَدَقَةٌ إِلاَّ صَدَقَةُ الْفِطْرِ

Artinya : Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri [5] 

Hadits ini umum sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi 
penentu hadits umum. Yang lain berkata. Tidak wajib atas orang yang puasa 
karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ 
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, 
pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) 
makanan bagi orang miskin [6] 

Imam Al-Khathabiy dalam Ma'alimus Sunan 3/214 menegaskan : Zakat fithri wajib 
atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari 
dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa 
butuh akan hal itu, jika berserikat dalam 'illat berserikat pula dalam hukum.

Al-Hafidz menjawab 3/369 : Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, 
zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui 
keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.

Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami 
tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai 
anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.

3. Macam Zakat Fithri
Zakat dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang 
susu, satu gantang anggur kering atau salt, karena hadits Abu Sa'id Al-Khudri 
Radhiyallahu 'anhu.

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِصَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرِ 
اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرِ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَقِطٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ

Artinya : Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu 
gantang susu kering, satu gantang anggur kering [7] 

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallalhu 'anhuma :

فَرَضَ صَدَقَةَ َ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ 
صَاعًا مِنْ سَلْتٍ

Rasulullah mewajibkan satu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang 
salt [8] 

Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al-Khudri ada 
yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang 

[assunnah] Saat Tepat Berinfak

2013-07-27 Terurut Topik Abu Abdillah
SAAT TEPAT BERINFAK
http://almanhaj.or.id/content/2362/slash/0/saat-tepat-berinfak/


Membicarakan infak, al-hamdulillah, fenomena yang nampak di tengah kaum 
muslimin, mereka sangat antusias menyisihkan sebagian kekayaannya di jalan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala . Penggalangan dan penyadaran berinfak marak 
dimana-mana. Tak sedikit dana infak yang tersalurkan kepada yang berhak 
menerimanya. Sungguh hal ini merupakan sebuah pemandangan yang menggembirakan. 

Perbuatan yang baik ini, tentunya perlu mendapat perhatian dan motivasi ekstra, 
karena memang infak memiliki nilai yang sangat penting. Yaitu sebagai wujud 
kepedulian sebagai muslim, seperti kepada masyarakat yang kurang mampu, 
pembangunan sarana pendidikan Islam, penguatan sektor ekonomi, menciptakan 
suasana keakraban dan kasih-sayang, serta senasib-sepenanggungan antara sesama 
muslim. 

Seringkali, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandingkan antara shalat dan infak. 
Sebabnya shalat adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jembatan untuk 
mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam shalat terkandung unsur tauhid, sanjungan 
dan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sedangkan infak, adalah perlakuan 
baik kepada sesama dengan sesuatu yang bermanfaat. Pihak yang paling berhak 
menerimanya, ialah kaum kerabat, keluarga, hamba sahaya dan orang-orang asing 
(yang membutuhkan) yang tidak terikat dengan pertalian keluarga.[1] 

MANFAAT INFAK DALAM PEMBENTUKAN MASYARAKAT YANG KUAT DAN KOKOH
Salah satu sifat kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) yang termaktub dalam 
surat al-Baqarah, mereka menyisihkan sebagian rizki yang mereka terima untuk 
diinfakkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . 

الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ 
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ 
يُنْفِقُونَ 

Alif lâm mîm. Kitab (Al-Qur`ân) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk 
bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang 
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada 
mereka. [al-Baqarah/2: 1-3]. 

Kepedulian melakukan perbuatan yang simpatik itu, terdorong oleh pengakuan 
hati, bahwa harta kekayaan yang diperolehnya adalah milik Allah Subhanahu wa 
Ta’ala . Peroleh harta adalah amanah dari-Nya, yang nantinya akan ditanyakan 
bagaimana cara mengelola dan mendistribusikannya. 

Dengan pengakuan ini, maka akan mampu mendorong munculnya rasa solidaritas dan 
ingin berbagi kepada sesama umat manusia, terutama kaum dhu'afa` (orang-orang 
lemah). Perasaan senasib-sepenanggungan tertanam dengan kuat dalam hati mereka. 
Keimanan telah memotivasinya untuk berderma kepada sesama yang membutuhkan. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

Sedekah adalah burhaan (bukti keimanan).

Dari sisi ini, jiwa akan menjadi bersih dari sifat kikir dan bakhil. Kehidupan 
akan dipenuhi dengan ketenangan, saling memahami, saling bekerjasama antara 
anggota masyarakat. Suasana kehidupan akan terhindar dari pertikaian dan 
permusuhan. 

Apalagi dengan situasi ketika harga kebutuhan semakin mahal. Beras seolah 
menjadi barang mahal bagi sebagian keluarga. Sehingga tak terhindarkan, nasi 
aking pun menjadi santapan rutin setiap harinya. Kebutuhan lainnya kian 
melambung tinggi dan sebagian barang sulit dijumpai. Dalam kondisi berat 
seperti ini, uluran tetangga, para dermawan ataupun bantuan finansial dan 
material, tentu akan menggembirakan dan mengobati kepedihan para kaum dhuafa. 
Hidup bagi mereka menjadi lebih bersahabat. 

KAPAN BERINFAK?
Bersedekah dan berinfaq merupakan perbuatan terpuji dan termasuk sifat dari 
orang-orang pilihan. Jika demikian, lantas kapan seseorang semestinya 
menyisihkan pendapatannya untuk berinfak? Apakah seseorang yang berinfak harus 
terlebih dulu menjadi seorang hartawan yang kaya raya dan berlimpah uang, baru 
kemudian menyedekahkan sebagian hartanya? Ataukah bagaimana?

Para sahabat pernah menanyakan permasalahan ini kepada Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam , yaitu setelah beliau n melontarkan himbauan untuk 
bersedekah.[2] Pertanyaan mereka terjawab melalui firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala berikut : 

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

Ayat di atas memuat pertanyaan mengenai kadar harta yang diinfakkan. Kemudian 
Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan urusan ini dan memerintahkan mereka untuk 
menginfakkan harta yang ringan menurut mereka, tidak berkait dengan kebutuhan 
dan keperluan mendesak mereka. Atau dengan bahasa lain, harta yang diinfakkan 
diambilkan dari harta yang sudah melebihi kebutuhan yang tidak bisa 
dikesampingkan.[3] 

Keterangan ini bertolak dari makna kata al-'afwu yang termaktub dalam ayat 
yang mulia di atas. Imam Ibnu Jariir rahimahullah meriwayatkan dengan sanad 
hasan dari Ibnu 'Abbaas Radhiyallahu anhuma, al-'afwu, berarti, kadar yang 
melebihi kebutuhan keluarga.[4] 

Tidak beda dengan keterangan di atas, Imam al-Qurthubi rahimahullah 

[assunnah] Tiga Ibadah Penting Di Bulan Ramadhan

2013-07-25 Terurut Topik Abu Abdillah
TIGA IBADAH PENTING DALAM BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://almanhaj.or.id/content/2810/slash/0/tiga-ibadah-penting-dalam-bulan-ramadhan/

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang senantiasa 
memberikan banyak kenikmatan, sehingga tidak terhitung nilai dan jumlahnya. 
Nikmat tersebut dicurahkan siang dan malam kepada kita. Semoga Allah Azza wa 
Jalla menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang senang bersyukur kepadaNya. 
Yaitu dengan meningkatkan taqwa dan taqarrub kepadaNya. 

Dengan dekatnya bulan Ramadhan, kami ingin mengingatkan diri kami sendiri, dan 
juga kepada kaum Muslimin, bahwa pada bulan yang penuh barakah ini mengandung 
tiga jenis ibadah yang agung, yaitu zakat, puasa dan tarawih. 

Tentang zakat, alhamdulillah banyak kaum Muslimin yang melaksanakannya pada 
bulan ini. Syari'at zakat merupakan bagian dari ibadah. Juga merupakan salah 
satu kewajiban dalam Islam. Dengan menunaikan zakat, berarti kita telah 
bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, dan telah melaksanakan salah satu 
rukun Islam. Zakat yang dikeluarkan itu, bukanlah beban yang akan menyebabkan 
kita miskin, sebagaimana kekhawatiran yang dibisikkan setan kepada orang yang 
lemah imannya. Tetapi, justru membayar zakat akan menambah harta seseorang. 
Allah Azza wa Jalla berfirman: 

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ 
يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu 
berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya 
dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui. [al 
Baqarah/2 : 268]

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ 
أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ 
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan 
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan 
tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai: seratus biji. Allah melipat-gandakan 
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi 
Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 261].

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ 
وَتَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ 
فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ 
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari 
keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang 
terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu 
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka 
hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al 
Baqarah/2 : 265]. 

Dalam membayarkan zakat, hendaklah kita tunaikan dengan penuh amanah. Kita 
keluarkan zakat dari benda-benda yang wajib dizakati, sedikit atau banyak. Kita 
hitung dengan teliti. Sehingga barang yang sudah wajib dizakati, sedikit pun 
tidak terabaikan. Karena tujuan menunaikan zakat adalah untuk membebaskan diri 
dari tanggungan kewajiban, dan menyelamatkan diri dari ancaman yang amat 
dahsyat. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ 
هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا 
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ 
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan 
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. 
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan 
itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah 
segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang 
kamu kerjakan. [Ali Imran/3 : 180] 

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ 
اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ 
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ 
وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا 
كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada 
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) 
siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, 
lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) 
kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,maka 
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan. [at Taubah/9 : 34-35]. 

Tentang ayat yang pertama, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ 

[assunnah] Sikap Orang Terhadap Ramadhan

2013-07-24 Terurut Topik Abu Abdillah
SIKAP ORANG TERHADAP RAMADHAN?
http://almanhaj.or.id/content/3135/slash/0/sikap-orang-terhadap-ramadhan/

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla Rabb semesta alam. Aku bersaksi 
bahwa tiada ilâh yang patut disembah melainkan Allah Azza wa Jalla semata. 
Tiada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan 
Rasul-Nya.

Sesungguhnya manusia terbagi menjadi beberapa macam, ada yang mencintai amal 
shalih dan menyibukkan diri dengannya siang dan malam. Dan ada juga yang 
membenci dan menjauhinya. Ramadhan adalah bulan maghfirah (ampunan), bulan 
dimana pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan 
dibelenggu. Ramadhan adalah lahan yang subur bagi orang Mukmin. Wahai pencari 
kebaikan, sambutlah! Dan Ramadhan merupakan saat bertaubat,kembali kepada Allah 
Azza wa jalla bagi orang yang berbuat maksiat. Wahai pencari keburukan, 
berhentilah!

Dalam menyambut Ramadhan, manusia terbagi menjadi dua macam, yaitu:

Jenis Pertama : Orang yang merasa senang dengan kehadirannya, karena dia telah 
membiasakan diri untuk mengerjakan puasa dan menyiapkan dirinya untuk 
menanggung beban puasa. Maka, dia tidak merasa berat ketika berpuasa. Bahkan ia 
akan mencela dirinya jika meninggalkannya. Para Salafus shalih sering berpuasa 
(meninggalkan makan, minum dan segala hal yang membatalkan- red) hingga menjadi 
terbiasa. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, maka 
Allah Azza wa Jalla akan memberikan ganti yang lebih baik darinya. Allah Azza 
wa Jalla berfirman:

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

(Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal 
yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu” [al-Haqqah/69:24]

Sebagaimana membiasakan diri untuk berpuasa, dia juga membiasakan qiyâmul lail 
(shalat malam) yang merupakan penjagaan malam sebagaimana puasa juga merupakan 
penjagaan siang. Dalam qiyâmul lail terdapat kesungguhan jiwa dan konsentrasi 
peribadatan sehingga bisa mengalahkan setan; serta kabar gembira berupa balasan 
surga dan keselamatan dari neraka. Qiyâmul lail adalah kemuliaan bagi seorang 
Mukmin dan syi‘ar orang-orang shâlih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: “Hendaknya kalian mengerjakan qiyâmul lail (shalat malam) karena itu 
merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian. Ia merupakan bentuk 
pendekatan diri kepada Rabb kalian, sebagai penghapus kesalahan dan mencegah 
perbuatan dosa”. [1]

Mereka menyambut Ramadhan dengan banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla 
dan membaca al-Qur‘ân dengan rutin, melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar, 
dan memberikan sedekah kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan dan dengan 
memberikan buka kepada orang yang berpuasa. Karena dengan memberi makan orang 
yang berpuasa, akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa. Mereka 
menyibukkan diri mereka dengan cara berdzikir dan mengkhatamkan al-Qur‘ân. 
Sehingga mereka mendapatkan pahala yang sempurna pada akhir bulan, mendapatkan 
lailatul qadr dan mendapatkan kemenangan dengan pahala dari Allah Azza wa 
Jalla. Mereka berharap mendapatkan ampunan dari berbagai dosa. Setelah keluar 
dari Ramadhan, keadaan mereka seperti ketika dilahirkan dari perut ibu mereka. 
Mereka mendapatkan pahala pada hari iedul fitri. Mereka menyelesaikan Ramadhan 
dalam keadaan mendapat ampunan. Dan mereka adalah orang-orang yang berdoa 
kepada Allah Azza wa Jalla selama berbulan-bulan agar dipertemukan dengan bulan 
Ramadhan; karena mereka mengetahui keutamaan bulan itu. Ramadhan merupakan 
saat-saat kebaikan dan berlomba-lomba dalam mendekatkan diri.

Jenis Kedua: orang-orang yang merasa berat dengan bulan ini. Bagi mereka, 
Ramadhan itu menyusahkan.Mereka selalu menghitung jam, hari dan malamnya. 
Mereka menunggu kepergiannya tanpa kesabaran.Mereka merasa berat dengan 
Ramadhan karena mereka pemuja dunia dan kehinaan. Perhatian mereka hanya 
terkait dengan perut saja. Mereka membenci semua amalan yang menghalangi 
tuntutan perut mereka. Mereka adalah orang yang meremehkan ketaatan, tidak 
membiasakan dan tidak pula menyukainya.

Yang kita saksikan sekarang adalah banyak orang-orang semacam ini. Apabila 
Ramadhan telah datang, mereka mulai menyiapkan diri dengan berbagai makanan dan 
minuman. Menghabiskan malam untuk mengobrol, mengerjakan perbuatan dan 
permainan serta mengucapkan perkataan yang haram. Barang kali dosa mereka 
ketika bulan Ramadhan lebih banyak daripada di luar Ramadhan. Malaikat Jibril 
mendoakan mereka agar dijauhkan dari rahmat Allahk, karena mereka tidak peduli 
dengan sebab-sebab ampunan yang banyak terdapat di bulan Ramadhan. Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengaminkan doa Jibril. Ini adalah doa yang 
pasti dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Di antara bentuk rahmat Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya adalah bahwa 
ibadah-ibadah itu bertujuan untuk memperbaiki seorang hamba, membuka pintupintu 
kebaikan, menutup pintu-pintu neraka 

[assunnah] Apakah Harus Di Bulan Ramadhan

2013-07-23 Terurut Topik Abu Abdillah
APAKAH HARUS DI BULAN RAMADHAN?
http://almanhaj.or.id/content/3137/slash/0/apakah-harus-di-bulan-ramadhan/


Bulan Ramadhan yang ditunggu oleh kaum Muslimin telah tiba. Kerinduan telah 
terobati dan penantian telah berakhir. Selayaknya setiap insane Muslim 
memanfaatkan kesempatan emas ini sebelum Ramadhan berlalu. Marilah kita 
mengoreksi diri agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan di masa silam. Semoga 
sisa usia yang terbatas dengan ajal ini bisa termanfaatkan dengan baik untuk 
meraih pahala sebanyak-banyaknya dan menjadi penghapus segala dosa.

Kedatangan bulan Ramadhan teramat sangat sayang bila dibiarkan begitu saja. 
Itulah sebabnya, semangat berlomba melakukan kebaikan bergelora pada bulan yang 
penuh barakah ini. Namun, haruskah semangat berlomba-lomba ini hanya ada di 
bulan ini saja ? Ingat, Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan [al-Baqarah/2:148]

Sebagai upaya mengingatkan diri, kami mencoba menyajikan beberapa masalah yang 
biasa dilakukan oleh kaum Muslimin di bulan Ramadhan. Selamat menelaah!

1. SEMANGAT BERIBADAH
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah ditanya tentang sebagian 
kaum Muslimin yang kurang perhatian terhadap ibadah shalat sepanjang tahun. 
Namun, ketika Ramadhan tiba, mereka bergegas melakukan shalat, puasa dan 
membaca al-Qur’ân serta mengerjakan berbagai ibadah yang lain. Terhadap orang 
seperti ini, Syaikh rahimahullah mengatakan : “Hendaknya mereka senantiasa 
menanamkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla di dalam hati mereka. Hendaklah 
mereka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan semua yang 
menjadikan kewajiban mereka di setiap waktu dan dimanapun juga. Karena, tidak 
ada seorang pun yang mengetahui kapan maut menjemputnya? Bisa jadi, seseorang 
mengharapkan kedatangan bulan Ramadhan. Namun, ternyata dia tidak 
mendapatkannya. Allah Azza wa Jalla tidak menentukan batas akhir ibadah kecuali 
kematian. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabb kalian sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) 
[al-Hijr/15:99]

Pengertian al-Yaqîn dalam ayat di atas adalah kematian.[1]

Bagi yang masih bermalasan-malasan melakukan ibadah di luar bulan Ramadhan, 
hendaklah ingatbahwa kematian bisa mendatangi seseorang dimana saja dan kapan 
saja. Ketika kematian sudah tiba, kesempatan beramal sudah berakhir, dan tiba 
waktunya mempertanggungjawabkan kesempatan yang Allah Azza wa Jalla berikan 
kepada kita. Sudah siapkah kita empertanggungjawabkan amalan kita, jika 
sewaktu-waktu dipanggil oleh Allah Azza wa Jalla ? Allah Azza wa Jalla 
berfirman :

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا 
فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي 
نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari 
Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam 
rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan 
diusahakannya besok. Serta tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana 
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 
[Luqmân/31:34]

Renungkanlah pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdullâh 
bin ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat dan putra dari 
seorang Sahabat pula yang berbunyi :

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ 
يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ 
تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَا تِكَ لِمَوْ 
تِكَ

Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan 
perjalanan !” Ibnu Umar mengatakan : “Jika engkau berada di waktu sore, jangan 
menunggu waktu pagi dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu waktu 
sore. Ambillah (kesempatan) dari waktu sehat untuk (bekal) di waktu sakitmu dan 
ambillah kesempatan dari waktu hidupmu untuk bekal matimu [HR. Bukhâri]

Banyak lagi ayat dan hadits senada dengannya yang menganjurkan kita agar 
bertakwa setiap saat. Ya Allah Azza wa Jalla, tanamkanlah ketakwaan dalam 
jiwa-jiwa kami dan bersihkanlah jiwa-jiwa kami ! Sesungguhnya tidak ada yang 
bisa membersihkan jiwa-jiwa kecuali Engkau.

2. ZAKAT MÂL
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn ditanya: “Apakah sedekah dan zakat hanya 
dikeluarkan pada bulan Ramadhan?” Beliau rahimahullah menjawab : “Sedekah tidak 
hanya pada bulan Ramadhan. Amalan ini disunnahkan dan disyariatkan pada setiap 
waktu. Sedangkan zakat, maka wajib dikeluarkan ketika harta itu telah genap 
setahun, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan, kecuali kalau Ramadhan sudah 
dekat. Misalnya, hartanya akan genap setahun (menjadi miliknya) pada bulan 
Sya’ban, lalu dia menunggu bulan Ramadhan untuk mengeluarkan zakat, ini tidak 
masalah. Namun, jika haulnya 

[assunnah] Tugas Mukmin Di Bulan Ramadhan

2013-07-20 Terurut Topik Abu Abdillah
TUGAS MUKMIN DI BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halaby
http://almanhaj.or.id/content/3138/slash/0/tugas-mukmin-di-bulan-ramadhan/

Pada bulan Ramadhan, seorang Mukmin mempunyai beberapa tugas syar’i. 
Tugas-tugas ini sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam 
melalui sunnah qauliyah (perkataan) beliau, juga praktek-praktek beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan. 
Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepada para hamba pada 
bulan ini lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain.[1]

Tugas-tugas ini mencakup banyak persoalan hukum syar’i, yang meliputi seluruh 
amalan selama satu bulan yang penuh dengan amal kebaikan dan ketaqwaan.

PERTAMA : SHIYAM (PUASA).
Secara umum, shiyâm (puasa) memiliki keutamaan yang besar. Rasûlullâh 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkan 
oleh Imam Muslim rahimahullah.

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ 
فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلْفَةُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ 
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Semua amal perbuatan bani Adam adalah kepunyaan bani Adam sendiri, kecuali 
puasa. Puasa itu kepunyaanKu, dan Aku yang akan memberikan balasan. Maka, demi 
Dzat yang nyawa Muhammad ada ditanganNya, sungguh di sisi Allâh, aroma mulut 
orang yang sedang berpuasa itu lebih harum daripada minyak kasturi.

Imam Mazari rahimahullah dalam kitab al Mu’lim Bifawâ-idi Muslim (2/41), 
mengatakan, “Dalam hadits qudsi ini, Allâh Azza wa Jalla secara khusus menyebut 
puasa sebagai “milikKu”, padahal semua perbuatan baik yang dilakukan secara 
ikhlas juga milikNya; karena dalam puasa tidak mungkin (kecil kemungkinan-red) 
ada riyâ’, sebagaimana pada perbuatan-perbuatan selainnya. Karena puasa itu 
perbuatan menahan diri dan menahan lapar, sementara orang yang menahan diri 
-baik karena sudah kenyang atau pun karena miskin- zhahirnya sama saja dengan 
orang yang menahan diri dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Niat 
serta motivasi yang tersimpan dalam hatilah yang memiliki peranan penting dalam 
masalah ini. Sedangkan shalat, haji dan zakat merupakan perbuatan-perbuatan 
lahiriyah yang berpotensi menimbulkan riya’ [2] dan sum’ah [3]. Oleh karena 
itu, puasa dikhususkan sebagai milik Allâh sementara yang lainnya tidak.

Disamping keutamaan yang bersifat umum ini ada keutamaan khusus yang melekat 
dengan bulan Ramadhân, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa 
sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ 
ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang puasa Ramadhân karena iman dan karena ingin mendapatkan 
pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat.[4]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

شَهْرُ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ

Satu bulan sabar (berpuasa Ramadhân) ditambah tiga hari puasa pada setiap 
bulan, sama dengan puasa satu tahun.[5]

Yang dimaksud dengan bulan sabar yaitu bulan Ramadhan [6]. Ibnu Abdil Barr 
rahimahullah [7] menjelaskan,“Dalam kamus Lisânul Arab, shaum juga bermakna 
sabar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka 
tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Abu Bakar Ibnul Anbari mengatakan,Shaum (puasa) itu dinamakan sabar, karena 
puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berkumpul suami-istri serta 
menahan diri dari syahwat.

KEDUA : QIYAMULLAIL (TARAWIH)
Shalat tarawih ini sunnahnya dikerjakan secara berjama’ah selama bulan 
Ramadhân. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ 
لَيْلَةٍ

Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai, 
maka ditetapkan pahala baginya, seperti shalat sepanjang malam.[8]

Dalam menerangkan keutamaan shalat tarawih ini Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ 
ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, maka dia 
diampuni dosanya yang telah lewat [9].

Petunjuk terbaik tentang jumlah raka’at shalat malam pada bulan Ramadhân atau 
bulan lainnya, ialah petunjuk yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam dan dari perbuatan beliau, yaitu shalat 11 raka’at. Karena beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam panutan yang sempurna.

KETIGA : SHADAQAH.
Kedermawanan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam paling menonjol pada 
bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi 
wa salalm pada bulan-bulan yang lain [10].

Kedermawanan ini mencakup semua arti shadaqah dan semua jenis perbuatan baik. 
Karena kedermawanan itu banyak memberi dan sering memberi [11]. Dan ini 
mencakup berbagai macam amal kebajikan dan perbuatan baik.

KEEMPAT : MEMBERIKAN BUKA PUASA KEPADA ORANG YANG BERPUASA
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa 

[assunnah] Tanya program i'tikaf di jogja

2013-07-17 Terurut Topik Masri Abu 'Abdillah
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,

'Afwan mau tanya, info masjid yg mengadakan program i'tikaf 10 hari terakhir 
ramadhan yg recommended di mana?

Jazaakumullahu khairan atas infonya.

Wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masri أبوعبدالله 




Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
assunnah-dig...@yahoogroups.com 
assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[assunnah] Apabila Ibu Hamil Dan Menyusui Berpuasa

2013-07-12 Terurut Topik Abu Abdillah
APABILA IBU HAMIL DAN MENYUSUI BERPUASA
http://almanhaj.or.id/content/2809/slash/0/apabila-ibu-hamil-dan-menysui-berpuasa/

Allah telah mewajibkan shaum Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi 
syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah juga telah memberikan 
keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas 
mereka pada waktu lain ataupun membayar fidyah. Allah berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ 
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia 
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu 
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika 
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. 
[Al Baqarah:184].

Sebagian ulama berpendapat, ibu hamil atau menyusui termasuk kategori golongan 
orang yang diberi rukhshah, berdasarkan keumuman ayat di atas.

Hal ini juga didukung oleh pengetahuan medis, mengingat kondisi ibu hamil atau 
menyusui yang umumnya kurang mendukung untuk bisa menjalankan ibadah puasa, dan 
jika dipaksakan justru membayakan sang ibu maupun bayi. Dari sini tampaklah 
hikmah Allah memberikan rukshah kepada golongan yang memiliki udzur, sebab 
Allah tidaklah membebani kewajiban kepada para hambaNya di luar kesanggupan 
mereka. Berikut kami paparkan secara medis, mampukah ibu hamil dan menyusui 
untuk menjalankan ibadah puasa?

KEBUTUHAN KALORI, VITAMIN DAN MINERAL PADA IBU HAMIL ATAU MENYUSUI
Secara umum, kebutuhan kalori atau tenaga, vitamin seta mineral pada ibu hamil 
jelas meningkat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Hal ini wajar saja karena 
seluruh zat tersebut diperlukan janin bagi perkembangannya di dalam rahim.

Adapun bagi ibu menyusui, kebutuhan akan zat gizi tersebut bahkan lebih 
meningkat dan lebih besar dibandingkan pada saat hamil. Ibu menyusui memerlukan 
sekitar 2200 sampai 2600 kalori per hari, sedangkan ibu hamil hanya 2200 sampai 
2300 kalori per hari.

Pada enam bulan pertama setelah persalinan, kebutuhan zat-zat gizi ibu lebih 
besar dari pada kebutuhannya setelah masa tersebut. Ini dikarenakan ibu 
menyusui memerlukan energi ekstra untuk memulihkan kondisi kesehatannya setelah 
persalinan, selain untuk aktivitasnya sehari-hari sekaligus untuk produksi ASI. 
Produksi ASI bisa mencapai 600 sampai 1000 cc tiap harinya. Untuk memproduksi 
ASI sebanyak 850 cc, ibu perlu menambahkan 1000 kalori dari kebutuhan orang 
dewasa normal.

Karena kebutuhan kalori ibu hamil dan menyusui meningkat, biasanya mereka akan 
makan lebih banyak dibanding sebelum hamil. Terkadang frekuensi makan berubah 
menjadi 4 sampai 5 kali. Ini bisa dimengerti karena nafsu makan mereka otomatis 
bertambah. 

Oleh karena itu, para ibu wajib memperhatikan makanan yang dikonsumsinya. Tidak 
hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas gizi. Makanan yang dikonsumsi 
ibu, sebaiknya yang bergizi tinggi dan seimbang serta bervariasi, yang terdiri 
dari sumber tenaga (karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein) dan zat 
pengatur, yaitu vitamin dan mineral.

KEBUTUHAN KALORI IBU HAMIL DAN MENYUSUI BILA BERPUASA
Apabila ibu hamil atau menyusui berpuasa, sudah jelas pada siang harinya mereka 
akan menahan diri dari makan dan minum selama kurang lebih 12 sampai 13 jam. 
Dengan demikian pasokan kalori dan zat-zat gizi otomatis menurun sehingga tidak 
mencukupi kebutuhan kalori, vitamin serta mineral sang ibu.

Kalori yang tidak terpenuhi bisa menyebabkan keadaan hipoglikemia, yaitu suatu 
gejala berkurangnya kadar gula dalam darah. Ditandai dengan pusing, gemetar, 
mual, demam dan gelisah. Keadaan ini akan berpengaruh pada janin dalam rahim 
ataupun bayi yang sedang disusui.

Beragam kelainan juga bisa timbul, bila ibu hamil atau menyusui kekurangan 
protein, vitamin dan mineral. Misalnya saja kekurangan kebutuhan vitamin D, 
akan berdampak pada janin atau bayi, yaitu akan mengalami gangguan pada 
pertumbuhan tulangnya. Contoh lainnya adalah asam folat yang termasuk dalam 
golongan vitamin B yang biasa dipasangkan dengan vitamin B12. Jadi orang yang 
mengalami defisiensi asam folat biasanya juga kekurangan vitamin B12. Asam 
folat berperan dalam pembentukan DNA pada proses produksi sel darah merah dan 
perkembangan saraf. Salah satu kelainan saraf pada janin adalah cacat tabung 
saraf atau NTD (Neural Tube Defect). Salah satu dari 3 jenis NTD yang sering 
terjadi adalah Spina bifida yaitu tulang belakang yang tidak tertutup sempurna. 

Salah satu mineral yang sangat penting adalah zat besi (ferrum). Apabila zat 
ini berkurang pada makanan yang dikonsumsi ibu hamil dan menyusui, selain 
menyebabkan anemia, juga bisa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi 
serta otaknya, sekaligus akan menurunkan daya tahan tubuh. Resiko pada ibu 
hamil yang mengalami anemia adalah saat melahirkan nantinya kemungkinan akan 
mengalami kesulitan, 

[assunnah] Bisakah Penderita Sakit Maag Berpuasa?

2013-07-12 Terurut Topik Abu Abdillah
SOLUSI PENYAKIT MAAG TANPA MENGOBATI?
http://almanhaj.or.id/content/2791/slash/0/solusi-penyakit-maag-tanpa-mengobati-bisakah-penderita-sakit-maag-berpuasa/

Kebanyakan orang sudah kenal dengan sakit maag. Sehingga terkadang juga bisa 
mengantisipasinya bila terserang gejala penyakit ini. Dalam istilah kedokteran, 
penyakit maag disebut gastritis atau peradangan lambung. Untuk gejala yang 
lebih ringan sering disebut dengan dyspepsia.

DAERAH LAMBUNG YANG TERKENA
Gastritis terjadi pada organ lambung. Organ ini terletak di sebelah kiri rongga 
dada dengan posisi miring ke bawah, menjorok ke kanan mendekati ulu hati. 
Kadang-kadang, orang dengan sakit ini akan menunjuk atau memegang perut sebelah 
kiri atau uluhati, tepat di,bawah tulang dada.

Di lokasi lambung inilah proses pencernaan makanan terjadi. Untuk selanjutnya 
diteruskan ke usus di bawahnya. Dalam proses pencernaan tersebut dikeluarkan 
beberapa cairan asam lambung untuk membantu proses penghancuran makanan.

ASAM LAMBUNG BERLEBIHAN
Terjadinya gastritis atau peradangan lambung, pada awalnya karena asam lambung 
yang berlebihan. Asam lambung yang semula membantu lambung malah merugikan 
lambung. Asam lambung akan merusak dinding lambung itu sendiri, karena sifat 
asam yang korosif (mengikis). Faktor yang memicu produksi asam lambung 
berlebihan, di antaranya beberapa zat kimia, seperti alkohol, umumnya obat 
penahan nyeri, asam cuka. Juga beberapa makanan atau minuman yang bersifat 
asam, makanan dengan bumbu yang bersifat asam dan sebagainya. Makanan yang 
pedas serta bumbu yang merangsang, semisal jahe, merica, juga akan memicu 
produksi asam lambung.

Faktor psikis atau kejiwaan seseorang bisa pula meningkatkan produksi asam 
lambung. Selain itu, penyakit maag juga bisa disebabkan infeksi bakteri 
tertentu, misalnya helicobacter pylori yang merupakan bakteri normal dalam 
lambung, yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi abnormal, yang akhirnya 
merangsang asam lambung. Gastritis juga bisa disebabkan alergi terhadap makanan 
tertentu, misalnya ikan, coklat dan lain-lain.

KELUHAN DAN GEJALA
Pada awalnya, seseorang yang terserang penyakit ini mengabaikannya saja, yaitu 
rasa perih dan kembung di ulu hati. Kemudian berlanjut dengan mual disertai 
muntah. Pada saat ini, biasanya penderita baru menyadari sakitnya. Keadaan ini 
berlanjut dengan berkurangnya nafsu makan. Bila hal ini terus dibiarkan, akan 
berakibat semakin parah dan akhirnya asam lambung akan membuat luka-luka 
(ulkus) yang dikenal dengan tukak lambung. Muntah pun bisa disertai dengan 
darah.

Keadaan gastritis akut (mendadak) juga bisa terjadi pada anak-anak yang menelan 
zat-zat kimia korosif, misalnya asam dan basa kuat. Pada umnumnya zat ini 
terdapat pada cairan kebersihan rumah tangga maupun pestisida. Kerusakan akibat 
zat ini tidak hanya di lambung, tetapi juga di bibir, rongga mulut dan 
tenggorokan.

BAGAIMANA SOLUSINYA?
Bila penyakit maag ini sudah disadari oleh penderitanya, sebenarnya sangat 
mudah mengatasinya. Artinya, tidak dibiarkan berlanjut terus sehingga menjadi 
tukak lambung. Prinsip penangannannya adalah diet atau pengaturan makan. Jangan 
dibiarkan perut lama dalam keadaan kosong. Keadaan kosong ini bisa menyebabkan 
asam lambung yang sudah diproduksi tidak mempunyai bahan untuk dicerna atau 
digilas, dan pada akhirnya dinding lambung sendiri yang menjadi sasarannya.

Jangan terlalu banyak mengkonsumsi makanan atau minuman pedas dan asam. Hindari 
makanan berlemak, karena lemak memang sulit dicerna oleh lambung. Selain itu, 
tekstur makanan sebaiknya lembut (lunak).

Sering-seringlah minum air putih, karena bisa mengurangi sifat asam dari 
makanan atau minuman tersebut. Kurangi mengkonsumsi minuman teh, kopi atau soft 
drink. Porsi makanan sebaiknya tidak terlalu banyak, tetapi sedikit dengan 
frekuensi sering.

Bila harus mengkonsumsi obat-obatan penahan nyeri (analgetik), maka sebaiknya 
diminum setelah makan dan tidak dalam keadaan kosong.

Bila disiplin dalam mengatur makan ini, insya Allah penyakit maag bisa membaik 
tanpa diobati. Seandainya perut masih melilit dan mual terus-menerus, maka 
obat-obatan untuk menetralkan asam lambung sangat membantu meringankan 
penderitaan. Misalnya, obat-obatan antasida. Bila dengan obat ini belum bisa 
teratasi, maka sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Kadang kala diperlukan 
obat penenang untuk pengobatannya.

WASPADA BAGI WANITA HAMIL MUDA
Wanita saat hamil muda yang sebelumnya mempunyai riwayat penyakit maag, sangat 
beresiko kambuh, apalagi saat mengidam.

Saat mengidam, terkadang ibu hamil muda tidak berselera makan, mual dan muntah 
(emesis gravidarum) akibat pengaruh hormone chorionic gonadotropin. Karena 
perut sering dalam keadaan kosong, maka sakit tidak bisa dihindari. Begitupun 
sebaliknya, penyakit maag yang diderita sebelumnya bisa memperburuk masa 
mengidam wanita hamil, yaitu mual muntah berlebihan (hiperemesis gravidarum). 
Oleh karena itu hindari lebih dahulu makanan yang merangsang lambung. 

[assunnah] Rasulullah Berbuka Puasa Dengan Kurma

2013-07-12 Terurut Topik Abu Abdillah
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENGANJURKAN BERBUKA PUASA DENGAN KURMA

Oleh
Zaki Rakhmawan
http://almanhaj.or.id/content/2227/slash/0/rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-menganjurkan-berbuka-puasa-dengan-kurma/

Sebagaimana hadits dari Anas bin Malik :

كَانَ رَسُو لُ اللِّهِ صَلَّى اللَّهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى 
رُطَبَاتٍ قَبْلَ أََنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَا تٌ فَعَلَى 
تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَم تَكُنْ حَسَا حَسَواتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah pernah berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat, 
kalau tidak ada ruthab, maka beliau memakan tamr (kurma kering) dan kalau tidak 
ada tamr, maka beliau meminum air, seteguk demi seteguk” [1]

Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran berharga, antara lain : [2]

• Dianjurkannya untuk bersegera dalam berbuka puasa.

• Dianjurkannya untuk berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak 
ada maka boleh memakan tamr (kurma kering), jika tidak ada pula maka minumlah 
air.

• Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa buah kurma 
sebelum melaksanakan shalat. Hal ini merupakan cara pengaturan yang sangat 
teliti, karena puasa itu mengosongkan perut dari makanan sehingga liver (hati) 
tidak mendapatkan suplai makanan dari perut dan tidak dapat mengirimnya ke 
seluruh sel-sel tubuh. Padahal rasa manis merupakan sesuatu yang sangat cepat 
meresap dan paling disukai liver (hati) apalagi kalau dalam keadaan basah. 
Setelah itu, liver (hati) pun memproses dan melumatnya serta mengirim zat yang 
dihasilkannya ke seluruh anggota tubuh dan otak.

• Air adalah pembersih bagi usus manusia dan itulah yang berlaku alamiyah 
hingga saat ini.

Imam Ibnul Qayim rahimahullaah memberikan penjelasan tentang hadits di atas, 
beliau berkata : 

“Cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbuka puasa dengan kurma atau 
air, mengandung hikmah yang sangat mendalam sekali. Karena saat berpuasa 
lambung kosong dari makanan apapun. Sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai 
dengan liver (hati) yang dapat di disuplai langsung ke seluruh organ tubuh 
serta langsung menjadi energi, selain kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam 
kurma lebih mudah sampai ke liver (hati) dan lebih cocok dengan kondisi organ 
tersebut. Terutama sekali kurma masak yang masih segar. Liver (hati) akan lebih 
mudah menerimanya sehingga amat berguna bagi organ ini sekaligus juga dapat 
langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering pun 
baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi pula. Bila tidak ada 
juga, cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa 
sehingga dapat siap menerima makanan sesudah itu” [3]

Dokter Ahmad Abdurrauf Hasyim dalam kitabnya Ramadhan wath Thibb berkata : 

“Dalam hadits tersebut terkandung hikmah yang agung secara kesehatan, Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memilih mendahulukan kurma dan air dari 
pada yang lainnya sedangkan kemungkinan untuk mengambil jenis makanan yang lain 
sangat besar, namun karena ada bimbingan wahyu Ilahi maka Rasulullah 
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memilih jenis makanan kurma atau pun air sebagai 
yang terbaik bagi orang yang berpuasa. Maka, yang sangat diperlukan bagi orang 
yang ingin berbuka puasa adalah jenis-jenis makanan yang mengandung gula, zat 
cair yang mudah dicerna oleh tubuh dan langsung cepat diserap oleh darah, 
lambung dan usus serta air sebagai obat untuk menghilangkan dahaga.

Zat-zat yang mengandung gula yaitu glukosa dan fruktosa memerlukan 5-10 menit 
dapat terserap dalam usus manusia ketika dalam keadaan kosong. Dan keadaan 
tersebut terjadi pada orang yang sedang berpuasa. Jenis makanan yang kaya 
dengan kategori tersebut yang paling baik adalah kurma khususnya ruthab (kurma 
basah) karena kaya akan unsur gula, yaitu glukosa dan fruktosa yang mudah 
dicerna dan diserap oleh tubuh” [4]

Maka, urutan makanan yang terbaik bagi orang yang berbuka puasa adalah ruthab 
(kurma basah), tamr (kurma kering) kemudian air, kalau itu pun tidak ada, maka 
boleh menggunakan sirup atau air juice buah yang mengandung unsur gula yang 
cukup, seperti air yang dicampur sedikit madu, jeruk, lemon, dan sebagainya. [5]

Ustadz DR Anwar Mufti rahimahullaah berkata :

“Sesungguhnya usus menyerap air yang mengandung gula membutuhkan waktu kurang 
lebih selama 5 menit, hal ini dapat cepat memperkuat tubuh yang sedang lemah. 
Sedangkan orang yang berbuka puasa dengan langsung makan dan minum yang kurang 
mengandung unsur gula, maka apa yang telah disantapnya baru diserap oleh 
lambungnya selama 3-4 jam. Hal ini tidak terjadi bagi orang yang berbuka puasa 
dengan mengkonsumsi kurma yang banyak mengandung unsur gula karena proses 
penyerapannya dapat berlangsung relative lebih cepat. [6]

Kurma lebih unggul dari makanan lain yang mengandung gula. Hal ini juga 
didukung bukti, yaitu segelas air yang mengandung glukosa akan diserap tubuh 
dalam waktu 20-30 menit, tetapi gula yang terkandung dalam kurma baru habis 

[assunnah] Kurma Menurut Medis Modern

2013-07-12 Terurut Topik Abu Abdillah
MANFAAT BUAH KURMA MENURUT SUDUT PANDANG MEDIS MODERN


Oleh
Zaki Rakhmawan
http://almanhaj.or.id/content/2228/slash/0/manfaat-buah-kurma-menurut-sudut-pandang-medis-modern/

Berikut ini akan kami paparkan sebagian dari manfaat dan khasiat kurma ditinjau 
dari sudut pandang medis modern yang sekaligus menguatkan khabar Al-Qur’an 
Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah tentang khasiat dan keutamaan kurma.

1. Tamr (kurma kering) berfungsi untuk menguatkan sel-sel usus dan dapat 
membantu melancarkan saluran kencing karena mengandung serabut-serabut yang 
bertugas mengontrol laju gerak usus dan menguatkan rahim terutama ketika 
melahirkan.

Penelitian yang terbaru menyatakan bahwa buah ruthab (kurma basah) mempunyai 
pengaruh mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa systolenya (kontraksi 
jantung ketika darah dipompa ke pembuluh nadi). Bahkan Allah Subhanahu wa 
Ta’ala memerintahkan Maryam binti Imran untuk memakan buah kurma ketika akan 
melahirkan, dikarenakan buah kurma mengenyangkan juga membuat gerakan kontraksi 
rahim bertambah teratur, sehingga Maryam dengan mudah melahirkan anaknya.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا 
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا 
فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ 
إِنْسِيًّا

“Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu akan 
menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang 
hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya 
aku telah bernadzar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan 
berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” [Maryam : 25-26]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan ‘Amr bin Maimun di 
dalam tafsirnya : “Tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi perempuan nifas 
kecuali kurma kering dan kurma basah” [2]

Dokter Muhammad An-Nasimi dalam kitabnya, Ath-Thibb An-Nabawy wal Ilmil Hadits 
(II/293-294) mengatakan, “Hikmah dari ayat yang mulia ini secara kedokteran 
adalah, perempuan hamil yang akan melahirkan itu sangat membutuhkan minuman dan 
makanan yang kaya akan unsur gula, hal ini karena banyaknya kontraksi otot-otot 
rahim ketika akan mengeluarkan bayi, terlebih lagi apabila hal itu membutuhkan 
waktu yang lama. Kandungan gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol 
laju gerak rahim dan menambah masa sistolenya (kontraksi jantung ketika darah 
dippompa ke pembuluh nadi). Dan kedua unsur itu banyak terkandung dalam ruthab 
(kurma basah). Kandungan gula dalam ruthab sangat mudah untuk dicerna dengan 
cepat oleh tubuh” [3]

Buah kurma matang sangat kaya dengan unsur Kalsium dan besi. Oleh karena itu, 
sangat dianjurkan bagi perempuan yang sedang hamil dan yang akan melahirkan, 
bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Maryam Al-Adzra (perawan) 
untuk memakannya ketika sedang nifas (setelah melahirkan). Kadar besi dan 
Kalsium yang dikandung buah kurma matang sangat mencukupi dan penting sekali 
dalam proses pembentukan air susu ibu. Kadar zat besi dan Kalsium yang 
dikandung buah kurma dapat menggantikan tenaga ibu yang terkuras saat 
melahirkan atau menyusui. Zat besi dan Kalsium merpuakan dua unsur efektif dan 
penting bagi pertumbuhan bayi. Alasannya , dua unsur ini merupakan unsur yang 
paling berpengaruh dalam pembentukan darah dan tulang sumsum.

2. Ruthab (kurma basah) mencegah terjadi pendarahan bagi perempuan-perempuan 
ketika melahirkan dan mempercepat proses pengembalian posisi rahim seperti 
sedia kala sebelum waktu hamil yang berikutnya [4]. Hal ini karena dalam kurma 
segar terkandung hormon yang menyerupai hormon oxytocine yang dapat membantu 
proses kalahiran.

Hormon oxytocine adalah hormon yang salah satu fungsinya membantu ketika wanita 
atau pun hewan betina melahirkan dan menyusui.

3. Memudahkan persalinan dan membantu keselamatan sang ibu dan bayinya. [5]

4. Buah kurma, baik tamr maupun ruthab dapat menenangkan sel-sel saraf melalui 
pengaruhnya terhadap kelenjar gondok. Oleh karena itu, para dokter menganjurkan 
untuk memberikan beberapa buah kurma di pagi hari kepada anak-anak dan orang 
yang lanjut usia, agar kondisi kejiwaannya lebih baik.

5. Buah kurma yang direbus dapat memperlancar saluran kencing.

6. Buah kurma Ajwah dapat digunakan sebagai alat ruqyah dan mencegah dari 
ganguan jin.

7. Kurma sangat dianjurkan sebagai hidangan untuk berbuka puasa. Ada hal yang 
sudah ditetapkan dalam bidang kedokteran bahwa gula dan air merupakan zat yang 
pertama kali dibutuhkan orang berpuasa setelah melalui masa menahan makan dan 
minum. Berkurangnya glukosa (zat gula) pada tubuh dapat mengakibatkan 
penyempitan dada dan gangguan pada tulang-tulang. Dilain pihak, berkurangnya 
air dapat melemahkan dan mengurangi daya tahan tubuh. Hal ini berbeda dengan 
orang berpuasa yang langsung mengisi perutnya dengan makanan dan minuman ketika 

[assunnah] Kitab Sifat Puasa Nabi

2013-07-10 Terurut Topik Abu Abdillah
Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

Penulis : Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

 

1. Keutamaan Puasa http://almanhaj.or.id/content/1062/slash/0/keutamaan-puasa/

2. Keutamaan Puasa Ramadhan 
http://almanhaj.or.id/content/1069/slash/0/keutamaan-puasa-ramadhan/

3. Wajibnya Puasa Ramadhan 
http://almanhaj.or.id/content/1077/slash/0/wajibnya-puasa-ramadhan/

4. Targhib Puasa Ramadhan 
http://almanhaj.or.id/content/1080/slash/0/targhib-puasa-ramadhan/

5. Menjelang Bulan Ramadhan 
http://almanhaj.or.id/content/1088/slash/0/menjelang-bulan-ramadhan/

6. Niat Puasa http://almanhaj.or.id/content/1093/slash/0/niat-puasa/

7. Waktu Puasa http://almanhaj.or.id/content/1097/slash/0/waktu-puasa/

8. Sahur http://almanhaj.or.id/content/1101/slash/0/s-a-h-u-r/

9. Yang Wajib Dijauhi Oleh Orang Yang Puasa 
http://almanhaj.or.id/content/1104/slash/0/yang-wajib-dijauhi-oleh-orang-yang-puasa/

10. Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Puasa 
http://almanhaj.or.id/content/1110/slash/0/yang-boleh-dilakukan-oleh-orang-yang-puasa/

11. Allah Menghendaki Kemudahan Dan Tidak Menghendaki Kesukaran Baimu 
http://almanhaj.or.id/content/1116/slash/0/allah-menghendaki-kemudahan-dan-tidak-menghendaki-kesukaran-bagimu/

12. Berbuka Puasa http://almanhaj.or.id/content/1120/slash/0/berbuka-puasa/

13. Perkara Yang Membatalkan Puasa 
http://almanhaj.or.id/content/1124/slash/0/perkara-perkara-yang-merusak-membatalkan-puasa/

14. Qadha http://almanhaj.or.id/content/1130/slash/0/q-a-d-h-a/

15. Fidyah  http://almanhaj.or.id/content/1138/slash/0/f-i-d-y-a-h/

16. Malam Lailatul Qadar 
http://almanhaj.or.id/content/1142/slash/0/malam-lailatul-qadar/

17. I'tikaf http://almanhaj.or.id/content/1146/slash/0/i-t-i-k-a-f-berdiam-diri/

18. Shalat Tarawih http://almanhaj.or.id/content/1151/slash/0/shalat-tarawih/

19. Zakat Fithri http://almanhaj.or.id/content/1155/slash/0/zakat-fithri/

20. Hadits Dhaif Yang Tersebar Seputar Bulan Ramadhan 
http://almanhaj.or.id/content/1159/slash/0/hadits-hadits-dhaif-yang-tersebar-seputar-bulan-ramadhan/
   

 
  

[assunnah] Shalawat Malaikat Bagi Orang Yang Makan Sahur

2013-07-09 Terurut Topik Abu Abdillah
SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG MAKAN SAHUR
Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/3308/slash/0/shalawat-para-malaikat-bagi-orang-yang-makan-sahur/


Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah 
orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut 
adalah:

1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari 
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang 
makan sahur.’” [1]

Imam Ibnu Hibban memberikan bab untuk hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah 
Subhanahu wa Ta’ala dan Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang-Orang yang 
Makan Sahur.” [2]

2. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau 
berkata: “Rasulullah Shallallahu bersabda:

اَلسَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ 
أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ, فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى 
الْمُتَسَحِّرِيْنَ.

‘Makan sahur adalah makanan yang penuh dengan keberkahan, maka janganlah engkau 
meninggalkannya, walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk 
air, karena sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada 
orang-orang yang makan sahur.’” [3]

Dalam hadits ini ada sebuah pelajaran yang sangat jelas, yaitu bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat gigih membuat umatnya gembira dengan 
shalawat Allah جَلَّ وَعَلاَ kepada mereka dan permohonan ampun bagi mereka 
dari para Malaikat dengan sebab makan sahur. Hal itu tampak dari sabda 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka janganlah kalian 
meninggalkannya walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk 
air.” Maknanya: “Janganlah kalian meninggalkannya, sehingga walaupun tidak 
memungkinkan seorang dari kalian kecuali hanya meminum sedikit air (saja) 
dengan tujuan sahur, maka minumlah dengannya.” [4]

Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna memberikan komentar bagi hadits ini dengan 
ungkapan: “Shalawat Allah kepada mereka adalah kasih sayang-Nya kepada mereka, 
sedangkan shalawat para Ma-laikat kepada mereka adalah permohonan ampun untuk 
mereka, maka siapa saja yang tidak sahur, ia terhalang dari rahmat Allah Azza 
wa Jalla dan dari permohonan ampun para Malaikat untuk mereka pada waktu 
tersebut.” [5]

Ya Allah, janganlah engkau menjadikan kami orang-orang yang terhalang dari 
kasih sayang-Mu dan orang-orang yang terhalang dari permohonan ampun para 
Malaikat untuk kami. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahamendengarkan do’a.

Jika hal tersebut merupakan shalawat dari Allah Ta’ala dan para Malaikat bagi 
orang yang makan sahur saja, maka bagaimana bagi orang yang menyem-purnakan 
puasanya karena Allah Azza wa Jalla? Satu makhluk pun sama sekali tidak dapat 
memperkirakannya di dunia. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengabarkan bahwa:

قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ 
وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ.

“Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena 
puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung mem-balasnya.’” [6]

Dan masih banyak lagi hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam mendorong umatnya melaksanakan sahur, di antaranya adalah:

1. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, 
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ.

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab adalah pada makan sahur.” [7]

2. Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata: 
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

‘Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu ada keberkahan.’” [8]

3. Al-Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 
anhu, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
yang sedang mengajak untuk makan sahur pada bulan Ramadhan, beliau bersabda: 
‘Marilah kita makan yang dipenuhi dengan keberkahan.’” [9]

Para ulama Salaf sangat mementingkan makan sahur, dan di antara dalil yang 
menunjukkan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dari 
Abu Qais, bekas budak ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “‘Amr 
bin al-‘Ash memerintahkan membuat makanan sahur untuknya, akan tetapi dia tidak 
menentukan makanan tersebut, lalu kami berkata: ‘Engkau memerintahkan kami 
(membuat makanan untuk sahur), akan tetapi engkau tidak menentukan makanannya.’

Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sama sekali tidak memerintahkan kalian untuk 
membuat makanan karena aku menginginkannya, akan tetapi aku mendengar 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 

[assunnah] Keberkahan Makan Sahur

2013-07-09 Terurut Topik Abu Abdillah
KEBERKAHAN MAKAN SAHUR
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i

http://almanhaj.or.id/content/3310/slash/0/keberkahan-makan-sahur/


DEFINISI
(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai 
bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu 
sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2]

Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan 
menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan 
karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan 
balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”[3]

WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, 
akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam 
akhir hingga terbit fajar,[4] maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur 
bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ 
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“...Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] 
yaitu fajar...” [Al-Baqarah: 187]

Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, 
riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits 
Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara 
keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”[6]

Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.” [7]

HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” [8]

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ.

”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” [9]

Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan 
puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan 
untuk bersahur.” [10]

Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh 
seseorang, baik berupa makanan maupun minuman. [11]

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.” [12]

Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13] , ia 
berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil 
seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:

هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ.

“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.” [14]

Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah 
berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan 
Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan 
membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa 
oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: 
“Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, 
dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan 
istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus 
melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk 
shalat hingga terbit Fajar.” [15]

Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari 
manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur 
mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.

Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik 
adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, 
yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu 
wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang 
buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa 
yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya 
berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa 
bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied [16] berkata, 
‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan 
menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), 
begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh 
untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang 

[assunnah] Koreksi Sebagian Adat Pada Bulan Ramadhan

2013-07-08 Terurut Topik Abu Abdillah
KOREKSI TERHADAP SEBAGIAN ADAT YANG DIGIATKAN PADA BULAN RAMADHAN
Oleh
Ustadz Muhammad Dahri
http://almanhaj.or.id/content/3136/slash/0/koreksi-terhadap-sebagian-adat-yang-digiatkan-pada-bulan-ramadhan/

Ada beberapa kebiasaan yang selalu dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, 
berkaitan dengan datangnya bulan Ramadhan. Kebiasaan yang dianggap ta’abbud 
atau taqarrub kepada Allah, atau sikap gembira dan syukur, atau sekedar 
ikut-ikutan. Padahal menurut keterangan para ahlul ilmi tidaklah demikian. 
Bahkan menyalahi sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang 
paling menonjol dari kebiasaan tersebut, diantaranya sebagai berikut.

KEBIASAAN MELEDAKKAN PETASAN (MERCON)
Kebiasaan ini dilakukan tanpa mengenal waktu, malam atau siang, waktu kerja 
atau waktu istirahat. Juga tidak mengenal tempat, di halaman rumah tetangga, 
halaman masjid, di jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya. Yang jelas, pada 
umumnya dilakukan sesuai keinginan pelakunya; kapan saja, di mana saja, orang 
lain merasa terganggu atau merasa senang, hal itu tidak dipertimbangkan lagi.

Pada bulan Ramadhan, khususnya pada awal-awal bulan, sering kita jumpai 
peledakan petasan yang sangat berlebih-lebihan. Diantaranya dalam bentuk 
berikut ini:

a. Pada waktu pagi, ketika masih agak gelap (sesudah shalat shubuh). Banyak 
remaja putra dan putri (dan terkadang ada orang dewasa dan yang sudah berumur 
tua) dari kaum muslimin, secara beramai-ramai memenuhi jalanan umum. Mereka 
meledakkan banyak jenis petasan, tanpa menghiraukan orang-orang yang lewat. 
Bahkan banyak diantara mereka yang memang sengaja ingin mengagetkan atau 
menakut-nakuti orang yang lewat; termasuk pengendara motor atau pejalan kaki. 
Ada juga peledakan dalam bentuk lain, yaitu dengan cara bergantian melemparkan 
petasan ke arah kelompok lain, seperti halnya orang berperang. Ini dilakukan 
tanpa menghiraukan ketertiban jalanan, keamanan, kenyamanan serta ketentraman 
lingkungan dan warga.

b. Diantaranya banyak yang sengaja menyiapkan petasan di jalanan. Jika 
mengetahui ada pengendara atau pejalan kaki yang lewat, lalu diledakkanlah 
petasan yang sudah disiapkan tadi, sehingga yang lewatpun terkejut. Mereka 
kemudian tertawa, dan bahkan mengejeknya karena orang yang lewat tersebut 
terkejut.

c. Ada yang meledakkan petasan di dekat masjid, saat orang-orang di dalam 
masjid sedang shalat berjama’ah. Seperti waktu shalat tarawih, shalat Zhuhur 
dan shalat yang lain. Peledakan ini sangat mengganggu konsentrasi dan 
kekhusyukan orang-orang yang sedang shalat.

d. Di banyak lingkungan, anak-anak dibiarkan meledakkan petasan di sembarang 
tempat dan waktu, tanpa memperhitungkan kondisi tetangga dan warga. Padahal 
diantara tetangga tersebut ada yang mempunyai bayi yang baru lahir, atau masih 
kecil, yang cenderung kaget dengan ledakan petasan seperti ini, begitu juga 
warga yang membutuhkan istirahat.

TINJAUAN HUKUM SYAR‘I
Untuk mengetahui halal atau haramnya hukum petasan ini, maka kita harus 
meninjau beberapa landasan umum yang digunakan oleh ulama (ahlul ilmi) dan efek 
negatif lainnya dalam menetapkan banyak hukum. Diataranya:

Pertama. Bahwa harta yang kita miliki merupakan nikmat dan amanat yang akan 
dipertanggung jawabkan, dari mana diperolehnya dan untuk apa dipergunakan, 
seperti firman Allah dalam At Takatsur ayat 8 :

ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu (hari akhir) tentang segala 
nikmat.

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadist :

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ رَبِّهِ حَتَّى 
يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ 
أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ 
فِيمَا عَلِمَ

Tidak lolos anak cucu Adam dari pemeriksaan pada hari kiamat di sisi Tuhannya, 
sampai ia ditanyai tentang lima perkara. (1) Tentang umurnya, untuk apa ia 
habiskan, (2) Tentang masa mudanya, untuk apa ia pakai. (3) Hartanya, dari mana 
ia peroleh/. (4) Di mana dan bagaimana ia mepergunakannya. (5) Dan apa yang ia 
amalkan dari ilmu yang diketahuinya.

Jadi setiap muslim tidak boleh semaunya membelanjakan hartanya, kecuali pada 
hal-hal yang dibolehkan oleh syara’. Sedangkan membelanjakan harta untuk 
petasan, maka sudah nyata merupakan pelanggaran syar’i, berdasarkan tinjauan 
prinsip dan landasan yang disebutkan berikut ini.

Kedua. Menggangu kaum muslimin, tetangga (warga), termasuk mengganggu dengan 
meledakkan petasan, hukumnya haram. Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al 
Ahzab ayat 58 :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا 
فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan 
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka menanggung kebohongan dan dosa 
yang nyata.

Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ 

[assunnah] Menentukan Ramadhan

2013-07-06 Terurut Topik Abu Abdillah
MENENTUKAN RAMADHAN
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
http://almanhaj.or.id/content/2702/slash/0/menentukan-ramadhan/

Ramadhan adalah bulan mulia, selalu ditunggu dan diharapkan kedatangannya oleh 
kaum mukminin. Al Qur’an turun pada bulan ini. Dan pada bulan ini, Allah 
menjadikannya sebagai bulan puasa dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ 
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ 
فَلْيَصُمْهُ 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di 
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan 
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan 
yang batil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat 
tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa. [al Baqarah:185].

Dalam ayat di atas, Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Al Qur’an. 
Pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf (ف ), 
yang berfungsi menunjukkan makna “alasan dan sebab” – dalam ( فَمَن شَهِدَ 
مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ). Hal itu menunjukkan, yang menjadi penyebab 
dipilihnya bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, ialah karena di dalamnya 
diturunkan Al Qur’an.

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sudah 
seharusnya kita bersungguh-sungguh memperhatikan bulan Ramadhan ini, agar dapat 
mencapai apa yang diharapkan dan ditunggu-tunggu. 

Salah satu bentuk perhatian tersebut, yaitu menghitung bulan Sya’ban 29 hari. 
Karena hitungan satu bulan dalam Islam adalah 29 hari atau 30 hari, sebagaimana 
dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar, 
Beliau bersabda:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، 
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ )رواه البخاري(

Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika 
kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari [1]. 

BAGAIMANA MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
Dalam menentukan permulaan bulan Ramadhan, kita diperintahkan untuk melihat 
hilal atau menyempurnakan jumlah bulan Sya’ban 30 hari, bila hilal terhalang 
dari penglihatan manusia. Itulah satu-satunya cara yang disyari’atkan dalam 
Islam, sebagaimana diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam 
banyak hadits, diantaranya: 

Hadits Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ 
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ 

Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka 
berbukalah (berhari Raya ‘Id). Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat 
melihatnya), maka ukurlah. [2] 

Kata (فَاقْدُرُوا ) dalam hadits ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu 
Umar di atas dengan lafadz : فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ 
ثَلاَثِيْنَ dan dalam riwayat lain dengan lafadz :

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

Jika kalian terhalang melihatnya, maka ukurlah untuknya tigapuluh. [3] 

Demikian juga dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia 
berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ 
فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ 

Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian (untuk Idul 
Fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka 
sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.[4] 

Dalam riwayat lain :

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الْشَهرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ dan dalam lafadz 
lainnya: فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعَدَدَ

Serta dalam lafadz lainnya فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ 
يَوْمًا . 

Hal ini cukup jelas, apalagi ditambah dengan hadits ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu 
'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ 
قَبْلَ ذَلِكَ 

Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat 
hilal sebelumnya [5]. 

Ibnu Hajar menyatakan, masih terdapat lagi beberapa hadits penguat tentang 
penyempurnaan 30 hari ini, dari hadits Hudzaifah dari riwayat Ibnu Khuzaimah, 
Abu Hurairah dan Ibnu Abas dalam Sunan Abu Daud dan Sunan An Nasa’i dan 
lainnya.[6]

Adapun hadits Hudzaifah dengan lafadz : 

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ 
ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ 

Janganlah kalian memulai bulan baru sampai melihat hilal atau menyempurnakan 
bilangan bulan, kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau menyempurnakan 
jumlah bilangan harinya [6]. 

Sedangkan hadits Abu Hurairah telah diisyaratkan dii atas, dan hadits Ibnu Abas 
adalah :

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ 
شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلَا تَصُومُوا حَتَّى 

[assunnah] Kitab Puasa, Al-Wajiz

2013-07-05 Terurut Topik Abu Abdillah
Panduan Fiqih Puasa oleh Syaikh DR Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

 

1. Hukumnya dan Keutamaannya, Wajib Berpuasa Dikarenakan Melihat Bulan 
(Hi-lal), Dengan Apa Bulan Ditetapkan.

http://almanhaj.or.id/content/1638/slash/0/kitab-puasa-hukumnya-keutamannya/

 

2. Kepada Siapa Puasa Diwajibkan, Mana Yang Lebih Utama Bagi Mereka, Berbuka 
atau Puasa, Apa Yang Wajib Dilakukan oleh Lelaki Tua Jompo dan Wanita Tua yang 
Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Ada Harapan Sembuh, Wanita Hamil dan 
Menyusui, Ukuran Makanan yang Wajib Dikeluarkan.

http://almanhaj.or.id/content/1636/slash/0/kepada-siapa-puasa-diwajibkan/

 

3. Rukun-Rukun Puasa, Ada Enam Hal yang Membatalkan Puasa

http://almanhaj.or.id/content/1632/slash/0/rukun-rukun-puasa-enam-hal-yang-membatalkan-puasa/

 

4. Adab-Adab Puasa

http://almanhaj.or.id/content/1630/slash/0/adab-adab-puasa/

 

5. Hal-Hal yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa

http://almanhaj.or.id/content/1629/slash/0/hal-hal-yang-boleh-dilakukan-oleh-orang-yang-berpuasa/

 

6. Puasa Sunnah

http://almanhaj.or.id/content/1626/slash/0/puasa-sunnah/

 

7. I'tikaf

http://almanhaj.or.id/content/1625/slash/0/itikaf/

 

 

 
  

[assunnah] Kuburan Di Musim Jelang Ramadhan

2013-07-04 Terurut Topik Abu Abdillah
KUBURAN DI MUSIM JELANG RAMADHAN
http://almanhaj.or.id/content/3303/slash/0/kuburan-di-musim-jelang-ramadhan/

Kuburan-kuburan yang dikeramatkan dari orang-orang yang disebut wali, pada 
hari-hari atau bulan-bulan tertentu, akan menjadi ramai dikunjungi orang dari 
berbagai daerah, termasuk pada saat menjelang Ramadhan. Masjid-masjid Allâh 
akan kalah ramai jika musim itu datang. Suasana di dalam lingkungan tanah 
pekuburan terasa lain, baik siang atau malam, berbau mistik. Ada yang tadarrus 
al-Qur'ân, ada yang mengusap-usap nisan, ada yang melantunkan doa-doa dan ada 
yang menangis. Semuanya sedang merendahkan diri untuk bertabarruk 
(ngalapberkah) mencari syafâ'at dan mencari kesejahteraan hidup. Sebagian ada 
yang mungkin meminta-minta kepada orang yang telah dikubur ratusan tahun 
lamanya. Tetapi jika mereka disebut telah beribadah kepada selain Allâh, mereka 
menolaknya. Mereka menganggap bahwa orang-orang mati itu merupakan wasilah 
(perantara) menuju Allâh Azza wa Jalla. Seperti alasan orang-orang musyrikin 
arab dahulu yang disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا 
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

Orang-orang yang menjadikan selain Allâh sebagai wali (berkata), Kami tidak 
menyembah mereka, kecuali hanya untuk mendekatkan diri kami kepada Allâh dengan 
sedekat-dektanya.[az-Zumar/39:3]

Sementara sebagian lain mungkin ada yang ingin mencari kekhusyu'an dalam 
beribadah kepada Allâh di kuburan karena dianggapnya sebagai tempat yang dekat 
dengan kematian. Maka kuburan berubah menjadi masjid. Apalagi bangunannya juga 
tidak kalah megah dengan Masjid.

Suasana di kuburan-kubaran semacam itu tentu dianggap sebagai suasana yang 
sakral, penuh khidmat dan khusyu'. Apabila di Masjid-masjid Allâh, orang masih 
bisa bercanda, tertawa terbahak-bahak, mengobrol panjang lebar tiada guna 
sambil merokok dan bahkan mungkin bertengkar, maka di tanah-tanah pekuburan 
yang dikeramatkan ini, orang tidak berani berbuat macam-macam, sebab menurut 
mereka, bisa kualat.

Lingkungan di sekitarnyapun bisa berubah menjadi seperti pasar tiban. Orang 
yang berjualan apa saja bagi kebutuhan para peziarah, akan laku. Bahkan 
andaikata orang mau berjualan air mentah biasa, atau batu biasa, atau sobekan 
kain usang biasa, mungkin akan laku dengan nilai jual yang tinggi. Asal dikemas 
khusus dan dijajakan dengan bumbu-bumbu bahasa meyakinkan meskipun dusta, 
misalnya bahwa barang-barang itu adalah benda-benda keramat, bisa menyembuhkan 
penyakit dan bisa memudahkan mendapat jodoh dan seterusnya. 

Ramadhan adalah bulan penuh berkah, bulan mendulang pahala. Mungkin dalam 
rangka menyambut kehadiran bulan Ramadhan yang suci ini, banyak kaum muslimin 
yang menganggap perlu berziarah kubur terlebih dahulu, supaya afdhal. Dan agar 
lebih sempurna lagi, maka kuburan yang diziarahi adalah kuburan orang-orang 
yang dianggap wali, meskipun harus ditempuh dengan menguras biaya, tenaga dan 
fikiran, karena jarak tempuhnya yang kadang mencapai ratusan bahkan mungkin 
ribuan kilometer. Meski miskin, tetapi karena saking inginnya berburu berkah 
kendatipun hanya fatamorgana, mereka tetap memaksakan diri. Apalagi semangatnya 
telah dikompori oleh orang-orang pintar di kampungnya. . Sehingga memerlukan 
syaddu rihal (menyengaja dan bersungguh-sungguh melakukan perjalanan) 
ketempat-tempat jauh yang dianggap memiliki fadhilah-fadhilah besar, seperti ke 
kuburan-kuburan para wali.

Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, junjungan seluruh kaum 
Muslimin sedunia, telah bersabda dengan jelas :

لاَتُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ : مَسْجِد الْحَرَامِ، 
وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِد الْأَقْصَى. رواه أبو داود

Tidak diboleh disangatkan untuk menyengaja bepergian kecuali pada tiga Masjid: 
Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi) ini dan Masjidil Aqsha. [HR. Abu 
Dâwud] [1]

Akan tetapi karena ketidaktahuan dan sikap ghuluw (berlebihan) terhadap 
orang-orang yang dianggap wali, apalagi orang-orang mati ini dianggap hidup di 
alam kubur sebagaimana hidupnya di dunia, akhirnya mereka menjadikan penghuni 
kuburan itu sebagai wasilah (perantara) yang menghubungkan mereka dengan Allâh 
k . Di manapun mereka dikubur akan dikejarnya, bahkan meskipun tidak ada bukti 
kecuali hanya katanya dan katanya, bahwa itu adalah kuburan wali fulan.

Sikap ghuluw semacam inilah yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam 
peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Karenanya Allâh Azza wa Jalla 
berfirman :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا 
تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا 
وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah (Muhammad), Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu bersikap 
berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu 
menuruti hawa nafsu (keinginan) orang-orang yang telah tersesat sejak dahulu 
dan telah menyesatkan banyak (manusia), 

[assunnah] Kuburan Bukan Tempat Membaca Al-Qur'an

2013-07-04 Terurut Topik Abu Abdillah
KUBURAN BUKAN TEMPAT MEMBACA AL-QUR'AN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3305/slash/0/kuburan-bukan-tempat-membaca-al-qurn/



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
قَالَ: لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ 
مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena 
sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibaca surat al-Baqarah di 
dalamnya.”

TAKHRIJ HADITS 
Hadits ini diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 780).
2. Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2877), dan ia menshahihkannya.

SYARAH HADITS
Hadits ini dengan sangat gamblang menerangkan bahwa kuburan menurut syariat 
Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur'ân. Tempat untuk membaca al-Qur'ân 
adalah di rumah atau di masjid. Syariat Islam melarang keras menjadikan rumah 
seperti kuburan, kita dianjurkan untuk membaca al-Qur'ân dan melakukan 
shalat-shalat sunnah di rumah.

Jumhur ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah rahimahullah, Imam Mâlik 
rahimahullah, dan imam-imam lainnya melarang membaca al-Qur-an di kuburan. 
Berikut ini nukilan pendapat mereka.

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa membaca al-Qur'an di kuburan tidak 
boleh. Pendapat ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab 
Masâil Imam Ahmad. Imam Abu Daud rahimahullah mengatakan, “Aku mendengar Imam 
Ahmad rahimahullah ketika beliau ditanya tentang membaca al-Qur'ân di kuburan ? 
Beliau menjawab, “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dari Imam asy-Syâfi’i 
rahimahullah sendiri tidak ada perkataan tentang masalah ini. Ini menunjukkan 
bahwa (baca al-Qur'ân di kuburan) menurut beliau adalah bid'ah. Imam Mâlik 
rahimahullah berkata, “Tidak aku dapati seorang shahabat pun juga tabi’in yang 
melakukan hal itu !” [1]

Yang wajib diperhatikan oleh seorang Muslim yaitu tidak boleh beribadah di sisi 
kuburan dengan melakukan shalat, berdoa, menyembelih binatang, bernadzar atau 
membaca al-Qur'ân dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah 
dari Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para Sahabatnya yang 
mengisyaratkan mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Sebaliknya, yang ada 
adalah ancaman keras bagi orang yang melakukan ibadah di sisi kuburan orang 
shalih, baik dia seorang wali ataupun seorang nabi, apalagi (jika tempat dia 
melakukan ibadah itu) bukan (kuburan) orang shalih.[2]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan ancaman keras bagi 
orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasûlullâh Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ 
مَسَاجِدَ

Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani (karena) mereka menjadikan 
kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah).[3]

Semua kuburan itu sama, tidak ada satupun kuburan yang keramat dan barakah. 
Dari sini kita ketahui bahwa orang yang sengaja mendatangi kuburan tertentu 
untuk mencari karamat dan barakah, berarti dia telah jatuh ke dalam perbuatan 
bid’ah atau syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan untuk sengaja melakukan safar 
(perjalanan) dalam rangka ziarah ke kubur-kubur tertentu (dengan tujuan 
ibadah), seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari 
keramat dan barakah dan melakukan ibadah di sana. Perbuatan seperti ini 
terlarang dan tidak dibenarkan dalam Islam. Semua ini termasuk bid’ah dan bisa 
menjadi celah yang menggiring sang pelaku ke perbuatan syirik.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، 
وَالْـمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْـمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tujuan beribadah) kecuali 
menuju tiga masjid, yaitu masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dam 
Masjidil Aqsha.[4]

Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjurkan ziarah ke pemakaman kaum 
Muslimin dengan mengucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni 
dan diberikan rahmat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara faedah lain yang terdapat dalam hadits di atas (“Janganlah kalian 
jadikan rumah kalian seperti kuburan…”), yaitu seseorang tidak boleh dikubur di 
rumahnya. Dia dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin. Karena jika ia dikubur di 
rumahnya, akan terjadi beberapa hal berikut :

1. Menjadi sarana yang bisa membawa kepada kesyirikan, 

2. Rumah itu berpeluang untuk diagungkan, 

3. Terhalang dari do’a kaum muslimin yang mendoakan ampunan kepada orang-orang 
Muslim yang sudah meninggal ketika mereka ziarah kubur, 

4. Akan menyusahkan ahli waris, membuat mereka bosan dan tidak senang, dan jika 
mereka ingin menjual rumah tersebut, maka tidak ada harganya (harganya murah). 

5. Dan akan tejadi juga di sisi kuburan tersebut 

[assunnah] Nasehat Seputar Gempa Dan Bencana

2013-07-02 Terurut Topik Abu Abdillah
NASIHAT SEPUTAR GEMPA DAN BENCANA ALAM

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/2877/slash/0/nasihat-seputar-gempa-dan-bencana-alam/

 

Pembaca yang budiman, 
Kita belum lupa peristiwa gelombang tsunami yang melibas Aceh pada pergantian 
tahun 2004-2005 Masehi, yang menelan korban beribu-ribu manusia dan kerusakan 
alam. Tanpa terduga sebelumnya, tanggal Sabtu, 28 Rabi’ul Tsani 1427H, 
bertepatan dengan 27 Mei 2006M, kita dikagetkan lagi adanya gempa tektonik, 
dengan kekuatan 5,9 skala richter. Goncangan yang hanya berlangsung sekitar 57 
detik ini telah meluluhlantakkan Klaten (di Jawa Tengah) dan Bantul (Yogya). 
Beribu-ribu manusia meninggal. Tak sedikit pula korban terluka. Dari anak-anak 
hingga orang tua. Sekian banyak kehilangan tempat berteduh, karena rumah-rumah 
hancur. Semua dicekam ketakutan tak terperikan.

Apa disebalik hikmah dari setiap gempa yang terjadi di atas bumi Allah ini? 
Berikut adalah nasihat Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, yang kami 
angkat dari Majmu’ Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah, IX/148-152. Insya Allah 
sangat bermanfaat bagi kaum Mukminin dan umat manusia pada umumnya.


الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله و على آله وصحابته و من اهتدى بهـداه 
أما بعد :

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap 
semua yang dilaksanakan dan ditetapkan. Sebagaimana juga Allah Azza wa Jalla 
Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua syari’at dan semua yang 
diperintahkan. Allah Azza wa Jalla menciptakan tanda-tanda apa saja yang 
dikehendakiNya, dan menetapkannya untuk menakuti-nakuti hambaNya. Mengingatkan 
terhadap kewajiban mereka, yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Mengingatkan 
mereka dari perbuatan syirik dan melanggar perintah serta melakukan yang 
dilarang. 

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.[al 
Israa` : 59].

FirmanNya :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ 
لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ 
شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap 
ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al 
Qur`an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa 
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu. [Fushilat : 53].

Allah Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ 
أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُم 
بَأْسَ بَعْضٍ

Katakanlah (Wahai Muhammad) : Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan 
adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia 
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan 
merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain. [al An’am : 
65].

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah 
Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia (Jabir) 
berkata : Saat firman Allah Azza wa Jalla قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ 
يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ turun, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam berdoa,’Aku berlindung dengan wajahMu,’ lalu beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan (membaca) أَوْ مِنْ تَحْتِ 
أَرْجُلِكُمْ , Rasulullah berdo’a lagi,’Aku berlindung dengan wajahMu. [1]

Diriwayatkan oleh Abu Syaikh al Ashbahani dari Mujahid tentang tafsir ayat ini 
: 

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ

Beliau mengatakan, yaitu halilintar, hujan batu dan angin topan. (أَوْ مِنْ 
تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ ), gempa dan tanah longsor.

Jelaslah, gempa yang terjadi pada masa-masa ini di beberapa tempat termasuk 
ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan yang digunakan untuk menakut-nakuti para 
hambaNya. Semua yang terjadi di alam ini, (yakni) berupa gempa dan peristiwa 
lain yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam 
penderitaan, disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat. 

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن 
كَثِيرٍ

Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan 
tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari 
kesalahan-kesalahanmu). [asy Syuura : 30].

Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ 
فَمِن نَّفْسِكَ

Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang 
menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri. [an Nisaa` : 79].

Tentang umat-umat terdahulu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبِهِ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا 
وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ 
وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ 

[assunnah] Ada Apa Dibalik Gempa?

2013-07-02 Terurut Topik Abu Abdillah
ADA APA DI BALIK GEMPA TSUNAMI ?

Oleh
Syaikh. Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdul Muhsin Al Badr
http://almanhaj.or.id/content/2880/slash/0/ada-apa-di-balik-gempa-tsunami/

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan, ampunan dan 
bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan 
kejelekan amalan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak 
ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada 
yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang 
berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa 
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pilihan dan kekasih-Nya, yang Dia percayai 
untuk menyampaikan wahyu dan syariat-Nya kepada umat manusia. Semoga shalawat 
Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah kepada beliau, serta semua keluarga dan 
sahabatnya.

Kaum mukminin dan para hamba Allah… Bertakwalah kepada Allah karena 
sesungguhnya orang yang bertakwa kepadaNya akan dijaga dan dibimbing oleh-Nya 
kepada kebaikan urusan dunia dan akhirat.

Belakangan ini dunia seisinya membicarakan sebuah peristiwa besar, yaitu gempa 
dahsyat yang karenanya bumi tergoncang hebat, dia berasal dari satu pulau 
(Sumatera-Aceh.-admin) di Indonesia.

Akibatnya bumipun bergoncang dahsyat kemudian timbul setelahnya badai besar 
Tsunami dan angin topan yang melumat berbagai kota dan banyak desa. Bahkan 
sebagian tenggelam tertutup air sama sekali, seketika itulah meninggal ratusan 
bahkan ribuan jiwa. Data terakhir menyebutkan bahwa korban mencapai 120 ribu 
jiwa. Mereka meninggal dalam satu waktu akibat tenggelam oleh air yang 
menerjang rumah, sawah, dan berbagai sarana hidup mereka!. Data ini bukanlah 
data final. Sebab diprediksi bahwa jumlah korban jauh lebih besar dari jumlah 
ini. Di samping itu, puluhan ribu orang luka-luka, serta jutaan yang lain 
kehilangan harta benda dan tempat tinggal.

Ini adalah sebuah peristiwa besar yang semestinya menggerakkan hati kita. 
Karenanya, dunia seisinya membicarakannya dan mengikuti berita serta 
perkembangannya. Seorang mukmin yang dikaruniai taufiq oleh Allah Subhanahu wa 
Ta’ala, dalam kejadian dan musibah besar seperti ini, harus melakukan berbagai 
renungan keimanan, sehingga akan menambah keshalihan dan kedekatannya kepada 
Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga menambah rasa takutnya untuk bertemu dan 
berhadapan dengan-Nya. Selain itu ia juga akan mengambil hikmah dan pelajaran 
dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab itu, setelah 
peristiwa besar ini kita harus merenungi beberapa hal yang harus senantiasa 
diingat dan disadari sepenuhnya oleh setiap muslim:

1. Peristiwa ini dan semisalnya akan membimbing seorang muslim pada suatu 
perkara –yang telah dia yakini- yaitu bertambahnya keimanan dia akan 
kesempurnaan kuasa dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta meyakini bahwa 
Allah-lah yang mengatur alam ini sesuai dengan kehendak-Nya, dan memutuskan apa 
yang Ia inginkan. Tidak ada seorangpun yang bisa menolak keputusan-Nya. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ 
أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُم 
بَأْسَ بَعْضٍ ۗ انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ .٦:٦٥ 

Kaatakanlah : Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas 
kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan 
(yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu kepada 
keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan 
tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).[Al An'am 
: 65]

Maksud dari azab dari atas dalam ayat tersebut adalah seperti petir, 
halilintar yang menghancurkan, dan angin topan. Adapun makna “azab dari bawah 
adalah seperti gempa dan tanah longsor.

Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Ketika Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa Sallam membaca ayat: “Yang Berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, 
dari atas kamu atau dari bawah kakimu.” Beliau bersabda: Aku berlindung dengan 
wajah Allah yang mulia. Dan ketika membaca: “atau Dia mencampurkan kamu dalam 
golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian 
kamu kepada keganasan sebahagian yang lain.” Beliau bersabda : Ini lebih 
ringan. [HR Bukhari].

Kemudian renungkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Perhatikanlah, betapa 
Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka 
memahami(nya)”

Sesungguhnya beraneka-ragamnya tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala 
menuntun kita kepada pemahaman, keimanan dan kembali kepada Allah Subhanahu wa 
Ta’ala.

انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih 
berganti agar mereka memahami(nya)” Yakni: agar mereka memahami tujuan yang 
harus diwujudkan dari penciptaan mereka.

2. 

[assunnah] Kunci Rizki : Hijrah Di Jalan Allah

2013-06-23 Terurut Topik Abu Abdillah
HIJRAH DI JALAN ALLAH

Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/932/slash/0/hijrah-di-jalan-allah/

Allah Azza wa Jalla menjadikan hijrah di jalan Allah sebagai kunci di antara 
kunci-kunci rizki. Saya akan membicarakan masalah ini –dengan memohon taufik 
Allah- melalui dua point berikut ini.

1. Makna Hijrah Di Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Dalil Syar’i Bahwa Hijrah Di Jalan Allah Termasuk Kunci Rizki.

MAKNA HIJRAH DI JALAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
الْمُهَاجَرَةُ(Hijrah) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani 
[1] adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri iman, sebagaimana para 
sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Dan hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad Rasyid 
Ridha [2] harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah 
dari negerinya itu adalah untuk mendapatkan ridha Allah dengan menegakkan 
agamaNya yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang 
dicintai Allah, juga untuk menolong saudara-saudaranya yang beriman dari 
permusuhan orang-orang kafir.

DALIL SYAR’I BAHWA HIJRAH DI JALAN ALLAH TERMASUK KUNCI RIZKI
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk kunci 
rizki adalah firman Allah.

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا 
وَسَعَةً

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi 
ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak [An-Nisaa/4 : 100]

Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di 
jalan Allah akan mendapati dua hal : Pertama (مُرَاغَمًا ), Kedua (سَعَةً).

Yang dimaksud مُرَاغَمًا sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi adalah, 
barangsiapa berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapat di 
negerinya yang baru itu kabaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan 
kekecewaan para musuhnya yang berada di negeri asalnya. Sebab orang yang 
memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di 
sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscya penduduk asli negeri 
itu akan malu atas buruknya mu'amalah (perlakuan) yang mereka berikan, sehinga 
dengan demikian mereka merasa hina. [3]

Sedangkan yang dimaksud, سَعَةً (keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang 
dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dalam menafsirkan ayat 
ini. Juga dikatakan oleh Ar-Rabi', Adh-Dhahhak [4], Atha [5] dan mayoritas 
ulama [6]

Qatadah berkata : Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari 
kemiskinan kepada banyaknya kekayaan [7] 

Imam Malik berkata : Keluasan yang dimaksud adalah keluasan negeri [8] 

Mengomentari ketiga pendapat diatas, Imam Al-Qurthubi mengatakan : Pendapat 
Imam Malik lebih dekat pada kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan 
negeri dan banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan 
kelapangan dada yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain 
yang menunjukkan kemudahan [9]

Pendapat mana saja yang kita ambil dari ketiga pendapat di atas, yang jelas 
semuanya menunjukkan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapatkan 
janji dari Allah merupakan keluasan rizki, baik dengan ungkapan langsung maupun 
secara tidak langsung.

Dan sungguh janji Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Menentukan adalah suatu 
janji yang haq serta tidak pernah luput. Dan siapakah yang lebih menetapi 
janjinya daripada Allah ?

Sungguh dunia dari dahulu dan sampai sekarang masih menyaksikan kebenaran janji 
ini. Dan saya kira, orang yang mengetahui sedikit tentang sejarah Islam pun 
sudah tahu akan peristiwa hijrahnya para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam ke Madinah.

Ketika para sahabat meninggalkan rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka 
untuk hijrah di jalan Allah Ta'ala, Allah serta merta mengganti semuanya, Allah 
memberikan kepada mereka kunci-kunci negeri Syam, Persia dan Yaman. Allah 
berikan kepada mereka kekuasaan atas istana-istana negeri Syam yang merah, juga 
istana Mada'in yang putih. Kepada mereka juga dibukakan pintu-pintu Shan'a, 
serta ditundukkan untuk mereka berbagai simpanan kekayaan Kaisar dan Kisra.

Imam Ar-Razi menjelaskan kesimpulan tafsir ayat yang mulia ini berkata : 
Walhasil, seakan-akan dikatakan, 'Wahai manusia ! Jika kamu membenci hiijrah 
dan tanah airmu hanya karena takut mendapatkan kesusahan dan ujian dalam 
perjalananmu, maka sekali-kali jangan takut ! Karena sesungguhnya Allah Ta'ala 
akan memberimu berbagai nikmat yang agung dan pahala yang besar dalam hijrahmu. 
Hal yang kemudian menyebabkan kehinaan musuh-musuhmu dan menjadi sebab bagi 
kelapangan hidupmu [10] 

[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis DR 
Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, 
Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
___
Footnote
[1]. Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata hajaro, hal. 537. Lihat 
pula, 

[assunnah] Kunci Rizki : Melanjutkan Haji Dengan Umrah

2013-06-23 Terurut Topik Abu Abdillah
MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH ATAU SEBALIKNYA

Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/951/slash/0/melanjutkan-haji-dengan-umrah-atau-sebaliknya/

Di antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu 
melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Pembicaraan masalah ini –dengan 
memohon pertolongan Allah- akan saya lakukan melalui dua poin bahasan.

1. Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya.
2. Dalil Syar’i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk 
Pintu-Pintu Rizki.

YANG DIMAKSUD MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH ATAU SEBALIKNYA.
Syaikh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang maksud melanjutkan haji dengan 
umrah atau sebaliknya berkata : “Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, 
di mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka 
tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikan haji, sebab 
keduanya saling mengikuti” [1] 

DALIL SYAR’I BAHWA MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH AYTAU SEBALIKNYA, TERMASUK 
KUNCI RIZKI
Di antar hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melanjutkan haji dengan umrah 
atau sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah :

1. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban 
meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانَ الْفَقْرَ 
وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ 
وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابُ اِلاَّ الْجَنَّةَ 

“Lanjutkan haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan 
kemiskinan dan dosa, sebagaiman api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan 
perak. Dan tidak ada pahal haji yang mabrur [2] itu melainkan surga” [3]

Dalam hadits yang mulia tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang 
terpecaya, yang berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji 
dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu 
Hibban memberi judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan Dzikr Nafyi 
al-Hajj wa al-Umrah adz-Dzunub wa al-Faqra an al-Muslim Bihima (Keterangan 
Bahwa Haji Dan Umrah Menghilangkan Dosa-Dosa Dan Kemiskinan Dari Setiap Muslim 
Dengan Sebab Keduanya) [4]” 

Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sanda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.

فَإِنَّهُمَايَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ

“Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa”

Dia berkata, “Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti 
kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta” [5] 

2. Hadits Riwayat Imam An-Nasa’i dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia 
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

َابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانَ الْفَقْرَ 
وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ 

“Lanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya 
dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat 
menghilangkan kotoran besi”[6] 

Maka orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan 
dosa-dosanya, hendaknya ia segera melanjutkan hajinya dengan umrah atau 
sebaliknya.

[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis DR 
Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, 
Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
___
Footnote
[1]. Hasyiyatul Imam As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa’i, 5/115. Lihat pula, Faidhul 
Qadir oleh Al-Manawi, 3/225
[2]. Haji mabrur adalah haji yan memenuhi semya hukum-hukum (persyaratan)nya 
sehingga dilakukan sesuai dengan yang diminta dari seorang mukallaf (yang 
debani syari'at) secara sempurna. (Tuhfat al-Ahwadzi, 3/405)
[3]. Al-Musnad, no. 3669, 5/244-245; Jami at-Tirmidzi, Abwab al-Hajj, Bab Ma 
Ja'a fi Tsawab al-Hajji wa al-Umrah, no. 807, 3/454 dan lafazh ini miliknya ; 
Sunan An-Nasa'i, Kitab Manasik al-Haji, Fadhl al-Mutaba'ah Baina al-Hajji wa 
al-Umrah, 5/115; Shahih Ibni Khuzaimah, Kitab al-Manasik, Bab al-Amr bi 
al-Mutaba'ah Baina al-Hajji wa al-Umrah, no. 464, 4/130 ; al-Ihsan ila Taqrib 
Shahih Ibni Hibban, Kitab al-Hajj, Bab Fadhl al-Hajj wa al-Umrah no. 3693, 9/6 
Imam at-Tirmidzi berkata, Hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu adalah hasan 
shahih gharib, (Jami at-Tirmidzi, 3/455), Syaikh Ahmad Syakir berkata, 
Sanadnya shahih. (Hamisiy al-Musnad, 5/244), Syaikh Al-Albani berkata, 
Hadits ini hasan sahih, (Shahih Sunan at-Tirmidzi, 1/245 dan Shahih Sunan 
an-Nasa'i, 2/558), Syaikh Syu'aib al-Arna'uth berkata, Sanad hadits ini hasan 
(Hamisy al-Ihsan, 9/6)
[4]. Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, 9/6
[5]. Faidhul Qadir 3/225]
[6]. Sunan An-Nasa’i, Kitabul Manasikil Hajj, Fadhlul Mutaba’ti Bainal Hajj wal 
Umrati. 5/115, Syaikh Al-Albani berkata, Shahih (Shahih Sunan An-Nasa’I 2/558)] 
  

[assunnah] Kunci Rizki : Bertawakal Kepada Allah

2013-06-20 Terurut Topik Abu Abdillah
BERTAWAKAL KEPADA ALLAH

Oleh
Dr. Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/965/slash/0/bertawakal-kepada-allah/

Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah 
Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita akan 
membicarakan hal ini melalui tiga hal :

1. Dimaksud Bertawakkal Kepada Allah.
2. Dalil Syar'i Bahwa Bertawakkal Kepada Allah Termasuk Diantara Kunci-Kunci 
Rizki.
3. Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha ?

APA YANG DIMAKSUD BERTAWAKAL KEPADA ALLAH
Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah 
menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata 
: Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) 
semata.[1] 

Al-Allamah Al-Manawi berkata :Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta 
penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali [2] 

Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla 
Ali Al-Qari berkata : Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada 
yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, 
baik mahluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, 
kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang 
disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah.[3] 

DALIL SYAR'I BAHWA BERTAWAKAL KEPADA ALLAH TERMASUK KUNCI RIZKI
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, 
Al-Qudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، 
لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, 
niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka 
berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan 
kenyang.[4]

Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang 
berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan 
sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa tidak demikian, 
karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup, Yang tidak pernah 
mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah akan 
mencukupinya. Allah berfirman.

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ 
فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ 
شَيْءٍ قَدْرًا

Artinya : Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan 
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang 
dikehendaki0Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap 
sesuatu. [Ath-Thalaq /65: 3]

Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan : (Mencukupkan) 
dari setiap yang membuat sempit manusia [5] 

APAKAH TAWAKAL ITU BERARTI MENINGGALKAN USAHA?
Sebagian orang mungkin ada yang berkata :Jika orang yang bertawakkal kepada 
Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari 
penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki 
kita datang dari langit ?

Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang 
hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang 
bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk 
mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki 
sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. 
Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepadanya tempat 
bergantung. Dan sungguh para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan 
sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah 
Imam Ahmad, beliau berkata : Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang 
membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang 
menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa 
seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan 
usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, 
tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan 
selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.[6]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah 
atau di masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai 
rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, 'Ia adalah laki-laki yang tidak 
mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

إِنَّ اللَّهَ جِعَلَ رِزْقِيْ تَحتَ ظِلِّ زُمْحِيْ

Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui tombakku

Dan beliau bersabda.

َلوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، 
لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو 

[assunnah] Kunci Rizki : Berinfak Di Jalan Allah

2013-06-20 Terurut Topik Abu Abdillah
BERINFAQ DI JALAN ALLAH
Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/943/slash/0/berinfaq-di-jalan-allah/

Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfaq di jalan Allah. Pembasahan 
masalah ini –dengan memohon taufiq dari Allah- akan saya lakukan melalui du 
poin berikut :

1. Yang Dimaksud Berinfaq
2. Dalil Syar’i Bahwa Berinfaq Di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci-Kunci Rizki.

YANG DIMAKSUD BERINFAK
Di tengah-tengah menafasirkan firman Allah.

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya” 
[Saba’/34 : 39]

Syaikh Ibnu Asyur berkata : “Yang dimaksud dengan infaq di sini adalah infaq 
yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfaq kepada orang-orang fakir dan 
berinfaq di jalan Allah untuk menolong agama. [1] 

DALIL SYAR’I BAHWA BERINFAK DI JALAN ALLAH ADALAH TERMASUK KUNCI RIZKI
Ada beberapa nash dalam Al-Qur’anul karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang 
menunjukkan bahwa orang yang berinfaq di jalan Allah akan diganti oleh Allah di 
dunia. Disamping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala 
yang besar di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut.

1. Firman Allah.

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi 
rizki yang terbaik” [Saba’/34 : 39]

Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Betapapun 
sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan 
apa yang diperbolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan 
di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran, sebagaimana yang disebutkan 
dalam hadits ..” [2]

Imam Ar-Razi berkata, ‘Firman Allah : “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan 
maka Allah akan menggantinya” adalah realisasi dari sabda Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam :

مَا مِنْ يَوْمِ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ 
فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اَللَّهُمِّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفَا، وَيَقُوْلُ 
الآْخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفَا

“Tidaklah para hamba berada di pagi hari, melainkan pada pagi itu terdapat dua 
malaikat yang turun. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada 
orang yang berinfak’, sedang yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah 
kebinasaan (harta) kepada orang yang menahan (hartanya)….” [Al-Hadits]. 

Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Mahatinggi dan Mahakaya. Maka 
jika Dia berkata : “Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya”, maka itu sama 
dengan janji yang pasti Ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata : ‘Lemparkalah 
barangmu ke dalam laut dan Aku menjaminnya”

Maka, barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan 
ganti. Sebaliknya, siapa yang tidak berinfak maka hartanya akan lenyap dan dia 
tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa diganti, artinya 
lenyap begitu saja.

Yang mengherankan, jika seorang pedagang mengetahui bahwa sebagian dari 
hartanya akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi’ah (pembayaran di 
belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia berkata, hal itu 
lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya 
sampai harta itu binasa maka dia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang 
menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak mejualnya (kepada orang tersebut) 
maka dia disebut orang gila.

Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak 
menyadari bahwa hal itu mendekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti 
akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti 
memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha 
Tinggi. Allah berfirman :

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi 
rizki yang terbaik” [Saba’/34 : 39]

Lalu Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, 
penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab 
setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia 
mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu 
adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan barang-barang tersebut adalah jaminan yang 
diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya 
bahwa dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi mesti demikian, 
ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa 
mendapat pahala dan disyukuri. [3] 

Selain itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak 
untuk menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, 
Ibnu Asyur berkata : “Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, 
dan dengan menjadikan jawaban dari kalimat bersyarat itu dalam bentuk jumlah 
ismiyah dan 

[assunnah] Kunci Rizki : Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya

2013-06-19 Terurut Topik Abu Abdillah
BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA

Oleh
Dr Fadhli llahi
http://almanhaj.or.id/content/964/slash/0/beribadah-kepada-allah-sepenuhnya/

Di antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya. Saya akan 
membahas masalah ini –dengan memohan pertolongan kepada Allah- dari dua hal.

1. Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya
2. Dalil Syar’I Bahwa Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya Adalah Di Antara 
Kunci-Kunci Rizki.

MAKNA BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimaksud beribadah sepenuhnya 
adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di 
masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi yang dimaksud –wallahu a’lam- adalah 
hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan 
merendahkan diri di hadapan Allah Yang Mahaesa, menghadirkan (dalam hati) 
betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat 
kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah 
sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits.

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْلَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَغِنَّهُ 
يَرَاكَ

“Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya. Jika kamu 
tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu” [1]

Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka 
berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.

Menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

تَفَرَّ غْ لِعِبَادَتِيْ

“Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu”.

Al-Mulla Ali Al-Qari berkata ; ‘Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar 
sepenuhnya (berkosentrasi) untuk beribadah kepada Tuhamnu” [2] 

Kedua : DALIL SYAR’I BAHWA BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA, TERMASUK KUNCI 
RIZKI.
Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah 
termasuk di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tersebut di antaranya 
adalah.

1. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim 
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
beliau bersabda.

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ : يَا ابْنَ آدَمَ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِيْ، 
أَمْلأْ صَدْ رَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَكَ 
شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكْ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah 
sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan 
kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan niscaya Aku 
penuhi tanganmu dengan kesibukan [3] dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada 
manusia)” [4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menjelaskan, 
bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya 
dengan dua hadiah sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya 
dengan sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi 
hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi 
kebutuhannya. Sedang dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang 
yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia 
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.

2. Hadits riwayat Imam Al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia 
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يَقُوْلُ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : يَا ابْنَ آدَمَ!تَفَرَّغْ 
لِعِبِادَتِيْ، أَمْلَأ قَلْبَكَ غِنَّ، وَأَمْلأ يَدَيْكَ رِزْقَا يَاابْنَ 
آدَمَ! لاَ تُبَاعِدْنِي 

“Rabb kalian Yang Mahasuci laga Mahatinggi berfirman, ‘Wahai anak Adam!, 
fokuslah beribadah kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku 
penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!, Jangan jauhi Aku, 
sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu 
dengan kesibukan” [5]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, 
yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu 
pun lebih memenuhi janji daripadaNya, berapa dua jenis pahala bagi orang yang 
benar-benar beribadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi 
hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan akan ancaman 
Allah kepada orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti 
memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.

Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi 
kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa 
yang kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan 
Mahaperkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, 
siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Mahakuasa dan Maha 
Menentukan, niscaya tak seorangpun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang 
disibukkan oleh Yang Mahaperkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorangpun yang 
mampu 

[assunnah] Kunci Rizki : Taqwa

2013-06-19 Terurut Topik Abu Abdillah
T A Q W A

Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/990/slash/0/t-a-q-w-a/

Termasuk sebab turunnya rizki adalah taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini 
–dengan memohon taufiq dari Allah- dalam dua bahasan.

1. Makna Taqwa
2. Dalil Syar’i Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki

MAKNA TAQWA
Para ulama rahimahullah telah mejelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di 
antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan : “Taqwa yaitu menjaga 
jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa 
yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang 
dihalalkan” [1] 

Sedangkan Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan “Menta’ati perintah dan 
laranganNya”. Maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhanahu 
wa Ta’ala [2]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Taqwa 
yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’atiNya. Yakni menjaga diri 
dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau 
meninggalkannya” [3] 

Karena itu siapa yang tidak menjaga dirinya dari perbuatan dosa, berarti dia 
bukanlah orang yang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa 
yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang 
dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai 
Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti ia tidak menjaga 
dirinya dari dosa.

Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta melakukan apa yang 
dilarangNya, dia bukan termasuk orang-orang yang bertaqwa

Orang yang menceburkan diri kedalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka 
dan siksa dari Allah, maka ia telah mengelurakan dirinya dari barisan 
orang-orang yang bertaqwa.

DALIL SYAR'I BAHWA TAQWA TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa termasuk di antara sebab rizki, di 
antaranya.

1. Firman Allah

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا 
يَحْتَسِبُ 

“Artinya : Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan 
keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka” 
[At-Thalaq/65 : 2-3]

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merelaisasikan taqwa akan 
dibalas Allah dengan dua hal.

Pertama : Allah akan mengadakan jalan keluar baginya” Artinya, Allah akan 
menyelamatkannya –sebagaimana di katakana Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma- dari 
setiap kesusahan dunia maupun akhirat.[4] 

Kedua : Allah akan memberik rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”. 
Artinya, Allah akan memberi rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.[5]

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan :”Maknanya, barangsiapa yang 
bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan 
meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar 
serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak 
pernah terlintas dalam benaknya”[6] 

Alangkah agung dan besar buah taqwa itu ! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 
‘anhu berkata : “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji keluar 
adalah.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar 
baginya” [7]

2. Ayat Lainnya Adalah Firman Allah

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ 
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا 
كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami 
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka 
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan 
mereka sendiri” [Al-A’raf/7 : 96]

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandainya penduduk negeri-negeri 
merealisasikan dua hal, yakni ; iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan 
kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka mendapatkannya dari 
segala arah.

Menafsirkan firman Allah.

لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, 
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan : “Niscaya Kami lapangkan 
kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk 
mendapatkannya dari segala arah” [8] 

Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang 
beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya :

a. Janji Allah untuk membuka “ بَرَكَاتٍ ” (keberkahan) bagi mereka. “ 
البرََكَاتٍ ” adalah bentuk jama’ dari “al-barakat”. Imam Al-Baghawi berkata, 
“Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus [9] 

Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat “al-barakat” adalah bahwa apa 
yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka adalah 
kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apapun atas 
mereka sesudahnya.

Tentang hal ini, Sayid 

[assunnah] Kunci Rizki : Berbuat Baik Kepada Orang Lemah

2013-06-18 Terurut Topik Abu Abdillah
BERBUAT BAIK KEPADA ORANG-ORANG LEMAH
Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/933/slash/0/berbuat-baik-kepada-orang-orang-lemah/

Termasuk di antara kunci-kunci rizki adalah berbuat baik kepada orang-orang 
miskin. Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa para 
hamba itu ditolong dan diberi rizki disebabkan oleh orang-orang yang lemah di 
antara mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu ia 
berkata, ‘Bahwasanya Sa’d Radhiyallahu anhu merasa dirinya memiliki kelebihan 
daripada orang lain. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ؟

“Bukankah kalian ditolong [1] dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah di 
antara kalian?” [2] 

Karena itu, siapa yang ingin ditolong Allah dan diberi rizki olehNya maka 
hendaknya ia memuliakan orang-orang lemah dan berbuat baik kepada mereka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia juga menjelaskan bahwa 
keridhaannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diperoleh dengan berbuat baik 
kepada orang-orang miskin.

Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim 
meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata, aku 
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اِبْغُوْنِيْ فِي ضُعَفَائِكُمْ، فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَ تُنْصَرُوْنَ 
بِضُعَفَائِكُمْ

“Carilah (keridhaan)ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena 
sesungguhnya kalian diberi rizki dan ditolong dengan sebab orang-orang lemah di 
antara kalian” [3]

Menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas Al-Mulla Ali 
Al-Qari berkata, ‘Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang 
miskin di antara kalian. [4] 

Dan barangsiapa berusaha mendapatkan keridhaan kekasih Yang Maha Memberi rizki 
dan Maha Memiliki kekuatan dan keperkasaan, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin, niscaya Tuhannya akan 
menolongnya dari para musuh serta akan memberi rizki.

[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis DR 
Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, 
Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
___
Footnote
[1]. (Seperti) ditolong dari serangan musuh [Murqatul Mafatih, 9/84
[2]. Shahihul Bukhari (yang dicetak bersama Umdatul Qari), Kitab Al-Jihad was 
Siyar, Bab Man Ista’ana Bidh Dhu’afa Wash Shalihin Fil Harbi, no. 108, 14/179
[3]. Al-Musnad 5/198 (cet. Al-Maktab Al-Islami) ; Sunan Abi Daud Kitab 
Al-Jihad, Bab Al-Intishar bi Radhalil Khail Wadh Dha’fah, no. 2591, 7/183 ; 
Jami’ut Tirmidzi, Ababul Jihad, Bab Ma Ja’a Fil Istiftah bi Sha’alikil 
Muslimin, no. 1754, 5/291, dan redaksi ini adalah miliknya ; Sunan An-Nasa’i, 
Kitab Al-Jihad, Al-Istinshar bidh Dha’if 6/45-46 ; Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih 
Ibni Hibban, Kitab As-Siar, Bab Al-Khuruj wa Kaifiyatul Jihad, Dikru Istihbabil 
Intishar bi Dhu’aafa’il Muslimin ‘inda Qiyamil Harbi ‘ala Saq, no. 4767, 11/85 
; Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitab Al-Jihad, 2/106. Tentang hadits ini Imam 
At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits Hasan Shahih. (Jami’ut Tirmidzi, 5/292). 
Dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim. (Lihat, Al-Mustadrak, 2/106). Disepakati 
oleh Adz-Dzahabi (Lihat, At-Talkish, 2/106). Juga dishahihkan oleh Syaikh 
Al-Albani. (Lihat Shahih Sunan Abu Daud, 2/492 ; Shahih Sunan At-Tirmidzi, 
2/140 ; Shahih Sunan An-Nasa’i 2/669 ; Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 
779, 2/422
[4]. Lihat, Murqatul Mafatih, 9/84
  

[assunnah] Kunci Rizki : Memberi Nafkah Kepada Penuntut Ilmu

2013-06-18 Terurut Topik Abu Abdillah
MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG SEPENUHNYA MENUNTUT ILMU SYARI’AT (AGAMA)
Oleh
Dr Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/934/slash/0/memberi-nafkah-kepada-orang-yang-sepenuhnya-menuntut-ilmu-syariat-agama/

Termasuk kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah kepada orang yang sepenuhnya 
menuntut ilmu syari’at (agama). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits 
riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu 
bahwasanya ia berkata.

كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
فَكَانَ اَحَدُهُمَا يَأْتِيْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَالآْخَرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ : لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ

“Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam. Salah seorang daripadanya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
[1] dan (saudaranya) yang lain bekerja [2]. Lalu saudaranya yang bekerja itu 
mengadu [3] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda : “Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab 
dia” [4]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulai Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menjelaskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesibukan saudaranya 
dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian mencari penghidupan 
(bekerja), bahwa semestinya ia tidak mengungkit-ngungkit nafkahnya kepada 
saudaranya, dengan anggapan bahwa rizki itu datang karena dia bekerja. Padahal 
ia tidak tahu bahwasanya Allah membukakan pintu rizki untuknya karena sebab 
nafkah yang ia berikan kepada saudaranya yang menuntut ilmu agama secara 
sepenuhnya.

Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam 
(لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ) “Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia” 
yang menggunakan shigat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, “Yakni, 
aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rizki karena 
berkahnya. Dan bukan berarti dia diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab 
itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu kepadanya”[5]

Al-Alamah Ath-Thaibi berkata : “Makna (لَعَلَّ )mudah-mudahan’ dalam sabda 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَعَلَّكَ ) mudah-mudahan engkau’, bisa 
kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berfungsi 
untuk memberikan kepastian (bahwa dia mendapatkan rizki karena berkah 
saudaranya) dan menegur (bahwa dia mendapatkan rizki bukan karena 
pekerjaannya). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits.

فَهَلْ تُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُم؟

“Bukankah kalian diberi rizki karena sebab orang-orang lemah di antara kalian ?”

Tetapi bisa pula kembali kepada orang yang diajaknya bicara untuk mengajaknya 
berfikir dan merenungkan, sehingga ia menjadi sadar” [6]

Demikianlah, dan sebagian ulama telah menyebutkan [7] bahwa orang-orang yang 
mempelajari ilmu agama secara sepenuhnya adalah termasuk kelompok yang 
disinggung dalam firman Allah.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ 
ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ 
تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا 
تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan 
Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu 
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu 
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang 
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan 
Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” [Al-Baqarah/2 : 273]

Imam Al-Ghazali berkata :”Ia harus mencari orang yang tepat untuk mendapatkan 
sedekahnya. Misalnya para ahli ilmu. Sebab hal itu merupakan bantuan baginya 
untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia, jika 
niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak senantiasa mengkhususkan kebaikan (pemberiannya) 
bagi para ahli ilmu. Ketika dikatakan kepada beliau, “Mengapa tidak engkau 
berikan kepada orang secara umum?” Beliau menjawab. ‘Sesungguhnya aku tidak 
mengetahui suatu kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan 
para ulama. Jika hati para ulama itu sibuk mencari kebutuhan (hidupnya), 
niscaya ia tidak bisa memberi perhatian sepenuhnya kepada ilmu, serta tidak 
akan bisa belajar (dengan baik). Karena itu, membuat mereka bisa mempelajari 
ilmu secara sepenuhnya adalah lebih utama’. [8] 

[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis DR 
Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, 
Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
___
Footnote
[1]. Yakni untuk mencari ilmu dan pengetahuan [Murqatul Mafatih, 9/170]
[2]. Dan sepertinya mereka berdua makan dari hasil kerjanya [Op.cit, 9/170]
[3]. 

[assunnah] Kunci Rizki : Silaturrahim

2013-06-16 Terurut Topik Abu Abdillah
SILATURRAHIM
Oleh
Dr. Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/948/slash/0/silaturahim/


Diantara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembicaraan masalah ini -dengan 
memohon pertolongan Allah- akan saya bahas melalui empat point berikut.

1. Makna Silaturrahim
2. Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Diantara Pintu-Pintu Rizki
3. Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim .?
4. Tata Cara Silaturrahim Dengan Para Ahli Maksiat.

MAKNA SILATURRAHIM
Makna 'ar-rahim' adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : 
Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka 
terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai 
mahram atau tidak.

Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram 
dinikahi) saja.

Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman 
dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram 
dinikahi, padahal tidak demikian.[1]

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah 
(ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik 
menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka 
serta menjaga keadaan mereka.[2]

DALIL SYAR’I BAHWA SILATURAHIM TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala 
menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapangan rizki. Diantara 
hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah.

1. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia 
berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَلَهُ فِيْ أَشَرِهِ 
فَلْيَصِلْ

Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya 
(dipanjangkan umurnya) [3] maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahim [4]

2. Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik 
Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، وَيُنْسَاَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ 
فَلْيَصِلْ

Barangsiapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan usianya 
(dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim.[5]

Dalam dua hadits yang mulia diatas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan 
bertambahnya usia.

Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh mahluk Allah yang paling benar 
dan jujur, yang berbicara berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi 
wa sallam. Maka barangsiapa menginginkan dua buah di atas hendaknya ia 
menaburkan benihnya, yaitu silaturrahim. Demikian, sehingga Imam Al-Bukhari 
memberi judul untuk kedua hadits itu dengan Bab Orang Yang Dilapangkan 
Rizkinya dengan Silaturrahim (Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha 
Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, 10/415) [6] Artinya, dengan sebab 
silaturrahim.[7]

Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu 
dalam Kitab Shahihnya dan beliau memberi judul dengan Keterangan Tentang 
Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung 
Silaturrahim. [8]

3. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan 
Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam beliau bersabda.

تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ اَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّ 
صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِيْ الأْهْلِ، مُشَرَّاةٌ فِيْ الْمَالِ، مُنْسَأَةٌ 
فِيْ الْعُمْرِ

Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung 
silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan 
terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyak - nya harta dan bertambahnya 
usia [9] 

Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam menjelaskan bahwa 
silaturrahim itu membuahkan tiga hal, diantaranya adalah ia menjadi sebab 
banyaknya harta.

4. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, 
Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِيْ عُمْرِهِ، وَيُوَسَّعَ عَلَيْهِ فِيْ 
رِزْقِهِ، وَيُد فَعَ عَنْهُ مِيْتَةَالسُّوْءِ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيَصِلْ 
رَحِمَهُ

Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta 
dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah 
dan menyambung silaturrahim [10]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jujur dan 
terpercaya, mejelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki 
dua sifat ; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu 
dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.

5. Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar 
Radhiyallahu 'anhu ia berkata.

مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، 

[assunnah] Ada Apa Dengan Bulan Sya'ban

2013-06-14 Terurut Topik Abu Abdillah
ADA APA DENGAN BULAN SYA'BAN?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin[1] 
http://almanhaj.or.id/content/3436/slash/0/ada-apa-dengan-bulan-syabn/


Setelah menyampaikan kalimat pembuka, beliau rahimahullah mengatakan :
Amma ba'du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait 
dengan bulan Sya'bân.

PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BAN.
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah Radhiyallahu anhuma 
menceritakan.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ 
حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا 
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ 
اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً 
مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ

Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa satu 
bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan 
dengan puasa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya'bân.[2] 

Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
berpuasa penuh pada bulan Sya'bân.[3] 

Dalam riwayat lain Imam Muslim,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân kecuali 
sedikit.[4] 

Imam Ahmad rahimahullah dan Nasa'i rahimahullah meriwayatkan sebuat hadits dari 
Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan 
sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân. 
Lalu ada yang berkata, 'Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda 
berpuasa pada bulan Sya'bân.' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menjawab, 'Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada 
bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin 
amalan saya diangkat saat saya sedang puasa 

KEDUA, TENTANG PUASA NISFU SYA’BAN. 
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathâ'if, (hlm. 143, cet. Dar 
Ihyâ' Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari 
'Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jika 
malam nisfu Sya'bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada 
siangnya. Karena Allâh Azza wa Jalla turun pada saat matahari tenggelam, lalu 
berfirman, Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang 
memohon rizki lalu akan saya beri ? …[6] 

Saya mengatakan, Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis 
kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan (Majmu' Fatawa beliau 5/622), 
'Yang benar, hadits itu maudhu' (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu 
Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam 
Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma'in rahimahullah mengatakan, 'Orang ini 
pernah memalsukan hadits.

Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya'bân itu 
bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama', hukum syari'at 
tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara 
lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya 
jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik 
derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan 
landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BAN.
Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah 
membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para 
ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullah menilai sebagiannya 
shahih dan beliau rahimahullah membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân. Diantara 
contohnya, dalam sebuah riwayat dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Sesungguhnya 
Allâh Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya'bân lalu 
Allâh Azza wa Jalla memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih 
dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb. Hadits ini dibawakan oleh 
Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa 
Imam Bukhâri rahimahullah menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab 
rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya 
mengatakan, Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki 
kelemahan. 

as-Syaukâni rahimahullah menyebutkan bahwa dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu 
anhuma tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz 
rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa 
dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya'bân.

KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN. 
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan.

Tingkatan Pertama : Shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa 
melakukannya diluar 

[assunnah] Hukum Salam Kepada Orang Yang Sedang Shalat

2013-06-13 Terurut Topik Abu Abdillah
HUKUM MEMBERI SALAM KEPADA ORANG YANG SEDANG SHALAT

Oleh
Abul Barra’ Muhammad Mahir Al Khatib
http://almanhaj.or.id/content/3057/slash/0/hukum-memberi-salam-kepada-orang-yang-sedang-shalat/


Mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat, disyari’atkan ataukah tidak? 
Telah terjadi perdebatan yang sangat alot dalam masalah ini, sehingga 
mengakibatkan banyak orang yang bingung. Pendapat yang terkuat dalam masalah 
ini adalah disunnahkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat. Dari 
Jabir Radhiyallahu 'anhu ,

أَنَّهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَنِي 
لِحَاجَةٍ ثُمَّ أَدْرَكْتُهُ وَهُوَ يَسِيرُ قَالَ قُتَيْبَةُ يُصَلِّي 
فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَأَشَارَ إِلَيَّ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَانِي فَقَالَ إِنَّكَ 
سَلَّمْتَ آنِفًا وَأَنَا أُصَلِّي وَهُوَ مُوَجِّهٌ حِينَئِذٍ قِبَلَ الْمَشْرِقِ 

(Jabir) berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku untuk satu 
keperluan, kemudian aku mendapatkan beliau sedang berjalan (Quthaibah berkata, 
“Sedang shalat”), lalu aku ucapkan salam kepadanya. Beliau memberikan isyarat 
kepadaku. Ketika selesai shalat, beliau memanggilku sambil bersabda,”Engkau 
tadi mengucapkan salam, sementara aku sedang shalat.” Ketika itu beliau shalat 
menghadap ke timur (Baitul Maqdis). [HR. Muslim]

Dalam hadits yang lain.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ 
يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ فَكَلَّمْتُهُ فَقَالَ لِي بِيَدِهِ هَكَذَا ثُمَّ 
كَلَّمْتُهُ فَقَالَ لِي هَكَذَا وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ 
فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ لَهُ فَإِنَّهُ لَمْ 
يَمْنَعْنِي أَنْ أُكَلِّمَكَ إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي 

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku diutus oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Bani Musthaliq. Lalu (Setelah 
selesai tugas-pent) aku menemui beliau. Sedangkan beliau sedang melaksanakan 
shalat di atas untanya, lalu kuajak beliau berbicara. Beliau memberikan isyarat 
dengan tangannya. Kemudian aku katakan lagi kepada beliau. Beliau memberikan 
isyarat lagi dengan kepalanya, sementara aku masih bisa mendengar bacaan 
beliau.” Ketika selesai melaksanakan shalat, beliau berkata,“Apa yang telah 
engkau lakukan dengan tugasmu? Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk 
beirbicara denganmu, kecuali shalatku. [HR Muslim).

عَنْ صُهَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ مَرَرْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ إِشَارَةً قَالَ وَلَا 
أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ إِشَارَةً بِأُصْبُعِهِ 

Dari Shuhaib, dia berkata,“Saya lewat dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam yang sedang shalat, lalu saya ucapkan salam kepada beliau. Beliau 
menjawab salam dengan isyarat.” (Shuhaib) berkata, “Saya tidak mengetahui 
beliau, kecuali (katanya) berisyarat dengan jarinya.” [HR Abu Daud 925 dan yang 
lainnya]

سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قُبَاءَ يُصَلِّي فِيهِ قَالَ فَجَاءَتْهُ 
الْأَنْصَارُ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ 
كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ 
عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ يَقُولُ 
هَكَذَا وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ وَجَعَلَ 
بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ 

Aku (Nafi’) telah mendengar Abdullah bin Umar berkata,“Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam keluar menuju Quba’ lalu shalat disana.” Abdullah 
berkata,“Lalu datanglah sekelompok orang-orang Anshar dan mengucapkan salam 
kepadanya, padahal beliau sedang melaksanakan shalat.” Abdullah berkata,”Aku 
bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimanakah engkau melihat Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka mengucapkan salam, padahal 
beliau sedang melaksanakan shalat’, Abdullah berkata, “Bilal menjawab, seperti 
ini!’ –beliau lalu membuka telapak tangannya- Ja’far bin ‘Aun membuka telapak 
tangannya dan menjadikan perut telapak tangan di bawah, sedangkan punggung 
telapak tangan di atas. [HR Abu Daud 927]

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ 
يُصَلِّي فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ الرَّجُلُ كَلَامًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ عَبْدُ 
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَقَالَ لَهُ إِذَا سُلِّمَ عَلَى أَحَدِكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي 
فَلَا يَتَكَلَّمْ وَلْيُشِرْ بِيَدِهِ 

Diriwayatkan dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar melewati seseorang yang 
sedang shalat. Lalu ia mengucapkan salam kepada orang tersebut. Orang itu 
menjawabnya dengan ucapan. Maka Abdullah bin Umar kembali kepada orang tersebut 
dan berkata,“Jika ada salah seorang diantara kalian diberi salam, padahal dalam 
keadaan sholat, maka janganlah berbicara. Ddan hendaklah memberikan isyarat 
dengan tangannya. [HR Imam Malik dalam Muwattha’]

Ibnu Hajar berkata,“Sesungguhnya banyak hadits yang bagus telah menjelaskan, 

[assunnah] Tema Dan isi Khutbah Jum'at

2013-06-13 Terurut Topik Abu Abdillah
TEMA DAN ISI KHUTBAH
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2619/slash/0/jumat-tema-dan-isi-khutbah-jumat/

Adapun tentang tema dan isi khutbah ditunjukkan oleh hadits-hadits dan 
penjelasan para ulama di bawah ini. Hadits Jabir bin Samurah, dia berkata,

كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ 
بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan dua khutbah. Beliau duduk 
diantara keduanya. (Dalam khutbahnya) Beliau membaca Al Qur’an dan mengingatkan 
manusia [HR Muslim, no. 862].

Hadits Jabir bin Abdullah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ 
يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ 
يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَخَيْرُ 
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak. 
Beliau memuji Allah, menyanjungNya dengan apa yang pantas bagi Allah, lalu 
Beliau bersabda,”Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, tidak ada 
seorangpun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada 
yang memberinya petunjuk. Sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah.” [HR 
Muslim, no. 867]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ 
وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ َيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ 
وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرُنُ 
بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ 
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ 
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا 
أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ 
تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan 
kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan 
mengatakan “Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi”, “Musuh akan menyerang 
kamu pada waktu sore”.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata,”Aku diutus dengan hari 
kiamat seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dua jarinya: jari telunjuk dan jari 
tengah.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata: “Amma ba’d. Sesungguhnya 
sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah 
petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru, dan 
seluruh bid’ah (perkara baru) adalah kesesatan.

Kemudian Beliau berkata: “Aku lebih dekat kepada tiap-tiap orang mukmin 
daripada dirinya sendiri. Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka hartanya 
untuk keluarganya (yaitu ahli warisnya). Dan barangsiapa mati meninggalkan 
hutang dan orang-orang yang harus ditanggung (anak-anak, isteri, atau lainnya), 
maka kepadaku dan tanggunganku”. [HR Muslim, no. 867].

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ بِنْتٍ لِحَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ مَا حَفِظْتُ ق إِلَّا مِنْ 
فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِهَا كُلَّ 
جُمُعَةٍ 

Dari putri Haritsah bin An Nu’man, dia berkata,”Tidaklah aku menghafal surat 
Qaaf, kecuali dari mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau 
berkhutbah dengan surat Qaaf setiap Jum’at.” [HR Muslim, no. 873; Abu Dawud; 
dan An Nasa’i].

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,”Sepantasnya seorang imam berkhutbah 
dengan khutbah yang sebentar (ringan). Imam membuka khutbahnya dengan 
hamdallah, memujiNya berulang-ulang, membaca syahadat, bershalawat atas Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, memberi nasihat, mengingatkan, membaca surat (Al 
Qur’an). Kemudian duduk dengan duduk sebentar, lalu bangkit, kemudian 
berkhutbah lagi: membaca hamdallah, memujiNya berulang-ulang, bershalawat atas 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mendo’akan mukminin dan mukminat.” 
[Badai’ish Shanai’, 1/263. Dinukil dari Majalah Al Ashalah, Edisi 21, 15 
Rabi’ul Akhir 1420H, hlm. 67].

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku menyukai imam berkhutbah dengan 
(membaca) hamdallah, shalawat atas RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
nasihat, bacaan (ayat Al Qur’an), dan tidak lebih dari itu.” [Al Umm, 1/203. 
Dinukil dari Majalah Al Ashalah, Edisi 21, 15 Rabi’ul Akhir 1420H, hlm. 67]

Al ‘Izz bin Abdus Salam rahimahullah berkata: Tidak sepantasnya bagi khathib 
menyebutkan di dalam khutbahnya, kecuali yang sesuai dengan tujuan-tujuan 
khutbah. Yaitu: pujian (untuk Allah), do’a, targhib (anjuran kebaikan), dan 
tarhib (ancaman kemaksiatan). Dengan cara menyebutkan janji dan ancaman (Allah 
dan RasulNya), dan semua yang akan mendorong kepada ketaatan, atau mencegah 
dari kemaksiatan, demikian juga (dengan) bacaan Al Qur’an. Dan kebiasaan Nabi 
dalam banyak kesempataan, yaitu 

[assunnah] Shalat Jum'at Dalam Pandangan Fiqh

2013-06-13 Terurut Topik Abu Abdillah
SHALAT JUM’AT DALAM PANDANGAN FIQH

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/2617/slash/0/jumat-jumlah-dalam-menegakkan-shalat-jumat-kapan-dianggap-mendapatkan-shalat-jumat/


JUMLAH YANG DISYARATKAN DALAM MENEGAKKAN SHALAT JUM’AT
Shalat Jum’at dilakukan secara berjama’ah dan tidak sah bila dilakukan secara 
sendirian. Para ulama berselisih tentang jumlah minimal orang yang menghadiri 
shalat Jum’at, terbagi menjadi beberapa pendapat.

Pertama : Tidak diadakan, kecuali minimal 40 orang dari orang yang diwajibkan 
shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Malik, Syafi’i dan yang masyhur 
dalam madzhab Ahmad, dand diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Ubaidillah 
bin Abdillah bin Utbah.

Dalilnya sebagai berikut:

- Hadits Ka’ab bin Malik:

أَسْعَدُ بْنِ زُرَارَةَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ 
حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ قُلْتُ 
كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُون

As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami 
di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang 
terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya: “Waktu itu, kalian 
berapa?” Dia menjawab,”Empat puluh.”[30]

- Hadits Jabir yang berbunyi:

مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

Telah lalu Sunnah, bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat 
Jum’at.[31]

Kedua : Tidak sah diadakan, kecuali terdapat limapuluh orang. Demikian ini 
salah satu riwayat Imam Ahmad dengan hujjah:

- Hadits Abu Umamah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam :

عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ

Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan pada di bawahnya. 
(Namun haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang 
matruk).

- Hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Berapa jumlah orang 
yang diwajibkan shalat jama’ah padanya?” Abu Hurairah menjawab,”Ketika sahabat 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah 
mengadakan shalat Jum’at’ [33]. Imam Al Baihaqi berkata,”Telah diriwayatkan 
dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak 
shahih.” [34]

Pendapat ini lemah, karena dalil-dalilnya dhaif (lemah).

Ketiga : Harus ada dua belas orang dari yang diwajibkan Jum’at. Demikian 
madzhab Rabi’ah bin Abdirrahman dan riwayat dalam madzhab Malik. Mereka 
berdalil dengan hadits Jabir :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا 
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا 
حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, 
lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga 
tidak tersisa, kecuali dua belas orang. [35]

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja, 
karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid 
setelah menemui mereka.

Keempat : Disyaratkan paling sedikit empat orang. Demikian pendapat masdzhab 
Abu Hanifah, Al Laits bin Sa’ad, Zufar dan Muhammad bin Al Hasan [36] dengan 
berdalil pada firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ 
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ

Mereka menyatakan, bahwa kata amanu adalah bentuk jama’ (plural’s), dan jama 
paling sedikit tiga ditambah imam, maka berjumlah empat orang. Ini jelas lemah 
dalam pengambilan dalilnya

Kelima : Disyaratkan paling sedikit tiga orang: seorang khatib dan dua orang 
pendengarnya. Demikian riwayat dari Imam Ahmad, Al Hasan Al Bashri, Abu Yusuf, 
Abu Tsaur dan salah satu pendapat Sufyan Ats Tsauri [37], berdalil dengan 
pernyataan di bawah ini:

- Tiga adalah angka terkecil dalam bentuk jama’.
- Hadits Abu Ad Darda’yang berbunyi:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ 
إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

Tidak ada dari tiga orang di satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan 
padanya shalat, kecuali syetan akan menguasai mereka.[38]

Mereka menyatakan, shalat yang dimaksudkan disini bersifat umum, meliputi 
shalat Jum’at dan yang lainnya. Ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at bagi 
tiga orang.

Demikian pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan: Shalat Jum’at sah diadakan 
oleh tiga orang. Seorang berkhutbah, dan dua orang yang mendengarnya.[39]” Dan 
pendapat ini juga dirajihkan Syaikh Ibnu Baaz [40], Muhammad bin Shalih Al 
Utsaimin [41] dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia [42].

Keenam : Sah diadakan oleh dua orang atau lebih. Demikian pendapat madzhab 
Dzahiriyah, An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Makhul dan Ath Thabari. Mereka 
menyatakan, telah dimaklumi bahwa shalat jama’ah selain Jum’at sah dilakukan 
dua orang saja secara Ijma’, dan shalat Jum’at sama dengan shalat jama’ah 
lainnya. 

[assunnah] Mengingat Maut

2013-06-12 Terurut Topik Abu Abdillah
MENGINGAT MAUT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2982/slash/0/mengingat-maut/


Jika Anda pernah mendengar kisah mengenai orang-orang yang hidup kekal di dunia 
ini, sesungguhnya itu hanya dongeng yang batil. Sebagian orang beranggapan ada 
orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, seperti Khidhir q , Dzulqarnain atau 
lainnya. Keyakinan seperti ini tidak dikenal dalam Islam. Karena, tidak ada 
manusia yang hidup kekal di dunia ini.

Kematian, sesungguhnya merupakan hakikat yang menakutkan, akan menghampiri 
semua manusia. Tidak ada yang mampu menolaknya. Dan tidak ada seorangpun kawan 
yang mampu menahannya. 

Kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, orang tua maupun 
anak-anak, orang kaya maupun orang miskin, orang kuat maupun orang lemah. 
Semuanya menghadapi kematian dengan sikap yang sama, tidak ada kemampuan 
menghindarinya, tidak ada kekuatan, tidak ada pertolongan dari orang lain, 
tidak ada penolakan, dan tidak ada penundaan. Semua itu mengisyaratkan, bahwa 
kematian datang dari Pemilik kekuatan yang paling tinggi. Meski sedikit, tak 
seorang pun manusia memiliki wewenang atas kematian. 

Hanya di tangan Allah semata pemberian kehidupan. Dan hanya di tanganNya, 
mengambil kembali yang telah Dia berikan pada ajal yang telah digariskan. Allah 
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ 
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat 
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan 
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu 
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Ali Imran:185].

Maut merupakan ketetapan Allah. Seandainya ada seseorang yang selamat dari 
maut, niscaya manusia yang paling mulia pun akan selamat. Namun maut merupakan 
SunnahketetapanNya atas seluruh makhluk. Allah berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) akan mati dan 
sesungguhnya mereka akan mati (pula). [Az Zumar:30].

Tidak ada manusia yang kekal di dunia ini. 

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِّتَّ فَهُمُ 
الْخَالِدُونَ كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ 
وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ }

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu 
(Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang 
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan 
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu 
dikembalikan. [Al Anbiya:34-35].

MENGHINDAR DARI KEMATIAN?
Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu. Dia telah menetapkan kematian atas 
diri manusia. Sehingga bagaimanapun manusia berupaya menghindar darinya, 
kematian itu tetap akan mengejarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ 
مُشَيَّدَةٍ

Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di 
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An Nisa’:78]. 

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاَقِيكُمْ ثُمَّ 
تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ 
تَعْمَلُونَ 

Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka 
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan 
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan 
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Al Jumu’ah:8].

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu 
lari dari padanya. [Qaaf:19].

Kematian sebagai bukti nyata kekuasaan Allah, dan siapapun tidak ada yang dapat 
mengalahkanNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat 
dikalahkan [Al Waqi’ah:60].

Allah menantang kepada orang-orang yang menyangka bahwa mereka tidak dikuasai 
oleh Allah, dengan mengembalikan nyawa orang yang sekarat, jika memang mereka 
benar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَوْ لآ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ وَنَحْنُ 
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لاَّ تُبْصِرُونَ فَلَوْ لآ إِن كُنتُمْ غَيْرَ 
مَدِينِينَ تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. Padahal kamu ketika itu 
melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.Tapi kamu tidak melihat, 
maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah). Kamu tidak mengembalikan 
nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar. [Al 
Waqi’ah:83-87].

Manusia tidak 

[assunnah] Kunci Rizki : Istigfar Dan Taubat

2013-06-04 Terurut Topik Abu Abdillah
STIGHFAR DAN TAUBAT

Oleh
Dr. Fadhl Ilahi
http://almanhaj.or.id/content/3631/slash/0/istighfar-dan-taubat/

Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah itsighfar (memohon ampun) 
dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). 
Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan.

1. Hakikat Istighfar dan Taubat
2. Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki.

HAKIKAT ISTIGHFAR DAN TAUBAT
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan 
lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan.

أَسْتَغْفِرُ اللّّهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ

Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Tetapi kalimat-kalimat diatas tidak membekas di dalam hati, juga tidak 
berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat 
jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.

Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- 
telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.

Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : Dalam istilah syara', taubat adalah 
meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, 
berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang 
bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat 
taubatnya telah sempurna [1] 

Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : Para ulama berkata, 
'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu 
antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia 
maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. 
Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan 
untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak 
sah.

Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. 
Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak 
orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus 
mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia 
harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma'af kepadanya. 
Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf[2] 

Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah  
Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun [Nuh/71 : 10]

Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan 
semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon 
ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah 
pekerjaan para pendusta[3] 

DALIL SYAR’I BAHWA ISTIGHFAR DAN TAUBAT TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan 
taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Ta'ala. Dibawah ini 
beberapa nash dimaksud :

1. Apa Yang Disebutkan Allah Subhana Wa Ta'ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang 
Berkata Kepada Kaumnya.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا﴿١٠﴾يُرْسِلِ السَّمَاءَ 
عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا﴿١١﴾وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ 
جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesunguhnya 
Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan 
lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun 
dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. [Nuh/71 : 10-12]

Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan 
istighfar.

a. Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya :

إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

Sesungghuhnya Dia adalah Maha Pengampun.

b. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma 
berkata (مِدْرَارًا) adalah (hujan) yang turun dengan deras.[4] 

c. Allah akan membanyakan harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat 
(وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ ) Atha' berkata : Niscaya Allah akan 
membanyakkan harta dan anak-anak kalian [5] 

d. Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.

e. Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai.
Imam Al-Qurthubi berkata : Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam (surat 
Hud : 3 Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhamnu dan 
bertaubat kepada-Nya) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan 
salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan.[6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata : Maknanya, jika kalian 
bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa 
menta'atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air hujan 
serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, 
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk 

Re: [assunnah] Mohon info kajian di Bekasi

2013-06-01 Terurut Topik Abu 'Abdillah Muhammad
أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
INFO KAJIAN
Terbuka untuk Umum (Ikhwaan dan Akhowaat)

Tempat: Masjid Ash-Shohabah Komplek SDIT Baitul 'Ilmi , Jl. Boulevard
Raya.
Hari/Tgl : Ahad, 02 Juni 2013 Perum YAPEMAS INDAH Tambun Bekasi
Waktu : pkl. 09.00 bersama
Pemateri : أُسْتَاذُ.  DR Erwandi Tarmuzi. MA
Tema : Fiqih Shaum Ramadhan.
Cp 081287754033• CP 021 71386776

Semoga اَللّهُ سبحانه وتعالى  memudahkan langkah kita utk menuntut ilmu syar'i 
... آمــين يا رب العالمين

Sebagaimana sabda Nɑbĭ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
Barangsiapa yang  menempuh suatu jalan utk menuntut ilmu, maka اَللّهُ
mudahkan jalannya menuju Surga.
(HR. Ahmad V/196, Abu Dawud no.3641, Tirmidzi no.2682)


On Friday, May 31, 2013,  t_cahy...@yahoo.com wrote:
 Assalamualaikum.
 Mohon info kajian di Bekasi, barangkali ada yang tahu.
 Syukron.
 Powered by Telkomsel BlackBerry®

 




Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
assunnah-dig...@yahoogroups.com 
assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[assunnah] Adab-Adab Pada Hari Jum’at

2013-05-30 Terurut Topik Abu Abdillah
ADAB-ADAB PADA HARI JUM'AT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/612/slash/0/adab-adab-pada-hari-jumat/

 


D. Adab-Adab Pada Hari Jum’at
1. Disunnahkan bagi orang yang hendak menghadiri shalat Jum’at agar mengamalkan 
beberapa hadits berikut ini:

Dari Salman al-Farisi, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنَ 
الطُّهْرِ، وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ 
يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، 
ثُمَّ يَنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ 
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.

Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci dengan 
sebaik-baiknya. Setelah itu berminyak rambut atau memakai wangi-wangian dari 
rumahnya. Kemudian keluar (menuju masjid), tidak memisahkan antara dua orang, 
lalu shalat sunnah semampunya. Lantas diam ketika imam berkhutbah, melainkan 
diampuni dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain. [1]

Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, Barangsiapa mandi pada hari 
Jum’at, mengenakan baju terbaiknya, dan mengenakan minyak wangi, jika ada. 
Kemudian menghadiri shalat Jum’at dan tidak melangkahi orang-orang. Setelah itu 
shalat semampunya lantas diam ketika imam keluar hingga selesai shalat. Maka 
itu semua adalah penghapus dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya. [2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ 
الْمَسْجِدِ مَلاَئِكَةٌ يَكْتُبُوْنَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ مَنَازِلِهِمُ 
اْلأَوَّلُ فَاْلأَوَّلِ، فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوُوا الصُّحُفَ وَجَاؤُوْا 
يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ، وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِيْ يُهْدِي 
بَدَنَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي بَقَرَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي 
الْكَبْشَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الدَّجَاجَةَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي 
الْبَيْضَةَ.

Jika hari Jum’at tiba, maka sepada tiap pintu-pintu masjid terdapat para 
Malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang 
pertama mendapat kedudukan pertama. Jika imam duduk, maka mereka menutup lembar 
catatan dan masuk untuk mendengar dzikir (khutbah). Perumpamaan orang yang 
datang di awal waktu ibarat orang yang berkurban dengan unta. Setelah itu 
seperti orang yang berkurban dengan sapi. Kemudian seperti orang yang berkurban 
dengan domba. Lalu seperti orang yang berkurban dengan ayam. Berikutnya lagi 
seperti orang yang berkurban telur. [3]

2. Beberapa Dzikir Dan Do’a Yang Disunnahkan Pada Hari Jum’at:
a. Memperbanyak shalawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam

Dari Aus bin Aus, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلَ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، 
وَفِيْهِ قُبِضَ، وَفِيْهِ النَّفْخَةُ، وَفِيْهِ الصَّعِقَةُ، فَأَكْثِرُوْا 
عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ، 
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ تُعْرِضُ عَلَيْكَ صَلاَتَنَا وَقَدْ 
أَرَمْتَ؟ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ k حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ 
أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ.

Sesungguhnya seutama-utama hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam 
diciptakan dan diwafatkan. Pada hari itu pula sangkakala (kedua) ditiup dan 
manusia dimatikan (tiupan sangkakala pertama.-ed.) pada hari itu perbanyaklah 
mengucap shalawat atasku. Karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku. 
Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepada 
engkau, padahal jasad engkau telah rusak? Beliau bersabda, Sesungguhnya Allah 
Azza wa Jalla mengharamkan bumi memakan (merusak) jasad para Nabi. [4]

b. Membaca surat al-Kahfi
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ النُّوْرُ 
مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ.

Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka terdapat cahaya yang 
meneranginya di antara dua Jum’at. [5]

c. Memperbanyak do’a sambil mengharap waktu yang mustajab
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
beliau bersabda:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اِثْنَتَـا عَشْرَةَ سَاعَةً، لاَ يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ 
مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ k شَيْئًا إِلاَّ اَتَاهُ إِيَّاهُ، فَالْتَمِسُوْهَا 
آخِرَ سَـاعَةٍ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ.

Hari Jum’at terdiri dari dua belas waktu. Tidak ada seorang hamba muslim pun 
yang saat itu meminta pada Allah melainkan Allah mengabulkannya. Carilah ia 
(waktu yang mustajab) di akhir waktu tersebut, yaitu setelah shalat 'Ashar. [6]

3. Shalat Jum’at di masjid jami'
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Dulu pada hari Jum’at 
orang-orang berbondong-bondong dari rumah-rumah mereka dan dataran tinggi...[7]

Dari az-Zuhri rahimahullah, Dahulu penduduk Dzul Hulaifah berkumpul 

[assunnah] Shalat Raghaib

2013-05-14 Terurut Topik Abu Abdillah
SHALAT RAGHAIB

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/3090/slash/0/shalat-raghaib/

Membicarakan tentang shalat Raghaib, tidak bisa dipisahkan dengan bulan Rajab. 
Karena, orang-orang yang mengamalkan shalat Raghaib, mereka melakukannya pada 
bulan Rajab. Sebagaimana kita ketahui, dahulu orang-orang Arab Jahiliyah 
memandang bulan Rajab ini memiliki arti penting dan keistimewaan dibandingkan 
dengan bulan-bulan lainnya, sehingga mereka memberi nama bulan tersebut dengan 
kata “rajab”. 

Rajab berasal dari kata :رَجَبَ الرجل رَجَبًا وَ رَجَبَهُ يَرْجُبُ رَجلْبًا 
رُجُوْبًا , maknanya menghormati dan mengagungkan. Sehingga bulan Rajab ini 
bermakna bulan yang agung.

Bulan Rajab memiliki 14 nama, yaitu Rajab, Al Asham, Al Ashab, Rajm, Al Harm, 
Al Muqim, Al Mu’alla, Manshal Al Asinnah, Manshal Al Aal, Al Mubri’ , Al 
Musyqisy, Syahru Al ‘Atirah dan Rajab Mudhar.

Bulan Rajab tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai salah satu dari empat 
yang menyandang sebagai bulan haram. Satupun tidak ada dalil yang sah, yang 
menunjukkan keutamaan dan pengkhususan bulan Rajab ini dengan melakukan amal 
ibadah tertentu. Namun, sangat disesalkan berkembang banyak kebid’ahan pada 
bulan ini, diantaranya bid’ah shalat Raghaib.

WAKTU PELAKSANAANNYA
Shalat Raghaib dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab diantara 
shalat Maghrib dan Isya’ didahului dengan puasa hari Kamis, yaitu pada Kamis 
pertama bulan Rajab.[1]

Ibnu Utsaimin berkata: “Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan 
Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum'at pertama antara Maghrib dan Isya', 
sebanyak 12 raka'at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar 
di dalam kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.” [2]

TATA CARANYA
Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh ulama sebagai hadits 
palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ : وَمَا 
مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ رَجَبٍ ثُمَّ 
يًُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ لَيْلَةَ 
الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ 
الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ 
مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ 
كَلِّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ 
عَلَيَّ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ 
الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ 
قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْفَعُ 
رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ 
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَسْجُدُ 
الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ الأُولَى ثُمَّ 
يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ 
تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ 
إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ 
الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ 
سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ 
قَبْرِهِ جَاءَ ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ 
وَلِسَانٍ ذَلِقٍ فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ 
شِدَّةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ 
وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ 
رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا ثَوَابُ 
الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ كَذَا جِئْتُ 
الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ أَرْفَعَ عَنْكَ 
وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ 
عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا

Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhon bulan umatku. Tidak ada 
seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian 
shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua 
belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali dan surat Al 
Qadr tiga kali, serta surat Al Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah 
setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka 
ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma 
shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi, kemudian sujud, lalu menyatakan 
dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, 
lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma 
ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan 
mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah 
hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasululloh bersabda,”Demi Dzat yang 
jiwaku 

[assunnah] Tanya link video surat al-fajr Syaikh Hani Ar-Rifai di insan TV

2013-05-06 Terurut Topik Abu 'Abdillah Muhammad
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Adakah ikhwah di sini yg mempunyai link video tsb yg bisa didownload? Ana
cari di youtube adanya yg terjemahan bahasa inggris dan tdk ada matan
arabnya. Ada yg terjemahan bahasa indonesia tp jg tidak ada matan arabnya..
ana cari yg seperti di insan TV tidak ada... syukran...

Jazakumullahu khairaa..

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abu 'Abdillah


[assunnah] Taklif Adalah Syarat Wajib Ibadah

2013-04-16 Terurut Topik Abu Abdillah
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Ketujuh :

التَّكْلِيْفُ وَهُوَ الْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ شَرْطٌ لِوُجُوْبِ الْعِبَادَاتِ , 
وَالتَّمْيِيْزُ شَرْطٌ لِصِحَّتِهَا إِلاَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَيَصِحَّانِ 
مِمَّنْ لَمْ يُمَيِّزْ , وَيُشْتَرَطُ مَعَ ذَلِكَ الرُّشْدُ لِلتَّصَرُّفَاتِ , 
وَالْمِلْكُ لِلتَّبَرُّعَاتِ

Taklîf - yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib beribadah 
(atas seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat sah ibadah, kecuali 
dalam ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila dilaksanakan oleh orang yang 
belum memasuki usia Tamyiiz. Selain syarat-syarat di atas, juga disyaratkan 
adanya sifat ar-rusyd [1] dalam penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan 
sifat kepemilikan untuk melakukan tabarru'.



Penjelasan Kaidah 
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah, 
baik ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad tasharruf 
(wewenang menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa dsb.) dan tabarru' 
(menyumbangkan harta, pent). 

Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, 
telah terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang bersifat wajib, 
dan pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban syari'at. 

Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha Santun dan 
Maha Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan mencapai usia dimana 
ia telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan sempurna, yaitu pada usia 
baligh, maka Allah Azza wa Jalla tidak membebankan beban-beban syariat 
kepadanya. Demikian pula, jika seseorang tidak memiliki akal (gila atau tidak 
sadar, red) – yang menjadi hakikat seorang insan-, maka ia lebih utama untuk 
tidak dikenai beban. Orang yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban 
melaksanakan ibadah apapun dan jika pun ia mengerjakannya, maka apa yang 
dilakukan tidak sah. Karena, ada diantara syarat-syarat dalam pelaksanaan 
ibadah yang tidak terpenuhi yaitu niat. Niat tidak mungkin terwujud dari orang 
yang tidak berakal. 

Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan keluarnya 
air mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur, atau jika telah 
genap berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu kasar di sekitar 
kemaluan. Ketiga tanda tersebut berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Dan 
khusus untuk perempuan ada satu tanda lagi yang menunjukkan dia telah baligh 
yaitu haid. Jika ia telah haid, berarti ia telah baligh. 

Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan memasuki 
fase tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah masuk fase tamyîz 
(berusia tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan 
ibadah-ibadah yang mampu ia kerjakan. Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus 
wajib atas dirinya, karena ia belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, 
namun ia belum juga mau rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya 
disyariatkan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka 
pendidikan (dan pembinaan), bukan dalam kerangka sedang mewajibkan. 

Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh anak-anak 
yang telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia telah bisa 
membedakan beberapa hal serta secara global bisa mengetahui mana yang 
bermanfaat dan mana yang berbahaya, berarti ia memiliki akal yang bisa ia pakai 
untuk merangkai niat dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan. 

Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya tidak 
sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang tidak berakal 
yang tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam ibadah haji dan umrah. 
Kedua ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan oleh anak yang belum mencapai 
usia tamyîz. Dalam sebuah hadits yang shahîh diterangkan : 

رَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًا فِي الْمَهْدِ , فَقَالَتْ : أَلِهَذَا حَجٌ 
؟ قَالَ : نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ 

Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah anak ini 
melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Boleh dan 
bagimu pahala. [2] 

Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan ibadah 
haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya yang 
meniatkannya untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara yang dilarang 
ketika ihram. Demikian pula, si wali harus membawa si anak untuk hadir di 
tempat-tempat manasik haji dan tempat-tempat masya'ir semuanya. Dan si wali 
mewakili si anak dalam mengerjakan manasik yang tidak mampu ia kerjakan seperti 
melempar jumrah.

Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang 
diperkecualikan. Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah wajib 
serta kaffârah adalah wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil, yang berakal 
ataupun orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan keumuman nash baik dari 
perkataan 

[assunnah] Tujuan Ziarah Kubur

2013-04-16 Terurut Topik Abu Abdillah
TUJUAN ZIARAH KUBUR DALAM KACA MATA SUFI

Oleh
Ustadz Abu Minhal
http://almanhaj.or.id/content/2571/slash/0/tujuan-ziarah-kubur-dalam-kaca-mata-sufi/

Di negeri ini, terutama di pulau Jawa, sudah jamak orang-orang melakukan ziarah 
ke makam Ulama (misal, Wali songo). Dengan koordinasi seseorang yang 
ditokohkan, merekapun berangkat menuju makam-makam itu. Jarak yang jauh dan 
persiapan bekal yang banyak, tidak menjadi soal bagi para peziarah. Sebab 
dengan 'perjalanan spiritual' ini akan banyak manfaat yang dapat mereka 
peroleh. Sebelum berangkat, para peziarah ini mempunyai tujuan tertentu. Mereka 
berharap semua tujuannya tercapai setelah menjalani perjalanan spiritual ke 
makam-makam orang yang dianggap wali atau makam Ulama karismatis, tidak peduli 
siapa dia. Inilah cuplikan apa yang terjadi di sekitar kita. Apakah yang 
seperti ini dibenarkan oleh syariat Islam?. 

HIKMAH ZIARAH KUBUR MENURUT SYARIAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ziarah kubur bukan hal terlarang. Hukumnya mustahab (dianjurkan). Di awal 
perjalanan Islam, perbuatan ini memang dilarang untuk menutup akses menuju 
syirik. Ketika tauhid telah mapan di hati para Sahabat, ziarah kubur diizinkan 
kembali dengan tata cara yang disyariatkan. Artinya, siapa saja yang berziarah 
dengan cara-cara yang disyariatkan, maka ia tidak diizinkan untuk berziarah. 
[Ighâtsatul Lahafân 1/313]

Pengagungan manusia dan perbuatan syirik di mana pun bertentangan dengan Islam 
yang berlandaskan tauhid. Begitu pula dalam ibadah yang bernama ziarah kubur 
ini. Syariat telah menentukan hikmah dari anjuran berziarah kubur, yaitu: 

1. Mengingatkan hamba kepada akhirat dan memberi pelajaran berharga baginya 
akan kehancuran dunia dan kefanaannya. Sehingga jika ia kembali dari makam, 
timbul rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla yang bertambah, dan kemudian 
memikirkan akhirat dan beramal untuk itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda: 

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا 
تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ 

Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, kunjungilah karena 
mengingatkan kalian kepada akhirat [HR. Muslim, an-Nasâi, dan Ahmad] 

2. Mendoakan kebaikan bagi mayit dan memohonkan ampunan bagi mereka. Ini 
merupakan bentuk perbuatan baik orang yang masih hidup kepada orang yang telah 
mati. Amalannya telah putus begitu ia menghembuskan nafas terakhirnya 
meninggalkan dunia menuju akhirat. Oleh sebab itu, ia sangat membutuhkan 
orang-orang yang berbaik hati mau mendoakan kebaikan dan ampunan baginya, serta 
menjadikannya penghuni surga. 

Secara eksplisit, doa yang dilantunkan peziarah kubur sebelum memasuki makam 
menjadi dasar hikmah kedua ini. Ditambah dengan riwayat bahwa ‘Aisyah 
Radhiyallahu anhuma menceritakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang 
pergi di malam hari ke (kompleks makam) Baqi'. 'Aisyah Radhiyallahu anhuma 
menanyakan alasan kepergian beliau. Beliau n menjawab: 

إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ 

Aku diperintah untuk mendoakan mereka [1] 

3. Pada tata cara berziarah, bagi yang mengikuti petunjuk Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia telah berbuat baik kepada dirinya 
sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang melakukan perbuatan macam-macam dalam 
berziarah, mereka telah menjerumuskan diri ke dalam jurang kesesatan. 

Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan hikmah ketiga ini dengan mengatakan: 
(Hikmah ziarah kubur) pengunjung berbuat baik kepada dirinya sendiri dengan 
mengikuti petunjuk Sunnah dan melangkah sesuai dengan ketentuan aturan yang 
disyariatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, ia telah berbuat 
baik kepada diri sendiri dan orang (penghuni kubur) yang ia kunjungi.[2] 

Hikmah ini banyak dilupakan oleh para penulis tentang masalah ziarah kubur. 
Sebagaimana dalam setiap pelaksanaan ta'abbud mesti berlandaskan petunjuk 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , demikian pula dalam pelaksanaan 
ziarah kubur. Di masa kini, panduan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
mengenai ziarah kubur telah terabaikan. Akibatnya, di kebanyakan negeri Islam, 
kuburan telah beralih fungsi menjadi sumber praktek syirik dan maksiat 
lainnya.[3] 

ZIARAH KUBUR ALA SUFI
Ibnul Hâj, seorang tokoh Sufi menjelaskan mekanisme ziarah kubur versi mereka 
yang jelas-jelas bertentangan dengan risâlah yang dibawa Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam . As-Sya'râni memasukkan nama Ibnul Hâj dalam kitab Thabaqât 
Shûfiyah al-Kubra dalam al-Madkhal, (Saat berziarah kubur) hendaknya peziarah 
mendoakan mayit, juga berdoa di sisi kubur saat muncul persoalan sulit yang 
menimpa dirinya atau kaum Muslimin. Jika penghuni kubur termasuk orang yang 
diharapkan keberkahannya, maka peziarah bertawassul kepada Allah Azza wa Jalla 
dengannya….kemudian bertawasul dengan para penghuni kubur dari kalangan 
orang-orang shaleh dari mereka untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya dan 
mengampuni dosa-dosanya. Lantas baru berdoa bagi kebaikan dirinya, kedua 

[assunnah] Pelaksanaan Kewajiban Terkait Dengan Kemampuan

2013-04-11 Terurut Topik Abu Abdillah
QAWA'ID FIQHIYAH 
Kaidah Keempat :

الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ , فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ , 
وَلاَ مُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ 

Pelaksanaan Kewajiban Terkait Dengan Kemampuan, Kewajiban Melaksanakan Sesuatu 
Menjadi Gugur Jika Tidak Mampu Melaksanakannya, Suatu Yang Dilarang 
(Diharamkan) Menjadi Boleh Saat Kondisi Darurat.


Di antara dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala : 

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [At Thaghabuun/64 : 
16]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah sesuai 
kemampuan kalian.[1] 

Kaidah ini mencakup dua kaidah turunan :
Kaidah pertama : Gugurnya keharusan untuk melaksanakan kewajiban jika seseorang 
tidak mampu melaksanakannya. 

Kaidah kedua : Halalnya sesuatu yang haram ketika seseorang berada dalam 
keadaan darurat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah 
menyebutkan tentang haramnya bangkai, darah, dan yang selainnya : 

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ 
غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, 
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al Maaidah/5 :3]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ;

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ 
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama 
Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan 
kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu 
memakannya. [al An'aam/6 :119]

Ayat ini dengan tegas menjelaskan tentang bolehnya memakan makanan yang haram 
dikarenakan keadaan yang darurat. Hanya saja perlu dipahami bahwa pembolehan 
ini hanya sebatas keperluan saja. Jika telah hilang keadaan darurat tersebut 
maka wajib baginya untuk berhenti memakannya.

Berkaitan dengan kaidah pertama dalam pembahasan ini, terapannya terdapat dalam 
beberapa kasus berikut: 

1. Orang yang tidak mampu memenuhi sebagian syarat-syarat atau 
kewajiban-kewajiban dalam shalat, maka hal tersebut tidaklah wajib untuk 
dipenuhi dan ia melaksanakan shalat sesuai dengan kadar kemampuannya. 

2. Orang yang tidak mampu mengerjakan puasa dikarenakan sakit yang 
terus-menerus dan tidak diharapkan lagi kesembuhnya, atau orang yang sudah tua 
renta, demikian pula orang yang sedang safar, maka mereka diperbolehkan untuk 
tidak berpuasa, dan jika kemudian udzurnya tersebut hilang, maka mereka 
mengqadha' puasa sebanyak hari yang ia tinggalkan tersebut. 

3. Orang yang tidak mampu mengerjakan haji dikarenakan suatu udzur, sedangkan 
ada kemungkinan udzurnya tersebut akan hilang dalam beberapa kemudian, maka ia 
bersabar menunggu sampai hilangnya udzur itu. Namun, jika hilangnya udzur 
tersebut tidak bisa diharapkan lagi, maka diperbolehkan baginya untuk 
memerintahkan seseorang untuk menghajikannya.

Berkaitan dengan kaidah kedua ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى 
الْمَرِيضِ حَرَجٌ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak 
(pula) bagi orang sakit. [an Nur/24 : 61]

Ayat ini berkaitan dengan diberikannya keringanan bagi orang-orang yang buta, 
pincang, atau sakit dalam ibadah-ibadah yang pelaksanaannya bergantung dengan 
keberaadaan penglihatan, kesehatan badan, dan kesempurnaan anggora badan, 
seperti jihad dan semisalnya. 

Dari sini dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan kewajiban disyaratkan adanya 
kemampuan. Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakannya maka Allah Subhanahu wa 
Ta’ala tidak membebankan kepadanya sesuatu yang tidak ia mampui Demikian pula 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ 
فَبِلِسَانِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ 
اْلإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia 
mengingkari itu dengan tangannya, jika tidak mampu maka ingkarilah dengan 
lisannya, dan jika tidak mampu maka ingkarilah dengan hatinya, dan itu adalah 
serendah-rendah keimanan. [2] 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menjelaskan kewajiban seorang suami 
untuk memberi nafkah berupa pakaian dan semisalnya kepada keluarganya : 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ 
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا 
آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang 
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah 
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban 

[assunnah] Syari'at Berdiri Diatas Dua Hal : Ikhlas Meneladani Rasul

2013-04-11 Terurut Topik Abu Abdillah
QAWA'ID FIQHIYAH 
Kaidah Kelima :

الشَّرِيْعَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ : الإِخْلاَصُ لِلْمَعْبُوْدِ 
وَالْمُتَابَعَةُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Syari'at Berdiri Di Atas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala 
Dan Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam


Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan 
lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan 
bathiniyah, seperti amalan hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan 
keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].

Kata الدِّينَ dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, bahwa makna الدِّينَ adalah rukun Islam 
yang lima, rukun iman yang enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1] 

Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya 
untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, 
ridha-Nya, dan pahala dari-Nya.

Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari 
Al-Qur`ân dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya 
bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat 
diterimanya amal ibadah tersebut dalam firman-Nya: 

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan 
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].

Dalam ayat tersebut, pengertian أَسْلَمَ وَجْهَهُ adalah mengikhlaskan 
amalan-amalan yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah hanya untuk Allah 
Subhanahu wa Ta’ala . Dan yang dimaksud dengan وَهُوَ مُحْسِنٌ , adalah ia 
berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam 
amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.

Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua 
sifat tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, 
maka amalan tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu 
(bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang 
yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ 
وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ 
فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ 
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ 

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari 
keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang 
terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu 
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka 
hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. 
[al-Baqarah/2:265].

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika 
menjelaskan tentang hijrah yang termasuk amalan utama:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ 
وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ 
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . 

Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan 
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang 
siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang 
ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia 
niatkan.[2] 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang 
yang berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme 
kesukuan, dan karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara 
mereka yang berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ

Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka 
dia lah yang berperang di jalan Allah. [3] 

Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan 
diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia 
adalah seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan 
selain hal itu, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan 

[assunnah] Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Kemudahan

2013-04-09 Terurut Topik Abu Abdillah
QAWA'ID FIQHIYAH 
Kaidah Ketiga :

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan


Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, 
seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari'at merupakan wujud dari 
kaidah ini. 

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. 
[al-Baqarah/2:185].

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. 
[al-Baqarah/2:286].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. 
[al-Hajj/22:78].

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16]. 

Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan 
seluruh syari'at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, 
terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 
semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun. 

Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan 
amalan-amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun 
Islam. Salah satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan 
amaliah yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, 
hanya memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. 
Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini 
dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya 
dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib 
dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. 
Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan 
sebab yang melatarbelakanginya. 

Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa 
Ta’ala juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan 
semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan 
disyariatkannya berjama'ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan shalat 
hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara 
bersama-sama pada bulan Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan 
bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.

Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama'ah akan lebih 
meringankan pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih 
mendorong untuk saling berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah 
Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan 
ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala 
di dunia maupun di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah 
k merupakan pendorong terbesar dalam melaksanakan amal kebaikaan dan 
meninggalkan kejelekan. 

Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai 
udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan 
hukum-hukum syari'at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan 
keringanan sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak 
jelas dalam beberapa contoh berikut.

1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan 
shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan 
duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku' dan 
sujud. 

2. Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika 
tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan 
melaksanakan tayammum. 

3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan 
untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama' dan mengqashar shalat, serta 
diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci kaki 
dalam wudhu`. 

4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat 
mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam 
keadaan sehat dan tidak bepergian. 

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam 
syari'at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata 
dapat diketahui dari contoh-contoh berikut ini. 

1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan 
tidak harus mencucinya. 

2. Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai 
pengganti dari istinja' (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai 
adanya air. 

3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa 
membedakaan benda-benda di sekelilingnya. 

4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا 

[assunnah] Tidaklah Memerintahkan Sesuatu Kecuali Maslahat

2013-04-08 Terurut Topik Abu Abdillah
QAWA'ID FIQHIYAH 
Kaidah Pertama :

الشَّارِعُ لاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ 
وَلاَ يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ

Allah Subhanahu wa Ta’ala Dan Rasul-Nya, Tidaklah Memerintahkan Sesuatu Kecuali 
Yang Murni Mendatangkan Maslahat Atau Maslahatnya Dominan. Dan Tidaklah 
Melarang Sesuatu Kecuali Perkara Yang Benar-Benar Rusak Atau Kerusakannya 
Dominan.


Kaidah ini mencakup seluruh syari'at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum 
syari'at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun 
cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa 
Ta’alamaupun yang berhubungan dengan hak para hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ 
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ 
تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi 
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan 
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil 
pelajaran. [an-Nahl/16:90]. 

Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin 
silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allah 
Azza wa Jalla dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan 
kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allah Subahnahu wa Ta’ala, juga 
kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan 
mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan 
perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, memperhatikan kebaikan dan 
manfaatnya lalu melaksanakannya. Allah Azza wa Jalla juga mengingatkan agar 
memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Allah 
Subhanahu wa Ta’ala tersebut, lalu menjauhinya. 

Demikian pula firman Allah Azza wa Jalla : 

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ ۖ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ 
وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Katakanlah: Rabbku menyuruh menjalankan keadilan. Dan (katakanlah): 
Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan 
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. [al-A'râf/7:29]. 

Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allah Subhanahu wa 
Ta’ala, dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat 
selanjutnya menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan 
memperingatkan akan kejelekannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ 
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ 
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak 
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan 
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah 
tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap 
Allah apa yang tidak kamu ketahui.[al-A'râf/7:33]. 

Dalam ayat yang lain, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar 
bersuci sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا 
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ 
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ 
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ 
الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا 
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka 
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) 
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan 
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air 
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka 
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu 
dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu 
thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika 
tidak ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu. 
Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ 
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan 
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5 : 6]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa 
perintah-perintah-Nya termasuk jajaran kenikmatan terbesar 

  1   2   3   4   5   6   7   8   9   >