[R@ntau-Net] Malin Kundang, Malin Kondang
Malin Kundang, Mualim Kondang Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau terdekat dari Luhak Nan Tigo. Kawasan Lembah Anai, misalnya, adalah perbatasan antara Darek dengan Rantau dalam cerita-cerita tambo. Sehingga muncul istilah, ikue darek, kapalo rantau. Kalaupun kini mobil bebas lalu lalang setiap hari, tidak demikian di zaman saisuak. Buktinya, terdapat Bukit Tambun Tulang di sekitar Lembah Anai, yakni kawasan tempat para parewa dan pandeka mempertaruhkan nyawa sebelum memasuki kawasan paling rimba dari bumi Pariaman. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada perguruan tinggi yang membawa nama ini, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syech Burhanuddin. Selain itu ada juga Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sumatera Barat. Keduanya terletak di Kota Pariaman. Keberadaan nama Syech Burhanuddin itulah yang menempatkan image bahwa masyarakat Pariaman adalah masyarakat relegius, terutama dikaitkan dengan tarekat Syattariyah. Di masa kecil, saya sering mendengar pembicaraan soal tarekat demi tarekat ini. Tidak jarang orang-orang di Pariaman menuntut ilmu (mengaji) ke tempat-tempat lain. Perdebatan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT berlangsung di banyak surau, terutama setelah semua orang tidur. Karena saya tinggal di Kampuang Tangah, Lansano, Sikucur Selatan, tentu ada perasaan bahwa orang yang tinggal di Pariaman jauh lebih maju dari kami. Kemajuan itu dilihat dari peralatan yang dimiliki dan dipakai, seperti kendaraan, telepon, sampai televisi. Saya semakin mengenal Kota Pariaman ketika masuk SMA 2 Pariaman (1988-1991). Sama sekali tidak ada perasaan minder dari sisi ilmu pengetahuan, selain saya berasal dari keluarga berkekurangan. Jarang saya memiliki baju yang layak untuk dipakai dalam kegiatan non sekolah. Saya memasak sendiri di rumah kos, bersama Sahrul Chaniago, sesama jurusan Fisika yang kini jadi sahabat saya. Pagi ke pasar membeli kentang dan ikan asin, lalu memasaknya. Sepatu hanya satu, itupun sobek dengan merk Dragon Fly. Di akhir pekan saya kembali ke Kampuang Tangah, Kecamatan V Koto Kampuang Dalam. Terkadang, sungai banjir, sehingga terpaksa menunggu air surut selama berjam-jam. Tidak ada jembatan penyeberangan. Kalaupun ada ban bekas, itupun yang memiliki tidak banyak orang. Kampung ibu saya memang baru dimasuki listrik pada tahun 2002 lalu, kemudian memiliki jembatan gantung tahun 2008. Alhamdulillah, sekarang sudah ada jembatan permanen, dibangun atas bantuan Kerajaan Oman pasca gempa bumi hebat 2009. *** Studi etnografis dan antropologis bisa saja membawa kita kepada mitos yang negatif. Salah satunya adalah sosok yang bernama Malin Kundang. Yang namanya mitos, hampir tidak ada yang bisa menyebutkan angka tahun kemunculan tokoh ini. Yang anak-anak tahu – dan kini anak-anak itu sudah berkepala empat juga seperti generasi saya – adalah Malin Kundang Anak Durhaka. Emaknya seorang pencari kayu api. Zaman pencari kayu api belum berakhir sampai kini, terutama di daerah pegunungan. Yang mungkin makin sulit adalah mencari emak-emak yang mencari kayu api di area pesisir. Dari kisahnya, orang-orang tahu – bahkan hingga Mama Dedeh dalam satu acara televisi – betapa Malin Kundang adalah anak yang sama sekali lupa akan ibunya yang miskin dan berkain buruk. Ia datang dengan wajah bak pangeran ke kampung halaman, dengan membawa seroang istri yang cantik, kapal besar, makanan enak, hingga intan permata dan kain sutra. Ia adalah seorang pedagang yang berhasil. Keberhasilannya itulah yang membuat ayah mertuanya membekalinya dengan kapal besar untuk kembali ke kampung halamannya. Padahal, ketika memutuskan untuk menjadi anak kapal di usia mudanya, ia perlu membeli baju sederhana dari hasil berjualan kayu emaknya. Emaknya tak tahan melihat anaknya begitu ingin bepergian dengan kapal besar, merantau ke negeri orang. Ia bisa menyelinap ke dalam kapal. Hampir tak pernah ada kisah antara ia pergi dan ia pulang itu. Bagaimana nasibnya di kapal? Kenapa ia bisa tiba-tiba saja menjadi begitu kaya-raya di zaman yang sudah masuk berkemajuan? Ia juga bukan seorang ahli silat ataupun parewa yang memiliki tubuh tahan panas dan api. Ia pekerja biasa yang bermodalkan kejujuran dan kecekatan. Tak mungkin pula ia “membunuh” seseorang, hingga bisa menjadi orang nomor satu di kapal, yakni menjadi Nahkoda. Yang orang tahu, Malin Kundang jadi batu, ketika terlalu dekat dengan laut dan menjadi saudagar muda yang
Re: [R@ntau-Net] DPRD Kota Padang Setuju Pembangunan RS Siloam.
Sebaiknya tidak memotong-motong kalimat orang. Karena bisa salah mengartikan. Dalam sejarah kolonialisme, dikenal sebutan 3G: God, Gospel, Glory. Missie dan Zending adalah salah satu bentuknya. Dalam ekonomi juga. In God We Trust tercantum dalam uang Dollar. Masing2 penganut agama, baik Islam atau Kristen, dll, selalu berusaha mendakwahkan agamanya sebagai yang terbaik. Penjelasan Ajo Duta menurut saya dalam konteks itu. Siapapun paham bahwa Islam tidak sama dengan Kristen. Orang awam sekalipun. Wassalam -IJP- 41 Tahun Sent from my iPad On 14 Nov 2013, at 15.22, Syafrudin ME syafrudin...@sanmina.com wrote: Kristen tu sama jo Islam. Agamo mission atau dakwah. (Ajo Duta) Na'udzubillahi min dzalik... Ambo yo sangaik takajuik pulo apo nan di komentar dek mak duta ko,Sajak pabilo pulo Kristen samo jo Islam? Allahu Akbar syafrudin ben, Batamindo Industrilal Estate, Batam,Indonesia 2013/11/14 Muchwardi Muchtar muchwa...@rantaunet.org facebook Like Deklarasi Muharram 1435 H on Facebook Hillary Lenggo-Geni invited you to like her new Page Deklarasi Muharram 1435 H. Like Page View Page This is Spam -- Pesan terusan -- Dari: st. eF Al Zain Sikumbang efmuhan...@gmail.com Tanggal: 14 November 2013 14.03 Subjek: Re: [R@ntau-Net] DPRD Kota Padang Setuju Pembangunan RS Siloam. Kepada: rantaunet@googlegroups.com rantaunet@googlegroups.com Alhamdulillah... dalam rapat kilat antara MUI Sumbar, LKAAM Sumbar, LKAAM Kota Padang dan Bundo Kanduang, kami tetap teguh pada pendirian yaitu Menolak Walaupun Apo Rintangan Nan Manghadang, Tabujua Lalu Tabalintang Patah, Patah Sayok Batungkek Paruah. Semoga ini menjadi ketegaran bagi kita semua untuk bergerak maju. Allahu Akbar !!! ko ambo ambiak dari FB Buya Gusrizal Gazahar https://www.facebook.com/buyagusrizal.gazahar.1 wassalam, st. eF Al Zain Sikumbang Kuala Lumpur Pada 14 November 2013 14.33, Dr. Saafroedin Bahar. saafroedin.ba...@rantaunet.org menulis: Sanak sekalian, jadi apo nan bisa dipabuek lai koha ? Keputusan Walikota Padang alah, DPRD Kota Padang setuju. Gubernur ( jo DPRD Sumbar? ) hanap-hanap sajo. Wassalam, SB, 77, Jkt. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
Re: Bls: Re: [R@ntau-Net] IJP : Namanya Universitas Piaman
Akademi Perikanan rencananyo ka dibangun di Tiram. Tapi alun jaleh bana di ambo. Universitas Piaman tujuannyo menyeimbangkan Sumbar I jo Sumbar II. Biar bisa menjangkau sejumlah daerah di Sumbar, Sumut, Riau dan Jambi... Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: andi.j...@gmail.com andi.j...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Monday, August 5, 2013 2:16 PM Subject: Re: Bls: Re: [R@ntau-Net] IJP : Namanya Universitas Piaman Da Syaf Al Sasuai nan diinfokan masalah Univ dan kebijkan pemerintah tu... Paling tidak kalopun indak Univ manuruik ambo Akademi (D3) semacam politeknik itu di kota Pariaman Spesialiskan bana manuruik ambo sesuai jo daerah pariaman di bidang Perikanan akademi ko..nan batu2 mentereng serta berkualitas hal2 nan manyangkuik studi di bidang perikanan dengan berbagai jurusan/disiplin ilmunyo Jujur..adiak ambo S1 perikanan IPB (cewe) nan lai idealis..(Padohal dulu adiak ambo ko bakarajo secara profesional di sebuah tambak udang di lampung nan cukuik terkenal di bagian riset) baranti lalu mambuek sakolah SMK perikanan di Padang jo kawan2nyo..hanyo kareh hati sajo..dengan dana terbatasyo layu sabalun berkembang sajo..indak ado support dari pemda Kota Padang dan pihak otoritas..akhirnyo bubar sajo Kini adiak ambo baliak ka Jawa (kendal) mengelola sebuah pertambakan udang basamo2 masayarakat jo ado pihak investor. Jadi alangkahnya nantinyo kok yo IJP ko duduak..bisa mewujudkan sebuah akedemi/politeknik perikanan yang berkualitas, penuh teknologi terapan yang bernilai guna serta menyentuh masyarakat banyak (nelayan) dari segela aspek dunia perikanan. Insha Allah jiko terwujud suatu saat nanti..panjang umua..adiak ambo tu..Penuh gairah tu jadi pengajar, tenaga pendidik sesuai disiplin ilmunya budi daya perikanan...namuah hatinyo pulang baliak. Semoga ya terwujud di kota pariaman sebuah akademi perikanan Salam-Jepe Powered by Telkomsel BlackBerry® -Original Message- From: rinal...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Mon, 5 Aug 2013 05:50:21 To: rantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: Bls: Re: [R@ntau-Net] IJP : Namanya Universitas Piaman Rancak pak IJP.. Sasuai bana, dibuek Universitas disuatu daerah untuak mamajuan SDMnyo. Tapi kok buliah usul ciek dih.. Jan Universitas Piaman Laweh namo e ndak. Jadi minder beko mahasiswa/i e wakatu manyingkek e... Sangenek garah disuduik lapau Rinal SK, 39 asa Nagari Guguak, Piaman, kini sadang di Ujuang Batu Powered by Amak jo Abak® -Original Message- From: andri.ma...@gmail.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Mon, 5 Aug 2013 03:51:40 To: rantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: Bls: Re: [R@ntau-Net] IJP : Namanya Universitas Piaman Menurut informasi Pak Bupati Padang Pariaman, Akademi Komunitas tu terletak di Kab. Padang Pariaman pak Syaff. Lokasinyo di Sungai Sirah Kecamatan Sungai Limau. Tahun ko alah manarimo mahasiswa. Utk sementara perkuliahan memakai gedung TK/SD Model di Limpato Kecamatan VII Koto. Tahun 2014 akan dimulai pembangunan gedungnyo di Sungai Sirah. Demikian sekilas info dari ambo Andri/41/Sungai Sariak, Kec. VII Koto, Kab. Padang Pariaman Powered by Telkomsel BlackBerry® -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. *
[R@ntau-Net] IJP : Namanya Universitas Piaman
http://www.pariamantoday.com/2013/08/ijp-namanya-universitas-piaman.html#.Uf6DssaJSRE.twitter IJP : Namanya Universitas Piaman Written By oyong liza on Minggu, 04 Agustus 2013 | 23.38 MK Dan IJP Indra Jaya Piliang (IJP) dengan tegas mengatakan bahwa sangat Rasional sekali Kota Pariaman memiliki sebuah Universitas. Syarat Untuk mendirikan sebuah Universitas, minimal memiliki Tiga Fakultas. Kota Pariaman sudah saatnya memiliki. Gedungnya sudah ada. Yaitu Kantor Bupati lama. Ujar IJP barusan di Kantor Nangkodo Baha Institute, Simpang Sianik, Kota Pariaman. IJP Menambahkan hal tersebut telah lama ia bicarakan jauh hari dengan Bupati Ali Mukhni, Bupati Padang Pariaman. Sejak IKK (Ibu Kota Kabupaten) Pindah ke Parit Malintang. Saya Pribadi sudah bicara empat Mata dengan Bupati Ali Mukhni. Komplek Perkantoran Bupati di Pusat Kota Pariaman yang di tinggalkan bisa dijadikan Universitas. Namanya Universitas Piaman. Dan Bupati menyambut baik hal ini. Ungkap IJP. Karena aset tersebut milik Pemkab Padang Pariaman, Jika IJP-JOSS terpilih memimpin Kota Pariaman, akan kita Kelola dengan sebuah Manajemen. dengan berdirinya Universitas tersebut, selain Pembangunan Sumber Daya Manusia dari sektor Pendidikan, juga akan meramaikan Kota Pariaman. Jika Kota Pariaman Ramai, pertumbuhan Ekonomi meningkat. Itu sistematis. rinci IJP menjabarkan. Disamping itu IJP juga akan mengelola bangunan milik Pemkab Padang Pariaman yang ada di Kota Pariaman lainnya. Gedung Olah Raga Rawang terbengkalai. Meskipun aset Pemkab, Pemko bisa mengelola, bukan mengambil alih, kemudian Pariaman Plaza, GOR Pauh. Kita, IJP-JOSS Sudah menyiapkan program terencana untuk itu. Imbuh IJP meyakinkan. Kemudian IJP mengatakan sudah mengantongi dukungan dari Muslim Kasim, Mantan Bupati Padang Pariaman yang sekarang menjabat Wakil Gubernur Sumbar. Saya sudah silaturahmi dengan Bapak Muslim Kasim (MK). Beliau mengatakan sangat mendukung Pasangan IJP-JOSS. Beliau memberikan saran untuk Program Kota Pariaman kedepan. Kemudian MK juga mendorong kami agar terus meyakinkan Masyarakat Kota Pariaman, karena waktu Pemilihan sudah dekat. Kejutan Dari MK yang tidak saya duga adalah, pada hari itu juga Beliau menghubungi Orang Orang dekatnya untuk mendukung Pasangan IJP-JOSS. Artinya MK menyiapkan Tim Relawan Pemenangan untuk Pasangan IJP-JOSS Bahasa tepatnya. Tandas IJP serius. Catatan Oyong Liza Piliang -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
[R@ntau-Net] Tabloid Nangkodo Baru Edisi Maret, April dan Mei 2013
Bagi yang ingin mendowload Tabloid Nangkodo Baru yang merupakan tabloid dengan cita rasa lokal dengan nuansa hidtoris, kultural dan local values yang kuat, dilakan mendowload PDF-nya di link berikut ini: 1. Edisi Mei : http://www.nangkodobaha.org/index.php/publikasi/item/103-tabloid-nangkodo-baru-edisi-mei-2013 2. Edisi April : http://www.nangkodobaha.org/index.php/publikasi/item/102-nangkodo-baru-edisi-april-2013 3. Edisi Maret : http://www.nangkodobaha.org/index.php/publikasi/item/104-tabloid-nangkodo-baru-edisi-maret-2013 Salam Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/ - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Re: [R@ntau-Net] Tigo Proyek Bagadang di Padang
Insya Allah, Kota Pariaman akan mengambil jalan berbeda. Kota Pariaman siap menjadi Kota Satelite dari Kota Padang, dg visi sebagai berikut: http://m.indrapiliang.com/2013/05/15/visi-misi-ijp-joss/ Wassalam Sent from my iPad On 18 Mei 2013, at 20:49, Hambo Ciek hamboc...@yahoo.com wrote: Di antaro banyak RENCANA proyek pambangunan ado tigo baru-baru ko sarantak nan ka bagadang di Padang: 1. Proyek Tommy Soeharto, 2. Proyek Lippo, 3. Proyek Basko. Caliaklah tigo barita dibawah ko. Salam, -- MakNgah Sjamsir Sjarif Di Tapi Riak nan Badabaua Santa Cruz,Caliifornia May 18, 2013 6:45AM PDT ... PROYEK I: Tommy Soeharto Investasi di Padang Padang Ekspres • Jumat, 18/01/2013 11:53 WIB • • 701 klik Padang, Padek—Prospek bisnis di Kota Padang masih menggiurkan. Buktinya, kemarin (17/1) pengusaha nasional Hutomo Mandala Putra tertarik menanamkan investasi di bidang properti dan perhotelan di kawasan Pantai Pasir Jambak, Kototangah, Padang. “Saya tertarik membangun hotel dan usaha properti lainnya di kawasan ini,” ujar anak mantan Presiden RI Soeharto itu usai mengunjungi Muara Batang Anai, Pasir Jambak ditemani Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, kemarin (17/1). Tommy—panggilan Hutomo Mandala Putra—yang datang dengan pesawat pribadinya itu menjelaskan, pihaknya meminta Pemko Padang membuat perencanaan matang sebelum merealisasikan proyeknya tersebut. “Saya minta perencanaan lebih detail ke Pemko Padang. Saya ingin secepatnya bisa dilaksanakan,” ujarnya. dst lihat: http://padangekspres.co.id/?news=beritaid=39539 PROYEK II: Lippo Bangun Mal, Hotel, RS dan Sekolah di Padang 4 PT Lippo Karawaci - (Foto : istimewa) Oleh: Haluan Padang sindikasi - Sabtu, 11 Mei 2013 | 03:00 WIB INILAH.COM, Padang - PT Lippo Karawaci membangun proyek prestisius berupa kawasan yang teritegrasi di Kota Padang. Proyek yang diberi nama Lippo Plaza itu terdiri dari mal, hotel, rumah sakit dan sekolah. Lokasinya sangat strategis berada pada titik keramaian dan sesak penduduk di Jalan Khatib Sulaiman. Peletakan batu pertama dilakukan, Jumat (10/5/2013) kemarin oleh Ketua DPD RI Irman Gusman. Presiden Direktur PT Lippo Karawaci Ketut Budi Wijaya mengatakan Lippo Plaza diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup modern masyarakat Padang dan Sumatera Barat pada umumnya. Presiden Direktur PT Lippo Karawaci Ketut Budi Wijaya mengatakan Lippo Plaza diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup modern masyarakat Padang dan Sumatera Barat pada umumnya. dst lihat: http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1987884/lippo-bangun-mal-hotel-rs-dan-sekolah-di-padang .. PROYEK III: Sabtu, 18 Mei 2013 Jumat, 17 Mei 2013, 10:17 WIB BISNIS PROPERTI: Gunakan Sarang Laba-Laba, Basko Bangun Padang Green City Bambang Supriyanto BISNIS.COM, JAKARTA -- Basko Group melalui anak usaha PT Graha Jakarta Utama membangun Padang Green City superblok di Padang, Sumatra Barat yang dirancang tahan terhadap gempa. Kami akan membangun Padang Green City menggunakan pondasi konstruksi sarang laba-laba yang dirancang aman terhadap guncangan gempa bumi yang sering melanda Sumatra Barat, kata Zico Basko, Vice President Basko Group, Zico Basko, Jumat (17/5). Dia mengungkapkan Padang Green City dirancang sebagai bangunan lima lantai dengan total investasi Rp650 miliar dijadwalkan Sabtu (18/5) dimulai pembangunan pondasi, serta ditargetkan dapat beroperasi sebelum Lebaran 2014. Padang Green City nantinya dilengkapi dengan ballroom berkapasitas 5.000 orang, serta hotel bintang empat berkapasitas 300 kamar. dst lihat: http://www.bisnis.com/m/bisnis-properti-gunakan-sarang-laba-laba-basko-bangun-padang-green-city -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/ - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
Re: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ?
Menurut saya, sebaiknya ada Prasasti di Bukit Marapalam. Tempat persandingan antara Sara dan Adat itu. Di area itu bisa dibuat peristiwa2 kebudayaan. Sent from my iPad On 19 Mei 2013, at 09:39, taufiqras...@rantaunet.org wrote: Terimo kasih pak Saaf Kebetulan Uda H. Amri Aziz MSc iko senior ambo juo di Padang dulu Kok ka dipakai juo kato Deklarasi itu mungkin bisa : Deklarasi Mambangkik Batang Tarandam ABS- SBK di Ranah Minang Salam TR Powered by Telkomsel BlackBerry® From: Dr. Saafroedin Bahar. saafroedin.ba...@rantaunet.org Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sun, 19 May 2013 01:34:43 + To: Rantau Net Rantau Netrantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Cc: AMRI AZIZamri.a...@yahoo.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ? Bung Taufiq, usul Bung masuk akal. Akan saya sampaikan kepada BK3AM. Terima kasih. Wassalam, SB. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! From: taufiqras...@rantaunet.org Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 18 May 2013 23:26:33 + To: rantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ? Pak Saaf mungkin istilah Deklarasi itu yg harus dirobah. Sebab kalau Deklarasi merupakan cetusan yang pertama, padahal ini sudah ada sebelumnya Sebaiknya diganti saja istilahnya misalnya : Mengingat/Merenungkan Kembali ABS-SBK di Ranah Minang Atau istilah lain yang sejenis, yang maksudnya mengingatkan kita semua bahwa kita sudah punya falsafah tsb Sehingga nanti kita tidak dianggap mengada-ada Terima kasih TR Powered by Telkomsel BlackBerry® From: Dr. Saafroedin Bahar saafroedin.ba...@rantaunet.org Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 18 May 2013 10:45:28 -0700 To: rantaunet@googlegroups.comrantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Cc: rantaunet@googlegroups.comrantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ? Bung Taufiq, menurut tradisi lisan memang demikian. Namun, tradisi lisan tersebut tidak ada bukti otentiknya, sampai saat ini. Pada saat ini, ada kebutuhan mendesak untuk mengukuhkannya kembali, dalam konteks NKRI, seperti yang saya ulas di bawah. Hal itu jelas bukan mundur 180 tahun Wassalam, SB. Sent from my iPad On May 18, 2013, at 7:35 AM, taufiqras...@rantaunet.org wrote: Sesuai sepotong kaba nan ambo tarimo penolakan karano ABS SBK itu alah ado sajak Sumpah Sati Marapalam sekitar 180 tahun yg lewat Jadi tidak perlu dipersoalkan lagi, karano mempersoalkannyo berarti mundur 180 tahun Jadi bukan masalah ABS SBK atau lokasi pendeklerasiannyo Artinyo indak paralu Deklerasi 2 an lai --TR Powered by Telkomsel BlackBerry® From: nurzalpand...@gmail.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 18 May 2013 12:58:16 + To: rantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ? Benar pendapat pak Saaf dan setuju, karena kalau tidak sekarang ya kapan lagi? Menunggu dari ranah utk kegiatan ini jauh panggang dari api. Biasalah pak Saaf ada saja yg orang tersinggung dan tak setuju.. Maju terus BK3AM . Salam. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! From: Dr. Saafroedin Bahar saafroedin.ba...@rantaunet.org Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 18 May 2013 19:05:35 +0700 To: Rantau Net Rantau Netrantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: [R@ntau-Net] Yang Ditolak itu Deklarasi oleh BK3AM atau ABS SBK-nya sendiri ? Para sanak sapalanta, Sungguh menarik wacana akhir-akhir ini tentang acara Deklarasi ABS SBK sebagai identitas Kultural Minangkabau yang diprakarsai oleh BK3AM di Hotel Balairung Jakarta besok pagi tanggal 19 Mei 2013. Saya percaya kita semua sudah membaca keterangan dari pihak janang maupun dari komunitas Minang, yang bisa dibagi dua, yaitu yang mendukung dan yang menentang. Yang perlu kita perhatikan adalah keberatan dari pihak yang menentang, karena sama sekali tidak ada masalah dari pihak yang mendukung. Dalam hubungan ini rasanya perlu kita jernihkan terlebih dahulu argumen dari pihak yang menentang, khususnya tentang masalah pokok, yaitu apakah yang ditentang itu prakarsa BK3AM atau substansi ABS SBK itu sendiri. ? Saya merasa bahwa yang ditentang itu bukanlah ABS SBK itu sendiri, tetapi masalah-masalah non-substantif, seperti: 1) mengapa BK3AM yang mendeklarasikan, dan mengapa di Jakarta. 2) apa perlu diadakan Deklarasi ? 3) mengapa tidak diajak para tokoh di Ranah sebelum mengadakan acra Deklarasi ? 4) Apakah ada kaitan dengan Pemilu 2014 yang akan datang ? Saya merasa
Re: [R@ntau-Net] Karano IJP Hiduik di NKRI, Tantu Indak Dapek Indak Wanyo Tunduak ka UU Nan Ado di Sumbar
Apo hubungannyo jo ambo ko? Ndak mangarati ambo doh. Pilkada alah puluhan kali di Ranah Minang. Tolong dijaleh-an bana, bia ambo jawek. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Muchwardi Muchtar muchwa...@rantaunet.org To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Monday, April 22, 2013 12:04 AM Subject: [R@ntau-Net] Karano IJP Hiduik di NKRI, Tantu Indak Dapek Indak Wanyo Tunduak ka UU Nan Ado di Sumbar Akmal Nasery Basral lewat googlegroups.com 10.21 (13 jam yang lalu) ke rantaunet Karena subject, sekaligus awal, thread ini menyangkut pencalonan IJP sebagai wako Pariaman lewat jalur independen, dan kini Mak MM*** menautkan dengan 10 kriteria ini, bahkan poin no 4 diblok kuning oleh Mak MM*** (Tidak Meminta Jabatan), apa yang sebenarnya Mak MM*** sampaikan kepada IJP dan palanta RN ko? Tumben Mak MM*** indak bataruih tarang saroman biaso? :)) Salam hangat di hari Ahad, ANBCibubur Pada Sabtu, 20 April 2013, Muchwardi Muchtar menulis: 10 Kriteria Pemimpin Menurut Ajaran Islam *** (-) Apa yang sebenarnya Mak MM*** sampaikan kepada IJP dan palanta RN ko? (ANB) (+)Karano IJP Hiduik di NKRI, Tantu Indak Dapek Indak Wanyo Harus Tunduak ka UU Nan Ado di Sumbar. (mm) Meski soal IJP ikuik Pilakada Piaman, sacaro pribadi ambo alah tutuik buku jo kalimaik saroman ko :Sampai jumpa lagi lain topik. ,Salam..., namun izinkanlah ambo maangekan baliak tulisan panjang ambo nan ampiang tigo tahun nan laludipalewakan dek r@ntaunet ko. Ukatu tu alam maya awak ko heboh pulo mampagunjiangan kurenah Calgub Aristo Munandar nan barencana menggugat... karano wanyo kalah manjadi gubernur Sumbar dek sari. Kutiko tulisan ambo dipublikasikan via alam maya (26-7-2010), hanyo surang sajo dari komunitas r@ntaunet nan ikuik bakomentar. DARI ALBUM LAMO : Sambah Taruih Paham Demokrasi tu di Minangkabau! muchwardi muchtar Mon, 26 Jul 2010 Assalamualaikum Wr Wb, Sanakmbo Muzirman Tanjuang basarato Dunsanak komunitas r@ntau-net nan ambo cintoi. Izinkanlah ambo mambari komentar jo sistem poin basarato brand ambo salamo ko nan mungkin agak cipeh dan agak babedo jo dunsanak lainnyo dalam mayikapi konspirasi dahsyat si Yahudi dunia dalam mancakiek batang lihie Si Padang nan salamo ko masih juo karengkang dan bangga jo paga kabun minangkabaunyo nan banamo ABS-SBK. 1)Apo nan tajadi di nagari awak hari ko, bukanlah tabantuak sakatiko, atau bahaso Ajo Duta --di Amrik-- adolah INSTANT. Apo nan nampak kini di minangkabau (kabatulan di dalamnyo ado ciek kekuasaan resmi nan direstui pusek, banamo provinsi Sumatra Barat) adolah buah dari dokumen Edinburg - Toronto nan diproklamirkan dalam jaringan terbatas (1974). Kini, ambo (Si m.m) dolah sabagai saksi hiduik di Minangkabau khususnyo, dan Indonesia umumnyo nan urang-urangnyo (banyak) banyak bapanyakik palupo, atau capek malupokan sasuatu. Kadibuek apo Minangkabau tu dek konspirasi dahsyat nan mampunyoi pitih taba dan sangaik mangarati di zaman nan mandewakan dan manuahkan kabarhasilan materi di kulik, Minangkabau adolah target nan paliang utamo untuak dijinakkan. 2)Soal dokumen Edinburg-Toronto nan dibuek dek Dewan Gereja Dunia, ambo indak punyo doh bantuak aslinyo sebuah dokumen (tatulih dan dapek dipacik sacaro zahie). Nan jaleh, ambo panah mambaco kutiko ambo aktif di Youth Islamic Study Club (YISC) musajik Al Azahar, Jl. Sisingamaraja Jakarta Selatan, 1974. Untuak maingekan Dunsanak nan punyo dokumentasi di Al Azhar Kebayoranbaru, nomor anggota ambo adolah No.110/74/YISC. Target dari dokumen itu, kato (almarhum) Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) bake ambo kutiko tu, 1974, intinyo adolah : mambuek Minangkabau (nan dikenal dek adonyo paga ABS-SBK) basarato Jawa Barat, limo puluah tahun ka muko (tmt 1974) samo kondisinyo jo provinsi lain (ukatu tu di RI baru ado 26 provinsi. Tim-Tim masih di bawah anak jawi urang Porto). Kini, satalah 36 tahun kamudian, liek sajolah di kampuang halaman awak, apokoh si-kon Minangkabau masih samo jo kondisi kutiko Ajo Duta masih bakain saruang di Gasan-gadang mangaji ka surau?, atau kutiko Kakakmbo Abraham Ilyas masih basarawakotok pai ka rumah Inyieknyo di Kotogadang, atau kutiko Mak Ngah (guru tamatan SGA) nan rajin mangaji di Payokumbuah zaman baliau jadi karak-karak doeloe? Nah, ikolah kunci utamo untuak mambukak banak Si Padang supayo jajok dan muntah maliek tatanan dalam ABS-SBK. Jadi, sacaro indak awak sadari, strategi si Konspirasi Jaek dan Sangaik Kuaik dalam malobi kekuasaan di Pusat Pamarintahan, untuak mambuek UU (supayo konspirasinyo adoh landasan hukum tatulih) alah awak makan mantah-mantah kasadonyo. Buktinyo, alah banyak timbua pamikiran dari isi tangkurak Si Padang di rantau nan bagala S-3 nan didapekinyo dari Barat (bukan dari Cairo atau Madinah) mangatokan paga tageh Minangkabau nan banamo ABS-SBK alah
Re: [R@ntau-Net] Re: Mengapa Saya Memilih Joserizal?
Wa'alaikum Salam. Urusan agama dalam UU No 32/2004 tentang Pemda termasuk kewenangan pusat. Begitu juga dalam UUD 1945. Makanya yang ada adalah Kanwil Agama, bukan Dinas Agama. Dalam Hal lain, masyarakat Pariaman adalah masyarakat yang relegius, dengan beragam tarikat. Ada 18 tarekat yang hidup di Pariaman. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki manajemen, Misalnya masjid. Tapi sejauh ini, manajemen Mesjid di Pariaman sangat baik. Transparan. Tertulis. Sistem badoncek dalam kegiatan keagamaan di Pariaman juga sudah terkenal. Insya Allah, saya berkomitmen memperbanyak TPA. Sudah survei ke banyak lokasi. Mesjid2 bagus2 di Paraman, tinggal meramaikan dengan kegiatan Taman Pendidikan Al Quran. Itupun Kalau tak bertabrakan dengan jam pelajaran sekolah yang luar biasa padat sekarang. Siswa makin banyak di sekolah, akibat kurikulum Pendidikan yang teramat padat. Sent from my iPad On 11 Apr 2013, at 21:49, ibnukam...@gmail.com wrote: Assalamu'alaikum w.w. Kalau soal komitmen untuak manjadikan kota Pariaman lebih baik dari nan sudah ambo yakin sanak IJP ndak lai awak ragu. Tapi kalau buliah bisa dijaleh an dan di patajam saketek komitmen soal ABS/SBK. Karano katiko rakyat ko manyarah an amanah ka seorang pemimpin, bukan hanyo pemimpin sajo nan akan diminta pertanggung jawaban nanti di akhirat. Nan mamiliah juo kanai tanyo. Singkeknyo, apo kah lai ka batambah elok dari nan kini urusan agama masyarakat kota Pariaman nantinyo? Tantunyo sanak IJP alah mamparsiapkan kiat kiat nyo. Mohon maaf ambo dek sato pulo batanyo. Apo lai ambo bukan urang Pariaman kota. Tapi setidak tidaknyo kalau jaleh komitmen agamo sanak IJP, jo doa ambo saratoan. Semoga Allah memberikan amanahko ka pundak sanak IJP. Salam, Ibnu - rang kamang Powered by Telkomsel BlackBerry® From: donardga...@gmail.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Thu, 11 Apr 2013 22:04:29 +0800 To: rantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Re: Mengapa Saya Memilih Joserizal? Semoga sukses untuk uda IJP. Sekadar catatan dari ambo bulan Januari lalu ambo berada di Pariaman dan masyarakat kota Pariaman berdasar pengamatan dan perbincangan yang ambo lakukan alun mengenal IJP secara personal. Pastinyo kini alah labiah banyak 'serangan darat` tetapi tetap sajo harus ditingkatkan sebagaimana saran2 terdahulu di palanta ini karena calon lain lah bergerak cepat. kan ndak cukuik di media nasional, twitter, blog. Tantunyo IJP labiah tau daripado ambo. Sekali lagi: Semoga sukses Don,32, Perth Sent from Samsung Mobile pi_li...@yahoo.com wrote: Terima ksh. Sy sdh melakukannya jauh2 hari. Makanya ketika tim bergerak mencari KTP, byk bantuan datang. Yg kurang adalah profesionalisme, ini yg dibenahi oleh tim dari Jkt. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT From: Benny Farlo bennyfa...@pusri.co.id Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Thu, 11 Apr 2013 14:15:56 +0700 To: rantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: [R@ntau-Net] Re: Mengapa Saya Memilih Joserizal? Bung IJP.. Saya sangat tertarik dengan tulisan-tulisan IJP, diberbagai media masa dan sosial..dilihat dari tulisan-tulisannya, Bung IJP polanya cukup sederhana, namun berkaitan dengan tulisan-tulisan Bung di berbagai media yang membaca 'hanya' sekian persen dari pemilih konstituen pemilih, persentasenya lebih banyak pedagang, petani, nelayan dll.. Selanjutnya, agar konstituen tahu siapa Bung IJP sebenarnya..coba sekali-kali atau rutin turun ke pasar, main gaplek, turun kesawah, tangkap ikan..dan membaurlah disana. salam sukses buat Bung IJP, selamat berjuang. St. Bunsu Pengurus IPPMI Sumsel. - Original Message - From: Indra Jaya Piliang To: Rantau Net Sent: Thursday, April 11, 2013 10:34 AM Subject: [R@ntau-Net] Mengapa Saya Memilih Joserizal? http://indrapiliang.com/2013/04/11/mengapa-saya-memilih-joserizal/ Mengapa Saya Memilih Joserizal? 11 April 2013 0 komentar Share on facebook Share on twitter Share on email More Sharing Services Mengapa Saya Memilih Joserizal? Oleh Indra J Piliang Calon Walikota Pariaman 2013-2018 Salah satu pertanyaan yang sering diajukan ke saya adalah mengapa memilih Joserizal? Banyak juga yang bertanya: siapa Joserizal? Dibandingkan dengan nama-nama yang mengapung dalam kontestasi pilkada di Kota Pariaman, nama Joserizal sama sekali tidak disebut. Banyak nama lain yang lebih dikenal. Baiklah, saya akan jelaskan sedikit. Saya mengenal Joserizal di akun twitter miliknya, @JoseRi_zal. Setiap kali ada berita tentang Kota Pariaman, Joserizal berkomentar. Atau ketika saya menulis tentang Kota Pariaman. Perkenalan di akun twitter itu sudah berbulan-bulan. Saya baru tahu jabatannya sebagai Kepala Satpol PP Kota Pariaman setelah membaca beberapa tweetnya. Bahkan, Satpol PP punya akun khusus, @Pol_PP_Pariaman. Bagi saya
[R@ntau-Net] Mengapa Saya Memilih Joserizal?
http://indrapiliang.com/2013/04/11/mengapa-saya-memilih-joserizal/ Mengapa Saya Memilih Joserizal? 11 April 2013 0 komentar Share on facebook Share on twitter Share on email More Sharing Services Mengapa Saya Memilih Joserizal? Oleh Indra J Piliang Calon Walikota Pariaman 2013-2018 Salah satu pertanyaan yang sering diajukan ke saya adalah mengapa memilih Joserizal? Banyak juga yang bertanya: siapa Joserizal? Dibandingkan dengan nama-nama yang mengapung dalam kontestasi pilkada di Kota Pariaman, nama Joserizal sama sekali tidak disebut. Banyak nama lain yang lebih dikenal. Baiklah, saya akan jelaskan sedikit. Saya mengenal Joserizal di akun twitter miliknya, @JoseRi_zal. Setiap kali ada berita tentang Kota Pariaman, Joserizal berkomentar. Atau ketika saya menulis tentang Kota Pariaman. Perkenalan di akun twitter itu sudah berbulan-bulan. Saya baru tahu jabatannya sebagai Kepala Satpol PP Kota Pariaman setelah membaca beberapa tweetnya. Bahkan, Satpol PP punya akun khusus, @Pol_PP_Pariaman. Bagi saya, siapapun yang masuk ranah social media, pastilah lebih terbuka pikirannya (open minded), dibandingkan dengan yang tidak. Setiap kali saya ke Pariaman, Joserizal tidak lupa mention. Namun, karena memang merasa tidak punya kepentingan dengannya, saya tidak menyempatkan diri untuk sekadar bertemu. Apalagi, sebelum bulan Oktober 2012 lalu, dalam pikiran saya sama sekali tidak ada keinginan untuk maju sebagai Walikota Pariaman. Saya lebih banyak menyiapkan diri sebagai calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Barat II. Pertemuan pertama kali antara saya dengan Joserizal pada tanggal 25 November 2012, tepatnya pada hari perayaan Tabuik Piaman. Pertemuan itu tidak sengaja. Saya menuju lokasi perayaan Tabuik di lapangan Merdeka, lalu foto-foto. Joserizal menegur saya, meminta saya untuk ke atas panggung, bersama dengan para pejabat pemerintahan dan tokoh masyarakat lainnya. Saya menolak dengan halus. Dalam beberapa perayaan tabuik sebelumnya, saya memang duduk di atas panggung. Rupa-rupanya, sikap saya itu jadi pembicaraan. *** Begitulah. Saya memasang foto pertemuan saya dengan Joserizal di blackberry, juga mengirimnya ke facebook. Setiap kali ada pertanyaan tentang siapa calon wakil saya di twitter, saya langsung mention akun @JoseRi_zal. Dan Joserizal juga mengiyakan. Padahal, di keseharian, saya tentu lebih menyibukkan diri dengan proses pencalonan lewat Partai Golkar dan bersiap menunjuk satu nama dari unsur internal. Tanpa diketahui Joserizal, saya menitipkan namanya untuk disurvei oleh sebuah lembaga survei. Hasil survei saya dapatkan kemudian. Ternyata popularitas dan likeabilitas Joserizal hampir sama dengan sejumlah nama populer yang disebut layak sebagai calon wakil walikota. Bagaimanapun, masukan orang ke saya tentulah terbatas, dibanding dengan sebaran survei yang mewakili populasi. Hasil survei juga menunjukkan bahwa popularitas saya masih rendah, sekitar 60%. Itu sesuai dengan tahapan demi tahapan yang saya ingin tempuh, yakni sama sekali tidak menggenjot popularitas. Ketika DPP Partai Golkar memutuskan tentang calon kepala daerah yang akan diusung, berdasarkan masukan dari DPD Partai Golkar Sumatera Barat, nama saya tenggelam ke nomor urut lima. Dalam dua hari, saya mencoba meminta agar DPP Partai Golkar menggelar survei ulang. Soalnya, berdasarkan hasil survei, lebih dari 60% populasi belum menentukan pilihan. Apalagi, berdasarkan hasil survei itu, elektabilitas tertinggi hanya mendapatkan angka 13%. Menurut saya, sangat rentan bagi Partai Golkar mengambil keputusan, ketika voters masih bimbang dan belum stabil. Rupanya, pihak pimpinan berketetapan dengan keputusannya. Informasi yang saya dapat, di jajaran elite partai, saya masuk dalam faksi tertentu yang bukan pengendali partai sekarang. Rekam jejak saya sebagai Juru Bicara Pak Jusuf Kalla dan Pak Wiranto dijadikan sebagai alat ukur. Begitu juga asal ayah saya dari Tanah Datar yang notabene adalah kampung Ibu Mufidah Kalla. Padahal, saya merasa hanya menjalankan tugas partai, bukan tugas seseorang. Saya sama sekali jarang berkomunikasi dengan Pak Jusuf Kalla. Bahkan, nomor ponsel Pak JK sudah tidak ada lagi di ponsel saya. Padahal, saya baru saja menghadap Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bang Aburizal Bakrie dan memperlihatkan hasil survei “versi” Benua Institute. Dalam pembicaraan via blackberry messenger antara saya dengan Bang ARB, terlihat ada keterputusan proses pengambilan keputusan. Rupanya Bang ARB hanya ikut rapat-rapat penentuan Calon Gubernur dari Partai Golkar. Sementara, Calon Bupati atau Xalon Walikota berada di bawah kewenangan wakil ketua umum. *** Saya bergerak cepat, pasca pembicaraan dengan Bang ARB di blackberry messenger. Bang ARB menyarankan saya untuk fight untuk DPR RI. Saya menyanggupi. Tapi, setelah itu, saya melakukan kerja politik untuk terus menyelamatkan proses pencalonan saya di Kota Pariaman. Artinya, tindakan politik
[R@ntau-Net] Mengapa Saya Maju via Jalur Perseorangan?
http://indrapiliang.com/2013/04/10/mengapa-saya-maju-via-jalur-perseorangan/ Mengapa Saya Maju via Jalur Perseorangan? Oleh Indra Jaya Piliang Bakal Calon Walikota Pariaman 2013-2018 Bismillahirrahmanirrahim. Insya Allah, siang ini, tanggal 10 April 2013, saya bersama Joserizal Mandai, mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Kota Pariaman sebagai calon walikota dan wakil walikota Pariaman. Keputusan ini kami ambil setelah melihat perkembangan perolehan tanda-tangan dukungan dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang diperoleh. Alhamdulillah, dalam waktu yang singkat, sekitar 2 minggu, para relawan berhasil mengumpulkan syarat minimal sebanyak 6.500 dukungan tanda-tangan dan fotokopi KTP. Banyak pertanyaan, kenapa saya mengumpulkan KTP? Jujur, sejak awal memutuskan untuk maju dalam pilkada Kota Pariaman, saya menggunakan jalur partai politik, terutama Partai Golkar dan termasuk Partai Amanat Nasional. Hanya saja, sampai hari ini, saya belum mendapatkan kejelasan tentang keputusan resminya. Saya mendaftarkan diri ke Partai Golkar, lalu ke Partai Amanat Nasional, guna mengikuti proses yang terbuka dalam kedua partai tersebut. Setelah mendaftar pada bulan Oktober tahun lalu, sedikit sekali informasi yang saya peroleh. Saya punya hubungan historis dengan PAN, mengingat menjadi salah seorang pendiri di Kabupaten Tangerang. Selain itu, saya juga pernah menjadi kader utama, fungsionaris dan pengurus Dewan Pimpinan Pusat PAN di bawah pimpinan Prof Dr Amien Rais. Walau hanya sebentar di PAN, setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Januari 2001, saya merasa memiliki hubungan emosional. Informasi dari PAN sudah saya gali dari daerah sampai ke pusat. Lain halnya dengan Partai Golkar. Saya memang mempersiapkan diri maju lewat Partai Golkar. Saya sudah menyusun rencana dan program pemenangan, dari A sampai Z. Karena yakin bahwa Partai Golkar bisa maju sendiri dan saya hanya perlu untuk menang dari seluruh potensi kader yang mendaftar, maka saya lebih banyak melakukan pelatihan relawan di setiap desa. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan penetrasi langsung di akar rumput. Saya sama sekali tidak melakukan kegiatan pencitraan yang masif, guna meningkatkan popularitas, likeabilitas ataupun elektabilitas. Contohnya bisa dilihat dengan gamblang. Baliho atau spanduk yang saya edarkan sama sekali tidak berisi foto atau bahkan nama saya. Tagline “Iko Jaleh Piaman” yang saya usung, dengan maksud menunjukkan apa-apa saja yang ada di Kota Pariaman. Serial tulisan “Iko Jaleh Piaman” di website ini juga menunjukkan usaha saya untuk memetakan masalah-masalah yang ada di Kota Pariaman. Satu-satunya baliho saya di simpang tabuik, hanya memuat gambar saya dalam wajah yang kabur. *** Saya sadar bahwa politik adalah proses kerja marathon, bukan lomba lari 100 meter. Bagaimanapun, saya sudah terlibat dalam proses politik dalam tubuh Partai Golkar hampir lima tahun, tepatnya sejak memutuskan bergabung pada tanggal 6 Agustus 2009. Saya langsung terjun sebagai calon anggota DPR RI dengan Daerah Pemilihan Sumbar II. Walau hanya mendapatkan suara 26.599, angka itu jauh lebih banyak dari angka yang diperoleh beberapa anggota DPR RI yang mewakili Provinsi Sumatera Barat. Saya juga berjibaku dalam proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden RI, serta tampil di depan. Tapi rupanya, apa yang saya lakukan belum cukup. Partai Golkar mengambil keputusan tanpa pemberitahuan. Bahkan, apa program-program saya, bagaimana tim yang saya bentuk, seperti apa pembiayaannya, serta yang lainnya, sama sekali tidak ada yang memeriksa. Saya merasa seperti orang asing di dalam partai sendiri. Padahal, saya bergerak ke banyak daerah di Indonesia melakukan pembinaan, baik secara intelektual, mental, ideologi sampai semangat. Baiklah, saya sudah banyak belajar. Dan kini, saya terus belajar. Tiba-tiba saja, muncul informasi bahwa Partai Golkar sudah mengambil keputusan. Keputusan itu mengejutkan saya, karena Partai Golkar lebih memilih untuk mengusung kader partai lain sebagai Calon Walikota dan secara tersirat hanya mengajukan Calon Wakil Walikota dari unsur internal. Padahal, Partai Golkar bisa mengajukan sendiri pasangan calon, tanpa harus berkoalisi. Saya mencoba menghubungi Ketua Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera I, Bang Andi Ahmad Dara. Saya juga menghubungi Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bang Cicip Soetardjo. Saya berdiskusi dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bang Aburizal Bakrie. Ada banyak yang saya tidak pahami, mengingat perbandingan dengan pilkada di daerah-daerah lain. Kalau tujuannya kemenangan, kenapa tidak bertanya bahwa saya punya program itu? Kalau saya lebih dibutuhkan di tempat lain, katakanlah sebagai anggota DPR RI, paling tidak ada komunikasi juga. Kalau elektabilitas saya rendah, berapa persen angkanya? Dan memang, sejak awal saya belum punya program ke arah itu, sebelum bulan Maret dan April tahun 2013 ini. Ada apa? Tak banyak yang bisa saya
Re: [R@ntau-Net] Tulisan menangkal tesis spekulatif ttg nama2 aneh orang Minang
Mantap tulisan uda. Nama saya Indra Jaya. Menurut ayah saya, Boestami Dt Nan Sati (kelahiran 1935), nama itu singkatan dari Indonesia Raya Jaya, bukan Indro Joyo :) Sent from my iPad On 31 Mar 2013, at 06:52, Andrinof A Chaniago andri...@gmail.com wrote: Betul, Wannofri, Walaupun masyarakat Minang di kampung (Sumbar) tercatat sbg daerah dengan tingkat minat baca yang tinggi, harus diakui bahwa masyarakat kita, bahkan sebagian elite suka dikelabui oleh mitos. Tanggung jawab kita sebagai akademisi untuk membersihkan mitos-mitos yang merusak. Salam, Andrinof 2013/3/30 wannofri samry wanno...@yahoo.com Salam, Sebeum refofrmasi saya pernah tulisan berkaitan dengan mitos PRRI dan otonomi daerah 3 tulisan bersambung. Saya ketika penelitian PDRI bertemu dengan para tokoh yang juga terlibat dalam PRRI, saya justru mendapat data dari wawancara bahawa tidak ada ketakutan orang Minangkabau tehadap identitas selepas PRRI. Itu hanyalah mitos yang dihembuskan oleh orang Pusat }harun Zain dan Golkar untuk mengklaim bahwa Harun Zain Cs menjadi pahlawan mambangkik jati diri orang Minangkabau. Bahkan Golkar memanfaatkan mitos itu untuk menguasai masyarakat secarapolitik di daerah. pada hal saya baca ketika menulis sejarah Unand Harun Zain juga seorang pemgagum Soekarno. Harun zain terlalu berlebih dalam biografinya yg mengatakan mahasiswa Unand selepas PRRI seperti ketakutan dan wajah lesu. Itu itos untuk kepentinan politik harun zain cs. Kemudian tidak ada saya pikir ketakutan orng Minang secara berlebihan pasca 1958 itu. Saya juga melihat masih banyak nama-nama berciri khas Minangkabau, seperti hamrizal, Desmawati, Zakirman, Syafrizal, M Nur, dsb. ketakutan yang apungkan itu menurut saya mitos.ketika penelitian sejarah saya tanya kepada tokoh2 PRRI bahwa mereka bangga telibat PRRI. terima kasih. Wassalam WNS From: Andrinof A Chaniago andri...@gmail.com To: RantauNet@googlegroups.com Sent: Saturday, March 30, 2013 7:16 PM Subject: [R@ntau-Net] Tulisan menangkal tesis spekulatif ttg nama2 aneh orang Minang Teras Utama, Harian Padang Ekspres, Sabtu, 30 Maret 2013 Meluruskan Tafsir Nama-nama “Aneh” Oleh Andrinof A Chaniago Akademisi dari Universitas Indonesia Untuk perkara menafsir nama-nama khas orang Minang saja, orang Minang ternyata bisa tersesat jauh. Seorang kawan di jaringan facebook yang berasal dari Jawa menulis status begini, “Orang padang setelah kekalahan Permesta tahun 1958 memang krisis identitas, jadi nama orang Minang aneh-aneh kedengarannya, macam Don Vitto, Geovanni, Muhammad Rika, padahal nama umum orang Minang kan Sutan Azwar, Nazrul Asril, Amrullah Karim atau Marah Rusli.” Saya tidak terlalu kaget dengan prasangka seperti itu, meski yang seperti ini selalu mengganjal hati saya. Tetapi, yang membuat saya kaget dan prihatin, status kawan facebooker tadi diamini oleh seorang kolega dan senior asal Minang di bawah status yang ditulis oleh kolega yang berasal dari Jawa tadi. (Ini terjadi pada 19 April 2010) Di kesempatan yang lain, saya menemukan lagi pikiran yang “mengejutkan” dan membuat saya makin prihatin dengan pengetahuan dan sikap sejumlah orang Minang sendiri terhadap nama-nama aneh orang-orang Minang. Sebuah tim yang ingin mengambil inisiatif menjadi perumus usulan syarat-syarat untuk menyebut seseorang Di sebagai orang Minang, tim itu mencantumkan rumusan usulan bahwa untuk disebut sebagai orang Minang, orang harus memiliki nama khas orang Minang atau nama yang islami. Saya agak terperanjat sekaligus makin prihatin, membaca ide dan usulan kriteria tersebut. Orang yang paling sering melontarkan “tesis” bahwa nama-nama aneh orang Minang itu adalah dampak dari Peristiwaa PRRI, adalah pengamat politik dan analis sejarah, yakni Fachry Ali. Fachry Ali yang secara pribadi dengan saya berada dalam jalinan hubungan sebagai senior dekat saya, sudah sering mendapat bantahan dengan bukti empiris dari saya. Sebagai pengamat, ia memang sering terlalu mengandalkan metode interpretatif, walau dengan data yang terbatas. Belakangan, saya melihat Fachry Ali sudah tidak lagi menggunakannya. Tetapi, celakanya, klaim bahwa nama-nama khas orang Minang berhubungan dengan Peristiwa PRRI sudah terlanjur diyakini oleh sejumlah kalangan. Walaupun sebagian dari kita sudah pernah juga mendengar versi lain tentang asal-usul nama “aneh” sebagian orang Minang tersebut, namun nyatanya, klaim yang keliru itu tetap masih dipercaya oleh sebagian orang Minang. Saya ingin tunjukkan beberapa nama “aneh” orang Minang yang jelas lahir sebelum Peristiwa PRRI sehingga nama itu diberikan orang tua mereka tidak ada hubungan dengan Peristiwa PRRI. Ada Masmimar Mangiang, seorang ahli bahasa media yang cukup dikenal di kalangan aktifis dan wartawan senior, termasuk salah satu dari banyak orang yang memiliki nama yang berasal dari singkatan yang punya nilai “historis”. Nama Mangiang di
[R@ntau-Net] Pidato Deklarasi: Menikam Jejak, Mencari Akar
kita jalankan sejak sekarang. Sebab, tantangan Pariaman ke depan bukan terletak dari warga kotanya, melainkan dari kepemimpinan yang lahir di kota ini. Kepemimpinan yang visioner, sekaligus sama sekali tidak melupakan agama, tradisi, sejarah dan kebudayaannya. Kepemimpinan yang memiliki azas meritokrasi dalam sisi pemerintahan, bukan yang mudah terpengaruh oleh kepentingan keluarga, suku, golongan ataupun sifat-sifat yang sebetulnya tidak sesuai dengan sejarah kota ini. Dari Pulau Angso Duo ini, kami menyerukan semangat pembaharuan dan perubahan bagi kota Pariaman. Mari kita lakukan proses ini dengan itikad baik, niat yang bersih, kerjasama yang utuh, guna kemajuan kita bersama. Mari kita kembangkan wisata bahari dari pulau ini, wisata kuliner, wisata belanja, wisata sejarah, wisata relegius, sampai wisata jiwa dalam semangat perantauan yang jauh. Selain itu, dengan letaknya yang strategis, Kota Pariaman ini sangat cocok dikembangkan menjadi kota jasa, kota pendidikan dan industri yang berbasiskan warga. Sir Stanford Raffles pernah mencoba membangun Bengkulu sebagai salah satu pusat kota di Nusantara. Namun, Raffles gagal, lalu memindahkannya ke Malaka yang kini menjadi Singapura. Kita tentu tidak ingin muluk-muluk. Yang perlu kita pelajari adalah, kenapa Raffles gagal di Bengkulu, lalu berhasil di Malaka (Singapura)? Tanpa harus menjadi sebuah negara, kami menyediakan pangkal lengan kami, bahu kami, tenaga kami, pikiran kami, bahkan waktu dan biaya, guna mengembangkan kota ini sebagai satu daerah yang penting di Sumatera Barat, khususnya, dan Sumatera, umumnya. Hadirin Yang Berbahagia Tentu kita berkejaran dengan waktu. Karena maju dari Partai Rakyat Badarai, berupa KTP warga, kami berharap kepada warga kota mendukung kami dengan KTP. Dukungan berupa KTP inilah yang menjadi dasar bagi kami untuk terus melanjutkan proses ini, sampai ke ujungnya, yakni berkompetisi secara sehat dalam pilkada Kota Pariaman. KTP yang kami perlukan sekitar 10.000. Seluruh relawan dan tim akan bekerja keras, siang dan malam, untuk mendapatkannya, sampai hari pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Kota Pariaman. Mengapa KTP? Karena dari sini kami bisa mengukur, seberapa besar response masyarakat Kota Pariaman terhadap proses pencalonan kami. KTP adalah lambang administrasi negara dalam level yang lebih jelas, dengan dokumen yang terukur. Perjuangan mendapatkan KTP inilah langkah selanjutnya setelah deklarasi. Kalau ada warga Kota Pariaman yang mau memberikan dukungan, silakan datang ke Jln M Jamil Nomor 3, Kelurahan Jawi-Jawi I, Simpang Sianik, Kota Pariaman. Namun demikian, kami juga tidak menutup kemungkinan diusung oleh partai-partai politik. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan yang sudah ada. Banyak yang datang mengantarkan KTP ke posko kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada warga yang hadir. Perjuangan kita belum selesai. Kita perlu sampai ke tujuan, dengan cara yang santun, bermartabat, sekaligus dengan pikiran dan semangat yang sehat. Demikianlah pidato singkat ini kami sampaikan, guna diketahui oleh masyarakat Kota Pariaman. Terlebih dan terkurang, kami haturkan banyak terima kasih. Wabillahi Taufik Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr Wb Pulau Angso Duo, 31 Maret 2013 Indra Jaya Piliang dan Jose Rizal Mandai Silakan buka: http://indrapiliang.com/2013/03/31/pidato-deklarasimenikam-jejak-mencari-akar/ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/ - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17)
http://indrapiliang.com/2013/01/28/iko-jaleh-piaman-17-/ Iko Jaleh Piaman (17) Oleh Indra J Piliang*) Masih banyak orang Pariaman belum tahu tentang cerita Anggun Nan Tongga. Buktinya, waktu acara talkshow di Radio Dara FM tanggal 15 Januari 2013 lalu, saya sempat bertanya tentang gelar atau nama lainnya. Ada memang yang berhasil menjawab, yakni Magek Jabang. Namun ketika ditanya soal Nangkodo Baha, semakin sedikit yang tahu. Padahal, dua ikon inilah yang sudah menjadi bagian dari mitologi sosial Rang Piaman. Guna mengingatkan kembali tentang dua ikon itu, saya sudah lama ingin menerbitkan kembali kisah mereka yang pernah ditulis. Kebetulan, dua tahun lalu saya berjumpa dengan Abrar Yusra. Novelis ini pernah menulis tentang Anggun Nan Tongga, Nangkodo Baha, Gondan Gondoriah dan lain-lain. Baru minggu lalu saya mendapatkan naskah novel berjudul “Dendang Pelayaran” karya Abrar Yusra ini. Naskah yang menghentak, tentu dengan versinya sendiri. Setelah membaca naskah Abrar Yusra, saya baru paham cerita Nangkodo Baha, Anggun Nan Tongga dan lain-lainnya itu dalam versi Abrar. Walau langgamnya tidak terlalu sesuai dengan kaidah sebuah naskah yang akan beredar di Minangkabau, melainkan lebih ditujukan kepada pembaca Indonesia, cerita ini mengurai hubungan banyak pihak di dalamnya. Bagaimanapun, saya akhirnya memutuskan untuk menerbitkan (kembali) naskah ini. Biarlah nanti publik yang menilai. Pentingnya mengangkat (lagi) naskah tentang Anggun Nan Tongga dan nama-nama yang terkait dengannya ini, adalah bagian dari usaha saya untuk “Menikam Jejak, Mencari Akar”. Tidak hanya sekadar membangkit batang terendam, tetapi juga membersihkan batang-batang itu untuk menelusuri seluruh lekuk-lekuknya. Dan ini bukan usaha pertama, tetapi menjadi bagian dari proses yang sudah lama saya lakukan secara pribadi. Saya termasuk orang yang sedih, ketika Tugu Layar di Simpang Tugu Tabuik sekarang dibongkar. Bagaimanapun, sejarah TNI Angkatan Laut pernah hidup di Pariaman, terbukti dengan Tugu Layar itu. Ada kalimat yang saya selalu ingat di Tugu Layar itu: “Panakiak pisau sirauit, Ambiak galah batang lintabuang, Salodang ambiak ka nyiru. Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.” Sejak mengenal kata-kata itu, saya menjadikannya sebagai pedoman hidup, baik di rantau, apalagi di ranah. Sebagai seorang pembelajar, kata-kata itu membekas dalam diri saya. Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa Tugu Layar hilang. Saya tentu setuju dengan adanya Tugu Tabuik, tetapi bukan berarti yang lain harus dihilangkan. Apalagi, para tetua Pariaman masih ingat, betapa setiap Hari Angkatan Laut (atau Hari Dharma Samudera, setiap tanggak 15 Januari) ada semacam defile dari TNI AL di Pantai dan Kota Pariaman. Simbol sebagai kota maritim tertanam, dengan Tugu Layar menjadi salah satu ikonnya. Dengan atraksi defile TNI AL setiap tahun di Kota Pariaman saja, sudah menjadi kebanggaan tersendiri warga kota. Apalagi sepanjang sejarahnya, Kota Pariaman memang terkenal sebagai basis armada laut, baik pihak asing, maupun pribumi. *** Mitologi Anggun Nan Tongga dan Nangkodo Baha adalah bagian dari kejayaan maritim Rang Piaman. Piaman disini meliputi tidak hanya Kota Pariaman sekarang, melainkan juga Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam (bagian Barat, seperti Tiku), Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Itulah yang disebut sebagai Piaman Laweh. Penjelajahan yang dilakukan oleh Anggun Nan Tongga, juga sampai ke sejumlah pulau lain yang tentu “sulit” diterjemahkan secara geografis, seperti Pulau Malabari. Tugas ilmuwanlah mengungkap nama-nama yang tersembunyi di balik mitos, terutama para ahli antropologi. Tanpa keinginan yang kuat untuk mempertahankan apa-apa yang sudah pernah dimiliki oleh Kota Pariaman, justru akan memicu proses destruksi budaya. Bukan berarti semua benda dari masa lalu harus dipuja, tetapi tanpa masa lalu, manusia sekarang hanyalah bagaikan buih di tengah samudera. Sekalipun kecenderungan yang kuat adalah “Adat menurun, Agama menaik”, tetapi juga patut dikaitkan dengan “Bertangga naik, berjenjang turun”. Naik turunnya (pengaruh) agama dan adat, memiliki tangga dan jenjangnya masing-masing, tidak bisa langsung punah dan hilang sama sekali. Dari naskah Abrar Yusra, ada sosok yang menarik, yakni Intan Karang. Barangkali, kontroversi akan muncul. Begitu juga posisi Ganto Sori, etek atau bibi Anggun Nan Tongga, Ratu Istana Kampung Dalam. Intan Karang adalah istri Nangkodo Baha yang diceraikan di tengah laut, di atas kapal Dandang Olai, karena berselingkuh dengan Anggun Nan Tongga. Intan Karang ini juga muncul sebagai pengatur strategi penyerangan pulau tempat Raja Tua disekap perompak. Namun sebagai sebuah kisah utuh, tanpa adegan perselingkuhan Intan Karang di atas kapal, tidak akan ketemu akhir dari cerita “Dendang Pelayaran” ini. Sebagai kisah yang utuh, satu atau dua alinea yang disobek akan
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Ambo setuju uda Suryadi. Paru2 kota, buruang2. Lokasi nan lain banyak nan mubazir, tpi bukan di foto iko. Lagipula, sekarang sy lihat, di lokasi yg di foto ini, sudah banyak yang berubah. Pedagang kaki lima, misalnya, sudah menguasai pantai. Skrg bangunan2 kayu sudah dibikin. Kalau dibiarkan, lama2 bisa menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Saya sudah punya gambaran tentang pengelolaan pantai Pariaman. Mana yg pantai terbuka, mana Tempat Pelelangan Ikan, mana yang tempat bakar ikan (kuliner ikan saja), mana yang jadi hutan pantai, mana juga yang dibuat jadi semacam water front city. Termasuk juga sungai2 kecil, selokan2 kecil, bisa ditata, dengan konsep sungai atau selokan jadi halaman depan, bukan halaman belakang. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Lies Suryadi niadil...@yahoo.co.id To: rantaunet@googlegroups.com rantaunet@googlegroups.com Sent: Monday, January 28, 2013 4:00 PM Subject: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya terkejut melihat foto udara Pariaman ini, dimana dikatakan hotel sekitar Nan Tongga disebut 'lahan mubazir'. Jan sampai konsep calak bingkau pembangunan kota2 bantuak di Jawa tabao lo sampai ka Piaman. Lai ado juo tanah nan lapang lai dijadikan kadai, jadi bangunan. Indak ado paru-paru kota, indak ado tampaik urang bamain dam rimbunan pohon di sekitar kota. Rancak diinok2'an kini dulu. Ambo kiro lah banyak anggota rantau net ko pai ka Paris, Amsterdam, New York, dll. Lieklah urang manata kotanyo: apo tanah laweh di sekitar kaki Menara Eifel tu dibuek urang untuak kadai2 jo toserba/maal? Apo Vondelpark nan lah lah takapuang di tangah2 Amsterdam tu dibuldoser urang untuak dibuek gaduang2 tingi? Itu tandonyo indak kepeng masuak sajo doh nan dipikiakan dek penguasa kota2 tu. Contoh dakek: lieklah kota Padang kini. Baa bantuak e? Ancik urang ka bisa istirahat, angkot sae ndak bisa istirahat kini doh. Jadi, mohon bana ka calon panguaso Piaman, a sajo bangunlah: tapi jo konsep, tinggakan hutan alam untuak paru2 kota, untuk keindahan kota, untuak pertahanan resapan aia. Ambo kiro rancak kawasan di sekitar Muaro Pariaman tu dibiakan hijau, tapi ditata elok2. Kok indak, ambo khawatir kito akan maulang kesalahan2 lagi. JAN MANYASA KUDIAN. Wassalam, Suryadi Dari: Zulfadli fadli...@gmail.com Kepada: rantaunet@googlegroups.com Dikirim: Senin, 28 Januari 2013 9:18 Judul: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Peta PDP ... 2013/1/28 Zulfadli fadli...@gmail.com Assalamualaikum Dunsanak di Rantaunet, Talabiah dahulu ambo mohon maaf, thread iko bukan bamukasuik nio kampanye dini, namun hanyo sabagai apresiasi ambo terhadap pikiran-pikiran Indra Jaya Piliang nan baniaik manjadi Walikota Pariaman 2013-2018. Kebetulan pokok-pokok pikiran Ajo IJP tu pernah pulo manjadi angan-angan ambo, namun kalau dulu ambo maraso itu hanyo mimpi nan talampau muluk, dengan majunyo IJP ambo mulai maraso bahwa ide-ide tu indak salamonyo ota sajo, Insya Allah dengan kemampuan Networking nyo, IJP bisa marealisasikan ide-ide tu. Dari nan ambo tangkok ado babarapo poin ide IJP untuak mambuek Piaman Tacelak, yaitu: - Zonasi Sentra Ekonomi, dengan menjadikan tiok pasa/balai di Piaman ko Unique, contohnyo Pasa Kurai Taji untuak Wisata Kuliner dan Pasar Hasil Bumi, Balai Nareh untuak Sentra Fashion, dan Pasa Pariaman dibenahi sahinggo labiah manusiawi dan modern - Paralu adonyo tampek-tampek nan manjadi ciri masyarakat kota saroman Perpustakaan Publik, Cafe Diskusi dll. - Paralu ado Universitas di Piaman - Paralu ado Hotel dengan kualitas rancak dan akses nan mudah dari Bandara Internasional Minangkabau - Katapiang - Paralu ado Industri berbasis hasil bumi Piaman, saroman Pabrik Nata de Coco Manuruik IJP , masyarakat Piaman tarutamo urang mudo sabananyo lah siap manjadi masyarakat kota, karano karakter egaliter menjadi penunjang dan antusiasme urang mudonyo untuak maju. Ambo doakan semoga Ajo IJP sukses dalam pemilihan dan pengabdian ko, walaupun sabagai urang rantau ambo ndak bisa mamiliah. Mudah-mudahan nan mamiliah IJP lai samo banyaknyo jo Follower Twitter beliau. Ambo cuma titip ide kalau ambo rindu jo hal yaitu : - Adonyo Landmark di Kota Pariaman, misalnyo berupa Masjid Agung Piaman nan dibangun di ateh Lahan Kantor PLN (Simpang Kampuang Cino) atau bisa sajo landmark ko berupa Stasiun Pariaman yang dibenahi menjadi Bangunan Eksotik, sebagai satu2nya Stasiun Bernuansa Pantai dan Kolonial di Sumatra - Adonyo Pariaman Discovery Park yang terintegrasi dengan Stasiun, Pantai Gandoriah, Masjid dan Komplek Nasi Set (ambo lampirkan petanyo) Salam, Zulfadli (Laki, 29) - Kuli Telekomunikasi di Jakarta -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R
Re: Bls: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17)
Batue. Itu dia, Kanda. Semacam napak tilas. Kini Pantai Gondan Gondoriah sudah ada. Hotel Nan Tongga sudah ada. Tinggal yg lain, misalnya bentuk kapal Dandang Olai, Gunuang Ledang, dll. Sent from my iPad On 28 Jan 2013, at 16:11, Lies Suryadi niadil...@yahoo.co.id wrote: Dinda IJP, Carito Anggun Nan Tongga Magek Jabang ko potensial mah 'diterjemahkan' jadi objek Pariwisata Piaman. Sakadar untuak mandapek ilham, lieklah caro Pemerintah kota Melaka 'menerjemahkan' kisah Hang Tuah jadi salah satu objek wisatanyo. Bagaduru lo urang pai maliek, baserak dollar, euro, rupiah, dll. di situ. Kok ado kesempatan Dinda ka Melaka, lakik'ilah mempelajarinyo. Banyak kisah2 lamo di Piaman nan bisa kita 'terjemahkan' jadi objek pariwisata, juo 'Kisah si Joki' misalnyo. Nan penting ado konsep. Banyak nan bisa dikarajokan. Paralu urang mudo nan basumangaik, nan indak bapikia 4 tahun ka muko sajo doh. Wassalam, Suryadi Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: Rantau Net RantauNet@googlegroups.com Cc: Koran Digital koran-digi...@googlegroups.com; Forahmi fora...@yahoogroups.com; Kahmi kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com; Lisi l...@yahoogroups.com; p...@yahoogroups.com p...@yahoogroups.com Dikirim: Senin, 28 Januari 2013 9:53 Judul: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17) http://indrapiliang.com/2013/01/28/iko-jaleh-piaman-17-/ Iko Jaleh Piaman (17) Oleh Indra J Piliang*) Masih banyak orang Pariaman belum tahu tentang cerita Anggun Nan Tongga. Buktinya, waktu acara talkshow di Radio Dara FM tanggal 15 Januari 2013 lalu, saya sempat bertanya tentang gelar atau nama lainnya. Ada memang yang berhasil menjawab, yakni Magek Jabang. Namun ketika ditanya soal Nangkodo Baha, semakin sedikit yang tahu. Padahal, dua ikon inilah yang sudah menjadi bagian dari mitologi sosial Rang Piaman. Guna mengingatkan kembali tentang dua ikon itu, saya sudah lama ingin menerbitkan kembali kisah mereka yang pernah ditulis. Kebetulan, dua tahun lalu saya berjumpa dengan Abrar Yusra. Novelis ini pernah menulis tentang Anggun Nan Tongga, Nangkodo Baha, Gondan Gondoriah dan lain-lain. Baru minggu lalu saya mendapatkan naskah novel berjudul “Dendang Pelayaran” karya Abrar Yusra ini. Naskah yang menghentak, tentu dengan versinya sendiri. Setelah membaca naskah Abrar Yusra, saya baru paham cerita Nangkodo Baha, Anggun Nan Tongga dan lain-lainnya itu dalam versi Abrar. Walau langgamnya tidak terlalu sesuai dengan kaidah sebuah naskah yang akan beredar di Minangkabau, melainkan lebih ditujukan kepada pembaca Indonesia, cerita ini mengurai hubungan banyak pihak di dalamnya. Bagaimanapun, saya akhirnya memutuskan untuk menerbitkan (kembali) naskah ini. Biarlah nanti publik yang menilai. Pentingnya mengangkat (lagi) naskah tentang Anggun Nan Tongga dan nama-nama yang terkait dengannya ini, adalah bagian dari usaha saya untuk “Menikam Jejak, Mencari Akar”. Tidak hanya sekadar membangkit batang terendam, tetapi juga membersihkan batang-batang itu untuk menelusuri seluruh lekuk-lekuknya. Dan ini bukan usaha pertama, tetapi menjadi bagian dari proses yang sudah lama saya lakukan secara pribadi. Saya termasuk orang yang sedih, ketika Tugu Layar di Simpang Tugu Tabuik sekarang dibongkar. Bagaimanapun, sejarah TNI Angkatan Laut pernah hidup di Pariaman, terbukti dengan Tugu Layar itu. Ada kalimat yang saya selalu ingat di Tugu Layar itu: “Panakiak pisau sirauit, Ambiak galah batang lintabuang, Salodang ambiak ka nyiru. Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.” Sejak mengenal kata-kata itu, saya menjadikannya sebagai pedoman hidup, baik di rantau, apalagi di ranah. Sebagai seorang pembelajar, kata-kata itu membekas dalam diri saya. Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa Tugu Layar hilang. Saya tentu setuju dengan adanya Tugu Tabuik, tetapi bukan berarti yang lain harus dihilangkan. Apalagi, para tetua Pariaman masih ingat, betapa setiap Hari Angkatan Laut (atau Hari Dharma Samudera, setiap tanggak 15 Januari) ada semacam defile dari TNI AL di Pantai dan Kota Pariaman. Simbol sebagai kota maritim tertanam, dengan Tugu Layar menjadi salah satu ikonnya. Dengan atraksi defile TNI AL setiap tahun di Kota Pariaman saja, sudah menjadi kebanggaan tersendiri warga kota. Apalagi sepanjang sejarahnya, Kota Pariaman memang terkenal sebagai basis armada laut, baik pihak asing, maupun pribumi. *** Mitologi Anggun Nan Tongga dan Nangkodo Baha adalah bagian dari kejayaan maritim Rang Piaman. Piaman disini meliputi tidak hanya Kota Pariaman sekarang, melainkan juga Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam (bagian Barat, seperti Tiku), Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Itulah yang disebut sebagai Piaman Laweh. Penjelajahan yang dilakukan oleh Anggun Nan Tongga, juga sampai ke sejumlah pulau lain yang tentu “sulit” diterjemahkan secara geografis, seperti Pulau
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Saya juga bingung, ada pagar tinggi parak karambie. Itu sudah ada pemiliknya atau bagaimana? Ini mesti dicek lagi. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: fadli...@gmail.com fadli...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Cc: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com; pi_li...@yahoo.com Sent: Monday, January 28, 2013 5:27 PM Subject: Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Ajo Suryadi dan Ajo IJP, Perlu saya garis bawahi, MUBADZIR yang saya maksud adalah dalam posisinya sebagai Lahan Tidur dan tidak dapat diakses publik. Jauh sekali dalam pikiran saya lahan itu dikonversi menjadi ruko atau bangunan yang berlantai beton lainnya. Saya jelas-jelas mengangankan Lahan itu berubah menjadi semacam Taman Pendidikan dan Budaya seperti halnya Taman Menteng di Jakarta Pusat, atau dalam istilah marketingnya adalah sebuah Discovery Park. Jadi mohon tidak disalahpahami. Barangkali jika Ajo berkesempatan pulang, akan terlihat bahwa lahan Parak Karambia yang tidak cantik itu DIPAGARI SETINGGI 2 METER dan isinya tidak lain hanyalah ilalang dan rumput liar saja. Sedangkan kedai-kedai yang dilihat oleh Ajo IJP itu lokasinya adalah diluar pagar tersebut, menempel pada sisi luar pagar tersebut. Poin saya adalah, apabila Pihak Hotel Nan Tongga sama sekali tidak punya ide untuk memanfaatkan Lahan Ilalang dan Karambia itu, adalah lebih baik Pemerintah Kota mengambil alih dengan skema kerjasama atau apapun itu, sehingga akses ke lahan itu bisa dibuka untuk publik dan lebih bermanfaat lagi. Kenapa harus lahan itu? Kenapa bukan tempat lain di utara dan di selatan? Semata-mata karena faktor strategisnya dan ada kesatuan konsep dengan sejarah Pariaman sebagai Kota Pelabuhan Lama. Akan sangat cantik jika Lahan ini dibuka pagarnya dan dijadikan taman yang lebih modern serta terintegrasi dengan Stasiun Pariaman, Taman Gandoriah dan Masjid Nurul Bahari. Selain itu Panggung Pentas akan menjadi objek sentral di tengah2 taman itu nantinya yang tentunya dapat dimanfaatkan lebih maksimal. Sekali lagi, lihat dahulu ke lapangan. Kondisi sekarang tidak ada kemiripan sama sekali dengan area hijau di sekitar Landmark2 Eropa. Justru dengan menyulap area ini menjadi Taman Modern malah akan membuat Landmark Pariaman mirip dengan Landmark Eropa, dengan catatan Stasiun Pariaman lah yang menjadi Landmarknya. Salam Hormat, Zulfadli Pada Senin, 28 Januari 2013 16:05:01 UTC+7, Indra Jaya Piliang menulis: Ambo setuju uda Suryadi. Paru2 kota, buruang2. Lokasi nan lain banyak nan mubazir, tpi bukan di foto iko. Lagipula, sekarang sy lihat, di lokasi yg di foto ini, sudah banyak yang berubah. Pedagang kaki lima, misalnya, sudah menguasai pantai. Skrg bangunan2 kayu sudah dibikin. Kalau dibiarkan, lama2 bisa menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Saya sudah punya gambaran tentang pengelolaan pantai Pariaman. Mana yg pantai terbuka, mana Tempat Pelelangan Ikan, mana yang tempat bakar ikan (kuliner ikan saja), mana yang jadi hutan pantai, mana juga yang dibuat jadi semacam water front city. Termasuk juga sungai2 kecil, selokan2 kecil, bisa ditata, dengan konsep sungai atau selokan jadi halaman depan, bukan halaman belakang. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Lies Suryadi niad...@yahoo.co.id To: rant...@googlegroups.com rant...@googlegroups.com Sent: Monday, January 28, 2013 4:00 PM Subject: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya terkejut melihat foto udara Pariaman ini, dimana dikatakan hotel sekitar Nan Tongga disebut 'lahan mubazir'. Jan sampai konsep calak bingkau pembangunan kota2 bantuak di Jawa tabao lo sampai ka Piaman. Lai ado juo tanah nan lapang lai dijadikan kadai, jadi bangunan. Indak ado paru-paru kota, indak ado tampaik urang bamain dam rimbunan pohon di sekitar kota. Rancak diinok2'an kini dulu. Ambo kiro lah banyak anggota rantau net ko pai ka Paris, Amsterdam, New York, dll. Lieklah urang manata kotanyo: apo tanah laweh di sekitar kaki Menara Eifel tu dibuek urang untuak kadai2 jo toserba/maal? Apo Vondelpark nan lah lah takapuang di tangah2 Amsterdam tu dibuldoser urang untuak dibuek gaduang2 tingi? Itu tandonyo indak kepeng masuak sajo doh nan dipikiakan dek penguasa kota2 tu. Contoh dakek: lieklah kota Padang kini. Baa bantuak e? Ancik urang ka bisa istirahat, angkot sae ndak bisa istirahat kini doh. Jadi, mohon bana ka calon panguaso Piaman, a sajo bangunlah: tapi jo konsep, tinggakan hutan alam untuak paru2 kota, untuk keindahan kota, untuak pertahanan resapan aia. Ambo kiro rancak kawasan di sekitar Muaro Pariaman tu dibiakan hijau, tapi ditata elok2. Kok indak, ambo khawatir kito akan maulang kesalahan2
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Saya juga bingung, ada pagar tinggi parak karambie. Itu sudah ada pemiliknya atau bagaimana? Ini mesti dicek lagi. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: fadli...@gmail.com fadli...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Cc: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com; pi_li...@yahoo.com Sent: Monday, January 28, 2013 5:27 PM Subject: Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Ajo Suryadi dan Ajo IJP, Perlu saya garis bawahi, MUBADZIR yang saya maksud adalah dalam posisinya sebagai Lahan Tidur dan tidak dapat diakses publik. Jauh sekali dalam pikiran saya lahan itu dikonversi menjadi ruko atau bangunan yang berlantai beton lainnya. Saya jelas-jelas mengangankan Lahan itu berubah menjadi semacam Taman Pendidikan dan Budaya seperti halnya Taman Menteng di Jakarta Pusat, atau dalam istilah marketingnya adalah sebuah Discovery Park. Jadi mohon tidak disalahpahami. Barangkali jika Ajo berkesempatan pulang, akan terlihat bahwa lahan Parak Karambia yang tidak cantik itu DIPAGARI SETINGGI 2 METER dan isinya tidak lain hanyalah ilalang dan rumput liar saja. Sedangkan kedai-kedai yang dilihat oleh Ajo IJP itu lokasinya adalah diluar pagar tersebut, menempel pada sisi luar pagar tersebut. Poin saya adalah, apabila Pihak Hotel Nan Tongga sama sekali tidak punya ide untuk memanfaatkan Lahan Ilalang dan Karambia itu, adalah lebih baik Pemerintah Kota mengambil alih dengan skema kerjasama atau apapun itu, sehingga akses ke lahan itu bisa dibuka untuk publik dan lebih bermanfaat lagi. Kenapa harus lahan itu? Kenapa bukan tempat lain di utara dan di selatan? Semata-mata karena faktor strategisnya dan ada kesatuan konsep dengan sejarah Pariaman sebagai Kota Pelabuhan Lama. Akan sangat cantik jika Lahan ini dibuka pagarnya dan dijadikan taman yang lebih modern serta terintegrasi dengan Stasiun Pariaman, Taman Gandoriah dan Masjid Nurul Bahari. Selain itu Panggung Pentas akan menjadi objek sentral di tengah2 taman itu nantinya yang tentunya dapat dimanfaatkan lebih maksimal. Sekali lagi, lihat dahulu ke lapangan. Kondisi sekarang tidak ada kemiripan sama sekali dengan area hijau di sekitar Landmark2 Eropa. Justru dengan menyulap area ini menjadi Taman Modern malah akan membuat Landmark Pariaman mirip dengan Landmark Eropa, dengan catatan Stasiun Pariaman lah yang menjadi Landmarknya. Salam Hormat, Zulfadli Pada Senin, 28 Januari 2013 16:05:01 UTC+7, Indra Jaya Piliang menulis: Ambo setuju uda Suryadi. Paru2 kota, buruang2. Lokasi nan lain banyak nan mubazir, tpi bukan di foto iko. Lagipula, sekarang sy lihat, di lokasi yg di foto ini, sudah banyak yang berubah. Pedagang kaki lima, misalnya, sudah menguasai pantai. Skrg bangunan2 kayu sudah dibikin. Kalau dibiarkan, lama2 bisa menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Saya sudah punya gambaran tentang pengelolaan pantai Pariaman. Mana yg pantai terbuka, mana Tempat Pelelangan Ikan, mana yang tempat bakar ikan (kuliner ikan saja), mana yang jadi hutan pantai, mana juga yang dibuat jadi semacam water front city. Termasuk juga sungai2 kecil, selokan2 kecil, bisa ditata, dengan konsep sungai atau selokan jadi halaman depan, bukan halaman belakang. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Lies Suryadi niad...@yahoo.co.id To: rant...@googlegroups.com rant...@googlegroups.com Sent: Monday, January 28, 2013 4:00 PM Subject: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya terkejut melihat foto udara Pariaman ini, dimana dikatakan hotel sekitar Nan Tongga disebut 'lahan mubazir'. Jan sampai konsep calak bingkau pembangunan kota2 bantuak di Jawa tabao lo sampai ka Piaman. Lai ado juo tanah nan lapang lai dijadikan kadai, jadi bangunan. Indak ado paru-paru kota, indak ado tampaik urang bamain dam rimbunan pohon di sekitar kota. Rancak diinok2'an kini dulu. Ambo kiro lah banyak anggota rantau net ko pai ka Paris, Amsterdam, New York, dll. Lieklah urang manata kotanyo: apo tanah laweh di sekitar kaki Menara Eifel tu dibuek urang untuak kadai2 jo toserba/maal? Apo Vondelpark nan lah lah takapuang di tangah2 Amsterdam tu dibuldoser urang untuak dibuek gaduang2 tingi? Itu tandonyo indak kepeng masuak sajo doh nan dipikiakan dek penguasa kota2 tu. Contoh dakek: lieklah kota Padang kini. Baa bantuak e? Ancik urang ka bisa istirahat, angkot sae ndak bisa istirahat kini doh. Jadi, mohon bana ka calon panguaso Piaman, a sajo bangunlah: tapi jo konsep, tinggakan hutan alam untuak paru2 kota, untuk keindahan kota, untuak pertahanan resapan aia. Ambo kiro rancak kawasan di sekitar Muaro Pariaman tu dibiakan hijau, tapi ditata elok2. Kok indak, ambo khawatir kito akan maulang kesalahan2
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Saya juga bingung, ada pagar tinggi parak karambie. Itu sudah ada pemiliknya atau bagaimana? Ini mesti dicek lagi. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: fadli...@gmail.com fadli...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Cc: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com; pi_li...@yahoo.com Sent: Monday, January 28, 2013 5:27 PM Subject: Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Ajo Suryadi dan Ajo IJP, Perlu saya garis bawahi, MUBADZIR yang saya maksud adalah dalam posisinya sebagai Lahan Tidur dan tidak dapat diakses publik. Jauh sekali dalam pikiran saya lahan itu dikonversi menjadi ruko atau bangunan yang berlantai beton lainnya. Saya jelas-jelas mengangankan Lahan itu berubah menjadi semacam Taman Pendidikan dan Budaya seperti halnya Taman Menteng di Jakarta Pusat, atau dalam istilah marketingnya adalah sebuah Discovery Park. Jadi mohon tidak disalahpahami. Barangkali jika Ajo berkesempatan pulang, akan terlihat bahwa lahan Parak Karambia yang tidak cantik itu DIPAGARI SETINGGI 2 METER dan isinya tidak lain hanyalah ilalang dan rumput liar saja. Sedangkan kedai-kedai yang dilihat oleh Ajo IJP itu lokasinya adalah diluar pagar tersebut, menempel pada sisi luar pagar tersebut. Poin saya adalah, apabila Pihak Hotel Nan Tongga sama sekali tidak punya ide untuk memanfaatkan Lahan Ilalang dan Karambia itu, adalah lebih baik Pemerintah Kota mengambil alih dengan skema kerjasama atau apapun itu, sehingga akses ke lahan itu bisa dibuka untuk publik dan lebih bermanfaat lagi. Kenapa harus lahan itu? Kenapa bukan tempat lain di utara dan di selatan? Semata-mata karena faktor strategisnya dan ada kesatuan konsep dengan sejarah Pariaman sebagai Kota Pelabuhan Lama. Akan sangat cantik jika Lahan ini dibuka pagarnya dan dijadikan taman yang lebih modern serta terintegrasi dengan Stasiun Pariaman, Taman Gandoriah dan Masjid Nurul Bahari. Selain itu Panggung Pentas akan menjadi objek sentral di tengah2 taman itu nantinya yang tentunya dapat dimanfaatkan lebih maksimal. Sekali lagi, lihat dahulu ke lapangan. Kondisi sekarang tidak ada kemiripan sama sekali dengan area hijau di sekitar Landmark2 Eropa. Justru dengan menyulap area ini menjadi Taman Modern malah akan membuat Landmark Pariaman mirip dengan Landmark Eropa, dengan catatan Stasiun Pariaman lah yang menjadi Landmarknya. Salam Hormat, Zulfadli Pada Senin, 28 Januari 2013 16:05:01 UTC+7, Indra Jaya Piliang menulis: Ambo setuju uda Suryadi. Paru2 kota, buruang2. Lokasi nan lain banyak nan mubazir, tpi bukan di foto iko. Lagipula, sekarang sy lihat, di lokasi yg di foto ini, sudah banyak yang berubah. Pedagang kaki lima, misalnya, sudah menguasai pantai. Skrg bangunan2 kayu sudah dibikin. Kalau dibiarkan, lama2 bisa menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Saya sudah punya gambaran tentang pengelolaan pantai Pariaman. Mana yg pantai terbuka, mana Tempat Pelelangan Ikan, mana yang tempat bakar ikan (kuliner ikan saja), mana yang jadi hutan pantai, mana juga yang dibuat jadi semacam water front city. Termasuk juga sungai2 kecil, selokan2 kecil, bisa ditata, dengan konsep sungai atau selokan jadi halaman depan, bukan halaman belakang. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Lies Suryadi niad...@yahoo.co.id To: rant...@googlegroups.com rant...@googlegroups.com Sent: Monday, January 28, 2013 4:00 PM Subject: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya terkejut melihat foto udara Pariaman ini, dimana dikatakan hotel sekitar Nan Tongga disebut 'lahan mubazir'. Jan sampai konsep calak bingkau pembangunan kota2 bantuak di Jawa tabao lo sampai ka Piaman. Lai ado juo tanah nan lapang lai dijadikan kadai, jadi bangunan. Indak ado paru-paru kota, indak ado tampaik urang bamain dam rimbunan pohon di sekitar kota. Rancak diinok2'an kini dulu. Ambo kiro lah banyak anggota rantau net ko pai ka Paris, Amsterdam, New York, dll. Lieklah urang manata kotanyo: apo tanah laweh di sekitar kaki Menara Eifel tu dibuek urang untuak kadai2 jo toserba/maal? Apo Vondelpark nan lah lah takapuang di tangah2 Amsterdam tu dibuldoser urang untuak dibuek gaduang2 tingi? Itu tandonyo indak kepeng masuak sajo doh nan dipikiakan dek penguasa kota2 tu. Contoh dakek: lieklah kota Padang kini. Baa bantuak e? Ancik urang ka bisa istirahat, angkot sae ndak bisa istirahat kini doh. Jadi, mohon bana ka calon panguaso Piaman, a sajo bangunlah: tapi jo konsep, tinggakan hutan alam untuak paru2 kota, untuk keindahan kota, untuak pertahanan resapan aia. Ambo kiro rancak kawasan di sekitar Muaro Pariaman tu dibiakan hijau, tapi ditata elok2. Kok indak, ambo khawatir kito akan maulang kesalahan2
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Saya juga bingung, ada pagar tinggi parak karambie. Itu sudah ada pemiliknya atau bagaimana? Ini mesti dicek lagi. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: fadli...@gmail.com fadli...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Cc: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com; pi_li...@yahoo.com Sent: Monday, January 28, 2013 5:27 PM Subject: Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Ajo Suryadi dan Ajo IJP, Perlu saya garis bawahi, MUBADZIR yang saya maksud adalah dalam posisinya sebagai Lahan Tidur dan tidak dapat diakses publik. Jauh sekali dalam pikiran saya lahan itu dikonversi menjadi ruko atau bangunan yang berlantai beton lainnya. Saya jelas-jelas mengangankan Lahan itu berubah menjadi semacam Taman Pendidikan dan Budaya seperti halnya Taman Menteng di Jakarta Pusat, atau dalam istilah marketingnya adalah sebuah Discovery Park. Jadi mohon tidak disalahpahami. Barangkali jika Ajo berkesempatan pulang, akan terlihat bahwa lahan Parak Karambia yang tidak cantik itu DIPAGARI SETINGGI 2 METER dan isinya tidak lain hanyalah ilalang dan rumput liar saja. Sedangkan kedai-kedai yang dilihat oleh Ajo IJP itu lokasinya adalah diluar pagar tersebut, menempel pada sisi luar pagar tersebut. Poin saya adalah, apabila Pihak Hotel Nan Tongga sama sekali tidak punya ide untuk memanfaatkan Lahan Ilalang dan Karambia itu, adalah lebih baik Pemerintah Kota mengambil alih dengan skema kerjasama atau apapun itu, sehingga akses ke lahan itu bisa dibuka untuk publik dan lebih bermanfaat lagi. Kenapa harus lahan itu? Kenapa bukan tempat lain di utara dan di selatan? Semata-mata karena faktor strategisnya dan ada kesatuan konsep dengan sejarah Pariaman sebagai Kota Pelabuhan Lama. Akan sangat cantik jika Lahan ini dibuka pagarnya dan dijadikan taman yang lebih modern serta terintegrasi dengan Stasiun Pariaman, Taman Gandoriah dan Masjid Nurul Bahari. Selain itu Panggung Pentas akan menjadi objek sentral di tengah2 taman itu nantinya yang tentunya dapat dimanfaatkan lebih maksimal. Sekali lagi, lihat dahulu ke lapangan. Kondisi sekarang tidak ada kemiripan sama sekali dengan area hijau di sekitar Landmark2 Eropa. Justru dengan menyulap area ini menjadi Taman Modern malah akan membuat Landmark Pariaman mirip dengan Landmark Eropa, dengan catatan Stasiun Pariaman lah yang menjadi Landmarknya. Salam Hormat, Zulfadli Pada Senin, 28 Januari 2013 16:05:01 UTC+7, Indra Jaya Piliang menulis: Ambo setuju uda Suryadi. Paru2 kota, buruang2. Lokasi nan lain banyak nan mubazir, tpi bukan di foto iko. Lagipula, sekarang sy lihat, di lokasi yg di foto ini, sudah banyak yang berubah. Pedagang kaki lima, misalnya, sudah menguasai pantai. Skrg bangunan2 kayu sudah dibikin. Kalau dibiarkan, lama2 bisa menjadi bangunan semi permanen dan permanen. Saya sudah punya gambaran tentang pengelolaan pantai Pariaman. Mana yg pantai terbuka, mana Tempat Pelelangan Ikan, mana yang tempat bakar ikan (kuliner ikan saja), mana yang jadi hutan pantai, mana juga yang dibuat jadi semacam water front city. Termasuk juga sungai2 kecil, selokan2 kecil, bisa ditata, dengan konsep sungai atau selokan jadi halaman depan, bukan halaman belakang. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Lies Suryadi niad...@yahoo.co.id To: rant...@googlegroups.com rant...@googlegroups.com Sent: Monday, January 28, 2013 4:00 PM Subject: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya terkejut melihat foto udara Pariaman ini, dimana dikatakan hotel sekitar Nan Tongga disebut 'lahan mubazir'. Jan sampai konsep calak bingkau pembangunan kota2 bantuak di Jawa tabao lo sampai ka Piaman. Lai ado juo tanah nan lapang lai dijadikan kadai, jadi bangunan. Indak ado paru-paru kota, indak ado tampaik urang bamain dam rimbunan pohon di sekitar kota. Rancak diinok2'an kini dulu. Ambo kiro lah banyak anggota rantau net ko pai ka Paris, Amsterdam, New York, dll. Lieklah urang manata kotanyo: apo tanah laweh di sekitar kaki Menara Eifel tu dibuek urang untuak kadai2 jo toserba/maal? Apo Vondelpark nan lah lah takapuang di tangah2 Amsterdam tu dibuldoser urang untuak dibuek gaduang2 tingi? Itu tandonyo indak kepeng masuak sajo doh nan dipikiakan dek penguasa kota2 tu. Contoh dakek: lieklah kota Padang kini. Baa bantuak e? Ancik urang ka bisa istirahat, angkot sae ndak bisa istirahat kini doh. Jadi, mohon bana ka calon panguaso Piaman, a sajo bangunlah: tapi jo konsep, tinggakan hutan alam untuak paru2 kota, untuk keindahan kota, untuak pertahanan resapan aia. Ambo kiro rancak kawasan di sekitar Muaro Pariaman tu dibiakan hijau, tapi ditata elok2. Kok indak, ambo khawatir kito akan maulang kesalahan2
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17)
Hehehe. Hapa jalan dek ditampuah, hapa kaji dek diulang :) Sent from my iPad On 28 Jan 2013, at 22:37, ZulTan zul_...@yahoo.com wrote: Biasonyo kalau informasi nan samo diulang-ulang, Iko Jaleh Promosi. Kalau promosi ndak bisa man-deliver apo nan disampaikan, namonyo Iko Janji Palsu. Dek Iko Jaleh Piaman lah baulang-ulang sampai 17 kali kalau indak juo jaleh, Iko Jaleh Pakak! Kalau indak juo paham-paham, Iko Jaleh Pandia. Beko kalau lah babao-babao limbagonyo, lah buliah dikatoan, Iko Jualan Partai. Beko kalau tapiliah, Iyolah Jadi Pejabat. Kok isuak jadi wako nan dicintoi rang banyak, Iyolah Jadi Pujaan. Namun kok kalah, Iyo Jadi Pecundangnyo. Kalau sampai putuih aso dek, Itu Jelas Petaka! Kok program-programnyo masuak aka, Inshaallah Jadi Pemenang. Salam, ZulTan, L, Bogor From Sinyal Bagus XL, Nyambung... Teruuusss... Putuuusss! From: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Mon, 28 Jan 2013 00:53:58 -0800 (PST) To: Rantau NetRantauNet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Cc: Koran Digitalkoran-digi...@googlegroups.com; Forahmifora...@yahoogroups.com; Kahmikahmi_pro_netw...@yahoogroups.com; Lisil...@yahoogroups.com; p...@yahoogroups.comp...@yahoogroups.com Subject: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (17) http://indrapiliang.com/2013/01/28/iko-jaleh-piaman-17-/ Iko Jaleh Piaman (17) Oleh Indra J Piliang*) Masih banyak orang Pariaman belum tahu tentang cerita Anggun Nan Tongga. Buktinya, waktu acara talkshow di Radio Dara FM tanggal 15 Januari 2013 lalu, saya sempat bertanya tentang gelar atau nama lainnya. Ada memang yang berhasil menjawab, yakni Magek Jabang. Namun ketika ditanya soal Nangkodo Baha, semakin sedikit yang tahu. Padahal, dua ikon inilah yang sudah menjadi bagian dari mitologi sosial Rang Piaman. Guna mengingatkan kembali tentang dua ikon itu, saya sudah lama ingin menerbitkan kembali kisah mereka yang pernah ditulis. Kebetulan, dua tahun lalu saya berjumpa dengan Abrar Yusra. Novelis ini pernah menulis tentang Anggun Nan Tongga, Nangkodo Baha, Gondan Gondoriah dan lain-lain. Baru minggu lalu saya mendapatkan naskah novel berjudul “Dendang Pelayaran” karya Abrar Yusra ini. Naskah yang menghentak, tentu dengan versinya sendiri. Setelah membaca naskah Abrar Yusra, saya baru paham cerita Nangkodo Baha, Anggun Nan Tongga dan lain-lainnya itu dalam versi Abrar. Walau langgamnya tidak terlalu sesuai dengan kaidah sebuah naskah yang akan beredar di Minangkabau, melainkan lebih ditujukan kepada pembaca Indonesia, cerita ini mengurai hubungan banyak pihak di dalamnya. Bagaimanapun, saya akhirnya memutuskan untuk menerbitkan (kembali) naskah ini. Biarlah nanti publik yang menilai. Pentingnya mengangkat (lagi) naskah tentang Anggun Nan Tongga dan nama-nama yang terkait dengannya ini, adalah bagian dari usaha saya untuk “Menikam Jejak, Mencari Akar”. Tidak hanya sekadar membangkit batang terendam, tetapi juga membersihkan batang-batang itu untuk menelusuri seluruh lekuk-lekuknya. Dan ini bukan usaha pertama, tetapi menjadi bagian dari proses yang sudah lama saya lakukan secara pribadi. Saya termasuk orang yang sedih, ketika Tugu Layar di Simpang Tugu Tabuik sekarang dibongkar. Bagaimanapun, sejarah TNI Angkatan Laut pernah hidup di Pariaman, terbukti dengan Tugu Layar itu. Ada kalimat yang saya selalu ingat di Tugu Layar itu: “Panakiak pisau sirauit, Ambiak galah batang lintabuang, Salodang ambiak ka nyiru. Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.” Sejak mengenal kata-kata itu, saya menjadikannya sebagai pedoman hidup, baik di rantau, apalagi di ranah. Sebagai seorang pembelajar, kata-kata itu membekas dalam diri saya. Sampai sekarang saya tidak mengerti, kenapa Tugu Layar hilang. Saya tentu setuju dengan adanya Tugu Tabuik, tetapi bukan berarti yang lain harus dihilangkan. Apalagi, para tetua Pariaman masih ingat, betapa setiap Hari Angkatan Laut (atau Hari Dharma Samudera, setiap tanggak 15 Januari) ada semacam defile dari TNI AL di Pantai dan Kota Pariaman. Simbol sebagai kota maritim tertanam, dengan Tugu Layar menjadi salah satu ikonnya. Dengan atraksi defile TNI AL setiap tahun di Kota Pariaman saja, sudah menjadi kebanggaan tersendiri warga kota. Apalagi sepanjang sejarahnya, Kota Pariaman memang terkenal sebagai basis armada laut, baik pihak asing, maupun pribumi. *** Mitologi Anggun Nan Tongga dan Nangkodo Baha adalah bagian dari kejayaan maritim Rang Piaman. Piaman disini meliputi tidak hanya Kota Pariaman sekarang, melainkan juga Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam (bagian Barat, seperti Tiku), Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Itulah yang disebut sebagai Piaman Laweh. Penjelajahan yang dilakukan oleh Anggun Nan Tongga, juga sampai ke sejumlah pulau lain yang tentu “sulit” diterjemahkan
Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami
Ada kesalahan teknis. Antah dima salahnyo. Sent from my iPad On 28 Jan 2013, at 19:35, sjamsir_sjarif hamboc...@yahoo.com wrote: Dicaliak-caliak Piaman News banyak lo urang bagaduru nak jadi Piaman-1 mah yo? http://www.pariamantoday.com/ http://www.pariamantoday.com/2012/11/ketika-piaman-tak-laweh-lagi.html -- MakNgah --- In rantau...@yahoogroups.com, sjamsir_sjarif wrote: Mungkin email IJP lah gata-gata kanai pantak ulek uro-uro pulo... :) --- In rantau...@yahoogroups.com, ZulTan wrote: Saya juga bingung, bak mitraliur email sanak tiba. Salam, ZulTan, L, Bogor From Sinyal Bagus XL, Nyambung... Teruuusss... Putuuusss! -Original Message- From: Indra Jaya Piliang Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Mon, 28 Jan 2013 02:47:12 To: rantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: Bls: [R@ntau-Net] Re: Pariaman Tadanga Langang, dek Indra Jaya Piliang Mangkonyo Rami Saya juga bingung, ada pagar tinggi parak karambie. Itu sudah ada pemiliknya atau bagaimana? Ini mesti dicek lagi. ... -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Re: [R@ntau-Net] Batang Piaman Kampung nan Jauh dari Listrik
Kalau saya memandang soal ini agak beda. Soalnya, kampung sy juga baru masuk listrik tahun 2002. Saya belajar -- kadang -- pakai sitarongkeang. Sering dama togog. Sampai tamat SMA. Bisa masuk UI jg. Senior2 sy belajar di atas kerbau, bisa masuk ITB. Malam kami bagurau di surau, basilek. Tanpa listrik, tp ada sitarongkeang, ada lentera, ada dama. Lalu jam 10 sudah tidur, istirahat, subuh bangun. Era TV? Bagadang untuk nonton film hollywood atau bola. Tak bisa bangun Subuh. Bakaruah. Telat sekolah. Maksus sy, skrg byk org kota yg lelah dengan peradaban. Asal ada visi yg baik, misalnya jd lokasi wisata -- ala Batang Piaman --, lokasi seperti ini malah tidak perlu diterangi listrik. Syaratnya, ada visi itu. Dibangun bbrp rumah baheula, tanpa listrik, dengan lingkungan alami, dijepit bukit, ada batang narehnya, ada ikan gariang, ada pohon tinggi. US$ bisa habis utk itu. Sy jg sdh selidiki daerah2 yg sudah dapat akses listrik dan internet, termasuk di Tandikek. Yg sy temukan, ya, apalagi kalau bukan utk mengakses situs2 porno. Byk kampung punya listrik, tp yg masuk bukan kesejahteraan, tetapi yg lain: kemiskinan ekonomi, kemiskinan kultural, kemiskinan religius. Aplg tayangan televisi kita, lbh konsumtif. Sekali lg, ini hanya diskusi. Kampung tanpa listrik, tp sejahtera dan masyarakatnya bahagia, kenapa tidak. Dan koq sy menemukan sisi ajaib itu dalam artikel yg dikirim oleh Mak Ngah. Coba kita baca lagi :D Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: sjamsir_sjarif hamboc...@yahoo.com To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, January 24, 2013 5:38 PM Subject: [R@ntau-Net] Batang Piaman Kampung nan Jauh dari Listrik Samantaro awak maengong Rantau urang nan Rancak, lampu nan indak baminyak, labuah batembok, sadonyo mamuji ... bupatinyo nan elok, tapi kok ditukiakkan mato ka bawah iduang awak tadanga Pakiak Rang Awak nan indak bahantu paimak... Padang Piaman lai baBandara BIM, sadang mambuek Bandlaut Tiram, punyo Koretapi Wisata nan dibanggakan ilia mudiak. Piaman ka mambuek Wisata Laut panuah jo cito-cito nan disumbangkan ka Calon Walikota nan sadang dialu-alukan di Lapau ko. Pekikan Hati Rang Kampuang Batang Piaman di bawah ko sabana paralu kito simak. Mudah-mudahan anak-anak sikolanyo dapek pulo mambaco jo Lampu nan Indak Baminyak. Mungkin banyak lai Kampuang-kampuang awak nan Saparasaian jo Batang Piaman ko. Mudah-mudahan Pakiak nan Indak Kadangaran ko lai ka tadanga dek Urang nan Indak Batalingo... Salam, -- MakNgah Sjamsir Sjarif Santa Cruz, California, January 24, 2013 Silakan baco barito Surek Kaba Haluan di bawah ko: Batang Piaman Kampung nan Jauh dari Listrik Rabu, 23 Januari 2013 02:06 Caliak lah ko a, ndak amuah iduk lampu ko kini do! ujar Mawardi (50), sambil menunjuk ke arah lampu yang menggantung di depannya. Lampu itu terus ditatap, matanya menerawang, tangan kanannya menempel di bibir dengan sebatang rokok kretek, dihisapnya dan pipinya mulai mengerucut lalu hu…asap pun keluar dari bibir hitam itu, melayang lalu memudar, seperti mulai pudarnya harapan Mawardi dan sejumlah warga untuk merasakan cahaya dari listrik di Korong Batang Piaman, Nagari Koto Dalam, Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman. Seperti inilah yang kami alami setiap hari, tak ada listik, hanya panel surya dan aki rusak untuk penerang malam, dan itu pun hanya bertahan beberapa jam. Kami hidup di era teknologi namun kami merasa hidup di kegelapan, ucap Mawardi, Selasa (22/1). Gelap malam, pudarnya harapan, dialami oleh Mawardi dan sejumlah warga lainnya sejak puluhan tahun lalu. Warga pun seperti hidup di tempat nan asri namun terkurung oleh tingginya pohon-pohon ketidakpedulian para pemimpinnya. Terletak di kawasan lembah yang diapit oleh dua bukit, menjadikan Batang Piaman kampung nan asri, sejuk dan damai. Kicauan burung di atas padi, hembusan angin dari lembah bukit di Batang Piaman seolah menjadi teman setia warga setiap memulai aktifitas di pagi hari. Mayoritas pekerjaan dari 154 (KK) Kepala keluarga di Batang Piaman adalah petani. Namun di balik itu semua warga juga menjerit tidak tahu kemana akan mengadu, mereka hanya meminta hak yang sama seperti masyarakat lainya, yaitu menikmati seberkas cahaya dari listrik untuk anak-anaknya yang ingin belajar, maupun untuk kebutuhan sehari-harinya. Jika malam menjelang Korong Batang Piaman seperti kampung sunyi nan gelap, jangan berharap bisa mendengar lantunan musik, atau pun lukisan cahaya yang keluar dari televisi, yang ada hanya nyanyian jangkrik malam dan sahutan katak. .. dst... http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_contentview=articleid=20660:batang-piaman-kampung-nan-jauh-dari-listrikcatid=2:sumatera-baratItemid=71 --- In rantau...@yahoogroups.com, rn.amiroeddin@... wrote: Oh iyo salah ambo, Walikota, sayang Bupati Sanjai kalah dalam Pilkada Sul Sel Powered by
Re: [R@ntau-Net] Batang Piaman Kampung nan Jauh dari Listrik
Kebetulan ambo memang berbeda dalam soal iko memberikan perspektif. Dg alasan yg kuat. Waktu urang kampuang ambo minta dibuek jembatan, ambo sabuik untuak apo jembatan? ancak nah manyubarang? Kini ada 2 jembatan, satu jembatan gantuang, satu jembatan permanen. Masalah berikutnyo datang. Urang2 mulai manjua tanah, mambali sepeda motor. Nan acok naiak jambatan itu oto ambo, kalau ambo pulang. Mulai ambo caliak masalah2 lain berdatangan. Bateh sipadan jadi hilang. Anak2 mudo sibuk jo ondanyo. Sawah tabungkalai. Ladang kanai hamo coklaik. Satu masyarakat yang tidak memiliki kesiapan entrepteneurship, apabila diberikan teknologi, modernisasi, dll, maka modernisasi jadi alat penjajahan. Bukan alat pembebasan. Cth lain, nelayan minta kapa. Samo DKP, diagiah kapa gadang. 5 buah. Kini, kapa itu manyanda sajo jadi sarok. Apo masalahnyo? Kami ndak sanggup baiyue mambali BBM. Rugi kami, kecek nelayan. Kebetulan ambo banyak mambaco, banyak mancalian. Model pembangunan Vandana Shiva, apo nan dikritisi oleh Peter L Berger, dll, rancang dimanuangkan dulu. Sabalun developmentalis batue2 jadi awal bagi dehumanism. Bak kecek ughang Piaman, Musajik nan dibangun, gereja nan salasai, Pak In. Cth lain, wakatu gampo. Minta genset. Diagiah. Apo nan tajadi? Alun sabulan, genset jadi sarok. Ma genset tu, tanyo ambo. Maha minyaknyo pak in, rusak sakali, kami ndak tahu kama ka dibao. Ndak ado nan pandai jd tukang genset, kecat masyarakaik. Kalau untuak Kota Piaman, konsep ambo ndak muluk2 Mak Ngah. Ambo alah pikiekan matang2, berdasarkan tradisi, kemampuan, sejarah, sumberdaya manusia, pitih apbd, sampai potensi investor nan ka masuak. Dll. Kini ambo alah banyak mambuek training2 anak2 mudo, mempersiapkan generasi perubahan. Memang lamo memetik hasienyo, tp iko nan talupo. Manusialah yang jadi sentral pembangunan (kebudayaan, peradaban), bukan manusia jadi kudo gara2 prmbangunan. Sent from my iPad On 24 Jan 2013, at 19:10, sjamsir_sjarif hamboc...@yahoo.com wrote: Yah, alangkah senangnya kita mendapat tanggapan berpolarisasi atas Jeritan Pekikan dari Batang Piaman ini. Saya sepakat dengan Dr. Rahyussalim, mudah-mudahan Angku IJP calon Wako Piaman yang kita alu-alukan, dapat meninjau buah renungannya kembali, rethinking, menelungkup dan menelentangkannya. Tentu akan ada adidunsanak yang akan mengetengahi dan menambahkannya. Kalau orang dapat menggunakan api untuk siar-bakar merusak bumi, kenapa kita tidak menggunakannya untuk memasak nasi...? Salam, -- MakNgah Sjamsir Sjarif Di Tapi Riak nan Badabua Di Santa Kuruih Kalipornia, January 24, 2013 --- In rantau...@yahoogroups.com, rahyussalim@... wrote: Itu mah kalau kita bicara ekses negatif vs ekses positif. Jadi kayak begitu hasilnya. Justru tantangannya adalah membuat ekses negatif jadi positif dan positif jadi more positif. Kata lain saya kurang sepakat dengan cara pandang ini (IJP). Listrik masuk ya...ekses negatif jangan. Peradaban menurut saya dinamis. Dalam periode tertentu bisa bernilai berbeda pada periode lainnya. Ini juga hanya sebuah diskusi...dari angle yang berbeda. Rahyussalim Powered by Telkomsel BlackBerry® -Original Message- From: Indra Jaya Piliang Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Thu, 24 Jan 2013 03:27:06 To: rantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Batang Piaman Kampung nan Jauh dari Listrik Kalau saya memandang soal ini agak beda. Soalnya, kampung sy juga baru masuk listrik tahun 2002. Saya belajar -- kadang -- pakai sitarongkeang. Sering dama togog. Sampai tamat SMA. Bisa masuk UI jg. Senior2 sy belajar di atas kerbau, bisa masuk ITB. Malam kami bagurau di surau, basilek. Tanpa listrik, tp ada sitarongkeang, ada lentera, ada dama. Lalu jam 10 sudah tidur, istirahat, subuh bangun. Era TV? Bagadang untuk nonton film hollywood atau bola. Tak bisa bangun Subuh. Bakaruah. Telat sekolah. Maksus sy, skrg byk org kota yg lelah dengan peradaban. Asal ada visi yg baik, misalnya jd lokasi wisata -- ala Batang Piaman --, lokasi seperti ini malah tidak perlu diterangi listrik. Syaratnya, ada visi itu. Dibangun bbrp rumah baheula, tanpa listrik, dengan lingkungan alami, dijepit bukit, ada batang narehnya, ada ikan gariang, ada pohon tinggi. US$ bisa habis utk itu. Sy jg sdh selidiki daerah2 yg sudah dapat akses listrik dan internet, termasuk di Tandikek. Yg sy temukan, ya, apalagi kalau bukan utk mengakses situs2 porno. Byk kampung punya listrik, tp yg masuk bukan kesejahteraan, tetapi yg lain: kemiskinan ekonomi, kemiskinan kultural, kemiskinan religius. Aplg tayangan televisi kita, lbh konsumtif. Sekali lg, ini hanya diskusi. Kampung tanpa listrik, tp sejahtera dan masyarakatnya bahagia, kenapa tidak. Dan koq sy menemukan sisi ajaib itu dalam artikel yg dikirim oleh Mak Ngah. Coba kita baca lagi :D Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (14)
bersifat melayani seperti tujuh bupati/wali kota tujuh pilihan Tempo tersebut, tentu hanya sejarah yang dapat membuktikan. Jika IJP berhasil menjadi Piaman satu, tentu saja. Wallahualam bissawab, Wassalam, HDB St Bandaro Kayo (L, 69+), asal Padangpanjang, tinggal di Depok [1] Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. === Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (14) Mon Dec 17, 2012 2:43 pm (PST) . Posted by: Syafrinal Syarien Ajo Indra yth; Ambo mengikuti terus ulasan serial Iko Jaleh Piaman, tapi dek karena kesibukan, baru kini terlakit untuk berkomentar dan memberi masukan. Di sektor ekonomi, kekurangan terbesar Piaman adalah: tidak adanya industri yang menggerakkan ekonomi perkotaan. Setiap kota butuh industri untuk menciptakan urban civilization. Ini konsekuensi yang harus ditempuh begitu kita sepakat untuk spin-off kotamadya Piaman dari kabupaten Padang-Pariaman tahun 2002 lalu. Lebaran lalu, ambo mudik lewat jalur darat, melewati Lubuk Linggau dan Muaro Bungo. Ambo takjub melihat perkembangan kedua kota tersebut. Dan perkembangan itu disokong karena adanya industri tambang batubara di kedua kota tsb. Berbeda dengan kota Piaman, yang dari tahun ke tahun perkembangannya hanya itu ke itu saja. Malahan geliat ekonomi di kota Piaman cenderung turun setelah banyak kantor Pemkab pindah ke Parit Malintang. Ikut dibawa pindah juga pegawai-pegawainya. Pasar Piaman serba canggung. Jika dijadikan pasar grosir, orang lebih memilih ke Padang atau Bukittinggi. Jika dijadikan pasar ritel, perlu penataan lebih lanjut supaya tidak semrawut. Dan ini sulit, karena kabarnya hampir semua toko di sana dimiliki oleh segelintir orang kaya jaman dahulu, seperti klan Tantawi dari Simpang Apa. Barangkali karena itu pula, klan Ahmadin tak mau menyentuh area pasar sekarang, gantinya mereka berusaha mengembangkan areal pasar dalam format ruko yang lebih bersih dan teratur di sekitar wilayah usaha mereka (sekitar Toko Ahmadin, kampung cina dulu). Kabarnya istri Pak Walikota adalah dari klan Ahmadin ini. Jadi menurut saya, biarkan sajalah pasar Piaman itu seperti apa adanya. Biarkan ia menjadi pasar becek kumuh ala pasar inpres jaman orba dulu. Mau diapa-apakan juga susah karena pemiliknya adalah perseorangan dari klan orang kaya Piaman jaman dulu, yang keturunan mereka sekarang cuma bisa melindangkan warisan saja. Karena tidak adanya industri, peran kota Piaman tak lebih dari sekedar daerah transit dari industri sawit di Pasaman yang menuju Padang. Lambat laun nasib kota Piaman akan mirip dengan kota Cianjur. Sebelum tol Jakarta-Bandung ada, Cianjur adalah kota yang hidup dengan geliat ekonomi sebagai daerah transit. Tapi tengoklah sekarang setelah tol Jakarta-Bandung jadi rute utama. Cianjur sudah tidak sesemarak dulu lagi. Kita sudah lupa dengan tembang lawas Semalam di Cianjur, karena memang Cianjur tidak ada apa-apa lagi untuk diingat. Tantangan bagi Ajo Indra untuk memilah industri apa yang cocok untuk dikembangkan di kota Piaman. Wassalam; Syafrinal Syarien Putra Piaman aseli... 42thn/Karawaci/Tangerang/Banten From: Indra Jaya Piliang To: Rantau Net Sent: Monday, December 17, 2012 8:59 AM Subject: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (14) -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (Seri_12)
http://indrapiliang.com/2012/12/06/iko-jaleh-piaman-12-/ Iko Jaleh Piaman! (12) Oleh Indra J Piliang *) Minggu lalu saya bertemu dengan M Nursam, seorang sahabat lama, sejak mahasiswa. Nursam adalah alumni Universitas Gajah Mada. Saya bertemu dengannya pada tahun 1995 di Universitas Riau, Pekanbaru. Dari dia, lahir tawaran untuk menerbitkan serial “Iko Jaleh Piaman!” ini untuk menjadi buku. Tentu saya menerimanya dengan senang. Nursam memiliki satu penerbitan di Yogya, Penerbit Ombak. Dengan Nursam saya bisa berdiskusi tentang “dunia saya”, yakni ilmu sejarah. Kebetulan, Nursam sedang menyiapkan satu buku menyangkut Jenderal M Jusuf. Saya memberikan namanya sebagai penulis, ketika seorang kenalan bertanya kepada saya tentang siapa yang layak menulis tentang M Jusuf ini. Nursam adalah anak Makassar, kental Bugisnya, tinggal berdekatan dengan Buya Sjafii Maarif dan menjadi salah satu teman diskusinya. Nursam mengetahuan peran M Jusuf dalam kisah Anas Malik yang saya tulis di sini. Nursam juga bercerita soal rencananya menerbitkan satu buku terjemahan menyangkut kota-kota pelabuhan di Indonesia di abad-abad lampau. Menelusuri kembali riwayat kota-kota itu membuka perspektif akan luasnya kehidupan bangsa Indonesia di masa lalu, dengan segala catatan plus-minusnya. Mencari buku yang memuat sejarah atau ilmu pengetahuan lokal adalah bagian dari kesenangan saya. Rata-rata saya kesulitan. Sekarang sudah mulai banyak muncul buku-buku biografi tentang elite lokal yang sedang berkuasa. Itu sudah cukup. Namun yan saya cari sebetulnya menyangkut banyak aspek tentang lokalitas, ketika nasionalitas dan universalitas tidak lagi menarik di tangan kelompok yang anti kemanusiaan dan anti ilmu pengetahuan. Kegemaran Nursam juga mirip. Alumni-alumni jurusan ilmu sejarah setahu saya memang kurang begitu getol dalam menumpuk harta benda. Lebih banyak lari ke dunia ilmu pengetahuan. Walau ada beberapa yang masuk ke dunia politik dan meraih kekuasaan, sikap skeptis dan kritis tetap jadi menu dasar dalam berpikir dan bertindak. Yang dicerna adalah masa lalu, sedangkan masa kini dipandang dari hari depan. Lontaran pikiran di masa depan untuk melihat apa yang dikerjakan hari ini, sekaligus mencari jejak masa lalu atas apa yang terjadi hari ini. *** Dalam perjalanan ke Pariaman selama seminggu akhir bulan lalu, saya mencari lagi jejak-jejak masa lalu di Kota Pariaman. Saya datangi kuburan China di Kuraitaji untuk pertama kalinya seumur hidup. Masih banyak kuburan yang bagus, sekalipun juga sudah ada beberapa yang runtuh. Kantor Samsat Kabupaten Padang Pariaman berdiri di bawah gundukan bukit yang barangkali tertinggi di Kota Pariaman itu. Di puncaknya, berdiri satu tugu, lalu saya naik ke atasnya. Itulah untuk pertama kalinya juga saya melihat kota Pariaman dari atas ketinggian. Saya sudah lama meminta kepada adik-adik di Nangkodo Baha Institute untuk mencari lokasi dimana: “Kita bisa memandang Kota Pariaman dari ketinggian, supaya utuh.” Rupanya, tidak ada lokasi itu di Kota Pariaman. Kita harus naik ke Gunung Tandikat, kalau memang mau memandangnya. Berbeda dengan Bandung atau Jayapura yang bisa dilihat dari ketinggian, secara dekat. Saya membayangkan jauhnya letak kuburan China di Kuraitaji dengan kawasan pemukiman orang Tionghoa di masa lalu, yakni di sekitar Kampung Chino atau dekat pantai. Barangkali, ketika mengantarkan jenazah untuk dimakamkan di Kuraitaji, para pengiring menggunakan kuda bendi di masa lalu, serta pawai dengan tarian barongsai. Iring-iringan yang kita temukan di Bagansiapi-api, Bangka atau Singkawang. Saya juga mencari Kuburan Belanda (Kubel) di Lohong. Lokasinya bersebelahan dengan tempat kelahiran saya, Kampung Perang (Kamper). Rupanya, dari ibu-ibu yang sedang membeli gorengan sore itu, saya menemukan fakta kalau Kuburan Belanda sudah rata dengan tanah. Di atasnya berdiri bangunan Kesbangpol Kabupaten Padang Pariaman. Ada kutipan menarik: “Hantu Bulando kan ndak mode hantu urang awak doh. Jadi, ndak takuik ughang mendataan.” (Hantu Belanda kan tidak model hantu kita. Jadi, tidak takut orang-orang ketika menguruknya). Yang terbayang di benak saya adalah usaha mendapatkan satu foto saja dari masa lalu untuk menunjukkan model Kuburan Belanda itu di masa lalu. Kalau foto itu ditemukan, entah di Belanda atau di arsip siapapun, satu proses rekonstruksi juga bisa dilakukan. Minimal, masyarakat sekarang dan nanti tahu, ada komunitas orang (tentara) Belanda di Kota Pariaman di masa lalu. Kalau ada ahli bahasa yang bisa menyelidiki, bisa jadi dalam bahasa Pariaman sekarang masih terdapat istilah campuran bahasa lokal dengan bahasa Belanda dan Tionghoa. Di Pulau Angso Duo, saya menemukan satu kuburan panjang, yakni 7 meter. Di sebelahnya ada surau. Sayang, kuburan itu seperti kehilangan daya magisnya, mengingat sudah disemen secara permanen. Konon, masih ada ahli-ahli tarekat yang datang berziarah ke kuburan tak dikenal
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (7) #Buku #Perpustakaan
Iko Jaleh Piaman! (7) 9 November 2012 0 komentar Iko Jaleh Piaman! (7) Oleh Indra J Piliang *) Sampai sekarang saya tidak tahu di mana letak toko buku yang lengkap atau perpustakaan daerah di Kota Pariaman. Kalaupun ada, seperti di toko-toko sepanjang seberang lapangan Merdeka, itupun bercampur dengan kios koran. Ayah saya dulu sering membeli majalah Intisari ataupun koran nasional dan lokal di sekitar itu. Kadangkala, kalau tidak ditemukan apa yang dicari, Kota Padang dan Kota Padang Panjang-lah yang jadi sasaran bergerilya. Waktu SD dan SMP di Aie Angek, X Koto, Tanah Datar, saya sering menghabiskan waktu dan uang jajan untuk membaca buku-buku komik di Pasar Bawah, Padang Panjang. Saking kecanduannya, tidak jarang uang saya habis, lalu terpaksa berjalan kaki sebelum malam dari Kota Padang Panjang ke Aie Angek. Lebih dari satu jam, tentunya, untuk kaki kecil saya. Ayah hanya tahu soal candu itu kalau menemukan novel “dewasa” di kamar tidur saya, lalu meminta saya untuk segera mengembalikannya. Kategori novel dewasa itu adalah karya Freddy S. Tapi tidak jarang juga saya membaca novel sekelas “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang. Waktu saya memang banyak, mengingat hanya tinggal sendirian bersama nenek saya. Ayah, Ibu dan keluarga saya yang lain tinggal di Pariaman ketika saya sekolah. Hanya sekali sebulan Ibu saya datang, memberikan uang belanja, momen yang selalu saya nantikan setiap bulannya. Karena tidak punya KTP, saya sering menitipkan buku-buku yang saya bawa pulang ke orang yang lebih dewasa. Bulan yang paling lama saya membaca adalah bulan Ramadhan. Walau tidak terlalu nyaman, di Pasar Bawah Kota Padang Panjang itu dipenuhi oleh anak-anak yang lebih dewasa dari saya. Maklumlah, televisi untuk ditonton seperti sekarang hanya satu, yakni TVRI. Itupun jarang yang memiliki. Hampir semua komik saya pinjam dan baca. Kebiasaan itu berlanjut ketika saya pindah ke SMP Kampuang Dalam, Padang Pariaman. Ada toko kecil tempat meminjam buku – dengan uang jaminan, tentu – di pertigaan dekat Pasar Kampuang Dalam. Pelan, namun pasti, saya menjadi saksi kebangkrutan toko yang dihuni sosok tua yang baik hati itu. Belakangan, ketika video masuk dan anak-anak kecil mulai menyukainya, toko buku berubah menjadi tempat penyewaan video. *** Tatkala kuliah di Universitas Indonesia, saya seperti menjadi kerasukan. Saya membawa banyak buku ke kost, meminjam di perpustakaan. Kalau punya uang, saya membeli buku di acara bazaar murah atau pergi ke Pasar Senen, membeli buku di loakan. Beberapa buku saya hadiahkan untuk ayah, hadiah yang sangat dinanti-nantikannya. Hanya saya memang yang diingat ayah rajin membaca buku, bahkan sobekan koran dari bekas nasi bungkus yang saya bersihkan. Sampai sekarang, saya memiliki beberapa kontainer berisi buku di rumah. Lemari juga penuh buku. Saya ingat, waktu kuliah pernah sakit bronkitis, sehingga terpaksa cuti kuliah selama satu semester, berobat di kampung. Bronkitis datang akibat kondisi kost yang buruk, sehingga rayap dan tikus sering masuk. Atap kadang tiris. Yang kena adalah buku, dimakan rayap atau basah oleh hujan dari atap yang tiris. Setelah bekerja di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), salah satu lembaga think tank (tangki pemikir) terkemuka di Asia Tenggara, Asia dan termasuk dalam 30 besar di dunia, saya semakin keranjingan dengan buku. Hanya saja, pekerjaan sebagai analis dan peneliti, serta kesibukan dengan sejumlah organisasi, membuat saya hanya menjadi kolektor. Saya pernah dua kali menjadi juri Khatulistiwa Award yang memberi hadiah Rp 50 Juta kepada penulis-penulis hebat Indonesia. Doktrin tentang buku saya terima selama sekolah. Kutipan dari salah seorang pejabat yang saya lupa adalah “Kutu yang paling baik adalah kutu buku”. Buku memang membuka cakrawala tentang dunia yang luas. Kalau saya stress hebat dan hampir kehabisan tenaga, biasanya saya melakukan tiga hal: pergi ke toko buku (merasa jadi orang pandir sedunia), ke pasar melihat kuli angkut (merasa jadi orang paling malas sedunia) atau ke tepi laut sambil menghitung bintang (merasa hanya jadi debu di tengah semesta raya). Sejak menjadi aktivis mahasiswa sampai sekarang, saya menerima ribuan plakat dari seluruh Indonesia, tempat saya mengisi acara seminar, diskusi atau pelatihan. Plakat-plakat itu memenuhi kontainer-kontainer di rumah. Sejak setahun lalu, saya mulai berkampanye agar tidak lagi memberikan plakat kepada saya. Saya menganjurkan panitia untuk membelikan saya sebuah buku atau buku yang ditulis oleh salah satu panitia. Budaya plakat bagi saya yang banyak menerima plakat, hanya memberi kerepotan untuk menempatkannya di rumah. *** Apa ciri penting dari sebuah kota, selain yang sudah saya tulis sebelumnya dalam serial @IkoJalehPiaman! ini? Sebuah atau beberapa buah perpustakaan. Dokumen-dokumen pemerintahan bisa ditaruh di perpustakaan untuk diakses oleh masyarakat
[R@ntau-Net] Tarimo kasih
Assalamu'alaikum Wr Wb Ambo sekeluarga mengucapkan terima kasih atas doa dan ucapan berduka cita atas meninggalnya ayah mertua saya, Bapak Syamsul Bahri, kemaren pagi, pukul 09.00. Jenazah sudah dimakamkan di Kalideres, Tangerang, sore harinya. Beliau adalah sosok ayah yang baik dan keras, termasuk dalam menghadapi saya sebagai calon menantu dan menantu, di perantauan. Kami sekeluarga sangat kehilangan. Terima kasih juga untuk semua pihak dalam proses memandikan, mengafankan, mengantarkan ke peristirahatan terakhir dan sekaligus kegiatan pengajian dan lain-lain. Saya hanya bisa bertemu dengan tanah pekuburan, karena kmrn sedang ada tugas di Medan. Sekali lagi, terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr Wb Sent from my iPad -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (6)
http://indrapiliang.com/2012/11/06/iko-jaleh-piaman-6/ Museum Anas Malik Iko Jaleh Piaman (6) Selasa, 6 November 2012 Iko Jaleh Piaman (6) Oleh Indra J Piliang *) Banyak orang yang bertanya, akan jadi apa saya kelak, setelah lulus dari jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI? Salah satu yang disebut adalah bekerja di museum. Saya hampir patah semangat untuk terus kuliah di semester pertama dan kedua. Beruntung, orang tua saya tidak berpunya, sehingga saya tidak punya kesempatan lagi untuk mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada tahun berikutnya, 1992. Saya justru tahu kegunaan ilmu sejarah setelah menamatkan studi dan mulai menulis. Ada latar pada sebuah cerita dan analisa, itu sejarah, ibu dari semua ilmu (sosial). Krisis ekonomi yang datang pada Juli 1997, bertepatan dengan saat saya hendak wisuda. Jadi, tidak satu museumpun akhirnya mendapatkan surat lamaran dari saya. Tatanan pemerintahan sudah berubah. Iklim demokrasi tumbuh. Era politik dan kebebasan perspun dimulai. Setelah kembali ke kampung halaman sebagai politisi, bukan sebagai akademisi, saya mulai menggali cerita lama. Perspektif yang tidak akan hilang dalam diri saya. Dari Benteng Bukit Tajadi di Bonjol, sampai makam Haji Miskin di Pandai Sikek, mulai perlahan saya coba maknai. Di bidang ilmu pemerintahan, terbersit mencari sosok-sosok lokal, ketimbang para negarawan besar yang hadir dalam buku-buku sejarah. Di Pariaman, saya menemukan sosok Anas Malik. Banyak tokoh menyebut namanya. Anas Malik adalah seorang kolonel TNI Angkatan Darat yang menjadi legenda. Anas menjadi Bupati Padang Pariaman pada tahun 1980-1990. Periode saya Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Dari ayah saya, terdapat cerita soal Anas Malik ini, atasannya ketika menjadi pegawai di kantor Bupati Padang Pariaman. Salah satu visi Anas Malik adalah menggabungkan Kepulauan Mentawai sampai Kepulauan Nias menjadi salah satu wilayah yang dikelola dalam satu tangan. Anas Maliklah yang mengubah Kabupaten Padang Pariaman, khususnya Kota Pariaman, dari daerah yang dianggap keras dan tanpa peradaban, menjadi disiplin dan tidak lagi kumuh. Anas berasal dari Sungai Geringging, daerah asal Nangkodo Baha, sehingga mempopulerkan kesenian Indang Sungai Geringging. Jalan-jalan dibangunnya dengan bagus, sampai ke pedesaan, dengan konsep ABRI Masuk Desa. Pola ini lalu dipakai di seluruh Indonesia oleh Jenderal M Yusuf. Walau banyak membangun di kawasan utara Padang Pariaman, namun dari sisi kultur, Anas Malik banyak berperan di Padang Pariaman. Dia menjadi legenda di kalangan bupati se-Sumatera Barat. *** Diam-diam, saya menugaskan kepada Hendri, seorang guru di SMA Sungai Limau, untuk menulis biografi Anas Malik. Hendri bahkan sampai ke Jakarta melakukan riset kecil-kecilan. Terakhir, Hendri menyerah, minta maaf kepada saya, lebih karena kesibukannya sebagai guru. Hendri sudah sempat menulis beberapa puluh halaman, dengan sejumlah data yang ia ambil dari dokumen-dokumen resmi sampai cerita orang per orang. Belakangan, saya menemukan seorang penulis yang mengelola sebuah situs bernama Pariaman Today. Namanya Oyong Liza Piliang. Kepada Oyong saya sampaikan tantangan yang sama, agar bisa menulis tentang Anas Malik. Dengan semangat tinggi, Oyong menggali cerita Anas Malik dan memuatnya di Pariaman Today. Oyong memang sudah pernah memuat kisah Anas Malik, sehingga tidak lagi mulai dari awal. Kebetulan, putri Anas Malik adalah istri dari Leonardy Harmaini, mantan Ketua DPRD Sumbar dan Ketua DPD Partai Golkar Sumbar. Kini, saban pekan kita menemukan kisah Anas Malik dalam situs Pariaman Today. Saya terus menyemangati Oyong Liza Piliang untuk menggali sedalam-dalamnya. Bagi saya, sebuah kota kecil seperti Pariaman, serta Piaman Laweh umumnya, patut berterima kasih kepada Anas Malik. Pariaman tidak punya tokoh-tokoh hebat yang mayoritas berasal dari Padang Panjang, Padang, Bukittinggi dan Sawahlunto. Dengan nama Anas Malik, minimal ada sandaran soal sejarah yang tidak hanya tertulis nama-nama besar itu. Dalam masa kampanye pemilu legislatif 2008-2009, saya sering berpidato di hadapan massa. “Jarak Pariaman ke Bukittinggi memang hanya 2 jam perjalanan. Tapi jarak peradabannya 80 tahun. Ketika Anas Malik membersihkan WC terpanjang di dunia di pantai Pariaman tahun 1980-an, orang Bukittinggi sudah sampai di Belanda pada awal abad ke-20.” Ketika pengaruh Ranah Minang di pentas nasional disebut, mayoritas pengaruh itu datang dari arah Bukittinggi, tanpa Pariaman. Ada beberapa nama lain yang coba saya gali. Antara lain, Firdaus Wajdi, ayah kandung dari Muhammad Luthfi, Duta Besar Republik Indonesia di Jepang. Firdaus adalah aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia tahun 1966. Namun, lagi-lagi kiprahnya terkenal di pusat politik Jakarta. Nama yang otentik dengan Pariaman harus dicari di Pariaman sendiri. Ada juga nama Azzumardi Azra, sosok intelektual asal Lubuk Alung, Padang Pariaman.
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman (5)
http://indrapiliang.com/2012/11/04/iko-jaleh-piaman-5-/ Iko Jaleh Piaman (5) Minggu, 4 November 2012 Iko Jaleh Piaman (5) Oleh Indra J Piliang * Saya pernah beberapa kali ke luar negeri. Kalau tidak benar-benar streg, saya tidak berangkat. Acap kali saya menolak pergi ke luar negeri, walau sudah diperintahkan kantor atau ditugaskan partai. Ada-ada saja alasan saya menolaknya. Bagi saya, Eropa, Amerika dan Australia tidak terlalu menarik, mengingat informasi yang ada di sana banyak hadir. Makanya, saya pergi ke China, Thailand atau Malaysia, negara yang masih memiliki kemampuan yang baik. Bahkan, saya pernah menolak beasiswa ke Amerika Serikat, setelah selesai kuliah S-1 di Universitas Indonesia. Alasannya sederhana, membalas budi orangtua saya yang memang serba berkekurangan, berikut adik-adik dan kakak-kakak saya yang tidak berpendidikan sarjana. Saya satu-satunya sarjana di keluarga saya, bahkan sudah magister. Makanya saya kurang begitu berminat melanjutkan ke program S-3, walau mampu secara ekonomi dan otak. Saya tidak ingin larut dalam ribuan buku, ketika keluarga besar saya terkadang sulit berkomunikasi dengan saya, lelaki yang berbahasa “akademis”. Walau begitu, tentu saya masih ingin sekolah empat atau lima tahun lagi, mengejar gelar doktoral. Tapi biarlah suatu hari, masa itu akan datang. Fahmi Idris menamatkan gelar doktoralnya setelah pensiun dari menteri dan sejumlah jabatan di perusahaannya. Tidak masalah benar. Dulu, waktu pertama kali bertemu warga di kampung, dalam masa pemilu legislatif 2008, saya terpaksa belajar ulang. “Kami tidak mengerti bahasamu,” begitu kata tetua di kampung. Bagi saya, ketika warga tidak paham apa yang saya sampaikan, sulit membuat perubahan, sekecil apapun. Karena itu pula, saya selalu merasa berbahagia dalam hidup. Gairah saya kuat ketika menghadapi mahasiswa yang hendak kuliah atau mengejar ilmu pengetahuan. Biasanya, saya mendorong dan membantu semampunya. Indonesia memang masih kekurangan para sarjana. Kekurangan lapisan sarjana ini memicu kepada keterbatasan dalam memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk di bidang politik. Skandal ijazah palsu menampar dunia politik, lebih karena gengsi yang dikandungnya. Tema kampanye saya selama pemilu legislatif 2008-2009 adalah membangun sebuah universitas di Sumbar II. Sumbar II meliputi Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota. Meman, ada universitas di Bukittinggi, tetapi kalah menarik dari Universitas Andalas di Kota Padang, misalnya. Sebagai alumni universitas, saya merasakan bagaimana pendidikan mengubah banyak hal dalam pola pikir saya. *** Pariaman memiliki kemampuan untuk dijadikan sebagai kota pendidikan. Syarat masyarakat kosmopolit dan rasional sudah terpenuhi, bahkan sebelum menjadi kota otonom. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain, jarang kita menemukan rumah besar bak istana di kota Pariaman. Di bagian Indonesia yang lain, rumah besar itu sering ada, sekalipun di daerah itu sama sekali belum terdapat universitas. Kehadiran rumah besar bak istana adalah pertanda suburnya monarki dalam artian sempit. Syukurlah, Kota Pariaman tidak terkena dampak rumah bak kastil itu. Masih ada toleransi, bahkan bagi perantau yang memiliki kekayaan lebih. Ada beberapa lapau di Kota Pariaman dijadikan sebagai pangkal bagi segala isu politik dan pemerintahan. Saya membayangkan, lapau-lapau itulah yang dulu di Eropa menghasilkan Renainsance atau Aufklarung atau zaman pencerahan. Tinggal bagaimana lapau-lapau itu mengubah diri sebagai cafe-cafe yang nyaman, lalu secara rutin menggelar diskusi-dikusi rumit. Siapapun bisa datang, mulai dari filsuf dadakan, mahasiswa abadi, tuanku yang sedang jeda mengaji atau para guru dan dosen perguruan tinggi. Kemampuan masyarakat Pariaman untuk memperbincangkan segala sesuatu yang baru, unik dan aneh, memang luar biasa. Tidak terjebak dalam kultur yang jumud yang dibawa oleh para parewa dan pandeka yang kalah berkelahi. Kalau perlu, cafe-cafe khusus itu dibangun di enam pulau yang ada di pantai Pariaman, lantas setiap pekan atau bulan menggelar diskusi-diskusi khusus. Saya yakin, akan banyak manusia unik dari Indonesia atau luar negeri yang datang. Manusia-manusia yang sudah selesai hidupnya, akibat pengalaman panjang dalam mencerna kehidupan. Sambil memandang bintang di langit, diskusi apapun bisa terjadi. Bukan hanya tentang manusia dan alam, tetapi juga “alam” sesudah kematian atau apa yang ada di langit. Itu juga yang pernah saya tanyakan kepada seorang guru agama di SMA 2 Pariaman, ketika membahas surat Az-Zumar yang saya lupa ayatnya. “Pak Guru, berarti di angkasa itu adalah mahkluk selain manusia?” Jawaban guru itu hadir di kepala saya, “Ada.” Diskusi seperti itu bisa menarik, apabila menghadap-hadapkan ahli-ahli agama dengan ahli-ahli luar angkasa. ***
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2)
Wa'alaikum salam. Terlalu jauh membandingkan dengan Sanghai atau Hongkong. Nan ambo caliak di lapangan, kondisi nelayan paliang sulik di Piaman. Dulu terkenal dg sebutan urang pasie nan karajonyo pacakak, susah diajak mangecek. Sampai kinipun kondisinyo mirip. Ambo pai ka lauik, mamanciang seharian, mancaliak terumbu2 karang hancue kanai bom ikan. Kalau sektor nelayan jo tambak sajo diperbaiki, ndak ka HIV bagai nan datang doh. Baitu juo di pasie2 nan lain, dari Piaman sampai ka Tiku. Kampuang2 nelayan sabana buruak. Sadiah hati mancaliaknyo. Kama pitih ka dicari mambuek Sanghai di Tiku, Sungai Limau, jo Tiku? Tapi untuak mambuek kampuang2 nelayan lebih berperadaban, bisa dialokasikan dari dana2 APBN jo APBD. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 19:47, Muljadi Ali Basjah mulj...@gmx.de wrote: Assalamualaikum Wr.Wb. Yth. Bapak Indra J.Piliang sarato para Pambaco yang budiman. Tampak2nyo, Pak Indra calon WaKo iko kasatirehannyo jo Peer Steinbrück kandidat Kanselir Juruman, mantan Gubernur NRW, Mantan Menteri Keuangan Juruman. Bagi nan ingin tahu kamiripan dan pabedoannyo, sila caliak masiang2, sarato manuruik interpretasi masiang2. Kalau impian Pak Indra... nio, mambuek palabuahan Kapa lauik (Malin Kundang) nan dalam, kirop2 mnyaingi Singapuar jo Shanghai, pasan ambo tolong teliti bana dulu, bara panjang angok kito, bara banyak Jaga kito nan ka dijua/diangkuik urang. Ijan lupo pulo Kutub2 nan lah muloi mancaia, co Shanghai diprediksi kemahalan (12 Milliard Dollar??) dan kamungkinan tenggelam. Selain intern basaiang jo Hongkong pulo. Dilain itu, kapa2 raksasa, tendesial lah mulai manurun dek polusi jo minyak nan mulai maha/bakurang. Alun lai effekt2 negativ untuak lingkuangan alam nan dibeong dek Kapa2 Raksasa. Usah tampaik basanda kapa2 Parang USA/GI nan di pangkalan Diego Garcia. Panyakik nan tibo beko, antaro lain HIV etc. etc. Wassalam, Muljadi ALi Basjah. Original-Nachricht Datum: Thu, 1 Nov 2012 05:31:13 -0700 (PDT) Von: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com An: Rantau Net RantauNet@googlegroups.com Betreff: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2) http://indrapiliang.com/2012/11/01/iko-jaleh-piaman-2/ Iko Jaleh Piaman! (2) Kamis, 1 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (2) Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada dua perguruan tinggi yang membawa nama ini, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syech Burhanuddin dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syech Burhanuddin, keduanya terletak di Kota Pariaman. Keberadaan nama Syech Burhanuddin itulah yang menempatkan image bahwa masyarakat Pariaman adalah masyarakat relegius, terutama dikaitkan dengan tarekat Syattariyah. Di masa kecil, saya sering mendengar pembicaraan soal tarekat demi tarekat ini. Tidak jarang orang-orang di Pariaman menuntut ilmu (mengaji) ke tempat-tempat lain. Perdebatan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT berlangsung di banyak surau, terutama setelah semua orang tidur. Karena saya tinggal di Kampuang Tangah, Lansano, Sikucur Selatan, tentu ada perasaan bahwa orang yang tinggal di Pariaman jauh lebih maju dari kami. Kemajuan itu dilihat dari peralatan yang dimiliki dan dipakai, seperti kendaraan, telepon, sampai televisi. Saya semakin mengenal Kota Pariaman ketika masuk SMA 2 Pariaman (1988-1991). Sama sekali tidak ada perasaan minder dari sisi ilmu pengetahuan, selain saya berasal dari keluarga berkekurangan. Jarang saya memiliki baju yang layak untuk dipakai dalam kegiatan non sekolah. Saya memasak sendiri di rumah kos, bersama Sahrul Chaniago, sesama jurusan Fisika yang kini jadi sahabat saya. Pagi ke pasar membeli kentang dan ikan asin, lalu memasaknya. Sepatu hanya satu, itupun sobek dengan merkDragon Fly. Di akhir pekan saya kembali ke Kampuang Tangah, Kecamatan V Koto Kampuang Dalam. Terkadang, sungai banjir, sehingga terpaksa menunggu air surut selama berjam-jam. Tidak ada jembatan penyeberangan. Kalaupun ada ban bekas, itupun yang memiliki tidak banyak orang. Kampung ibu saya memang baru dimasuki listrik pada tahun 2002 lalu, kemudian memiliki jembatan gantung tahun 2008. Alhamdulillah, sekarang sudah ada jembatan permanen, dibangun atas bantuan Kerajaan Oman pasca gempa bumi hebat 2009. *** Karena lahir di Kota Pariaman, saya mengetahui kota ini dari ayah saya, Boestami Datuak
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2)
Insya Allah kakanda. Serial Iko Jaleh Piaman ko akan lanjut taruih, jadi ndak jadi mancalon. Minimal, diskusi bisa dimulai dari siko. Mukasuik ambo alah jaleh, minimal mempengaruhi proses kampanye pilkada dengan visi nan terukur, di berbagai bidang. Bia ado nanti carito di lapau3 jo sikola2. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 19:14, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com wrote: Add Indra Jaya Piliang, Ambo mambaco sacaro keseluruhan dari duo postingan sanak, kini mato ambo juo mungkin kawan2 ambo mkin terbuka dan melihat sosok Indra Jaya, Kalau salamo ko ambo hanyo mambaco pandangan sanak di mass merdia, di buku sanak nan taba tu, di mailing list rantau net ataupun waktu sanak berdebat saat sebai team sukses JK atau dialog kepemudaan, politik dsbnya di TV, kini ambo makin tahu dan kagum dg pejuangan, sikap dan ibtegritas sanak. Mulai dari perjuangan keras waktu ketek, dan iko b ukan sajo sanak, mayoritas anak2 di sumbar sakola dg perjuangan berat, tamasuak jalan kaki 3 km ka sakola, ambo juo waktu SMP jalan kaki dr Biaro ka Tanjuang alam nan bajarak hampia 3 Km, tapi itu amni nikmati karano maroritas itu adolah kehidupan yg mengasyikkan. Sanak berhasil masuk UI, dan juo lah manyalasaikan S2 d UI walalu urang banyak baangapan sanak IJP adoalh soorang doktor S3, tapi ambo mancliak sacaro kapabaliti sanak memang lah berhak diagiah gala Doktor Politik karano sanak lah banyak menghasilkan karya tulis dan siap bicara di forum dan pentas politik. Dengan pengalaman nan sanak rasokan dan cito2 mulia sanak mamajukan kampuang halaman, sanak Indra nio mangbdi sebagai Wali kota. Ambo mancaliak jabatab wako pariaman juga bukan jabatan nan terlalu hebat dan dibanggakan di kalangan sanak, tapi sanak nio mambangun, tibgga d kota kecil dg segala keterbatasan dan manibggalkan hiruk pikuk ibu kota dfg segala mimpi nn bisa diwujudkan, mulai dari networking, yabg satu hari bisa bersialturrahim dg tiga atau empat pejabat tinggi negara. Sampai penghasilan minimal cepek. Sanak Indra, Dg sebagai wako adolah starting point bagi sanak untuk menapak karir dan kesempatan nan gadang untuk memajukan kampuag halaman. Dg potensi alam dan sdm yg ado, sanak lah punyo gambaran dan rencana, lah ado ambaran mancari pundi2 ka pusat, manibbgkekkan apbd daerah, mangundang investor tamasuak manjua potensi ka rekan2 sanak IJP. Ambo ndak ingin mambandiangkan jo Jokowi, tapi mudah2an karir sanak bisa sarupo jokowi, dari Pariaman ka Jakarta, apakoh d kabinet atau di posiai lainnyo. Life begins at fourty, sasuai jo sanak ko, mamulai d birokrat. Denngan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahin dan niat yg baik dan tulus, maju sanak Indra Jaya Pilianh, S.Si., M.Si sebagai balon Wali kota Pariaman. Doa ambo buek sanak. Salam Elthaf On 11/1/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/11/01/iko-jaleh-piaman-2/ Iko Jaleh Piaman! (2) Kamis, 1 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (2) Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada dua perguruan tinggi yang membawa nama ini, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syech Burhanuddin dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syech Burhanuddin, keduanya terletak di Kota Pariaman. Keberadaan nama Syech Burhanuddin itulah yang menempatkan image bahwa masyarakat Pariaman adalah masyarakat relegius, terutama dikaitkan dengan tarekat Syattariyah. Di masa kecil, saya sering mendengar pembicaraan soal tarekat demi tarekat ini. Tidak jarang orang-orang di Pariaman menuntut ilmu (mengaji) ke tempat-tempat lain. Perdebatan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT berlangsung di banyak surau, terutama setelah semua orang tidur. Karena saya tinggal di Kampuang Tangah, Lansano, Sikucur Selatan, tentu ada perasaan bahwa orang yang tinggal di Pariaman jauh lebih maju dari kami. Kemajuan itu dilihat dari peralatan yang dimiliki dan dipakai, seperti kendaraan, telepon, sampai televisi. Saya semakin mengenal Kota Pariaman ketika masuk SMA 2 Pariaman (1988-1991). Sama sekali tidak ada perasaan minder dari sisi ilmu pengetahuan, selain saya berasal dari keluarga berkekurangan. Jarang saya memiliki baju yang layak untuk dipakai dalam kegiatan non sekolah. Saya memasak sendiri di rumah kos, bersama Sahrul Chaniago, sesama jurusan Fisika yang kini jadi sahabat saya. Pagi ke pasar membeli kentang dan ikan asin, lalu memasaknya
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (4)
http://indrapiliang.com/2012/11/03/iko-jaleh-piaman-4/ Iko Jaleh Piaman! (4) Sabtu, 3 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (4) Oleh Indra J Piliang *) Waktu kecil, ketika menempuh pendidikan SD di Aie Angek, X Koto, Tanah Datar, saya merasakan perbedaan iklim yang ekstrim. Saya mengalami sampai kelas I SMP Koto Lawas. Pariaman adalah wilayah yang panas, sementara Aie Angek begitu dingin. Perbedaan ucapan terjadi antara Pariaman dengan Aie Angek. Pariaman adalah pasisie, sementara Aie Angek adalah darek. Yang banyak saya dengar juga perbedaan budaya. Kalau baralek di Pariaman, ada acara “malam barituang”, yakni penyebutan sumbangan dari para tamu yang datang. Malam badoncek, bila helat dilakukan di rumah mempelai perempuan (anak daro). Di Aie Angek, para tamu hanya membawa beras di kampie. Pulangnya, kampie berisi pinyaram dan katan. Banyak yang saya dengar soal perbedaan urang darek memandang Piaman, begitupula sebaliknya. Urang darek biasa berkata berkias, sementara urang Piaman terus terang, kalau perlu ketika bicara terdengar sampai ke bukit. Namun, setelah pindah sekolah ke Kampuang Dalam, Padang Pariaman, saya mulai menemukan yang lain. Misalnya, belajar berpetatah-petitih untuk acara-acara kemasyarakatan. Juga belajar mengaji di surau, disamping bermain silat. Saya beruntung punya ibu orang Pariaman, sementara ayah orang Tanah Datar. Darah saya dialiri pasisie dan darek. Ayah saya Koto, ibu saya Piliang. Laras Koto Poliang di Minangkabau memang keturunan dari Datuak Ketumanggungan. Berbeda dengan Datuak Perpatih Nan Sebatang, laras Koto Piliang lebih banyak menjadi penasehat Kerajaan Pagarruyung. Langgam politik laras Koto Piliang lebih aristokrat, dibandingkan dengan laras Bodi-Chaniago yang demokratis dan egaliter. Kini, darek tidak lagi sedingin dulu. Tidak perlu pakai kain sarung dan sebo, dari sore sampai pagi hari. Iklim darek dan pasisie semakin dekat, akibat bumi semakin panas. Gunung-gunung es di kutub juga sudah lama mencair, beberapa menenggelamkan pulau-pulau kecil. Kutub yang muncul berjuta tahun yang lalu itu tidak lagi mampu menahan laju pengembangan teknologi yang menembus lapisan ozon. Dunia sudah berubah, begitu juga dunia di kampung saya: Pariaman dan Tanah Datar. *** Satu hal yang saya ingat, selalu membawa kelapa dan ikan asin dari Pariaman ke Aie Angek. Sebaliknya, dari Aie Angek saya membawa sayuran, kentang, bawang perai, buah japan dan cabe yang pedas. Begitu juga pisang yang berbeda rasa, pisang manis dari Pariaman dan pisang sarai dari Aie Angek. Bertahun-tahun saya melakukan itu, naik kendaraan umum, menjadi perantara bagi keluarga yang terpisah akibat tugas negara yang dilakukan ayah. Ayah adalah seorang eksperimentalis yang baik. Apa yang ditanam di Pariaman, dia bawa ke Aie Angek untuk ditanam. Begitu juga sebaliknya. Kalau percobaannya gagal, ayah mencoba lagi yang lain, bertahun-tahun juga. Ayah membekali diri dengan buku-buku pertanian. Pernah ayah berbulan-bulan tidak masuk kerja, lalu hidup di ladang kami di Pariaman, menanami dengan beragam buah-buahan. Saya juga melakukan hal yang sama, bertanam bunga matahari dan tomat di halaman rumah nenek di Aie Angek. Buahnya luar biasa. Subur. Produksi kelapa Pariaman termasuk sektor unggulan sampai sekarang. Bahkan, sabut kelapa juga sudah mulai dimanfaatkan, selain tempurungnya yang dijadikan sebagai “batu bara” bagi pedagang-pedagang sate. “Batu bara” dari tempurung kelapa ini lebih disukai di luar Pariaman dan luar negeri, karena tidak mengganggu lingkungan. Membakar sate atau daging di atas panggangan tempurung kelapa, tentu memberi rasa berbeda ketimbang di atas bungkil batubara. Di halaman facebook, terdapat foto zaman dulu, ketika ada “sekolah beruk” di Pariaman. Foto ini ada dalam blog Ajo Suryadi, alumni SMA 2 Pariaman yng mengajar di Leiden University, Belanda. Sekolah itu masih ada sampai sekarang, namun tidak berombongan lagi. Orang-orang mengajarkan kepada beruk untuk menjadi pemanjat buah kelapa yang handal. Walau harga buah kelapa turun, digantikan dengan buah sawit, Pariaman masih jadi sentra produksi kelapa rakyat. Tahun 1980-an, pemerintah memperkenalkan kelapa hybrida, yakni kelapa yang cepat berbuah. Kalau kelapa masih menjadi milik rakyat, sawit kebanyakan milik perusahaan, terutama perusahaan asing. Orang Pariaman sering disindir karena beruknya itu. Bagi penyayang hewan, tentu masalah ini jadi klasik, yakni penggunaan hewan untuk membantu produksi manusia. Tapi cobalah berjalan ke daerah-daerah lain di Indonesia, kelapa dipanjat oleh manusia. Mana yang lebih “maju”, kelapa dipanjat beruk atau diturunkan oleh manusia? Sebagai hewan pekerja, tentu beruk diperlakukan dengan baik, sesekali diberi telur dan madu, sebagai penambah tenaga. *** Saya membayangkan, bagaimana kalau ada festival panjat kelapa? Ini bisa menjadi atraksi budaya yang unik, selain pacu jawi dan karapan sapi. Yang sudah mulai
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3)
http://indrapiliang.com/2012/11/02/iko-jaleh-piaman-3/ Iko Jaleh Piaman! (3) Jumat, 2 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (3) Oleh Indra J Piliang *) Orgen tunggal di Kota Pariaman sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan itu lahir dari acara baralek yang dilakukan saban hari. Bagi para perantau, terutama yang berpandangan relegius, orgen tunggal dianggap sebagai benalu bagi kebudayaan. Bahkan, Persatuan Keluarga Daerah Piaman pernah membahas ini dalam pertemuannya. Kehadiran gadis-gadis berpakaian minim di atas pentas (panggung), memicu banyak hal negatif. Bagi saya, orgen tunggal hanya sebentuk cara untuk mengungkapkan rasa. Para penyanyi dan pemain orgen, serta anak-anak muda yang berjoget di atas dan di bawah panggung, bagian dari ritme hidup. Sejak kecil, ayah saya kurang memberikan tempat bagi seluruh anak-anaknya untuk bagian dari panggung itu. Saya masih ingat, betapa marahnya ayah kalau kakak perempuan saya (almarhum) ketahuan ada di atas pentas. Barangkali, itu juga yang dipikirkan oleh para perantau yang melihat orgen tunggal sebatas aurat. Saya tidak menafikan itu. Beragam tindak amoral sudah terjadi di Pariaman dan sekitarnya. Namun, sebagaimana orang-orang tua bilang, kejadian demi kejadian amoral itu sudah berlangsung sajak duya takambang (sejak dunia terkembang). Masalahnya, bagaimana menghadapi realitas kebutuhan masyarakat atas orgen tunggal, serta desakan anak-anak muda yang selalu menginginkan kehadirannya, ketika acara baralek dilakukan? Pariaman adalah kota tropis. Udaranya panas. Angin sejuk datang sesekali dari arah gunung dan pantai. Ketika orgen tunggal muncul di tengah terik matahari, kehadirannya terlihat kurang sesuai dengan iklim. Namun di malam hari, anak-anak muda bermotor datang dari segala penjuru, walau bukan bagian dari pihak yang diundang untuk datang. Lagu-lagu baru muncul, namun tidak jarang juga lagu-lagu lama yang terlupa dari para musisi Minang sendiri. *** Pemerintah tentu tidak bisa masuk ke dalam satu potret kehidupan masyarakat secara total. Tugas pemerintah adalah mengatur, agar jangan sampai aktivitas masyarakat yang satu mengganggu masyarakat yang lain. Dari sini, orgen tunggal adalah bagian dari kegiatan ekonomi, selain hiburan. Pajak bisa saja masuk menjadi satu komponen terhadap orgen tunggal. Lalu dari hasil pajak itu, performa dari orgen tunggal bisa ditingkatkan. Misalnya, perlombaan orgen tunggal berdasarkan khasanah budaya lokal. Orgen tunggal yang menggabungkan indang, tari piring maupun gandang tasa dan salawaik dulang, bisa menjadi bagian dari mestizo budaya yang unik. Di tengah rasa haus akan budaya lokal yang khas, kegersangan budaya Barat yang datang, tentu berbagai unsur kolaborasi seni menjadi pilihan menarik. Orgen tunggal tidak lagi tunggal, melainkan menjadi jamak. Sebagai politisi atau bahkan hanya bagian dari anak dan keponakan, saya juga beberapa kali didaulat untuk bernyanyi di atas pentas. Biasanya istri saya mengontrolnya dari jauh, lewat ponsel adik-adik yang menemani saya. Inilah dilema yang harus dihadapi. Di satu sisi masyarakat membutuhkan hiburan, tetapi hiburan yang berlebihan juga bisa membawa gunjingan yang tidak baik. Kehadiran seniman-seniman nasional dan lokal untuk memberi sentuhan kepada orgen tunggal ini tentu diperlukan. Saya kira, sudah ada penelitian khusus oleh akademisi kampus menyangkut orgen tunggal ini. Orgen tunggal bisa juga menunjukkan puisi dan rabab, sehingga menghasilkan bunyi yang unik, sekaligus tidak kehilangan akar kultural. Sejumlah lagu baru yang muncul sudah menunjukkan bagaimana kreatifnya seniman Minang, sekaligus dukungan masyarakat. Orgen tunggal tentu bukan hanya fenomena masyarakat Pariaman, melainkan juga kota-kota lain. Bahkan, tidak jarang ajang orgen tunggal menjadi ajang perkelahian, minuman keras, sampai judi. Saweran menjadi ciri, ditambah dengan upaya bernyanyi dan berjoget bersama penyanyi. Semakin malam, biasanya para penonton dan penyanyi semakin larut dalam nyanyian-nyanyian dengan lirik yang diambil dari lagu-lagu dangdut. *** Sebagai kota yang panas, Pariaman tentu membutuhkan area khusus untuk melatih kemampuan dalam bermusik ini. Kehadiran Pusat Kepemudaan (Youth Center) menjadi penting, tidak hanya Lapangan Bola Medan Nan Bapaneh di dekat SMA 2 Pariaman. Pusat Kepemudaan ini bisa juga sekaligus Pusat Olahraga (Sport Center). Sebuah kota memang memerlukan banyak ruang dan ruangan, bagi aktivitas kreatif dan positif anak-anak muda. Kota yang tidak memilikinya, perlu bergegas untuk membuat, demi kepentingan yang lebih luas. Pariaman memiliki lapisan anak-anak muda yang berserakan. Belum lagi di sekeliling Kota Pariaman, yakni Kabupaten Padang Pariaman. Lapisan anak muda inilah yang bergerak setiap kali ada peristiwa musik atau kesenian. Mereka berbaur dengan lapisan lain, dari kaum ibu, kaum bapak, urang sumando, urang pangka dan kelompok yang menyediakan diri untuk hadir di
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2)
Insya Allah uda. Sawah ambo di Tebet jo Wahid Hasyim. Tantu ambo akan beberkan program2 nanti, dlm bentuk vcd dll. Tulisan2 yg muncul kini hanyo hidangan pembuka. Sekaligus guno mendapatkan umpan baliak. Untuangnyo di mikis, gagasan2 diadu, tp ndak mambayie doh. Beda kalau punyo konsultan politik. Hehe. Nomor hp ambo 0812.101.3525. Msh nan lamo. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 21:15, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com wrote: Syiip adinda IJP, Bilo sempat basuo awak baliak, ambo basawah d Sentral Senayan 1, lantai 12, sabalah Plaza Senayan, maa tau ado di sinan dan ado wakatu, silahkan kontak ambo d 0816373321, nio ambo mandanga langsuang ide Ðan program brillian Bung Indra. Ado nan salut ambo ciek, ado ketulusan sanak mambangun kampuang, sanak maobral sado ¶rogram, walaupun nanti urang lain nan jadi wako, saÑak indra iÑdak keberatan kalau program ko dikarajoan, adinda urangnyo ikhls dan tulus, smg inilah pe…impin yang diharapkan oleh kota Pariaman, aamiin Salam Elthaf On 11/3/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: Insya Allah kakanda. Serial Iko Jaleh Piaman ko akan lanjut taruih, jadi ndak jadi mancalon. Minimal, diskusi bisa dimulai dari siko. Mukasuik ambo alah jaleh, minimal mempengaruhi proses kampanye pilkada dengan visi nan terukur, di berbagai bidang. Bia ado nanti carito di lapau3 jo sikola2. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 19:14, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com wrote: Add Indra Jaya Piliang, Ambo mambaco sacaro keseluruhan dari duo postingan sanak, kini mato ambo juo mungkin kawan2 ambo mkin terbuka dan melihat sosok Indra Jaya, Kalau salamo ko ambo hanyo mambaco pandangan sanak di mass merdia, di buku sanak nan taba tu, di mailing list rantau net ataupun waktu sanak berdebat saat sebai team sukses JK atau dialog kepemudaan, politik dsbnya di TV, kini ambo makin tahu dan kagum dg pejuangan, sikap dan ibtegritas sanak. Mulai dari perjuangan keras waktu ketek, dan iko b ukan sajo sanak, mayoritas anak2 di sumbar sakola dg perjuangan berat, tamasuak jalan kaki 3 km ka sakola, ambo juo waktu SMP jalan kaki dr Biaro ka Tanjuang alam nan bajarak hampia 3 Km, tapi itu amni nikmati karano maroritas itu adolah kehidupan yg mengasyikkan. Sanak berhasil masuk UI, dan juo lah manyalasaikan S2 d UI walalu urang banyak baangapan sanak IJP adoalh soorang doktor S3, tapi ambo mancliak sacaro kapabaliti sanak memang lah berhak diagiah gala Doktor Politik karano sanak lah banyak menghasilkan karya tulis dan siap bicara di forum dan pentas politik. Dengan pengalaman nan sanak rasokan dan cito2 mulia sanak mamajukan kampuang halaman, sanak Indra nio mangbdi sebagai Wali kota. Ambo mancaliak jabatab wako pariaman juga bukan jabatan nan terlalu hebat dan dibanggakan di kalangan sanak, tapi sanak nio mambangun, tibgga d kota kecil dg segala keterbatasan dan manibggalkan hiruk pikuk ibu kota dfg segala mimpi nn bisa diwujudkan, mulai dari networking, yabg satu hari bisa bersialturrahim dg tiga atau empat pejabat tinggi negara. Sampai penghasilan minimal cepek. Sanak Indra, Dg sebagai wako adolah starting point bagi sanak untuk menapak karir dan kesempatan nan gadang untuk memajukan kampuag halaman. Dg potensi alam dan sdm yg ado, sanak lah punyo gambaran dan rencana, lah ado ambaran mancari pundi2 ka pusat, manibbgkekkan apbd daerah, mangundang investor tamasuak manjua potensi ka rekan2 sanak IJP. Ambo ndak ingin mambandiangkan jo Jokowi, tapi mudah2an karir sanak bisa sarupo jokowi, dari Pariaman ka Jakarta, apakoh d kabinet atau di posiai lainnyo. Life begins at fourty, sasuai jo sanak ko, mamulai d birokrat. Denngan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahin dan niat yg baik dan tulus, maju sanak Indra Jaya Pilianh, S.Si., M.Si sebagai balon Wali kota Pariaman. Doa ambo buek sanak. Salam Elthaf On 11/1/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/11/01/iko-jaleh-piaman-2/ Iko Jaleh Piaman! (2) Kamis, 1 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (2) Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada dua perguruan tinggi yang membawa nama ini, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syech Burhanuddin dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syech Burhanuddin, keduanya terletak di Kota Pariaman. Keberadaan nama Syech Burhanuddin itulah yang menempatkan image bahwa masyarakat
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2)
Iyo. Ambo sadang rancang. Paralu jembatan ranah jo rantau kewat ide2 nan bisa dibangun. Sampai kini ambo ndak tahu kantue penghubung Pemda Kota Pariaman di Jakarta. Padahal, baralu untuak semacam ranah expose. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 21:23, syafri erianto av3r...@gmail.com wrote: Usul utk ajo indra,kl bs buek lah acara ngumpua di jkt,supayo ide ide ajo indra dapek dukungan dr sadoalahan masyarakat pariaman yg ado di jakarta,mudah-mudahan pas acara tu,ado lo kalua ide-ide yg bs manambah maju kota pariaman Pada 3 Nov 2012 21.15, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com menulis: Syiip adinda IJP, Bilo sempat basuo awak baliak, ambo basawah d Sentral Senayan 1, lantai 12, sabalah Plaza Senayan, maa tau ado di sinan dan ado wakatu, silahkan kontak ambo d 0816373321, nio ambo mandanga langsuang ide Ðan program brillian Bung Indra. Ado nan salut ambo ciek, ado ketulusan sanak mambangun kampuang, sanak maobral sado ¶rogram, walaupun nanti urang lain nan jadi wako, saÑak indra iÑdak keberatan kalau program ko dikarajoan, adinda urangnyo ikhls dan tulus, smg inilah pe…impin yang diharapkan oleh kota Pariaman, aamiin Salam Elthaf On 11/3/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: Insya Allah kakanda. Serial Iko Jaleh Piaman ko akan lanjut taruih, jadi ndak jadi mancalon. Minimal, diskusi bisa dimulai dari siko. Mukasuik ambo alah jaleh, minimal mempengaruhi proses kampanye pilkada dengan visi nan terukur, di berbagai bidang. Bia ado nanti carito di lapau3 jo sikola2. Sent from my iPad On 3 Nov 2012, at 19:14, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com wrote: Add Indra Jaya Piliang, Ambo mambaco sacaro keseluruhan dari duo postingan sanak, kini mato ambo juo mungkin kawan2 ambo mkin terbuka dan melihat sosok Indra Jaya, Kalau salamo ko ambo hanyo mambaco pandangan sanak di mass merdia, di buku sanak nan taba tu, di mailing list rantau net ataupun waktu sanak berdebat saat sebai team sukses JK atau dialog kepemudaan, politik dsbnya di TV, kini ambo makin tahu dan kagum dg pejuangan, sikap dan ibtegritas sanak. Mulai dari perjuangan keras waktu ketek, dan iko b ukan sajo sanak, mayoritas anak2 di sumbar sakola dg perjuangan berat, tamasuak jalan kaki 3 km ka sakola, ambo juo waktu SMP jalan kaki dr Biaro ka Tanjuang alam nan bajarak hampia 3 Km, tapi itu amni nikmati karano maroritas itu adolah kehidupan yg mengasyikkan. Sanak berhasil masuk UI, dan juo lah manyalasaikan S2 d UI walalu urang banyak baangapan sanak IJP adoalh soorang doktor S3, tapi ambo mancliak sacaro kapabaliti sanak memang lah berhak diagiah gala Doktor Politik karano sanak lah banyak menghasilkan karya tulis dan siap bicara di forum dan pentas politik. Dengan pengalaman nan sanak rasokan dan cito2 mulia sanak mamajukan kampuang halaman, sanak Indra nio mangbdi sebagai Wali kota. Ambo mancaliak jabatab wako pariaman juga bukan jabatan nan terlalu hebat dan dibanggakan di kalangan sanak, tapi sanak nio mambangun, tibgga d kota kecil dg segala keterbatasan dan manibggalkan hiruk pikuk ibu kota dfg segala mimpi nn bisa diwujudkan, mulai dari networking, yabg satu hari bisa bersialturrahim dg tiga atau empat pejabat tinggi negara. Sampai penghasilan minimal cepek. Sanak Indra, Dg sebagai wako adolah starting point bagi sanak untuk menapak karir dan kesempatan nan gadang untuk memajukan kampuag halaman. Dg potensi alam dan sdm yg ado, sanak lah punyo gambaran dan rencana, lah ado ambaran mancari pundi2 ka pusat, manibbgkekkan apbd daerah, mangundang investor tamasuak manjua potensi ka rekan2 sanak IJP. Ambo ndak ingin mambandiangkan jo Jokowi, tapi mudah2an karir sanak bisa sarupo jokowi, dari Pariaman ka Jakarta, apakoh d kabinet atau di posiai lainnyo. Life begins at fourty, sasuai jo sanak ko, mamulai d birokrat. Denngan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahin dan niat yg baik dan tulus, maju sanak Indra Jaya Pilianh, S.Si., M.Si sebagai balon Wali kota Pariaman. Doa ambo buek sanak. Salam Elthaf On 11/1/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/11/01/iko-jaleh-piaman-2/ Iko Jaleh Piaman! (2) Kamis, 1 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (2) Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada dua perguruan tinggi yang membawa nama ini
Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3)
Nah, iko pikiran baru bagi ambo. Mambuek semacam Pasar Seni di Kota Pariaman atau semacam Jalan Maiboro nan khusus untuak manjua kesenian tradisional. Talempong, Gandang Tasa, Saluang, Rabab, jo lain2, bisa dihadirkan di Jalan Malioboro Piaman tu. Sent from my iPad On 2 Nov 2012, at 22:56, botsos...@yahoo.com wrote: Sepakat Uda... Ambo rasa inilah yg sering terabaikan dalam pembangunan kota2 di Sumbar. Kota2 di Sumbar khususnya, Indonesia pada umumnya kurang memberikan porsi yg cukup utk penyaluran energi anak muda yang sedang penuh2nya. Anak2 muda usia sekolah cendrung 'hanya' dihadapkan pada dua kegiatan, yaitu akademis dan keagamaan, sedangkan kegiatan2 lainnya cendrung dikebiri. Akibatnya anak2 muda tsb membuat wadahnya sendiri yg kadang2 melabrak garis2 kepentingan umum. Walapun ambo bukan besar di Pariaman, tp darah Piaman yang dinamis bisa ambo rasakan ketika berada di kampung halaman ambo. Banyak hal positif yg bisa dihasilkan dr pemberdayaan anak2 muda tsb, seperti olah raga, khususnya bahari spt kano, diving, renang dlln belum lg industri seni kreatif. Bandung dan Jogja adlah 2 kota yg menurut saya mampu mengakomodir kreatifitas anak2 mudanya, dan ini terbukti dgn banyaknya industri kreatif yg digawangi anak2 muda di kota ini. Saketek dari ambo Bot SP Asal Kampuang Paneh-Sungai Rotan Babako ka Sunua Powered by Telkomsel BlackBerry® From: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 3 Nov 2012 08:19:35 -0700 (PDT) To: Rantau NetRantauNet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3) http://indrapiliang.com/2012/11/02/iko-jaleh-piaman-3/ Iko Jaleh Piaman! (3) Jumat, 2 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (3) Oleh Indra J Piliang *) Orgen tunggal di Kota Pariaman sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan itu lahir dari acara baralek yang dilakukan saban hari. Bagi para perantau, terutama yang berpandangan relegius, orgen tunggal dianggap sebagai benalu bagi kebudayaan. Bahkan, Persatuan Keluarga Daerah Piaman pernah membahas ini dalam pertemuannya. Kehadiran gadis-gadis berpakaian minim di atas pentas (panggung), memicu banyak hal negatif. Bagi saya, orgen tunggal hanya sebentuk cara untuk mengungkapkan rasa. Para penyanyi dan pemain orgen, serta anak-anak muda yang berjoget di atas dan di bawah panggung, bagian dari ritme hidup. Sejak kecil, ayah saya kurang memberikan tempat bagi seluruh anak-anaknya untuk bagian dari panggung itu. Saya masih ingat, betapa marahnya ayah kalau kakak perempuan saya (almarhum) ketahuan ada di atas pentas. Barangkali, itu juga yang dipikirkan oleh para perantau yang melihat orgen tunggal sebatas aurat. Saya tidak menafikan itu. Beragam tindak amoral sudah terjadi di Pariaman dan sekitarnya. Namun, sebagaimana orang-orang tua bilang, kejadian demi kejadian amoral itu sudah berlangsung sajak duya takambang (sejak dunia terkembang). Masalahnya, bagaimana menghadapi realitas kebutuhan masyarakat atas orgen tunggal, serta desakan anak-anak muda yang selalu menginginkan kehadirannya, ketika acara baralek dilakukan? Pariaman adalah kota tropis. Udaranya panas. Angin sejuk datang sesekali dari arah gunung dan pantai. Ketika orgen tunggal muncul di tengah terik matahari, kehadirannya terlihat kurang sesuai dengan iklim. Namun di malam hari, anak-anak muda bermotor datang dari segala penjuru, walau bukan bagian dari pihak yang diundang untuk datang. Lagu-lagu baru muncul, namun tidak jarang juga lagu-lagu lama yang terlupa dari para musisi Minang sendiri. *** Pemerintah tentu tidak bisa masuk ke dalam satu potret kehidupan masyarakat secara total. Tugas pemerintah adalah mengatur, agar jangan sampai aktivitas masyarakat yang satu mengganggu masyarakat yang lain. Dari sini, orgen tunggal adalah bagian dari kegiatan ekonomi, selain hiburan. Pajak bisa saja masuk menjadi satu komponen terhadap orgen tunggal. Lalu dari hasil pajak itu, performa dari orgen tunggal bisa ditingkatkan. Misalnya, perlombaan orgen tunggal berdasarkan khasanah budaya lokal. Orgen tunggal yang menggabungkan indang, tari piring maupun gandang tasa dan salawaik dulang, bisa menjadi bagian dari mestizo budaya yang unik. Di tengah rasa haus akan budaya lokal yang khas, kegersangan budaya Barat yang datang, tentu berbagai unsur kolaborasi seni menjadi pilihan menarik. Orgen tunggal tidak lagi tunggal, melainkan menjadi jamak. Sebagai politisi atau bahkan hanya bagian dari anak dan keponakan, saya juga beberapa kali didaulat untuk bernyanyi di atas pentas. Biasanya istri saya mengontrolnya dari jauh, lewat ponsel adik-adik yang menemani saya. Inilah dilema yang harus dihadapi. Di satu sisi masyarakat membutuhkan hiburan, tetapi hiburan yang berlebihan juga bisa membawa gunjingan yang tidak baik. Kehadiran seniman-seniman nasional dan lokal untuk memberi
Re: [pkdp] Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3)
Alun masonyo, Jo. Kalau alah resmi nanti, ambo lewakan visi, misi, program, tamasuak rekening kampanye, beserta penggunaannyo. Mukasuik kini labiah banyak untuak mempengaruhi proses, dengan caro iko: menyebarkan ide jo gagasan, menanmpung ide jo gagasan dari yang lain. Maulang-ulang kaji. Sent from my iPad On 4 Nov 2012, at 08:32, ajo duta ajod...@gmail.com wrote: Iyo kecek doto Rayus to. Lanyuek se lah In. Tapi jaman kiniko malanyau harus jo pitih. Lai kanamuah awak badoncek untuk Jo IJP ko? On 11/4/12, Rahyussalim rahyussalim2...@yahoo.co.id wrote: Ambo manutuik supayo IJP marealisasikan sagalo rencana eloknyo. Aa juo lai. ijan garegak ka garegak juo. Lah banyak bana kampuang piaman tu kanai kicuah mah. Lanyau jo... Rahyussalim berbagi meringankan derita bangsa -Original Message- From: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 3 Nov 2012 23:43:19 To: rantaunet@googlegroups.comrantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3) Nah, iko pikiran baru bagi ambo. Mambuek semacam Pasar Seni di Kota Pariaman atau semacam Jalan Maiboro nan khusus untuak manjua kesenian tradisional. Talempong, Gandang Tasa, Saluang, Rabab, jo lain2, bisa dihadirkan di Jalan Malioboro Piaman tu. Sent from my iPad On 2 Nov 2012, at 22:56, botsos...@yahoo.com wrote: Sepakat Uda... Ambo rasa inilah yg sering terabaikan dalam pembangunan kota2 di Sumbar. Kota2 di Sumbar khususnya, Indonesia pada umumnya kurang memberikan porsi yg cukup utk penyaluran energi anak muda yang sedang penuh2nya. Anak2 muda usia sekolah cendrung 'hanya' dihadapkan pada dua kegiatan, yaitu akademis dan keagamaan, sedangkan kegiatan2 lainnya cendrung dikebiri. Akibatnya anak2 muda tsb membuat wadahnya sendiri yg kadang2 melabrak garis2 kepentingan umum. Walapun ambo bukan besar di Pariaman, tp darah Piaman yang dinamis bisa ambo rasakan ketika berada di kampung halaman ambo. Banyak hal positif yg bisa dihasilkan dr pemberdayaan anak2 muda tsb, seperti olah raga, khususnya bahari spt kano, diving, renang dlln belum lg industri seni kreatif. Bandung dan Jogja adlah 2 kota yg menurut saya mampu mengakomodir kreatifitas anak2 mudanya, dan ini terbukti dgn banyaknya industri kreatif yg digawangi anak2 muda di kota ini. Saketek dari ambo Bot SP Asal Kampuang Paneh-Sungai Rotan Babako ka Sunua Powered by Telkomsel BlackBerry® From: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Sat, 3 Nov 2012 08:19:35 -0700 (PDT) To: Rantau NetRantauNet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: [R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (3) http://indrapiliang.com/2012/11/02/iko-jaleh-piaman-3/ Iko Jaleh Piaman! (3) Jumat, 2 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (3) Oleh Indra J Piliang *) Orgen tunggal di Kota Pariaman sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan itu lahir dari acara baralek yang dilakukan saban hari. Bagi para perantau, terutama yang berpandangan relegius, orgen tunggal dianggap sebagai benalu bagi kebudayaan. Bahkan, Persatuan Keluarga Daerah Piaman pernah membahas ini dalam pertemuannya. Kehadiran gadis-gadis berpakaian minim di atas pentas (panggung), memicu banyak hal negatif. Bagi saya, orgen tunggal hanya sebentuk cara untuk mengungkapkan rasa. Para penyanyi dan pemain orgen, serta anak-anak muda yang berjoget di atas dan di bawah panggung, bagian dari ritme hidup. Sejak kecil, ayah saya kurang memberikan tempat bagi seluruh anak-anaknya untuk bagian dari panggung itu. Saya masih ingat, betapa marahnya ayah kalau kakak perempuan saya (almarhum) ketahuan ada di atas pentas. Barangkali, itu juga yang dipikirkan oleh para perantau yang melihat orgen tunggal sebatas aurat. Saya tidak menafikan itu. Beragam tindak amoral sudah terjadi di Pariaman dan sekitarnya. Namun, sebagaimana orang-orang tua bilang, kejadian demi kejadian amoral itu sudah berlangsung sajak duya takambang (sejak dunia terkembang). Masalahnya, bagaimana menghadapi realitas kebutuhan masyarakat atas orgen tunggal, serta desakan anak-anak muda yang selalu menginginkan kehadirannya, ketika acara baralek dilakukan? Pariaman adalah kota tropis. Udaranya panas. Angin sejuk datang sesekali dari arah gunung dan pantai. Ketika orgen tunggal muncul di tengah terik matahari, kehadirannya terlihat kurang sesuai dengan iklim. Namun di malam hari, anak-anak muda bermotor datang dari segala penjuru, walau bukan bagian dari pihak yang diundang untuk datang. Lagu-lagu baru muncul, namun tidak jarang juga lagu-lagu lama yang terlupa dari para musisi Minang sendiri. *** Pemerintah tentu tidak bisa masuk ke dalam satu potret kehidupan masyarakat secara total. Tugas pemerintah adalah mengatur, agar jangan sampai aktivitas masyarakat yang satu mengganggu masyarakat yang lain. Dari sini, orgen tunggal adalah bagian dari kegiatan ekonomi
[R@ntau-Net] Repost: LOMBA MENULIS POPULER PELAJAR DAN MHSW SE-SUMBAR: TABUIK PIAMAN
. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagai upaya memajukan pemuda ranah Minang. 3. TEMA Tema kegiatan Lomba penulisan tingkat pelajar dan mahasiswa di ranah minang ini “Tabuik Piaman dalam Tulisan”. 4. PERSYARATAN LOMBA 1. Terbuka untuk seluruh pelajar (SD, SMP dan SMA atau yang sederajat) dan mahasiswa (D1, D2, D3, S1, S2, S3 atau Extension) Minang Yang Ada di Sumatera Barat. 2. Lomba dibagi dalam 2 (dua) kelompok lomba: SISWA dan MAHASISWA, dengan mencantumkan nama sekolah atau kampus. 3. Untuk mendaftarkan diri cukup like facebook dan follow twitter @ikojalehpiaman atau @indrajpiliang serta mendapatkan formulir pendaftaran lewat situs www.indrapiliang.com. 4. Setiap peserta lomba boleh mengirimkan tidak lebih dari satu naskah. 5. Tulisan asli (orisinil) bukan saduran, ditulis dalam bahasa populer, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan EYD. Kutipan diperbolehkan tidak lebih dari 20% dan wajib mencantumkan sumber referensinya. 6. Naskah diketik dengan jenis huruf Time News Roman (TNR), ukuran 12, spasi 1,5 dengan panjang artikel popular antara 800 s/d 1.200 kata saja. 7. Pada akhir tulisan dicantumkan identitas lengkap penulis meliputi nama, tempat/tanggal lahir, nama sekolah/universitas, alamat sekolah/universitas, alamat rumah, nomor telepon seluler dan / atau nomor telpon rumah serta alamat e-mail, akunfacebook, akuntwitter atau lainnya. 8. Pengiriman naskah artikel hanya dapat diterima Tim IkoJalehPiaman!!! melalui surat elektronik (e-mail) saja ke :ijp_ikojalehpia...@yahoo.com ataufitra_ya...@yahoo.com. Panitia tidak melayani penerimaan naskah dan surat-menyurat secara konvensional (kantor pos atau jasa pengiriman lainnya). Bagi yang tidak memiliki email dan / atau akses internet, dapat menitipkan kepada orang lain dengan tetap mencantumkan identitas diri penulis. 9. Seluruh naskah lomba harus disertai kartu identitas (KTP, SIM, Kartu Pelajar/Mahasiswa yang discan) dan sudah diterima Panitia paling lambat pada tanggal 1 Desember 2012. 10. Penilaian artikel akan dilakukan oleh Dewan Juri sebanyak tiga orang yaitu: · Indra Jaya Piliang · Revi Marta Dasta · Ahan Syahrul Arifin 11. Seluruh hasil naskah yang dikirimkan ke panitia akan dipublikasikan di: www.indrapiliang.com dan media lainnya. 12. Untuk penilaian artikel antara lain: * § Kesesuaian naskah dengan tema lomba (40%) * § Kedalaman analisis dan kandungan ide/gagasan (30%). * § Komunikatif dan mudah dimengerti (30%). 13. Keputusan Dewan Juri adalah absolut (mutlak) dan tak bisa diganggu-gugat. 5. WAKTU PELAKSANAAN * Waktu Penulisan Naskah Tulisan : 1 November 2012 –1 Desember 2012. * Waktu Pengiriman Naskah : Paling lambat 1 Desember 2012. * Penilaian : 1 – 5 Desember 2012. * Pengumuman Pemenang : 10 Desember 2012. * Pemberian Hadiah : 15 Desember 2012. 6. INFORMASI Untuk informasi lomba penulisan ini : 1. Contact person: · Fitra Yandi : 0813.6318.3964 · Chimi : 0813.6306.9343 · Weri : 0821.7146.2612 2. Media Informasi Website : www.indrapiliang.com Email : ijp_ikojalehpia...@yahoo.com Facebook : Indra Jaya Piliang Tiga Fanspage : Indra Jaya Piliang Twitter : @IkoJalehPiaman 7. HADIAH DAN PENGHARGAAN Kategori Mahasiswa * Nomor I : Buku karangan “ www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 1.500.000,- * Nomor II: Buku karangan “ www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 1.000.000,- * Nomor II: Buku karangan “www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 750.000,- Kategori Pelajar * Nomor I : Buku karangan “ www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 1.000.000,- * Nomor I: Buku karangan “ www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 750.000,- * Nomor III: Buku karangan “www.indrapiliang.com” yang ada tanda tangannya, sertifikat + tabanas Rp. 500.000,- Pelatihan Khusus Penulisan Populer * Seluruh peserta lomba akan diundang untuk menghadiri pelatihan khusus kepenulisan yang dilakukan secara gratis. * Instruktur penulis akan dipilihkan dari penulis-penulis terkenal, baik di dalam Sumbar atau di luar Sumbar. * Waktu, tempat dan nama instruktur pelatihan akan diumumkan kemudian. 8. Sekilas Tabuik Piaman Tabuik adalah semacam upacara 10 Muharram untuk memperingati kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib (cucu Rasulullah SAW) di Padang Karbala pada tahun 680 Masehi. Hari itu dikenal sebagai Hari Assyura. Menurut informasi, Tabuik ini diperingati sejak
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (1)
http://indrapiliang.com/2012/10/31/iko-jaleh-piaman-1/ Iko Jaleh Piaman! (1) Rabu, 31 October 2012Iko Jaleh Piaman! (1) Oleh Indra J Piliang *) Sejak memutuskan untuk mengambil formulir pendaftaran Calon Walikota Pariaman di DPD II Partai Golkar Pariaman, tanggal 22 Oktober lalu, hampir setiap hari twitter saya menerima mention. Dukungan mengalir dari seluruh Indonesia dan bahkan luar negeri. Diskusi kecil juga berlangsung, termasuk dari tim kandidat calon walikota lain. Otomatis, otak saya juga bekerja lebih dari biasanya, mengingat pencalonan ini melibatkan saya langsung. Agenda kerja di kantor mulai kurang mendapatkan perhatian. Begitulah, politik memerlukan pengorbanan. Ketika memutuskan maju dalam pemilu legislatif 2009 lalu, saya berhenti bekerja di empat kantor. Hanya satu kantor konsultan yang tersisa, itupun dengan makan gaji buta. Istri saya hanya mau menerima uang dari penghasilan saya sebagai pekerja kantoran. Memang sudah prinsipnya. Sekarang juga begitu, penghasilan saya dari minimal tiga kantor yang mengisi rekening rumah dalam setiap bulannya. Kalaupun ada penghasilan tambahan, dari honor pembicara di pelbagai kota, biasanya langsung saya kasih ke istri saya dalam amplop tertutup. Sebagai profesional dan politisi, saya sudah bisa menyesuaikan diri. Tidak lagi gagap, sebagaimana awal memasuki kehidupan politik praktis pada 6 Agustus 2008. Di kampung, saya bertanam buah naga dan sudah menghasilkan setiap bulannya. Saya juga sudah memiliki satu perusahaan dengan saham mayoritas, pertama dalam hidup saya. Karyawan kantor juga terus bertambah, sekitar 15 orang. Keseharian saya adalah mengelola perusahaan yang sedang tumbuh ini, sembari terus aktif dalam kegiatan politik praktis. Agustus 2008 saya meninggalkan sejumlah pekerjaan dengan gaji dan penghasilan lebih dari Rp. 100 Juta per bulan. Sekarang, penghasilan saya kurang dari angka itu, tetapi tanpa harus meninggalkannya. Memang, saya membangun pekerjaan sesuai denganritme hidup saya sendiri, tanpa harus kehilangan apapun. Saya optimis, dengan sumberdaya manusia yang dimiliki kantor saya, perusahaan makin berkembang. Soalnya, sumberdaya manusianya berasal dari sebagian (besar) Tim IJP 09 Center yang dulu membantu saya dalam pemilu legislatif. Mereka sudah bersama saya hampir 4 tahun. Dulu mereka belum sarjana, sekarang sudah. Bahkan ada yang sudah mau menyelesaikan magister-nya. *** Bagi saya, sumber daya manusia menjadi penting. Saya membangun tim dulu dari lulusan SD atau tidak tamat SD, sampai mahasiswa dan sedikit sekali sarjana. Sebagian dari mereka ikut ke Jakarta. Sumber daya manusia memang langka, di bidang apapun. Bahkan untuk mencari karyawan di kebun buah naga kami, saya kesulitan. Dua orang adik saya yang sehari-hari di kebun, bukanlah petani buah naga profesional, hanya coba-coba. Pelan-pelan, saya membentuk mereka menjadi petani profesional, sekalipun terkendala oleh iklim dan kultur yang lamban. Karyawan di kantor saya juga begitu, saya bina dari tidak tahu apa-apa, menjadi mengerti dan kian profesional di bidangnya. Tentu banyak masalah, seperti konflik antar pribadi, transparansi yang kurang, motivasi yang berbeda, sampai kendala kultural dan pergaulan. Saya menghadapi dengan keras dan lembut, tetapi tetap dengan satu tujuan: mereka lebih berhasil dan maju dalam hidupnya. Alhamdulillah, hanya satu dan dua orang yang keluar dari tim, akibat perbedaan pendapat. Begitu juga Pariaman ke depan. Saya merasa Kota Pariaman memiliki masyarakat yang kreatif, egaliter dan dinamis. Semua adalah raja. Saking tidak adanya hamba sahaya, Kota Pariaman dikenal kurang ramah memberi pelayanan di bidang wisata. Sumatera Barat memang menghadapi masalah yang sama. Untunglah, pelan-pelan sudah mulai muncul penginapan yang baik, hotel yang karyawannya murah senyum, serta restoran yang stafnya rajin menyapa, tidak sibuk seperti pembawa piring yang dikenal fokus ke piringnya. Untuk Kota Pariaman, khususnya, serta Sumatera Barat, umumnya, pembangunan sumberdaya manusia menjadi lokus yang penting. Tanpa kehandalan sumberdaya manusia, Sumbar sama sekali hanya bisa mengandalkan sumber daya alamnya yang terbatas, wisata tradisional, produksi pertanian, perkebunan dan peternakan, serta tergantung kepada kiriman para perantau. Mayoritas anak-anak muda ingin menjadi pegawai negeri sipil, sehingga APBD sangat terbebani. Kota Pariaman, misalnya, PNS-nya lebih dari 10% dari jumlah pemilih dalam pilkada. Rata-rata, 70% APBD terserap untuk belanja pegawai. *** Hanya dalam waktu seminggu, saya mendapatkan banyak masukan tentang Pariaman ke depan, baik di bidang wisata, kelautan, pembangunan fisik, sampai segala macam usulan yang kadang terdengar tidak masuk akal. Sejumlah teman menawarkan bantuan secara langsung atau tidak langsung. Dan saya sibuk mencatatnya, lalu menyusun menjadi pola. Apapun masukan yang datang, tentulah memerlukan ranah lokalnya, sesuai dengan data
[R@ntau-Net] Iko Jaleh Piaman! (2)
http://indrapiliang.com/2012/11/01/iko-jaleh-piaman-2/ Iko Jaleh Piaman! (2) Kamis, 1 November 2012 Iko Jaleh Piaman! (2) Oleh Indra J Piliang *) Bagi masyarakat Minangkabau, Pariaman tidak termasuk dalam kategori ranah (luhak). Ada tiga luhak di Minangkabau, yakni Luhak Lima Puluh Kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Pariaman hanyalah rantau. Namun, dalam kaitannya dengan agama Islam, Pariaman adalah wilayah pertama yang ditempati oleh Syech Burhanuddin, ulama asal Aceh yang dipercaya sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau. Makam Syech Burhanuddin bertempat di Ulakan yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu pula, Pariaman dikenal sebagai pusat dari nama-nama yang terkait dengan Syech Burhanuddin. Ada dua perguruan tinggi yang membawa nama ini, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syech Burhanuddin dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syech Burhanuddin, keduanya terletak di Kota Pariaman. Keberadaan nama Syech Burhanuddin itulah yang menempatkan image bahwa masyarakat Pariaman adalah masyarakat relegius, terutama dikaitkan dengan tarekat Syattariyah. Di masa kecil, saya sering mendengar pembicaraan soal tarekat demi tarekat ini. Tidak jarang orang-orang di Pariaman menuntut ilmu (mengaji) ke tempat-tempat lain. Perdebatan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT berlangsung di banyak surau, terutama setelah semua orang tidur. Karena saya tinggal di Kampuang Tangah, Lansano, Sikucur Selatan, tentu ada perasaan bahwa orang yang tinggal di Pariaman jauh lebih maju dari kami. Kemajuan itu dilihat dari peralatan yang dimiliki dan dipakai, seperti kendaraan, telepon, sampai televisi. Saya semakin mengenal Kota Pariaman ketika masuk SMA 2 Pariaman (1988-1991). Sama sekali tidak ada perasaan minder dari sisi ilmu pengetahuan, selain saya berasal dari keluarga berkekurangan. Jarang saya memiliki baju yang layak untuk dipakai dalam kegiatan non sekolah. Saya memasak sendiri di rumah kos, bersama Sahrul Chaniago, sesama jurusan Fisika yang kini jadi sahabat saya. Pagi ke pasar membeli kentang dan ikan asin, lalu memasaknya. Sepatu hanya satu, itupun sobek dengan merkDragon Fly. Di akhir pekan saya kembali ke Kampuang Tangah, Kecamatan V Koto Kampuang Dalam. Terkadang, sungai banjir, sehingga terpaksa menunggu air surut selama berjam-jam. Tidak ada jembatan penyeberangan. Kalaupun ada ban bekas, itupun yang memiliki tidak banyak orang. Kampung ibu saya memang baru dimasuki listrik pada tahun 2002 lalu, kemudian memiliki jembatan gantung tahun 2008. Alhamdulillah, sekarang sudah ada jembatan permanen, dibangun atas bantuan Kerajaan Oman pasca gempa bumi hebat 2009. *** Karena lahir di Kota Pariaman, saya mengetahui kota ini dari ayah saya, Boestami Datuak Nan Sati. Ayah bekerja di kantor Bupati Padang Pariaman (waktu itu masih meliputi Kota Pariaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai). Ayah berasal dari Luhak Tanah Datar, tepatnya Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto. Sebagai pegawai negeri, ayah di mata saya memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Bacaan Intisari menjadi makanan wajib kami, begitu juga siaran radio BBC Inggris danABS Australia. Pengetahuan saya dibentuk dari apa yang dibaca dan didengar oleh ayah saya. Kota Pariaman dalam ingatan masa kecil saya masih dipenuhi oleh rimbunnya pohon baguak (gnetum gnemon, family gnetaceae). Selain itu, pohon ceri (kersen) dan tebu. Halaman rumah masih melewati jembatan kecil melintasi selokan yang berawa dan berair coklat. Memang sudah ada bioskop Garuda. Ci Ayang dan Ci Elok, dua panggilan tante (etek) dari pihak Datuak Nullah – keluarga sesuku --, mengajak saya menonton di bioskop itu. Sebagai anak kecil, saya tentu ketakutan melihat ada kereta api besar hendak melindas, sehingga saya sembunyi di balik bangku. Di Pariaman dulu masih banyak kuda bendi, sebagai ciri khas mengangkut orang dari dan ke pasar di dekat tepi laut. Inilah ciri yang mulai hilang di Kota Pariaman. Kuda bendi ini dihiasi dengan beragam bendera, apabila menjelang Tujuh Belasan atau Tabuik Piaman. Dengan kemajuan yang kini ada di Kota Pariaman, kuda bendi ini tidak lagi menjadi sesuatu yang khas, sebagaimana juga terjadi di kota-kota lainnya. Saya tidak tahu, sejak kapan kuda ini menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Pariaman, lalu kenapa sekarang malah mulai hilang. Barangkali karena aspek perlindungan atas hewan yang mulai meningkat, tetapi lebih banyak lagi akibat kendaraan bermotor yang jadi pemandangan keseharian. Laut adalah wilayah yang terasa jauh, bahkan ketika saya lahir di Pariaman dan sekolah di tingkat SMA. Sama sekali tidak ada keakraban antara manusia dengan laut. Sampai sekarang, banyak orang di luar Pariaman masih menganggap pantai Pariaman sebagai WC terpanjang di dunia. Dulu, Bupati Anas Malik (1980-1990) memberantasnya, dengan cara razia setiap pagi dan senja. Bupati ini juga rajin menangkap hewan ternak yang lepas, lalu membawanya ke halaman
[R@ntau-Net] LOMBA MENULIS POPULER PELAJAR DAN MAHASISWA SE-SUMBAR
http://indrapiliang.com/2012/11/01/lomba-menulis-populer-pelajar-dan-mahasiswa-se-sumbar/ “ Tabuik Piaman dalam Tulisan” LOMBA MENULIS POPULER PELAJAR DAN MAHASISWA SE-SUMBAR Kamis, 1 November 2012 LOMBA MENULIS POPULER TINGKAT PELAJAR DAN MAHASISWA SE-SUMATERA BARAT TEMA “ Tabuik Piaman dalam Tulisan” OLEH IKO JALEH PIAMAN !!! 1. LATAR BELAKANG Suatu kebiasaan orang Minangkabau yang tidak mudah dilepaskan begitu saja yaitu merantau dalam rangka membenahi diri dengan berbagai pengalaman di daerah lain. Kebiasaan meninggalkan kampong untuk merantau guna menuntut ilmu atau untuk mencari kerja berprestasi di negeri orang untuk perbaikan hidupnya, disamping untuk pertimbangan kepentingan kampung halaman. Pandangan hidup yang demikian itu diungkapkan dalam pepatah yang berbunyi, ”Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun, satinggi tabang bangau, baliak juo kakubangan, sanang bana hiduik di rantau, takana juo kampuang halaman”. ”Elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”. ”Hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cari sanak puncari, induk semang cari dahulu”. Pada akhir abad ke-18, pelajar Minang yang merantau untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Kemudian pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kemudian pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, Mohammad Amir, Tan Malaka, hidup mengembara Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia dan mempunyai peranan penting dalam kemajuan Indonesia baik dalam keintelektualannya. Sekarangpun banyak pemuda-pemuda perantau minang yang berhasil dan menjadi tokoh nasioanal mulai dari ahli ekonomi, ilmuan (akademisi), politisi, pakar hukum, sastrawan dan penulis, sampai menjadi artispun, adapun contoh pemuda minang yang berhasil di dunia rantau adalah Indra Jaya Piliang, Andrinof Chaniago , Karni Ilyas, Ahmad Fuadi, Gusti Randa, dan lain-lainya semua itu berhasil pada bidang profesinya masing-masing. Keberhasilan para pemuda minang tersebut tidak lepas dari peranan surau yang ada di ranah minang dulunya. Semua kegiatan dan aktifitas remaja pria dimalam hari berlangsung, mulai dari belajar mengaji/belajar agama, belajar adat/budaya dan kesenian minangkabau, belajar beladiri/pencak silat, dan kegiatan lainnya. Selain itu, kebiasaan itu lahir dari kemampuan dalam menulis. Tulisanlah yang memperkenalkan kebudayaan Minangkabau ke luar Minangkabau dan ke luar negeri. Hampir tidak ada intelektual Minangkabau yang tidak bisa menulis, misalnya dengan berpidato saja. Kemampuan menulis ini patut dikembangkan sedemikian rupa, sehingga jadi keunggulan komparatif Minangkabau, khususnya, Sumatera Barat, umumnya. Maka dari itu Tim Iko Jaleh Piaman atas nama website http://www.indrapiliang.com/ mencoba mengangkat sebuah kegiatan yang bersifat keintelektualan dengan lomba menulis populer dengan tema“Tabuik Piaman dalam Tulisan” 2. TUJUAN 1. Melatih kemampuan untuk menulis tentang Tabuik Piaman. 2. Mendorong penggalian ilmu pengetahuan dan wawasan di kalangan pelajar dan mahasiswa. 3. Meningkatkan kemampuan dalamm enyusun karya tulis sehingga aspirasinya dapat disampaikan dengan baik dan benar. 4. Menggali potensi budaya, pariwisata, religi, ekonomi, pendidikan dan lain-lain yang terkandung dalam Tabuik Piaman. 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagai upaya memajukan pemuda ranah Minang. 3. TEMA Tema kegiatan Lomba penulisan tingkat pelajar dan mahasiswa di ranah minang ini “Tabuik Piaman dalam Tulisan”. 4. PERSYARATAN LOMBA 1. Terbuka untuk seluruh pelajar dan mahasiswa Minang Yang Ada di Sumatera Barat. 2. Lomba dibagi dalam 2 (dua) kelompok lomba: SISWA dan MAHASISWA, dengan mencantumkan nama sekolah atau kampus. 3. Untuk mendaftarkan diri cukup like facebook dan follow twitter @ikojalehpiaman atau @indrajpiliang serta mendapatkan formulir pendaftaran lewat situs www.indrapiliang.com. 4. Setiap peserta lomba boleh mengirimkan tidak lebih dari satu naskah. 5. Tulisan asli (orisinil) bukan saduran, ditulis dalam bahasa populer, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan EYD. Kutipan diperbolehkan tidak lebih dari 20% dan wajib mencantumkan sumber referensinya. 6. Naskah diketik dengan jenis huruf Time News Roman (TNR), ukuran 12, spasi 1,5 dengan panjang artikel popular antara 800 s/d 1.200 kata saja. 7. Pada akhir tulisan
Re: [R@ntau-Net] Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman
Assalamu'alaikum. Insya Allah. Ambo pasti paparkan seluruh visi, misi dan program. Ado Uda Andrinof Chaniago pulo nan bisa membantu. Kini memang sosialisasi dulu ka masyarakat Pariaman. Soft campaign istilahnyo. Pas sudah masuak hard campaign, baru ambo paparkan visi, misi jo program. Nanti ambo sebarkan dalam bantuak buku, VCD dll. Masukan dari adi dunsanak di milis ko iyo sabana ambo cataik sacaro khusus. Wassalam. Sent from my iPad On 24 Okt 2012, at 16:42, Muljadi Ali Basjah mulj...@gmx.de wrote: Assalamualaikum Wr.Wb. Yth. Bapak Calon WaKo Indra J. Piliang,Bapak ZulTan, Bapak Adha Jamil, sarato para Pambaco nan budiman. Ambo raso kalaulah Pak Calon WaKo Indra J.Piliang mangombinasikan nan di(ta)tulih(nyo) diPalanta baru2 iko: Menikam Jejak, Mencari Akar Oleh Indra J Piliang Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman Barikuik (”Saya sudah memiliki visi, misi dan solusi untuk mengatasi beragam permasalahan di Pariaman,” ujar Indra) Masukan2,Komentar2 dari Pambaco Palanta sajolah misalnyo, dibueknyo Patchwork, plus nalar/intuitivnyo mangutamokan filter akut chronis selaku seorang Intellektuil Andaikato dipraktekkannyo. bajalan, biapun mulo2nyo gak sandek2 lah saketek...,lah sukksses periodenyo duu. Tapi ikokan baru pandapek ambo nan awam, Idealnyo walaupun kurang pandai Pak Indra mambuek perencanaan hebat di bidang politik (ambo kutip dari Menikam Jejak, Mencari Akar Oleh Indra J Piliang), tolong tulihan juo gak saketek visi, misi dan solusi untuk mengatasi beragam permasalahan di Pariaman Salain bakurang dabok2 jantuang sang Anak Nagari nan kamamiliah WaKo, nilai angko unggulan nan kontrast akan muncul. Wassalam, Muljadi Ali Basjah Original-Nachricht Datum: Wed, 24 Oct 2012 01:23:32 + Von: ZulTan zul_...@yahoo.com An: RantauNet@googlegroups.com RantauNet@googlegroups.com Betreff: Re: [R@ntau-Net] Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman Waa'laikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuhu Barisi bana tulisan Ajo Manih ko. Mudah-mudahan ado nan bisa diambiak dek IJP. Babeda jo nan lain, pandai bana manggadangkan hati. - Turuik mandoakan supayo sukses - Ambo mandukuang jo - Kami urang rantau sato mandoakan - Orang hebat namuah mamimpin nagari, - Selamat semoga sukses. - Cocok tuh kami Piaman Laweh siap mendukung. Cubo awak basaba saketek, minta IJP manjalehkan apo nan dimakusuiknyo jo kalimat di bawah ko. Jan co kecek Ajo Manih cako, sakedar di ateh karateh sajo. Dijanjikan A nan ditarimo rakyaik D. Inget, History repeats itself! IJP: ”Saya sudah memiliki visi, misi dan solusi untuk mengatasi beragam permasalahan di Pariaman,” Jan-jan dari uraian IJP beko, walikota ko terlalu ketek baginyo. Banyak maaf, ado kato-kato Mamak, Uda, dan dunsanak nan taambiak di ateh. Salam, ZulTan, L, Bogor Action cures fear. -Original Message- From: adha jamil adha.ja...@gmail.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Wed, 24 Oct 2012 00:07:50 To: rantaunet@googlegroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman ..assallamualaikum..wr wb Bapak/ibu mamak jo sanak sudaro di Palanta RN nan mulie.. ..ambo lahia di Nagari Pauah Kamba Kec Nan Sabaris Kab. Pdg Pariaman 42 th silam,, dibao dek ortu yg pns labiah banyak tugas di daerah kab.Solok (kec. lembang jaya, Lembah gumanti. Sulit aia),,tamaik sikola hinggo S1di kota padang ..kebetulan buka lapau kopi di padang, ..di lapau suduik (dek lataknyo di simpang) ambo ko acok bakumpua jo badiskusi kwn2 yg peduli jo situasi/kondisi agamo, negara, nagari,.. utamo sakali jo Piaman laweh,,ado beberapa kesimpulan nan mungkin bisa jd pemikiran kito basamo.. 1. alah tibo masonyo para pemimpin formal (gub, bup/walikota) di ranah minang menjalankan konsep tuo minangkabau yakni tungku 3 sajarangan secara kongkrit dan berkelanjutan, apolagi di nagari piaman tokoh non formal (ulama/tuangku/labai, urang tuo nagari, niniak mamak/penghulu, pemuda dg kapalo mudonyo (ketua pemuda) sangat berperan di tataran masyarakat, agar supaya setiap program nan dibuek dek pemerintahan bisa berjalan dg mulus.. ..situasi sekarang : .rakyaik bak kato rakyaik, pemerintah bak kato pemerintah je nyeh.. 2. alah tibo masonyo para pemimpin formal mendengarkan dan melaksanakan apo nan sabananyo dibutuhkan rakyaik, hasil musrenbang hanyo di ateh karateh sajo, rakyaik minta A di agiah D.. ..situasi sekarang :..sebuah pabrik pakan ternak besar (comfeed) terpaksa mengimpor bahan baku utama (jagung) dr lampung dan luar negeri utk memenuhi kebutuhannya, sementara ribuan areal pertanian dibiarkan terlantar krn tak digarap..curito ttg coklat sejuta Ha dizaman bupati MK (wakil Gub skrg)..hanyolah sebuah kesalahan dan keniscayaan program ambiak muko sajo..bialah ciek sajo program nan jalan tp di salasaikan dr hulu hinggo hilia.. 3..alah tibo masonyo
Re: [R@ntau-Net] Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman
Mokasih, Jo. Alah eranyo kini anak rantau pulang ka ranah. Baerak-erak manjajakan visi. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: ajo duta ajod...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Tuesday, October 23, 2012 5:15 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Indra J Piliang Daftar jadi Cawako Pariaman Cocok tuh nakan IJP. Kami Piaman Laweh di mancanegara siap mendukung. On 10/23/12, Nofend St. MUDO nof...@gmail.com wrote: Padang Ekspres • Selasa, 23/10/2012 11:26 WIB • • 285 klik Pariaman, Padek—Hari pertama penjaringan bakal calon (balon) wako/ wawako di Partai Golkar Pariaman, mendapat sambutan antusias dari sejumlah kandidat. Tiga kandidat langsung melakukan pendaftaran, di antaranya politisi senior Partai Golkar Indra J Piliang dan dua orang kandidat lainnya. Pembukaan pendaftaran yang dimulai pukul 10.00 tersebut, diawali dengan jumpa pers dipandu Ketua Tim Pilkada Partai Golkar Mardison Mahyudin yang juga wakil ketua DPRD Kota Pariaman. Mardison menyebut, pendaftaran dibuka hingga 30 November mendatang. Di mana, pendaftaran tidak boleh diwakilkan. ”Tokoh masyarakat, kader Golkar yang sudah mendaftar akan melewati proses survei. Balon peringkat 10 teratas dibawa ke dalam rapat paripurna,” ujar Mardison saat jumpa pers di Kantor Golkar DPD II Pariaman, Jalan Sudirman Pariaman, kemarin. Dalam pendaftaran kemarin, Yusril yang juga anggota DPRD Pariaman menjadi pendaftar pertama pukul 12.00. Lalu, diikuti pamong senior OS Yerli Asir pukul 13.30 dan diikuti politisi senior Partai Golkar Indra J Piliang (IJP) pukul 15.30. Indra yang juga merupakan Ketua Balitbang DPP Partai Golkar menyebutkan, keikutsertaannya pada Pilkada Kota Pariaman sebagai bukti kecintaan terhadap kampung halaman. Pria kelahiran Kampung Perak Pariaman ini menyebut bahwa Kota Pariaman harus jadi kota pendidikan, pariwisata dan perdagangan. ”Saya sudah memiliki visi, misi dan solusi untuk mengatasi beragam permasalahan di Pariaman,” ujar Indra. (nia) -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Menikam Jejak, Mencari Akar
http://indrapiliang.com/2012/10/23/menikam-jejak-mencari-akar/ Selasa, 23 October 2012 Menikam Jejak, Mencari Akar Oleh Indra J Piliang *) Entah mengapa, saya tidak terlalu pandai melakukan perencanaan hebat di bidang politik. Biasanya, saya mengandalkan intuisi, menggunakan gerak hati. Walau saya lebih banyak menggunakan nalar sebagai intelektual, namun dalam politik, intuisi atau bahasa hati saya lebih menonjol. Makanya, tidak ada yang tahu saya mau bergerak kemana, bahkan saya sendiri pun tidak tahu. Bunda, istri saya tercinta, sangat paham dengan “perubahan demi perubahan” ini dalam hidup saya. Barangkali, sikap saya itu dibentuk oleh tanah kelahiran saya, Kota Pariaman. Kota yang dilalui debur ombak. Pada masa kanak-kanak, saya menikmati betul suasana ombak ini, ditambah dengan pengalaman tinggal di Kepulauan Mentawai. Sampai usia SMA, saya adalah anak kampung yang terbiasa menyeberangi sungai tanpa perahu. Setiap pekan, bahkan setiap hari ketika saya di SMP. Alhamdulillah, apapun akhirnya yang saya pilih dari intuisi atau bahasa hati itu, saya tetap mensyukurinya, melaluinya, mengalir saja. Itu juga yang terjadi ketika saya kemudian memutuskan untuk mengambil formulir pendaftaran sebagai Calon Walikota Pariaman periode 2013-2008. Fitra Yandi, tim IJP 09 Center, memberi informasi bahwa Partai Golkar membuka pendaftaran pada tanggal 22 Oktober 2012. Kami ada di Bukittinggi bersama Sahrul dan Wen. Tapi saya tidak tertarik mendiskusikan itu. Sepanjang jalan, saya hanya berdiskusi tentang Pariaman, Padang Pariaman dan Sumbar di masa lalu dan ke depan. Pagi tanggal 22 Oktober 2012, saya ke kebun buah naga. Bekerja sampai pukul 14.00. Dari mencangkul, membersihkan sunur-sunur yang tumbuh, sampai memberikan petunjuk kepada dua orang adik saya. Kebun buah naga kecil kami sudah menghasilkan buah, namun belum maksimal. Bulan September menghasilkan 200 kg lebih, bulan Oktober ini masih di angka 100 kg. Banyak buah kecil yang muncul, akibat dikawinkan lebah di malam bulan pernama. Saya masih melihat kondisi kebun belum seperti kebun sebagaimana yang saya bayangkan. Kedua adik saya memang bukan petani profesional. Saya dan kedua kakak saya jauh lebih banyak berkebun, dibanding mereka, di masa kecil. Pukul 15.00 saya bergerak menuju Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Terlebih dahulu saya mengirim pesan kepada seorang staf bandara yang terbiasa mengambilkan kursi untuk saya. Jadi, ada waktu, mengingat pesawat take off di jadwal pukul 17.50 WIB. Di saat itulah Fitra Yandi minta saya untuk singgah di DPD Partai Golkar Kota Pariaman. Rencananya, membuat kejutan. Kami disambut oleh Mardison Mahyuddin, Ketua DPD Partai Golkar Kota Pariaman. Terjadi diskusi dalam waktu sempit. Otak saya bergerak. Saya langsung memutuskan untuk mengambil formulir pendaftaran, mengisi daftar absen. Sejumlah wartawan dipanggil, tapi hanya dua orang yang hadir. Done! Bismillah... Saya menerima berkas pendaftaran dari Mardison Mahyuddin. Lalu saya berangkat ke BIM. Di perjalanan baru diskusi digelar kembali dengan tiga orang tim saya. Biasanya, saya tidak bisa lagi mengubah sebuah keputusan yang sudah saya ambil. Rencana disusun. Untunglah, kami sudah punya banyak pengalaman selama proses pemilu legislatif tahun 2008. Suara yang saya dapat di Kota Pariaman memang di bawah ekspektasi. Namun, Partai Golkar Kota Pariaman mengalami peningkatan kursi dari dua kursi menjadi tiga kursi. Satu kursi diraih dari posko pusat saya di Pariaman Selatan. Partai Golkar naik dari posisi nomor enam dalam pemilu 2004 menjadi nomor dua pada pemilu 2009 di dapil Pariaman Selatan. Kota Pariaman adalah wilayah yang keras. Masyarakatnya egaliter, terbuka dan individualistis. Komunalisme berbentuk pengajian dan hoyak tabuik. Kota Pariaman adalah tempat tinggal banyak elite, baik dari Padang Pariaman maupun dari Kota Pariaman sendiri. Orang-orangnya berpendidikan berada lapisan atas, terutama pegawai negeri. Namun, bukan berarti tidak ada kemiskinan. Banyak, terutama di kawasan nelayan. Sebagaimana kota pada umumnya, Kota Pariaman juga menyimpan kondisi kesenjangan strata sosial. Akun twitter @Padang Ekspres menyapa saya, sesampai di Jakarta. Apakah benar saya mendaftarkan diri sebagai Walikota Pariaman? Saya mengiyakan. Segera diskusi panjang mengalir, sampai hari ini. Akun twitter saya (@IndraJPiliang) bertaburan mention. Saya bersyukur dengan dukungan yang mengalir dari Aceh sampai Papua. Tapi saya gamang, mereka bukan pemilih. Pemilihnya adalah warga Kota Pariaman sendiri. Saya segera mengirimkan pesan singkat kepada petinggi partai, yakni Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Ketua Bidang Kajian Kebijakan Rizal Mallarangeng. Keduanya memberikan restu. Bang ARB meminta saya untuk sering turun ke Kota Pariaman. Restu juga datang dari Fahmi Idris, mantan Menteri Perindustrian yang baru saja mendapatkan gelar Doktor. Tentu restu itu belum cukup. Saya harus mengirimkan kabar
[R@ntau-Net] Perang Suksesi Generasi
http://indrapiliang.com/2012/10/17/perang-suksesi-generasi/ Rabu, 17 October 2012Perang Suksesi Generasi Oleh Indra J Piliang *) Saya menulis skripsi dengan judul “Koreksi Demi Koreksi: Aktivisme Gerakan Mahasiswa Pasca Malari sampai NKK/BKK (1974-1980)”. Di dalam skripsi itu, terdapat banyak nama tokoh-tokoh mahasiswa di zamannya. Misalnya: Hariman Siregar, Syahrir (almarhum), Mochtar Pabottingi, Dipo Alam, Yusril Ihza Mahendra, Lukman Hakim, Indro Tjahjono, Hery Achmadi dan lain-lain. Biografi kemahasiswaan ini penting, setelah demokrasi membuka diri. Sejak jadi mahasiswa di Universitas Indonesia, saya sadari betapa perubahan digerakkan oleh apa yang dikenal sebagai creative minority (minoritas kreatif). Jumlahnya sedikit, namun bisa memberi dampak kepada kehidupan orang banyak. Apalagi mahasiswa yang dipandang sebagai komponen yang paling aktif dalam sejarah pergerakan Indonesia, sejak awal abad ke-20. Dulu, jumlah mahasiswa hanya sedikit, menjadi pemuncak dalam piramida sosial era kolonial. Kini, jumlah mahasiswa semakin banyak, seiring dengan penambahan jumlah perguruan tinggi di pelbagai daerah. Karena nama-nama aktor mahasiswa era 1970-an dan 1980-an itu sudah tidak asing di benak saya, maka secara tidak langsung saya juga memperhatikan sepak terjang mereka. Teori minoritas kreatif semakin menemukan bukti, mengingat nama-nama itu tetap berada di puncak pemberitaan media, paling tidak di bidangnya masing-masing, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan, pemerintahan dan politik. Gelombang arus aksi demonstrasi mahasiswa 1998 paling tidak juga melibatkan mahasiswa-mahasiswa periode sebelumnya ini. Ketika rezim Orde Baru tumbang, mereka juga yang muncul ke permukaan dengan posisi masing-masing. Bagi saya, kiprah seseorang yang kemudian mencatatkan diri dalam sejarah, tidak terlepas dari jejak kemahasiswaan mereka. Fase kemahasiswaan membentuk diri seseorang dengan baik. Tidak semua orang yang dikenal sebagai macan kampus, misalnya, berhasil dalam tahap kehidupan pasca mahasiswa. Namun, sebagian besar yang menjadi aktivis mahasiswa, rata-rata memiliki tingkat keberhasilan yang baik untuk menempuh kehidupan pasca mahasiswa. Pengalaman, karakter, jaringan, pengetahuan dan kematangan intelektual dan mental memberi pengaruh yang baik. *** Jelang suksesi kepemimpinan 2014 dan 2019, semakin terlihat geliat perang antar generasi (terutama mahasiswa) di zamannya masing-masing. Alur sejarah memberi tempat yang baik bagi lahirnya para pemimpin yang pernah menempa diri jadi aktivis mahasiswa. Dalam otobiografi BJ Habibie – yang juga diperkuat oleh otobiografi Daoed Joesoef – terdapat kalimat pendek Presiden Soeharto: “Saya akan memberikan kepemimpinan nasional berikutnya kepada kaum intelektual.” Presiden Soeharto sama sekali tidak menyebut unsur militer dan terlihat alergi dengan politisi. Proses suksesi yang abnormal memang menempatkan BJ Habibie sebagai presiden berikutnya, dari kalangan intelektual. Janji Presiden Soeharto dijalankan, tetapi tampak tanpa perencanaan. Bandingkan dengan Presiden SBY. Pernyataan Presiden SBY dalam pertemuan dengan alumni AKABRI Angkatan 1970 di Istana Bogor, tanggal 3 Oktober 2012 lalu, bagi saya mengejutkan dan memunculkan tanda tanya. Presiden SBY dengan terang-terangan mendukung kalangan purnawirawan TNI untuk aktif di politik praktis. Betul, sekarang adalah era multi-partai dan sekaligus demokrasi deliberatif. Masalahnya, generasi purnawirawan TNI berada pada fase yang idealnya lebih banyak berada di belakang generasi alumni aktivis mahasiswa, bukan malah di depan. Ancaman Indonesia ke depan tidak lagi lahir dari skema Perang Dingin antara Blok Komunis versus Blok Kapitalis. Semakin sedikit manusia di muka bumi yang mendukung pengembangan senjata pemusnah massal yang mengancam kehidupan spesies manusia dan masa depan bumi. Sistem pertahanan masing-masing negara juga semakin dieleminir dari sistem persenjataan moderen, Sekalipun terjadi produksi senjata-senjata jenis baru, namun lebih pada bentuk pengembangan teknologi, ketimbang usaha untuk memunculkan efek kematian secara massal sebagaimana terjadi dalam Perang Dunia Kedua. Beberapa daerah di Indonesia sudah dipimpin oleh purnawirawan TNI dan Polri, termasuk Presiden RI sejak tahun 2004. Sejumlah jabatan strategis juga dipegang oleh purnawirawan TNI dan Polri. Tentu di dalamnya juga terdapat alumni kampus-kampus terkenal di dalam dan luar negeri, termasuk aktivis mahasiswa di zamannya. Dari sini, sebetulnya, formulasi kepemimpinan nasional yang bersifat kolektif bisa disusun. Blok-blok kepentingan yang kini muncul, semakin hari semakin bersandar kepada kepentingan keluarga, lalu berkembang jadi kepentingan faksi di dalam politik. Ujungnya adalah blok-blok kepentingan antar partai politik. Kita perlu mencatat dengan baik, seberapa berhasil atau gagalkah kepemimpinan politik hari ini? Studi kualitatif diperlukan, demi memberikan
Re: [R@ntau-Net] Perang Suksesi Generasi
berinteraksi dengan dua orang putranya, ketimbang dengan generasi 1970-an dan 1980-an. SBY lebih banyak mengambil staf khusus dari generasi 90an, tentu saja logis, karena hukum alam... mudaan umumnya lebih lentur dari yang lebih tua-an, kasarnya mudaan lebih mudah didelegasi. Lalu, apa yang dapat dilakukan dengan potret semacam ini? Perlukah semacam konsolidasi antar angkatan kembali? Biar masing-masing sosok menulis di buku agendanya... Lahhhsooner or later... hukum alam berlaku, pergolakan... bakal terjadi seandaiknya ketimpangan makin berlarut2 , seperti balon suatu waktu, saat2 kesetimbangan tiada... ya meletus. door. Nahh... terjadilah konsolidasi secara alami, ingin tak ingin masa bodoh. Mau tulis atau tidak terserah masing2. figurativ apa masih sempat dan berguna? Wassalam, Muljadi Ali Basjah Original-Nachricht Datum: Wed, 17 Oct 2012 02:02:24 -0700 (PDT) Von: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com An: Lisi l...@yahoogroups.com Betreff: [R@ntau-Net] Perang Suksesi Generasi http://indrapiliang.co Sejak jadi mahasiswa di Universitas Indonesia, saya sadari betapa perubahan digerakkan oleh apa yang dikenal sebagai creative minority (minoritas kreatif). Jumlahnya sedikit, namun bisa memberi dampak kepada kehidupan orang banyak. Apalagi mahasiswa yang dipandang sebagai komponen yang paling aktif dalam sejarah pergerakan Indonesia, sejak awal abad ke-20. Dulu, jumlah mahasiswa hanya sedikit, menjadi pemuncak dalam piramida sosial era kolonial. Kini, jumlah mahasiswa semakin banyak, seiring dengan penambahan jumlah perguruan tinggi di pelbagai daerah. m/2012/10/17/perang-suksesi-generasi/ Rabu, 17 October 2012Perang Suksesi Generasi Oleh Indra J Piliang *) Saya menulis skripsi dengan judul “Koreksi Demi Koreksi: Aktivisme Gerakan Mahasiswa Pasca Malari sampai NKK/BKK (1974-1980)”. Di dalam skripsi itu, terdapat banyak nama tokoh-tokoh mahasiswa di zamannya. Misalnya: Hariman Siregar, Syahrir (almarhum), Mochtar Pabottingi, Dipo Alam, Yusril Ihza Mahendra, Lukman Hakim, Indro Tjahjono, Hery Achmadi dan lain-lain. Biografi kemahasiswaan ini penting, setelah demokrasi membuka diri. Sejak jadi mahasiswa di Universitas Indonesia, saya sadari betapa perubahan digerakkan oleh apa yang dikenal sebagai creative minority (minoritas kreatif). Jumlahnya sedikit, namun bisa memberi dampak kepada kehidupan orang banyak. Apalagi mahasiswa yang dipandang sebagai komponen yang paling aktif dalam sejarah pergerakan Indonesia, sejak awal abad ke-20. Dulu, jumlah mahasiswa hanya sedikit, menjadi pemuncak dalam piramida sosial era kolonial. Kini, jumlah mahasiswa semakin banyak, seiring dengan penambahan jumlah perguruan tinggi di pelbagai daerah. Karena nama-nama aktor mahasiswa era 1970-an dan 1980-an itu sudah tidak asing di benak saya, maka secara tidak langsung saya juga memperhatikan sepak terjang mereka. Teori minoritas kreatif semakin menemukan bukti, mengingat nama-nama itu tetap berada di puncak pemberitaan media, paling tidak di bidangnya masing-masing, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan, pemerintahan dan politik. Gelombang arus aksi demonstrasi mahasiswa 1998 paling tidak juga melibatkan mahasiswa-mahasiswa periode sebelumnya ini. Ketika rezim Orde Baru tumbang, mereka juga yang muncul ke permukaan dengan posisi masing-masing. Bagi saya, kiprah seseorang yang kemudian mencatatkan diri dalam sejarah, tidak terlepas dari jejak kemahasiswaan mereka. Fase kemahasiswaan membentuk diri seseorang dengan baik. Tidak semua orang yang dikenal sebagai macan kampus, misalnya, berhasil dalam tahap kehidupan pasca mahasiswa. Namun, sebagian besar yang menjadi aktivis mahasiswa, rata-rata memiliki tingkat keberhasilan yang baik untuk menempuh kehidupan pasca mahasiswa. Pengalaman, karakter, jaringan, pengetahuan dan kematangan intelektual dan mental memberi pengaruh yang baik. *** Jelang suksesi kepemimpinan 2014 dan 2019, semakin terlihat geliat perang antar generasi (terutama mahasiswa) di zamannya masing-masing. Alur sejarah memberi tempat yang baik bagi lahirnya para pemimpin yang pernah menempa diri jadi aktivis mahasiswa. Dalam otobiografi BJ Habibie – yang juga diperkuat oleh otobiografi Daoed Joesoef – terdapat kalimat pendek Presiden Soeharto: “Saya akan memberikan kepemimpinan nasional berikutnya kepada kaum intelektual.” Presiden Soeharto sama sekali tidak menyebut unsur militer dan terlihat alergi dengan politisi. Proses suksesi yang abnormal memang menempatkan BJ Habibie sebagai presiden berikutnya, dari kalangan intelektual. Janji Presiden Soeharto dijalankan, tetapi tampak tanpa perencanaan. Bandingkan dengan Presiden SBY. Pernyataan Presiden SBY dalam pertemuan dengan alumni AKABRI Angkatan 1970 di Istana Bogor, tanggal 3 Oktober
[R@ntau-Net] Biografi Politik Kontemporer
http://www.indrapiliang.com/2012/10/14/biografi-politik-kontemporer/ Minggu, 14 October 2012Biografi Politik Kontemporer Oleh Indra J Piliang* Di Indonesia, biografi politik belum begitu banyak ditulis. Biografi adalah tulisan mengenai riwayat hidup seseorang yang dituliskan oleh orang lain. Sementara otobiografi adalah riwayat hidup yang ditulis sendiri, atau bisa jadi ditulis oleh ghost writer (penulis hantu), tetapi menggunakan nama sendiri. Soalnya, tidak semua orang punya kecakapan menulis. Biografi dan otobiografi ini menjadi bagian dari sumbangan seseorang kepada orang lain dalam menjalani kehidupan, tidak terbatas di bidang politik atau pemerintahan. Sebagian besar biografi politik ditulis ketika seseorang berusia 70 tahun. Saya tidak tahu kenapa angka itu yang dijadikan patokan. Bisa jadi karena di usia 70 tahun itulah kehidupan politik menjelang akhir atau memasuki tahap pensiun. Walau, ada juga yang mencapai karier politik tertinggi di usia 70 tahun. Angka 70 tahun barangkali muncul ketika usia harapan hidup seseorang, terutama di Indonesia, di bawah usia 70 tahun itu. Namun, banyak juga yang sudah menulis biografi politik sebelum usia 70 tahun. Saya belum sempat memeriksa pada usia berapa Mohammad Hatta menulis “Memoir” yang berisi kisah hidupnya. Buku itu memberikan inspirasi yang begitu banyak ke dalam pengetahuan para peminat ilmu sejarah, sekaligus juga menyerap pikiran Mohammad Hatta yang luas dan dalam di bidang ekonomi, pertahanan, diplomasi dan sekaligus pemerintahan. Kebutuhan biografi politik muncul ketika majalah Prisma menerbitkan karya monumental “Manusia Dalam Kemelut Sejarah” tahun 1977 yang berisi tulisan tentang sejumlah tokohfounding fathers and mothers Indonesia. Dari buku itu, terdapat kisah-kisah tokoh yang saling mempengaruhi di masa hidupnya. Buku-buku tebal lain juga tersedia, seperti “Tan Malaka: Dari Penjara Ke Penjara” karya Harry A Poeze, “Sutan Syahrir: Politik dan Pembuangan di Indonesia” karya Rudolf Mrazek, sampai “Soe Hok Gie” karya John Maxwell dan lain-lain. Dari buku-buku itulah, pergulatan hidup banyak sosok dan tokoh dalam sejarah Indonesia diungkap. *** Saya menulis semacam buku memoar di usia 38 tahun. Judulnya “Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan”. Saya tidak memaksudkannya sebagai karya yang berisi pemikiran, namun lebih banyak mengungkap detil Pemilu 2009, Pilpres 2009 dan Musyawarah Nasional Partai Golkar 2009. Walau saya juga menulis sedikit tentang riwayat hidup saya, tetapi lebih sebagai latar saja untuk pembaca yang tidak mengenal saya. Namun, jauh di lubuk hati saya, terdapat satu sikap betapa keringnya kehidupan politik kontemporer Indonesia dari buku-buku biografi. Buku yang saya tulis di usia muda itu sekaligus menjadi kartu undangan kepada para tokoh lain yang senior untuk menuliskan biografinya masing-masing. Apapun yang ada dalam buku itu, bagi saya bisa dijadikan sebagai bahan untuk melihat kehidupan politik hari ini. Saya tidak khawatir ketika dinilai terlalu muda mengeluarkan biografi, mengingat yang berusia tuapun jarang menulis biografinya sendiri. Belakangan saya bertemu seorang penulis bernama Ayu Asman yang menulis beberapa buku biografi. Ayu lebih banyak menulis para bupati di wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur. Salah satu yang ditulis Ayu adalah Namto, Bupati Halmahera Barat. Selain tulisan yang tertata rapi, Ayu tidak lupa menyelipkan foto-foto keindahan alam Halmahera. Indonesia terlihat lebih dari sekadar gambar-gambar artis yang dibawa layar televisi ke setiap isi kepala penontonnya. Philips Jusario Vermonte, sahabat saya di Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Luky Jani, teman baik saya di Indonesian Corruption Watch (ICW), kini mulai berkeliling Indonesia untuk mewawancarai sejumlah politisi lokal yang dianggap memberi warna baru dalam politik. Menurut Philips, Indonesia memiliki banyak potensi pemimpin di tingkat lokal, ketika politisi “nasional” di Jakarta didominasi kalangan yang itu-itu juga. Usaha Philips dan Luky ini semakin memberi dasar, betapa Indonesia seyogianya sudah bisa mengandalkan banyak tenaga kebangsaan di pundak para pemimpin lokal. Butuh sedikit kontestasi saja untuk memunculkan pemimpin lokal di ranah nasional, sebagaimana terjadi dengan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta. Jokowi-Ahok kini menjadi semacam harapan bagi pemimpin-pemimpin lain di daerah untuk bisa memanggungkan diri di level yang lebih tinggi, seperti di DKI Jakarta. Dengan pola yang bisa saja dibuat, misalnya konvensi antar pemimpin lokal masing-masing partai, Indonesia bakal bisa memiliki pelapis-pelapis baru dalam mencari pemimpin nasional. *** Serah terima pejabat kini tidak lagi disertai dengan semacam Memori Akhir Jabatan dari pejabat lama. Indonesia sepertinya terus dibelenggu oleh kilometer nol, memulai sesuatu dari awal, termasuk dan terutama di level daerah. Masyarakat
[R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis!
http://indrapiliang.com/2012/10/12/dicari-konsultan-spesialis/ Jumat, 12 October 2012Dicari: Konsultan Spesialis! Oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Dunia politik kini semakin berkembang menjadi industri baru. Industri yang penuh uang. Politik, sebagai ambisi, bisa jadi tidak lagi memikirkan jumlah uang yang dipakai. Dari sini juga, politik bukan lagi sekadar mengejar kekayaan. Politik memasuki fase aktualisasi diri, pengejaran prestise atau bahkan hanya sekadar patung yang dibuat setelah meninggalkan dunia yang fana. Akibatnya, hampir semua dipertaruhkan, tidak peduli dengan persepsi yang berkembang di sebagian kalangan. Saking banyaknya uang yang beredar di dunia politik, industri pers ikut kecipratan. Kita bisa membacanya dari data-data AC Nielsen. Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 adalah fase awal penerimaan besar industri pers dari iklan-iklan politik. Puncaknya adalah pemilu 2004 dan pilpres 2004. Hal itu terus terulang lagi ketika pemilihan langsung kepala daerah dimulai pada tahun 2005. Dari sini, sejumlah konsultan politik muncul, baik di lapangan survei, iklan, pembuatan visi dan misi, sampai penulisan buku, pencetakan kaos, baliho, spanduk, kalender dan lain-lain. Mobilisasi massa juga hadir dengan para penggeraknya. Sebetulnya, “industri kecil” pengerahan massa ini sudah dimulai ketika aksi-aksi demonstrasi mulai diberi kebebasan. Para tokoh di masing-masing daerah mencuat dengan biaya mahal. Belum lagi para artis yang dilibatkan dalam kampanye terbuka. Dunia artis semakin mudah masuk ke lapangan politik. Era pemilu 2009 – yang dimulai sejak Pilkada 2005 – menyambut kalangan artis ini beralih rupa menjadi politisi dan pejabat negara. Beberapa berhasil, namun banyak juga yang gagal. Pernah ada upaya untuk menekan biaya politik dengan cara mengembalikan sistem politik ke arah yang semakin tertutup. Misalnya, dengan menghilangkan suara terbanyak, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau bahkan hanya melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pihak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja, usaha ini sepertinya tidak banyak yang mendukung. Alasannya, secara sederhana, tentulah “kenikmatan” biaya politik yang mengalir ke banyak kantong, termasuk para pembuat kartu nama, pedagang asongan sampai sopir bus pengangkut massa. Alasan yang lebih substantif, jangan lagi demokrasi dibajak kaum elite. *** Industri konsultasi politik yang kini berkembang membutuhkan para spesialis. Tugas konsultan secara umum adalah mengurangi kesulitan para kandidat, menutupi kelemahan yang dimiliki, meminimalisir biaya yang keluar, sampai menggali potensi yang dimiliki kandidat. Karena itu juga, konsultan moderen adalah konsultan spesialis dan sub spesialis yang sekaligus idealis. Kalau tidak, konsultan hanya jadi benalu dalam politik, menambah beban masyarakat dan bahkan bisa saja menambah buruk wajah politik. Hasan Nasbi, konsultan pemenangan Jokowi-Ahok dari Cyrus Network, mengatakan bahwa lebih dari 50 spesialis di bidang konsultan politik di Amerika Serikat. Saya mengamini itu. Konsultan generik berbeda dengan konsultan spesialis dengan solusi khusus. Spesialisasi berbeda dengan generalisasi. Satu wilayah pemilihan berbeda dengan wilayah pemilihan lain. Sekalipun semua strategi pemenangan Jokowi-Ahok dituliskan, tetap saja strategi itu tidak bisa dipakai di tempat lain secara sama persis atau digunakan lagi di Jakarta dalam pilkada 2017. Waktu dan ruang membatasi. Ketika ahli-ahli pemasaran produk konsumsi dengan tiba-tiba beralih menjadi konsultan politik, saya menemukan fenomena berikut: kandidat politik dipasarkan sebagaimana memasarkan produk. Ketika jadi Tim Pencitraan JK-Wiranto, saya menemukan banyak sekali proposal yang fokus kepada penyebaran image tentang JK-Wiranto sama persis dengan image produk konsumsi, barang dan jasa. Padahal, politik membutuhkan doktrinasi, program unggulan sampai kepada mitologi. Hampir semua pemenang dalam pilkada memiliki mitologi khusus, sesuai dengan karakter masing-masing kandidat dan kondisi demografis daerah masing-masing. Para spesialis inilah yang kurang di ranah politik. Jangan heran, apabila pemain-pemain utama konsultan politik biasanya itu-itu saja. Kalah dan menang tidak menjadi pikiran. Upaya menjadi konsultan nomor satu juga tak dijadikan sebagai parameter sukses. Bahkan, sejumlah konsultan bekerja dengan cara-cara yang sama, tanpa inovasi, tetapi telanjur memiliki nama akibat sukses pencitraan sebagai konsultan. Yang juga terjadi, pollster merangkap sebagai consultant, sesuatu yang sebenarnya tabu. Belakangan, konsultan juga bagian dari analis independen, sehingga suara-suara murni hasil analisis tenggelam oleh sikap like or dislike. Salah satu konsultan yang saya anggap benar-benar memegang garis pinggir yang keras adalah Yon Hotman, pendiri Mc Leader’s dan Blora Center. Keberhasilannya, meyakinkan Susilo Bambang
Re: Bls: [R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis!
Wa'alaikum salam, Uda. Insya Allah. Iko nomor ambo: 0812.101.35.25. Sent from my iPad On 13 Okt 2012, at 04:21, asmun sjueib kinno...@yahoo.co.id wrote: Aww. Ddn. IJP tarimokasieh tulisan nan menarik dan akan lebih menarik sarato bemanfaat kami bisa membantu saketek-saketek dan dapeik basuo ngopi2 di JAlan Sriwijaya Raya 47 Jakarta Selatan. Time table dapeik diatur. Wassalam, H.A.A.S.M.A. Hp. 0812-923-2211 Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: Lisi l...@yahoogroups.com Dikirim: Jumat, 12 Oktober 2012 23:40 Judul: [R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis! http://indrapiliang.com/2012/10/12/dicari-konsultan-spesialis/ Jumat, 12 October 2012 Dicari: Konsultan Spesialis! Oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Dunia politik kini semakin berkembang menjadi industri baru. Industri yang penuh uang. Politik, sebagai ambisi, bisa jadi tidak lagi memikirkan jumlah uang yang dipakai. Dari sini juga, politik bukan lagi sekadar mengejar kekayaan. Politik memasuki fase aktualisasi diri, pengejaran prestise atau bahkan hanya sekadar patung yang dibuat setelah meninggalkan dunia yang fana. Akibatnya, hampir semua dipertaruhkan, tidak peduli dengan persepsi yang berkembang di sebagian kalangan. Saking banyaknya uang yang beredar di dunia politik, industri pers ikut kecipratan. Kita bisa membacanya dari data-data AC Nielsen. Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 adalah fase awal penerimaan besar industri pers dari iklan-iklan politik. Puncaknya adalah pemilu 2004 dan pilpres 2004. Hal itu terus terulang lagi ketika pemilihan langsung kepala daerah dimulai pada tahun 2005. Dari sini, sejumlah konsultan politik muncul, baik di lapangan survei, iklan, pembuatan visi dan misi, sampai penulisan buku, pencetakan kaos, baliho, spanduk, kalender dan lain-lain. Mobilisasi massa juga hadir dengan para penggeraknya. Sebetulnya, “industri kecil” pengerahan massa ini sudah dimulai ketika aksi-aksi demonstrasi mulai diberi kebebasan. Para tokoh di masing-masing daerah mencuat dengan biaya mahal. Belum lagi para artis yang dilibatkan dalam kampanye terbuka. Dunia artis semakin mudah masuk ke lapangan politik. Era pemilu 2009 – yang dimulai sejak Pilkada 2005 – menyambut kalangan artis ini beralih rupa menjadi politisi dan pejabat negara. Beberapa berhasil, namun banyak juga yang gagal. Pernah ada upaya untuk menekan biaya politik dengan cara mengembalikan sistem politik ke arah yang semakin tertutup. Misalnya, dengan menghilangkan suara terbanyak, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau bahkan hanya melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pihak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja, usaha ini sepertinya tidak banyak yang mendukung. Alasannya, secara sederhana, tentulah “kenikmatan” biaya politik yang mengalir ke banyak kantong, termasuk para pembuat kartu nama, pedagang asongan sampai sopir bus pengangkut massa. Alasan yang lebih substantif, jangan lagi demokrasi dibajak kaum elite. *** Industri konsultasi politik yang kini berkembang membutuhkan para spesialis. Tugas konsultan secara umum adalah mengurangi kesulitan para kandidat, menutupi kelemahan yang dimiliki, meminimalisir biaya yang keluar, sampai menggali potensi yang dimiliki kandidat. Karena itu juga, konsultan moderen adalah konsultan spesialis dan sub spesialis yang sekaligus idealis. Kalau tidak, konsultan hanya jadi benalu dalam politik, menambah beban masyarakat dan bahkan bisa saja menambah buruk wajah politik. Hasan Nasbi, konsultan pemenangan Jokowi-Ahok dari Cyrus Network, mengatakan bahwa lebih dari 50 spesialis di bidang konsultan politik di Amerika Serikat. Saya mengamini itu. Konsultan generik berbeda dengan konsultan spesialis dengan solusi khusus. Spesialisasi berbeda dengan generalisasi. Satu wilayah pemilihan berbeda dengan wilayah pemilihan lain. Sekalipun semua strategi pemenangan Jokowi-Ahok dituliskan, tetap saja strategi itu tidak bisa dipakai di tempat lain secara sama persis atau digunakan lagi di Jakarta dalam pilkada 2017. Waktu dan ruang membatasi. Ketika ahli-ahli pemasaran produk konsumsi dengan tiba-tiba beralih menjadi konsultan politik, saya menemukan fenomena berikut: kandidat politik dipasarkan sebagaimana memasarkan produk. Ketika jadi Tim Pencitraan JK-Wiranto, saya menemukan banyak sekali proposal yang fokus kepada penyebaran image tentang JK-Wiranto sama persis dengan image produk konsumsi, barang dan jasa. Padahal, politik membutuhkan doktrinasi, program unggulan sampai kepada mitologi. Hampir semua pemenang dalam pilkada memiliki mitologi khusus, sesuai dengan karakter masing-masing kandidat dan kondisi demografis daerah masing-masing. Para spesialis inilah yang kurang di ranah politik. Jangan heran, apabila pemain-pemain utama konsultan politik biasanya itu-itu saja. Kalah dan menang tidak menjadi pikiran
Re: [R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis!
Hehe. Uda Andrinof lbh paham soal ini, Da. Di sjmlh aspek, Alex Nono itu berhasil baik, terutama dalam kualitas debat dan kepercayaan diri. Kalau utk sosok Capres yg dicari yang presidensial, Alex berhasil menunjukkan diri sebagai sosok gubernursial juga :D Tembok pertahanan Foke rubuh itu lbh krn tenaga Alex di putaran pertama, runtuhannya dimanfaatkan Jokowi. Sent from my iPad On 13 Okt 2012, at 06:22, Akmal N. Basral an...@yahoo.com wrote: Jadi maksudnya, pasangan Alex-Nono kemarin gagal di Pilkada DKI karena Golkar nggak punya konsultan spesialis seperti Jokowi-Ahok punya Hasan Nasbi ya IJP? Salam, Akmal N. Basral On Oct 12, 2012, at 11:40 PM, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/10/12/dicari-konsultan-spesialis/ Jumat, 12 October 2012 Dicari: Konsultan Spesialis! Oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Dunia politik kini semakin berkembang menjadi industri baru. Industri yang penuh uang. Politik, sebagai ambisi, bisa jadi tidak lagi memikirkan jumlah uang yang dipakai. Dari sini juga, politik bukan lagi sekadar mengejar kekayaan. Politik memasuki fase aktualisasi diri, pengejaran prestise atau bahkan hanya sekadar patung yang dibuat setelah meninggalkan dunia yang fana. Akibatnya, hampir semua dipertaruhkan, tidak peduli dengan persepsi yang berkembang di sebagian kalangan. Saking banyaknya uang yang beredar di dunia politik, industri pers ikut kecipratan. Kita bisa membacanya dari data-data AC Nielsen. Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 adalah fase awal penerimaan besar industri pers dari iklan-iklan politik. Puncaknya adalah pemilu 2004 dan pilpres 2004. Hal itu terus terulang lagi ketika pemilihan langsung kepala daerah dimulai pada tahun 2005. Dari sini, sejumlah konsultan politik muncul, baik di lapangan survei, iklan, pembuatan visi dan misi, sampai penulisan buku, pencetakan kaos, baliho, spanduk, kalender dan lain-lain. Mobilisasi massa juga hadir dengan para penggeraknya. Sebetulnya, “industri kecil” pengerahan massa ini sudah dimulai ketika aksi-aksi demonstrasi mulai diberi kebebasan. Para tokoh di masing-masing daerah mencuat dengan biaya mahal. Belum lagi para artis yang dilibatkan dalam kampanye terbuka. Dunia artis semakin mudah masuk ke lapangan politik. Era pemilu 2009 – yang dimulai sejak Pilkada 2005 – menyambut kalangan artis ini beralih rupa menjadi politisi dan pejabat negara. Beberapa berhasil, namun banyak juga yang gagal. Pernah ada upaya untuk menekan biaya politik dengan cara mengembalikan sistem politik ke arah yang semakin tertutup. Misalnya, dengan menghilangkan suara terbanyak, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau bahkan hanya melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pihak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja, usaha ini sepertinya tidak banyak yang mendukung. Alasannya, secara sederhana, tentulah “kenikmatan” biaya politik yang mengalir ke banyak kantong, termasuk para pembuat kartu nama, pedagang asongan sampai sopir bus pengangkut massa. Alasan yang lebih substantif, jangan lagi demokrasi dibajak kaum elite. *** Industri konsultasi politik yang kini berkembang membutuhkan para spesialis. Tugas konsultan secara umum adalah mengurangi kesulitan para kandidat, menutupi kelemahan yang dimiliki, meminimalisir biaya yang keluar, sampai menggali potensi yang dimiliki kandidat. Karena itu juga, konsultan moderen adalah konsultan spesialis dan sub spesialis yang sekaligus idealis. Kalau tidak, konsultan hanya jadi benalu dalam politik, menambah beban masyarakat dan bahkan bisa saja menambah buruk wajah politik. Hasan Nasbi, konsultan pemenangan Jokowi-Ahok dari Cyrus Network, mengatakan bahwa lebih dari 50 spesialis di bidang konsultan politik di Amerika Serikat. Saya mengamini itu. Konsultan generik berbeda dengan konsultan spesialis dengan solusi khusus. Spesialisasi berbeda dengan generalisasi. Satu wilayah pemilihan berbeda dengan wilayah pemilihan lain. Sekalipun semua strategi pemenangan Jokowi-Ahok dituliskan, tetap saja strategi itu tidak bisa dipakai di tempat lain secara sama persis atau digunakan lagi di Jakarta dalam pilkada 2017. Waktu dan ruang membatasi. Ketika ahli-ahli pemasaran produk konsumsi dengan tiba-tiba beralih menjadi konsultan politik, saya menemukan fenomena berikut: kandidat politik dipasarkan sebagaimana memasarkan produk. Ketika jadi Tim Pencitraan JK-Wiranto, saya menemukan banyak sekali proposal yang fokus kepada penyebaran image tentang JK-Wiranto sama persis dengan image produk konsumsi, barang dan jasa. Padahal, politik membutuhkan doktrinasi, program unggulan sampai kepada mitologi. Hampir semua pemenang dalam pilkada memiliki mitologi khusus, sesuai dengan karakter masing-masing kandidat dan kondisi demografis daerah masing-masing. Para spesialis inilah yang kurang di ranah
Re: [R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis!
Wa'alaikum salam. Ambo mancubo mancaliak sisi lain politik. Sisi2 yg terkait dgn manajemen. Sebetulnya, sisi2 spt ini dalam dan kompleks. Misalnya ttg manajemen keuangan politisi, bagaimana membagi neraca keuangan antara kubutuhan keluarga, pribadi, masyarakat, partai dan lain2. Orang memandang politik sudah take for granted atau given sajo. Padahal, byk sisi2 teknisnyo nan paralu dibukak. Sent from my iPad On 13 Okt 2012, at 10:26, Elthaf Hidjaz eltha...@gmail.com wrote: Asswrwb, Sanak IJP, menarik apo nan sanak tulis tu, ambo mancaliak urang kini labiah condong mancaliak out put dan profil dari analisis konsultant, misalnyo katiko mampublish seseorang ikuik pilpres, pilkada, mayoritas masyarakat labiah mancaliak sia nyoh dan takah nyo. Pado prinsipnyo apo nan sanak tulis tu paralu disikapi dg serius bagi tokoh2 nan nio maju d pilpres atau pilkada, malah juo Pileg. Mokasih sanak IJP ateh tulisannyo. Salam Elthaf Sentral Senayan, Jkt On 10/12/12, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/10/12/dicari-konsultan-spesialis/ Jumat, 12 October 2012Dicari: Konsultan Spesialis! Oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Dunia politik kini semakin berkembang menjadi industri baru. Industri yang penuh uang. Politik, sebagai ambisi, bisa jadi tidak lagi memikirkan jumlah uang yang dipakai. Dari sini juga, politik bukan lagi sekadar mengejar kekayaan. Politik memasuki fase aktualisasi diri, pengejaran prestise atau bahkan hanya sekadar patung yang dibuat setelah meninggalkan dunia yang fana. Akibatnya, hampir semua dipertaruhkan, tidak peduli dengan persepsi yang berkembang di sebagian kalangan. Saking banyaknya uang yang beredar di dunia politik, industri pers ikut kecipratan. Kita bisa membacanya dari data-data AC Nielsen. Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 adalah fase awal penerimaan besar industri pers dari iklan-iklan politik. Puncaknya adalah pemilu 2004 dan pilpres 2004. Hal itu terus terulang lagi ketika pemilihan langsung kepala daerah dimulai pada tahun 2005. Dari sini, sejumlah konsultan politik muncul, baik di lapangan survei, iklan, pembuatan visi dan misi, sampai penulisan buku, pencetakan kaos, baliho, spanduk, kalender dan lain-lain. Mobilisasi massa juga hadir dengan para penggeraknya. Sebetulnya, “industri kecil” pengerahan massa ini sudah dimulai ketika aksi-aksi demonstrasi mulai diberi kebebasan. Para tokoh di masing-masing daerah mencuat dengan biaya mahal. Belum lagi para artis yang dilibatkan dalam kampanye terbuka. Dunia artis semakin mudah masuk ke lapangan politik. Era pemilu 2009 – yang dimulai sejak Pilkada 2005 – menyambut kalangan artis ini beralih rupa menjadi politisi dan pejabat negara. Beberapa berhasil, namun banyak juga yang gagal. Pernah ada upaya untuk menekan biaya politik dengan cara mengembalikan sistem politik ke arah yang semakin tertutup. Misalnya, dengan menghilangkan suara terbanyak, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau bahkan hanya melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pihak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja, usaha ini sepertinya tidak banyak yang mendukung. Alasannya, secara sederhana, tentulah “kenikmatan” biaya politik yang mengalir ke banyak kantong, termasuk para pembuat kartu nama, pedagang asongan sampai sopir bus pengangkut massa. Alasan yang lebih substantif, jangan lagi demokrasi dibajak kaum elite. *** Industri konsultasi politik yang kini berkembang membutuhkan para spesialis. Tugas konsultan secara umum adalah mengurangi kesulitan para kandidat, menutupi kelemahan yang dimiliki, meminimalisir biaya yang keluar, sampai menggali potensi yang dimiliki kandidat. Karena itu juga, konsultan moderen adalah konsultan spesialis dan sub spesialis yang sekaligus idealis. Kalau tidak, konsultan hanya jadi benalu dalam politik, menambah beban masyarakat dan bahkan bisa saja menambah buruk wajah politik. Hasan Nasbi, konsultan pemenangan Jokowi-Ahok dari Cyrus Network, mengatakan bahwa lebih dari 50 spesialis di bidang konsultan politik di Amerika Serikat. Saya mengamini itu. Konsultan generik berbeda dengan konsultan spesialis dengan solusi khusus. Spesialisasi berbeda dengan generalisasi. Satu wilayah pemilihan berbeda dengan wilayah pemilihan lain. Sekalipun semua strategi pemenangan Jokowi-Ahok dituliskan, tetap saja strategi itu tidak bisa dipakai di tempat lain secara sama persis atau digunakan lagi di Jakarta dalam pilkada 2017. Waktu dan ruang membatasi. Ketika ahli-ahli pemasaran produk konsumsi dengan tiba-tiba beralih menjadi konsultan politik, saya menemukan fenomena berikut: kandidat politik dipasarkan sebagaimana memasarkan produk. Ketika jadi Tim Pencitraan JK-Wiranto, saya menemukan banyak sekali proposal yang fokus kepada penyebaran image tentang JK-Wiranto sama persis dengan image produk konsumsi, barang dan jasa. Padahal, politik
Re: [R@ntau-Net] Dicari: Konsultan Spesialis!
Politik itu tdk matematis. Data menunjukkan bhw pemilih ALex-Nono adalah orang Palembang dan Madura yg jumlahnya sedikit. Tembok itu terlihat dlm debat kandidat. Soal pemilih, lain lagi, disorot pakai studi etnografis. Pemilih Jawa dominan di DKI, pemilih Sunda nomor 2 (karakternya pecah), dll. Dom debat, Foke sulut hadapi Alex, tp dgn memandang enteng Jokowi. Ini memberi kesempatan kepada Jokowi utk mengambil keuntungan. Ini kan main segienam, bukan main satu lawan satu, apalagi main matematika. Sama dg kemenangan Irwan-MK di Sumbar. Dua2nya punya loyalis. Irwan basisnya PKS, Muslim basisnya PKDP. Kalau dihitung partai, kecil dibanding dengan yang lain. Ada unsur etnografis yg kental dalam politik moderen, tmsk di Inggris. Sent from my iPad On 13 Okt 2012, at 08:05, Akmal N. Basral an...@yahoo.com wrote: Pls CMIIW, Alex-Nono menduduki peringkat kelima dari 6 pasangan di putaran pertama dengan mendulang 4,67 % suara, sedangkan Foke-Nara di posisi kedua dengan 34,05 % suara. Seandainya seluruh perolehan suara Alex-Nono digabungkan dengan Foke-Nara jumlahnya menjadi 38,72 %, masih di bawah perolehan suara Jokowi-Ahok yang 42,60 %. Atau dalam persamaan matematik: AN + FN JA Bagaimana penjelasan Tembok pertahanan Foke rubuh itu lebih karena tenaga Alex di putaran pertama, reruntuhannya dimanfaatkan Jokowi ya, IJP, sedangkan data empiris menunjukkan jika tenaga AN digabung dengan FN pun masih belum menggoyah kekuatan JA di putaran pertama? Salam, Akmal N. Basral Sent from my iPad2 On Oct 13, 2012, at 7:31 AM, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: Hehe. Uda Andrinof lbh paham soal ini, Da. Di sjmlh aspek, Alex Nono itu berhasil baik, terutama dalam kualitas debat dan kepercayaan diri. Kalau utk sosok Capres yg dicari yang presidensial, Alex berhasil menunjukkan diri sebagai sosok gubernursial juga :D Tembok pertahanan Foke rubuh itu lbh krn tenaga Alex di putaran pertama, runtuhannya dimanfaatkan Jokowi. Sent from my iPad On 13 Okt 2012, at 06:22, Akmal N. Basral an...@yahoo.com wrote: Jadi maksudnya, pasangan Alex-Nono kemarin gagal di Pilkada DKI karena Golkar nggak punya konsultan spesialis seperti Jokowi-Ahok punya Hasan Nasbi ya IJP? Salam, Akmal N. Basral On Oct 12, 2012, at 11:40 PM, Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com wrote: http://indrapiliang.com/2012/10/12/dicari-konsultan-spesialis/ Jumat, 12 October 2012 Dicari: Konsultan Spesialis! Oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Dunia politik kini semakin berkembang menjadi industri baru. Industri yang penuh uang. Politik, sebagai ambisi, bisa jadi tidak lagi memikirkan jumlah uang yang dipakai. Dari sini juga, politik bukan lagi sekadar mengejar kekayaan. Politik memasuki fase aktualisasi diri, pengejaran prestise atau bahkan hanya sekadar patung yang dibuat setelah meninggalkan dunia yang fana. Akibatnya, hampir semua dipertaruhkan, tidak peduli dengan persepsi yang berkembang di sebagian kalangan. Saking banyaknya uang yang beredar di dunia politik, industri pers ikut kecipratan. Kita bisa membacanya dari data-data AC Nielsen. Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 adalah fase awal penerimaan besar industri pers dari iklan-iklan politik. Puncaknya adalah pemilu 2004 dan pilpres 2004. Hal itu terus terulang lagi ketika pemilihan langsung kepala daerah dimulai pada tahun 2005. Dari sini, sejumlah konsultan politik muncul, baik di lapangan survei, iklan, pembuatan visi dan misi, sampai penulisan buku, pencetakan kaos, baliho, spanduk, kalender dan lain-lain. Mobilisasi massa juga hadir dengan para penggeraknya. Sebetulnya, “industri kecil” pengerahan massa ini sudah dimulai ketika aksi-aksi demonstrasi mulai diberi kebebasan. Para tokoh di masing-masing daerah mencuat dengan biaya mahal. Belum lagi para artis yang dilibatkan dalam kampanye terbuka. Dunia artis semakin mudah masuk ke lapangan politik. Era pemilu 2009 – yang dimulai sejak Pilkada 2005 – menyambut kalangan artis ini beralih rupa menjadi politisi dan pejabat negara. Beberapa berhasil, namun banyak juga yang gagal. Pernah ada upaya untuk menekan biaya politik dengan cara mengembalikan sistem politik ke arah yang semakin tertutup. Misalnya, dengan menghilangkan suara terbanyak, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau bahkan hanya melibatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pihak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja, usaha ini sepertinya tidak banyak yang mendukung. Alasannya, secara sederhana, tentulah “kenikmatan” biaya politik yang mengalir ke banyak kantong, termasuk para pembuat kartu nama, pedagang asongan sampai sopir bus pengangkut massa. Alasan yang lebih substantif, jangan lagi demokrasi dibajak kaum elite. *** Industri konsultasi politik yang kini berkembang membutuhkan para spesialis. Tugas konsultan secara umum adalah mengurangi kesulitan
[R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun
http://www.indrapiliang.com/2012/10/10/ridwan-mukti-bupati-pembangun/ Rabu, 10 October 2012Ridwan Mukti, Bupati Pembangun oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Belakangan ini partai politik, khususnya Partai Golkar, terus menghadapi masalah. Baik yang datang dari dalam, maupun yang diantarkan dari luar. Pola pikir anti partai yang sudah dibangun sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 sampai tahun 1998, ternyata masih kuat. Tiga kali pemilu, 1999, 2004 dan 2009, belum mampu menghapus sikap anti partai itu. Seolah partailah yang selama empat dekade itu yang merusak seluruh sistem kebangsaan. Padahal, Indonesia merdeka dilahirkan oleh kinerja politisi pendiri bangsa (founding fathers and mothers). Jarang sekali nama-nama yang bisa dideret sebagai pendiri bangsa yang bukan berlatar belakang politisi. Plus, politisi yang merangkap menjadi intelektual. Modal awal keharuman nama politisi kemerdekaan ini seolah tenggelam, digantikan dengan bau busuk yang muncul akibat kasus-kasus yang muncul ke permukaan, terutama korupsi. Upaya untuk menampilkan nama-nama politisi yang tetap menjadikan dirinya sebagai panggung silang-pendapat dengan visi yang tertata juga semakin jarang. Barangkali yang dilihat adalah tahta yang dipegang, bukan pribadi politisi itu sendiri. Sistem patron-client yang berakar kepada feodalisme, cenderung memandang pejabat sebagai posisi yang terhormat. Sehingga, posisi sebagai politisi layak dipandang apabila sudah melakukan pekerjaan luar biasa, tidak sekadar pejabat. Dari sinilah, satu nama yang layak disebut adalah Ridwan Mukti. Nama ini belum dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan masih sedikit dikenal oleh masyarakat Sumsel. Yang mengenalnya, baru sebatas masyarakat Musi Rawas, Sumsel. Ridwan Mukti memang sedang menjabat sebagai Bupati Musi Rawas untuk periode kedua, sejak tahun 2005. Kesibukan membangun Musi Rawas menjadikannya kekurangan waktu untuk melakukan perkenalan diri ke segmen yang lebih luas. Saya mengenal Ridwan Mukti dalam rapat-rapat di DPP Partai Golkar. Yang memperkenalkan adalah senior saya, Yan Hiksas. Yan berpesan, agar saya menyempatkan diri untuk datang ke Musi Rawas. Kebetulan, Ridwan Mukti juga menjabat sebagai Wakil Bendahara DPP Partai Golkar, sama dengan posisi Yan Hiksas. Semula, saya tidak terlalu kepikiran, namun kemudian, saya menyanggupkan diri datang ke Musi Rawas. Musi Rawas adalah salah satu daerah penting di Sumsel. Sebelumnya, ibukota Musi Rawas adalah Lubuk Linggau. Bagi para perantau Minangkabau, Lubuk Linggau dilihat sebagai daerah yang dilewati dalam perjalanan darat dari Sumbar ke Jawa. Dengan banyak perjalanan yang saya lakukan sejak tahun 1991, berarti berkali-kali juga saya berada di atas kendaraan, melewati Lubuk Linggau. Kesan yang utama adalah jalannya yang bagus dan taman-tamannya yang tertata. Belakangan, Lubuk Linggau menjadi Kota, berpisah dengan Musi Rawas. Kesenjangan baru terlihat. Pemerataan pembangunan ternyata tidak menjangkau kawasan pedesaan di Musi Rawas, hanya terkonsentrasi di Lubuk Linggau. Keadaan inilah yang menggerakkan langkah Ridwan Mukti pulang kampung, dengan maju sebagai Bupati Musi Rawas pada tahun 2005. Waktu itu, Ridwan baru setahun menjadi anggota DPR RI. Lima tahun berikutnya, Ridwan terpilih kembali untuk periode kedua pada tahun 2010. Ketika memulai jabatan sebagai Bupati, APBD Musi Rawas masih sekitar Rp. 350 Milyar. Tahun ini, sudah mencapai Rp. 1,3 Trilyun. Pendapatan Asli Daerah yang semula hanya sekitar Rp 5 Milyar, sekarang sudah sampai ke angka Rp 70 Milyar. Selama menjadi bupati, Ridwan Mukti membangun 3000 kilometer jalan, dengan pembagian 1.600 kilometer dibangun Pemda dan 1.400 kilometer dibangun pihak swasta. Ridwan memang membebankan kepada pihak swasta untuk terlebih dulu membangun jalan, sebelum mereka melakukan ekploitasi kegiatan usaha di bidang pertambangan dan perkebunan. Yang paling fenomenal, Ridwan membangun Bandara Silampari. Bandara ini beroperasi mulai tanggal 9 Juni 2010. Dengan akses bandara ini, dalam pikiran Ridwan terbentang Koridor Barat Sumatera Selatan sebagai penghubung ke lebih kurang 11 kabupaten kota di Sumsel, Bengkulu dan Jambi. Selama ini, akses ke Linggau lewat bandara terdekat adalah Bengkulu, sekitar 3 jam perjalanan darat. Jalur lain lewat Jambi (5 jam) atau Palembang (7 jam perjalanan darat). Dengan Bandara Silampari, Linggau-Jakarta hanya ditempuh dalam waktu 50 menit. Tentu, masih banyak hal yang dikerjakan Ridwan, termasuk membebaskan 119 desa terisolir di Musi Rawas. Musi Rawas dengan begitu sudah tidak lagi masuk kategori Kabupaten Tertinggal. Para pengendara, kini bisa membelokkan mobilnya ke arah Musi Rawas dari Linggau, untuk melihat perkebunan, kolam ikan, sampai ibukota baru di Muara Beliti. Perlahan, aset Pemda Musi Rawas diubah menjadi Universitas Musi Rawas yang juga visioner sebagai penghasil sumber daya manusia di Musi Rawas dan sekitarnya.
Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun
Pak Alex kan alah dapek tiket di DKI. Dua kali dapek tiket dalam satahun, kalam aka awak beko. Hehehe Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Benny Farlo bennyfa...@pusri.co.id To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, October 11, 2012 1:39 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun Bung Indra, spanduk beliau untuk maju menjadi Sumsel-1 sudah ada dimana2, namun P' Alex Nurdin juga dari Golkar bakal maju lg utk periode berikutnya..Ba'a kali x kali ee..ko?, he,he salam sukses, St. Bunsu - Original Message - From: Indra Jaya Piliang To: Lisi Sent: Thursday, October 11, 2012 1:23 PM Subject: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun http://www.indrapiliang.com/2012/10/10/ridwan-mukti-bupati-pembangun/ Rabu, 10 October 2012Ridwan Mukti, Bupati Pembangun oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Belakangan ini partai politik, khususnya Partai Golkar, terus menghadapi masalah. Baik yang datang dari dalam, maupun yang diantarkan dari luar. Pola pikir anti partai yang sudah dibangun sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 sampai tahun 1998, ternyata masih kuat. Tiga kali pemilu, 1999, 2004 dan 2009, belum mampu menghapus sikap anti partai itu. Seolah partailah yang selama empat dekade itu yang merusak seluruh sistem kebangsaan. Padahal, Indonesia merdeka dilahirkan oleh kinerja politisi pendiri bangsa (founding fathers and mothers). Jarang sekali nama-nama yang bisa dideret sebagai pendiri bangsa yang bukan berlatar belakang politisi. Plus, politisi yang merangkap menjadi intelektual. Modal awal keharuman nama politisi kemerdekaan ini seolah tenggelam, digantikan dengan bau busuk yang muncul akibat kasus-kasus yang muncul ke permukaan, terutama korupsi. Upaya untuk menampilkan nama-nama politisi yang tetap menjadikan dirinya sebagai panggung silang-pendapat dengan visi yang tertata juga semakin jarang. Barangkali yang dilihat adalah tahta yang dipegang, bukan pribadi politisi itu sendiri. Sistem patron-client yang berakar kepada feodalisme, cenderung memandang pejabat sebagai posisi yang terhormat. Sehingga, posisi sebagai politisi layak dipandang apabila sudah melakukan pekerjaan luar biasa, tidak sekadar pejabat. Dari sinilah, satu nama yang layak disebut adalah Ridwan Mukti. Nama ini belum dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan masih sedikit dikenal oleh masyarakat Sumsel. Yang mengenalnya, baru sebatas masyarakat Musi Rawas, Sumsel. Ridwan Mukti memang sedang menjabat sebagai Bupati Musi Rawas untuk periode kedua, sejak tahun 2005. Kesibukan membangun Musi Rawas menjadikannya kekurangan waktu untuk melakukan perkenalan diri ke segmen yang lebih luas. Saya mengenal Ridwan Mukti dalam rapat-rapat di DPP Partai Golkar. Yang memperkenalkan adalah senior saya, Yan Hiksas. Yan berpesan, agar saya menyempatkan diri untuk datang ke Musi Rawas. Kebetulan, Ridwan Mukti juga menjabat sebagai Wakil Bendahara DPP Partai Golkar, sama dengan posisi Yan Hiksas. Semula, saya tidak terlalu kepikiran, namun kemudian, saya menyanggupkan diri datang ke Musi Rawas. Musi Rawas adalah salah satu daerah penting di Sumsel. Sebelumnya, ibukota Musi Rawas adalah Lubuk Linggau. Bagi para perantau Minangkabau, Lubuk Linggau dilihat sebagai daerah yang dilewati dalam perjalanan darat dari Sumbar ke Jawa. Dengan banyak perjalanan yang saya lakukan sejak tahun 1991, berarti berkali-kali juga saya berada di atas kendaraan, melewati Lubuk Linggau. Kesan yang utama adalah jalannya yang bagus dan taman-tamannya yang tertata. Belakangan, Lubuk Linggau menjadi Kota, berpisah dengan Musi Rawas. Kesenjangan baru terlihat. Pemerataan pembangunan ternyata tidak menjangkau kawasan pedesaan di Musi Rawas, hanya terkonsentrasi di Lubuk Linggau. Keadaan inilah yang menggerakkan langkah Ridwan Mukti pulang kampung, dengan maju sebagai Bupati Musi Rawas pada tahun 2005. Waktu itu, Ridwan baru setahun menjadi anggota DPR RI. Lima tahun berikutnya, Ridwan terpilih kembali untuk periode kedua pada tahun 2010. Ketika memulai jabatan sebagai Bupati, APBD Musi Rawas masih sekitar Rp. 350 Milyar. Tahun ini, sudah mencapai Rp. 1,3 Trilyun. Pendapatan Asli Daerah yang semula hanya sekitar Rp 5 Milyar, sekarang sudah sampai ke angka Rp 70 Milyar. Selama menjadi bupati, Ridwan Mukti membangun 3000 kilometer jalan, dengan pembagian 1.600 kilometer dibangun Pemda dan 1.400 kilometer dibangun pihak swasta. Ridwan memang membebankan kepada pihak swasta untuk terlebih dulu membangun jalan, sebelum mereka melakukan ekploitasi kegiatan usaha di bidang pertambangan dan perkebunan. Yang paling fenomenal, Ridwan membangun Bandara Silampari. Bandara ini beroperasi mulai tanggal 9 Juni 2010. Dengan akses bandara ini
Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun
Hehe. Kalau provinsi baru, via DPR jo Presiden. Kini ado maratorium. Kemungkinan AN-RM itu kecil secara politik Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: hrees_...@yahoo.com hrees_...@yahoo.com To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, October 11, 2012 2:53 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun Kok seandainyo Pak Alex N berpasangan jo Pak Ridwan M, rancak juo. Abih tu, kab.mura+kota.lubuk linggau+kab.empat lawang+kab.sarolangun bisa menjadi 1 provinsi baru dengan Gubernur Ridwan Mukti... Ba a kiro-kiro da? Wassalam Haris Jumadi 36 th Warga Baru Kota Palembang Suku Sikumbang (Bukiktinggi) Powered by Telkomsel BlackBerry® From: Benny Farlo bennyfa...@pusri.co.id Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Thu, 11 Oct 2012 14:12:30 +0700 To: rantaunet@googlegroups.com ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun Ooo..nantun cito'e..arati e P'Ridwan alah dapek tiket kuniang yo, salamaik berkreasi Bung Indra, TB - Original Message - From: Indra Jaya Piliang To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, October 11, 2012 1:57 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun Pak Alex kan alah dapek tiket di DKI. Dua kali dapek tiket dalam satahun, kalam aka awak beko. Hehehe Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Benny Farlo bennyfa...@pusri.co.id To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, October 11, 2012 1:39 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun Bung Indra, spanduk beliau untuk maju menjadi Sumsel-1 sudah ada dimana2, namun P' Alex Nurdin juga dari Golkar bakal maju lg utk periode berikutnya..Ba'a kali x kali ee..ko?, he,he salam sukses, St. Bunsu - Original Message - From: Indra Jaya Piliang To: Lisi Sent: Thursday, October 11, 2012 1:23 PM Subject: [R@ntau-Net] Ridwan Mukti, Bupati Pembangun http://www.indrapiliang.com/2012/10/10/ridwan-mukti-bupati-pembangun/ Rabu, 10 October 2012Ridwan Mukti, Bupati Pembangun oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Belakangan ini partai politik, khususnya Partai Golkar, terus menghadapi masalah. Baik yang datang dari dalam, maupun yang diantarkan dari luar. Pola pikir anti partai yang sudah dibangun sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 sampai tahun 1998, ternyata masih kuat. Tiga kali pemilu, 1999, 2004 dan 2009, belum mampu menghapus sikap anti partai itu. Seolah partailah yang selama empat dekade itu yang merusak seluruh sistem kebangsaan. Padahal, Indonesia merdeka dilahirkan oleh kinerja politisi pendiri bangsa (founding fathers and mothers). Jarang sekali nama-nama yang bisa dideret sebagai pendiri bangsa yang bukan berlatar belakang politisi. Plus, politisi yang merangkap menjadi intelektual. Modal awal keharuman nama politisi kemerdekaan ini seolah tenggelam, digantikan dengan bau busuk yang muncul akibat kasus-kasus yang muncul ke permukaan, terutama korupsi. Upaya untuk menampilkan nama-nama politisi yang tetap menjadikan dirinya sebagai panggung silang-pendapat dengan visi yang tertata juga semakin jarang. Barangkali yang dilihat adalah tahta yang dipegang, bukan pribadi politisi itu sendiri. Sistem patron-client yang berakar kepada feodalisme, cenderung memandang pejabat sebagai posisi yang terhormat. Sehingga, posisi sebagai politisi layak dipandang apabila sudah melakukan pekerjaan luar biasa, tidak sekadar pejabat. Dari sinilah, satu nama yang layak disebut adalah Ridwan Mukti. Nama ini belum dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan masih sedikit dikenal oleh masyarakat Sumsel. Yang mengenalnya, baru sebatas masyarakat Musi Rawas, Sumsel. Ridwan Mukti memang sedang menjabat sebagai Bupati Musi Rawas untuk periode kedua, sejak tahun 2005. Kesibukan membangun Musi Rawas menjadikannya kekurangan waktu untuk melakukan perkenalan diri ke segmen yang lebih luas. Saya mengenal Ridwan Mukti dalam rapat-rapat di DPP Partai Golkar. Yang memperkenalkan adalah senior saya, Yan Hiksas. Yan berpesan, agar saya menyempatkan diri untuk datang ke Musi Rawas. Kebetulan, Ridwan Mukti juga menjabat sebagai Wakil Bendahara DPP Partai Golkar, sama dengan posisi Yan Hiksas. Semula, saya tidak terlalu kepikiran, namun kemudian, saya menyanggupkan diri datang ke Musi Rawas. Musi Rawas adalah salah satu daerah penting di Sumsel. Sebelumnya, ibukota Musi Rawas adalah Lubuk Linggau. Bagi para perantau Minangkabau, Lubuk Linggau dilihat sebagai daerah yang dilewati dalam perjalanan darat dari Sumbar ke Jawa. Dengan banyak perjalanan yang
[R@ntau-Net] Debat Versus Debat
http://www.indrapiliang.com/2012/10/02/debat-versus-debat/ Selasa, 2 October 2012 Debat Versus Debat oleh Indra J Piliang Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Debat adalah cara untuk mempertahankan argumen sendiri dengan benteng pemikiran, lalu melukai atau membunuh argumen lawan. Debat adalah metode untuk menunjukkan perbedaan demi perbedaan dalam pilihan filsafat, ideologi, teknologi sampai kebijakan, aturan dan pilihan kata. Tanpa debat, substansi menjadi hilang, diselewengkan oleh apa yang dikenal sebagai politik pencitraan berdasarkan apa yang melekat dalam diri seseorang. Sebut saja suku, agama, ras, antar golongan, jumlah kekayaan, asal keturunan, sampai apapun yang bisa dijadikan sebagai perbedaan. Belakangan ini, kita semakin sering menyaksikan debat di layar televisi. Debat yang paling besar adalah menjelang waktu pemilihan presiden dan wakil presiden. Debat lain adalah tatkala pemilihan kepala-kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Dalam warna yang berbeda, debat sudah berlangsung dalam pemilihan pimpinan organisasi mahasiswa ekstra dan intra kampus pada tahun 1990-an. Ketika mencalonkan diri dalam pemilihan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 1995, saya juga terlibat dalam sejumlah debat yang dihelat di setiap fakultas dan Balairung UI, Depok. Minimal, terdapat lima unsur yang terlibat dalam debat. * Pertama, kandidat sendiri yang sedang menjalankan debat. * Kedua, moderator debat, biasanya diambil dari jurnalis televisi atau radio. * Ketiga, panelis, yakni (sejumlah) orang yang dianggap memiliki keahlian di bidang yang diperdebatkan. * Keempat, massa atau supporter masing-masing kandidat yang menyemarakkan debat dengan yel-yel atau slogan. * Kelima, media massa yang menayangkan debat secara live atau rekaman. Tidak semua kandidat mampu berdebat dengan baik. Mayoritas malah menilai debat tidak berguna dalam meningkatkan elektabilitas. Memang, lembaga survei sendiri tidak menempatkan debat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan seseorang memilih atau tidak. Bagai pertandingan sepakbola, masing-masing penonton adalah fans yang ingin melihat kandidatnya menang, tetapi tidak berpindah pilihan ketika kandidatnya kalah dalam debat. Tetapi jangan lupa, publik memiliki ingatan dan rekaman. Kandidat yang siap, bisa melempatkan penggalan-penggalan kalimat yang langsung bisa menjadi trend setter pemberitaan. Pidato Barack Obama, misalnya, langsung bisa di-tweet, karena dikemas kurang dari 140 karakter. Psikologi pemilih juga belum tentu mengarah ke pemenang debat, apabilabody language dan bahasa yang digunakan terlihat pongah. Kandidat yang lebih apresiatif terhadap lawan lebatnya, cenderung lebih didukung pemilih. Moferator debat juga kadang memiliki keterbatasan. Selain tidak menguasai masalah, preferensi juga secara tidak sengaja muncul. Dalam talkshow (unjuk bicara), bahkan preferensi ini semakin terlihat gamblang. Menurut kamus jurnalistik, biasanya disebut sebagai agenda setting. Moderator seperti ini cenderung membangun konstruksi media atas debat, bukan membiarkan sendiri dengan menyerahkan kesimpulan kepada penonton. Bahkan, tidak jarang moderator seakan penyidik yang jauh lebih pintar dari peserta debat, sehingga mendominasi pembicaraan. Kandidat yang berpengalaman, layak untuk melepaskan diri dari kharisma moderator. Apa yang ingin disampaikan, sampaikan. Kalau perlu, ajukan sedikit pertanyaan kepada moderator untuk mencari sisi lemahnya, tetapi jangan sampai juga menyalahkan moderator. Prinsipnya, walau terlihat arogan, moderator tidak pernah salah, sebagaimana wasit dalam setiap pertandingan sepakbola. Begitu juga dengan panelis yang mempersiapkan pertanyaan. Sering pertanyaannya terlalu bernilai akademis, detil, menggurui, seolah peserta debat adalah calon penerima beasiswa atau mahasiswa yang sedang mempertahankan tesis dan disertasi. Panelis juga kurang mengaitkan debat dengan suasana kampanye, yakni agar peserta debat dipilih oleh para penonton debat. Suasana tidak dibangun ke arah posisi kandidat yang seolah sedang memerintah, lalu mengambil keputusan berdasarkan posisinya untuk jabatan yang ingin diraih. Kandidat seyogianya tidak perlu terlalu memikirkan pertanyaan panelis, apalagi kalau panelisnya seolah sedang menguji mahasiswanya. Saya pernah membisikan kepada seorang kandidat Gubernur, apapun pertanyaan panelis atau moderator, sampaikan poin yang lupa disampaikan. Tapi karena kandidatnya belum terbiasa dengan kamera, tetap berposisi menjawab pertanyaan moderator atau panelis. Suasana menjadi seperti tanya jawab, bukan berkampanye kepada audiens yang menonton. Supporter debat juga menjadi bagian yang membosankan. Emosi kadang mudah dimainkan, sehingga memicu sikap antipati kepada kandidat lain dan tepuk tangan untuk kandidat sendiri. Ibarat fans, perhatian juga mereka tujukan kepada supporter lain. Sehingga dibutuhkan
[R@ntau-Net] Bantuan Rp163 Miliar bagi Korban Gempa Padangpariaman Turun
Nasional Bantuan Rp163 Miliar bagi Korban Gempa Padangpariaman Turun Selasa, 2 Oktober 2012 17:30 WIB Metrotvnews.com, Padangpariaman: Korban gempa 30 September 2009 di Kabupaten Padangpariaman, Sumatra Barat, menerima bantuan tahap 4. Total bantuan senilai Rp163 miliar. Pada tahap 4 ini akan diserahkan bantuan gempa Rp163 miliar untuk 10.133 unit rumah rusak berat, dan 1.033 unit rumah rusak sedang, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padangpariaman, Zainir di Padangpariaman, Selasa (2/10). Untuk rumah rusak ringan akan dibantu melalui APBD sebesar Rp1 juta per rumah. Total anggaran yang telah disediakan sebesar Rp11,7 miliar. Ia menjelaskan, setelah tahap 4 ini masih terdapat 4.356 unit rumah yang belum dibantu sesuai dengan data yang ada. Kebutuhan dana untuk itu sebesar Rp64 miliar lebih. Menurutnya, kekurangan dana bantuan setelah tahap 4 ini sudah diajukan kepada BNPB. Kini pihak BPBD menunggu hasilnya. Data BPBD Padangpariaman, gempa dan longsor 30 September tersebut telah mengakibatkan 467 orang meninggal dunia, 543 orang luka berat, 512 orang luka ringan, dan 199 orang dinyatakan hilang. Sebanyak 277.430 jiwa atau sekitar 60 persen penduduk Padangpariaman, tidak lagi punya tempat tinggal. Rumah mereka rusak berat akibat gempa. Gempa juga telah mengakibatkan 59.693 unit rumah penduduk rusak berat, 16.525 unit rusak sedang, dan 15.148 unit rusak ringan. Juga terjadi kerusakan-kerusakan pada sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana ibadah, kantor, sarana jalan, jembatan, pasar, dan irigasi. Wakil Bupati Padangpariaman, Damsuar menyatakan, pascagempa tiga tahun lalu membuat tingkat kemiskinan meningkat. Berbagai hal sudah dilakukan, tapi sampai saat ini Padangpariaman masih banyak memerlukan bantuan, ungkapnya. Selain bantuan gempa tahap 4, lanjutnya, beberapa waktu lalu Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) juga memberikan bantuan ke Kabupaten Padangpariaman sebesar Rp2,394 miliar. Bantuan tersebut di antaranya untuk pertanian meliputi pemberian handtractor, kader desa, bantuan sosial penguatan kelembagaan lokal, dan koordinasi serta fasilitasi investasi ekonomi.(Ant/BEY) -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Fauzi Bowo dan Kota
http://www.indrapiliang.com/2012/09/28/fauzi-bowo-dan-kota/ Fauzi Bowo dan Kota Jumat, 28 September 2012Fauzi Bowo dan Kota oleh Indra J Piliang Ketua Dewan Pendiri Yayasan Harkat Bangsa Indonesia Ada kejutan dalam pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun ini. Fauzi Bowo sebagai incumbent dikalahkan oleh Jokowi, Walikota Solo. Kekalahan terbesar sepanjang sejarah pilkada di Indonesia, apalagi untuk posisi Gubernur DKI yang prestisius. Walau DKI memang dipenuhi dengan kejutan demi kejutan politik, tetap saja kekalahan layak diberi catatan. Foke mengandalkan koalisi partai-partai politik dalam pilkada 2007. Waktu itu, Foke menghadapi Adang Dorodjatun. Faktor Calon Waki Gubernur Prijanto dianggap menjadi kunci, mengingat Prijanto berasal dari Angkatan Darat. Berbeda dengan Adang yang merupakan mantan Wakapolri. Namun, setelah terpilih, Foke terlihat biasa-biasa saja, malahan mendekati pilkada 2012 berseteru dengan Prijanto. Menurut hasil survei setahun sebelum pilkada DKI, posisi Foke tidak aman. Sosok yang mendekati Foke adalah Rano Karno dan Tantowi Yahya. Ada juga nama Djan Faridz, namun tidak terlalu populer. Ketika Rano Karno memutuskan maju sebagai Calon Wakil Gubernur Banten, lalu Djan Faridz menjadi menteri, Foke tinggal berhadapan dengan Tantowi. Sayangnya, Tantowi tidak mendapatkan dukungan dari partai-partai politik, sehingga tidak jadi mendaftar. Apalagi, Tantowi terjegal putusan Rapimnas II Partai Golkar yang memberi sanksi pelepasan jabatan struktural dan fungsional di Partai Golkar, apabila maju bukan lewat jalur Partai Golkar. Setelah Rano Karno dan Tantowi Yahya keluar dari list bakal calon, Foke tampak sendirian di atas. Namun, elektabilitas Foke tidak pernah mencapai angka 50% menurut survei. Dalam teori pemasaran politik, apabila posisi seorang incumbent berada di bawah angka 50%, berarti bisa dikalahkan. Dari sinilah tampil Cyrus Network di bawah pimpinan Hasan Nasbi yang melakukan kerja serius, dengan cara mencari sejumlah nama yang bisa dimajukan untuk mengalahkan Foke. Fadel Muhammad, Jokowi dan Azis Syamsuddin sempat muncul sebagai sosok alternatif. Proses politik kemudian membawa nama Jokowi sebagai penantang Foke. *** Dari sisi strategi kewilayahan, Foke sebetulnya mampu mengamankan posisinya. Hampir semua kandidat lain yang mencoba membangun reputasi di DKI Jakarta rontok. Cengkeraman Foke juga kuat ke infrastruktur pemerintahan. Masalahnya, Foke terlalu banyak bermain di level elite. Kerja politik yang sebenarnya di tengah masyarakat DKI yang menjadi pemilik suara, terlambat dilakukan. Foke berada di awang-awang, dalam baliho-baliho besar. Bahkan, penulis sempat memotret baliho raksasa Foke yang menutupi gedung Pemda DKI. Foke, seperti diakuinya, juga tidak memaksimalkan kerja kehumasan. Ketika banyak coretan nyinyir di tiang-tiang monorel di Jalan Rasuna Said, Foke tidak memberikan jawaban. Persepsi segera terbentuk, Foke menelantarkan sebuah proyek yang bisa mengurangi kemacetan. Walau dalam masa kampanye masalah ini dijelaskan sebagai milik swasta, tetapi persepsi tetap saja sudah terbentuk, seperti masalah Lapindo yang selalu saja dikaitkan dengan Aburizal Bakrie sebagai kepala keluarga besar Bakrie. Sebutan terhadap macet juga diganti menjadi foke oleh kelas menengah Jakarta. Lagi-lagi, Foke terlambat melakukan antisipasi langsung. Catatan prestasi Foke gagal dimunculkan, sehingga yang tersisa hanya sentimen negatif yang terus-menerus dan beranak pinak. Akibatnya, Foke tidak lagi menjadi magnet bagi partai-partai politik dan terpaksa bertarung di rumahnya sendiri, Partai Demokrat, berebut tiket dengan Nachrowi Ramli. Walau kemudian jadi pilihan, konspirasi elite lebih terbangun, ketimbang kerja riil dan dukungan di masyarakat. Pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dalam skala raksasa, malah jadi biang masalah di masyarakat bawah, terutama bagi pedagang kaki lima. Crisis Center sama sekali tidak bekerja, ketika muncul para pedagang yang kehilangan lapaknya di Tanah Abang dan pasar-pasar lain yang digusur. Rusa yang kelaparan di Monas, jadi ajang pawai keprihatinan kelas menengah kota terutama kelompok perempuan. Kekerasan ormas dan premanisme, menjadi ajang pertengkaran di social media. Pajak warteg menjadi ajang keprihatinan kelas menengah atas yang bahkan jarang makan di warteg. Belum lagi kasus makam Mbah Priok. *** Bukan berarti Foke tanpa prestasi. Masalahnya, masyarakat DKI tidak tahu apa prestasi Foke itu. Jusuf Kalla jauh lebih berhasil menjelaskan prestasi selama menjadi Wakil Presiden 2004-2009, ketika maju dalam Pilpres 2009. Perjudian yang menghilang di Jakarta, misalnya, adalah salah satu kerja Foke, sekalipun juga ada kontribusi pihak lain. Semakin kecilnya jumlah kampung-kampung padat dan kumuh, juga menjadi bagian dari prestasi Foke. Foke juga mampu mengurangi tingkat urbanisasi ke DKI Jakarta, walau ini juga bisa dicatat sebagai bentuk dari
[R@ntau-Net] Kebangkitan Politikus Humanis
http://www.indrapiliang.com/2012/09/24/kebangkitan-politikus-humanis/ Kebangkitan Politikus Humanis KORAN JAKARTA/GANDJAR DEWA Kemenangan Jokowi-Basuki atas Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam pemilihan langsung kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta membuat banyak kejutan. Kejutan itu bukan saja dari ketangguhan Jokowi-Basuki dalam putaran pertama, melainkan juga mempertahankannya dalam putaran kedua. Publik nasional dihentak dengan kemunculan Jokowi dan Basuki yang seakan sulit dibendung. Pihak pertama yang menjadi kambing hitam kekalahan Foke-Nara adalah partai politik. Padahal, jauh-jauh hari, lembaga survei sudah menunjukkan keterkaitan pemilih dengan partai politik (party id) hanya sekitar 20 persen secara nasional. Dengan party id yang kecil itu, ada 80 persen pemilih yang merasa independen dari partai politik (parpol) mana pun. Parpol hanyalah pihak yang mengusung pasangan calon, tetapi bukan identitas yang bisa menggerakkan pemilih. Ketika Foke-Nara mengambil dukungan dari seluruh partai besar di luar parpol pengusung Jokowi-Basuki, satu kesalahan besar sudah dilakukan. Apalagi citra parpol sedang menurun. Kehadiran banyak pernyataan dari politisi lintas partai untuk Foke-Nara, membawa jarak tersendiri dengan pemilih, terutama pemilih rasional yang banyak di Jakarta. Hal inilah yang kemudian memicu kampanye gajah versus semut, sebagaimana PDI Perjuangan menggunakan istilah wong cilik' jelang pemilu 1999. Sebagai kota Metropolitan atau pasca moderen, pemilih di Jakarta jauh lebih sulit untuk diyakinkan, ketimbang pemilih di provinsi lain. Jakarta selalu memilih pemenang berbeda dalam setiap kali pemilu, sejak tahun 1955. Sebagai contoh, pemenang pemilu 1997 (Golkar), 1999 (PDI Perjuangan), 2004 (PKS), dan 2009 (Partai Demokrat). Sutiyoso saja hampir gagal menjadi Gubernur DKI untuk periode kedua (2002-2007), akibat penolakan yang masif dari massa PDI Perjuangan. Hanya pemaksaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri yang membuat pelantikan Sutiyoso menjadi terlaksana. Akibat lanjutnya? Warga DKI menghukum PDI Perjuangan dalam pemilu 2004. *** Perbedaan pilihan politik dari waktu ke waktu itu menunjukkan bahwa pemilih Jakarta mengalami kebosanan yang cepat terhadap pemimpin formalnya. Popularitas seseorang atau parpol bisa dengan cepat naik, namun sebaliknya juga dengan mudah turun. Tuntutan perbaikan fasilitas umum dan fasilitas sosial terjadi sepanjang hari. Ketika sedikit saja terlihat kepentingan elite bermain, pemilih Jakarta langsung mengambil jarak. Kehadiran Jokowi, terutama, lalu Basuki, berikutnya, menjadi faktor penarik bagi warga DKI yang bosanan, kritis, dan apolitis ini. Magnetnya adalah sosok Jokowi yang terlihat biasa-biasa saja, dengan perawakan yang kurus, serta beberapa kali terlihat kesulitan untuk menjawab pertanyaan debat dengan cara yang cerdas. Jokowi lebih menonjol sisi kemanusiaannya, ketimbang keunggulan kandidat lain yang coba ditampilkan yang sudah banyak dilihat oleh masyarakat Jakarta. Fauzi Bowo justru sebaliknya, begitu juga Nachrowi Ramli. Sikap seolah-olah adalah penantang, bukan petahana, memberikan kesempatan kepada pemilih kritis untuk mengevaluasi kinerja Foke selama menjadi Gubernur DKI. Ketika Foke mencoba melakukan kampanye darat dengan cara banyak masuk ke pasar, satu hal segera tampak bahwa Foke bukanlah Jokowi dan Jokowi bukanlah Foke. Diferensiasi yang semakin tebal itu memicu simpati kepada Jokowi, sebaliknya antipati kepada Foke. Di media sosial, sentimen negatif terhadap Foke-Nara selalu lebih dominan, daripada sentimen positif. Sisi humanisme Jokowi juga berhasil dipelihara para tim suksesnya. Jokowi dilepaskan tampil apa adanya, tanpa polesan. Kadang Jokowi menggaruk kepala ketika tidak tahu angka yang tepat dari sebuah pertanyaan. Sikap yang khas masyarakat biasa. Jokowi juga tidak tiba-tiba menjadi serba tahu segalanya, tetapi bersemangat untuk mencari tahu dan melakukan pembenahan. Ide-ide yang kena juga dimasukkan, misalnya dengan cara lebih dulu membangun perkampungan, ketimbang daerah lain di DKI. *** Tetapi Foke bukan tanpa perlawanan. Bagi seorang petahana yang sudah berada di bawah angka 50 persen dalam survei, memang sulit untuk mempertahankan posisinya. Ini argumen mati bagi seorang konsultan politik mana pun. Tidak ada satu pun lembaga survei yang mengatakan Foke akan memenangkan pilkada putaran pertama dan kedua di atas angka 50 persen. Secara otomatis, angka psikologis itulah yang sulit mengangkat lagi Foke untuk jabatan kedua kalinya. Penggemaan isu SARA dalam pilkada putaran kedua, justru pilihan yang salah, siapa pun yang mencanangkannya. Pemilih rasional sulit dibidik dengan isu SARA. Dengan adanya isu SARA, justru kampanye program menjadi tertutupi. Spanduk-spanduk Terima Kasih Gubernur terlambat keluar. Padahal itulah yang sesungguhnya cara untuk membalik politik imajinasi dan pencitraan, lalu membentenginya dengan
Re: [R@ntau-Net] Apa maksud IndraJPiliang ikut-2an Metro TV menklaim Rohis sbg Sarang Teroris..?
Anda tdk membaca tweet saya. Justru sy membantah apa yg diriset oleh Prof Dr Bambang Pranowo itu. Parahnya, hanya anda yang sepertinya tdk bisa membaca dgn baik tweet sy. Helvy Tiana Rosa dan banyak ikhwan-akhwat justr memfavoritkan twit2 sy itu. Kalau mau membahas twit, bahas di twitter. Kecuali anda memang punya tujuan lain. Substansi twit saya anda nggak kirim. Ngoceh aja seenak paruik. Sent from my iPad On 16 Sep 2012, at 10:53, Paljariati Yusral ipal2...@yahoo.com wrote: Sebagai urang Minang Islam, ambo bisa paham metro TV (4 Pengendalinya non muslim) indak suko jo gerakan Islam yang salah satunya dilakukan oleh Rohis (Kerohanian Islam) eskul di sekolah yg programnya setahu saya banyak yg positif untuk mengajak remaja Islam atau pelajar untuk kembali pd Islam dan nilai universalnya. Sampai kemaren, metro TV via pengamat politiknya mengatakan Rohis sebagai sarang teroris..teroris muda..ini sdh kebablasan bana..SARA (sayangnya para pejuang sara sadang tangga sarawanya,..masa bodoh)..dan menurut salah seorang mantan wartawan metro..iko indak sakali duo..liek di https://twitter.com/eae18 Ambo sabana takajuik sanak awak nan urang minang Islam..sato pulo maiyokan statemen pakar metro TV (silahkan simak tweet IJP).. cubo lah caliak kurenak anak kamanakan awak disakolah kini..sarupo apo pangaruah nan manjauhkan generasi muda ko dari nilai ABS SBK..? Karajo kito sabagai mamak, alim ulamo, cadiak pandai, dan pemimpin sabana tabantu jo rohis ko..kini wak patakuik wak teror dgn maiyokan sanad nan barasa Metro TV bhw rohis sbg sarang teroris..nan aratinyo wak sato maneror anak kamanakan kito agar jaan dakek jo musajik dan mushalla di sakolah.. Ondeeeh..ikokah perubahan nan ka dikajaan dek urang-2 nan dibalakang media ko..? Kasihan bana Bangsa Besar bernama Indonesia..yang energinya habis untuk mengurusi hal-2 yg tak substansial.. Dima-ma urang kini sdg memburukkan ISLAM..dima-ma urang nan mangaku pejuang HAM dan SARA lalok jika isu negatif tu menimpa ISLAM. Lalu..bilokah kironyo ABS SBK ko batua-2 duduak di Minang tacinto..kito..? Paljariati Yusral Rajo Gamuak Suku : Tanjuang, Nagari asal : Lubuak Aua Bayang Pessel Lahir : 1 Januari 1974, Kuranji - Padang -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Coba Bung Rajo Gamuak, Bagian Mana Yang Anda Keberatan?
* Versi @Metro_TV: Sasarannya siswa-siswi SMP akhir - SMA dari sekolah2 umum #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * Versi @Metro_TV: Masuk melalui program2 ekstrakurikuler di mesjid2 sekolah #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * Versi @Metro_TV: Siswa-siswi yg terlihat tertarik diajak diskusi di luar sekolah #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * Versi @Metro_TV: Dijejali berbagai kondisi sosial yg buruk, penguasa korup, keadilan tdk seimbang #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * Versi @Metro_TV: Dijejali dg doktrin bhw penguasa adalah toghut\kafir\musuh #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * Pihak @Metro_TV mengatakan bhw infografis yg baru sy twit adalah berdasarkan riset Prof Dr Bambang Pranowo, Guru Besar UNJ. #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * 1. Riset Prof Dr Bambang Pranowo itu terlihat mentah, umum dan bias. Publikasi hasil riset itu sdh pasti membawa kontroversi. #TerorisMuda IndraJPiliang 10 hours ago * 2. Dari sjmlh penganten yg dituduh teroris, latar sekolah umumnya jarang disebut. Justru yg disebut pesantrennya. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 3. Sebegitu mudahkah org asing masuk ke mesjid2 sekolah utk diskusi agama dg siswa-siswi? #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 4. Kegiatan ekskul biasanya dibimbing oleh guru2 tertentu, di bwh koordinasi lembaga spt OSIS dan Rohis. Ada alumni jg. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 5. Setahu sy, kurikulum Rohis di tingkat SMP-SMA blm sampai masuk ke ranah negara, penguasa, dll. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 6. Dilihat dari sasaran pelaku terorisme, lbh dominan yg diteror bukan negara atau penguasa. Bom Bali, mslnya. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 7. Blm pernah ada pembajakan pesawat di Indonesia, kecuali dulu di era LB Moerdani. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 8. Rohis utk tingkat SMP-SMA di sekolah2 umum lbh byk berupa pengenalan awal thd Islam. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 9. Kalaupun ada pemutaran film Palestina, Bosnia dll, utk solidaritas global, tdk sampai bicara pd tingkat penguasa thogut. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 10. Riset Bambang Pranowo yg menyebut pola rekrutmen menunjukkan bhw sekolah2 umumlah yg jd sasaran. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 11. Sblm Bambang Pranowo, pesantren2 yg dijadikan sasaran riset, terutama yg dikelola oleh ustad2 garis keras. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 12. Upaya Bambang Pranowo menyebut sekolah2 umum menunjukkan bhw sasaran rekrutmen sdh demikian luasnya. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 13. Dg kata lain, jumlah teroris muda jg sdh sedemikian byknya, begitu jg tenaga perekrutnya. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 14. Bambang Pranowo menempatkan negara atau penguasa sbg klpk sasaran, bukan agama lain. Ini kuncinya. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 15. Riset Bambang Pranowo yg terburu-buru dipublikasikan itu masuk kpd level propaganda. Persepsi-Kontra Persepsi terbentuk. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 16. Sekolah2 umum selama ini dianggap sbg sekolah sekuler. Organisasi spt Rohis hanya satu dari beragam organisasi siswa. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 17. Dept Agama mewadahi sekolah2 keagamaan, spt Tsanawiyah dll. Smtr Depdiknas mewadahi sekolah2 umum. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 18. Pertanyaan kunci, bgmn reaksi dan kerja Depdiknas dan Dept Agama menyangkut riset Bambang Pranowo itu? #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * 19. Kondisi per hari ini, anak2 sekolah semakin sulit melakukan kegiatan ekskul. Beban pelajaran menumpuk. #TerorisMuda IndraJPiliang 9 hours ago * Content from Twitter 20. Persepsi yg dibangun Bambang Pranowo hampir sama dg persepsi Belanda ketika membuat Ordonansi Sekolah Liar. Sekian. #TerorisMuda -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
Re: [R@ntau-Net] Kontroversi Lambang Palang Merah
Iyo rancak bana carito ko, Da. Kalau di Aceh, Garuda itu musuah masyarakat banyak. Dianggap merusak tanaman penduduk, memakan segala jenis hewan. Satu2nya cara, membunuhnya. Maka dipesanlah Rencong (huruf Arab sebetulnya, Bismillah) oleh Sultan Iskandar Muda. Mati itu Garudo :D Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Akmal N. Basral an...@yahoo.com To: rantaunet@googlegroups.com rantaunet@googlegroups.com Sent: Tuesday, September 11, 2012 10:29 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Kontroversi Lambang Palang Merah Setuju IJP, 1/ daripada sibuk melakukan tafsir agamis atas lambang palang merah, sebaiknya anggota DPR lebih melihat esensinya terkait dengan diri mereka sendiri: sudah pada jadi donor darah, belum? Kalau Allah sudah memberikan kepada kita tubuh yang sehat, tubuh itu jangan digunakan sendiri. Jangan dinikmati sendiri. Kontribusikan kesehatan itu lewat sel-sel darah yang secara teratur didonorkan kepada yang membutuhkan 3-4 kali dalam setahun lewat PMI. Coba adakan sampling terhadap anggota DPR apakah mereka donor darah reguler atau bukan? Saya kok tidak yakin 20 % dari mereka (1 dari 5 orang) merupakan donor tetap. (Biasanya acara donor darah bagi anggota DPR berkaitan dengan peresmian kantor cabang parpol tertentu, dan acara-acara politis seperti itu). Mungkin tak banyak yang tahu bahwa donor darah terbesar itu justru berasal dari kelompok-kelompok minoritas seperti anggota Ahmadiyah, atau Niciren Syosu Indonesia (Buddha Darma Indonesia). Ini kondisi awal 2000-an yang bisa dicek lagi validitasnya. Tapi saya kira kondisinya belum berubah jauh. Sebab setiap saat masih saja Pak JK sebagai Ketua Umum PMI sekarang berteriak-teriak kurangnya kantong darah. Sependek pengetahuan saya, Burung Garuda sebagai lambang negara RI tak terkait sama sekali dengan Hindu melainkan dengan legenda rakyat Kaimana (Papua Barat) di Pulau Lobo di mana terdapat Gunung Emansiri. Juli lalu menjelang puasa, saya sempat datang ke pulau ini (seperti lost islands dalam film sci-fi Jurassic Park) dan mewawancarai tokoh-tokoh sepuh setempat. Mereka meyakini legenda adanya burung Garuda raksasa yang bermukim di antara punggung Gunung Emansiri, yang menimbulkan keresahan penduduk karena sering mengambil ternak penduduk untuk diberikan kepada seekor ular raksasa di ceruk gunung. 2/ Masih menurut mereka, saat itu Bung Karno yang sedang ditahan di Boven Digul, pada satu malam berkunjung ke Kaimana. Bagaimana caranya? tanya saya mengingat jauhnya jarak Boven Digul (lebih dekat dengan Merauke di Selatan) dibandingkan ke Kaimana. O, Bung Karno itu tidak sama dengan kita bapak, jawab tokoh masyarakat bernama Idrus Al Hamid (hampir 100 % warga Kaimana beragama Islam/Papua muslim, sedangkan penduduk Lobo yang berjarak sekitar 30 menit speed boat dari pantai Kaimana, seluruhnya Kristen). Badan kita kalau sudah dipenjara tak bisa ke mana-mana, tapi Bung Karno bisa. Legenda yang agak mistis ini (adakah legenda yang tak tersisip mistisisme?) sangat diyakini Al Hamid yang juga pensiunan TNI AD. Semua kisah lain tentang Burung Garuda itu bahwa menurut masyarakat X (dia menyebut nama suku) ada di mereka, atau suku lain bilang itu terjadi di mereka, bohong semua, Bung Karno mendapatkan ide Burung Garuda itu di sini, dari Kaimana, katanya. Salam, Akmal Nasery Basral PS: Jika sanak palanta tertarik melihat Gunung Emansiri dengan puncaknya yang konon tempat bermukim Garuda raksasa, bisa saya kirimkan foto saya di sana dalam email berbeda. -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Kontroversi Lambang Palang Merah
http://www.indrapiliang.com/2012/09/11/kontroversi-lambang-palang-merah/ Kontroversi Lambang Palang Merah Selasa, 11 September 2012Kontroversi Lambang Palang Merah Oleh Indra J Piliang Magister Ilmu Komunikasi UI Ada ribut-ribut tentang studi banding anggota DPR RI ke Denmark, menyangkut lambang Palang Merah Indonesia. Lambang Palang Merah dianggap sebagai Tanda Salib. Padahal, lambang itu hanya sekedar plester untuk mengobati luka dalam peperangan dan bencana. Seakan, Palang Merah muncul sebagai kekuatan tentara Salib pada abad ke 11, ke 12 dan ke 13, ketika berusaha merebut kota Palestina. Sementara, kelahiran Palang Merah Internasional sendiri terjadi pada tahun 1863 atau pertengahan abad ke 19. Organisasi Palang Merah Internasional juga bagian dari perkumpulan Bulan Sabit Merah Internasional. Upaya mengganti lambang Palang Merah menjadi lambang yang lain, antara lain dengan usulan Bulan Sabit Merah, jelas memicu banyak hal. Bagaimanapun, organisasi Palang Merah Indonesia dan Bulan Sabit Merah Indonesia sudah ada, sama-sama eksis, serta berbeda pengelolaan. Ketika sebagian anggota DPR mempermasalahkan penggunaan lambang Palang Merah, lalu berkeinginan menggantinya dengan Bulan Sabit Merah, sebetulnya cukup dengan memberikan perhatian kepada Bulan Sabit Merah Indonesia. Tidak perlu malah mengganti lambang Palang Merah menjadi Bulan Sabit Merah, karena akan berdampak kepada perbedaan kedua organisasi. Terlepas dari keberadaan organisasi itu, sebetulnya diskusi soal lambang di Indonesia sudah dilakukan setelah Indonesia merdeka. Khusus untuk mendapatkan lambang yang tepat, dibentuk kepanitiaan khusus menyangkut bendera dan lambang negara Indonesia yang antara lain dipimpin Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Yamin. Pada gilirannya, Indonesia menggunakan bendera Sang Saka Merah Putih dan lambang Burung Garuda. Penggalian terhadap kedua simbol penting negara Republik Indonesia ini dilakukan ke dalam sejarah Indonesia sendiri, termasuk lewat ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lainnya. Namun, lambang atau bendera hanyalah sebuah kesepakatan nasional. Merah Putih, misalnya, digali dari sejarah pemberontakan Jayakatwang Kediri terhadap Singosari. Singosari sebagai negara yang sah dikalahkan. Merah Putih, dalam konteks nasionalisme, bisa diartikan juga sebagai separatisme di abad ke 13. Atau, kalau mau lebih moderat, dapat didefinisikan sebagai nasionalisme baru yang berlandaskan keberanian dan kesucian. Begitu juga dengan lambang Burung Garuda yang merupakan karya Sultan Hamid II, tokoh yang sampai kini masih dianggap sebagai Kaum Federalis dan sosok separatis. *** Setelah Nota Kesepahaman Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, partai-partai lokal hadir di Aceh. Salah satu yang menjadi pokok persoalan adalah apakah dibolehkan berdiri Partai GAM? Ternyata Partai GAM tidak lahir, malah yang muncul Partai Aceh. Masalah baru muncul, apakah Partai Aceh boleh menggunakan lambang GAM? Apabila diperbolehkan, Partai Aceh akan menggunakan bendera Bulan Sabit Merah sebagai lambang. Sekalipun GAM melakukan sejumlah perubahan, Bulan Sabit Merah adalah bendera yang pada akhirnya dipakai, selain lambang Bouraq-Singa. Keputusan akhir, Partai Aceh tidak boleh menggunakan bendera Bulan Sabit Merah, apatah lagi Bouraq-Singa. Kini, lambang Burung Garuda sudah menyemat di dada setiap mantan pemimpin GAM yang bergabung dalam pemerintahan Republik Indonesia di Aceh. Ndilalah, setelah kontroversi itu, justru giliran DPR mempermasalahkan lambang Palang Merah Indonesia dan berniat menggantinya dengan – salah satunya – Bulan Sabit Merah. Apakah ini bukan separatisme ala Jakarta namanya? Separatisme yang berjangkit dari semangat nasionalisme, sekaligus juga upaya simbolisasi untuk – antara lain – mengedepankan “lambang-lambang Islami”. Padahal, Bulan Sabit Merah tidak muncul sebagai satu kesepakatan yang berdasarkan kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Sayup, namun terus bergema, kenyataannya apa yang ditulis Soekarno pada tahun 1926 tentang “Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme” ternyata makin menyeruak. Isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) ternyata malah muncul di DKI Jakarta, pusat segala modernitas dan pasca modernisme. Menyelinapnya isu-isu awal abad ke 20 di abad ke 21 ini menunjukkan betapa pemahaman para elite Indonesia sungguhlah miskin pengetahuan sejarah. Pertentangan antara Islamisme versus Nasionalisme versus Marxisme secara telanjang dipertontonkan, termasuk dengan upaya untuk menghilangkan tragedi berdarah pembantaian PKI pada tahun 1965-1966. Padahal, Palang Merah lahir dari semangat humanisme. Dalam hal ini, sesuai dengan sila kedua Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan dan peradaban dibangun berdasarkan penghormatan atas hak asasi manusia, dari manapun asalnya, apapun warna kulitnya serta agama apapun. Ketika Palang Merah mengalami deviasi makna menjadi bersifat ideologis,
Re: [R@ntau-Net] Beban Barek Baralek
Mungkin karano ambo acok pulang kampuang, kadang tiok minggu, jadi agak badarak-darak di talingo soal alek ka alek nangko. Pitih ado 2,5 juta, sewa orgen tunggal, buek posko pemuda nan ndak salasai-salasai, diparalek-an pulo. Lah baitu tingkah kurenah kini nangko. Soal orgen tunggal ko sajo alah banyak diskusi jo kicau, tapi buruang sajo nan mandanga. Ambo pulang kampuang ndak mancari jabatan doh. Kalau jabatan, lai banyak nan maagiah. Jo kepeang bagai. Untuang lai pandai manahan-nahan diri. Bak kecek urang tuo-tuo, batangga naiak, bajanjang turun. Kok nandak capek, lain nan minta langsuang naiak lift. Takuik jatuah ambo, karano panggamang bana. Alun ado pangana ka maju lai. Banyak nan tuo-tuo nan ka maju. Ndak taituang. Ka maju ka DPR sajo, antri. Alah bergerak pulo jo oto gadang-gadang, baliho, kalender. Di Golkar sajo nan ka maju di Sumbar Duo ado Azwir Dainy Tara (periode katigo), Nudirman Munir (periode kaduo), Djasri Marin (maulang kaduo), John Kennedy Azis (maulang kaduo), alun Muslim Kasim (ka mancubo), Aristo Munandar (ka mancubo). Susah ka manyabuik. Kalau ambo nan alah tuo ko -- 40 tahun kini -- maraso alah tabik ka Barat matoari tu. Tapi nan labiah tuo, sumangaiknyo iyo sabana coga. Mamak Ambo Refrizal sajo ka maju pulo baliak dari PKS (periode katigo). Mungkin tugeh nan mudo-mudo memang pai ka rantau. Ka rantau bujang dahulu, di ranah indak pernah paguno. Alah baubah pulo petitih lamo tu kini, Mak. Hehehe Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: Muchwardi Muchtar muchwardi.much...@gmail.com To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Tuesday, September 11, 2012 3:11 PM Subject: Re: [R@ntau-Net] Beban Barek Baralek Dinda IJP n.a.h. Permisi ambo agak sasilak manncibo mangomentari subjek nan IJP palewakan untuak umum ko. Supayo 'tok cer', ambo mambalehnyo sacaro pointer sajo. Tapi maaf sabalunnyo, kalau nan namonyo komentar Pak m.m. ko sarupo nan biaso-biaso-- agak manyemba suok kida. He he he.. OK, ambo mulai. 1)Baralek bagi urang awak (labiah khusus lai, untuak urang Piaman) adolah siap untuak tabangkuang. Indak adoh tu doh urang awak nan baralek di ranah Minangkabau nan ka mambayangkan pulang pokok atau dapek kauntuangan win win solution. Kecuali mungkin nan baralek nantun ur-wak nan gadang dirantau nan alah tamakan pulo dek pola hiduik Yahudi*), kasado alehe dietong jo untuang rugi kalau wanyo baralek. Jadi kalau di ujuang carito Dinda IJP alah manutuik jo kalimaik Karena usai baralek, tidak semua mendapatkan laba, banyak juga yang rugi dan punya hutang , mako sabananyo indak paralu lai umpan lambuang IJP ko di milis r@ntau-net ko awak bahas. 2)Ambo sangajo manambah komentar ko jo poin nomor 2, adolah karano Dinda IJP babarapo tahun balakangan ko ---Kakanda liek--- alah tunggang tunggik talibaik dalam dunia partai politik di bumi hamparan zamrud di kahtulistiwa. Sabagai hak sipil dari (salah) seorang putra terbaik Minangkabau, tantu aktivis IJP nantun buliah-buliah sajo, Taruihanlah bamain rancak di dunia nan (kabanyo) sangaik manantang tapi sangaik sarek pulo jo sagalo macam trick tipu tepok (kalau nak nio ganduah awak dibali rayaik badarai). Relevansi antaro aktifitas IJP jo topik baralek di ateh, tantu sangailk klop. Jadi, supayo dalam mahadiri alek demi alek nan dipalewakan urang di ranah Minang iyo sabana paralu stamina basarato gizi dari seurang nan banamo IJP alumnus FIS-IP UI. Karano inyiak ambo di Tilkam, panah pulo mambari pasan bake cucunyo Si mm ko, nan paralu dipacik tegeh kareh dek awak nan suko manghadiri alek adolah : Ijan capek tasingguang, dan jan panah talinteh di pikiran JAGA DEN INDAK KA LAKU. Sapanjang urang nan basuo di awak dalam alek tu lai galak tasengeang (awak indak butuah galak manih bagai doh...) barati NAN AWAK PALEWAKAN LAI TABAUN DI URANG LAIN HAWO-HAWONYO. 3)Karano mustahil buek saurang kader sarupo IJP nan alah marintis karier di limo tahun nan lalu, hanyo untuak iseng-iseng manunggu mato hari tasuruak di tapi lauik Sanua Pariaman, mako ambo hanyo dapek manutuik jo kalimaik basayok nan ambo cilok dari kredo Aru Palaka (Ingek yo, ambo indak manyabuik kampuang Rang Sumando awak MJK. He he ee...) : Sekali layar terkembang, pantang surut ke pantai Kalau indak ka dapek nantik manggantikan Mak Datuak Iwan PKS Prayitno, paliang tidak manggantikan Ali Mukhni, atau Muchlis R nan bakantua di Kampuangnieh tu, HARUS MANJADI TARGET ADIAKMBO INDRA JAYA PILIANG...! Kalau indak ado raso-saronyo doh, labiah baiak Dinda IJP baliak ka dunia kolumnis sajo. Aman, legowo dan (dihormati) urang sagalo lapisan, (sarupo Pak mm. He he he). Cukuiklah senior Dinda IJP nan banamo Faisal Basri sajo nan tabangkuang dipangua aturan demokrasi yahudi kutiko wanyo mancibo manyemba kurisi DKI-1 (21 Juli 2012) nan haragonya kini alah mancapai Rp 10T. Yo a ongkoih sabanyak ko
[R@ntau-Net] Beban Barek Baralek
http://www.indrapiliang.com/2012/09/10/beban-barek-baralek/ Senin, 10 September 2012Beban Barek Baralek oleh Indra J Piliang Ketua Umum Alumni SMA 2 Pariaman 2012-2015 Dalam kesempatan pulang kampung bersama keluarga, saya menghadiri sejumlah acara baralek. Macam-macam jenisnya, mulai dari baralek nagari, baralek perkawinan, sampai baralek biasa untuk pernikahan. Biasanya, dalam masa lebaran, acara baralek ini begitu banyak. Adik saya bahkan dapat undangan antara empat sampai tujuh acara baralek per hari. Baralek adalah kegiatan kenduri yang dilangsungkan secara terbuka. Kenduri ini tidak terbatas kepada pernikahan dan perkawinan, tetapi juga meliputi pendirian rumah, rumah ibadah, pasar atau posko pemuda. Ada yang dilakukan dalam sehari semalam, namun ada juga yang sampai seminggu. Tujuan baralek ini selain silaturahmi, juga untuk menanggung beban bersama-sama. Biasanya, warga yang datang memberikan sumbangan alias badoncek dalam kamus Padang Pariaman. Untuk baralek perempuan, jumlah sumbangan dipanggilkan pakai pengeras suara. Sementara untuk baralek laki-laki, sama sekali tidak pakai pengeras suara, hanya diberikan ke penganten laki-laki. Untuk baralek surau, mesjid, sampai rumah, jumlah sumbangan juga disebutkan. Kecuali untuk kegiatan yang benar-benar sudah ditanggung oleh pihak penyelenggara, seperti Baralek di Pasar Basung, Kec V Koto Kampung Dalam. Saking banyaknya acara baralek ini, saya sering mendengar keluhan dari warga biasa sampai pejabat setingkat bupati atau anggota DPRD. Bagaimana tidak, dalam sehari waktu habis dari siang sampai malam mengunjungi acara-acara baralek ini. Bukan hanya waktu, melainkan juga energi dan dana. Apalagi setelah gempa 2009, banyak sekali pembangunan di Pariaman dan Padang Pariaman. Dalam setiap pembangunan itu, tidak lupa acara peresmian yang dibungkus dengan acara baralek. Bayangkan, ketika acara Alek Nagari digelar selama seminggu, kegiatan berlangsung siang dan malam. Mulai dari perlombaan olahraga, pertunjukan kesenian, berburu babi, sampai pertemuan-pertemuan panitia dan tokoh-tokoh masyarakat. Karena kuatnya raso jo pareso, ada perasaan malu kalau tidak menghadiri satupun dari rangkaian acara baralek ini. Namun ada juga yang hadir setiap hari. Apa yang kemudian terjadi? Bagi yang pergaulannya terbatas, tentu mengikuti satu atau dua alek dalam seminggu bukan masalah besar. Namun bagi yang pergaulannya luas, menghadiri lebih dari satu alek dalam sehari tentu menyita waktu, tenaga dan dana. Kalaupun dana tidak jadi masalah, waktu yang habis, mengingat lokasi alek saling berjauhan. Dampak lain adalah sedikitnya kegiatan untuk pekerjaan produktif. Contoh, membersihkan kebun, sawah atau ladang. Saya melihat ada banyak kebun yang tidak diurus secara benar. Kebun-kebun itu termasuk kategori yang memang perlu diurus, seperti kakao atau buah naga. Dua jenis kebun ini, kalau tidak diurus setiap hari, akan berakibat kepada penurunan hasil, serangan hama sampai semak belukar. Untuk iklim tropis seperti Padang Pariaman, waktu efektif untuk ke kebun hanya pagi hari menjelang jam sebelas siang atau setelah jam tiga sore. Soalnya, panas begitu terik. Nah, bayangkan kalau pada jam efektif itu digunakan untuk tidur akibat begadang semalaman atau justru menghadiri alek sore hari guna mengejar alek berikutnya di malam hari. Belum lagi waktu yang habis untuk bercerita (maota) yang memang paling banyak terpakai. Bagi tokoh masyarakat yang memang mengandalkan acara-acara seperti ini untuk sosialisasi dan silaturahmi, tentu baik-baik saja. Tetapi bagi yang memiliki tanggungan berupa beban pekerjaan di kebun, sawah dan ladang, atau pekerjaan lain sebagai tukang, tentulah menjadi masalah. Dan tunggu dulu, keluhan sudah mulai banyak juga di kalangan tokoh, mengingat biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Baralek sudah masuk dalam kategori arisan publik. Publik saling membantu kesulitan orang lain. Sehingga, acara untuk pergi baralek dengan rajin, biasanya dilakukan oleh orang atau pihak yang sudah melakukan acara baralek juga. Atau orang yang mengundang untuk alek yang akan datang. Jaraknya bisa setahun atau dua tahun, baik di muka atau di belakang. Sebagai arisan, ada waktu untuk menerima, ada masa untuk memberi. Baik, mari bikin kategori. Ada alek yang benar-benar memang diperlukan, seperti acara di surau, mesjid ataupun pribadi seperti perkawinan atau membangun rumah. Namun belakangan, anak-anak rantau membuat alek masing-masing dengan menggelar orgen tunggal. Di lapau-lapau, kini terdapat dinding khusus undangan alek anak-anak muda lintas korong dan nagari ini. Gengsi korong dan nagari menjadi pertaruhan. Rombongan demi rombongan berangkat bergantian. Apakah baralek ini sudah menjadi semacam kegiatan hura-hura? Tergantung tujuannya. Kalau memang hanya untuk mencari dana pembangunan, sebaiknya kegiatan iuran wajib dan iuran sukarela bisa dibuat. Tetapi kalau sudah masuk kepada kegiatan berjoget dan
Re: [R@ntau-Net] OOT, sebuah visi tentang bung Ahok- ambiaklah kaputusan surang-surang.
Gamawan Fauzi meninggalkan Padang. Irwan Prayitno meninggalkan DPR. Hehehe. Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang From: tasrilmoeis tasril_mo...@telkom.net To: rantaunet@googlegroups.com Sent: Thursday, July 26, 2012 1:26 PM Subject: RE: [R@ntau-Net] OOT, sebuah visi tentang bung Ahok- ambiaklah kaputusan surang-surang. Angku Anwar, Kalau lah anyuik biko ndak tapintehi lai, he he Ka didambun dado, eii jan, sakik pulo beko. Tan Ameh -Original Message- From: rantaunet@googlegroups.com [mailto:rantaunet@googlegroups.com] On Behalf Of AnwarDjambak Sent: Thursday, July 26, 2012 9:16 AM To: RantauNet@googlegroups.com Subject: Re: [R@ntau-Net] OOT, sebuah visi tentang bung Ahok- ambiaklah kaputusan surang-surang. Lah duduak bola tu mah Pak... Soal sia wakil itu ndak penting Sbb di pemerintahan , dpr, dll kan memang banyak yg non muslim Kita memilih siapa yg lebih bisa mengemban amanah, itu yg utama Diak Reny, soal inyo maninggakan Solo, ambo raso rakyatnya lah rela bana, sbb mrk tau Jokowi maninggakan mrk bukan utk pai ba sanang2 ;)! Tapi utk amanah nan labiah barek lai, dan DKI Jaya/Jakarta adalah milik seluruh rakyat Indonesia jadi semua kita bertanggung jawab. Soal kampanye atau indak ttg topik ko, kan masih dlm rangka amar ma'rif wa nahyi munkar, ya sah2 sajo mah, Mamak2 sadonyo Sangenek, Sangenek, Alhaqirwalfaqir-AnwarDjambak44-, kamanakan Dt. Rajo Malano (Maulana) Pyk-Mudiak,,KL, Maminteh Sabalun Hanyuik! Sent from BlackBerryR smartphone powered by U Mobile -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] IJP: Pers Modern dalam Topan Demokrasi
Koran Jakarta, 09 Februari 2012 Pers Modern dalam Topan Demokrasi oleh Indra J Piliang http://www.indrapiliang.com/2012/02/09/pers-modern-dalam-topan-demokrasi-/ Ilustrasi/ KJ Hari ini diperingati sebagai Hari Pers Nasional yang ke-66. Tanggal ini ditandai, seiring dengan kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta. Dalam usianya yang ke-66, pers nasional mengalami pasang-surut. Tidak saja berkaitan dengan masalah yang datang dari eksternal (seperti penyensoran), melainkan juga dari internal (seperti standar gaji dan kode etik jurnalistik). Terlepas dari itu, pers nasional menunjukkan diri sebagai salah satu eksponen perjuangan (kebebasan) politik dan demokrasi. Sejarah kelahiran PWI juga ditandai dengan belum terpisahnya wartawan dari kehidupan politik. Era revolusi fisik yang ditandai dengan perdebatan-perdebatan besar sebelum kemerdekaan, mendapat pengaruh dari kehadiran wartawan yang sekaligus pejuang dan politisi. Para negarawan tak henti berpolemik di media massa, menggunakan nama-nama terang maupun samaran (pen name). Tidak jarang hukuman atas sebuah tulisan adalah penjara atau bahkan dibuang ke daerah penuh malaria seperti Papua atau bahkan ke negeri Belanda. Dalam usianya yang panjang itu, pers nasional sampai ke era kebebasan seperti sekarang. Kebebasan begitu dirayakan. Kebebasan melindungi maksimal profesi jurnalistik, sekalipun dalam sejumlah kasus, wartawan justru menjadi sasaran. Wartawan Indonesia di era modern tidak berhadapan langsung dengan penjara, melainkan peluru ataupun intimidasi lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan kemunduran dibanding sanksi penjara dan pembuangan yang terjadi di zaman Belanda. Kebebasan dan informasi yang diberikan kepada kaum jurnalis ternyata beralaskan nyawa sejumlah wartawan. Pers sebetulnya ujung dan pangkal dunia politik. Tidak ada satu pun partai politik yang tak ingin masuk ke dunia pers, dalam arti mendapat porsi pemberitaan. Setiap kegiatan kepartaian selalu mengundang pers. Sebaliknya, informasi yang dihidangkan pers akan menjadi bahan bagi partai politik untuk mengevaluasi dan menanggapi. Hanya, di Indonesia, sedikit sekali jumlah politisi yang suka memamerkan pemikiran di dunia pers karena khawatir akan memicu persoalan dengan partainya sendiri, pihak lain ataupun kelompok yang terkait pernyataannya. Akibatnya, pers hanya dilihat sebagai medium untuk pencitraan: menutupi yang buruk, menampakkan yang baik. *** Sekarang adalah era angin topan demokrasi. Demokrasi tidak hanya bertiup dan berhembus, tetapi bergerak bagai angin topan yang membongkar apa pun. Tokoh baru muncul di media dan dielu-elukan, tetapi dalam saat yang singkat bisa dijatuhkan karena skandal politik, terutama korupsi. Setiap orang bisa berbicara apa saja dan menghubungi siapa pun, terutama dengan media baru yang bernama sosial media seperti Twitter dan Facebook. Partai politik jatuh dan bangun. Setiap hari, media memungut banyak sekali isu di masyarakat. Demokrasi juga yang dituju pers, ketika muncul dalam keterbatasan era kolonial. Selain demokrasi, kemerdekaan adalah syarat yang paling penting. Masalahnya, di era modern seperti sekarang, perjuangan ke arah demokrasi sudah semakin lekat dengan individu, bukan lagi kelompok-kelompok sosial dan politik di masyarakat. Kelas-kelas sosial kian abstrak, ketika satu individu bisa mengagendakan banyak hal, tanpa perlu menanyakan kepada kelompok sosial dan politiknya. Individu yang sama bisa berubah-ubah identitas, tidak lagi dibedakan sebagai inlander atau Eropa, kulit putih atau kulit berwarna. Ketika individu menjadi inti dari demokrasi, justru semangat koletivitas menjadi semakin sulit didapat. Dalam hal ini, pers bisa memainkan peran itu, yakni membentuk ikatan-ikatan sosial di antara individu. Ikatan itu bisa saja berbentuk kesatuan pemahaman atas isu-isu khusus ataupun kepedulian atas masalah-masalah umum (publik). Pers menjalankan peran pemersatu, ketika hampir seluruh gerak di masyarakat mengarah kepada perpecahan dalam artian apa pun. Dengan posisi seperti ini, liberalisasi politik bisa sedikit direm dan diberi bobot, ketimbang topan terus melaju dan menghancurkan apa pun yang masih tersisa. Sebetulnya, pers tidak perlu terlalu khawatir memiliki preferensi atas isu-isu politik tertentu. Bukankah dunia pers Indonesia dilahirkan para jurnalis yang juga politisi? Dengan preferensi yang jelas, kalangan jurnalis menjahit perbedaan-perbedaan pendapat dan paham ke dalam perspektif yang lebih kolektif. Tentu dengan tetap mengandalkan profesionalisme wartawan berdasarkan standar baku dunia jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Preferensi politik hanya untuk memberi perspektif, tentunya dikaitkan dengan pegangan umum berupa tujuan-tujuan bernegara yang kian kabur di mata masyarakat. Jangan-jangan, kalangan pers menganggap bahwa dunia jurnalistik harus terbebas dari kepentingan politik praktis. Saya kurang setuju dengan pendapat
[R@ntau-Net] Gubernur Jenderal untuk DKI Jakarta
Koran Tempo, Kamis, 08 Desember 2011 Gubernur Jenderal untuk DKI Jakarta oleh Indra J Piliang *) TEMPO.CO, Media sosial semacam Twitter dan Facebook adalah sketsa betapa kemacetan di Jakarta jadi hantu yang muncul di pagi, siang, petang, dan malam hari. Menakutkan sebagai umpatan. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Tentu banyak solusi yang diberikan oleh para ahli tentang kota terbesar di Indonesia ini. Hanya, kemacetan--lalu banjir--tetap menjadi ciri dominan. Beban Jakarta demikian besar, termasuk pengisap triliunan uang yang hilang sia-sia akibat bahan bakar fosil menguap ke udara. Tahun depan, Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dipilih secara langsung. Para kandidat sudah muncul, berikut program-program yang hendak dijalankan. Padahal Jakarta baru berubah menjadi daerah tingkat I pada 1959, sedangkan sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Status sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) baru didapat pada 1961. Artinya, baru 50 tahun Jakarta menjadi DKI. Sehingga, pengalaman beragam gubernur yang pernah menjabat relatif minim. Nah, persoalannya, bagaimana wajah Jakarta 50 tahun ke depan? Apakah berubah menjadi kota yang benar-benar tidak lagi layak huni atau menjadi contoh bagi modernisasi Indonesia yang selama ini dijalaninya? Sudah jamak diketahui betapa Jakarta adalah barometer dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga ilmu pengetahuan. Jakarta menjadi hulu dan hilir bagi beragam kepentingan, termasuk politik. Ketika Jakarta berhasil menempatkan diri pada posisi yang menyenangkan bagi siapa pun, Indonesia secara keseluruhan bisa dipengaruhi ke arah yang positif. Sebaliknya, kesemrawutan Jakarta memberi beban bagi Republik Indonesia. Sebagai Daerah Khusus Ibu Kota, Jakarta juga menjadi etalase dari kantor-kantor pemerintahan pusat (nasional). Di Jakartalah lembaga-lembaga negara menjalankan aktivitas, begitu juga kantor-kantor pemerintahan asing. Jakarta menjadi titik temu kepentingan lokal, nasional, dan internasional sekaligus. Karena itu juga, siapa pun yang memimpin Jakarta layak memiliki keberanian untuk menegakkan kepala berhadapan dengan siapa pun, termasuk presiden. *** Mengingat persoalan-persoalan besar di Jakarta, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dievaluasi kembali. Apakah cukup kuat undang-undang itu menampung persoalan-persoalan Jakarta, sekaligus visi pengembangannya ke depan? Apabila undang-undang itu membebani pelaksanaan jalannya pemerintahan, terutama dalam kedudukannya sebagai pemerintah daerah yang bergantung pada pusat, tentulah penting untuk direvisi. Karena Jakarta adalah medan magnet bagi migrasi penduduk dari seluruh Nusantara, tentulah persoalan-persoalan di Jakarta terhubung dengan daerah-daerah lain, termasuk provinsi Banten dan Jawa Barat. Hampir sulit dibedakan daerah-daerah perbatasan antara Jakarta dan daerah di sekelilingnya. Gerbang perbatasan seakan hanya ornamen yang tak memperlihatkan perbedaan signifikan. Jakarta hakikatnya dikelilingi oleh kota-kota lain juga yang tingkat pertumbuhannya pesat. Dari sini, konsep megapolitan yang pernah dilontarkan oleh Sutiyoso menjadi relevan dihadapkan lagi sebagai bahan diskusi. Kita tahu, Bandung menjadi penuh sesak pada Sabtu dan Minggu, ketika orang-orang Jakarta datang untuk berbelanja. Sebaliknya, belum ada satu kawasan pun di Banten yang bisa dijadikan area menarik untuk didatangi penduduk Jakarta. Bagi yang memiliki cukup uang, Singapura dan Bali seakan jadi kampung halaman untuk dikunjungi setiap pekan atau bulan. Saking pentingnya provinsi-provinsi tetangga itu, guna mengatasi sebagian masalah Jakarta, tentu posisi Gubernur DKI Jakarta layak ditinggikan seranting, dimajukan selangkah. Sudah lama memang Gubernur DKI menjadi Ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi se-Indonesia (APPSI). Hanya, APPSI hanyalah organisasi yang lemah secara hukum, karena bersifat paguyuban. Tanpa ada kedudukan formal yang tegas terhadap posisi Gubernur DKI dalam kaitannya dengan gubernur-gubernur daerah lain, sulit untuk dilakukan koordinasi. Apalagi, standardisasi nasional dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian terkait. Salah satu cara mengatasi hal itu adalah menempatkan kedudukan Gubernur DKI menjadi semacam gubernur jenderal bagi pemerintah pusat. Jabatannya bisa saja menjadi setingkat menteri atau menjadi anggota resmi dalam sidang-sidang kabinet, tetapi tetap sebagai Gubernur DKI. Penempatan ini perlu dikaji oleh para ahli hukum tata negara, sebagaimana kedudukan yang diberikan kepada sejumlah jabatan setingkat menteri lainnya. Usaha ini minimal akan memberi kesempatan kepada Gubernur DKI untuk menyinergikan program-programnya dengan agenda-agenda nasional. Yang selama ini menghegemoni adalah kata-kata pusat dan nasional yang berarti DKI Jakarta. Jakarta sebagai pusat dan Jakarta
[R@ntau-Net] Jangan Tunggu Tsunami di Papua!
http://www.indrapiliang.com/2011/11/07/jangan-tunggu-tsunami-di-papua/ Sumber : Suara Pembaruan, 07 November 2011 Jangan Tunggu Tsunami di Papua! Oleh Indra J Piliang Dewan Penasehat The Indonesian Institute Usai pengesahan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, saya menulis di sebuah koran tentang perlunya perhatian terhadap Papua. Pemberian sejumlah keistimewaan kepada Aceh, terlepas dari persoalan tsunami di Aceh, telah menjadi catatan akan pentingnya perbedaan perlakuan kepada daerah-daerah yang bergejolak. Sekalipun Aceh juga mengalami persoalan, sehubungan dengan proses demokrasi lokal yang diterapkan, tidak sampai membangkitkan isu nasionalisme etnik. Hal ini berbeda dengan Papua. Seperti api di dalam sekam, sejumlah kejadian mencuat dari tanah para pemakan sirih dan pinang ini. Keadaan itu semakin runyam dengan tak terkendalinya konflik dengan penggunaan senjata sebagai alat kekerasan. Belum lagi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan karyawan PT Freeport yang berbuah kepada konflik vertikal dan horizontal. Padahal, Freeport adalah perusahaan yang lama mengeruk kekayaan alam Papua, dengan konsesi yang juga masih lama. Dengan luas 3,5 kali Pulau Jawa dan penduduk (asli dan pendatang) yang hanya sekitar 2,5 Juta jiwa, Papua penuh dengan persoalan. Pembangunan infrastruktur berjalan perlahan mengingat biayanya besar. Selama otonomi khusus dijalankan, ada sekitar Rp 30 Trilyun dana yang dikerahkan, tetapi kurang mampu mengangkat harkat dan martabat warga Papua. Indeks Pembangunan Manusia Papua masih paling rendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Padahal, kalau saja dana besar itu dibagi rata saja ke seluruh penduduk Papua, akan membawa kemakmuran dibandingkan dengan dana kecil di daerah-daerah lain. Yang terjadi kini adalah silang sengketa kata-kata dan senjata antara Papua dengan Jakarta. Pihak Jakarta merasa dengan membuat UU Otonomi Khusus dan Dana Otonomi Khusus, persoalan selesai dengan sendirinya. Begitupun dengan fenomena Papuanisasi dalam struktur elite pemerintahan Papua, ketika jabatan-jabatan publik langsung di tangan warga Papua. Persoalan kultural dan gesekan antar elite masyarakat Papua terjadi, di tengah kerasnya tuntutan akan penerapan prinsip-prinsip good governance. Kesibukan dengan jabatan-jabatan dan dana-dana besar menyebabkan upaya pencapaian tujuan pemerintahan berjalan lambat. *** Pemerintah Indonesia perlu diingatkan bahwa Papua adalah taruhan terakhir tentang bagaimana Indonesia membangun masa depan peradaban di bumi Nusantara. Tidak banyak lagi daerah eksotis di Indonesia yang merupakan bagian dari proses panjang perjalanan manusia. Ketika banyak daerah semakin pupus oleh berhala-berhala moderen, Papua menyediakan manusia-manusia yang telanjang dari sisi fisik, namun sekaligus alamiah dan manusiawi. Papua menyediakan ladang persemaian ilmu pengetahuan dalam jumlah banyak, dari pelbagai bidang ilmu. Ketika bumi Papua hancur, maka Indonesia akan kehilangan wilayah yang bisa jadi menyimpan jenis-jenis baru obat-obatan dari hutan-rimbanya ataupun temuan-temuan baru di bidang kehewanan. Karena itu, Papua sedapat dan sebisa mungkin perlu dilihat sebagai masa depan Indonesia. Sebagai masa depan, seluruh upaya dan rencana menyangkut pembangunan Papua dilakukan secara hati-hati dan segaligus dengan visi yang jangka panjang. Jakarta tidak hanya perlu membentuk tim-tim khusus guna menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, melainkan wajib mengembangkan organisasi ilmu pengetahuan yang bersifat multi-disipliner. Saya kira, dana-dana otonomi khusus bisa digunakan sebagian kecil untuk pengembangan organisasi seperti ini, selain juga bisa mendapatkan dari sumber-sumber lain. Dibutuhkan semacam Papua Academy atau Papua Institute untuk membangun masa depan Papua di kalangan para ilmuwan, seniman, masyarakat sipil sampai para pemerhati Papua. Pusatnya bisa saja di Jakarta atau Papua, bahkan di negara lain, sebagai bagian dari upaya Indonesia untuk memajukan Papua tanpa harus kehilangan hak-hak kultural masyarakat (adat) Papua. Pementasan karya-karya seni dari suku-suku Papua adalah bagian dari kerja lembaga ini. Secara periodik dalam pelbagai kesempatan. Bahwa Papua bukan hanya memberi sumbangan positif bagi Indonesia perlu diakui. Papua adalah wilayah yang sangat besar jasanya bagi dunia, terutama dari alamnya yang memberikan keseimbangan bagi iklim dan ekosistem. Bayangkan kalau hutan-hutan di Papua binasa, akibat-akibat negatifnya akan langsung terasa bagi kelangsungan planet bumi dan perubahan iklim. Selayaknyalah pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari itu sedini mungkin, sebelum semuanya terlambat dan Indonesia menangis dalam waktu yang lama. *** Langkah paling penting dalam waktu dekat adalah menutup pintu kekerasan di tanah Papua. Moratorium kekerasan itu tentu melibatkan aparat keamanan dan pihak-pihak yang bertikai. Jangan lagi muncul di televisi, aparat Brimob menembak
[R@ntau-Net] Pasar dan Restorasi Ranah Minang
http://www.indrapiliang.com/2011/09/28/pasar-dan-restorasi-ranah-minang/ Harian Haluan, 28 September 2011 Pasar dan Restorasi Ranah Minang oleh Indra J Piliang Salah satu faktor yang turut mempengaruhi penurunan income per kapita rakyat Sumbar adalah terbakarnya pasar Tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003. Waktu itu Gubernur DKI Jakarta masih Sutiyoso. Kebakaran itu memunculkan aksi-aksi demonstrasi yang kemudian kalah. Kalangan pedagang asal ranah Minang pelan-pelan tersingkir. Pembangunan yang baru tak terjangkau dana, saking besarnya harga per unit. Investor dan pihak perbankan memang tak berpihak kepada pedagang-pedagang Minang. Kebakaran itu dan nasib para pedagang asal Ranah Minang menyisakan trauma di benak saya. Saya sempat bertemu dengan para pedagang dalam satu acara di DPRD DKI Jakarta. Bahkan saya mempertanyakan secara terbuka pemberian gelar adat kepada Sutiyoso di Ranah Minang, terkait dengan minimnya perlindungan terhadap para pedagang. Belum lagi waktu itu Bang Yos juga sedang gencar-gencarnya memperbaiki lapangan Monas, termasuk dengan memagarinya. Ada perbedaan penilaian terhadap kinerja Bang Yos itu. Lapangan Monas dianggap sebagai satu keberhasilan, sekalipun dilakukan dengan “tangan besi”. Sementara pasar Tanah Abang, sekalipun tidak memunculkan gejolak lagi, lebih banyak dinilai menyingkirkan sebagian pemilik lama. Menurut informasi yang saya peroleh, tentu tanpa riset empiris, hanya sebagian kecil saja pedagang-pedagang asal Minang, Purwokerto dan Tasikmalaya yang bisa memperoleh kios-kios yang bagus. Sisanya berpindah tangan. Pasar Tanah Abang itu yang saya ingat ketika terjadi “bentrok” antara pedagang Pasar Raya Padang dengan aparat, pada tanggal 1 September 2011 lalu. Saya tidak terlalu memahami masalahnya dengan detil. Hanya saja, secara umum, pemerintah daerah Kota Padang perlu dengan hati-hati melakukan penataan terhadap lokasi Pasar Raya ini. Bukan saja Pasar Raya mengandung makna historis yang penting, sebagai salah satu ikon Kota Padang, melainkan juga memiliki makna kultural yang kuat. Bentrokan, misalnya, bukanlah khas Ranah Minang dalam menyelesaikan persoalan. *** Ketika gempa di Sumatera Barat terjadi pada 30 September 2009 lalu, kawasan yang juga ikut runtuh adalah pasar-pasar tradisional. Saya teringat dengan Pak Jusuf Kalla yang menyampaikan agar pasar-pasar ini mendapatkan prioritas. Teori yang digunakan Pak JK adalah apabila transaksi berjalan di pasar-pasar, maka secara perlahan kehidupan lain akan ikut bergerak. Pak JK bukan hanya memahami bahwa pasar merupakan sarana penting di Minang, melainkan dalam praktek penyelesaian konflik (dan perang) juga demikian. Selain pasar, tentu yang diusahakan terus beroperasi adalah sarana perbankan. Sekalipun sudah mulai pulih dari sisi trauma gempa bumi 2 tahun lalu itu, pasar-pasar ternyata masih seperti apa adanya. Saya kebetulan suka berkeliling di Sumbar untuk memperhatikan wilayahnya yang mengagumkan. Di hari-hari pasar, terlihat sekali penumpukan aktivitas yang meluber ke jalanan. Truk bongkar muat parkir sembarangan. Arus lalu lintas selalu padat merayap atau macet dalam istilah Jakarta yang menular ke daerah. Bukan saja pasar-pasar di jalur jalan lintas provinsi, melainkan juga pasar di jalan lintas kabupaten dan kecamatan. Padahal, di pasar-pasar itulah transaksi ekonomi dalam skala kecil dan menengah terjadi. Yang terbanyak tentu pasar-pasar kecamatan. Kalau di tahun 1980-an pasar-pasar di tingkat nagari masih terlihat ramai, terutama karena minimnya sarana transportasi, maka pada abad 21 ini pasar-pasar kecamatan mengambil peran. Pasar nagari pelan-pelan berubah menjadi pasar biasa yang tak lagi banyak dikunjungi. Pasar diatur dalam kalender yang ketat. Terdapat penyebutan nama daerah berdasarkan “hari pakan” untuk pasar yang dilakukan secara bergiliran. Namun, ternyata, pasar jarang disebut dalam syarat-syarat yang (wajib) dipenuhi oleh (berdirinya) nagari di Ranah Minang. Yang banyak disebut adalah mesjid, tepian tempat mandi, pandam pekuburan, laga-laga (balai-balai) untuk musyawarah, dan gelanggang (medan nan bapaneh). Jarang dimasukkannya pasar dalam struktur tata-kelola nagari ini menunjukkan bahwa memang pasar terletak di luar batas nagari atau gabungan dari beberapa nagari. Sawah dan ladang juga terletak di luar (batas-batas) nagari. Karena masyarakat Minang sebagian besar adalah petani dengan kultur agraris yang kuat, maka pasar hanya dijadikan tempat untuk “bertukar kebutuhan”. Sayur dijual untuk mendapatkan beras. Beras dijual untuk mendapatkan daging. Sehingga, posisi sebagai pedagang di dalam ranah Minangkabau sendiri tidak termasuk dalam strata sosial yang terhormat, dibandingkan dengan jabatan-jabatan lain seperti Buya, Tuanku, Penghulu (Datuk) atau bahkan Muncak Buru bagi peburu babi. *** Barangkali kita perlu melihat jauh ke negara orang untuk membandingkan pentingnya para pedagang. Restorasi
[R@ntau-Net] Isu Gempa 8,9 SR Sekadar Informasi Akademis
Isu Gempa 8,9 SR Sekadar Informasi Akademis Harian Haluan, Jumat, 26 Agustus 2011 03:31 Lewat pemberitaan media online, seperti detik.com (20 Agustus 2011), terdapat pernyataan bahwa Kota Padang menunggu waktu saja untuk gempa berkekuatan 8,9 skala richter (SR). Pemberitaan itu segera masuk ke banyak saluran, antara lain sosial-media dan mailing-list. Dan tentu juga tak lupa blackberry-massenger. Tentu saya mengikuti informasi itu. Sejak awal berita itu muncul, beberapa akun sudah memention akun saya: @IndraJPiliang. Namun, karena info soal ini sudah lama saya ketahui, saya berusaha menahan diri. Lama-kelamaan, masalah menjadi berkembang ketika tanggapan muncul dari Sumatera Barat, khususnya dari pembaca berita informasi itu. Makanya, saya merasa perlu membuat sejumlah twit dengan hashtag: #8,9. Dalam acara Seminar Kebudayaan Minangkabau di Padang tempo hari, saya mendengarkan keterangan dari Walikota Padang Fauzi Bahar tentang potensi gempa dan tsunami di Kota Padang. Informasi serupa sudah pernah juga saya dengar, ketika gempa terjadi di Sumatera Barat tahun 2009 lalu, ketika Walikota Padang Fauzi Bahar dan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi presentasi di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada intinya, aparatur pemerintahan sudah memiliki informasi yang cukup, lengkap dengan citra satelit dan segudang rencana mitigasi bencana. Bagi saya, info soal 8,9 SR ini lebih dari sekadar informasi akademis, tetapi sekaligus politik dan pemerintahan. Yang menjadi persoalan bukanlah seberapa akurat informasi itu, melainkan seberapa jauh langkah-langkah mitigasi bencana yang sudah dilakukan oleh aparatur pemerintah? Hal ini yang menjadi pokok dari persoalan 8,9 SR itu. Saya kira, persoalannya bukan lagi terletak kepada dari siapa angka itu muncul, tetapi bagaimana menanggapinya secara objektif. Selain itu, bagaimana kita sama-sama melakukan edukasi dengan melibatkan beragam kalangan. Ya, barangkali sebagian kecil elite sudah mengetahui “jadwal bencana” di Indonesia, sebagaimana tergambar dalam film 2012. Film “Kiamat” 2012 itu memperlihatkan betapa persiapan pembuatan “Kapal Nabi Nuh” hanya melibatkan pimpinan delapan negara. Dan bahkan sampai bencana benar-benar datang, masyarakat sama sekali tidak diberi-tahu. Hanya keputusan “moral” Presiden Amerika Serikat dalam film itu yang lalu memberi-tahu rakyat, dengan harapan mereka saling meminta maaf dan memaafkan. Bahkan Presiden AS turut jadi korban “kiamat” itu, karena tidak ikut naik kapal. Masalahnya masyarakat Indonesia, terutama Sumbar, sudah terlanjur mengetahui bahwa akan ada gempa bumi skala besar yang pusatnya di Siberut atau area yang dekat dengan pantai. Yang akan terjadi bukan saja patahan dan pergesekan kulit bumi, namun juga gelombang tinggi berupa tsunami akibat pancaran energinya. Pantai-pantai akan tersapu ombak, berikut apapun yang ada di atasnya. Bangunan-bangunan runtuh. Tebing dan ngarai terurai. Apakah cukup persiapan menghadapi itu? Sebetulnya, tanpa diminta atau disebut pemerintah pun, masyarakat Sumbar sudah terbiasa hidup bergempa-gempa. Ketika bencana gempa Kobe di Jepang tahun 1995, misalnya, masyarakat langsung mengubah fondasi rumahnya setelah membaca informasi lewat media. Juga bencana-bencana sebelum itu, termasuk dendang gempa di Padang Panjang pada tahun 1926. Korban terbanyak gempa bumi tahun 2009 adalah di kota Padang, terutama di bangunan hotel. Jadi, terdapat ilmu pengetahuan dan kearifan lokal (local genius and local wisdom) yang kuat. Pengetahuan-pengetahuan sederhana sampai rumit itulah yang perlu disampaikan ke masyarakat, yakni bagaimana membuat rumah dengan fondasi tahan gempa, bagaimana menghadapi gempa di area perkantoran, apa yang dilakukan seandainya berada di pesisir pantai dan lain-lain. Ada sekitar 1,5 Juta jiwa penduduk Sumbar yang terhubung dengan laut, sehingga langkah-langkah edukasi harus disampaikan langsung kepada mereka. Karena dana dari pemerintah terbatas, mau tidak mau dana dari pihak ketiga dibutuhkan, yakni swasta atau bantuan dari lembaga non pemerintah dan asing. Masalahnya, dengan gencarnya pemberitaan soal potensi gempa di Padang, semakin enggan investor datang menanamkan modalnya. Bahkan, penduduk yang berpunyapun mulai pindah dari Kota Padang dan area pesisir lainnya ke tempat lain, termasuk ke luar Sumatera Barat. Rumah-rumah menjadi kosong. Harga-harga tanah turun. Acara-acara yang berskala nasional juga semakin sulit diadakan di Kota Padang. Di samping infrastruktur hotel dan akomodasi lainnya tidak memadai, orang-orang takut berkunjung. Alangkah mirisnya mendengar stigma bahwa Padang adalah daerah yang sewaktu-waktu terkena gempa dari masyakarat luar Padang, ketika orang-orang yang tinggal di Padang sendiri tidak lagi ambil peduli. Stigma itu menyebabkan orang-orang lebih memilih kota di luar Padang untuk kegiatan konferensi atau rapat atau kunjungan wisata. Padang, khususnya, dan
[R@ntau-Net] Membangun Kebudayaan Maritim
Membangun Kebudayaan Maritim oleh Indra J Piliang Sabtu, 13 Agustus 2011 03:14 Dalam rangka mengisi waktu luang ketika menghadiri acara Partai Golkar di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman, saya berkesempatan memancing di pantai Piaman Laweh. Atas jasa baik Pak Akhir, mantan Kepala Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri (SUPMN) Pariaman, saya dan sejumlah teman berlayar ke lautan biru. Semula, kami merencanakan untuk memancing pada malam hari. Tetapi, kondisi muara sungai Batang Naras sedang pasang elang (tidak tinggi), maka kapal tidak bisa melaut. Terpaksa kami menunggu pagi hari, lalu berangkat pada 19 Juli 2011. Ombak menampar-nampar. Perjalanan yang terasa menantang. Kapal tergoncang. Pengalaman yang sudah lama tidak saya rasakan dan alami. Terakhir kali menyeberangi laut dengan motor boat saya lakukan dari Ternate ke Tidore tahun 2008, bolak-balik. Dan perahu kami mendekati perahu nelayan yang sendirian memancing ikan. Sejumlah teman jatuh terkapar, mabok laut. Siangnya, kami singgah di Pulau Kasiak (Pulau Pasir) milik Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Selengkapnya == http://www.indrapiliang.com/2011/08/15/membangun-budaya-maritim/ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] Repost: Membangun Kebudayaan Kelautan (Harian Haluan, 13 Agustus 2011)
Membangun Kebudayaan Maritim oleh Indra J Piliang Sabtu, 13 Agustus 2011 03:14 Dalam rangka mengisi waktu luang ketika menghadiri acara Partai Golkar di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman, saya berkesempatan memancing di pantai Piaman Laweh. Atas jasa baik Pak Akhir, mantan Kepala Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri (SUPMN) Pariaman, saya dan sejumlah teman berlayar ke lautan biru. Semula, kami merencanakan untuk memancing pada malam hari. Tetapi, kondisi muara sungai Batang Naras sedang pasang elang (tidak tinggi), maka kapal tidak bisa melaut. Terpaksa kami menunggu pagi hari, lalu berangkat pada 19 Juli 2011. Ombak menampar-nampar. Perjalanan yang terasa menantang. Kapal tergoncang. Pengalaman yang sudah lama tidak saya rasakan dan alami. Terakhir kali menyeberangi laut dengan motor boat saya lakukan dari Ternate ke Tidore tahun 2008, bolak-balik. Dan perahu kami mendekati perahu nelayan yang sendirian memancing ikan. Sejumlah teman jatuh terkapar, mabok laut. Siangnya, kami singgah di Pulau Kasiak (Pulau Pasir) milik Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Sejumlah pekerja sedang membangun tempat tinggal bagi petugas menara mercusuar yang dipasang di pulau itu. Pulau kecil yang indah khas tropis. Matahari menyengat. Sekitar pukul tiga sore baru kami ke laut lagi, memancing, setelah puas bermain di Pulau Kasiak. Saya tentu tak ingin bercerita soal apa yang kami rasakan dan lihat selama perjalanan memancing itu. Yang saya sadari kemudian, ternyata “orang Pariaman” tidak bisa melaut. Lalu, bagaimana dengan nasib Anggun Nan Tongga yang sudah berubah menjadi hotel? Bagaimana juga dengan Nangkodo Baha? Apakah benar suku bangsa Minangkabau tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dunia maritim? Ataukah kemaritiman identik dengan Malin Kundang, seorang anak yang lahir miskin, lalu menjadi saudagar di rantau orang dan dianggap durhaka kepada ibunya? *** Sumatera Barat langsung berbatasan dengan Lautan Hindia. Di sinilah dulu, pada akhir abad ke 16, para pedagang Eropa berdatangan dan melayarkan kapal menuju Pulau Jawa hingga Ternate dan Tidore. Pantai Pariaman salah satu menjadi tempat persinggahan itu, selain Tiku di Agam. Hanya saja, melihat Pariaman dan Padang Pariaman dari arah lautan, terasa sekali betapa sulitnya mencari muara untuk melabuhkan kapal. Apalagi pelabuhan yang memang dibuat oleh manusia, sama sekali tidak ada. Padahal, pelabuhan adalah jembatan bagi dunia darat dan dunia laut. Tanpa ada pelabuhan, sulit sekali bagi kapal-kapal skala kecil dan menengah untuk bersandar. Perahu-perahu barangkali dengan mudah bisa dibawa ke muara sungai atau dihela bersama-sama naik ke pasir pantai. Tapi kapal jelas tidak bisa. Kalau tidak ada pelabuhan, bagaimana manusia, ikan, ataupun hasil angkutan laut lainnya bisa didaratkan? Kalau dihitung, dari 19 kabupaten dan kota di Sumbar, terdapat 7 kabupaten dan kota yang memiliki lautan, yakni Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Artinya, terdapat 7 Dinas Kelautan dan Perikanan di Sumbar, ditambah dengan Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi. Dari sini saja terlihat betapa laut menjadi wilayah yang dibelah-belah oleh dinas-dinas pemerintahan daerah. Padahal, ketika saya memancing sore harinya, laut membawa kami hanyut sampai ke Tiku, Kabupaten Agam. Soalnya, kapal tidak ditambatkan. Sauh sama sekali tidak dilepaskan. Nah, kondisi ini sama dengan para nelayan. Mereka datang dari pelbagai daerah, lalu memasuki wilayah laut yang luas itu. Tidak ada pagar di lautan biru itu. Pantai Pariaman yang dimasuki pelaut dari Sibolga atau Pesisir Selatan atau Jawa, sudah biasa. Sebagian malah menggunakan bom ikan, sehingga merusak terumbu karang. Dinas-dinas pemerintah sama sekali tak terlihat ramai, ketika kasus-kasus seperti itu terjadi. Luasnya laut dan banyaknya dinas, jelas kurang efektif bagi pengelolaan laut dan isinya, berikut penduduk yang mencari makan di dalamnya. Saya kira akan jauh lebih efektif dan efisien apabila dinas-dinas kelautan di masing-masing kabupaten dan kota di Sumbar ini disatukan. Selain nelayan yang diatur sedikit, masalah yang dihadapi di lautan juga tidak terlalu banyak. Dengan penyatuan kekuatan, akan ada usaha yang lebih serius lagi di depan untuk memajukan bidang kelautan dan perikanan di Sumbar. *** Di luar laut, nelayan ataupun dinas-dinas pemerintah, patut kita pikirkan kembali kehadiran maritim dalam kebudayaan Minangkabau. Dari tambo kita tahu betapa daerah pesisir dianggap mewakili daerah rantau. Akibatnya, sebagai daerah rantau, daerah pesisir kurang mewakili struktur “pemerintahan” adat di ranah Minang. Yang lebih celaka lagi, daerah pesisir dianggap sebagai pintu masuk segala sesuatu yang merusat adat dan budaya Minangkabau. Daerah pesisir dan
[R@ntau-Net] Kisah Harimau Kapalo Hilalang
http://www.indrapiliang.com/2011/07/22/kisah-harimau-kapalo-hilalang/ Kisah Harimau Kapalo Hilalang Jumat, 22 Juli 2011 Kisah Harimau Kapalo Hilalang Oleh Indra J Piliang Saya merasa berutang untuk menulis soal harimau ini. Sekalipun di akun twitter @IndraJPiliang sudah beberapa hari saya coba tweet, tetap saja diperlukan tulisan yang lebih panjang. Cerita harimau ini muncul lewat akun saya, ketika menghadiri Mubes V Gebu Minang di Padang Panjang pada tanggal 9-10 Juli 2011 lalu. Di perjalanan, saya membaca berita bahwa seekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditangkap warga Kenagarian Kapalo Hilalang dengan menggunakan kandang yang terbuat dari kayu. Saya berpikir, harimau itu pasti diselamatkan oleh warga setelah ditangkap. Tanggal 10 Juli, seusai acara penutupan Mubes V Gebu Minang, ternyata harimau itu masih ada di Kenagarian Kapalo Hilalang (Kepala Ilalang). Saya memutuskan untuk melihat harimau itu, karena pasti jadi perhatian warga. Benar saja, sekalipun menaiki ojek, mobil dan berjalan kaki, ternyata warga sudah terlihat pergi dan pulang dari lokasi. Mayoritas anak-anak kecil yang ditemani oleh orang tuanya. Harimau memang binatang yang “magis” bagi masyarakat Sumatera Barat. Budaya Minangkabau menempatkan harimau sebagai binatang yang terhormat. Panggilannyapun khas: inyiak (nenek). Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa harimau adalah wujud dari binatang mitologis, karena bisa juga merupakan jelmaan manusia (harimau jadi-jadian). Karena itu, ketika harimau benar-benar ada dan berhasil ditangkap, adalah kejadian yang luar biasa dalam hidup. Saya tiba di lokasi, setelah berjalan kaki. Kondisi jalanan ke lokasi selalu mendaki dan mendaki. Saya sendiri terkejut, ada daerah yang seperti Kenagarian Kapalo Hilalang itu di Kabupaten Padang Pariaman. Pohon karet, kelapa sawit dan tanaman keras lainnya tumbuh di kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah dan gubuk-gubuk petani berada di dalam area kebun rakyat itu. Biasanya, pemandangan seperti itu hanya ada di daerah Pasaman, Dharmasraya atau Pasaman Barat. Letak lokasi tertangkapnya harimau itu ada di bawah Gunung Tandikat, berdekatan dengan lokasi cagar alam Lembah Anai. Dalam kisah-kisah tambo, wilayah Lembah Anai ini merupakan tempat yang dihuni oleh para pendekar yang dikenal dengan sebutan parewa. Untuk melaluinya, terdapat jalan raya antara Padang Pariaman dan Padang Panjang yang bernama Silaing. Sebuah air terjun indah menjadi lokasi favorit bagi siapapun yang ingin mengambil foto diri. Di Lembah Anai ini juga terdapat sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan Bukit Tambun Tulang (Bukit Timbunan Tulang). Konon, bukit itu terbentuk dari tulang-belulang manusia yang menjadi korban dari parewa (penyamun dan perampok) yang melalui jalur berbahaya itu. Kini, musuh wilayah itu adalah longsoran tebing. Di sungai bening yang berada di sepanjang Lembah Anai, sudah dibangun tempat-tempat pemandian oleh penduduk. *** Auman harimau itu menyambut saya, ketika pertama kali melihat kandangnya dari kejauhan. Kandang itu terbuat dari kayu, tanpa paku. Kandang pasak, namanya. Warga mengerumuni kandang yang kokoh itu. Sekali lagi harimau itu mengaum. Warga terlihat tersibak, sekalipun harimaunya berada di dalam kandang. Beberapa orang menyalami saya. Pelan, saya melihat ke dalam kandang, lalu menggunakan dua buah blackberry untuk memotret harimau itu. Dan setiap momen dalam potret saya menunjukkan kelelahan harimau itu. Kepalanya menyandar kepada kambing yang sudah mati, umpan yang digunakan untuk memerangkapnya. Tubuh kambing itu dijadikan bantal oleh kepala harimau. Kepala itu memejamkan mata, seolah sedang menyampaikan sesuatu. Sempat matanya terbuka, kepalanya terangkat, lalu rebah lagi dengan mata lelah yang tetap waspada. Inyiak itu kelihatan lelah. Lalu warga mengajak saya untuk berbicara. Yang memimpin bernama Pangeran, kepala pemuda di kenagarian itu. Ada beberapa juga sosok yang lebih senior, namun mereka lebih terkonsentrasi ke arah kandang harimau, berjaga-jaga. Merekalah anak buah tunganai, sang pawang harimau. Pangeran menceritakan bahwa perburuan harimau itu dilakukan sejak enam bulan lalu, lewat permufakatan warga. Kandang dibuat bersama. Hal itu dilakukan karena warga kehilangan ternak, dimangsa harimau. “Ini umpan keempat yang berhasil menangkap harimau. Tiga sebelumnya hilang, karena perangkapnya gagal bekerja,” ujar Pangeran. Warga menceritakan bahwa mereka mau menyerahkan harimau itu kepada petugas Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Pihak BKSDA sendiri sudah datang, namun mereka hanya menembak ke atas, mengusir harimau lain yang dianggap masih berkeliaran. Menurut pihak BKSDA sendiri, itu memang prosedur standar. Masalahnya, warga meminta ganti rugi atau kompensasi. Dana itu akan digunakan untuk mengadakan upacara adat, seperti main randai dan bersilat. Saya memaklumi permintaan itu. Bagi saya, jarang sekali ada penagkapan harimau dalam
[R@ntau-Net] Kemana Dana Bencana Rp. 3,1 Trilyun Itu?
Kemana Dana Bencana Rp3,1 Triliun Itu? Rabu, 01 Juni 2011 02:49 Ada berita mengejutkan muncul di media online. Dana penanggulangan bencana gempa Sumatera Barat hilang. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung: Rp3,1 triliun, jauh lebih besar dari APBD Sumbar yang hanya Rp2,1 triliun. Semula, pemerintah pusat melalui APBN menganggarkan sejumlah Rp6,4 triliun untuk Sumbar. Sebanyak Rp3,3 triliun sudah disalurkan. Mestinya, ada penyaluran sisa dana sebanyak Rp3,1 triliun. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dana itu tidak ada lagi. Kita patut mengurai lebih jauh seputaran dana Rp6,4 triliun itu. Sejauh yang bisa dilacak, anggaran sebesar Rp3,3 triliun dari APBN itu disalurkan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB sendiri langsung menyalurkan dana itu kepada Kelompok Masyarakat (Pokmas). Ayah saya, misalnya, menerima dana sebesar Rp15 juta melalui bank, bukan lewat pemerintah daerah. Masalahnya, bagaimana koordinasi antara BNPB dengan pemerintah daerah, dalam hal ini dengan gubernur, bupati dan walikota? Selama ini, pihak DPR RI sudah membentuk Tim Pengawas Bencana Sumbar yang diketuai oleh Refrizal. Hampir semua anggota DPR RI asal Sumbar terlibat dalam tim ini. Sebagai Tim Pengawas, tentunya DPR RI hanya memantau proses penyaluran dana APBN itu. Dari sekitar Rp3,3 triliun dana yang sudah disalurkan lewat APBN itu, sekitar Rp 2,4 triliun berasal dari APBN Perubahan Tahun 2010. Peluncuran dana bencana itu dilakukan tanggal 6 September 2010 yang berpusat di Kota Padang. Selama proses itulah DPR RI melakukan pengawasan. Seluruh dokumen penyaluran mestinya sudah disampaikan kepada pihak berwenang, dalam hal ini BNPB. Sehingga, kalau ada kebutuhan dana lagi, segera dimasukkan dalam APBN 2011. Dari sinilah masalah muncul, ketika proses penyaluran sampai pelaporan dana bencana ini tidak mendapatkan pengawasan yang cukup, termasuk oleh masyarakat sipil. Sehingga, timbunan berita lain menenggelamkan informasi penting menyangkut dana bencana ini. Ketika Gubernur Irwan Prayitno bersuara, barulah diskusi kembali semarak, setidaknya di dunia maya. Kejelasan Informasi Yang diperlukan sekarang adalah kejelasan informasi menyangkut dana bencana yang hilang itu. Perlu ada transparansi dari seluruh pihak, termasuk proses edukasi ke masyarakat, agar tak digunakan pihak-pihak tertentu untuk menyalahkan pihak lain. Untuk itu, sejumlah pertanyaan berikut layak diajukan. Pertama, lembaga mana sebetulnya yang berwenang untuk menyalurkan dana bantuan sebesar (komitmen) sebesar Rp6,4 triliun itu? Soal kewenangan ini penting, agar tidak semua pihak dianggap memiliki “kesalahan” apabila terjadi ketidakjelasan dalam penyaluran ataupun pelaporan. Kalau memang dana bantuan itu menjadi kewenangan BNPB, maka pihak BNPB-lah yang perlu melakukan klarifikasi. Kedua, dari sejumlah Rp3,3 triliun dana yang sudah disalurkan, kemana saja perginya? Apakah keseluruhan dana APBN sebesar Rp3,3 triliun itu sudah benar-benar terserap di masyarakat? Kalau penyerapannya ada, berarti pihak penyalurnya bisa memberikan laporan kepada, terutama, Tim Pengawas Bencana Sumbar bentukan DPR RI. Tim DPR inilah yang akan memastikan kebutuhan anggaran berikutnya terpenuhi. Apakah Rp3,3 triliun yang sudah disalurkan itu seluruhnya disalurkan oleh BNPB atau adakah pihak lain yang menyalurkan? Ketiga, bagaimana dengan dana non APBN yang selama ini masuk juga kepada pemerintah daerah? Kita ketahui bahwa banyak sekali pihak yang memberikan bantuan kepada masyarakat Sumbar pascagempa bumi tanggal 30 September 2009 lalu itu. Ada masyarakat yang langsung terjun ke lapangan, lalu menggunakan lembaga swadaya masyarakat untuk menjalankan program atau proyek bantuan. Namun ada juga yang menyumbang lewat rekening pemerintah daerah. Nah, bagaimana dengan dana non APBN yang masuk rekening pemerintah daerah ini? Keempat, bagaimana juga dengan proyek-proyek yang dibiayai oleh negara asing? Wilayah bencana gempa di Sumbar kini ibarat daerah yang ditempa banyak sekali merek-merek asing. Setiap sekolah yang baru dibangun, tertulis “Atas Bantuan Negara X dan Y”. Saya menyaksikan beberapa bangunan yang terbengkalai, akibat para pemborong lokal dengan seenaknya saja melanggar komitmen-komitmennya. Peran pemerintah daerah sangat minimal, padahal kepercayaan negara-negara asing itu diperlukan untuk meyakinkan betapa bantuan mereka dikerjakan dengan baik, bukan malah ditelantarkan. Tsunami Mentawai Tentu, lagi-lagi, sejumlah pertanyaan di
[R@ntau-Net] Raudal Tanjung Banua: Tan Malaka Memang Bukan Opera
http://www.indrapiliang.com/2011/05/09/tan-malaka-memang-bukan-opera/ Haluan, Senin, 09 May 2011 02:26 Tan Malaka Memang Bukan Opera PERSETUJUAN DENGAN INDRA J PILIANGRAUDAL TANJUNG BANUA (Pengarang dan Alumnus Teater ISI Yogyakarta) Refleksi Indra J. Piliang, sejarawan dan Dewan Penasihat The Indonesian Institute, berjudul “Tan Malaka Bukan Opera” (Haluan, 3 Mei 2011) menarik disimak dan dihayati. Berangkat dari pentas lakon tiga babak Opera Tan Malaka karya/sutradara Goenawan Mohamad di TIM Jakarta, 23-24 April 2011, Indra memang lebih banyak menyoroti unsur luar pementasan karena ia tak menonton pertunjukan dimaksud. Meski jika mau menonton langsung, saya yakin Indra sangat bisa, namun seperti ia katakan ia tak hendak menontonnya. Saya bayangkan, sebagai penonton yang kritis begitulah seharusnya bersikap—dan penonton semacam ini tak banyak. Dari judul, pola dan kecenderungan pengusung pentas, seorang penonton yang kritis bisa membayangkan apa yang bakal ia dapatkan. Judul, pola dan para pengusung pentas jelas bukan hanya urusan teknis, namun dapat mempresentasikan sesuatu yang lebih besar: pretensi, sasaran bahkan visi-misi. Sikap tak mau menonton sebuah pertunjukan oleh sebagian pihak boleh jadi akan dianggap pesimis, atau bahkan jumawa. Namun saya kira, sikap seperti itu mesti dimiliki oleh setiap (calon) penonton. Di tengah berjubelnya tawaran tontonan mengatasnamakan aktris selebritis, nama besar komunitas, akses media/publikasi, namun minim capaian estetik, tuna “ideologis”, bahkan ahistoris, (calon) penonton harus kritis. Sikap ini paralel dengan tuntutan kepada konsumen supaya kritis terhadap arus citra dan barang sejagad yang bersileweran tiap hari lewat iklan, mall dan swalayan, karena memang tontonan telah menjadi komoditi pula. Sebagai “konsumen”, apa lagi yang kita miliki jika bukan sikap kritis? Bagaimanakah menghadapi fenomena masyarakat berjouis Jakarta yang belakangan diharu-biru pentas-pentas kolosal dengan mengandalkan kerja-kerja industri budaya itu? Bahkan lebih jauh, bisa diperluas, misalnya, apa lagi yang bisa kita harapkan dari Butet Kartaredjasa yang menempatkan kerja keaktoran bukan pada “tubuh aktor” melainkan “tubuh propertis”, lawak dan dagelan? Apa yang bersisa dari Teater Garasi yang berangkat dari kecenderungan teks-teks cultural studies yang longgar dan enjoy memandang manusia dan masalahnya? Bukan tipe saya untuk pesimis, apalagi jumawa, jika pentas-pentas yang hiruk-pikuk publikatif sejenis itu tak merangsang minat. Lebih baik saya memutuskan untuk tak ikut sebagai saksi—ingat, dalam konsepsi teater, penonton adalah saksi. Sikap yang sama jauh-jauh hari sudah saya patrikan di dalam hati, ketika dengar-dengar Goenawan Mohamad menggarap Opera Tan Malaka, dengan sejumlah pemain dari Yogya. Seandainya pentas dilanjutkan di Yogya dan gratis, saya tetap tak hendak menontonnya. Tugas dan posisi “saksi” di dalam teater sama pentingnya dengan unsur teater lainnya seperti aktor dan sutradara; mesti memilih dan memilah. Seorang saksi bukanlah seorang yang pasif, apalagi mati kutu di hadapan kotak kemasan atau petikemas kebudayaan. Proyek Pencairan Sadar akan posisi saya yang tak menonton Opera Tan Malaka, maka sebagaimana Indra J. Piliang saya tak akan berbicara secara estetik. Saya hanya mencoba merefleksikan pentas itu dari sisi ekstrinsik seperti orientasi pengarang/sutradara, lingkungan masyarakatnya dan situasi saat karya itu disajikan. Jadi, persetujuan saya dengan Indra J. Piliang tak hanya dalam sikap dia yang “tak hendak menonton” sebagaimana alasan saya di atas, namun lebih penting menyangkut misi yang hendak diusung. Dari awal sudah terasa pretensi yang hendak dihadirkan kelewat besar: sesosok pejuang di belakang layar bernama Ibrahim gelar Sutan Malaka atau dikenal sebagai Tan Malaka. Jika ada yang mengatakan Tan Malaka adalah sosok “misterius” atau dalam istilah Goenawan “ada dan tiada” (lihat Kortem, 24 April), jelaslah itu cacat pertama yang membuat pentas sudah hilang makna. Tan Malaka bukan tokoh misterius, namun ada, nyata, dan menjadi pelaku sejarah yang melintasi separoh bulatan bumi, dan kian mewujud di negerinya sendiri. Jika kemudian ia kadang menyembunyikan identitasnya, yang melatari sebutannya sebagai sosok misterius, itu tak lain untuk keselamatan perjuangannya karena tak sedikit musuh-musuh politik yang mengincarnya, baik dari kalangan kolonial, feodal maupun bangsa sendiri yang berbeda ideologi. Jalan perjuangan di belakang layar sadar ia tempuh demi mencapai Indonesia Merdeka 100 % yang memperlihatkan bahwa ia jauh dari sosok haus jabatan, kekuasaan apalagi puji sanjung murahan. Memang pula kemudian ia jarang tersurat dalam sejarah resmi dan bahkan dalam beberapa hal berhadapan dengan anak bangsa sendiri, tapi itulah ironi hidup seorang anak manusia sebagai pejuang sejati. Mengangkat Tan Malaka dalam sebuah fenoemena pentas kolosal yang mewabah di
[R@ntau-Net] Manusia Stalin dan Kita
Manusia Stalin dan Kita oleh Indra J Piliang Maunya menonton pertandingan pamungkas FC Barcelona dan Real Madrid dalam semifinal Liga Champion. Tetapi apa nyana, HBO menayangkan satu film bagus dengan judul Stalin. Karena sepakbola bisa mengandalkan tayangan ulang pada jam istirahat, terutama gol-gol yang tercipta, terpaksa pilihan dijatuhkan kepada film Stalin. Apalagi, kalau disiarkan ulang, saya belum tentu bisa menontonnya. Tentu film hanyalah cuplikan-cuplikan kecil dari riwayat seorang Stalin. Belum lagi film harus mengandalkan unsur dramatik. Film yang mengandalkan tuturan putri Stalin ini, Svetlana Alliluyeva, dari istri kedua Nadezhda Alliluyeva. Apalagi Svetlana bukanlah sosok yang bisa masuk ke lingkungan terdekat politik ayahnya, mengingat ia masih kecil. Ibunya bunuh diri pada tahun 1932, ketika Svetlana berusia 9 tahun. Film ini lebih banyak berkisah tentang tragedi dalam keluarga Stalin, terutama ibu Svetlana. Stalin bertemu Nadezhda yang menjadi sekretarisnya, ketika ditugaskan oleh Lenin ke daerah selatan Moscow. Waktu itu usia Nadezhda masih 16 tahun. Misi Stalin sukses, yakni menenggelamkan sejumlah polisi pembangkang yang dipaku di dalam sebuah kapal. Stalin menjadi Sekjen Partai Komunis Sovyet pada tahun 1922, dua tahun sebelum kematian Lenin. Lenin mengalami stroke dan dijauhkan dari kehidupan politik. Dalam perebutan pengaruh sebelum dan setelah kematian Lenin, Stalin menghadapi sosok kuat Leon Trotsky, seorang pemimpin revolusi Bolshevik pada 1917 dan komandan Tentara Merah. Trotsky dan Stalin adalah dua pedang kembar Lenin yang sering berbeda pendapat dalam masalah apapun. Selengkapnya:' http://www.indrapiliang.com/2011/05/04/manusia-stalin-dan-kita/ Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net] ...Imajinasi tentang NII dan N11...
Imajinasi tentang NII dan N11 Oleh Indra J Piliang Kebetulan, Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Anggap saja saya sedang keranjingan menulis lagi. Tak apa toh? Kali ini kembali soal NII (Negara Islam Indonesia). Entah mengapa, berita tentang NII ini lebih banyak daripada masalah-masalah mendasar bangsa ini. Sebut saja yang menyangkut beragam kegagalan dalam Ujian Nasional yang beranggaran besar itu. Atau nasib dunia pendidikan yang tak juga membaik, setelah diguyur APBN sebesar 20%. NII aslinya dimunculkan oleh Kartosuwiryo, teman diskusi Soekarno. NII lahir pada tanggal 7 Agustus 1949. Lalu, muncul gerakan-gerakan lokal lain yang berimam ke Kartosuwiryo, yakni oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Beragam skripsi, tesis dan disertasi sudah ditulis menyangkut masalah ini. NII otomatis binasa setelah Kartosuwiryo ditembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada tahun 1962. Di atas kuburan Kartosuwiryo ditanami batang pohon pisang. Lebih lengkap, simak di: http://www.indrapiliang.com/2011/05/03/imajinasi-tentang-nii-dan-n11/ Indra J Piliang, The Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter: @IndraJPiliang -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
[R@ntau-Net]
http://www.indrapiliang.com/2011/05/02/tan-malaka-bukan-opera/ Tan Malaka Bukan OperaSenin, 2 Mei 2011Tan Malaka Bukan Opera Oleh Indra J Piliang Belakangan ini banyak muncul upaya untuk menjadikan sosok-sosok yang pernah mewarnai sejarah sebagai bahan dagelan. Mungkin malahan lebih dari itu, sekadar sketsa di kanvas yang basah. Setelah kering, hanya ditaruh di dinding yang lama kelamaan berdebu. Tanpa ada lagi semangat zaman. Hanya sekadar gumaman. Saya tidak tahu motif apa dibalik pementasan Opera Tan Malaka. Sejak semula, saya tak hendak menontonnya. Ada beberapa kawan yang menonton, baik yang berlatar belakang ilmu sejarah, maupun warga kebanyakan, termasuk yang berasal dari tanah Minang. Yang mereka tangkap hanyalah kebingungan. Opera yang tak bisa mereka pahami dengan baik. Kisah-kisah yang berlompatan. Saya juga membaca komentar Wakil Presiden Boediono yang menontonnya. Karya Goenawan Mohamad itu selalu tidak ringan, jadi saya tidak mengaku bisa menangkap semuanya, Ini karya yang berat bagi orang awam seperti saya, tapi benar-benar saya enjoy (menikmati- Red) tadi, kata Boediono (MetroTVNews.com). Pementasan yang berdurasi selama 1 jam itu tentulah berisi tafsiran. Baik syair-syair yang dibawa, ataupun musik yang dikemas. Saya hanya bisa membayangkan. Penjara demi penjara yang dihuni Tan Malaka, medan perang gerilya yang penuh dengan hutan rimba, pergerakan anak-anak muda revolusioner, serta rakyat jelata yang menjadi kecemasan Tan Malaka, tentu telah diubah menjadi pentas bercahaya. Tan Malaka tak lagi sesosok keajaiban zaman revolusi, lahir dari perantauan yang panjang, melainkan hanya syair dan musik yang biasa dinikmati kaum borjuis kota. Kehidupan masa kecil Ibrahim Tan Malaka adalah sebagaimana anak-anak Minang umumnya. Ia pintar mengaji, bahkan menjadi guru mengaji. Tentu di surau di nagarinya, Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ia bersekolah di Sekolah Raja Bukittinggi. Lalu, ia menjelajahi banyak negeri dan negara. Berjibaku dengan penyakit paru-paru, lalu sembuh di rantau nan jauh di Negara China. Jelas opera jauh dari kehidupannya. Ia memang pernah bersekolah di Belanda, lalu bertemu dengan aktifis-aktifis pergerakan negara-negara lain. Tapi jelas, Tan Malaka bukankah sosok yang suka hidup dengan dansa. Ia berbeda dengan Sutan Syahrir yang memang kadang ditemukan tertidur di tangga rumah keluarganya, usai pesta. Saya kira memang diperlukan buku yang menerangkan hubungan Tan Malaka dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya dengan music. Tidak hanya hubungan mereka dengan buku. Musik apakah yang disukai Tan, Syahrir, Muhammad Hatta, A Rivai, dan lain-lainnya itu? Apakah mereka pernah masuk ke ruang-ruang opera, sekadar merasakan bagaimana hidup dimaknai oleh bangsa-bangsa kolonial? Seberapa jauh musik memberi spirit bagi perjuangan mereka. Apakah di ruang kontrakan H Agus Salim yang sempit itu terdapat alat-alat musik? Tetapi, lagi-lagi, bukan opera tentunya. Apalagi opera yang khusus dikemas di zaman yang penuh kemasan ini. Bagaimana bisa seorang Tan Malaka yang selalu menyembunyikan identitas dirinya bersenandung musik tertentu yang dia dapatkan di Belanda? Bahkan, aksen asingnyapun dia berusaha tutupi. Hanya telinga orang-orang terlatih yang bisa menangkap bahwa sosok manusia tua yang ada di hadapan mereka itu adalah seseorang yang berpendidikan. Tan barangkali bisa berpakaian sebagaimana orang-orang kebanyakan, pada hari-hari penting tahun 1945. Tetapi, bagaimana ia menyembunyikan kemampuannya berbahasa asing, terutama Belanda dan Inggris, setelah pelariannya di banyak negara? Merdeka 100% bagi Tan Malaka adalah hapusnya feodalisme, selain kolonialisme. Satu ciri dari masyarakat feodal itu adalah kesukaan para pangeran atau tuan-tuan tanah menonton opera. Sosok nasionalis tulen seperti Tan tak mungkin menunjukkan diri sebagai bagian dari kelas feodal itu. Sejak ia berhenti dari jabatan sebagai guru bergaji Eropa di perkebunan Senembah, Tan jelas sudah menanggalkan sisi keeropaannya. Matanya jelas tak tahan melihat betapa tuan-tuan perkebunan Eropa dengan seenaknya menjadikan istri-istri dan anak-anak perempuan para koeli kontrak sebagai barang dagangan. Kurikulum pendidikan yang dibuat Tan Malaka lewat sekolah-sekolah Syarekat Islam di Semarang jelaslah tak memasukkan opera sebagai bahan ajaran. Kurikulum yang ditakuti oleh pemerintahan colonial Belanda itu jauh melampaui apa-apa yang kemudian dikerjakan oleh Paulo Freire atau Ivan Illich. Tan telah menerapkan dengan sangat baik bagaimana caranya agar pendidikan benar-benar adalah wahana pembebasan. Dia mendidik anak-anak, sebagai cikal bakal kelompok terpelajar yang nantinya menjadi tulang punggung bagi Indonesia merdeka. Apa nyana, Tan ditangkap karena aktivitasnya di dunia pendidikan itu. Dan ia lantas melewati penjara demi penjara. Apakah ada opera di penjara? Tentu tidak ada. Bagaimana penjara berisi opera, sementara dunia begitu
[R@ntau-Net] http://www.indrapiliang.com/2011/04/21/mas-franky-sungguh-saya-berhutang/
Mas Franky, Sungguh Saya BerhutangKamis, 21 April 2011 Mas Franky, Sungguh Saya Berhutang Oleh Indra J Piliang Untaian lagu seakan teman yang setia, setiap kali manusia berada dalam kesendiriannya. Bisa dibayangkan, bagaimana lagu (dalam artian keseluruhan menyangkut music, syair, nada, sampai irama dan penyanyinya) telah mengikat manusia dalam imajinasi tertentu. Barangkali tidak sepenuhnya sama dengan imajinasi yang dilantunkan oleh pencipta lagu. Tetapi, dalam sebuah “konser kecil” di dalam rumah kontrakan atau sedang berkemah di alam bebas, lagu-lagu tertentu telah menjadi identitas kolektif manusia. Tadi malam, saya bertemu untuk terakhir kali dengan jenazah Franky Sahilatua. Seorang musisi yang idealis. Seseorang yang diingat sebagai pejuang, bukan hanya lewat syair, melainkan juga dengan tindakan. Keterlibatannya hampir total dalam setiap kali ada pameran kepedulian terhadap masalah-masalah rakyat. Tidak heran kalau Franky tiba-tiba muncul dengan sosok yang lebih politis, sekalipun dengan kandungan kemanusian yang lengkap, pada hari-hari terakhir kehidupannya. Nama Franky Sahilatua akrab di telinga anak-anak remaja era 1980-an. Saya hanyalah salah seorang di antara anak-anak remaja itu, ketika menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA 2 Pariaman, Sumatera Barat. Dalam keterbatasan pergaulan, mengingat saya masuk jurusan A-1 (Fisika), alias anak-anak yang paling cerdas di sekolah (ehem), tentu tidak banyak sosok yang suka bersenandung di kelas kami. Satu yang saya ingat bernama Surya. Julukannya si Bulan, karena mukanya ada jerawat batu. Wajahnya yang putih memperlihatkan jerawat yang tak sembuh-sembuh itu. Si Bulan inilah yang suka bersenandung, duduk di belakang. Kalau ada kericuhan, si Bulan ini sering jadi tersangka. Barangkali karena asal SMP-nya yang minoritas pas SMA. Dia anak Pasaman. Saya tak ingat, apakah si Bulan ini suka bernyanyi lagu-lagu Franky. Yang jelas, perlahan saya memiliki koleksi kaset Franky Sahilatua. Ketika di kelas dua terjadi “perubahan identitas diri” dalam diri kami, yakni munculnya sikap individu yang semakin kuat, maka perlahan saya mendapat julukan si Franky. Ya, nick name. Nama itu mengacu kepada Franky Sahilatua. Teman-teman SMA lain juga memiliki nama panggilan diluar nama asli, seperti Bram, Ricci, dllnya. Tentu ada julukan tambahan, sesuai dengan ciri fisik seperti si Bulan. M Noval, misalnya, mendapat julukan si Peot, karena salah satu giginya lebih panjang dari gigi yang lain. Ada yang dapat julukan si Elang, karena hidungnya semancung hidung bule. Saya juga dapat julukan si Cengkok, karena tangan kiri saya patah sejak taman kanak-kanak di Mentawai. Jadi, untuk satu anak di SMA saya, ada tiga sebutan atau nama panggilan. Tapi jangan salah, tidak semua orang di lingkungan sekolah boleh memanggil si Franky atau si Cengkok. Harus yang benar-benar paling akrab. Misalnya, kalau Franky adalah sebutan yang “diijinkan” untuk lingkungan Kelas A-1 saja. Sementara si Cengkok, hanya boleh untuk teman-teman yang paling akrab atau genk di Kelas A-1. Ada anggota genk dari Kelas A-2, jago karate dan kung fu. Genk ini adalah untuk anak-anak yang pulang sekolah atau pergi sekolah saja. Anggota genk tidak selamanya harus satu kost. Nama teman satu kost saya adalah Syahrul, tetapi dia lebih banyak masuk genk anak-anak lain yang “lebih alim”. Dalam dinamika kehidupan seperti itulah kaset-kaset Iwan Fals, Ebiet G Ade, Chrisye, dan Franky Sahilatua muncul. Dan segera kaset-kaset itu membentuk komunitas penyenandung. Tentu ada juga grup-grup band lain, seperti Panbers, Salem (asal Malaysia). Acara olah suara masuk dalam agenda rutin berupa class meeting (pertandingan kesenian dan olahraga). Karena saya aktif juga di Pramuka, maka lagu-lagu balada menemani setiap kali ada kegiatan hiking, berkemah, dan lain-lain. Syair-syair dalam lagu Franky terasa lebih dekat dengan kehidupan saya sebagai anak kampung. Sejak sekolah dasar sampai SMA, pulang pergi ke rumah saya melewati sungai berair deras. Namanya Batang Naras. Baru tahun 2011 ini sebuah jembatan hadir di kampong saya. Bisa dibayangkan, setiap kali sungai banjir, lalu menyeberangi sungai atau mencari ikan, senandung kecil lagu-lagu balada otomatis akan menghiasi mulut. Namun, karena memang bukan penghafal yang baik, jarang lagu-lagu itu hafal seluruh baitnya. Syair lagu Ebiet G Ade memang juga bertema alam. Tetapi ada yang terasa hilang, konteks dari lagu-lagu itu tidak terlalu terlihat. Terlalu jauh ruang imajinasi yang harus disediakan, untuk bisa memahami syair-syair Ebiet G Ade. Sementara, untuk lagu-lagu Franky Sahilatua, terasa ada konteksnya “Surabaya yang panas”, “Kereta”, dan semacamnya. Begitu juga dengan lagu-lagu Iwan Fals, saya lebih menangkap maknanya ketika kuliah di UI. Ada “nuansa politik” dalam lagu-lagu Iwan. Sebagai anak kampong, tentu nuansa politis yang dibawa lagu-lagu Iwan Fals
[R@ntau-Net] IJP: Politik Bola, Bola Politik
Majalah Trust, 13 Januari 2011 Politik Bola, Bola Politik Oleh Indra J Piliang Dewan Penasehat The Indonesian Institute Akhir tahun 2010 ditandai dengan fatamorgana kebangkitan sepakbola Indonesia. Bola memasuki ruang publik sedemikian masif. Dunia infotainment yang semula diisi para artis atau kalangan yang dekat istana, kini mulai dihuni para olahragawan sepakbola. Euforia terjadi di bidang olahraga penuh talenta. Semua kalangan merasa perlu dekat dengan kalangan olahragawan ini. Yang tak kalah penting adalah gejala – yang dikatakan sebagian orang -- politik memasuki area sepakbola. Kata sebagian orang. Padahal, dari sisi siapa yang menangani sepakbola, itu bukan fenomena baru. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi juga memiliki klub sepakbola: AC Milan. Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra malahan sempat membeli klub Manchester City, Inggris. Silvio dan Thaksin pernah menghadapi situasi politik yang buruk. Kalah atau tersingkir. Atau hidup di pengasingan. Seniman dan sekaligus mantan Presiden Cekoslovakia Vaclav Havel pernah menyebut: politik itu kotor, puisi yang membersihkannya. Kini, dengan euforia bola, kita bisa juga mengatakan: politik itu kotor, bola yang menghiburnya. Apakah betul politisi Indonesia yang terjun ke dunia sepakbola – antara lain menjadi pengurus PSSI – benar-benar sedang mencari hiburan dengan bola? Ataukah ada yang lain? Kepentingan politik, misalnya? Di sini, politik diartikan sebagai upaya untuk membuat agar kehadiran seorang politisi di dunia bola, atau dukungan yang ia berikan kepada kegiatan sepakbola, akan berimbas kepada dukungan suporter kepada kepentingan politik sang politisi. Bahwa bola akan melahirkan para penguasa. Bagi saya, itu adalah guyonan. Tak ada korelasinya. Baik dalam praktek selama ini, ataupun dalam bentuk yang lebih ilmiah, katakanlah lewat mekanisme survei. Dalam pemilu legislatif 2009 lalu, misalnya, politisi mengeluarkan begitu banyak uang untuk membiayai beragam aktivitas olahraga. Apa lacur? Banyak politisi menjadi bangkrut, baik secara finansial, maupun secara politik. Politisi menghabiskan biaya banyak, tanpa balasan dukungan suara. Isu bola, sebagaimana dengan pemberantasan korupsi, termasuk tak populer bagi mayoritas pemilih. Pemilih lebih memperhatikan masalah-masalah mendasar seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Bahkan, isu-isu agamapun terabaikan. Bola lebih terkait dengan keintiman pribadi, ketimbang kepentingan kolektif atas nama politik. Jadi, upaya “men-sekuler-kan” hubungan antara bola dengan politik adalah usaha yang sia-sia. Toh, paling tidak di Indonesia, keduanya tak pernah benar-benar bersatu. Sejak lama bola dan politik tidak saling berhubungan. Rp. 500 Juta uang yang digunakan seorang kawan dalam liga sepakbola di dapilnya, hanya berbuah 4.000-an suara pemilih. Yang 4.000-an pemilih itupun bukan penonton sepakbola, tapi lebih banyak sanak-keluarga dekatnya. Nah, bandingkan kalau bantuan itu diberikan ke suatu pesantren atau komunitas tertentu, bisa jadi sebagai bentuk kesantunan sikap akan berbuah suara besar. Kegiatan menonton bola dan menyukai klub-klub tertentu adalah area yang lepas dari nuansa turun-naik tensi politik. Saya sejak lama menyukai Chelsea di Inggris, Inter Milan di Italia dan Barcelona di Spanyol. Saya menyukai Zola, Christian Vieri dan Rivaldo. Tapi tidak mesti kesukaan itu lantas memasuki dunia politik. Saya tidak pernah mau tahu pandangan-pandangan politik Zola, Vieri dan Rivaldo. Bola hanya mengajarkan tentang humanisme dalam bentuk yang lain. Tanpa perlu filsuf-filsuf moderen, bola memperlihatkan bagaimana kelas-kelas sosial pelan-pelan digerus dan menerima kebhinnekaan-budaya. Beberapa klub sempat menjadi rasis dengan tak menerima pemain-pemain berwarna, terutama dari Afrika. Dan itu masih di awal abad 21. Tetapi, perlahan, FIFA memperketat peraturan. Bola menjadi lebih ramah dengan kemajemukan. Bola menjadi medan perjuangan. http://www.indrapiliang.com/2011/01/18/politik-bola-bola-politik/ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting
[...@ntau-net] Kenapa Takut “Nyapres”?
Koran Tempo, 07 Januari 2011 Kenapa Takut “Nyapres”? Oleh Indra J Piliang Dewan Penasehat The Indonesian Institute Satu fenomena aneh dalam politik Indonesia kontemporer adalah melarang-larang orang jadi calon presiden atau “nyapres”. Keanehan itu malah dilakukan oleh elite politik. Kata mereka: belum saatnya bicara tentang calon presiden. Kata mereka lagi: tugas kita sekarang adalah bekerja untuk rakyat. Yang lebih ekstrim menyebut jauh lebih penting soal-soal ekonomi daripada politik. Pandangan dikotomis itu kurang tepat. Masing-masing bidang sudah jelas takarannya. Bagi pemerintah, diberikan porsi anggaran dan regulasi yang cukup untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Bagi pelaku ekonomi juga sama, memiliki banyak kebebasan dalam meraih keuntungan. Dalam era informasi serba terbuka sekarang, setiap individu ibarat masuk ke rumah makan Padang: mau kuah silakan, tak perlu bayar. Tapi kalau makan rendang, tentu lebih mahal dari sekadar ikan asin. Begitupun untuk pencapresan. Bukankah yang diperbincangkan hanya menyangkut sejumlah nama yang terbatas? Dimulai dari hasil survei, tersebutlah nama Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie, Sultan Hamengku Buwono X, Sri Mulyani Indrawati, Kristiani “Edhie Wibowo” Yudhoyono, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan lain-lain. Nama-nama “pelapis” juga ada: Anas Urbaningrum, Anies Rasyid Baswedan, Puan Maharani, Pramono Edhie Wibowo, Mahfud MD, Irman Gusman atau Marzukie Alie. Kalau diurut lagi, jumlahnya tidak akan sampai 20 nama. Nah, apakah perbincangan atas ke-20 nama itu menyita perhatian publik? Atau menyibukkan negara ini? Saya tidak yakin itu. Tanpa ada pemberitaanpun sebetulnya publik sudah menebak-nebak siapa capres yang layak. Zaman capres tunggal sudah lama lewat. Minim Waktu Pengalaman pilpres 2009 lalu menunjukan betapa minimnya jadwal resmi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya sekitar 3 bulan. Dalam waktu kasip itu, pekerjaan teknis berupa pembentukan Tim Kampanye Nasional makan waktu seminggu. Belum lagi penyusunan visi-misi pasangan capres-cawapres. Apabila capres-cawapres berasal dari partai politik berbeda, maka Timkamnas juga semakin membengkak. Dalam jadwal resmi KPU, pasangan capres-cawapres bisa berkampanye di 11 provinsi dalam sehari, sementara 22 provinsi lainnya adalah tempat dua pasangan lain. Bagaimana mengejarnya? Belum lagi, organisasi sosial kemasyarakatan, kaum profesional, kampus dan segala macam asosiasi mengundang para capres-cawapres. Kalau tidak datang dianggap tidak peduli dan dijelek-jelekan dalam konferensi pers. Nah, “kampanye dini” yang dimulai tahun ini anggap saja sebagai soft campaign. Visi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla dan Wiranto sudah diketahui publik, begitu juga Amien Rais, Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Agum Gumelar, Siswono Yudohusodo dan Solahuddin Wahid. Mereka pernah maju dalam pilpres 2004 dan 2009. Sejarah dua pilpres menunjukkan bahwa dari tiga pasangan capres-cawapres 2009 (6 orang), maka 4 orang pernah nyapres-nyawapres pada 2004. Hanya dua orang yang “baru”, yakni Boediono dan Prabowo Subianto. Tampaknya, hanya Prabowo Subianto yang akan maju dari 6 orang yang sudah maju di 2009 ini untuk 2014. Karena itu, bangsa ini membutuhkan figur-figur baru. Jangan sampai bangsa ini dipenjara oleh oligarki elite. Oligarki hanya masalah geraham, yakni jatuh dari mulut oligarki yang satu ke taring oligarki yang lain untuk kepentingan sempit semata. Bisa jadi penyanderaan seperti ini tak disengaja, muncul dari kesadaran publik yang secara jenjang pendidikan termasuk rendah di dunia. Agar lebih berimbang, “rekayasa publik” dengan mendukung bakal capres-cawapres dini jauh lebih memberi harapan untuk perbaikan. Kita tentu tak ingin lagi memilih presiden atau wakil presiden berdasarkan pencitraan semata. Belanja iklan yang gila-gilaan, apalagi sampai melakukan money politics, jelas akan merusak rasionalitas publik. Yang kita dapat adalah ketidak-jelasan atas agenda-agenda publik yang mau diselesaikan oleh capres-cawapres itu. Padahal, titik penting dari proses kampanye politik adalah tertautnya kepentingan publik dengan kepentingan kandidat yang diukur lewat visi dan misi. Tarung Ide Selain figur, bangsa ini membutuhkan visi dan misi yang lebih luas dan kaya. Minimal, kebinnekaan Indonesia terlihat dari kebinnekaan gagasan. Dua masalah besar sudah dicoba dijembatani oleh Presiden Gus Dur, yakni dunia agraris dan maritim. Gus Dur terlihat menonjolkan dunia maritim, termasuk dalam tubuh militer. Tapi hanya Gus Dur yang melakukan itu. Belum lagi pada persoalan-persoalan besar di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, atau masalah yang sebetulnya tersier: transportasi. Memperbincangkan visi kepresidenan seperti itu justru baik, sangat baik, bagi bangsa ini. Alangkah malunya bangsa ini, apabila dalam pilpres 2014 nanti masih membicarakan soal-soal usang seperti Jawa-Luar
[...@ntau-net] Kongres, Eh, Seminar
http://www.indrapiliang.com/2010/12/28/kongres-eh-seminar/ Harian Haluan, 27 Desember 2010 Kongres, Eh, Seminar Oleh Indra J Piliang Seorang kawan, Ibrani SH, meminta saya menjadi moderator acara Kongres Kebudayaan Minangkabau di Bukittinggi. Belum seminggu, saya mendapatkan informasi dari Marzul Very, KNPI Sumatera Barat, bahwa acara itu dibatalkan. Yang kemudian terjadi, Kongres Kebudayaan Minangkabau berubah menjadi Seminar Kebudayaan Minangkabau. Lokasi acara dipindahkan ke Padang. Selama dua malam saya menginap di Hotel Basko. Apa yang saya bayangkan betapa Kongres, eh, Seminar ini akan menjadi ajang bagi keluarnya “rudus” pandeka-pandeka Minang tidak terbukti. Minangkabau tetaplah wilayah kebudayaan yang lebih mengandalkan logika dan dialektika, ketimbang langkah empat dalam silat. Yang bersemangat hadir adalah kalangan perantau. Barangkali karena penyelenggara acara adalah Gebu Minang yang sudah berubah dari gerakan ekonomi ke gerakan kebudayaan. Sayangnya, kalangan yang justru banyak hadir adalah generasi “saisuak”. Anak-anak muda Minang entah kemana. Kebudayaan, pada titik ini, hanya bagian dari nostalgia kelompok-kelompok lama yang tak ingin melihat nagari demi nagari takluk kepada kebudayaan asing. Tanpa upaya untuk melakukan semacam “Kaoem Moeda Movement”, sebagaimana terjadi pada awal abad ke 20, kebudayaan hanya menjadi sekadar ritual, bukan tradisi yang bisa diperbaharui. Kongres Saya tidak tahu akar umbi penolakan atas rencana Kongres Kebudayaan Minangkabau. Maklumlah, saya sama sibuknya dengan jutaan anak-anak muda Minang lainnya di rantau dalam mengadu untuang badan. Yang saya tahu, anak-anak muda Minang bukanlah kelompok yang pengecut dalam berbicara. Ranah mengajarkan betapa perdebatan adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Kongres adalah ajang untuk bergelanggang mata orang banyak. Bersuluh matahari. Dan segala bentuk petatah-petitih lama bagi setiap orang dalam mengajukan pendapat. Ketika Kongres ditolak dengan beragam ancaman yang tidak perlu, saya membatin betapa kebudayaan Minang bak mahkota di kepala seorang raja atau kaisar. Kebudayaan Minang diperebutkan, tetapi barangkali hanya sebagai kebanggaan semu yang tak mampu memperlihatkan keadaban dalam berkomunikasi. Kalaulah ada masalah dalam penanggalan atau doktrin kebudayaan, kongres menjadi ajang untuk mempertukarkan gagasan. Beragam kongres kebudayaan di manapun tidaklah bisa menghasilkan satu keputusan tunggal. Kebudayaan juga bukanlah sesuatu yang bersifat material (semata), melainkan gabungan dari beragam unsur yang bahkan memasuki ranah agama dan ilmu pengetahuan. Kalau Kongres Kebudayaan Minangkabau tempo hari jadi dilaksanakan, maka catatan sejarah hanya akan menyebutnya sebagai Kongres Kebudayaan Minangkabau Pertama. Alias nanti bisa dilaksanakan untuk kedua, ketiga, atau keseratus kalinya. Setiap kongres bisa berisikan tema-tema yang berlainan atau mengulang tema yang sama untuk lebih dipertajam. Dengan cara begitu, kalau kongres adalah ajang sekali setahun atau sekali dalam dua tahun, perbincangan menyangkut kebudayaan Minangkabau akan terus ada. Seminar Ketika Kongres berubah menjadi Seminar, saya kira persoalannya lebih kepada kompromi kepada ketidak-mengertian. Harga diri panitia memang ikut-ikutan, tetapi bukan unsur utama. Dengan seminar, jawaban sudah diberikan betapa kehadiran pemikiran apapun sebetulnya bukan ancaman. Pemikiran bisa dikoreksi, kesepakatan bisa diurai kembali. Dari sisi format, sebetulnya seminar yang digelar belum maksimal. Makalah yang dibagikan terlalu sedikit, bercampur antara isu-isu kebudayaan, penanganan bencana, serta kawasan laut dan pesisir. Pembagian peserta ke dalam sejumlah komisi juga berdasarkan isu-isu kebudayaan dan non kebudayaan tadi. Tampak sekali panitia berusaha untuk mempertahankan apapun yang bisa dipertahankan. Ke depan, kita membutuhkan seminar lagi. Yang lebih lama. Yang lebih besar. Dengan makalah yang lebih banyak. Kalau perlu, setiap bupati dan walikota di Sumbar menyampaikan makalah. Kalau tidak ada makalah, bupati dan walikota bisa menyampaikan masalah-masalah kebudayaan di masing-masing kabupaten dan kota. Mau lebih banyak lagi, langsung ke tingkat nagari. Alangkah eloknya bila masing-masing wali nagari menyampaikan makalah, sementara para ahli, baik dari kalangan kampus atau budayawan lain justru menjadi pendengar dan perumus. Perbincangan akan jauh lebih hangat, apabila yang berbicara adalah langsung suara dari akar umbi kebudayaan Minang itu sendiri, yakni sosok-sosok yang bergelimang lunau di sawah, sinaran matahari pantai atau kedinginan di gunung tinggi. Riset Yang juga tak kalah penting adalah riset-riset kebudayaan. Kita layak semakin galau, ketika kian sedikit putra-putri ranah Minang yang ikut dalam kompetisi penulisan ilmiah populer di luar Minang. Andrinof Chaniago, seorang dosen Universitas Indonesia, sering mengeluh tentang ketiadaan makalah-makalah dari
[...@ntau-net] Presiden SBY dan Pidato Yogyakarta
http://www.indrapiliang.com/2010/12/10/presiden-sby-dan-pidato-yogyakarta/ Koran Tempo, 10 Desember 2010 Presiden SBY dan Pidato Yogyakarta Indra J. Piliang DEWAN PENASIHAT THE INDONESIAN INSTITUTE Agak sulit menemukan lagi sisi lain dari persoalan Yogyakarta, yang sudah dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Na mun, agar masalah ini tidak terusmenerus muncul, perdebatan yang lebih jernih perlu dilakukan. Apalagi, secara substantif, masalah Yogyakarta ini memicu beragam tafsiran dari banyak elemen. Ada dua hal yang layak didiskusikan. Pertama, status Yogyakarta sebagai daerah istimewa di tingkat provinsi. Kedua, status Keraton Ngayogyakarta dan Pakualaman. Sebagai daerah istimewa, Provinsi Yogyakarta tentu memiliki perbedaan kewenangan, dibandingkan dengan daerah lain, yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keistimewaanitu juga berupa kedudukan Keraton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman dalam sistem pemerintahan yang dibangun. Masalah menjadi rumit ketika daerah istimewa dan kesultanan dipimpin oleh orang yang sama. Kerumitan itu terjadi ketika pemerintah mendapat informasi bahwa Sultan Hamengku Buwono (HB) X tidak lagi berminat memperpanjang masa jabatannya pada 2011. Selama ini Sultan HB IX dan Sultan HB X adalah Gubernur DIY. Bahkan, ketika Sultan HB IX menjadi Wakil Presiden RI, sampai tidak lagi bersedia dicalonkan lagi pada 1978, Sultan HB IX tetap menjadi Gubernur DIY secara de jure. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah pusat menginginkan proses pemilihan langsung Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY berisi opsi pemilihan langsung itu. Terdapat dua rancangan yang belum diputuskan, yakni pemilihan oleh rakyat atau pemilihan oleh DPRD Provinsi DIY. Di dalamnya juga diatur tentang persetujuan Sultan Ngayogyakarta atas caloncalon Gubernur DIY. Sama sekali belum ada keputusan final. Kementerian Dalam Negeri masih terus menyusun draf resmi pemerintah. Tradisi baru Apa yang dicoba disampaikan oleh Presiden Yudhoyono sebetulnya tidak dengan sendirinya menghilangkan keistimewaan Yogyakarta. Itu hanya lontaran pemikiran biasa. Hanya, dari sisi pilihan waktu, Presiden Yudhoyono kurang mempertimbangkan faktor psikologis akibat bencana Gu nung Merapi. Selain itu, jarang substansi RUU disampaikan langsung oleh Presiden Yudhoyono. Nah, apakah hal ini akan menjadi tradisi baru? Yakni Presiden menyampaikan pandangan-pandangan umum dan khusus atas sebuah rencana legislasi di parlemen. Kalau benar, apakah hanya keterangan pers atau langsung dikemas dalam bentuk pidato resmi? Biasanya Presiden hanya menyampaikan pidato setiap tanggal 16 Agustus. Pada awal menjadi presiden,Yudhoyono memang menyampaikan pidato awal tahun. Tapi upaya itu tidak menjadi tradisi. Kritik banyak kalangan atas substansi pidato memicu persoalan di lingkaran dalam pemerintahan. Presiden Yudhoyono lalu menguranginya secara drastis. Pidato yang panjang hanya dilakukan dalam sedikit kesempatan. Kali ini publik, yang diwakili pers, yang merasa kekurangan informasi. Apalagi sosok-sosok di sekeliling Presiden terkadang enyampaikan informasi yang tak akurat. Keinginan mendengarkan informasi langsung dari Presiden dijawab dengan sejumlah keterangan pers di Istana Negara. Khusus untuk masalah dengan Malaysia, Presiden Yudhoyono memilih berpidato di Markas Besar TNI, Cilangkap. Sejumlah istana di luar Istana Negara juga dimanfaatkan untuk memberikan keterangan pers, seperti Bali dan Yogyakarta.Yang jarang dilakukan adalah memberikan informasi di atas pesawat, sebagaimana Presiden Gus Dur. Sebuah foto yang beredar menunjukkan bahwa Presiden Yudhoyono lebih suka bermain gitar di atas pesawat ketimbang memberikan keterangan pers. Kalau setiap RUU dipidatokan oleh Presiden Yudhoyono, sepertinya ia akan menuai kontroversi yang luas. Hanya, kontroversi itu lebih substantif dan edukatif ketimbang berbicara menyangkut kebijakan jangka pendek. Untuk itu, Presiden Yudhoyono layak didorong untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran menyangkut RUU lainnya, namun dengan pertimbangan waktu yang tepat. Pendidikan politik Pidato-pidato yang baik adalah panggung pendidikan politik yang baik. Buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Ir Sukarno tidak mungkin lahir, begitu juga buku-buku Muhammad Hatta, tanpa ada pidato. Bangsa ini semakin terjebak dalam masalah-masalah jangka pendek sehingga, untuk memanjangkan ingatan, diperlukan pidato-pidato yang serius. Sejumlah pidato kebudayaan memang hadir dan dilakukan oleh sejumlah kalangan. Hanya, semakin ke sini semakin terlihat kenyinyiran isi pidato-pidato kebudayaan itu. Boleh dikatakan pidato-pidato itu pun semakin heavy politics.Yang lebih mencengangkan, politikus dijadikan olok-olok, sembari mengutip Sukarno atau Muham mad Hatta, yang juga politikus puritan. Kembali ke pidato Presiden Yudho yono soal Yogyakarta, alangkah baik nya jika hal itu
[...@ntau-net] Monarki Yogyakarta: Apanya?
http://www.indrapiliang.com/2010/12/01/monarki-yogyakarta-apanya/ Sindo, Tuesday, 30 November 2010 Monarki Yogyakarta: Apanya? oleh Indra J Piliang Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut istilah monarki,Sultan Hamengku Buwono X langsung bereaksi. Apakah Presiden SBY mengetengahkan sebutan monarki itu kepada Yogyakarta ataukah kepada ratusan utusan kerajaankerajaan lama yang sedang berkumpul di Palembang, Sumatera Selatan? Pemberitaan media menyebut berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta. Presiden SBY membawa persoalan ini terlalu jauh yakni membenturkan antara demokrasi dan monarki.Seolah-olah monarki bertentangan dengan demokrasi. Padahal, dari data yang dikeluarkan oleh Freedom House, sebagian besar negara di Eropa, Amerika Serikat,Amerika Latin, termasuk Indonesia dan India di Asia,adalah negara yang masuk kategori bebas atau free dengan warna hijau (www.freedomhouse.org). Dengan kategori itu, negara-negara monarki di Eropa adalah juga negara demokratis. Perdebatan sejumlah politisi membuka tabir yang sebenarnya dari ucapan Presiden, yakni menyangkut penetapan atau Pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama ini jabatan itu langsung diberikan kepada Kesultanan Yogyakarta,dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan Sultan HB X. Pemikiran yang muncul dalam rapat Kabinet Indonesia Bersatu II menyimpulkan bahwa penetapan itu membawa kepada sistem monarki dan antidemokrasi. Lima Sistem Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, kita mengenal lima sistem atau model pemerintahan daerah. Kelimanya adalah: (1) Daerah Istimewa Yogyakarta serta Aceh di masa lalu; (2) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; (3) Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat; (4) Daerah Self Government Aceh, dan (5) Daerah Otonom yang berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat 28 provinsi. Tujuh provinsi meminta disebut sebagai Provinsi Kepulauan,namun masih negosiasi dengan pemerintah pusat. Dengan model itu, Jakarta, Aceh, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta diatur dengan undangundang yang berbeda dengan UU No 32/2004.Untuk Aceh,misalnya, diterapkan syariat Islam bagi kaum muslim dan keterlibatan partai politik lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu nasional. Untuk Papua dan Papua Barat,gubernur hanya boleh berasal dari ras Melanesia, serta dibentuk Majelis Rakyat Papua yang tidak ada di provinsi lain. Jakarta tidak memiliki DPRD Kota, begitu juga wali kota ditetapkan tidak melalui proses pilkada. Beragam variasi itu menunjukkan bahwa Indonesia memang menganut paham Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya dalam budaya, melainkan juga sistem pemerintahan daerahnya. Karena itu, banyak pihak sepakat bahwa penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY tidak bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi. Penetapan itu bagian dari sejarah bangsa dan negara Indonesia yang memang tidak seragam. Dengan keberadaan UU yang mengikat Yogyakarta selama ini,sebutan terjadi monarki sungguh tidak biasa. Strategi Budaya Keindonesiaan tidak dibangun dalam semalam. Almarhum Nurcholish Madjid menulis, betapa Indonesia diimpit oleh minimal empat gelombang kebudayaan,mulai dari zaman batu, agraris, industri, sampai zaman teknologi informasi. Ibarat anak-anak dan manusia dewasa, Indonesia bukan berasal dari umur yang sama. Kita belum lama menyaksikan kemerdekaan Timor Timur menjadi Negara Timor Leste, sembari melihat konflik bersenjata berakhir di Aceh. Maka, alangkah ahistorisnya kalau perdebatan menyangkut status pemilihan atau penetapan Gubernur DIY dibawa ke dalam konsep monarki atau bukan.Yogyakarta adalah sedikit dari provinsi yang terkenal atau dikenali oleh rakyat Indonesia. Selain kota atau daerah pelajar, Yogyakarta memiliki banyak seniman. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa yang menjaga Yogyakarta tetap seperti Yogyakarta sekarang adalah menyatunya Sultan HB IX dan Sultan HB X dengan posisi sebagai Gubernur Yogyakarta. Perlindungan terhadap kebudayaan lokal terjadi dengan baik. Kalau diperhatikan, kerajaankerajaan lama masih hidup di berbagai daerah. Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono bahkan mendapat gelar yang sering disebut sebagai simbol feodalisme itu. Persoalan utamanya, seringkali pengaruh kerajaan-kerajaan lama itu tidak sampai ke masyarakat, hanya di seputar Istana. Sementara pengaruh Sultan HB IX dan HB X sampai di masyarakat Yogyakarta. Tahun 1998, misalnya, Sultan HB X berhasil menenangkan masyarakat Yogyakarta sehingga kerusuhan tidak terjadi.Di DKI Jakarta, toserba bermerek Yogya banyak hangus terbakar. Sekalipun kerajaan-kerajaan lama itu kurang berpengaruh secara politik dan pemerintahan,namun di bidang kebudayaan sangat penting artinya.Tidak semua pimpinan daerah memahami kebudayaan dengan baik,apalagi di zaman demokrasi ultraliberal dewasa ini. Sejumlah kepala daerah dari kalangan pengusaha, misalnya, dengan serta merta hanya berorientasi kepada ekonomi
[...@ntau-net] IJP: Obama dan Sate Padang
http://www.indrapiliang.com/2010/11/19/obama-dan-sate-padang/ Harian Haluan, 19 November 2010 Obama dan Sate Padang Oleh Indra J Piliang Dewan Penasehat The Indonesian Institute Ada satu pesan di twitter penulis, ketika Barack Obama pidato di Universitas Indonesia, tanggal 10 November 2010. Bunyinya, kurang lebih: “Menurut informasi rahasia, Obama tidak suka sate Padang, Bang. Terlalu pedas.” Penulis tidak membalasnya, saking terpaku untuk menggali inti pidato Obama itu. Obama sering menyebut kata “Sate” dalam membicarakan Indonesia. Dengan banyak orang Indonesia yang menemuinya, baik di Amerika Serikat ataupun di Indonesia. Tapi tidak begitu jelas, sate apa yang dimaksud oleh Obama. Bagaimanapun, Indonesia memiliki banyak sate dan soto. Sate Padang, sate ayam, sate kambing, sate rusa (di Merauke, Papua), sate Madura, sate Bali, dan lain-lain. Setiap sate itu berbeda rasa, berbeda kemasan, berbeda daerah. Sate adalah wujud binneka tunggal ika (17 huruf) yang disebut Obama dalam pidatonya. Bukan bhinneka tunggal ika (18 huruf), sebagaimana diketahui selama ini. Dalam buku “6000 Tahun Sang Merah Putih” yang terbit tahun 1953, Muhammad Yamin jelas mengeja 17 huruf itu, ketimbang yang dipakai kini yang 18 huruf itu. Kenapa sate jadi bagian dari binneka tunggal ika itu? Karena sate ditusuk pakai lidi. Orang sering mengatakan bahwa lidi kalau sendiri mudah patah, sementara kalau bersama akan kuat dan bisa menjadi sapu. Tetapi, semakin jarangnya orang Indonesia memakai sapu lidi, menyebabkan masyarakat makin melupakannya. Sapu lidi mungkin kehilangan sumberdaya utama, yakni pohon-pohon kelapa. Di kota-kota besar, lidi dari pohon kelapa itu digunakan untuk menusuk sate. Lidi yang sama menusuk sate apa saja, terutama sate dari daging sapi. Sate Padang salah satunya. Untuk menusuk daging kambing, biasanya digunakan lidi yang terbuat dari bambu. Di luar Sumbar, bahkan daging ayampun ditusuk dengan bambu, bukan dengan lidi pohon kelapa. Bisa dikatakan, Sate Padanglah kolaborasi ideal antara lidi pohon kelapa dengan daging sapi atau kerbau. *** Obama bukan seorang Indonesianis atau yang belajar lama tentang Indonesia. Ia tetaplah seorang warga negara Amerika Serikat yang memandang Indonesia dan keindonesiaan sebagai hal penting. Lebih dari itu, Ia adalah bocah berusia 6 tahun ketika pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1967. Kini, Ia tak lagi bocah di usia jelang 50 tahun. Ia presiden di negara terkuat di dunia. Andai Obama adalah Indonesianis atau sejarawan, bisa dibayangkan bagaimana indahnya Ia orasi tentang Indonesia. Pidato yang disampaikan di Universitas Indonesia itu saja sudah menggetarkan. Tentu, bagi orang-orang yang tak pernah mengikuti pidato Obama. Sekalipun menggunakan teleprompter, Obama bisa menyelipkan kata-katanya sendiri. Ia terikat kepada sejumlah teks dalam teleprompter, tetapi Ia juga jenius merangkai kata-kata sendiri. Langsung. Genuine. Asli. Binneka Tunggal Ika diingat(kan) Obama tentang keindonesiaan. Sebuah negara besar di antara dua samudera: Hindia dan Pasifik. Sebuah negara yang oleh satu buku disebut sebagai “ciri” Benua Atlantis yang hilang. Pembangunan, demokrasi, relegiusitas, adalah tiga pokok pikiran yang tak asing lagi, tapi diulang Obama. Obama bukan hanya, “Pulang kampung, nih”, tetapi juga memulangkan sejumlah kosa-kata yang jarang dipakai oleh Presiden Republik Indonesia, sekalipun. Pidato resmi dengan teks-teks sakral, tetapi tak membuat kantuk. Andai Obama adalah sejarawan, tentu akan dengan mudah mengingat bahwa Indonesia tak bisa menggantungkan diri kepada diri sendiri. Dalam buku The Audacity of Hope, Obama telah mengurai itu: Indonesia yang kehilangan dirinya akibat pilihan-pilihan strategis kepentingan dunia. Indonesia yang berayun terus, dalam arus badai utara dan timur, di belahan selatan. *** Kembali ke tusuk sate, bagaimana mengartikan pidato Obama itu? BinnekaTunggal ika adalah jejak yang bersumber dari penggalian atas artefak-artefak di masa lalu. Walau tak memberi pengaruh apa-apa pada sekitar tahun 1945, Binneka Tunggal Ika adalah aksara yang masih utuh. Ia diingat, dari kisah-kisah lama. Ia terpahat, di dalam candi-candi alam tropis yang masih bertahan. Muhammad Yamin menggali istilah Binneka Tunggal Ika itu. Putra Talawi itu memang gigih, segigih para penambang batu-bara di Sawahlunto. Bukan hanya itu, Yamin menyigi arti burung garuda sebagai lambang negara, sekaligus juga merah-putih sebagai bendera negara. Hampir seluruh dimensi diurai. Teknik yang dipakai Yamin adalah menyama-nyamakan apa yang dia pikir sebagai keindonesiaan itu, dengan setiap hal yang ada di setiap daerah. Termasuk makanan, seni, petatah-petitih, ataupun jenis-jenis burung dan binatang lainnya. Yamin adalah seorang penggali. Ia ikat lagi serakan-serakan atau sobekan-sobekan pengetahuan atau dokumen pikiran dalam sejarah Indonesia. Ia telanjur menyebutnya sebagai sejarah. Dalam bentuk lebih
[...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria
http://www.indrapiliang.com/2010/11/08/antara-mentawai-dan-bavaria/ Harian Haluan, 08 November 2010 Antara Mentawai dan Bavaria Oleh Indra J Piliang Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional HKTI 2010-2015 Terkejut. Itu reaksi yang pertama muncul ketika mengetahui Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno berangkat ke Jerman pada hari ke-7 tsunami Mentawai. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pers baru menginformasikan setelah Gubernur Irwan berangkat atau malah sudah tiba di Jerman. Penulis sendiri tidak terlalu menyadari, ketika Lukman Alex (Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar) menyampaikan lewat twitter tentang kepergian itu. Pesan Alex tidak begitu jelas, karena menyitir pertanyaan novelis Akmal Nasery Basral tentang PDRI. Alex memplesetkan istilah PDRI itu dengan kabar keberangkatan Gubernur Irwan ke Jerman. Baru siang harinya penulis paham, begitu informasi kepergian itu menyebar di media online. Lalu, kabar-kabar itu semakin banyak, termasuk lewat media sosial seperti twitter dan facebook. Tentu juga lewat mailing list dan blackberry messanger. Dalam waktu cepat, berita itu masuk ke dalam pemberitaan media massa elektronik, terutama televisi. Dan lalu berkembang terus ke media cetak. Gelombang kritikan begitu deras atas kepergian itu. Ironisnya, klarifikasi justru datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merilis kronologis dan agenda Gubernur Irwan di Jerman. Herannya, rilis resmi dari Humas Pemda Sumbar-pun tidak terbaca. Para menteripun ikut berbicara, mulai dari Menteri Dalam Negeri sampai Menteri Sekretaris Kabinet. DPR menimpali. Yang belum bicara: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bavaria Kenapa cerita awal itu penting? Mengingat masalah kepergian Gubernur Irwan ke Jerman hadir dari proses, bukan tiba-tiba saja muncul dalam ranah kesadaran publik. Seandainya tidak ada tsunami di Mentawai, mungkin orang-orang tak akan bertanya kemana gubernur pergi. Kepergian Gubernur Kaltim ke China, misalnya, diributin publik mengingat status sebagai tersangka kasus korupsi. Begitu juga orang-orang ribut dengan kepergian tersangka pelaku penyuapan anggota DPR RI Nunun, istri Adang Dorodjatun, ketika berobat ke Singapura. Ketika membaca artikel ini, apakah kita tahu siapa saja kepala daerah yang ada di tempat? Ataukah siapa saja yang meninggalkan daerahnya, dengan alasan dinas luar? Kalaupun diributkan, tentu yang paling dilacak adalah yang pergi ke luar negeri. Mengapa luar negeri? Mengingat luar negeri selalu diasosiasikan sebagai tempat yang lebih baik dari Indonesia. Luar negeri menjadi semacam obat si tawar dan si dingin untuk masalah apapun di dalam negeri. Tak terkecuali juga sebagai tempat istirahat. Padahal, belum tentu luar negeri adalah segalanya. Timor Leste dan Papua Nugini juga masuk kategori luar negeri, namun sedikit pejabat yang ke sana. Sejauh yang kita tahu, masyarakat ribut dengan luar negeri itu di tengah kontroversi menyangkut fasilitas yang dimiliki oleh penyelenggara negara. Untuk investasi, misalnya, terlalu mudah pejabat negara menebarkan umpan, di laut yang belum tentu ada ikannya. Dan hal ini sama saja dengan studi banding para anggota parlemen ke tempat yang belum tentu memberi makna akan kebijakan yang hendak dilihat. Gubernur Irwan diundang oleh Duta Besar RI di Jerman. Bukan oleh investor. Investor diundang oleh Pak Dubes di dalam acara seminar. Di sela presentasi soal potensi investasi di Sumbar kepada investor Jerman, Gubernur Irwan dijadwalkan bertemu dengan Gubernur Negara Bagian Bavaria. Daerah asal Adolf Hitler dan disebut sebagai pusat aktivitas ras Arya dalam Perang Dunia Kedua itu tentulah menarik dijadikan sebagai sister city dengan Sumatera Barat. Nah, siapa yang memberi tawaran sister city itu? Sumbar atau Bavaria? Apa gunanya? Mentawai Sebetulnya, publik lebih terkejut dengan informasi tentang Mentawai. Kalau dilacak pernyataan demi pernyataan Gubernur Irwan, pada Rabu (26 Oktober) pagi belum diketahui ada tsunami di Mentawai. Penulis masih ikut konvoi mobil Gubernur Irwan dari lampu merah Kampung Apa, Pariaman, menuju Lubuk Basung. Seiring dengan informasi lapangan, pernyataan itu mengalami perubahan. Ketika awal, gelombang protes sempat muncul tentang peringatan tsunami yang dicabut oleh pejabat resmi. Mengingat gambar-gambar tsunami Mentawai semakin banyak diketahui, protes itupun mengendap. Media lebih tertarik dengan berita mutakhir dari lapangan. Angka-angka kematian dirilis. Komunikasi yang semula terhambat, mulai terang. Semua bergerak. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat di seluruh Indonesia dan dunia. Lalu, mulailah fase tanggap darurat. Korban-korban didata. Sebagian dievakuasi. Para relawan berdatangan. Sebagian besar menjerit, mengingat sulitnya medan. Sekalipun ada yang langsung naik kapal dari Tanjung Priok, Jakarta, misalnya, tetapi mereka mendarat di Sikakap. Segera, Sikakap dipenuhi relawan, wartawan, peneliti ataupun orang-orang yang
Re: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria
Wa'alaikum salam Saya dekat dg BA-1, BA-2, dan BA-BA yg lain. Emang kenapa? Saya nggak sedang bulan madu. Belum ada rencana. Ada yang larang nulis ini di palanta? Itu kan permintaan2 yg sudah biasa bertahun2. Dan setahu saya tak ada hak moderator menutup atau membuka. Biasa saja. IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 6:07 AM Assalammualaikum wr wb Saya dengar pak Indra J Piliang dikenal dekat dengan BA 2, apakah bulan madu sudah selesai? wasalam AZ - 32 th Padang (saya kira thread tentang BA 1 ke Jerman sudah berakhir di palanta ini) Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: Lisi l...@yahoogroups.com; fora...@yahoogroups.com Cc: koran-digi...@googlegroups.com; RantauNet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 16:19:06 Judul: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria http://www.indrapiliang.com/2010/11/08/antara-mentawai-dan-bavaria/ Harian Haluan, 08 November 2010 Antara Mentawai dan Bavaria Oleh Indra J Piliang Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional HKTI 2010-2015 Terkejut. Itu reaksi yang pertama muncul ketika mengetahui Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno berangkat ke Jerman pada hari ke-7 tsunami Mentawai. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pers baru menginformasikan setelah Gubernur Irwan berangkat atau malah sudah tiba di Jerman. Penulis sendiri tidak terlalu menyadari, ketika Lukman Alex (Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar) menyampaikan lewat twitter tentang kepergian itu. Pesan Alex tidak begitu jelas, karena menyitir pertanyaan novelis Akmal Nasery Basral tentang PDRI. Alex memplesetkan istilah PDRI itu dengan kabar keberangkatan Gubernur Irwan ke Jerman. Baru siang harinya penulis paham, begitu informasi kepergian itu menyebar di media online. Lalu, kabar-kabar itu semakin banyak, termasuk lewat media sosial seperti twitter dan facebook. Tentu juga lewat mailing list dan blackberry messanger. Dalam waktu cepat, berita itu masuk ke dalam pemberitaan media massa elektronik, terutama televisi. Dan lalu berkembang terus ke media cetak. Gelombang kritikan begitu deras atas kepergian itu. Ironisnya, klarifikasi justru datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merilis kronologis dan agenda Gubernur Irwan di Jerman. Herannya, rilis resmi dari Humas Pemda Sumbar-pun tidak terbaca. Para menteripun ikut berbicara, mulai dari Menteri Dalam Negeri sampai Menteri Sekretaris Kabinet. DPR menimpali. Yang belum bicara: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bavaria Kenapa cerita awal itu penting? Mengingat masalah kepergian Gubernur Irwan ke Jerman hadir dari proses, bukan tiba-tiba saja muncul dalam ranah kesadaran publik. Seandainya tidak ada tsunami di Mentawai, mungkin orang-orang tak akan bertanya kemana gubernur pergi. Kepergian Gubernur Kaltim ke China, misalnya, diributin publik mengingat status sebagai tersangka kasus korupsi. Begitu juga orang-orang ribut dengan kepergian tersangka pelaku penyuapan anggota DPR RI Nunun, istri Adang Dorodjatun, ketika berobat ke Singapura. Ketika membaca artikel ini, apakah kita tahu siapa saja kepala daerah yang ada di tempat? Ataukah siapa saja yang meninggalkan daerahnya, dengan alasan dinas luar? Kalaupun diributkan, tentu yang paling dilacak adalah yang pergi ke luar negeri. Mengapa luar negeri? Mengingat luar negeri selalu diasosiasikan sebagai tempat yang lebih baik dari Indonesia. Luar negeri menjadi semacam obat si tawar dan si dingin untuk masalah apapun di dalam negeri. Tak terkecuali juga sebagai tempat istirahat. Padahal, belum tentu luar negeri adalah segalanya. Timor Leste dan Papua Nugini juga masuk kategori luar negeri, namun sedikit pejabat yang ke sana. Sejauh yang kita tahu, masyarakat ribut dengan luar negeri itu di tengah kontroversi menyangkut fasilitas yang dimiliki oleh penyelenggara negara. Untuk investasi, misalnya, terlalu mudah pejabat negara menebarkan umpan, di laut yang belum tentu ada ikannya. Dan hal ini sama saja dengan studi banding para anggota parlemen ke tempat yang belum tentu memberi makna akan kebijakan yang hendak dilihat. Gubernur Irwan diundang oleh Duta Besar RI di Jerman. Bukan oleh investor. Investor diundang oleh Pak Dubes di dalam acara seminar. Di sela presentasi soal potensi investasi di Sumbar kepada investor Jerman, Gubernur Irwan dijadwalkan bertemu dengan Gubernur Negara Bagian Bavaria. Daerah asal Adolf Hitler dan disebut sebagai pusat aktivitas ras Arya dalam Perang Dunia Kedua itu tentulah menarik dijadikan sebagai sister city dengan Sumatera Barat. Nah, siapa yang memberi tawaran sister city itu? Sumbar atau Bavaria? Apa gunanya? Mentawai Sebetulnya, publik lebih terkejut dengan informasi tentang Mentawai. Kalau dilacak pernyataan demi pernyataan
Re: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria
Oh, bagus. Observasi yang bagus. Silakan ditulis. Tulisan anda saja sudah bagus di sini, kenapa butuh bantuan saya? Itu membantu reputasi anda :) IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 6:47 AM Menurut saya kalau ingin pak IJP ingin menulis, ada bahan yang jauh lebih bagus dari topik kepergian BA 1 ke Jerman, yaitu hotel khusus prostitusi di kota Padang yang kita kenal dengan ranah ABS SBK ini, kebetulan jaraknya tidak jauh hanya 115 meter 250 meter dari pintu masuk gubernuran. Untuk observasi saya bisa traktir pak IJP ke hotel terakhir, sebab tarifnya tidak terlalu mahal, hanya Rp. 70.000,- Saya yakin ini progress yang sangat baik untuk pak IJP pada pemilu 2014 mendatang. Bagaimana? Kalau pak IJP takut dengan pengelolanya, saya kira bisa menemani pak IJP selama ekspos berita tentang hotel khusus prostitusi itu. salam ta'zim. wasalam AZ - 32 th Padang (yang saya maksud bulan madu adalah BA 1 2, saya kira bulan madu tentu bagi yang menikah secara politik) Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: rantaunet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 18:14:48 Judul: Re: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria Wa'alaikum salam Saya dekat dg BA-1, BA-2, dan BA-BA yg lain. Emang kenapa? Saya nggak sedang bulan madu. Belum ada rencana. Ada yang larang nulis ini di palanta? Itu kan permintaan2 yg sudah biasa bertahun2. Dan setahu saya tak ada hak moderator menutup atau membuka. Biasa saja. IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 6:07 AM Assalammualaikum wr wb Saya dengar pak Indra J Piliang dikenal dekat dengan BA 2, apakah bulan madu sudah selesai? wasalam AZ - 32 th Padang (saya kira thread tentang BA 1 ke Jerman sudah berakhir di palanta ini) Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: Lisi l...@yahoogroups.com; fora...@yahoogroups.com Cc: koran-digi...@googlegroups.com; RantauNet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 16:19:06 Judul: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria http://www.indrapiliang.com/2010/11/08/antara-mentawai-dan-bavaria/ Harian Haluan, 08 November 2010 Antara Mentawai dan Bavaria Oleh Indra J Piliang Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional HKTI 2010-2015 Terkejut. Itu reaksi yang pertama muncul ketika mengetahui Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno berangkat ke Jerman pada hari ke-7 tsunami Mentawai. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pers baru menginformasikan setelah Gubernur Irwan berangkat atau malah sudah tiba di Jerman. Penulis sendiri tidak terlalu menyadari, ketika Lukman Alex (Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar) menyampaikan lewat twitter tentang kepergian itu. Pesan Alex tidak begitu jelas, karena menyitir pertanyaan novelis Akmal Nasery Basral tentang PDRI. Alex memplesetkan istilah PDRI itu dengan kabar keberangkatan Gubernur Irwan ke Jerman. Baru siang harinya penulis paham, begitu informasi kepergian itu menyebar di media online. Lalu, kabar-kabar itu semakin banyak, termasuk lewat media sosial seperti twitter dan facebook. Tentu juga lewat mailing list dan blackberry messanger. Dalam waktu cepat, berita itu masuk ke dalam pemberitaan media massa elektronik, terutama televisi. Dan lalu berkembang terus ke media cetak. Gelombang kritikan begitu deras atas kepergian itu. Ironisnya, klarifikasi justru datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merilis kronologis dan agenda Gubernur Irwan di Jerman. Herannya, rilis resmi dari Humas Pemda Sumbar-pun tidak terbaca. Para menteripun ikut berbicara, mulai dari Menteri Dalam Negeri sampai Menteri Sekretaris Kabinet. DPR menimpali. Yang belum bicara: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bavaria Kenapa cerita awal itu penting? Mengingat masalah kepergian Gubernur Irwan ke Jerman hadir dari proses, bukan tiba-tiba saja muncul dalam ranah kesadaran publik. Seandainya tidak ada tsunami di Mentawai, mungkin orang-orang tak akan bertanya kemana gubernur pergi. Kepergian Gubernur Kaltim ke China, misalnya, diributin publik mengingat status sebagai tersangka kasus korupsi. Begitu juga orang-orang ribut dengan kepergian tersangka pelaku penyuapan anggota DPR RI Nunun, istri Adang Dorodjatun, ketika berobat ke Singapura. Ketika membaca artikel ini, apakah kita tahu siapa saja kepala daerah yang ada di tempat? Ataukah siapa saja yang meninggalkan daerahnya, dengan alasan dinas luar? Kalaupun diributkan, tentu yang paling dilacak adalah yang pergi ke luar negeri. Mengapa luar negeri? Mengingat luar negeri selalu diasosiasikan sebagai
Re: Bls: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria
Saya nggak nanya. Saya hanya membalas saran anda. Anda menyarankan saya menulis, saya sarankan balik: anda kan sudah observasi, ya, tulis saja. Mau bangga atau tidak, bukan urusan saya juga. Anda koq diskusi melompat2. Kalau mau memperkenalkan diri, kenalkan saja baik2. IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 7:15 AM Maaf pak IJP yang baik, saya sungguh sangat tidak tertarik dengan politik. Saya jauh lebih tertarik pada kegiatan pencinta alam, relawan/rescue pemberdayaan masyarakat nagari. Saya kira bidang ini jauh dari glamour pentas politik dan itu memang pilihan hidup saya. Soal reputasi saya hanya orang biasa tidak punya apa-apa. Saya hanya mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa dibimbing oleh mentor Jhoni S Mundung, pengurus Walhi Riau. Saya kira kami berdua tidak memiliki apa-apa yang patut dibanggakan, salam ta'zim. wasalam AZ-32 th Padang Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: rantaunet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 19:03:46 Judul: Re: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria Oh, bagus. Observasi yang bagus. Silakan ditulis. Tulisan anda saja sudah bagus di sini, kenapa butuh bantuan saya? Itu membantu reputasi anda :) IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 6:47 AM Menurut saya kalau ingin pak IJP ingin menulis, ada bahan yang jauh lebih bagus dari topik kepergian BA 1 ke Jerman, yaitu hotel khusus prostitusi di kota Padang yang kita kenal dengan ranah ABS SBK ini, kebetulan jaraknya tidak jauh hanya 115 meter 250 meter dari pintu masuk gubernuran. Untuk observasi saya bisa traktir pak IJP ke hotel terakhir, sebab tarifnya tidak terlalu mahal, hanya Rp. 70.000,- Saya yakin ini progress yang sangat baik untuk pak IJP pada pemilu 2014 mendatang. Bagaimana? Kalau pak IJP takut dengan pengelolanya, saya kira bisa menemani pak IJP selama ekspos berita tentang hotel khusus prostitusi itu. salam ta'zim. wasalam AZ - 32 th Padang (yang saya maksud bulan madu adalah BA 1 2, saya kira bulan madu tentu bagi yang menikah secara politik) Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: rantaunet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 18:14:48 Judul: Re: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria Wa'alaikum salam Saya dekat dg BA-1, BA-2, dan BA-BA yg lain. Emang kenapa? Saya nggak sedang bulan madu. Belum ada rencana. Ada yang larang nulis ini di palanta? Itu kan permintaan2 yg sudah biasa bertahun2. Dan setahu saya tak ada hak moderator menutup atau membuka. Biasa saja. IJP --- On Mon, 11/8/10, Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id wrote: From: Armen Zulkarnain emeneschoo...@yahoo.co.id Subject: Bls: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 8, 2010, 6:07 AM Assalammualaikum wr wb Saya dengar pak Indra J Piliang dikenal dekat dengan BA 2, apakah bulan madu sudah selesai? wasalam AZ - 32 th Padang (saya kira thread tentang BA 1 ke Jerman sudah berakhir di palanta ini) Dari: Indra Jaya Piliang pi_li...@yahoo.com Kepada: Lisi l...@yahoogroups.com; fora...@yahoogroups.com Cc: koran-digi...@googlegroups.com; RantauNet@googlegroups.com Terkirim: Sen, 8 November, 2010 16:19:06 Judul: [...@ntau-net] IJP: Antara Mentawai dan Bavaria http://www.indrapiliang.com/2010/11/08/antara-mentawai-dan-bavaria/ Harian Haluan, 08 November 2010 Antara Mentawai dan Bavaria Oleh Indra J Piliang Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional HKTI 2010-2015 Terkejut. Itu reaksi yang pertama muncul ketika mengetahui Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno berangkat ke Jerman pada hari ke-7 tsunami Mentawai. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Pers baru menginformasikan setelah Gubernur Irwan berangkat atau malah sudah tiba di Jerman. Penulis sendiri tidak terlalu menyadari, ketika Lukman Alex (Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar) menyampaikan lewat twitter tentang kepergian itu. Pesan Alex tidak begitu jelas, karena menyitir pertanyaan novelis Akmal Nasery Basral tentang PDRI. Alex memplesetkan istilah PDRI itu dengan kabar keberangkatan Gubernur Irwan ke Jerman. Baru siang harinya penulis paham, begitu informasi kepergian itu menyebar di media online. Lalu, kabar-kabar itu semakin banyak, termasuk lewat media sosial seperti twitter dan facebook. Tentu juga lewat mailing list dan blackberry messanger. Dalam waktu cepat, berita itu masuk ke dalam pemberitaan media massa elektronik, terutama televisi. Dan lalu
Re: [...@ntau-net] Artikel di Kompas
Darizal Basir ke Yunani bersama Nudirman Munir, dll. Darizal Basir adalah anggota DPR RI asal Sumbar 1 yg meliputi antara lain Kab Kepulauan Mentawai. Nudirman dari Sumbar 2 yg tidak termasuk Mentawai. IJP --- On Mon, 11/1/10, ardian_hmd...@yahoo.co.id ardian_hmd...@yahoo.co.id wrote: From: ardian_hmd...@yahoo.co.id ardian_hmd...@yahoo.co.id Subject: Re: [...@ntau-net] Artikel di Kompas To: rantaunet@googlegroups.com Date: Monday, November 1, 2010, 4:46 AM Mungkin penulis maksudkan 1 anggota DPR asal sumbar yang lagi ke Yunani adalah Nudirman Munir, kalau tidak salah beliau adalah Fraksi Golkar. Salam Dany Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: Indra J Piliang pi_li...@yahoo.com Sender: rantaunet@googlegroups.com Date: Mon, 1 Nov 2010 03:11:38 To: RantauNetRantauNet@googlegroups.com; Forahmifora...@yahoogroups.com Reply-To: rantaunet@googlegroups.com Subject: [...@ntau-net] Artikel di Kompas @kompasdotcom: Mentawai dan Marzuki Alie http://bit.ly/bZcl9z ~~.IJP.~~ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting - Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.
[...@ntau-net] Sebulan Pidato Serumpun
http://www.indrapiliang.com/2010/10/14/sebulan-pidato-serumpun/ Sumber : Suara Pembaruan, 14 Oktober 2010 Sebulan Pidato Serumpun Oleh : Indra J Piliang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato yang kini sudah menjadi dokumen negara di Markas Besar TNI Cilangkap tanggal 2 September 2010 lalu. Pidato itu bukan malah membesarkan hati rakyat Indonesia yang sedang diusik rasa nasionalismenya, malah menuai sinisme dan kritisisme dari kalangan menengah. Kekecewaan serupa muncul di kalangan masyarakat jelata. Presiden SBY sebetulnya sudah menarik garis yang dikenal sebagai soft diplomacy. Hal ini berbeda dengan reaksi Perdana Menteri Malaysia Muhammad Nadjib yang menyebabkan ekskalasi pembakaran bendera Indonesia meningkat. Kelompok aktivis pemberang Bendera di Indonesia memang melemparkan kotoran manusia ke Kedutaan Besar Malaysia, sehingga memicu reaksi M Nadjib. Tapi kita paham bahwa Nadjib sedang menyiapkan diri menghadapi pemilu, sehingga sentimen nasionalisme Malaysia bisa menjadi konsumsi politik lokal. Sebaliknya, partai pembangkang pimpinan Anwar Ibrahim jauh lebih empati kepada Indonesia ketimbang UMNO. Yang jadi pertanyaan, kenapa Cilangkap sebagai simbol militer Indonesia dijadikan sebagai tempat menyelenggarakan pidato Presiden SBY? Cilangkap adalah area dengan tingkat keamanan tinggi. Sebagai identitas simbolik akan pertahanan negara, justru pidato Presiden SBY kurang banyak menggali sisi itu. Masyarakat Indonesia tidak mengetahui dengan detil seberapa besar kekuatan militer Indonesia. Momentum Pidato Presiden SBY sebetulnya bisa menjadi momentum terbaik guna mengusung nasionalisme baru. Indonesia memang tidak mengenal konsep politik luar negeri yang ofensif. Sekalipun pernah menjadikan Timor Timur sebagai sasaran pendudukan, namun pada saat Indonesia lemah justru provinsi itu menjadi Negara Timor Leste. Dalam masa yang kritis itu, Indonesia seperti menghadapi tamparan luar biasa, terutama dari negara Amerika Serikat dan Australia yang memberi “restu” bagi pendudukan. Berbalik arahnya kedua negara itu – satu sheriff dan satu lagi wakil sheriff— menjadi catatan tersendiri akan rapuhnya dukungan negara-negara luar atas batas-batas wilayah Indonesia. Dalam era Perang Dingin antara Uni Sovyet dengan Amerika Serikat, politik luar negeri Indonesia atas nama “Mendayung di Antara Dua Karang” menjadi relevan. Namun, di masa sekarang, doktrin itu ditambah dengan konsep politik luar negeri yang bebas dan aktif sulit dijalankan. Kebangkitan ekonomi Tiongkok membawa pengaruh kepada perlombaan di bidang ekonomi, ketimbang militer. Kita melihat dalam dekade terakhir terdapat usaha keras untuk melucuti senjata-senjata pembunuh massal akibat Perang Dingin. Indonesia memiliki posisi yang baik, terutama dalam forum G-20, yakni negara-negara yang masuk kategori mempunyai kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Malaysia tidak bergabung di dalamnya. Perang, misalnya, bisa menghancurkan posisi ekonomi negara yang lebih kuat itu. Amerika Serikat yang perkasa saja mengalami krisis, akibat begitu banyak dana yang digunakan untuk perang di Irak dan Afghanistan. Pilihan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dengan tak mengucap sentimen perang adalah tepat. Namun, perang juga punya definisi yang lain. Tidak hanya konvensional berupa penggunaan senjata atau tentara, tetapi juga perlombaan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi sampai aspek-aspek kebudayaan. Hal inilah yang banyak dipertanyakan dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia, yakni tatkala kesenian tradisional Indonesia seperti Tari Pendet bisa “dirampas” oleh Malaysia, misalnya. Di balik protes yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, sesungguhnya terdapat perasaan bahwa Indonesia dikalahkan secara tidak adil. Nah, kenapa Presiden SBY tidak menyebut perang modern itu? Serumpun Presiden SBY malah menyampaikan upaya percepatan perundingan perbatasan dengan Malaysia. Diluar itu, terdapat satu masalah yang lebih serius, yakni dalam konteks negara serumpun. Bagaimana mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari? Dalam masa Orde Baru, kita mengenal begitu banyak kota di Indonesia yang disama-samakan dengan kota-kota di negara lain, dengan sebutan sister city. Dengan konsep negara serumpun, apakah Indonesia-Malaysia adalah dua negara kembar? Bagi saya, sebutan sebagai negara serumpun ataupun saudara kembar dan sejenisnya itu adalah strategi yang keliru. Dalam aspek apapun, Indonesia lebih besar dari Malaysia. Indonesia menjadi negara multi-etnis yang memberikan kesetaraan kepada setiap warga-negara. Kesejajaran dalam konteks sesama etnis Melayu-pun tak layak untuk Malaysia, mengingat konstitusinya tidak mengatur itu. Malaysia tetap menjadi negara dengan tiga etnis dominan: Melayu, Tionghoa dan India. Malaysia juga negara kerajaan dengan sistem yang ketat. Warga memiliki kebebasan besar di bidang ekonomi, bahkan banyak perusahaan Malaysia
[...@ntau-net] Ceritalah Indonesia (Versi Orang Malaysia)
http://www.indrapiliang.com/2010/10/01/ceritalah-indonesia/ Judul : “Ceritalah Indonesia” Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia. Penulis : Karim Raslan. Tahun Terbit: 2010. Halaman : xxii 136. Ceritalah Indonesia Saya membaca buku ini dengan takjub. Judulnya: “Ceritalah Indonesia”. Penulisnya: Karim Raslan, seorang teman yang diperkenalkan oleh Rizal Sukma yang kini memimpin Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Dulu, Karim suka sekali bicara politik dengan saya, termasuk politik lokal secara bergairah. Kini, Karim barangkali agak khawatir betapa politik di Indonesia itu kurang baik bagi saya, sehingga agak jarang berkomunikasi. Tidak apa. Ketika rencana buku ini disampaikan Karim, saya menyambut dengan baik. Apalagi ada editor yang saya kenal handal sejak kuliah di UI: Linda Christanty. Benar saja, Linda ternyata berlatar-belakang Melayu juga, berasal dari Bangka. Saya baru tahu atau tepatnya sadari itu, ketika membaca pengantar Linda di buku ini. Bayangan radio transistor juga ada dalam masa kecil saya, sebagaimana Linda, sebagai pengisi hari-hari kami. Radio yang berisikan siaran-siaran nasional, internasional dan tentu Malaysia. Itu tahun 1970-an sampai 1980-an. Kini, apakah rasa kemelayuan itu masih ada? Saya tak begitu tahu lagi. Perlu riset yang agak lama tentang rasa Melayu atau Malaysia di kalangan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, sebagaimana Linda dan saya mengalami dulu di Sumatera. Tapi, apakah itu penting? Pentingkah rasa kemelayuan itu bagi anak-anak sekarang? Pentingkah Upin-Ipin itu? Karim Raslan dengan keahliannya, telah membeber secara tak langsung sisi kemelayuan itu dengan caranya menulis: bercerita. Kalau kemudian Karim banyak mengurai soal kemelayuan itu, saya kira bukan karena tema-tema yang dituliskan, tetapi lebih dari sisi cara menulisnya. Dan yang diceritakan Karim bukanlah Melayu, tetapi Indonesia! Indonesia dengan beragam warna. Karim bisa menulis sebuah pameran seni-rupa dengan hidup dan kita baru memahami arti dari susunan patung-patung, misalnya, dari kata-katanya. Karim menghidupkan sebuah lukisan lewat kata-kata. Dengan kata yang menjadi cerita, Karim menghidupkan keindonesiaan itu. 29 artikel atau cerita yang dikumpulkan dalam buku ini dibagi ke dalam tiga tema: seni, politik-ekonomi dan hubungan dua negeri. Tema yang luas. Tetapi bingkai yang bisa diberi untuk buku ini satu: budaya. Tentu saya tak ingin menyebut Karim adalah seorang budayawan, sesuatu yang tentu ia tak sukai. Budayawan, untuk banyak hal di masa lalu, mirip dengan sebutan empu atau resi, seseorang yang seolah tahu segalanya tapi sebetulnya hanya mengurai sisi-sisi yang ia ketahui. Indonesia yang sudah dan sedang berubah dengan menempuh jalur demokrasi, bukan tak memiliki “budayawan” di masa kini, tetapi status itu telah turut punah sebagai sesuatu yang istimewa. Maka, saya juga curiga bahwa budayawan di masa lalu, Orde Baru maksud saya, adalah sosok yang barangkali menikmati juga kediktatoran itu yang menempatkan dirinya (atau mereka) pada status terhormat itu. Ketika mereka mengutuknya hari ini, saya kira sikap itu lebih sebagai bentuk pencucian atas dosa-dosa sejarah mereka juga. Pembaca boleh setuju atau tidak dengan pandangan dan kecurigaan ini. Dan, aha, ini sisi yang paling menarik: ternyata membaca buku ini memberi dampak yang sangat optimistik atas Indonesia. “Ceritalah Indonesia” adalah gaung Indonesia di sebuah kedai kopi di pedalaman sana, kisah seseorang, satu keluarga, atau benda-benda yang disentuh oleh seorang Karim Raslan. Karim dengan caranya menulis menunjukan kecintaan yang berlebih atas Indonesia dan sebaliknya agak sinis kepada pemerintah negaranya. Sikap yang lagi-lagi membedakan Karim dengan kita sebut saja “kalangan intelektual” Indonesia yang begitu sinis pada Indonesia, lalu sibuk menghamba-hambakan diri dan memuji-muji negara lain di luar sana yang hanya sempat mereka singgahi beberapa saat saja. Uhuiii... Karim dengan buku ini menunjukkan sosok seorang pencerita yang terlanjur sayang kepada apa yang diceritakan. Seseorang yang berpendidikan Universitas Cambridge Inggris, pernah menjadi pengacara ternama, darah campuran Inggris-Malaysia mengalir di dalam dirinya, ternyata hanya seorang pencerita yang penuh empati. Cerita yang terus-menerus ditulisnya, biasanya seusai subuh, menjelang matahari terbit. Jakarta, 1 Oktober 2010 -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim
[...@ntau-net] Koran Tempo: Moncong Senjata Api untuk Warga?
Koran Tempo, 16 Juli 2010 Moncong Senjata Api untuk Warga? Oleh Indra J Piliang Ketua Departemen Kajian Kebijakan DPP Partai Golkar Berita ini datang terlambat, setelah ditanda-tangani oleh Mendagri Gamawan Fauzi dan Menhukham Patrialis Akbar masing-masing pada tanggal 25 Maret dan 31 Maret 2010. Intinya: pemerintah mengeluarkan peraturan yang melegalkan penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP). Permendagri No. 26 Tahun 2010 itu mengatur tentang Penggunaan Senjata Api bagi Satpol PP. Permendagri tersebut menunjuk petugas yang boleh menggunakan senjata api, yakni kepala satuan, kepala bagian/bidang, kepala seksi, komandan pleton, dan komandan regu. Namun, bagi para anggota satuan yang akan melaksanakan tugas operasional di lapangan diperbolehkan menggunakan, paling banyak 1/3 dari seluruh anggota satuan. Permendagri itu menyebutkan jenis senjata api yang boleh digunakan, yakni senjata peluru gas atau peluru hampa, semprotan gas dan alat kejut listrik. Senjata api dapat digunakan dengan izin dari Polri dan harus diajukan oleh Gubernur mengingat Satpol PP adalah perangkat pemerintah daerah untuk memelihara ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Ada apa ini? Keluarnya Permendagri itu menunjukkan kekeliruan pemahaman menyangkut masalah ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Terjadi campur aduk tugas antara Satpol PP yang melakukan tindak pencegahan dan pemeliharaan hubungan-hubungan sosial di masyarakat, dengan kepolisian yang mengatur masalah keamanan dan kriminal. Pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Satpol PP jelas akan membawa rivalitas antara polisi dan Satpol PP, ketika menjalankan tugas-tugas lapangan. Sebagai contoh, ketika ada massa yang terkena peluru, apalagi peluru tajam, pihak mana yang disalahkan? Munculnya Permendagri ini seolah membenarkan bahwa selama ini rivalitas terjadi antara Satpol PP dengan Polisi, antara lain dalam tragedi di makam Mbak Priuk. Satpol PP beranggapan bahwa dukungan polisi kurang ketika bentrokan terjadi. Tetapi justru dalam banyak analisis menyangkut masalah itu, wacana pembubaran Satpol PP jauh lebih banyak, ketimbang memperkuat Satpol PP, apalagi dengan memberinya senjata. Mendagri Satpol PP jelas berada di bawah tanggungjawab Kemendagri. Alur kerjanya menyangkut pemerintahan daerah, sebagai wilayah “binaan” Kemendagri. Dengan mengambil sejumlah “hak” yang berada di tangan polisi, yakni dalam penggunaan senjata api untuk menjaga keamanan, jelas sudah bahwa secara perlahan keistimewaan polisi mulai digerogoti. Masalahnya, kenapa tidak langsung saja kepolisian berada di bawah Departemen Dalam Negeri? Bukankah sejak awal Indonesia merdeka, kepolisian berada di bawah Depdagri? Jauh lebih penting menyusun bingkai yang lebih menyeluruh dan komprehensif untuk menata masalah keamanan (dan pertahanan), ketimbang membuat peraturan-peraturan skala kecil yang merusak bangunan kelembagaan keamanan secara perlahan. Satpol PP selama ini lebih banyak dilihat sebagai momok bagi masyarakat, ketimbang menjadi sahabat publik. Kreatifitas kepala daerah menjadi penting. Di Padang Panjang, Sumatera Barat, anggota Satpol PP juga terdiri dari perempuan-perempuan berkerudung, sehingga lebih memunculkan sikap tidak agresif di masyarakat pemikir, masyarakat relegius dan pedagang di sana. Sebaliknya, di daerah-daerah lain, Satpol PP malahan terlihat seperti pasukan-pasukan komando yang melebihi polisi dan tentara, antara lain dengan memperlihatkan sangkur di pinggang. Dengan senjata yang dimiliki Satpol PP, akan tercipta jarak yang semakin kuat betapa polisi hanya menjadi pihak yang mengurusi masalah-masalah penegakkan hukum dan keamanan. Padahal, idealnya, dengan skala 1 polisi mengurusi 400 orang warga, kedekatan anggota-anggota kepolisian dengan warga diperlukan untuk mencegah dampak kriminalitas dan instabilitas keamanan. Keberadaan Satpol PP jelaslah akan menjauhkan polisi dari kehidupan warga, sehingga langkah-langkah untuk mengarah kepada polisi sipil kian sulit. Meminggirkan Citizenship Keberadaan Satpol PP juga membuka diskusi yang lain, yakni terpinggirkannya apa yang disebut sebagai citizenship. Dalam bahasa awam, citizenship terkait dengan warga yang aktif dalam menjalankan hak-hak kewarga-(negara)-annya. Dalam hal ini, citizenship membutuhkan integrasi sosial di antara sesama warga. Pada gilirannya, integrasi sosial itu membentuk kohesifitas dan kolektivitas di antara para warga yang sadar akan hak dan kewajibannya. Yang dibutuhkan Indonesia dalam mengatasi problema-problema perseteruan antara warga dengan penegak hukum adalah citizenship ini, bukan satu kelompok bersenjata yang menjadi bagian dari pemerintah untuk menegakkan disiplin kewargaan. Dalam banyak literatur tentang konflik di Indonesia, warga bukanlah pihak yang agresif, tetapi selalu saja ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan. Kasus-kasus kerusuhan berdarah juga memandu arah data dan fakta
[...@ntau-net] Satu Catatan Tambahan Philips Jusario Vermonte...
http://www.indrapiliang.com/2010/06/11/pjv-ttg-dana-aspirasi-2/ (Notes ini adalah sambungan dari notes beberapa hari yang lalu) Setelah usul dana aspirasi oleh partai Golkar terhenti, partai itu tidak kehilangan akal dan usulnya berubah dengan cepat menjadi dana Pedesaan sebesar 1 milyar rupiah untuk setiap desa. Seperti saya sebut dalam notes terdahulu, saya takjub dengan move Partai Golkar ini. Dan sebagai pelajar ilmu politik, terus terang saya excited karena beberapa hal. Pertama, seperti saya tulis dalam notes terdahulu, move Golkar dan reaksi partai dan juga publik, menandakan bahwa perubahan sistem politik dan pemilu kita sejak 1998 mulai membawa hasil. Partai-partai dan politisi harus bekerja berdasarkan constraint dan merespon sistem insentif yang muncul dari sistem yang baru itu. Kedua, berkaitan dengan pertama, usulan Partai Golkar boleh dikatakan adalah sebuah move politik yang cerdik dan ia juga mulai menandai debat politik yang lebih substansial. Yaitu perihal bagaimana demokrasi (via partai politik sebagai backbone demokrasi) harus dibiayai. Ketiga, dua usulan Partai Golkar mungkin menjadi sebuah anomali. Secara natural, usul membagi-bagi dana kepada daerah pemilihan (dan sekarang kepada desa yang berjumlah kurang lebih 70 ribu di Indonesia) adalah usul untuk sebuah program populis. Nyatanya, pada saat yang sama, usul Partai Golkar ini juga menjadi sangat tidak populer. Dan seperti saya tulis dalam notes terdahulu (link nya ada di bawah notes ini), saya yakin betul bahwa politisi Partai Golkar mengerti bahwa usul itu tidak populer dan mereka akan dihujat kiri kanan. Tetapi mengapa mereka maju terus? Seluruh logika politisi adalah logika survival dan bagaimana agar kembali terpilih dan atau tetap memegang kekuasaan. Usul Dana Aspirasi dan kemudian Dana Pedesaan ini, keseluruhannya adalah cara Golkar untuk survive. Tentu tidak ada yang salah dengan itu, karena secara alamiah memang begitulah politik dan politisi. Dalam notes pertama saya tempo hari saya mencoba memberi alasan mengapa Dana Aspirasi itu bisa berguna untuk demokrasi kita. Setelah menimbang usulan Dana Pedesaan ini, kalau saya ditanya, maka saya akan memilih bahwa Dana Aspirasi jauh lebih relevan dan berguna untuk proses institusionalisasi sistem partai dan sistem pemilu kita (seperti sudah saya uraikan di notes pertama). Berhubung dengan pembiayaannya, Dana Aspirasi akan menghabiskan 8 trilyun rupiah (dengan asumsi 15 M rupiah disetujui seluruhnya), sementara Dana Pedesaan untuk kurang lebih 70 ribu desa itu akan menghabiskan 70 trilyun rupiah lebih. Bila dalam Dana Aspirasi saya bisa mengidentifikasi ramifikasi yang baik untuk sistem partai dan pemilu kita secara umum, dalam Dana Pedesaan ini yang bisa saya temukan hanyalah kecerdikan Golkar untuk survive yaitu: Pertama, dalam struktur pemerintahan daerah kita ada dua macam 'desa'. Yaitu 'desa' dan 'kelurahan'. Desa bersifat lebih rural, dan kelurahan lebih urban.Yang membedakan keduanya adalah bahwa kepala 'desa' dipilih langsung rakyat desa, sementara kepala 'kelurahan' ditunjuk bupati/walikota. Kedua, saya tidak bisa membayangkan bagaimana mekanisme Dana Pedesaan ini nanti apabila disetujui. Yang terbayang oleh saya adalah bahwa ia akan mengikuti struktur transfer dana dalam framework Otonomi Daerah. Dalam Otda kita, titik berat aliran dana tersebut adalah dari pemerintah pusat kepada bupati/walikota. Ketiga, berkaitan dengan poin pertama dan kedua, bila kita tengok data hasil Pilkada antara 2005-2008 maka kita akan temukan bahwa kurang lebih 40 persen kepala daerah (bupati/walikota) di seluruh Indonesia (di hampir 500 kabupaten/kota) adalah dari Partai Golkar (baik yang dicalonkan sendiri atau bersama-sama dengan partai lain). Jumlah ini adalah yang terbanyak dimiliki partai. Nomor dua terbanyak adalah PDI-P. Walhasil, Dana Pedesaan itu akan lebih banyak 'dikuasai' Partai Golkar dan pada akhirnya akan sangat menguntungkan Partai Golkar. Bupati/walikota akan mengalirkan dana kepada kepala kelurahan yang diangkat olehnya, juga kepada para kepala desa yang dipilih rakyat desa sendiri. Untuk yang terakhir ini, Partai Golkar potensial untuk mencapai tempat-tempat yang mungkin bukan basis massa-nya. Dua usulan Partai Golkar ini saya kira menunjukan kemahiran berpolitik Parta Golkar. Kenyataan bahwa Partai Golkar berani melemparkan usul terbuka dan memicu debat publik adalah sebuah kemajuan dalam politik Indonesia. Ada ruang-ruang berpolitik yang semakin terbuka, dari yang tadinya diselesaikan lewat jalan belakang (dan para penstudi politik hanya bisa bilang dengan pasrah bahwa itu adalah mekanisme black box, alias 'au ah gelap')...:-) Sekali lagi, kesimpulan sementara saya adalah bahwa Dana Aspirasi adalah opsi yang lebih baik dibandingkan dengan usulan Dana Pedesaan ini. Dana Aspirasi relatif lebih mudah dikontrol dan ia bisa menjadi entry untuk mulai mengatur masalah party financing yang
[...@ntau-net] Maaf: Kampanye... Mohon di delete kalau tdk berkenan...
Mengapa Saya Mendukung ALI MUKHNI-DAMSUAR Sebagai Bupati-Wakil Bupati Padang Pariaman Periode 2010-2015 (Surat Terbuka INDRA JAYA PILIANG) Assalamu’alaikum Wr Wb Kepada alim-ulama, niniak-mamak, cadiak-pandai, bundo-kanduang, urang sumando, pemuda, jo dunsanak-dunsanak di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sebagai pembuka kata, izinkan ambo untuk meminta maaf terlebih dahulu. Kalau ada kata yang talonsong, taantuak ka turun, talendo ka naiak, mohon ambo diberi maaf. Maklumlah, umur baru setahun jagung, pengalaman belum setampuk pinang, pengetahuan hanya sebatas pinggalan. Surat terbuka ini sengaja saya tulis untuk menunjukkan hati yang jernih. Seperti kata pepatah, datang tampak muka, pergi tampak punggung, tidak mungkin saya sebagai anak-keponakan berdiam diri untuk apa yang kini berlangsung di Padang Pariaman. Sebagai ranah kelahiran == di Kampung Perak, Pariaman == tentulah perhatian saya tidak akan putus, sekalipun berada di rantau urang dan melanglang-buana ke banyak daerah. Padang Pariaman adalah daerah yang baru saja terkena gempa pada tanggal 30 September 2009 lalu. Data-data statistik menunjukkan bahwa Padang Pariaman adalah kabupaten yang terparah terkena gempa, dengan sekitar 80% rumah rusak berat sampai rusak ringan. Kegiatan ekonomi seperti berhenti. Kabupaten dengan penduduk 390.000 jiwa lebih ini mengalami keadaan yang sungguh menyedihkan. Tapi bukan “urang Pariaman” namanya, kalau hanya melihat akibat-akibat gempa bumi itu dengan muka sedih. Dengan beragam cara, upaya membangun kembali rumah-rumah, pasar, sekolah, jalan, jembatan sampai tempat-tempat ibadat terus dilakukan. Kini sebagian dari bangunan-bangunan baru sudah berdiri, sekalipun masih banyak dalam bentuk bantuan negara-negara sahabat, lembaga swadaya masyarakat, kalangan bisnis, sampai urang-urang di rantau. Di tengah kesibukan itu, pada tanggal 30 Juni 2010 nanti, bertepatan dengan 9 bulan peringatan gempa bumi, akan dilangsungkan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Tanggal yang sangat tepat untuk menguji sebuah momentum dan komitmen, akankah Padang Pariaman mendapatkan pemimpin yang tepat ataukah masih mencari pengalaman? Dunsanak-Dunsanak Yang Baik Padang Pariaman tentu tidak membutuhkan calon-calon pemimpin yang belajar memimpin, ketika persoalan yang dihadapi begitu berat. Karena itu juga, sadar akan pengalaman saya yang kurang, maka saya memutuskan untuk tidak maju dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Padang Pariaman. Sekalipun Pak Jusuf Kalla, Pak Aburizal Bakrie, Pak Syahrul Udjud dan tokoh-tokoh lain meminta saya untuk maju, saya memilih untuk mencari pengalaman tambahan. Tentu, saya berterima kasih dengan masyarakat Padang Pariaman. Dalam pemilu legislatif 9 April 2009 lalu, masyarakat Padang Pariaman menyumbangkan 50% dari keseluruhan total suara yang saya dapatkan. Sisanya diberikan oleh pemilih di 7 (tujuh) kabupaten dan kota yang lain, yakni Pariaman, Bukittinggi, Payakumbuh, Agam, 50 Kota, Pasaman dan Pasaman Barat. Sebagai orang yang baru belajar masuk politik praktis, dukungan itu besar artinya bagi saya, sehingga dalam perjalanan saya ke depan, aspirasi pemilih akan terus saya perjuangkan, sekalipun tidak berhasil duduk di DPR RI. Karena itulah, saya memilih untuk mendukung pasangan Ali Mukhni-Damsuar, pasangan dengan nomor urut 1 dalam pilkada 30 Juni 2010 nanti. Kenapa saya mendukung pasangan ini? Pertama, sebagai Wakil Bupati Padang-Pariaman 2005-2010, Ali Mukhni telah mengenali seluruh daerah Padang Pariaman. Lima tahun duduk di pemerintahan, Ali Mukhni adalah pribadi yang bersih, tidak banyak bicara, banyak bekerja dan untuk ukuran Wakil Bupati di Indonesia termasuk kategori “pejabat dhuafa”. Ali Mukhni adalah sosok orang Pariaman kebanyakan, tidak terlalu peduli dengan aturan protokoler, serta berpakaian sederhana. Saya menyaksikan sendiri bagaimana Ali Mukhni menyemir sendiri sepatunya, di beberapa pertemuan calon-calon kepala daerah di hotel berbintang di Jakarta. Kedua, sebagai salah satu asisten dalam Pemda Padang Pariaman 2005-2010 dan mantan camat terbaik, Damsuar adalah sosok yang merambah karier cemerlang di pemerintahan. Sebagai seorang penghulu di kaumnya, Datuak Damsuar memiliki tutur kata yang baik. Bagi saya, seandainya menjadi Wakil Bupati Padang Pariaman 2005-2010, maka Datuak Damsuar mampu memintal hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan masyarakat. Sama dengan Ali Mukhni, maka Datuak Damsuar adalah sosok yang sederhana. Ketiga, sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati, keduanya seperti tebing dengan bambu, saling menguatkan. Keterbukaan Ali Mukhni memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan informasi apapun yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan. Kesantunan dan kepiawaian komunikasi Damsuar menjalin ikatan emosional yang sangat baik. Survei juga menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas atau keterpilihan Ali Mukhni dan Damsuar berada di nomor urut 1 dan 2. Sehingga ketika
[...@ntau-net] Philips Jusario Vermonte ttg #DanaAspirasi....
http://www.indrapiliang.com/2010/06/09/pjv-ttg-dana-aspirasi/ Philips Jusario Vermonte, anak Bukittinggi kelahiran Manila, menulis di facebooknya. Karena ini bagian pertama, jgn berharap bahwa bagian kedua sepositif ini. Apalagi Ari Perdana belum menulis:) == Dengan resiko dianggap sebagai pendukung Partai Golkar-nya Aburizal Bakrie (hehehehe), saya tulis notes ini. Berkait dengan proposal untuk menyediakan dana aspirasi sebesar Rp. 15 M bagi anggota DPR untuk dialirkan kepada daerah pemilihannya (dapil), kritik keras mengalir dari 8 penjuru mata angin untuk Partai Golkar. Proposal itu bahkan sudah menjadi dosa sosial sejak dalam pikiran. Bahwa dana itu pasti akan dikorupsi, hingga soal tata keuangan negara yang tidak ada presedennya (yang terakhir ini justru mungkin akan paling mudah dihadapi partai Golkar, mengubah perundangan adalah hal yang doable bagi Partai Golkar sepanjang ada partai di DPR yang ikut serta bersamanya). Tetapi, saya takjub dengan para politisi Partai Golkar yang maju terus dengan usulan yang amat sangat tidak populer ini. Mereka pasti tahu persis bahwa ide ini amat sangat tidak populer dan akan membuat mereka semakin kehilangan kredibilitas karenanya. Namun, mereka terlihat seperti sedang mengajukan sesuatu yang mereka percayai betul. Saya, dan pastinya banyak orang lain, sudah terbiasa dengan politisi-politisi kita yang datang dengan ide-ide bodoh namun pantang mundur. Tetapi saya kira kali ini yang terjadi dengan Partai Golkar dan usulan dana 15 M ini agak lain ceritanya. Dan saya tergoda untuk mengoprek sisi lain dari dana aspirasi ini, alias sisi 'positif'-nya. Saya kira diskusi yang muncul berkaitan dengan isu ini berakar pada masalah mendasar, yaitu bahwa konsekuensi-konsekuensi dari sistem pemilihan umum, sistem kepartaian, dan sistem perwakilan kita mulai muncul dan berkembang. Pertanda bahwa 'mesin' demokrasi kita mulai berjalan, dan kita, seperti negara-negara lain yang telah lebih dulu menjadi mapan demokrasinya, harus memecahkan berbagai masalah yang muncul. Politisi dan partai pun mulai bereaksi terhadap constraint dan juga sistem insentif yang tersedia dalam sistem politik yang terbentuk sejak reformasi 1998. Isu mendasar yang bisa kita simpulkan dari kontroversi dana aspirasi ini adalah: bagaimana demokrasi harus dibiayai? Studi ilmu politik tentang distributive spending - nama lain dari dana aspirasi yang sedang diusulkan itu - (leksikon pork-barrel memang negatif karena sejarah awal munculnya 'dana 'aspirasi' ini di Amerika Serikat dulu) oleh anggota parlemen di berbagai negara telah banyak dilakukan, misalnya oleh Shepsle dan Weingast (1981). Distributive spending oleh politisi muncul karena politisi harus merespon tuntutan electoral constituency. Dalam konteks pemilihan langsung, dari studi mengenai voting behavior di berbagai negara, pemilih selalu menanyakan satu pertanyaan retrospektif sebelum memutuskan pilihannya: what have you done for me lately? (Lancaster,1986). Menjawab pertanyaan semacam ini, hampir pasti partai incumbent akan selalu diuntungkan. Karena ia berkuasa, eksekusi policy akan selalu berada di tangannya. Incumbent pun, atas nama kekuasaan eksekutif, bisa mengatur timing kapan sebuah kebijakan dilakukan, apakah menjelang pemilu dan lantas dihentikan setelah pemilu (kebijakan BLT dulu adalah satu contohnya). Dengan kata lain, partai incumbent selalu in the state of campaign sepanjang masa berkuasanya, sebelum pemilu berikut dilaksanakan. Megawati yang frustasi menyebut ini sebagai 'tebar pesona' terus-terusan oleh Presiden berkuasa. Berada di luar kekuasaan, otomatis membuat partai kehilangan resource-nya. Kemampuannya untuk meladeni 'tebar pesona' incumbent melemah, kalau tidak bisa dibilang hilang. Sejak 2004, kalau diperhatikan, perolehan suara partai-partai yang kalah pemilu semakin mengecil. Dalam pemilu 2009, perolehan suara Partai Golkar mengecil, apalagi PDI-P yang berdiri dipinggir sudah dua periode pemilu lamanya. Juga umumnya partai-partai lain. Karena itu, usulan dana aspirasi ini ada baiknya. Yaitu untuk memberi nafas bagi partai d iluar pemenang pemilu, memberi mereka sedikit kekuatan untuk menjadi pengimbang partai incumbent. Ada satu fenomena menarik dalam perilaku pemilih di Amerika, yang mungkin 'semangatnya' bisa ditiru. Yaitu bahwa voters di Amerika tidak menginginkan sebuah partai menguasai eksekutif dan legislatif sekaligus. Kalau presidennya dari Partai Demokrat, maka dalam pemilihan legislatif voters akan cenderung memilih Partai Republik. Demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif selalu bisa dikontrol. Intinya, terjadi strategic voting di antara pemilih, mereka ingin menciptakan keseimbangan kekuasaan dalam politik Amerika (strategic voting banyak terjadi dalam konteks pemilu lain, misalnya di Peru ketika pemilihan Fujimori, seperti studi oleh Schmidt (1993). Tentu saja, contoh Amerika ini terjadi dalam konteks sistem
[...@ntau-net]
http://www.indrapiliang.com/2010/06/03/wali-nanggroe/ Wali Nanggroe: Utk Muhammad Hasan di Tiro Oleh Indra J Piliang Sehari setelah sertifikat WNI itu datang Engkau kembali ke pangkuan Illahi Selamat jalan, Wali Nanggroe 4 Desember 1976 Di atas sebuah bukit Kau kumandangkan perlawanan Bersama guru-guru mengaji dari meunasah-meunasah Hikayat Perang Sabil berdendang di pangkuan ibu-ibu yang menidurkan bayinya Dengan korban, tentu. Apa saja yang bisa disebut. Apa saja yang bisa ditulis. Korban yang tak kau harapkan, ketika Jakarta bisu dan pekak Ketika marsoses-marsose baru bergerak ke gampong-gampong nan jauh “Ini bouraq-singa, bukan garuda. Ini Darussalam, bukan Hindunesia!” Ya, patut kita ingat kata-kata itu. Kata-kata yang kau kubur dengan Nota Kesepahaman Helsinki Jenewa tempatnya, 15 Agustus 2005 tanggalnya Dalam aksara Inggris dan Indonesia, bukan lagi aksara Arab Melayu. Wali, kau telah ajarkan tentang keteguhan Tetapi juga tentang akhir dari sebuah keteguhan Tentu, anak-anak muda di sekitarmu ingin terus berjuang, berperang Sampai ke Libya mereka menguji nyali, mengolah raga, menggosok senjata Dalam usia sepuh itu, kau berikan hatimu pada perdamaian Damai yang indah. Damai yang tidak lagi serakah. Kini, merah-putih telah membalutmu Bintang dan Bulan Sabit tersimpan dalam rimba-belantara Senjata-senjata digergaji Kami, di negeri Kertagama ini Dan turunan dari ribuan perang di masa lalu Hanya bisa berharap dengan cemas: perdamaian itu abadi Seabadi namamu, seabadi perjuanganmu Dan bagimu Jakarta, hilangkan keangkuhan itu! Jangan lagi kirim ekspedisi Kartanegara ala Singosari Buang itu ambisi Gajah Mada di Padjajaran Campakkan marsose-marsose ganas sewaan dari tanah India Kami mengawasi, dengan mata tak berkedip, setiap gerak bibirmu: Jakarta! Bersama Wali Nanggroe, kami abadikan perdamaian... Selamat jalan, Wali... Jakarta, 3 Juni 2010 -- . Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ === UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting - Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.
[...@ntau-net] Koran Tempo: Sampai Kapan Kami Bersabar?
Karena ada bbrp kalimat yg hilang di artikel sebelumnya, kami kirimkan naskah aslinya Koran Tempo, 26 Mei 2010 Sampai Kapan Kami Bersabar? Oleh Indra Jaya Piliang Fungsionaris DPP Partai Golkar Pada Musyawarah Nasional Partai Golkar di Pekanbaru pada 3-8 Oktober 2009, saya berperan menjadi manajer kampanye Yuddy Chrisnandi. Tema yang kami usung adalah regenerasi. Yuddy mendapatkan nilai 0 (nol) dari 538 suara. Itulah harga regenerasi di tubuh Partai Golkar. Usia Yuddy 42 tahun saat itu. Kemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Bandung mengonfirmasi alasan majunya Yuddy di Partai Golkar. Regenerasi tidak bisa ditolak. Anas masih berusia 41 tahun. Gairah kehidupan politik di kalangan anak-anak muda membuncah. Sekalipun memiliki figur sentral, Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat telah menyiapkan jenjang kepemimpinan nasional yang tangguh. Sekarang, bagaimana dengan partai-partai politik lain? Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, berusia 63 tahun. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, berusia 63 tahun. Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, berusia 57 tahun. Sementara Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, berusia 59 tahun. Partai Demokrat menjadi satu-satunya partai politik paling besar yang dipimpin oleh anak muda di negara demokrasi ketiga terbesar di dunia ini. Memang, di jajaran kepengurusan partai politik masih terdapat sejumlah anak muda. Tetapi relatif sedikit dibandingkan dengan keseluruhan fungsionaris. Terdapat nama Fadli Zon (39 tahun) di Partai Gerindra. Juga nama-nama lain, sepeti Bima Arya Sugiarto di DPP PAN atau Puan Maharani di DPP PDI Perjuangan. Namun, Budiman Sudjatmiko (40 tahun) gagal menjadi pengurus DPP PDI Perjuangan, sekalipun mewakili generasi paling otentik dalam riwayat perjuangan untuk kebebasan dan demokrasi. Jangankan untuk menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, masih diperlukan lima tahun lagi bagi Budiman masuk DPP PDI Perjuangan. Reshuffle Kepengurusan Apa yang bisa dilakukan dalam menatap kehidupan politik 2014-2019, termasuk dalam konteks regenerasi kepemimpinan nasional? Partai Demokrat telah selangkah di depan, namun partai lain bukan berarti ada dalam posisi tertinggal. Saya kira, inilah saat yang tepat bagi seluruh partai politik untuk menyusun ulang barisan kepemimpinan di tubuh masing-masing kepengurusan. Caranya, segera melakukan langkah reshuffle. Daun-daun yang berwarna coklat dan kuning sebaiknya dipangkas, agar udara tersedia bagi daun-daun hijau dalam pohon politik. Bukan berarti kami yang muda-muda diam. Saya mengikuti dengan dekat aktivitas kalangan muda di setiap partai politik. Dalam bentuk eksperimentasi, sejumlah politisi muda lintas partai menyusun Kabinet Indonesia Muda (KIM) yang kaya akan gagasan. KIM diisi oleh anak-anak muda lain dari kalangan ilmuwan, pengusaha, aktifis lembaga swadaya masyarakat, kaum profesional dan analis-analis handal. Gerak KIM bagi bangsa ini memang belum maksimal, tetapi sebagai komunitas yang heterogen dan dinamis sungguh terasa. Sekalipun tidak menggunakan nama KIM, pemikiran anggota-anggota KIM tersebar di banyak media. Pada level yang lain, dalam perjalanan ke banyak daerah, saya menemukan aktivitas kalangan muda politik itu. Sebagai generasi yang bergairah, tentu menjelajahi wilayah Indonesia yang luas adalah bagian dari semangat kami. Penjelajahan dunia pemikiran juga menjadi wajib. Setiap masalah bisa ditelisik dengan informasi yang lebih valid dan beragam. Di dunia maya, terutama twitter dan facebook, kaum muda politisi dan aktivis ini paling berisik. Semua hal bisa ditanggapi dengan posisi beragam, namun juga bisa berubah dalam semalam, tanpa harus merasa sakit hati atau misuh-misuh. Partai hakekatnya mencari talenta-talenta yang baik ini, lalu memasukkan ke dalam satu sistem organisasi yang lebih rapi. Partai selayaknya menampung upaya pengorganisasian pemikiran dan aktivitas, hingga berwujud menjadi program yang bertujuan bagi kepentingan rakyat dan negara. Dan partai tidak selamanya menjadi organ kekuasaan, mengingat pemilu tidak tiap hari digelar. Bagi saya, reshuffle kepengurusan di seluruh partai politik adalah cara agar terdapat dinamika politik yang lebih segar. Bukan Hanya Politisi Ini juga bukan semata-mata di level politisi. Terlalu mengada-ada kalau regenerasi hanya soal politik. Saya menemukan banyak sekali nama tua dan lama di kalangan ilmuwan yang bicara di media, begitu juga di kalangan lembaga swadaya masyarakat dan bahkan dunia pengusaha. Mereka seperti Candi Borobudur yang merasa paling mampu menciptakan keindahan, ketika anak-anak muda justru mengoleksi benda-benda lain seperti komik atau piringan hitam. Mereka menjadi sosok yang nyinyir, ketika sumberdaya anak-anak muda lain menjadi gagu dalam jumlah banyak dan menumpuk. Saya tentu tidak menggugat, melainkan memaparkan realitas. Sejumlah kawan saya, bahkan yunior saya, sudah berhasil meraih gelar doktoral dan profesor di